Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Naked Mom Sekuel (no sara)

Part 3

Setelah merawat luka anjing itu, Ning memberikan sepiring daging ayam basi yang tak sempat ia makan. Anjing itu lalu memakanya dengan lahap. Melihat anjing itu makan mengingatkanya pada anjing kesayanganya dulu sewaktu masih belia. Dulu ayahnya menaimai anjing itu Toba, sesuai nama danau terkenal di Sumatra, tapi sayangnya anjing itu kemudian mati di usia Ning yang ke-9 tahun, dan ayah Ning menanam bibit jambu biji bangkok di dekat kuburannya. setelah menikah Ning tak lagi ingin mengingat tentang kabar keluarga atau jambu bangkok milik ayahnya.

Menjelang tengah hari Ning berangkat ke tegal setelah memasak dan sarapan. Ning memotongi tanaman-tanaman tinggi di sekitar kolam ikan miliknya, lalu memasukanya kedalam karung. Ia juga mencabuti tanaman gulma yang tumbuh di sekitar sayuranya. Ning mengelap dahinya dengan handuk kecil, pelumas putih yang mengotori bulu jembutnya juga telah mengering, dan memancarkan kemerlip warna-warni di kala terkena sinar matahari yang menembus rindang dedaunan pepohonan. Kini bulu jembutnya terlihat kusut karena pelumasnya sendiri, Ning tidak peduli. Pakan I Sampi yang ia peroleh masih sedikit, ia perlu ke ladang jauh untuk mendapatan lebih banyak rumput untuk ternaknya. Ning yakin tidak banyak orang yang ke sana di saat tengah hari, dan ia pun berangkat dengan membawa keranjang berisi karung dan meneteng sebuah sabit.

Kini Ning sudah berada cukup jauh dari rumahnya. Ia berjalan was-was menyusuri hutan kecil dengan sebuah keranjang berisi karung, arit, dan caping di kepala untuk menutupinya dari panas matahari. Kemelut akar besar muncul di mana-mana, dan permukaan medan jalan ditumbuhi lelumutan licin. Ia tidak bisa terus mengawasi sekitar tanpa memperhatikan kondisi jalan yang bisa membuat jatuh bagi yang tidak waspada. Beberapa kali sandalnya tergelincir dari pijakan, ia harus hati-hati dalam melangkah. Dan sampailah akhirnya Ning tiba di lembah yang bebas dari pepohanan, dan banyak di tumbuhi rumput gajah dan ilalang yang beraneka macam tingginya.

“Cari pakan Ning?”

Ning terkesiap mendengar suara tak berwujud, ia menoleh ke samping kiri. Di sana berdiri Kompiang Bagia membawa sekarung penuh rumput sambil cengengesan melihat janda bugil di hadapannya.

“Ya ampun Pekak! Ngagetin aja. Saya kira tadi orang lain. Iya ini lagi cari makan buat sapi.”

“Duh kasihannya lihat janda cantik panas-panasan. Sini saya bantuin!”

“Gak usah, Ning bisa sendiri.”

“Gak usah nolak tawaran orang tua, gak baik nduk.” Si kakek mengambil arit yang tergeletak di bawah pohon, lalu mulai memotong rumput-rumput gajah di sana. Ning kemudian ikut mengumpulkan rumput di samping si kakek. Meski sudah berumur panjang Kopiang Bagia masih cukup bertenaga mengurusi ternak kambing-kambingnya, kecepatan ayunan tangannya adalah buktinya.

“Hei nduk.” Ucap si kakek tiba-tiba ditengah membabati rumput.

“Apa?”

“Mau ndak kamu saya kasih tau sebuah ajian yang cocok buat kamu?” Ning menghentikan ayunan aritnya.

“Ajian apa pekak? Jangan yang aneh-aneh, Ning gak ada dendam sama siapa-siapa.” Kopiang Bagia terkenal di seluruh desa sebagai seorang klenik, dukun, dan ahli magis. Banyak rumor mengenai dirinya, dan kebanyakan bukan rumor yang enak di dengar. Salah satu yang populer adalah bahwa Kopiang Bagia itu berkawan dengan iblis gunung. Karena dari itu kakek-kakek ini kurang begitu disukai di kalangan warga desa. Jarang ada yang mau mengundangnya di acara-acara seperti pernikahan, atau kumpulan-kumpulan acara sesepuh desa.

"Belum apa-apa udah buruk sangka dulu kamu."

"Ya udah, ajian apa sih pekak?"

“Kamu pengen gak bisa telanjang terus tanpa harus di jahati sama orang lain. Jadi orang lain melihat kamu seperti biasa-biasa saja meski dalam keadaan telanjang.”

Kedua pupil mata Ning sontak membesar. Emang ada ajian semacam itu? Ning cukup tertarik dengan tawaran si kakek. Membayangkanya saja sudah membuat meki Ning berair.

“Gimana nduk? Udah mulai basah?”

“Emang bisa?”

“Bisa, tapi kamu mau gak?” Tanya Kopiang Bagia sekali lagi. Meski sudah pernah di saksikan oleh Kopiang persetubuhannya dengan anak kandungnya sendiri, Ning masih menyimpan malu jika ditanyai pertanyaan semacam itu.

“Mau.” Ning mengangguk malu-malu, dan si kakek membalasnya dengan senyuman lebar penuh kepuasan. Celananya mengembung karena ereksi. Dan tiba-tiba, tangan kanan Kopiang Bagia hinggap di memek si janda secepat kancil. Ning yang tidak siap, meng-aih dan menjatuhkan arit yang dipenggangnya. Jari tunjuk dan tengah si kakek mengorek-orek dinding memek Ning tanpa persetujuan dari empunya.

“Sudah basah nduk. Seneng ya bisa telanjang terus kayak hewan?” Kopiang Bagia menarik tanganya dan memperlihatkannya pada Ning kedua jari basahnya. Ning tidak menjawab, ia hanya meresponya dengan anggukan kecil.

“Besok malam kamu datang ke rumah pekak. Jangan pake jarik, harus telanjang ya nduk.”

“Tapi rumah pekak kan di ujung, masa iya saya harus jalan telanjang lewat perumahan warga.”

“Hush! Gak boleh protes, kecuali kalo kamu gak mau, nanti suatu saat kamu bisa ketahuan warga, terus kena marah, diarak keliling kampung, dituduhi yang gak-gak, terus di-“

“Iya! Iya! Nanti saya ke rumah pekak telanjang.” Ucap Ning dengan nada kesal.

“Sip! Saya tunggu ya.Tapi tetep ada biayanya. Pekak juga butuh uang soalnya hehehe.”

“Pekak minta berapa?”

“Untuk masalah seperti ini ya… 3 juta cukup lah.”

“Deal 3 juta ya pekak.” Cuma 3 juta, masih sedikitlah dibandingkan dengan kiriman Dewandaru per-dua minggu.

“Sip. Ini jari saya kotor. Di emut dong biar bersih takut licin waktu pegang arit, kan bahaya hahahahaha.” Kopiang Bagia mengacukan tanganya dekat hidung Ning dengan kurang ajar. Dan tanpa rasa jijik Ning mengulum jari-jari si kakek satu persatu.

“Gurih?” Goda si kakek.

“Gurih.” Balas Ning.



***​



Ning meninggalkan lembah ilalang itu dengan sekeranjang berisi karung penuh rumput. Entah mengapa kali ini ia sangat bersemangat menantikan malam yang dijanjikan. Benarkah ia sungguh-sungguh ingin telanjang selamanya? begitulah isi hatinya selama perjalanan balik ke rumah. Tiga juta bukanlah apa-apa jika dibandingkan hasil yang ia peroleh, dan semoga saja Kopiang Bagia tidak berbohong.

Setibanya di rumah Ning memasukan semua rumput yang diperolehnya ke dalam kandang pakan I Sampi. Tubuh Ning apek, dan lengket, tapi Ning belum ingin pergi mandi. Ia ingin berbaring di atas lantai merenungi perkataan Kopiang Bagia. Jam dinding tua menunjukan pukul 1 kurang 15 menit. Ning masturbasi di sana sampai terengah-engah. Ia membayangkan apa yang kelak bakal dilakukannya jika apa yang di ucapkan Kopiang Bagia itu kenyataan. Bisakah ia ke pasar bugil, bugil di jalan, bugil di lapangan, bugil di balai desa, bugil di mana-mana. “Uh-ah, ah, ah, ah”

“Aaaaahhh iyah aku mau, aku mau pekak, aku mauuhh.” Ning melenguh.

“Mana? mana? Mana sayur?” Ning bangkit dengan kalap, meraih mentimun segar dari atas meja makan dan cepat-cepat memasukannya ke dalam memek. Dengan gerakan cepat timun itu keluar masuk tanpa dengan lancar karena memang sudah basah oleh lendir.

Pinggul Ning naik turun, menghentak-hentak lantai. Tangan kirinya memainkan payudaranya bergantian. Kadang ia melakukannya denga mencengkram, dan kadang memelintir.

“Gataaalll!” Muka Ning meringis. Otaknya mengarungi lautan imaji armoral. “Oh iyah itu!” Sebesit ide muncul di kepalanya. Ning mengambil wakul atau boboko berisi nasi putih yang baru tadi pagi ia masak. Ditaruhnya boboko itu di lantai, lalu ia mengakang di atasnya.

“Iyaahh! Ayooo dikit lagi! Aauuuhhh Aaarrrgghhh!!” Ning mengerang. Tangan kanannya sibuk dengan timun, dan tangan kirinya mengusap-usap itilnya yang bengkak dengan kasar. Tak lama kemudian orgasme yang dinanti-nantikan itu mulai sampai. Ning menggigit ke dua putingnya kuat-kuat, lalu menarik itilnya dengan kasar dan…

‘Crit, crit, crit.. Pesss!!’ Ciaran cintanya jatuh menyirami nasi putih di bawahnya, sesuai keinginan si janda binal itu.

Kedua paha Ning gemetar, wajahnya memerah, dan rambutnya yang kusut menutupi sebagiannya.

‘Plup.’ Timun itu jatuh tepat di atas boboko berisi nasi yang sudah kena ciprat cairan kotor Ning.

“Duh nasinya jadi kotor kan. Gimana ya rasanya? Hihihi. Makan lagi ah.” Ucap Ning.

‘Tuk! Tuk! Tuk!’ Aduh! Siapa sih ketuk-ketuk pintu depan?

Baru saja menaruh boboko nasi kembali ke meja makan, dari arah depan sudah muncul suara. Ia lalu teringat dengan pesanannya pada bu Made tadi pagi. Satu orgasme belum cukup untuk meredakan birahi Ning yang masih tinggi, ia ingin menemui bu Made dengan timun terpendam di dalam lubang cintanya kali ini, pastinya jauh lebih menantang dari tadi pagi. Ning mengambil menimun itu lalu memasukannya ke dalam liang memeknya yang basah. “Eeeuuhhh.” Rasa ngilu dan kesemutan di memek membuatnya meringis, tapi itu tidak cukup memadamkan bara amoral dalam diri jiwa lontenya. Didorongnya timun itu perlahan agar tidak nampak oleh bu Made nantinya.

“Huff.” Timun sepanjang 13 senti itu akhirnya tertanam seluruhnya.

“Bu Dewandaru!? Bu!?” Sebuah suara dari balik pintu depan. Sabar bu Made, saya denger kok, ini saya sudah siap hihihi.

Ning berjalan ke pintu depan melenggak-lenggok kegelian karena sehabis orgasme, dan sensasi mengganjal di area selangkangannya, tidak memungkinkan dirinya berjalan dengan normal. Ia harus menjaga agar timun itu tidak jatuh, ia belum siap dikatai wanita murahan, atau janda gatal. Ning perlahan membuka pintu depan rumahnya pelan-pelan, barangkali yang mengetuk pintu itu bukan bu Made.

Kepala Ning yang terlebih dahulu terlihat dan seluruh tubuhnya tertutupi dari balik pintu. Di depan pintu sana bu Made berdiri dengan membawa tas belanja besar dengan motif kotak-kotaknya.

“Ini bu Dewandaru pesenannya. Gula sama the aja kan?”

“Iya bu.” Ning membuka pintu depan rumahnya lebar-lebar, sehingga tampaklah tubuh bugilnya di hadapan bu Made untuk yang kedua kalinya.”Makasih loh.”

“Loh bu Dewandaru kok masih telanjang aja?” Ucap bu Made sambil melotot, melihat tubuh Ning.

“Oh iya maaf bu, ini tadi mau mandi, habis cari rumput soalnya. Uhtt!”

Timun yang tertanam Ning hampir merosot keluar dari dalam memeknya karena sudah terlalu basah dan licin. Ning menahan timun itu dengan otot dinding vaginanya kuat-kuat.

“Ya kan bisa pake jarik dulu toh bu. Untung yang ketuk pintu saya, kalo bukan gimana.” Bu Made menyerahkan sekantong pelastik bewarna merah berisi gula dan dua pack the celup pada Ning. Sebenarnya jika bu Made jeli melihat selangkangan Ning yang ditumbuhi jembut lebat, ia bisa melihat sedikit ujung timun yang mengintip di belakang helaian-helaian keriting bulu-bulu yang sedikit panjang itu, tapi bu Made menjaga pandangannya agar tetap tertuju pada wajah Ning meski sebenarnya ia juga sedikit tumbuh rasa penasaran terhadap tubuh janda montok di hadapannya.

“Wrauf!” Suara gonggongan mengagetkan bu Made.

“Aih! Suara apa itu?”

“Oh itu cuma anjing kok bu.”

“Eh? Bu Dewandaru punya anjing ya? Perasaan gak pernah ngerawat anjing.” Bu Made menjulurkan kepalanya ke dalam rumah dan mendapati seekor anjing yang diperban di pojok ruangan.

“Baru tadi pagi nemu di jalan. Kasihan soalnya, jadi saya rawat aja.” Ning menghampiri anjing itu. Ia taruh kantong kresek di dekatnya lalu jongkok di sana membelakangi bu Made. Anjing itu mengeram sambil mendongakkan kepalnya ketika Ning mengelus-elusnya. Perhatian Ning yang teralihkan pada anjing membuat siaganya kendor dan tanpa sengaja timun yang ada di lubangnya merosot keluar sedikit, mungkin sekitar 5 senti dari memeknya.

“Ehitt!” Ning terperanjat menyesali tindakannya.

“Udah dikasih nama bu Dewandaru?”

“Be-belum he-hehehe.” Ucap Ning kikuk, mengira ia sudah tertangkap basah. Meski sebenarnya bagian bokong Ning tertutupi oleh kantong pelastik yang menghalangi pandangan bu Made ke area pantatnya.

“Kok bu Dewandaru jawabnya aneh?”

Eh!? Reaksinya biasa aja, belum ketahuan ya? Batin Ning, kemudian ia menoleh melihat bu Made. Kedua mata mereka saling bertemu. “Hmm?” Reaksi bu Made heran. Ning kemudian mendapati kantong plastik di belakangnya, tepat di belakang pantatnya. Oh selamat, ada kantung plastik ternyata, batinnya lega.

“Oh gak papa kok bu Made. Aahhh…” Diam-diam Ning memasukan lagi timun itu perlahan masuk ke dalam lubang peranakannya sampai mentok tak bersisa.

“Bu? Ibu Dewandaru gak papa?”

Ning dengan sigap berdiri membuat bu Made terheran-heran karena gerakannya yang aneh. “Gak papa kok bu, dari tadi tanya terus emang ada yang aneh sama saya? Hihihi.” Jawab Ning sambil mengapit kedua pahanya erat-erat. Ada cairan yang merembes di area selangkangannya.

“Itu ada agak basah sedikit anu-nya.” Ucap bu Made tidak nyaman.

“Oh ini!” Balas Ning pura-pura santai biarpun hatinya berdebar-debar karena malu dan horni. Ning mengelap cairan pelumasnya sendiri dengan tangannya. “Ini air kencing kok bu Made. Tadi saya baru kencing di kamar mandi, biasalah kalo jongkok suka keluar sedikit, artinya tadi ngejannya belum maksimal, jadi air kencingnya gak keluar semua.” Ning menunujukan telapak tangannya pada bu Made. Cairan itu menetes panjang ke bawah seperti putih telur, seperti lendir.

Bu Made mencoba meyakinkan dirinya pada ucapan Ning, meskipun ia sendiri tau jika air kencing seharusnya tidak mengelewer panjang jatuh ke bawah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, bu Made sedikit takut pada Ning, sosok yang sudah lama menjadi tetangganya. Ia kenal baik suaminya, dan anaknya, tapi kali ini Ning agak terlihat berbeda dari yang pernah ia kenal dulu, seolah janda yang berada di hadapanya adalah sosok yang sama sekali berbeda dari biasanya.

“Ya udah bu Dewandaru saya pamit dulu, kasihan kalo anak bungsu saya pulang sekolah gak ada makanan nanti. Sama ini kembaliannya.” Bu Made menyerahkan uang kembaliannya kepada Ning.

“Loh kok udah mau cepet-cepet aja, gak mampir dulu.”

“Gak usah bu, makasih.” Bu Made berbalik disusul Ning yang berjalan dan berdiri di ambang pintu. Ning terus mengawasi punggung bu Made yang menjauh sambil diam-diam melebarkan kedua kakinya. Timun hijau segar itu perlahan menampakan wujudnya, senti demi senti. Kumohon jangan berbalik dulu bu Made yang baik. Sekitar 5 sentimeter batang timun sudah muncul ke permukaan. Ning berniat mendorong timun yang mengganjal itu jatuh sebelum bu Made lenyap dari pandangannya. Keseluruhan panjang timun itu sekitar 13 sentimeter sehingga bisa dikatakan Ning sudah mendorong hampir separuh timun, ia hanya perlu mengejan sedikit lagi agar timunnya jatuh. 8 senti sudah tampak ke permukaan. 10, 11, 12 senti…

“Engghh!” Dan akhirnya. ‘Duk!’ timun itu terjatuh ke lantai di sertai bercak bulatan-bulatan tetes lendir di sana-sini. tapi hal tak terduga terjadi, Ning tak menyadari jika suara erangannya mungkin agak terlalu keras sehingga membuat bu Made yang sudah sampai di pagar bunga puringnya menoleh ke belakang dengan tiba-tiba. Ning benar-benar mati kutu dalam keadaan posisi kakinya terbuka lebar. Apakah dia melihat timunnya jatuh? Apakah dia melihatnya? Apakah bu Made melihatku melakukannya? Bu Made hanya tersenyum sopan melihat Ning dan bergegas pergi menghilang di ujung pandang. Semoga tidak.



To be continued
 
Terakhir diubah:
Part 4



Sebuah timun basah tergeletak di depan pintu rumah, dan Ning dengan nafas satu-satu tengah masturbasi sambil duduk bersandar pada mulut pintu, membelakangi area luar, sehingga apabila dilihat dari jalan akan tampak setengah dari punggung dan paha kanan Ning. Tiga jari kanannya keluar masuk dengan telaten, diikuti suara kecipak benda lunak yang terdengar jelas, tidak kalah dengan kerasnya suara desahan Ning yang syahdu. Pintu dibiarkannya terbuka, sebagai kejutan bagi siapa saja yang lewat dan memergokinya, lagi pula setelah ia mendapat ajian yang diberikan oleh Kopiang Bagia, maka orang lain akan melihatnya biasa-biasa saja. Itu tidak terlalu menyenangkan pikir Ning. Ada kepuasan tersendiri ketika Ning melihat reaksi terkejut orang lain saat melihat penampilannya, misalnya reaksi bu Made dan bocah-bocah sekolah itu, dibandingkan dengan hanya masturbasi di luar ruangan tanpa ada yang menggubrisnya. Sekarang Ning tak mau ambil pusing, ia harus fokus pada puncak orgasmenya, atau ini tidak akan berakhir, ia belum mandi dan tubuhnya terasa gatal setelah terkena rumput gajah.

‘Cek cek cek cek cek cek cek cek,’ bunyi memek Ning yang tengah digaruk. “Ah ah ah ieehhh ah ah…Dewandaru ibumu mau bugil terus nak.”

Lendir putih Ning menggenang di area selangkangannya, begitu kental dan keruh. Lubang Ning sudah merekah indah, basah dan siap untuk dipenetrasi, namun naas, pemeran pejantannya tidak ada di sana, alhasil si janda hanya bisa melenguh oleh goyangan jarinya sendiri sambil mendamba sebatang kontol yang tidak ada. Tak lama kemudian puncak birahi yang dinanti-nanti itu mulai terasa, itil bengkaknya yang mengatakan demikian, dan itilnya tak pernah sekalipun berbohong pada Ning. Itil bengkaknya adalah salah satu organnya yang paling jujur. Bila Ning terangsang, benda mungil itu akan menunjukan reaksi. Begitu juga ketika ia akan orgasme, itilnya akan mengeras bak penis laki-laki, dan bergetar ketika gelombang orgasme menerpa.

“Ahhh iyaah iyaah iyahh bentar lagi, bentar lagiiihhh AAaaHHH! Crut! Crut! crut!” lubang kencingnya menyembur 2 meter jauhnya sebanyak 3 kali, dan tubuh Ning bergetar tak terkendali, seluruh sendi-sendi terasa lepas dari tempatnya, ia menjadi ringan, kedua paha Ning yang mengakang mengepak-ngepak seperti sayap burung yang hendak terbang, dan memang benar Ning tengah terbang cukup tinggi sekarang, matanya yang memutih adalah buktinya. Beginilah seharusnya hidup. Di kala Ning tengah menikmati sisa-sisa orgasmenya, tiga bocah laki-laki yang pernah ditemuinya tadi pagi sedang berjalan mendekati rumahnya.

“Lihat tuh Gung, bibiknya gak pake baju lagi.”

Mereka bertiga bisa melihat separuh tubuh Ning yang duduk membelakangi membelakangi mereka, dan tentunya dalam kondisi telanjang bulat. Ini adalah kali pertamanya bagi mereka tertarik dengan seorang wanita dewasa, dan mereka dituntun oleh insting yang sama, naluri hewani, puberitas remaja.

“Eh gini aja, kita ke depan pintu sambil ngendap-ngendap pelan biar kita tau bibiknya lagi ngapain.” Si poni batok memberikan masukan pada yang lain.

“Ho’oh.” Ucap si kurus setuju, tapi muncul penolakan dari si gemuk, “Gak sopan tau datang ke rumah orang kayak gitu.”

“Ah kau ini selalu aja sok-sokan Ndra. Kalo gak mau kau pulang duluan aja sana, ditunggu mami mu tuh, disuruh makan, disuruh tidur siang hihihi.” Ledek si poni batok, dan si bocah gemuk tidak menyukainya. Ia benci dilihat oleh teman-temannya sebagai anak cengeng, penakut, dan canggungan, tapi tetap saja mengendap-ngendap ke rumah orang lain itu seharusnya tidak boleh.

“Apa salahnya tidur siang, emang kalian gak pernah.”

“Gak pernah, kalo kita biasanya main ke sungai sehabis sekolah, ya gak Gung?”

“Gak biasanya juga sih, ngapain siang-siang di sungai.”

“Ah kau ini gak mau support temen.” Ucap si poni batok

“Haha tipu kan!” Si gemuk menuding si poni batok.

“Aku ke sungai kalo air nya mulai agak dangkal aja, buat mancing, kalo aliranya deras ya gak lah. Gak ada ikan kalo lagi deras.” Jelas si kurus.

“Hih! Kata siapa? Om-ku aja pergi ke sungai kok waktu airnya deras.” Terang si poni batok.

“Om kau ke sana buat berak, bukan buat mancing, dia orang mana ada wc di rumahnya hahahaha.” Balas si kurus diikuti gelak tawa si gemuk.

“Ehh! Om ku kalau mau berak, dia datang ke rumahku ya.” Bantah si poni batok. “Om kau berak di rumahmu kalo air sungainya lagi cetek aja. Aku loh pernah lihat sendiri om kau itu berak di sungai ditemenin pacarnya hahahaha.” Balas si kurus di ikuti gelak tawa si gemuk yang menjadi-jadi.

Mereka tidak sadar jika Ning sudah berdiri di terasnya, telanjang bulat, memperhatikan percakapan bocah-bocah itu sambil menggenggam sebatang timun. Mereka tampak sibuk sendiri dengan topik mereka, dan sepertinya mereka memang tidak mengetahi Ning tengah memperhatikanya. Mumpung mereka belum menyadari keberadaanya, Ning berinisiatif untuk memasukan lagi timun yang dipegangnya ke dalam memeknya. Lalu dengan cepat Ning segera memasukan buah sayuran itu ke dalam lubang miawnya yang basah, ia kemudian didorongnya timun itu sampai amblas tak bersisa tertutup oleh bulu-bulu jembut.

“Aahh..” Ning benar-benar menikmati proses dan momennya. Kalo ketauan polisi bisa gawat aku.

Mereka tampak masih belum selesai dengan obrolanya, lalu si rambut poni mulai meninggikan intonasi suaranya seperti orang marah. Dasar anak-anak, mereka ngobrolin apa sih? Batin Ning penasaran. Kemudian muncul sebuah ide dalam benaknya, sebuah ide mesum, dan gila.

“Sudah! Sudah! Kalian bahas apa sih kok seru banget aku perhatiin dari tadi.” Ucap Ning dari terasnya, dan rencana mereka untuk datang mengendap-ngendap itupun gagal. Para bocah itu ketahuan dan mendadak menjadi patung, melihat penampilan Ning yang mengkilat karena keringat dan cairan aneh yang terdapat pada selangkangan, cairan kental itu jelas terlihat memanjang dari arah selangkangan sampai ke betis. Dan jembut Ning begitu rimbun, seolah sudah menjadi sempak alami yang menutupi memeknya dari pandangan orang lain.

“Baru pulang sekolah ya?” Mereka diam.

“Mau lihat anjing ya?” Mereka diam.

“Udah pada makan belum?” Mereka diam.

“Kalo belum sini masuk dulu, bibik ada masakan enak di rumah.” Ning masuk ke dalam rumah diikuti ketiga bocah yang bak kena sihir. Mereka cepat-cepat melepas sepatu, dan saat pertama kali masuk ke rumah Ning, pandangan bocah-bocah langsung tertuju pada lantai. Ada genangan air di bagian mulut pintu, tempat di mana Ning duduk tadi, kemudian ada juga bekas percikan air di lantai di beberapa bagian. Pikiran mereka menyelidik jauh, kemungkinan apa yang telah terjadi sehinggal lantainya menjadi seperti itu. Apakah itu air kencing si anjing, atau air lain, begitulah isi benak mereka. Mereka bertiga benar-benaar berada dalam sebuah pemikiran yang senada.

“Kalo pengen lihat anjingnya itu ada di pojokan.” Ning menunjuk ke arah pojok ruangan dan ketiga bocah itu menoleh ke kiri bebarengan mengikuti panduan jari telunjuk Ning. “Tapi jangan diganggu dulu, masih tidur soalnya.” Ning meletakkan jari telunjuknya yang basah di depan mulutnya, gestur untuk menyuruh orang diam. “Duduk sana, biar bibik ambilkan nasi sama sayurnya di dapur.” Dan ketiganya pun duduk di ruang tamu. Si poni batok dan si kurus mengambil tempat berdampingan, dan si gemuk duduk berhadapan dengan kedua temannya, di antara si gemuk dengan kedua temanya terdapat sebuah meja kayu besar yang memisahkannya.

Pandangan mereka bertiga kemudian tertuju pada tubuh telanjang Ning, terutama bagian bokongnya saat ia pergi ke dapur. Dua bulatan daging itu naik turun secara bergantian di setiap langkahnya, dan yang lebih mengagetkan mereka lagi, di sana terdapat cairan kental putih menjijikan yang rata di permukaan kulit bokongnya, sehingga tampaklah bokong Ning basah oleh cairan cintanya sendiri, dan ketiga bocah itu melihatnya. Tidak ada dari mereka yang cukup berani membuka suara, tidak sampai Ning benar-benar telah menghilang dari pandangan mereka. Mereka memiliki alasan yang sama, yakni; tidak ingin kena usir karena perilaku kurang ajar pada tuan rumah.

“Wih gila ibunya, masih telanjang aja sejak tadi pagi. Kau pasti lagi ngacengkan Ndra?” Goda si poni batok pada si gemuk.

“Gak lah, mana ada aku ngaceng, biasa aja kok.” Ucapnya bohong. Sejatinya ketiga bocah itu memang tengah dilanda birahi, dan tentunya keperjakaan mereka juga ikut mengeras, hanya saja tidak ada yang mau mengakuinya.

“Itu air apaan sih deket pintu?” Si kurus mengalihkan pembicaraan kedua temannya.

“Gak tau juga, kentel, kayak air kotor gitu, aku gak sengaja nginjek tadi.” Si poni batok mengusap-usap telapak kaki kirinya ke lantai, di barengi tawa si gendut. “Sukurin, kena air kencing anjing.”

“Emang itu air kencing anjing?” Tanya si kurus.

“Gak tau juga sih hehehe.”

“Tadi bibiknya duduk di situ kan? Terus waktu ke dapur tadi bokongnya-“ Si kurus menghentikan ucapannya karena kemunculan suara wanita yang tiba-tiba menyahut. “Bokong apa?” Ucap Ning yang mendadak muncul dengan membawa boboko penuh nasi di tangan kanan, dan di tangan kiri ada empat piring, lalu di atas piring-piring ada mangkok berisi sayur kacang panjang. Si kurus sedikit ketakutan sewaktu omongannya didengar oleh pemilik rumah. Tak pantas baginya untuk membahas hal yang tabu sedangkan si pemilik rumah sudah berbaik hati mau menyajikan makanan kepada mereka. Oleh karena itu si kurus menundukan wajahnya karena malu.

Ning sangat menyukai reaksi anak itu, Ning memergoki si kurus tengah melecehkannya dan kini ia tampak ketakutan karena ulahnya sendiri. Hati Ning sungguh berbunga-bunga dibuatnya. Suka sama bokongku ya? Pengen lihat isinya? Hihihi. Jangan dulu ya, kamu belum gede gitu.

“Udah makan dulu, ngobrolnya nanti aja.”

Ketiga bocah itu dengan segan mengambil piring masing, lalu mengambil nasi di boboko. Nafas Ning menjadi berat menyaksikan ketiganya mengambil makanan itu, nasinya sudah terkena kucuran air cintanya sendiri, dan kini ketiga bocah itu akan memakannya tanpa mengetahui kebenarnnya. Ia harus menahan suara desahan keluar dari mulutnya, bayangan Ning menerawang jauh. Tidak ada yang tau pikiran mesum seperti apa yang tengah dipikirkan si janda itu kecuali dia sendiri. Ketika si anak gemuk mengambil sayuran, ia bertanya kepada Ning. “Bibik gak ikut makan?”

“Eh? Iya ini bibik juga udah laper.” Ning segera mengambil nasi lalu kemudia sayuran kacang panjang. Dan saat meletakan pantatnya di kursi, timun yang berada di dalam memeknya pun ikut terdorong mendesak rahimnya, Uhh timunnya. “Makan yang lahap ya, bibik bikinnya pake kasih sayang loh itu hihihi.” Mereka tidak mengerti apa maksudnya, dan mereka membalasnya dengan senyuman. Ning duduk bersama mereka.

“Eh bibik belum kenalan loh, ini namanya siapa aja?”

“Saya Indra bik.” Si gemuk yang pertama kali menyahut semangat.

“Saya Odi.” Si poni batok memperkenalkan diri.

“Saya Agung.” Yang terkhir si kurus, dan yang paling tinggi dibandingkan keduanya.

“Indra, Agung, sama Odi ya? Kalian udah pada kelas berapa?”

“Baru kelas 2 smp bik.” Jawab Indra.

“Ohh masih smp toh. Makanya makan yang lahap mumpung masih masa pertumbuhan biar cepet gede.” Ning mendapat ide baru, mumpung makanan yang dimakan ke tiga bocah itu belum habis. “Oh iya, ibu tadi beli kerupuk. Bentar ya.” Ning bangkit, meninggalkan cairan lendir di tempat duduknya. Odi lah yang pertama kali mengetahuinya. Setelah Ning meninggalkan ruang tamu, Odi mengkode teman-temannya untuk memberi tahu temuannya.

“Shuttt!”

“Apaan?” Agung yang duduk bersebelahan dengannya merespon penasaran.

Odi membalasnya dengan kode gerakan kepla sambil matanya melirik ke arah tempat duduk Ning, lalu keduanya pun cekikikan. Indra pun juga ikut penasaran, ia yang duduk sendirian menggeser duduknya untuk melihat kursi yang diduduki Ning. Ada cairan keruh berwarna keputihan di sana. Tak berselang lama Ning kembali ke ruang tamu membawa sebungkus kerupuk kotak-kotak dan sebatang timun. Setelah Ning duduk di tempat duduknya yang becek, ia segera merobek pelastik kerupuk itu dan meletkannya di atas meja.

“Itu kerupuknya diambil.” Perintahnya, dan ketiga bocah itu mengambilnya. Mereka makan dengan lahap, tanpa rasa jijik. Ning juga menelan makanan yang ia tahu sudah terkontaminasi oleh cairanya tapi itu tak cukup sampai disitu. “Ada yang mau timun gak? Sehat loh, biar gak kena darah tinggi.” Timun yang belum dicuci setelah beberapa detik yang lalu di bersemayam di dalam memeknya.

“Saya mau bik.” Jawab Indra dengan mulutnya yang penuh, kemudian diikuti Agung, “Saya juga.”

“Odi?” Tawar Ning.

“Saya gak bik,” dibarengi senyuman. Odi hanya mengambil kerupuk dan sayuranya sebagai lauk.

Ning kemudia memotong timun itu kecil-kecil, dan membaginya kepada Indra dan Agung, sisanya Ning juga ikut memakan timunya. Mereka berempat makan dengan cukup lahap, kecuali Odi. Ning benar-benar tengah terasang di setiap gigita, bahkan Ning sendiri awalnya ragu-ragu untuk menggigit irisan timunnya sendiri, tapi setelah melihat bagaimana kedua anak begitu lahap memakannya tanpa komplain, Ning pun akhirnya mengunyahnya juga, agak terasa asin, tapi masih bisa dimakan. Tak lama kemudian, mereka sudah menghabiskan makanan mereka di piring. Ning melirik ke bawah, kursi yang diduduki Ning juga sangat basah dan lengket, ditambah mereka bocah-bocah itu juga curi-curi pandang melihat putingnya yang mengacung tegang. Ingin sekali ia mencubit kedua pentil nakalnya itu keras-keras. Itu adalah kenikmatan yang menyiksa, tapi Ning harus menahanya sampai bocah-bocah itu pulang ke rumah mereka.

“Gimana masakan bibik, enak gak, jawab yang jujur?”

“Enak bik.” Ketiga bocah itu mengangguk.

“Kalo mau nambah-nambah aja, nasinya masih banyak kok.”

“Enggak bik kami udah kenyang kok.” Jawab Agung.

“Udah taruh aja di meja gak papa, biar bibik yang nyuci.” Ning menumpuk piring-piring itu. Ia tidak percaya ketiga bocah itu benar-benar telah memakan cairannya sendiri.

“Bik itu si Anjing ngompol ya, kok ada genangan air di pintu?” Tanya Odi. Ning mendongakan kepalanya tinggi, sebab ia tidak bisa melihat karena terhalang kursi yang diduduki Indra. Itu adalah genangan yang muncul akibat aktifitasnya mengobok-obok memek tadi.

“Iya, kayaknya anjingnya tadi ngompol, nakal banget ya hihihi.” Iya akulah anjing itu, anjing suka ngompol tapi kalian suka kan dengan ompol ku?

“Eh, kalian pasti haus ya belum minum, bentar! bibik ambilin ya.” Ning bangkit dari tempat duduknya yang basah, dan cepat-cepat ke dapur. Ketiga mata bocah itu tertuju pada tubuh semok Ning yang terus-terusan menggoda junior mereka, lalu mata mereka beralih ke tempat duduk Ning. Memikirkan omongan Ning yang barusan membuat ketiganya ragu-ragu. Mereka sudah pernah melihat bagaimana Ning buang air kecil sewaktu mereka pergi ke sekolah, dan mereka tak henti-henti membicarakannya di kelas. Odi memberanikan diri mendekatkan kepalanya ke kursi basah itu, lalu hidungnya mengendus-endus lendir itu. Odi mencium bau seperti asam namun sedikit amis, dan kadang beraroma seperti besi.

“Eh Odi ngapain?” Tanya Agung.

“Penasaran.” Jawab Odi setengah berbisik.

“Udah ah, gak enak tau sama yang punya rumah.” Imbuh Indra.

“Maaf, lama ya?” Suara Ning terdengar di lorong. Odi bergegas mengatur posisinya, kemudian Ning muncul membawa sebuah ceret dan gelas. “Nih minum dulu, biar gak seret.”

Ketiga bocah itu kemudian minum bergantian karena Ning cuma membawa satu gelas. Indra lah yang bersendawa paling keras setelah minum, kemudian ditegur oleh Agung, dan Ning hanya tertawa saja melihat mereka.

“Gak papa. Sendawa itu artinya tamunya puas dengan makanan bibik.”

Ning bertanya kepada mereka tentang sekolahnya, tentang mata pelajarannya, materi yang mereka sukai dan yang mereka benci, lalu tentang kedua gadis yang bersama mereka saat berangkat sekolah, dan kegiatan mereka setelah sekolah. Hubungan antara Ning dengan ketiga bocah itu mulai semakin akrab, di tahap sampai ketiga bocah itu memuji-muji kecantikan Ning, dan alhasil Ning dibuat tersipu malu dan horni. Di usianya yang terlampau dewasa, Ning tidak percaya jika ia masih memiliki daya tarik.

“Terus bik, ini kok bibik telanjang mulu semenjak tadi, kira-kira kenapa ya bik?” Tanya Odi diikuti kedua temannya dengan wajah penasaran dan suara “Hmm hmm,” mengsuport pertanyaan Odi.

Aduhh gimana jawabnya ya? “Jadi gini, bibik itu udah biasa kalo di rumah telanjang, namanya juga janda kan? Semua janda itu kayak gitu kalo lagi hidup sendirian dan itu normal. Baru tau ya?” Ungkap Ning dusta.

“Oh gitu. Saya baru tahu.” Balas Odi, diikuti kedua kawannya, “saya juga.”

“Bapak kalian masih ada?”

“Masih.” Jawab mereka serempak.

“Kalo masih ada ibu kalian gak akan telanjang seperti bibik Ning, ini udah kayak tradisi biasa di keluarga bibik.” Ucap Ning. “Hayo, mau tanya apalagi kalian?”

“Sana tanya, katanya kau penasaran.” Indra mulai memprovokasi Odi.

“Eh he, ini bik kita tadi tuh penasaran jadi-“ Odi belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Indra mendadak meralat ucapan Odi. “Dia aja kok bik yang penasaran, saya sih enggak.” Ning tau Indra hanya ingin cari aman di balik kata-katanya.

“Berisiklah kau ini!”

“Iya Odi mau tanya apa?”

“Soal itu, apa eehh…” Ia tidak melanjutkan kalimatnya lalu menunjuk sesuatu sambil malu-malu grogi., Ning tau kemana arah telunjuk itu, ke selangkangannya. Dan Ning memberikan balasan yang tidak terduga.

“Soal ini!?” Ning menunjuk sendiri selangkangannya yang tertutupi bulu jembut lebat. Ia tidak mengira bocah seperti itu berani bertanya mengenai hal jorok semacam itu kepadanya.

“I-itu ada kayak basah-basahnya.” Ucap Odi ragu, sedangkan dua orang sisanya hanya menjatuhkan rahang mendengar apa yang ditanyakan oleh kawannya.

“Oh ini!” Ning bangkit dari kursinya dan berdiri. Ia menunjuk area basah yang barusan diduduknya. “Ini kah!?” tanyanya meyakinkan.

“I-iya.”

“Ini tuh namanya lendir vagina, bisa kalo perempuan kena penyakitan ya gitu.” Terangnya.

“Penyakit apa ya bik?”

“Penyakit gatel” Gatel, pengen dikawini. “Jadi gitu, kalo gak digaruk ya berair. Itu normal ya, ibu kalian pun juga pernah kena penyakit kayak bibik. Tentu yang garukin pasti bapak kalian dong, tapi karena bibik gak punya suami jadi bibik garuk sendiri.” Ya ampun ngomong apa Ning kamu barusan, kamu mengajarkan ilmu kebodohan pada anak-anak polos itu. “Tuh bulu-bulunya juga basah.” Ning menyibakan bulu jembutnya yang rindang lalu menampakan bagian dalam memeknya di depan ketiga bocah itu. Ada lendir putih yang menggumpal di bagian bawah vaginanya dan menjadi semakin banyak seiring meningkatnya birahi Ning, sontak para bocah itu melotot. Tapi janda binal itu belum selsai dengan pertunjukannya, ia mengambil sendok di atas piring lalu mengorek gumpalan lendir putih itu dengan sendoknya, dan menunjukanya pada ketiga bocah itu. Ia kemudian mengangkat sendok itu sejajar dengan kepalanya, lalu membuka mulutnya lebar-lebar dan mulai menuangkan apa yang ada di sendok, kemudian lendir itu jatuh ke dalam mulutnya. Ia juga tidak lupa memberikan suara nikmat saat menelanya. “Eeemmm, sehat.” Aksi gilanya itu sukses membuat ketiga bocah itu melongo, mereka bahkan tidak sadar jika celana yang dipaiknya mengembung. Ning mengemut sendok itu seperti anak kecil dengan batang permennya.

“Gak jijik Bik?” Komentar Indra.

“Hiih belum tau ya, air kencing itu yang gak sehat, kalo lendir vagina itu malah menyehatkan. Jadi gak gampang sakit-sakitan. Dulu anak saya aja kalo jatuh sering bibik olesi lendir ini, dan lukanya pun cepat sembuh.” Ketiga bocah itu mangguk-mangguk mendengar ilmu sesat si janda binal itu. “Eh itu udah hampir jam setengah empat ya?” Ning melihat jam dindingnya. “Kalian gak di cariin apa, sama orang tua kalian?”

“Gung udah lambat kita. Udah yok balik dulu.” Odi mengingatkan Agung.

“Eh! iyae.” Balas agung, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Ketiga bocah itu pun pamit pada Ning dan pergi. Ning mengamati mereka dan mengingat-ingat nama-nama mereka, barusan tadi sangat menyenangkan. Tapi Ning juga merasa sedikit bersalah pada anak-anak itu. Aku meracuni mereka dengan makanan kotor, memberitahu pengetahuan yang keliru tentng nilai-nilai norma, tidak ada yang namanya janda harus telanjang, lalu obat palsu itu, cairan vagina tidak mengobati apapun, justru itu adalah cairan kotor yang seharusnya dibersihkan. Selanjutnya apa? Aku belum mandi.







***​



Seorang laki-laki paruh baya tinggi dengan rambut hitam bergaya kucir kuda berjalan mantap di bandar udara internasional Bali. Ia mengenakan kaos polos berwarna hitam, kedua lengannya berbulu, besar, dan salah satunya menyeret koper bagasi beroda. Pria itu ternyata baru tiba di indonesia setelah penerbangannya dari Amerika yang memakan waktu satu hari lamanya. Namanya adalah Rendra Moltisanti, teman-temannya akrab memanggilnya ‘Little Molly’ karena kata ‘Rendra’ sulit untuk dilafalkan bagi lidah orang amerika. Rendra adalah seorang blesteran indo-amerika, lahir dari seorang bos mafia, kemudian tumbuh sebagai seorang berandalan, lintah darat, dan anggota organisasi kriminal keluarga Dante di bawah komando ayahnya yang beroprasi di Newark, New Jersey. Kedatangannya ke Bali adalah karena ia mendapat kabar dari perawat pribadi ibunya, bahwa kesehatan sang ibu mulai kritis di kampung. Rendra berharap kedatangannya bisa disambut baik oleh ibunya, karena terakhir kali ia meninggalkan rumah untuk ikut ayahnya ke Amerika, ibunya benar-benar murka luar biasa. Kala itu ibunya berteriak memaki-maki Rendra sambil menggebrak meja. Rendra tau bahwa perceraiannya dengan ayah telah membuat mentalnya hancur luluh, dan ketika Rendra mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin melanjutkan kuliah ke Amerika agar bisa bertemu dengan ayah, di situlah amarahnya meletus. Ia tak bisa melupakan kenangan buruk itu, suara meja yang dipukul, suara piring pecah, suara teriakan, dan tamparan ibunya, semuanya. 2 tahun lalu, di hari-hari terakhir ayahnya di rumah sakit karena kanker paru-paru, Rendra dengan telaten menjenguk ayahnya yang terbaring lemah di ranjangnya, dan di setiap itu juga ayahnya menyarankan kepada Rendra untuk menjenguk ibunya di bali, dan mulai untuk berdamai, tapi Rendra hanya membalasnya dengan anggukan tak bermakna. Mulanya Rendra yakin bahwa ayahnya adalah orang yang kuat, karena ia disegani oleh para kapten dan keluarga mafia lain, tidak ada yang tidak mengenal ayahnya. Ia bernama Jonathan Moltisanti pemimpin keluarga mafia Dante yang sudah menjalankan bisnis manajemen pengelola sampah, dan klub-klub malam. Jon adalah seorang ‘Don’ yang dicintai, dan orang biasa memanggilnya ‘Big Jon’. Penyakit kanker yang dideritanya hanya akan menjadi angin lalu untuk pria kuat itu pikir Rendra, tapi takdir berkata lain. Kini ia benar-benar telah tiada.

Di mata Rendra, ayahnya adalah satu-satunya orang yang bisa dipanggil pria sejati, orang hebat, orang tangguh, dan sebagianya. Ratusan orang bergantung padanya, dan dari bisnis orang-orang itu, Jon mendapatkan sebagian dari hasil bisnis mereka. Hal itulah yang tidak dipahami pihak berwenang, Jon menawarkan perlindungan dan bantuan kepada siapa saja yang tidak bisa pergi ke kantor polisi. Lalu Jon dan kroninya muncul seperti departemen kepolisian bagi orang bijak, dan dari situlah Big Jon menjadi pria yang disukai oleh semua orang. Akan tetapi sehebat apapun seseorang di masa hidupnya, ketika penyakit ganas sudah menjangkitinya, maka ia tidak ada bedanya dengan bayi tikus yang baru lahir ke dunia, rapuh dan tak berdaya, begitu lemah seolah-olah tiupan angin bisa saja menerbangkan nyawanya kapan pun. Rendra ingat ada puluhan mobil membawa bunga-bunga ke pemakaman ayahnya, dan memang begitulah seharusnya. Dia adalah pria yang dicintai, dan ketika ia meninggal, puluhan orang juga ikut berduka. Kini kepemimpinan keluarga Dante telah beralih ke pamannya, Robert Moltisanti. Pamannya juga mengusulkan Rendra untuk sementara pulang ke bali setelah pertikaiannya dengan Vito sebulan yang lalu.

Selama 2 tahun ini setelah kematian ayahnya, Rendra selalu memikirkan kampung halamannya di bali, namun sejujurnya ia tidak ingin pergi. Ia benci dengan ibunya, tapi karena wasiat dari almarhum sang ayah di hari-hari terakhirnya, lalu perseteruannya dengan keluarga mafia lain, ditambah kabar dari perawat pribadi ibunya, mau tidak mau ia harus pulang kembali ke Indonesia.

“Where are you going mister?” Salah seorang sopir taksi menawarkan tumpangan pada Rendra dalam bahasa inggris dengan aksen ke-indo-indoan, itu membuat telinga Rendra geli. Rupanya gen ayah lebih kuat dibandingkan gen ibunya, sampe-sampe warga lokal mengira dia orang barat tulen. Barangkali karena hidungnya terlalu besar dan mancung bak paruh beo, atau karena tinggi badanya yang 182 sentimeterlah penyebabnya. Atau mungkin keduanya.

“Pake Bahasa Indonesia aja pak, saya paham kok.”



To be continued.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd