Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nafsu Para Lelaki Paruh Baya

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 6

"Gimana jodohnya Ayah nanti, Nia usahain bantu bareng Mas Lukman cariin"
"Sekarang Ayah cepet sembuh dulu"


"Iya Nia, Ayah nurut saja bagaimana baiknya", jawab Pak Rohimin mendadak kalem. Ia sedang duduk bersandar di bangku dekat ranjang tempat tidur. Dari sana ia mengamati Nia yang masih kelelahan akibat ulah "rudal" miliknya. Supaya tak terlihat tubuh polos Nia, Pak Rohimin sempat menutupi tubuh bugil Nia dengan kain seprai yang diambil dari dalam lemari.


"Aku duluan keluar ya, yah"
"Ayah jangan lupa diminum vitamin sama obatnya"


"Iya..."


Nia menyelakkan sprei, ia keluar dari ranjang tidur Ayah mertuanya lalu berbalik badan mencomot daster yang berada di sisi sebelah kanan tempat tidur. Walau tak lama, Pak Rohimin lantas tertegun memandangi punggung dan bongkong semok Nia. Sungguh tak menyangka bahwa ia betul-betul sudah menyetubuhi menantunya. Kini tak lagi ada bayang-bayang Nia yang sedang mengenakan handuk bolak-balik atau belahan dada Nia yang nyangkut di benak Pak Rohimin. Lelaki berusia kepala enam itu puas dan girang kendati di balik handuk 'senjata' yang telah diajak bertempur masih keras. Maklum, lama Pak Rohimin tak menggagahi tubuh perempuan sejak istrinya meninggal dunia kurang lebih lima tahun yang lalu.


Pak Rohimin jadi iri dengan putranya sendiri, Lukman. Betapa beruntung mempunyai bini seperti Nia yang disadari menggairahkan. Andai itu Pak Rohimin, boleh jadi Ardian punya adik lebih dari 1. Akan tetapi, Pak Rohimin sedikit merasa bersalah karena menantu sudah baik begitu kepadanya malah menjadi pelampiasan nafsu. Akibatnya, Pak Rohimin sangat khawatir Nia akan memberitahukan hal itu ke Lukman.


"Nia?"


"Iya, kenapa?", tanya Nia yang sudah bersiap angkat kaki.


"Kamu enghh..."
"Ndak akan kasih tahu yang barusan ke Lukman kan?"


"Enggak, yah"
"Pokokny jangan diulangi lagi"


"Iya, maafin Ayah ya Nia"
"Maafin ayah", ucap Pak Rohimin dengan nada pelan, menundukkan muka, malu-malu menatap wajah Nia.


"Iya, aku maafin"
"Aku keluar duluan ya, yah", Nia mengangguk, memasang muka datar. Ia buru-buru melengos pergi.


"Iyaa Nia"


Di luar kamar ayah mertuanya, Nia menghela nafas lega. Ia seolah-olah baru keluar dari kandang serigala lapar, meski dirinya juga sudah terlanjur 'memberi makan' si serigala. Nia lalu berjalan ke arah halaman belakang untuk mengambil sehelai handuk. Ia ingin membersihkan badan yang sudah apek karena telah bercampur keringat dengan Pak Rohimin. Sebelum masuk ke kamar mandi, Nia mengambil pakaian ganti terlebih dulu di kamarnya. Sampai di dalam, Nia justru duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia merenung atas apa yang menimpa dirinya pagi hari ini.


"Pokoknya aku harus bisa segera nemuin jodohnya Ayah"
"Aku musti telepon Mas Lukman", Nia mencari-cari ponselnya di kamar. Setelah ketemu di bawah bantal, Kemudian Ia menghubungi Lukman.


"Ada apa Maa?"
"Tumben pagi-pagi nelepon"


"Gini, Pa.."
"Enghh... Papa udah sarapan?"


"Loh? Udah kan Ma"
"Kan papa sekalian sarapan pas ngambil obat di apotek"


"Oh iya..."


"Mama sendiri sama Ayah sarapan yang Papa beliin udah dimakan belum?"


"Udah Pa"


"Syukur deh"
"Jangan lupa diminum ya Ma, obatnya"
"Tolong sekalian ingetin ayah"


"Tadi Mama udah ingetin kok Paah"


"Iya Makasih yaa Maah"


"Sama-sama Paah"
"Hemm, Paa, mama mau nanya sesuatu boleh?", tanya Nia yang sangat ragu-ragu mengutarakan perihal jodoh Ayah mertuanya.


"Boleh dong Maa, masa Mama nanya Papa larang"


"Ginii Paah, tadi pas sarapan, ayah cerita ke Mama, katanya Ayah sebenernya mau nikah lagi tapi sama Papa gak dibolehin"
"Apa bener gitu?"


"Enggak juga sih Maa"


"Kok enggak juga, terus gimana?"


"Mama kenapa nanya hal seperti ini sih pagi-pagi?"
"Apa gak ada yang lain, yang lebih penting ditanyain?"


"Bukan begitu Paaa"
"Tapi kan kasian juga ayah, kalau di kampung gak ada temennya"
"Pantes ayah demen banget ke Jakarta", Nia menganggap hal ini penting sekali karena kalau menurut pendapat ayah mertuanya, salah satu penyebab Nia menjadi sasaran nafsu ayah mertuanya karena selama ini ayah mertuanya sudah kebelet menikah lagi, tetapi tidak diperkenankan oleh Lukman. Oleh karena itu, sepatutnya Lukman adalah orang yang bertanggung jawab. Namun, Nia enggan membeberkan soal dirinyac baru saja disetubuhi oleh ayah mertuanya sekaligus ayah kandung Lukman sendiri.


"Bukan maksud Papa ngelarang, cuman Papa takut aja kalau ayah menikah lagi..."
"Hhmmm..."


"Takut apa?"


"Enghhh...."
"Aku gak rela Ayah menduakan cinta ibu yang sudah tiada, Maaa"


"Paaa, kalau posisi seperti sekarang"
"Mama yakin, ibu pasti mau ngerti kalau perlu ada seseorang yang ngurus ayah"
"Jadinya ayah gak merasa kesepian di kampung"


"Bukan gitu Maa", Lukman menyembunyikan sesuatu.


"Bukan gitu bagaimana Paah? Pokoknya Mama berpendapat Ayah tetep harus punya pendamping hidup baru"


"Ngomonginnya lanjut di rumah aja ya, Maa?"
"Gak akan cukup dibahas lewat telepon"


"Yaudah, nanti malam sepulang Papa aja dilanjutinnya"


"Oke, Maaa"
"Papa balik kerja lagi yaa"


"Iyaa, Paa. Jangan lupa makan siang"


Pembicaraan yang agak alot karena Lukman bersikukuh Ayahnya tidak perlu pendamping hidup baru membuat Nia tidak mau mengalah. Nia pikir kesetiaan cinta orang yang telah tiada bukan sebuah alasan bagi Ayah mertuanya untuk tidak menikah lagi. Nia tak mau repot-repot Ayah mertuanya sering-sering datang menengok Ardian. Dia juga tak mau kejadian tercela yang barusan terulang kembali. Itulah jalan terbaik yang harus dicapai agar Ayah mertuanya mampu melampiaskan hawa nafsu dan mendapatkan kasih sayang. Nia harap Lukman mau mengerti.


Selesai menelepon Lukman, Nia menyadari selangkangannya perlu segera dibersihkan karena sudah lengket akibat percampuran cairan cintanya dengan sperma ayah mertuanya. Lekaslah Nia berjalan ke kamar mandi.



=¥=


"Udah lama Bang jadi driver ojol?"


"Udah lumayan lama Mba"
"Saya daftar waktu belum banyak ojol kayak sekarang ini"


"Mmm...."
"Berapa bang penghasilan sebulan?"
"Denger-denger banyak ya"
"Katanya bisa sampai 10 juta"


"Haha itu mah dulu banget, Mba"
"Kalau sekarang lagi pandemi gini, dapet penumpang satu aja udah syukur banget"


"Ah masa sih?"


"Iya Mba, kalau dulu kan ojol masih sepi, penumpangnya yang banyak"
"Kalo sekarang penumpang sepi, ojolnya yang kebanyakan"


"Gitu yaa..."


"Iya, kalau boleh tahu Mbaknya kerja di mana?"


"Jakarta.."


"Jauh juga ya Mbak. Tiap hari begini?"


"Iya Bang"
"Biasanya suami yang nganter langsung, tapi lagi gak enak badan"


"Sabar-sabar ya Mba"


"Iya..."
"..."
"Stop! Pinggir sini aja!"


"Siap Mba...", Ojol yang ditumpangi Yanti berhenti di dekat stasiun Serpong. Ia melihat sudah berjubel orang-orang yang juga akan menggunakan kereta api listrik komuter. Yanti tak sabar segera susul-menyusul orang-orang itu. Siapa tahu yang lebih cepat akan mendapatkan kursi. Sayangnya kondisi tersebut langka. Apalagi Yanti pikir seluruhnya hampir pasti menuju Jakarta. Yanti ogah sebetulnya mengalami hal seperti ini. Ia tahu perjuangan naik kereta api komuter begitu menguras keringat karena harus berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya dalam satu gerbong, meski Yanti sendiri pernah mendapati gerbong khusus perempuan, tetapi kondisinya serupa.


"Rame banget Mba", ucap driver ojol memerhatikan Yanti membuka helm. Rambut sebahu Yanti tergerai. Dibetulkannya masker yang melorot. Pikir si driver ojol, rugi sekali kalau mendapatkan penumpang seperti Yanti hanya sekali.


"Jelaslah..."
"Kan tiap hari kerja emang begini terus"


"Hati-hati ya Mba"


"Terima kasih ya Bang"


"Iya, sama-sama"


Yanti lalu meninggalkan driver ojol yang masih mengamatinya dari belakang. Langkah Yanti coba dikebutkan entah kenapa berat. Sebab, Ia terlalu malas berangkat kerja dengan situasi seperti ini. Tentunya lebih lama, karena turun dari kereta, ia masih harus menumpang ojol lagi. Uang pun mau tak mau harus dikeluarkan. Andai saja Heri, suaminya, mau mengantar pastinya Yanti tidak perlu ke stasiun segala. Apa boleh buat suaminya sedang dalam kondisi tidak fit. Yanti memaklumi. Setelah men-tab kartu komuter yang nyaris tak lama digunakan, tetapi masih memiliki saldo yang cukup, Yanti bergerak menuju jembatan penghubung ke peron 3 di mana kereta komuter tujuan tanah abang akan tiba.


Melihat penumpang di seberang, Yanti menghela nafas. Kalau boleh ia hari ini izin tidak ke kantor, mungkin ia akan memilih hal tersebut. Tiba-tiba ponsel Yanti berbunyi. Yanti terpaksa mengangkat karena orang kantor.


"Halo Mba, Lu dimana?"


"Masih di jalan, Won"
"Kenapa?"


"Enggak, gue mau nanya aja"
"Suami lu ada minjem duit sama pinjeman online gak?"


"Enggak ada tuh"
"Kenapa?"


"Oh gitu, Mmm.. iya, soalnya kemarin ada yang telepon gua"
"Itu orangnya minta tolong gue kasih tahu ke suami lu supaya bayarnya segera, karena udah lewat limit sehari"
"Nama suami lu Heri Prasetyo kan?"


Mendengarkan nama orang yang dimaksud rekan kerjanya, Yanti betul-betul semakin malas berangkat kerja. Belum sampai kantor, Ia mulai pusing.
"Iya betul"
"Terus ada ngomong apa lagi gak, Won, orangnya?"


"Gak ada sih"
"Yaudah nunggu lu sampai aja Mba"
"Biar lebih enakan, gue juga mau nyarep dulu nih"


"Ok tengkyu ya..."
"Nanti kita omongin di kantor aja"


Kin yang bisa dilakukan oleh Yanti adalah berusaha menenangkan diri. Barangkali itu bukan suaminya yang dimaksud Wowon, salah satu rekan kerja. Yanti masih membangun pikiran positif. Di sisi lain, entah kenapa soal pinjeman online ini bertepatan dengan idenya yang pengen Heri jadi driver ojol saja untuk sementara waktu selagi mendapatkan pekerjaan baru, ketimbang mendekam terlalu lama di rumah tak ngapa-ngapain.



=¥=


Awan kelabu mengepung siang hari di sekitar rumah Lukman. Beberapa tetangga berhamburan keluar untuk mengambil jemuran-jemuran yang sudah kering. Pak Rohimin menyaksikan hal itu. Dia menganggap remeh karena yang mengaut jemuran pakaiannya sendiri adalah Nia. Lama tidur usai bercinta dengan Nia, Pak Rohimin duduk di perkarangan depan rumah. Biasanya Ia akan duduk di halaman belakang, tetapi sejak beradu kelamin dengan Nia di pagi hari, Pak Rohimin jadi serba bersalah. Dia jadi banyak menghindar.


"Beh! Ngapain ngelamun?!", tegur seorang pemuda laki-laki yang baru mengeluarkan sepeda dari rumahnya.


"Hoi! Sep! Mau kemana?!"


"Ke Warung Beh, beli kopi"


"Sebentar dulu sini!", Pak Rohimin menghampiri Asep yang berusia 20 tahun. Ia adalah anak tetangga depan rumah Lukman.


"Ada apa? Lagi buru-buru nih", sahut Asep menggowes sepeda ke arah depan pagar rumah Lukman. Kendati Pak Rohimin bukan orang Betawi, Asep kerap menyapanya Babeh. Lagipula Ayahnya Asep cukup dikenal dekat dengan Pak Rohimin.


Ketika Asep mendekat, Pak Rohimin tak keluar rumah, hanya sampai depan pagar, ia menyadari karena sudah tak mengenakan masker dan juga sedang sakit.


"Lu ada kegiatan apa ndak di sini?"
"Gue bosen di rumah aja"


"Haduh si Babeh, hari gini pengen keluar rumah"
"Lagi banyak CORONA"
"Kalau kena bagaimana?"


"Ah cuman CORONA kecil itu"
"Zaman dulu namanya masuk angin"
"Akal-akalan orang sekarang ajah"
"Bapak Lu ada?"


"Gak ada Beh, kerja, kenapa?"


"Terus yang ada di rumah siapa?"


"Ibu, kebetulan lagi WFH"
"Sekarang di rumah", jawab Asep, Ibunya adalah seorang pegawai di sebuah museum.


"Yaudah lu lanjut lagi deh sana"
"Salam aja untuk bapak lu"


"Siap Beh!"
"Oh iya Beh, kapan waktu ada yang mau aku omongin sama Babeh"


"Apaan?"
"Nanti aja, gak sekarang"


"Gak usah ngomong lu, kalau cuman mau bilang begitu", kesal Pak Rohimin dibikin penasaran.


"Hahaha, maaf Beh"
"Oh iya, Babeh ada whatsapp gak?"


"Ada, apa yang mau lu omongin sih?"
"Ngomong aja langsung"


"Lewat Whatsapp aja Beh, enaknya cerita lewat whatsapp"
"Tapi beneran babeh punya whatsapp kan?"


"Punya! Berapa nomor lu, biar gue catet", Pak Rohimin tergesa-gesa masuk ke dalam, hendak mengambil ponselnya di kamar.


"Beh! Beh! Nomor Babeh aja sini!"


"Berapa nomor lu?!" Beberapa menit kemudian, Pak Rohimin keluar seraya memegang dan menatap layar ponselnya.


"Hengg 0.. 8.. 5.. 7...*****"


"Oke"
"nomornya udah kesave"
"Ini bukan whatsapp luh?", Pak Rohimin menunjukkan kontak whatsapp yang muncul kemudian dinamai Asep.


"Nah Iya betul, Beh!"
"Oke deh, aku jalan dulu ya Beh"
"Keburu hujan"


"Iya, ya, hati-hati luh"


Pak Rohimin mengenal Ayah Asep, Sujiman (45 tahun) adalah seorang pegawai TATA USAHA di sebuah sekolah negeri di Jakarta. Sementara istrinya, Ningsih (40 tahun) adalah pegawai museum di Jakarta. Sejauh mengenal Sujiman, Pak Rohimin jarang melihat istri Sujiman, kecuali ketika pulang pengajian atau pulang mengajar. Apalagi perempuan itu berhijab. Jadi Pak Rohimin yang sudah tua berlumur dosa ini segan dengan keluarga Sujiman yang dikenal alim. Sujiman kendati lebih muda dari Pak Rohimin sering mengingatkan Pak Rohimin yang entah mengakunya kejawen agar lebih giat beribadah. Apalagi usia Pak Rohimin tak lagi muda.


Di luar itu, Pak Rohimin dengan Sujiman berkawan sebatas obrolan kala bosan di dalam rumah. Mereka kadang menaruh kursi kayu panjang di depan rumah Pak Sujiman saat malam hari. Obrolan yang biasanya berdua tak lama kemudian didatangi oleh warga-warga lain yang sedang nyari angin lalu turut bergabung sambil ngopi bareng dan menyantap suguhan cemilan yang kadang disediakan oleh istri Sujiman.



=¥=


"Yang sabar ya Mba"
"Lo coba tanya aja baik-baik sama suami lo pas di rumah"
"Kalo lewat hape ujung-ujungnya nanti ribut menurut gue"


"Iya, Won, makasih ya"


"No problem"
"Eh iya, Lu dicariin tuh sama Mas Marno"
"Haha"


"Ah elu gak pernah selesai ledekkin gua sama itu orang"


"Biar lu gak betah kerja di sini, nemenin gue keluar"
"Haha"


"Parah bercandaannya!"


Ketika sedang mengobrol dengan Wowon rekan kerjanya di kantor, Yanti menerima chat whatsapp dari suaminya, Heri.





Menerima chat tersebut tentu Yanti makin gontok dan jengkel dengan Heri, mengingat ternyata suaminya memiliki hutang yang jumlahnya lumayan besar, yakni 3 juta rupiah. Yanti tidak habis pikir bagaimana Heri akan membayar bunga beserta pelunasannya. Terlebih, dia sudah lewat jatuh tempo satu hari. Jelas-jelas Yanti tidak akan mau membayar hutang Heri karena dia sendiri tidak diberi tahu Heri berniat berhutang dan untuk apa hutang itu. Cemasnya, Heri sekarang menganggur. Alhasil, chat whatsapp suaminya didiamkan saja.


Di kantor, Yanti memiliki beberapa rekan kerja di antaranya adalah Wowon. Di samping itu ada juga Mas Marno (46 tahun), beliau adalah Manajer Personalia di tempat Yanti bekerja. Laki-laki yang sudah beranak tiga dan beristri satu itu ialah yang kerap membuat Yanti risih, karena suka ngajak Yanti agar mau pulang bareng. Bisa dibilang genit, hampir ke semua perempuan yang bekerja. Hanya saja, ke Yanti cukup agresif. Apabila ada kesempatan, Lelaki berambut belah tengah dan kumis itu pasti mencari Yanti untuk dibujuk makan siang bersama. Biasanya Yanti mengajak Wowon atau salah satu rekan kerja agar mau menemaninya. Untuk hal semacam ini, Yanti tidak pernah cerita ke Heri. Kalaupun diceritakan, Heri akan merespon dengan tawa karena ia tahu istrinya acap digoda para lelaki hidung belang.


"Mba! Mba Yanti! Gue disuruh manggil lu!", dengan langkah tergopoh-gopoh, rekan kerja Yanti, Lani, datang memberikan kabar.


"Siapa yang manggil?"


"Biasa, siapa lagi kalau bukan Mas Marno"
"Kan dia fans berat lu mba"
"Hehe..."


"Bilang aja gue lagi sibuk"


"Tapi kali ini beda Mba"
"Kayaknya dia lagi marah betul"


"Ah seriusan?"


"Beneran deh Mba, coba temuin aja daripada lu diteriakkin atau disamperin ke sini"


"Duh, ada apa ya? Perasaan gue gak ada buat masalah"
"Oke deh gue ke sana"


Dengan perasaan was-was dan menganggap dirinya sedang apes hari ini, Yanti mengunjungi Mas Marno di ruangannya yang terletak di gedung yang berbeda. Selagi menuju ke sana, Yanti membetulkan blazernya, memastikan tidak ada yang mencolok, termasuk mengundang perhatian mata nakal Mas Marno. Yanti tahu betul selain genit, Manajer personalia di kantornya itu punya otak mesum. Jadi mau tak mau Yanti harus pandai menjaga penampilan diri.


"Permisi..."


"Iya, masuk!", Mas Marno mempersilakan suara perempuan yang baru saja mengetuk pintu ruangannya.


"Iya, tadi Mas katanya manggil saya ya?"


"Wah wah tumbenan Yantiku sayang ke ruanganku"
"Iya aku suruh Lani manggil kamu"
"Hayuk duduk dulu di sini", Mas Marno demi Yanti rela beranjak dari kursinya seakan menyambut seorang gadis pujaan.


"Mmm... Ada apa ya Mas?"


"Kamu udah makan belum?"
"Kita makan siang bareng yuk"
"Tapi kali ini kamu jangan ajak temen kamu"


"Loh kok begitu?"


Tiba-tiba Mas Marno merendahkan suaranya, "kamu mau orang sekantor pada tahu suamimu punya hutang sama pinjaman online?"


"Hah? Kok Mas bisa tahu?"


"Iya tahu dong, gimana gak tahu orang yang nagih aja nelepon aku"


"Haduh! Mas Heri!!!!!!!!!", batin Yanti bergumam. Emosi berkobar. Kesabaran Yanti habis, ingin sekali ia memarahi suaminya sepulang kantor.


"Maaf Ya Mas, saya juga kurang tahu soal itu"
"Habis suami saya gak ada omongan juga"
"Sekali lagi mohon maaf"


"Kamu tahu gak, yang nagih itu lebih galak dari aku"
"Padahal, aku bukan orang yang mereka tagih!"
"Haduh!", Mas Marno mengeraskan suaranya di hadapan Yanti, seolah-olah dia betul-betul tidak terima dilibatkan dalam persoalan orang lain. Lebih-lebih ia kena semprot penagih hutang.


"Saya bener-bener minta maaf, Mas"
"Nanti pulang ke rumah, saya pasti langsung kasih tahu suami saya"


"Yasudah, kamu gak perlu cemas bagaimana-bagaimana"
"Kalau kamu mau dimaafkan, kali ini kamu temani saya makan siang berdua saja, bagaimana?"
"Mau kan?", rayu Mas Marno.


Yanti kali ini tidak bisa berbuat apa-apa. Ulah suaminya membikin ia terjebak. Bagi Yanti untuk sekali ini saja tak mengapa ia menemani Mas Marno makan siang berdua. Lagipula Ia juga belum makan sekaligus sebagai permintaan maaf darinya.


"Baik Mas, Saya mau"


"Hahaha"
"Akhirnya, aku bisa makan berdua sama sayangku ini"
"Mmmuaaaahhh", Mas Marno secepat kilat merampas tangan telapak tangan Yanti, lalu menciumnya. Yanti jelas kaget. Ia lengah dan tidak berkutik walaupun ketika menarik tangan, Mas Marno sudah terlanjur berhasil mencium.


"Ish Mas, jangan gitu!"
"Kalo gitu, mending saya gak jadi ikut"


"Uduh uduh uduh"
"Maaf sayang, maaf yaa"
"Aku soalnya terlanjur seneng"
"Hehe..."


BeRsAmBuNg


















































































































Lanjut hu
Titip kopi
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd