Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Naked Mom Sekuel (no sara)

diablosamudra

Semprot Baru
Daftar
17 Jul 2022
Post
45
Like diterima
154
Bimabet
NAKED MOM SEKUEL

Sudah 3 bulan Dewandaru meninggalkan bali, selama itu juga Ning merindukan putra semata wayangnya. Semenjak dewandaru melantiknya menjadi hewan peliharaan, Ning sama sekali tak pernah mengenakan secarik pakaian pun di dalam rumah maupun di luar rumah, kecuali kalo pergi ke tempat-tempat yang ramai; seperti ke pasar untuk membeli kebutuhan pokok, dan saat menghadiri upacara-upacara adat desa.
Ketelanjangannya adalah satu-satunya kesenangan bagi Ning yang sudah lama menjanda. Ning sangat bersyukur pada dewa-dewa karena telah dikaruniai anak seperti Dewandaru, meskipun sosoknya tidak ada di sampingnya, hasil jerih payahnya selama ini sudah terbayar lunas.
Putra semata wayangnya kini telah menjadi orang betulan, di pelayaran, di laut lepas. Hampir tiap dua minggu sekali Ning mendapat kiriman uang dari putranya itu, dan dalam jumlah nominal yang sangat banyak.

Pernah di suatu malam Dewandaru menelpon Ning, dan menyarankan untuk ibunya agar tidak perlu berjualan lagi ke pasar. Kala itu Ning tengah bertelanjang bulat seperti biasanya dan bercengkrama dengan seonggok jagung yang baru dibelinya tadi pagi, dan seperti malam dan hari yang sudah-sudah, mulut cabul Ning tak pernah lupa menyebut-nyebut nama anaknya.

“Dewandaru anak ibuk yang paling ganteng… yah begitu.. terush.. kamu hebat banget nak!”
bunyi kecipak dari kelamin Ning beriringan dengan suara desahan nakal Ning. Tubuh Ning menggeliat bak ular yang kesakitan. Bulir keringat di mana-mana, wajah nih menyala merah, air liur mengalir dari mulut Ning bak seekor anjing tapi tangan kiri ning yang memegang jagung masih terus semangat menumbuk-numbuk lubang mekinya yang sudah babak belur mengeluarkan cairan putih dan buih gelembung kecil-kecil membasahi tikar di bawahnya. Sedangkan si tangan kanan bergerilya meremas dan mencubiti puting payudaranya yang mengeras maksimal,
menambahkan sensasi seksual dalam diri Ning.

Dari yang mulanya suara desahan, Ning mulai menyalak-nyalak seperti orang kerasukan. Rupanya orgasm Ning yang pertama hampir sampai. Rambutnya berantakan, menutupi wajah meranya. Dan ketika puncak kenikmatan itu hampir diraihnya, suara HP yang tergeletak di sampingya berdering nyaring.

“kringgg...kringgg…!” Seketika itu wajah Dewandaru muncul dalam imajinya. “Dewandaru!” puncak oragasm yang sudah Ning nantikan itu pun sirna. Ning segera menyautnya Hp-nya itu.

“Hah hah halo Nak?” Suara Ning yang masih ngos-ngosan bisa didengar oleh Dewandaru di
seberang sana. ”Ibuk lagi asik mainan ya?” Tanya anaknya. Meski sudah terbiasa bertelanjang di depan anaknya, Ning masih menyimpan gengsi pada anaknya bila dia ketahuan mainan kelamin sendirian.

“Hus! Kamu ini sembarangan aja sama ibu. Baru juga nelpon udah tanya yang aneh-aneh kamu ini. Kamu gimana kabarnya di sana, betah gak kerja di kapal?” Ning mengalihkan pertanyaan anaknya.

“Yah betah aja sih bu. Tapi ya masih enak di rumah, bareng ibuk hihihi”

“Syukurlah kalo kamu emang udah betah. Jangan lupa kalo kamu udah nemu jodoh cepet-cepet dikenalin ke ibuk.”
“Mau dapat jodoh gimana buk, orang isinya orang eropa semua, mana cocok sama Ndaru.”
“Iya, iya. Ini malam-malam kenapa tiba-tiba nelpon?”
“Bukan apa-apa sih buk. Ndaru cuma kepikiran kalo baiknya ibuk gak perlu lagi jualan ke pasar. Kan Ndaru udah bisa ngasilin uang buat ibuk di rumah, jadi gak perlu capek-capek lagi.” Ning hendak menangis menangis mendengarnya tapi Ia menahanya. Ning merasa dirinya adalah manusia paling beruntung di dunia ini karena kepedulian Dewandaru pada ibunya yang tak pernah bisa
memberikan kehidupan yang layak pada putranya. Semua kesuksesan yang berhasil dicapai anaknya tidak lain adalah murni usaha anaknya sendiri, pikir Ning. Dan uang yang ditransfer Dewandaru ke rekeningnya, sejatinya membuat Ning merasa semakin malu sekaligus bangga.
“Kalo butuh apa-apa, tinggal bilang ke Ndaru aja. Dan satu lagi bu-ini ak-u ad…” Eh ini kenapa kok tiba-tiba jadi putus-putus begini?
“Nak ini putus-putus! Waduh sinyalnya jelek.” “Ha-lo buk? Sua…Ke-d-ran ak?” “Bentar nak! Ibuk ke depan rumah dulu, gak ada sinyal di sini!”Ning segera bangkit dan berlari ke depan rumah tanpa memperdulikan keadaanya yang masih bertelanjang total, bahkan barangkali ia juga tak ingat ada sebuah jagung yang masih tertancap di mekinya. Mungkin karena kebiasaanya yang sering bertelanjang bulat telah menumpulkan kepekaan Ning pada rasa malu yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia yang mengaku beradab.

Di luar, Ning mengacungkan HP-nya tinggi-tinggi ke langit. “Gimana buk? Sudah jelas belum suaranya?” tanya Dewandaru penasaran. “Sudah-sudah, ini udah mulai jelas. Maklum namanya juga desa. Kamu gimana di sana sehat gak?”
Jalan desa begitu sepi di saat malam, tiang-tiang lampu kayu di sisi jalan tidak terlalu terang memang supaya lebih irit, karena memang sengaja dipasang oleh warga sekitar yang ingin jalan di depan rumahnya terang, dan mereka ini bukan orang-orang berada. Kebetulan rumah Ning memang dari dulu tidak pernah memasang lampu di jalan, dan cuma pasang satu lampu kuning dengan daya 3 watt di bagian teras rumah aja. Ning melihat batu tua besar yang sebagian tertanam di dalam tanah dekat pagar rumahnya.

“Sehat buk. Kalo ibuk sekarang gimana? Masih sering main sama I Sampi gak? Hihihi…” Tanya Dewandaru sambil sedikit cekikikan.
“Hih kamu ini mulai lagi ngomong yang nggak-nggak. Kenapa, anak ibu penasaran ya? Ahh!” Ning terlonjak kaget ada sesuatu yang menumbuk mulut rahimnya. Ternyata jagung yang tertancap di mekinya merengsek masuk semakin dalam sewaktu ia duduk di atas batu itu. Ning meraba jagung
itu yang kini tinggal terlihat pangkalnya saja. Aduh ini gimana cara ngeluarinya ya?

“Ibu kenapa kok tiba-tiba ndesah gitu? Iiihhh jangan-jangan ibu lagi bugil di teras ya?” Tanya Ndaru penasaran.
“Kan kata kamu, ibu gak boleh pakai pakaian. Lagian jalan desa juga sepi di jam-jam sekarang.”
Pengakuannya pada putranya membuatnya malu, sekaligus membangkitkan lagi keinginannya untuk masturbasi. Dia menyadari keadaanya yang tengah bugil di halaman rumah membuat mekinya yang menyimpan sebuah jagung cenat-cenut menuntut untuk dipuaskan.

“Pasti sambil mainan itu. Pantesan suaranya agak aneh. Tapi Ndaru juga pernah sih ketemu yang nudis-nudis sewaktu kerja di sini.”
“Anak ibu pake bahasa aneh-aneh, ibu mana tau istilah ‘nudis-nudis’ begituan.”
“Ituloh buk, orang yang hobinya gak pake baju, sukanya telanjang terus kayak ibuk.” Oh jadi
nudis-nudis itu artinya orang yg gak pake baju.
“Anak ibu yang suka pikiran jorok ini pasti seneng dong bisa ketemu mereka yang ‘nudis-nudis’ itu isshhh.” Ning menggoda anaknya sambil mengusap-usap itilnya yang bengkak. Ia membayangkan Dewandaru dikelilingi wanita-wanita tanpa busana. Ning tak bisa
membayangkan bagaimana ekspresi wajah anaknya yang lugu di tengah situasi semacam itu. Ning mulai menggoyang-goyangkan pantatnya, membiarkan pangkal jagung bergesekan dengan permukaan batu sehingga memunculkan kembali birahi seksual yang sebelumnya hilang, dan cairan cinta pun mulai membasahi batu tua itu.

“Mereka cantik sih tapi… Gak ah! Buat Ndaru mereka gak menarik, gak kayak ibuk.”
“Gombal ah.”
“Buk, kelak Ndaru bakal beli rumah sendiri, rumah yang lebih bagus agar nanti-…” Ning mulai tak fokus dengan percakapan putranya.
“Iyah.. iya nak.”
“…-jadi nantinya Ndaru itu bisa diriin toko atau restoran biar gak perlu kerja jauh-jauh lagi.”
“Ooohhh… ishhh.” Gatel banget, Batin Ning.
“Ya udah lah buk, Ndaru pamit dulu ya.”
“Eh! Kok udahan?” Ning menghentikan aktifitasnya sejenak.
“Habisnya ibuk kayaknya gak fokus waktu diajak ngomong serius.”
“Ibuk denger kok.”
“Tadi Ndaru bilang apaan coba?” Ning tidak mengingat jelas apa yang diucapkan anaknya
barusan. Aduh apa ya?
“Eee Tadi Ndaru bilang pengen bikin restoran kan di sana.” Ucap Ning menerka-nerka.
“Di sana, di mana?”
“Di tempat kamu kerja kan?”
“Hiiii salah. Tuh kan bener, Ibuk gak dengerin Ndaru.”
“Iya deh ibuk minta maaf, tadi kamu bilang apa sih nak?”
“Gini loh buk, kalo Ndaru balik terus beli rumah di Kuta, nanti ibu pindah ikut Ndaru mau gak?
Dari pada rumah yang sekarang kan udah lama, dan kalo dibandingin dengan rumah di kota-kota kan jauh lebih enak. Gimana?”
Pertanyaan Ndaru memunculkan dilema dalam di hati Ning. Ia bukan tipe orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, apalagi daerah perkotaan. Tempatnya adalah di desa dengan segala kesederhanaanya, dengan orang-orangnya, dengan rumah ini, rumah hasil banting tulang I koplag mantan suaminya. Namun di samping itu, ia juga tidak mau hidup terpisah dengan anak satu-satunya. Ini pertanyaan berat.
“Jadi rencananya nanti disana Ndaru bisa buka restoran atau buka toko buat usaha. Kan di kota posisinya rame.”
“Ooh gitu, ya nanti lihat aja dulu. Kamu fokus kerja dulu aja, agar nanti apa yang kamu pengen bisa tercapai.”
“Iya udah lah buk. Kayaknya ibuk dah pengen banget nuntasin hajatnya. Ndaru jadi kasihan.
Kapan-kapan lagi ya buk.” Ia ketahuan mianan meki sama anaknya, Ning malu untuk membalas. Ia memilih diam, dan telpon pun terputus. Kini di dalam pikiran Ning. Apakah dia mampu bergaul dengan orang-orang kota, dan kelak apa yang akan ia lakukan di sana. Sejatinya berjualan dan mencari pakan ternak adalah keseharianya. Kegiatan itulah yang mengisi kekosonganya semenjak ditinggal mati I Koplag. Kegiatan itu ibarat seperti bernafas baginya. Dan lagi, Ning tidak tau apa-apa tentang perkotaan.

Itil bengkak itupun di usap-usap lagi. Dan pinggulnya pun mulai ia gerakan lagi seperti tadi. “Uuuhhhh…” Hanya ini lah satu-satunya cara untuk mengobati kegalauan yang menjangkiti. Dirabanya jagung yang telah tertanam di dalam meki. Kuku-kukunya mencoba mencengkram sebisa mungkin biji-biji jagung yang terlihat, agar bisa di keluarkan. Meski mulanya licin namun dengan sedikit kegigihan dan dorongan dari otot dinding kelaminya, akhirnya jagung itu pun bisa ia keluarkan. Dimasukannya lagi jagung itu ke dalam lubang peranakanya tapi tidak sampai
mentok seperti sebelumnya, ia menggunakan jangung itu sebagai alat untuk masturbasi, untuk menggaruk lubang mekinya yang gatal.

“Ah ah ah ah..” Wajah Ning yang merah mengiba menghadap langit malam. Sensasi bertelanjang di luar rumah, dan rasa takut ketahuan membuat birahinya makin menjadi-jadi. Kedua payudaranya yang bergoyang-goyang hebat ia cubit dan tarik dengan kasar satu persatu secara bergantian. Ning menyukai rasa ngilu pada payudara dan putingnya. Ia tidak sadar jika payudaranya semakin besar dan melar tiap harinya semenjak menjadi binatang peliharaan anaknya karena kebiasaanya.
Batu besar tempatnya berbaring menjadi semakin basah oleh lendir dan keringat. Mulut Ning yang ngos-ngosan melepaskan karbondioksida ke udara, menciptakan kepulan putih embun tanpa henti. Udara dingin malam tak bisa mencengkram tubuh panas Ning di tengah adrenalinnya yang membara. “Aaaaarrgghh! gatal banget!” pikirannya mulai tumpul, dan rasa was-wasnya perlahan memudar. Ia jadi tak segan lagi menjerit-jerit di pinggir pagar yang tingginya hanya sebatas paha.
Semakin lama ia merancap, semakin cepat pula ia mengocok jagung itu keluar masuk ke lubang kawinnya.”Aaaahhh yaah yah yah! Bentar lagi! Sampe!” setelah dibuat tanggung oleh anaknya, ia tidak boleh gagal meraih orgasme kali ini. Dan tiba-tiba dari kejauhan suara asing tertangkap oleh gendang telinga Ning.
“Ting ting ting!” Gawat, ada kang Komang! Dia adalah penjual nasi goreng keliling yang biasa
keliling desa sewaktu malam. Ning yang panik segera berusaha bangkit dari batu besar, lalu
menjatuhkan tubuhnya ke rumput.
“Ting ting ting ting!” Suara kentingan mangkok penjual nasi goreng itu kian terdengar. Tangan
kiri Ning tidak bisa berhenti mengocok jagung di selangkanganya, bahkan makin dekat suara
gerobak itu makin cepat gerakan tangannya. Ning mati-matian menahan desahan. “Iiisshhhhh!! Ah! Ah! Ah!” namun tetap saja sebagian desahannya keluar tanpa bisa dikontrolnya.
Kang Komang yang sudah sampai di depan rumah Ning pun mendengar suara desahannya. “Halo pak!? Buk!? Kayaknya tadi denger suara orang. Apa anjing kali ya?” Kang Komang bicara sendiri, sedangkan Ning tengah berbaring mengakang di balik pagar. Ia mengarahkan payudara kirinya
kemulut, lalu menggigit puting kirinya kuat-kuat agar tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, dan tangan kirinya mengocok jagung di selangkanganya dengan kecepatan yang luar biasa. Ning sudah tidak mampu menahanya. Rasa takut ketahuan Kang Mamang, rasa geli rumput yang
menusuk di bagian belakang tubuhnya, rasa perih pada payudaranya, rasa ngilu pada kelamin dan gatal pada itilnya,serta sensasi bugil di luar rumah, menciptakan euforia yang meledak-ledak di dalam otaknya. Birahinya mengatakan dia harus mencapai puncak sekarang juga. Inilah momennya.

“Eeerrrggghhhhhh! Aurgh! Eerggghhh! AAAaargggghhh!” Batang jagung yang bersemayam di lubang cintanya terpental ke tembok dibarengi dengan muncratan lendir.
Ning tidak peduli lagi dengan situasinya, yang ia perlu pedulikan sekarang adalah menikmati
orgasm yang tengah melandanya. Tubuhnya kejang-kejang seperti orang yang tengah sekarat karena keracunan.

“Aduuuh kok ngeri gini. Pak? Buk?” Suara Kang Komang pelan dan ragu. Kang Komang merinding mendapati suara tak bertuan. Ia tidak tau jika di dekatnya ada seorang janda yang sedang dilanda orgasme. “Argh! Augh! Augh! Hiih hiiih!” Ning menyalak bak kesetanan, menggosok-gosok klentitnya dengan telapak tangan, dan mulutnya masih tidak mau lepas dari puting kirinya.

“Udah ah!” Kang Komang bergegas pergi dari sana, mendorong gerobaknya dengan langkah
cepat-cepat. Sedangkan Ning masih ngos-ngosan menikmati sisa orgasme yang menderanya. Cairan lendirnya masih mengalir dari vaginanya, tapi tenaganya sudah terkuras habis. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah berbaring menikmati surga dunia ini dengan tubuh yang kadang masih mengejang, sambil menatap bintang-bintang. Dan seperti biasa, setelah orgasme Ning akan lupa dengan hal-hal yang terjadi, ia berubah menjadi orang ling lung untuk sesaat. Sampai kemudian,
Oh iya Kang Komang!

Dengan perlahan Ning mencoba bangkit dari posisinya yang berbaring lalu berjongkok. Ia tidak mungkin berdiri karena tinggi pagarnya hanya sebatas paha. Di posisinya yang tengah jongkok, Ning mulai menjulurkan kepalanya dari balik pagar. Tidak orang di jalan. Sepi. Kang Komang udah gak ada, kirain bakal ketahuan, perasaan aku tadi teriaknya agak kekencengan, ya kan? Ning tidak bisa mengingatnya. Ia kemudian berdiri, lalu meraih HP-nya yang tertinggal di atas batu dan jagung yang tergeletak di sisi pojok pagar. Lalu ia berjalan dengan santai masuk kedalam rumah.
 
Part 2

Cahaya matahari berkelip dari balik gunung, tertutup oleh embun pagi yang masih menyelimuti lembah-lembah di kaki gunung dengan warna putih pekat. Rumput dan dedaunan basah oleh bintik air pagi, dan I Sampi yang bangun lebih awal melenguh sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Pakan rumput di dalam mulai menipis, hanya ada dedaunan rumput kering yang tersisa. Itu bukan makanan yang disukai oleh binatang itu.

Matahari mulai semakin naik mengudara. Cukup tinggi sehingga sinarnya menerobos celah-celah kecil tirai jendela rumah Kemuning si janda. Dari jendela itu cahaya jatuh tepat mengenai wajah Ning. keadaanya masih acak-acakan. Kedua matanya mulai mengriyip-riyip, membuka kedua matanya. Cahaya dari jendela itu terlalu menyilaukan. Ning mulai bangkit dan duduk. Jagung yang semalam ia pakai tergeletak di atas meja di samping ranjang tempat ia berada. Ia angkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk meregangkan tubuhnya yang tak tertutup kembali bugar sehabis dari tidur nyenyaknya.

“Eeuuhhh.”

Seperti di hari-hari sebelumnya, rutinitas Ning adalah memeriksa kandang I Sampi, sapi ternak satu-satunya. Ning membersihkan kotoran yang sudah menumpuk, lalu mengumpulkanya di satu tempat karena ada kalanya tetangganya tiba-tiba datang meminta kotoran itu untuk diwadahi ke dalam karung. Ning juga rutin memandikan I Sampi dengan air yang ia ambil dengan ember dari sungai kecil tepat di belakang kandang. Sungai kecil itu memang difungsikan sebagai irigasi sawah-sawah warga yang mayoritas memang petani, dan kebetulan jalur irigasinya melewati rumah Ning.

Meskipun matahari berada di posisi yang cukup tinggi, hembus nafas Ning masih mengepul. Bolak-balik Ning mengambil air dari sungai irigasi ke kandang sapi dan peluh mulai tampak dari tubuhnya yang polos. Kaki-kakinya yang tidak beralas kaki agak gemetar ketika membawa seember penuh air. Lalu Ning membasuh tubuh I Sampi dengan siraman gayung. Ia tidak ingin sapinya sakit karena kotor.

“Loh bu Dewandaru, kok gak pake apa-apa mandiin sapi?” Bu Made tiba-tiba muncul di belakang Ning.

Sontak Ning terlonjak, hampir-hampir gayung yang di pegangnya jatuh. Ning tidak siap dengan kedatangan Bu Made. Tidak dengan keadaanya yang telanjang bulat. Melihat gelagat kaget Ning membuat Bu Made merasa tidak nyaman, ia harusnya permisi terlebih dahulu.

“Maaf bu kalo saya ngagetin.”

“Gak papa kok bu Made.” Ning mengambil sikap sesantai mungkin sambil memikirkan alasan yang bagus mengenai kondisinya.

“Saya tadi cariin di depan gak ada, taunya di sini orangnya.”

“Iya lagi mandiin sapi. Maaf bu ini saya gak pake kain soalnya tadi waktu ambil air kepeleset jadi kain nya basah, terus saya lepas aja. Dingin soalnya hehehe.”

“Oh gitu ada-ada aja.”

“Hehehe iya. Ngomong-ngomong ini ada perlu apa ya bu?”

“Oh bukan apa-apa, cuma mau nanya ini bu Dewandaru gak ke pasar kah?”

“Oh saya gak bu, ini bahan dapur masih banyak.”

“Eh gak jualan lagi kah?”

“Saya udah gak jualan bu. Dipaksa sama anaknya hihihi”

“Bersyukur bu Dewandaru anaknya udah jadi orang sukses. Tinggal nunggu kiriman kan.” Komentar bu Made.

“Iya bu Made. Tiap hari saya juga bersyukur. Saya sendiri juga heran, perasaan I Somplak dulu juga gak kayak gimana-gimana. Namanya anak kalo udah tekun kepengen jadi apa aja bisa. Mari bu Made kesana, jangan di sini, kotor banyak tainya I Sampi.” Ning menjadi semakin nyaman berbicara dengan Bu Made yang tidak mempermasalahkan ketelanjanganya, dan perlahan ia menjadi semakin menikmati interaksinya dengan orang baru yang mendapati ketelanjangannya.

“Iya bu.”

Ning duduk di atas sebuah kursi bambu panjang, di sampingnya ada bu Made. Sebuah penampakan dua wanita yang kontras secara penampilan. Ning dengan keadaanya yang telanjang polos di temani wanita paruh baya yang mengenakan daster keibu-ibuan.

“Terus gimana kabar si Made, sekarang udah kerja apa?” Tanya Ning penasaran, karena dulu Made dan Dewandaru masih satu angkatan, bahkan satu kelas di bangku SD. Di kelas Dewandaru dulu hanya ada 7 murid. Itu karena sekolahnya memang bukan sekolah negeri dan tidak populer. Hampir seluruh tenaga kerja pendidiknya adalah honorer, orang-orang desa sini saja.

“Udah gak pernah ngehubungi balik tuh anak. Keluyuran terus, jarang di rumah. Entah kerja apa sekarang.”

“Loh kok gitu ya bu? Coba diajak bicara kalo lagi di rumah, barangkali lagi kena masalah apa.” Cukup disayangkan. Ning ingat bagaimana gaya anak itu ketika Dewandaru mengajaknya ke rumah. Dia sama pendiamnya seperti Dewandaru tapi juga sama mesumnya dengan anaknya. Berkali-kali Ning mendapati mata bocah itu mencuri-curi pandang ke arah dadanya yang tidak tertutupi jarik karena ikatanya hanya sebatas perut dan kala itu Ning memang baru mandi dari sumur.

“Ah saya sendiri cape bu, sudah saya tanyai tapi gak mau jawab, palingan juga langsung pergi lagi kalo saya ajak ngomong.” Keluh bu Made.

“Seingat saya dulu Made anaknya juga pendiem, mirip banget kayak anak saya. Satu kelas sama Dewandaru kan ya?”

“Sekarang sih masih pendiam, tapi diamnya agak kurang ajar.” Ujar bu Made spontan.

“Hus! Gak boleh gitu bu sama anak sendiri.” Ucap Ning mengingatkan.

“Iya bu kecepelosan. Habisnya saya juga udah jengkel banget.”

“Gini aja bu, coba tanya orang-orang yang kira-kira deket sama si Made, barangkali tau masalahnya apa.” Jelas Ning, dan direspon dengan anggukan oleh bu Made.

“Iya deh bu entar saya coba. Ini juga udah lama diem-dieman begini, gak enak. Ini ngomong-ngomong bu Dewandaru udah gak jualan lagi ke pasar?”

“Iya bu ini saya udah gak jualan lagi. Disuruh diem di rumah sama anak. Takut ibunya nanti kenapa-kenapa alasanya.”

“Oooh gitu. Baik banget ya Dewandaru sama ibunya. Terus udah gak tanam-tanam lagi dong bu kalo udah berhenti jualan.”

Entah dapat ide gila dari mana, mendadak keinginan untuk masturbasi muncul dalam benaknya.

“Iya saya masih tanam-tanam lah bu, itukan buat ngisi keseharian saya.” Ning menggaruk-garuk perutnya yang tidak gatal agar ia bisa menaruh tanganya di atas pangkuanya.

“Itu bulunya rimbun juga ya bu.”

“Oh ini!” Balas Ning sambil menarik-narik bulu jembutnya yang lebat.

“Kalo suami saya pasti udah ngambek kalo diajak ena-ena.” Mendengar penuturan bu Made membuat Ning tiba-tiba tertawa. Lalu bu Made pun juga iku tertawa mempertanyakan dirinya sendiri, kenapa ia tiba-tiba membahas bulu jembut. “Makanya saya selalu rajin cukur biar gak dimarahi suami.”

“Ya udah lah bu, ini juga udah kesiangan, saya mau ke pasar.” Bu Made beranjak dari kursi rotan sambil menenteng tas belanja miliknya.

“Iya bu sama-sama. Eh ini bu saya boleh titip gak?”

“Bisa, ini mau nitip apa?”

“Bentar ya bu, saya mau ambil uangnya dulu. Bu Made langsung tunggu di depan aja biar cepet.” Ning bergegas masuk kedalam rumah. Rencananya untuk masturbasi di samping bu Made gagal, tapi Ning yang mulai dilanda birahi tidak kehabisan akal. Kali ini ia berniat berbugil ria di halaman depan yang sudah ditunggu sama bu Made. Bertelanjang sendirian di depan rumah sudah bukan lagi hal yang menakjubkan bagi Ning, ia berniat membuat pengalaman baru; bertelanjang di depan rumah, di pagi cerah sambil ditunggu seseorang tentu menjadi sebuah hal yang berbeda dari biasanya.

Ning mengambil selembar uang dari dalam tas dompetnya. Membayangkan reaksi bu Made nantinya membuat klentitnya berkedut-kedut. Dengan langkah gesit, janda binal itu berjalan menuju pintu depan. dadanya berdebar tidak sabar. Ning membuka pintu depan, sambil setengah berlari tanpa menoleh kiri-kanan Ning sampai di hadapan bu Made. Dan benar saja bu Made tampak melongo dibuatnya.

“Eh! Bu Dewandaru kok masih telanjang aja!?”

“Gak papa bu, takut nanti bu Made nunggunya kelamaan. Ini uang nya bu.”

“Nunggu agak lama gak papa lah bu dari pada beginikan gak enak dilihat orang.”

Jalanan kebetulan sedang sepi, dan benar saja, tampaknya keberuntungan tengah berpihak pada si janda. Perlahan rasa kepercayaan diri Ning meningkat setelah sukses membuat bu Made melongo dibuatnya. Ada rasa kepuasan tersendiri dalam diri Ning. Lubang mekinya mulai ngiler, tapi cairan itu tidak nampak, tertutupi oleh rimbun bulu jembut. Butuh lebih banyak rangsangan agar lubang mekinya ngiler lebih banyak agar bisa kelihatan.

“Santai aja lah bu, saya kan cuma nganterin uang.” Ning menyodorkan selembar uang pada bu Made. Bu Made lekas mengambil uangnya dengan tanggap agar Ning segera masuk ke dalam rumah. Tapi Ning mengulur-ngulur waktu, mencoba menantang dirinya sendiri. “Ehhh kalo boleh sama ini bu. Apa ya?” Ning membuat alasan.

“Iya apa!? Cepet buruan keburu ada orang lewat loh!” sahut bu Made panik. Dalam hati Ning, ia sebenarnya tertawa. Yang bugil siapa yang panik siapa hihihi, uuuh bisa netes nih kalo kelamaan.

“Anuh itu yang buat minum. Eeehh.. Teh! Iya sama teh!”

“Ya ampun ibu Dewandaru mau bilang teh aja lama banget. Udah itu aja!?” Ning tergelitik melihat respon bu Made yang gelagapan seperti orang yang kebelet berak.

“Eh sama ini. Apa itu namanya?” Ning berlagak pura-pura lupa.

“Iya bu cepetan!”

“Sama gula satu kilo!”

“Teh sama gula aja udah!?”

“Iya itu aja. Tenang bu ya ampun, orang jalanan sepi juga kok.”

“Bukan masalah itunya bu Dewandaru, ini masalahnya keburu ada orang lewat. Emang ibu gak malu?”

“Malu juga sih.”

Dari kejauhan muncul gerombolan bocah berseragam pergi ke sekolah, laki-laki dan perempuan. Ning bisa mendengar obrolan kekanak-kanakkan ala bocah. Bocah-bocah itu nampaknya belum menyadari keberadaan Ning karena asyik dengan kehebohan mereka sendiri.

“Tuh buk ada anak-anak, buruan masuk rumah gih!” Suruh bu Made.

“Iya-iya bu, tapi the sama gula sekilonya jangan lupa ya bu. Sana bu buruan ke pasar entar kesiangan loh.” Ning sengaja mengulur waktu. “Iya, situ juga buruan cepet masuk rumah ada anak-anak!” bu Made beranjak pergi begitupun dengan Ning berjalan dengan santai ke arah pintu. Namun, Ning mengurungkan dirinya masuk rumah. Ia melihat punggung bu Made semakin jauh, dan dilihatnya bocah-bocah smp tadi juga kian dekat. Nafsu hewaninya mengatakan, inilah saatnya. Mekinya sudah becek, siap untuk dikawini. Ning memasukan jari tengah dan jari manisnya ke dalam lubang kenikmatan. Sudah banjir. Ning masturbasi sambil berdiri di halam rumahnya.

“Wih, apa tuh lihat!” Ning mendengar suara salah seorang bocah. Tapi Ning tidak memperhatikan sekelilingnya dengan benar. Kedua matanya merem melek menghadap langit. Mereka melihatku! Mereka melihatku! Mereka melihatku! Lihat aku! Lihat aku!

Kocokan tangan semakin cepat. ‘Chek! Chek! Chek! Chek!’ bunyi kobokan pada lubang cintanya, disertai cairan putih kental yang menciprat bertubi-tubi ke tanah.
"Ahh.. ahh ahhh ahhh..." Nafasnya berat, dan dadanya kembang kempis. Ning tidak yakin sudah berapa lama ia berdiri di sana. Ia tidak peduli lagi dengan bocah-bocah itu atau lingkungan sekelilingnya. Syaraf-syaraf di memeknya sedang membuai empunya ke dunia kenikmatan. Tubuh Ning bergetar, kedua matanya putih, dan air liur bergelembung di tepi merah jambu bibirnya. Rupanya oragasm hampir sampai. Lalu tidak lama kemudian. Cairan encer menyembur keluar dari lubang pipisnya. “Eeeeeeeehhhhhh!!!” jari-jarinya mencengkrang kuat lubang kawinnya.

Ning orgasme dalam keadaan berdiri. Nafasnya berat seolah sehabis lari satu kilometer jauhnya. Ia membayangkan ada beberapa mata yang tengah melihatnya dalam kondisi paling memalukan ketika ia mulai membuka matanya. Ning mengintip perlahan sambil menutupi alat vitalnya.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Kemana gerangan bocah-bocah sekolah tadi? Ning memberanikan diri melangkah ke jalan, melewati bunga puring yang menjadi pembatas antara jalan desa dengan halaman rumahnya. Ternyata mereka belum sampai di depan rumah Ning. Mereka sedang apa? Dilihatnya anak-anak itu tengah berjongkok mengerumuni sesuatu di pinggir jalan. Sepertinya, rencana Ning untuk masturbasi di depan orang lain gagal lagi. Itu membuanya jengkel, tapi ia juga penasaran dengan apa yang dilakukan bocah-bocah itu di pinggir jalan sana. Meski baru orgasme beberapa detik yang lalu, gelombang birahi, dan pikiran kotor Ning masih belum mereda. Ia menjadi haus korban karena fantasinya tidak terpenuhi. Tak ada orang lain yang pernah melihat dirinya masturbasi kecuali Kompiang Bagia.

Ning bisa merasakan dadanya berdegub kencang dan cepat. Cairan pelumas yang berwarna putih keruh menghiasi bulu jembutnya, menempel seperti air mani, kental dan menggantung hasil dari kocokan jemarinya. Ia tak mau membersihkanya. Semakin memalukan keadaanya, semakin nikmat sensasinya. Begitulah pikirnya. Ning perlahan semakin dekat dengan sekumpulan bocah berseragam itu. Makin dekat Ning melangkah, makin jelas suara bocah-bocah itu.

“Darahnya keluar terus.” Ucap bocah laki-laki berbadan gemuk.

“Udah tinggalin aja, udah gak bisa ditolong itu. Pasti bentar lagi mati itu.” Ucap seorang gadis.

“Ishh kasian Dev, mending kau bawa balik aja lah. Rumah kau kan dekat.”

“Gak bisa aku, punyaku dah empat.”

Ada lima anak sekolah di sana, tiga bocah laki-laki, dan sisanya gadis. Mereka tidak menyadari ada seorang janda yang tengah mendekati mereka dalam keadaan tanpa busana. Ning menyiapkan nyalinya demi kenikmatan lebih, dan kini jarak antara dirinya dan mereka hanya terpaut sekitar 5 meter. Ning menengok ke berbagai penjuru. Tidak ada orang dewasa. Inilah saatnya.

“Hei, kalian lagi ngapain?” Ucap Ning seramah mungkin agar tidak membuat mereka takut.

“Eh! Gung belakang mu lihat.” Ucap si bocah gemuk, bocah yang pertama kali menyadari kehadiran Ning. Beberapa detik kemudian kelima anak berseragam itu menoleh ke arah Ning yang bugil polos. Ke-limanya menunjukan reaksi yang sama. Mata mendolok dan rahang jatuh menganga. Ekspresi itu, wajah-wajah itu lah yang Ning cari. Lihat semuanya ya. Jangan ada yang kedip.

Tidak ada dari kelima bocah itu yang berani berkata-kata di situasi itu. Ning pun yang pertama kali memulainya. “Heh! Ditanya kok pada diem sih.”

“Ini bu, A-ada anjing.” Ucap salah seorang anak yang berbadan kurus akhirnya mulai bertutur.

“Coba sini! saya mau lihat.” Dengan langkah santai tapi malu setengah mati di dalam, Ning mendekati mereka, lebih dekat lagi. Kedua putingnya mengacung keras, dan cairan orgasmenya menglewer dari bulu jembut ke paha kanannya. Dan kini Ning sudah berada di antara mereka, berdiri sedangkan yang lainya hanya melihatnya dengan posisi jongkok, mendongak ke atas. Para laki-laki terus mengamati area selangkangan Ning yang dihiasi dengan lendir putih, sedangkan para perempuannya melihat Ning dengan wajah ragu-ragu, cemas, dan jijik. Ning melihat ada anjing terluka di bawahnya, tapi ia terlalu horni untuk peduli pada hewan malang itu.

“Oh ini anjingnya. Kasihannya.” Ucap Ning. Anjing itu berwarna coklat. Kaki kiri belakang anjing itu berdarah. Suara anjing itu juga lemah. “Gimana bik?” Ucap laki-laki berponi batok. Wajahnya lugu, mengingatkan Ning pada anaknya. “Ya udah, anjingnya biar bibik yang rawat. Kalian buruan ke sekolah nah, keburu telat nanti gak boleh masuk.” Barangkali seperti ini aja sudah cukup. Jangan sampe gara-gara keinginan egoisku proses belajar mereka jadi terhalang. Semuanya butuh tahap. Masih banyak kesempatan lain kan?. Ning menggendong anjing itu untuk di bawa kerumahnya. Kelima bocah itu mengekor di belakang Ning sambil berbisik-bisik pelan, tapi tidak cukup pelan untuk bisa ditangkap gendang telinga Ning.

“Itu kenapa Bibiknya gak pake baju?” Ucap si Kurus.

“Hus! Diem ah! Gak sopan tau, bibiknya orangnya baik kok.” Balas si Gemuk.

“Tapi lihat gak tadi ada putih-putih di bagian bulunya. Itu apa ya?” tanya si poni batok.

Mendengar percakapan para bocah dibelakangnya membuat Ning gemas, geli, dan horni.

“Apa mungkin asalnya dari sana? hihihi” lanjut si poni batok, menunjuk-nunjuk area meki Ning yang basah oleh lendir dan terlihat jelas dari belakang.

‘plak’ salah satu dari dua gadis itu memukul kepala si poni batok. “Bik! Si Agung dari dari tadi ngomongin bibik terus, ngomongin yang jorok-jorok.” Ungkap gadis itu. Hihihi bibik tau kok, ini juga keinginan bibik tampil seperti ini. Maaf ya..

Setelah sampai di depan rumah Ning. ia segera menyuruh kelima bocah itu agar segera bergegas ke sekolah, mengingat matahari sudah naik lebih tinggi. “Udah kalian buruan ke sekolah. Kok malah pada ngikutin bibik.” Ning meletakan anjing itu di emperan.

“Ya udah kalo gitu. Makasih ya bik.” Ucap si Gemuk.

“Iya iya, udah sana keburu telat.”

Kelima bocah itu berlalu beranjak dari depan rumah Ning. Dan Ning kemudian sengaja mengantarkan kelima bocah itu sampai pagar bunga puring. Sewaktu membarengi kelima bocah itu ke jalan, Ning iseng memasukan jari tengah dan jari manisnya ke dalam lubang kenikmatanya, dan mengocoknya kuat-kuat. “Ishhh…” Tidak ada kesempatan lain ini lah saatnya.

“Loh bibik kenapa?” tanya si Gemuk. Kemudian di ikuti oleh keempat bocah lainnya, menengok ke belakang. Mereka memergoki Ning tengah masturbasi.

“Heh, ndak papa kok. Bibik Cuma lagi gatel, kalo gatel kan biasanya digaruk. Udah kalian berangkat aja jangan liatin bibi terus.” Ning berbicara pada mereka sambil mengobel memeknya yang nut-nutan. “Dadah bibik.” Ucap mereka senada. “Iyaah kalian juga belajar yang bener biar jadi orang sukSheeshhh Aaaahhh….” Memeknya menyemprotkan cairan bening. Akhirnya. Wajah Ning mendongak ke atas dengan mulut terbuka, dan mata yang terpejam, dengan disaksikan kelima bocah sekolah itu. Perlahan mata Ning terbuka sedikit, lalu melirik mereka. Maaf ya. Kemudian Ning menutup aksinya di pinggir jalan dengan kencing berdiri di sana. Air urin yang tersimpan di dalam kandung kemih mengalir ke paha kirinya. Airnya berwarna kuning, dan panas. Paha dalam Ning dan tanah yang terkena air kencing itu tampak menguap di pagi yang dingin.

“Udah kalian berangkat ah! Gak usah liatin yang begituan!” Ucap salah seorang gadis di antara mereka dengan marah. Mereka berlima pun berangkat meninggalkan Ning, menyusuri jalan desa dengan gelisah, terutama para laki-laki. Beberapa kali ketiga bocah laki-laki itu menengok ke belakang. Ada rasa penasaran yang ingin mereka ketahui tentang wanita itu.

Ning sangat puas pagi ini. Ini adalah kali pertama dalam deretan aksi gilanya yang di luar nalar. Ingin ia mengulangi kejadian semacam ini seterusnya, tapi ia juga takut dengan konsekuensi yang tidak diketahuinya, karena pada dasarnya apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang tabu. Ning berbalik kembali ke rumah. Lalu ia gendong anjing coklat itu masuk untuk mengobati lukanya.

 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Ning memang binal hehehe lanjutkan n
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd