Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Naked Mom Sekuel (no sara)

Part 5



Ning memotong brokoli, wortel, dan bawang menjadi kecil-kecil. pisau yang dipegangnya bergerak lincah di atas tatakan kayu. Seiring dengan gerakan tangannya yang cepat, payudara Ning bergoncang ringan. Irisan cabe merah membuat matanya sedikit perih. Terkadang ia menggunakan punggung tangannya untuk mengucek-ucek matanya. Kemudian setelah semua bahannya sudah siap, Ning menumis bawang puitih yang telah diiris dan daun bawang, lalu disusul dengan irisan cabe merah. Bau sedap merebak di atas wajan penggorengan, itu tanda untuk Ning agar segera memasukan bahan selanjutnya ke dalam wajan penggoreng. Satu mangkok kecil penuh toge masuk ke dalam wajan, dan setelah toge itu berubah menjadi agak layu karena panas, kemudian Ning memasukan saus tiram, garam, kecap manis, lada bubuk, setengah sendok gula, dan yang terakhir adalah brokoli. Setelah beberapa menit berlalu Ning kemudian mencicipi masakannya dengan sendok, setelah dirasa sudah pas ia segera mengangkat wajan penggorengan dengan kain karena wajan penggorngannya tidak memiliki gagang kayu yang bisa ia pegeng, Ia tidak ingin menumis masakannya terlalu lama sebab ia tak ingin togenya menjadi terlalu layu. Ia meletakan wajan penggorengnya ke atas meja dapur lalu menambahkan kayu-kayu kering ke dalam tungku api karena nasi yang ia masak belum matang. di depan tungku Ning jongkok sambil mengipas-ipas api supaya tidak padam sambil sesekali membelai memeknya yang basah.

Setelah kejadian makan bersama dengan anak-anak sekolah itu, Ning tidak lagi segan untuk menjilat lelehan lendirnya hingga akhirnya ia menjadi semakin akrab dengan rasanya. Dari dalam rumah suara HP lipat milik Ning berdering nyaring. Bergegaslah Ning mengambil seribu langkah masuk ke dalam kamar tidurnya, buru-buru ia membuka HP lipatnya.

“Buk. Gimana kabarnya.”

“Sehat. Kamu sehat juga gak di sana.”

“Sehat kok buk.”

“Aurgh!” Suara pihak ke tiga datang mengintrupsi pembicaraan antara anak dan ibu. Seekor anjing tiba-tiba muncul di dalam kamar Ning.

“Suara apa itu? Ibu pelihara anjing ya?” Tanya Ndaru.

“Iya nih gak sengaja numpang di rumah kita, ibuk dapet dari anak-anak sekolah kemarin. Kamu tumben kok pagi-pagi gini nelpon rumah? Biasanya kan malam.”

“Kalo sekarang Ndaru lagi gak ngapa-ngapain, udah malam soalnya. Anu ini buk, kemarin Ndaru ada telponan sama teman Ndaru yang ada di Bali buat beliin ibu kompor, katanya sih oke, soalnya Ndaru lihat di berita katanya orang-orang di desa-desa udah pada beli kompor gas buat masak.”

“Ibu mana paham yang begituan nak, dari dulu juga udah biasa pake kayu.”

“Gak papa kok buk, nanti kalo kompornya udah sampe rumah minta aja sama yang pasang gas cara pakai kompornya gimana, pasti dijelasin kok.”

“Iya deh, makasih loh nak udah beliin ibuk kompor.”

“Iya udah ah itu aja buk. Sama eh-”

“Sama apa?” Ning penasaran.

“Ibu lagi telanjang ya?” Mendengar pertanyaan itu mau tak mau Ning pun tertawa.

“Loh yang nyuruh ibu buat telanjangkan kamu, masa lupa? Ibu udah jarang pake jarik lagi, udah males. Jarik ibu cuma buat selimut di kamar kalo lagi dingin.”

“Oh iya deh, asal gak kawin sama anjing barunya hehehe, ya udahlah bu.”

“Iya.” Telpon pun terputus.

Ning tidak habis pikir dengan pertanyaan anaknya, masih pagi tapi bisa-bisanya ia menggoda ibunya yang bugil sendirian tanpa pasangan kawin, dan kini memeknya menjadi panas karena ulahnya. Sungguh tidak bertanggung jawab. Ning berbaring di atas ranjang sambil mengusap-usap memeknya yang becek, lubangnya meleleh mengenai sprei kasur. Kebiasaan joroknya yang suka masturbasi sembarangan membuat kamarnya kotor penuh bercak lendir di kasur dan permukaan lantai. Kelakuan cabulnya menggerus sifat cinta kebersihan yang sudah tertanam dalam dirinya semenjak masih kecil menjelma jadi seorang wanita kotor. Anjing kampung yang melihat kelakuan Ning mengonggong sambil menjulurkan lidahnya, lalu mengendus-endus tetesan lendir di sekitar lantai. Ning ingin sekali menuntaskan birahinya tapi ia juga tidak ingin segera mengakhiri birahinya dengan berdiam di kamar, kemudian ia teringat dengan janjinya pada Kopiang Bagia nanti malam ia membuka lemari pakaiannya dan mengecek sisa uangnya di dalam laci, tersisa satu jutaan lebih. Jumlahnya kurang untuk membayar Kopiang Bagia yang sebesar 3 juta, mau tidak mau ia harus pergi ke ATM hari ini.

Setelah menyelesaikan sarapan paginya Ning mengambil tas cangklungnya dan mengecek isi dompetnya barangkali ia melupakan kartu ATM-nya, semuanya lengkap. Sambil celingukan Ning perlahan keluar dari pintu depan. Jalan desa sedang sepi meski sebenarnya ada satu dua kali orang naik sepeda lewat di depan rumahnya tidak menyadari kemunculannya, bapak-bapak itu melintas dengan pandangan fokus ke jalan. Adrenalin Ning terpacu melihat orang-orang itu tidak menyadari keberadaanya, padahal hanya perlu memutar kepala orang itu sudah bisa melihat penampakan seorang janda bugil sambil menenteng tas tengah berdiri di teras rumahnya. Dengan santai Ning berlalu ke jemurannya di halaman rumah. Ada banyak kain-kain yang tersampir di kawat jemuran menjadi tabir penutup antara dirinya dengan area jalan desa meski di dalam hatinya ia ingin bebas berpergian tanpa sehelai benang pun yang menempel pada tubuhnya tapi apa daya, norma menuntutnya untuk menutupi bagian-bagian yang ingin ia umbar ke publik. Ning mengambil sehelai daster di sampiran lalu memaikanya tanpa menggunakan dalaman lagi. Itu adalah daster tanpa lengan dengan potongan setinggi lutut berwaran hitam dan motif kembang berwarna kuning.

ATM di desa itu lumayan jauh, letaknya dekat dengan pasar desa yang tepat berada di pertigaan, sedangkan jarak antara pasar dan rumahnya terpaut sekitar hampir satu kilometeran jauhnya. Dalam perjalanannya Ning mendapati ada semacam proyek jalan di depannya. Sebuah tiang dari tangkai kayu dengan ujung bendera kain putih berdiri di tengah jalan, menjadi penanda adanya proyek yang tengah berlangsung. Bapak-bapak berlalu-lalang, ada bagian yang membawa ember, ada yang membawa bata paving, ada yang mondar-mandir bawa angkongan dari molen ke jalan. Duh ada apa ini kayak pada sibuk? Boleh lewat gak ya?

“Misi pak,” ning berjalan berhati-hati di sisi jalan, sambil menunduk agar tidak menyinggung bapak-bapak yang sedang memasang bata paving.

“Mari mbak.” Bapak-bapak itu menjawab bebarengan.

“Mau kemana bu Ning?” Salah seorang bapak yang kenal memeberi sapa.

“Mau ke ATM pak Sapto.”

“Wah gajian ini!” Tampaknya kabar mengenai Dewandaru yang rutin memberi ibunya uang sudah menyebar ke banyak telinga di belakang sepengetahuanya.

“Iya.” Ning menjawabnya dengan malu-malu.

“Orang sukses!” Tambahnya. “Hehe iya.” Ning menjadi semakin malu dan dengan langkah seribu Ning cepat-cepat meninggalkan kerumunan para pekerja yang sibuk itu.

Jalanan berkavling yang baru dibuat memanjang lurus ke depan, dan payudara Ning yang tidak memakai bra bergoncang indah di setiap depak langkah kakinya. Sebentar lagi ia akan melewati sebuah sekolahan, anak-anak dengan seragam sekolah berseliweran di jalanan, berlari, bergerombol, membeli jajanan pedagang kaki lima, dan ada yang hanya ngobrol sambil duduk-duduk di atas pagar rumah orang. Sedang jam istirahat rupanya. Melihat sekolahan itu mengantarkanya pada masa lalu di mana dirinya rutin mengantarkan Dewandaru ke sekolah sewaktu masih SD sekaligus pergi ke pasar untuk jualan. Sekolahan itu adalah sekolah swasta campur SD, SMP, dan SMA. Dari kabar mulut yang beredar sekolah itu didirikan dan dikelola oleh salah seorang keluarga kaya raya di desa ini dan ia menjabat sebagai kepala sekolah juga. Ning pernah bertemu dengan kepala sekolah itu dulu ketika Dewandaru menang mengikuti sebuah olimpiade matematika dan sains tingkat nasional, ia ingat kepala sekolah itu adalah seorang wanita tua, orang yang telah berjasa membuat nama Dewandaru masuk koran bali. Dewandaru kala itu sangat antusias dan mengatakan pada Ning bahwa fotonya masuk muatan koran, dan kepala sekolah menggunting koran itu dan berakhir di dinding kantor. Ning ingat bagaimana Dewandaru menggoyang-goyangkan tangannya sewaktu berada di kantor lalu menunjuk-nunjuk sebuah bingkai berisi koran dengan foto Dewandaru yang memegang medali dan di bawahnya tertera kata si anak ajaib, hal itu membuat Ning bertanya-tanya apakah Dewandaru berasal dari benih suaminya.

Salah seorang bocah berlari menghampiri Ning, warna seragamnya putih dengan celana biru tua, rambut poninya yang kecoklatan bergerai sewaktu berlari. Itu adalah Odi salah satu dari tiga anak yang kemarin datang kerumahnya. “Bibik Ning!” dengan gaya sok akrab Odi membersamai langkah Ning di sisinya.

“Eh Odi gimana di sekolah?”

“Biasa aja.”

“Biasa aja berarti gampang ya. Yang bener loh belajarnya.”

“Hehe. Bibik mau kemana?”

“Ke pasar.”

“Owh ke pasar,” Odi ngangguk-ngangguk berlagak peduli. “Kapan-kapan aku datang lagi ke rumah Bibik gak papa?”

“Kalo mau datang ya tinggal datang aja, ibu gak ngelarang kok, malah seneng Bibik ada temennya.”

“Sip.” Odi langsung berlari entah ke mana di antara kerumunan siswa lainya, mata Ning kalah lincah dengan gerakan bocah itu. “Hihi bocah.” Ning berbisik pada dirinya sendiri.

Setelah 30 menitan berjalan dari rumahnya, sampailah Ning di pertigaan jalan raya. Di sisi kirinya adalah pasar dan di sebelah kanan adalah ruko-ruko yang menjual kartu sim provider, bengkel, dan toko-toko elektronik sedangkan di depanya adalah pertigaan jalan raya yang ramai padat kendaraan. Orang-orang ramai melakukan transaksi ini itu, para pengayuh becak sibuk main catur di bawah pohon, dan pengamen jalanan berjalan kesan kemari membawa lagu yang sama. Ning berlambai sapa pada orang-orang yang dikenalnya, banyak yang menanyai keberadaan karena tak pernah lagi muncul di pasar dan Ning sibuk mencari alasan ini itu dan pada akhirnya tibalah ia di pos ATM. Orang-orang berbaris mengantri giliran, Ning di posisi paling belakang menunggu dengan sabar. Seorang pria tinggi besar dengan kucir kuda berada tepat di depannya, tubuh Ning yang cukup ia kira sudah cukup tinggi saja cuma sebatas punggungnya saja. Gede banget ya. Selang beberapa saat tibalah giliran pria berkuncir kuda itu masuk ke dalam pos ATM dan Ninf menunggu di depan pintu. Pria kuncir kuda itu berada di dalam sana cukup lama sampai muncul suara ‘Brak!’ disertai umpatan, “Fuck!” rupanya pria itu mengamuk di dalam, menggebrak mesin ATM dengan alasan tidak di ketahui. Itu membuat Ning terkejut kemudian pria itu keluar dari dalam pos dengan wajah merah menyala, Ning sedikit mundur kebelakang menghindari pintu kaca yang dibuka dengan kasar. Orang itu kenapa? Kayak preman kelakuannya. Ning melihat orang berkucir kuda itu meninggalkan ATM.

“Siapa sih dia, kayak bukan orang sini? Gayanya kurang ajar.” Komen bapak-bapak yang mengantri di belakang Ning. “Itu loh buk udah gak ada orang.”

“Eh! Iya maaf, maaf.” Ning masuk ke dalam pos ATM lalu menarik uang sebesar 3 juta dari rekening tabungannya.



***​



Bulan purnama meninggi di langit malam berawan, dan Ning di dalam rumah menunggu malam yang lebih larut. Ia tidak yakin apakah jalanan sudah benar-benar sepi atau belum, jalan-jalan malam bukan lah kebiasaanya. Anjing peliharaan Ning meletakan kepala di atas pahanya, keduanya telanjang bulat, anjing itu menguap setelah menghabiskan satu ember baskom pakan anjing yang Ning beli dari pasar, Ning belum memutuskan sebuah nama untuk anjing barunya jadi ia memikirkan sebuah nama yang terdengar lucu dan mudah diingat. Sebuah karung yang dibelinya dari pasar diletakan di atas meja, di karung seberat 5 kilo itu tertulis ‘Peddico tinggi protein dan vitamin’. Bukan sebuah nama yang buruk, Ning memutuskan menamai anjingnya Pedi. Ia menggaruk dagu Pedi, dan anjing itu mengeriyipkan matanya merespon kasih sayang yang diberikan majikanya. Ning membuka pintu depan rumah dan duduk di sana ditemani Pedi dan sebuah dompet di tangannya. Jam dindingnya menunjukan pukul 10:14 malam. Angin dingin membelai kulitnya membuat bulu-bulu tipisnya berdiri. Ia tidak berkeinginan masturbasi, belum berkeinginan. Baiklah sekarang saatnya, ia tidak ingin terlalu larut untuk berangkat, masalahnya rumah Kopiang Bagia terletak di ujung desa, berlawanan arah dengan arah pasar dan sekolah.

Ning beranjak berdiri dari tempatnya, mendorong anjingnya untuk masuk kedalam rumah, lalu menutup pintu agar amannya. Baru melangkah beberapa derap saja hembusan angin lagi-lagi menyambutnya, kali ini lebih kencang dan dingin, tapi mau bagaimana lagi, ini dalah perintah si kakek tua itu. Ning juga tidak mengenakan alas kaki kali ini, ia pikir alas kaki hanya akan menimbulkan suara tapak yang bisa memancing orang lain. Perjalanan kali ini jauh, meski tidak sejauh ke pasar tapi dalam keadaan telanjang tentu semuanya berbeda, ia tidak boleh gegabah. Jalan desa sepi, tidak ada aktivitas manusia sejauh mata memandang, itu bagus tapi bukan jaminan ia akan aman di pertengahan jalan nantinya. Ning berjalan meninggalkan depan rumahnya, kedua bokongnya yang semok naik turun secara bergantian. Puting susunya yang kedinginan mengeras karena terlalu sering tertiup angin. Ini akan menjadi perjalanan pertamanya menyusuri desa dalam keadaan bugil tanpa sehelai benang pun. Ah ada yang ketinggalan! Ning teringat dengan jagung di dapur, benda itu bisa ia gunakan untuk menghangatkan tubuhnya, tapi di lain sisi ia juga malas untuk kembali ke rumah. Tanggung ah, pikirnya. Sebuah ide terbang masuk ke kepalanya, Kenapa harus jagung. Ada banyak benda yang bisa ia gunakan untuk menggantikan jagung dan timun, dan ia tau di mana ia bisa mendapatkanya. Sebuah rumah besar berwarna kuning tampak di dekat gang, pagarnya tinggi dihiasi besi-besi lancip di bagian atasnya, tipikal orang berada, namun pintunya tidak pernah benar ditutup, hanya sebelah pintu gerbangnya saja menyisakan celah yang bisa dilewati badan. Dengan celingukan Ning masuk melewati gerbang dan disambut oleh hamparan rumput hijau yang memenuhi halaman rumah. Ia masuk halaman rumah orang bak seorang maling, dan tanpa persetujuan si pemilik rumah ia mulai berjongkok di dekat tanaman bunga-bunga. Di bawah tanaman-tanaman itu terdapat banyak batu, Ning memilih batu-batu itu dengan bentuk yang dirasa cocok dan mengumpulakannya, kemudian Ning berbaring di atas rumput dengan kaki tertekuk mengangkang ke langit sambil sesekali melirik ke arah rumah berharap si pemilik tidak melihatnya. Ia mulai memasukan batu-batu kecil yang sudah dipilih tadi ke dalam lubang memeknya, “Aaahhh.” Tekstur kasar permukaan batu bergesekan dinding memek membuatnya geli sekaligus nagih, ia memasukan batu-batu sebesar kelereng itu satu persatu. Setelah dirasa hampir penuh Ning mengambil batu berukuran besar berbentuk lonjong dengan panjang 10 dan diameter 4 senti di bagian tengah lalu memasukannya. Batu lonjong itu mendesak batu-batu kecil di dalam. Sensasi berdesakan, menggelinding, dan kasar dapat ia rasakan. “Aaahhh,” wajah Ning mengiba, tangannya bergerak seperti sedang mengulek adonan bumbu. Suara gesekan antar batu yang saling bergesekan dapat ia dengar ‘skrew, skrew, krek, rek,’ dan cairan cintanya mulai meluap lalu mengalir melewati lubang pantatnya. Semakin lama gerakan tangan Ning menjadi semakin kasar dan agresif, dan Ning kepayahan menahan untuk tidak orgasm meski sebernarnya ia ingin sebab perjalanannya masih jauh. “Ah ah ah ah ah,” jangan mucrat dulu, “ah ah ah ah.” Ia berharap tidak muncrat tapi tangannya masih saja menghajar memeknya seolah tangannya punya kendali sendiri, pikiran bertentangan dengan tubuh. Saat orgasm hendak menerpanya di dorongnya batu lonjong itu masuk seluruhnya, wajah Ning meringis saat melakukannya berharap rasa terbakar di memeknya saat batu lonjong itu merangasak masuk bisa menahan gejolak orgasmenya yang hampir jebol. Udah jangan keterusan, batinya. Ning yang masih ngos-ngosan berusaha bangkit dari posisi berbaringnya lalu berdiri, ia menepuk-nepuk tangannya yang kotor dengan pasir. “Aasshh,” batu lonjong itu tergelincir keluar sedikit, ia menahannya lalu memasukannya lagi ke dalam. Kemudian Ia pergi meninggalkan rumah besar itu dan kembali melanjutkan perjalanannya.

Sambil memainkan memeknya yang kotor dengan pasir, Ning mengendap-ngendap dari rumah ke rumah, Ia juga mempercepat langkahnya ketika melewati tiang-tiang lampu jalan berusaha sebisa mungkin agar tidak ketahuan oleh orang lain. di depan sana ia dapat melihat sekumpulan pemuda kampung tengah bermain kartu, gelak tawa mereka yang keras bisa ia di kejauhan. Aduh bagaimana ini, gak bisa lewat aku. Bolak-balik Ning menengok mereka, tidak ada tanda-tanda mereka akan mengakhiri permainan. Ini sudah larut tidak mungkin ia menunggu mereka sampai kelar terlebih dahulu karena itu sama saja dengan menunggu orang lewat di jalan memergoki dirinya yang bugil. Pagar depan rumah orang-orang itu tidak terlalu tinggi, barangkali cuma selutut dan tentunya tidak ada pintu tapi halaman rumahnya sangat luas dengan kata lain jarak antara pagar dengan rumah itu terpaut lumayan. Ning tidak punya pilihan lain mau tidak mau ia harus lewat depan rumah itu karena memang tidak ada jalur lain lagi. Ia mulai menunduk, kemudian merangkak. Posisi pantatnya lebih tinggi dari kepala dan ia menggunakan tangan dan lutut sebagai tumpuan, payudaranya sebesar pepaya menggantung bebas dan putingnya bersentuhan dengan tanah. Ia mulai merangkak di dekat tembok pagar, pentilnya bergesekan dengan tanah membuatnya geli, ia tidak bisa memastikan apakah punggung dan pantatnya tidak terlihat sebab tembok itu pendek sekali, mungkin lebih cocok dikatakan tempat duduk dari pada tembok. “Wahahaha kalah lagi Rok!? Hahahaha.” Suara lain menyahut. “Lagi apes Wik.”

“Aku kalo yang ngocok kartu si Ilam memang sukanya kalah terus, sialan ilam.”

“Matamu cok!” Salah seorang membalas dengan umpatan ala jawa. “Bacot Il, ayok lagi!”

“Aku udah lah.”

Ning mendengar percakapan mereka lebih jelas, dan rasa takut ketahuan mulai menghantuinya. Ning berusaha agar dirinya tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.

“Lah kenapa?”

“Capek.”

Ning tidak bisa lanjut, pagarnya terputus, dan jarak antara tembok sini dengan yang sana lumayan lebar. Pada akhirnya ia harus siap dipergoki bapak-bapak itu. Membayangkan dirinya dipergoki membuat itil bengkaknya menegang dan memeknya yang di sumpal batu itu ngiler.

“Kebanykan mikir kau Rok.”

“Habis kerja masang paving jalan udah lumayan di punggungku nih.”

“Hilih gitu aja capek, kalah sama adekku, tiap hari dia serabutan di hutan.”

“Beda orang Pri, jangan kau sama-samakan. Pengalaman orang itu beda.”

“Loh emang adikmu masih kerja di situ?”

“Masih.”

Ning mengusap-ngusap itilnya dalam posisi bersujud menjadikan memeknya semakin becek sehingga batu lonjong yang tertanam di mekinya mudah keluar dan Ning harus menahanya. Tangannya menyapu bibir memeknya lalu melihat telapak tangannya, ada lendir kental di jemari-jemari kecil itu. Tanpa rasa geli atau jijik Ning menjilat lendir tangannya. Itulah yang dibutuhkanya, birahi mengusir rasa takut, dengan kata lain semakin birahi semakin berani pula ia dalam beraksi. Nafas Ning berat, nafsu birahi sudah di ubun-ubun karena itilnya sering digerayangi, dan memeknya terus menetes. Ning tengah bersiap-siap menyebarang, kepalanya muncul di sisi pagar. Ia bisa melihat ada 7 orang di sana tengah main kartu. Ia berharap semoga mereka tidak menyadari keberadaannya. Ning mulai merangkak maju dengan cepat, jantungnya berdegup berdebar kencang, tubuhnya terekspos di depan bapak-bapak itu tanpa aling-aling, ia tidak peduli, pikiranya fokus tertuju pada pagar tembok di depannya. Dan ketika setengah badan Ning sudah terhalang tembok di depannya salah satu dari bapak-bapak itu menyadarinya.

“Siapapun kalo digaji pasti ya mau lah, aku pun kalo- Wihh!”

“Apa Il?”

“Tadi ada kaki di sana!”

Ning ketahuan! Ia yang mendengar suara bapak itu memergoki dirinya segera merangkak lebih cepat, mungkin itu akan membuat lututnya lecet tapi ia tidak ambil pusing.

“Mana?”

“Tadi aku lihat. Sumpah!”

“Coba dicek.” 2 orang bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri tembok.

Ning yang sudah sampai di area gelap mulai berdiri dan langsung berlari, di depan sana ada tanaman bunga dengan ukuran pot yang lumayan besar. Dengan cepat ia menyembunyikan tubuhnya dibalik tanaman itu sambil mengawasi jalan yang baru dilewatinya. Dari celah ranting-ranting Ning melihat 2 orang muncul di tengah jalan, itu bapak-bapak yang tadi. Ning cekikian melihat 2 orang itu tidak mengetahui keberadaannya sekarang.

“Mana Il? Gak ada orang.”

“Sumpah Wik tadi aku lihat kaki ama bokong.”

“Udah lah Il balik tongkrongan gih.”

“Hahh.” Orang itu menghela nafas karena temanya tak mempercayainya kamudian keduanya kembali ke teras rumah.

Ning yang tengah berjongkok memainkan memeknya yang basah, mendorong-dorong batu lonjong yang menympal lubang kawinnya dan menampar-nampar lalu menjilati cairanya. Sensasi berdebar-debar yang barusan dilaluinya membuatnya ingin muncrat. Ditekanlah itil bengkaknya kamudian ia mengucek-uceknya. Ning terduduk lalu menggigit putting kirinya dan menariknya ke atas. Orgasmenya hampir tiba, tangan yang mengucel itil bengakak itu bergerak semakin cepat sampai akhirnya ‘Beesshh,’ ‘Cret crit crit crit.’ Orgasm pertamanya sampai.

Wajahnya meringis, “Eeeerrrhh.” Suaranya tertahan karena sedang menggigit pentil. Kedua paha Ning gemetar dan dadanya naik turun mengambil oksigen dalam jumlah masif. Gigitan pada puting kirinya terlepas, membuat payudara sebelah kiri itu jatuh ke posisi semula, menggantung bak pepaya.





To be continued…​





 
Part 6



Ning terduduk bersandar pada pot bunga, ia tengah menghayati sisa-sisa orgasm yang terkadang membuatnya terhentak, nafasnya yang memburu perlahan kembali normal, ia merasa sungguh beruntung kedua orang tadi tidak menghampirinya padahal jarak antara tanaman bunga itu dengan area depan rumah mereka bermain kartu tidaklah jauh. Setelah sensasi orgasmnya menghilang barulah Ning mulai berdiri. Butiran pasir menempel pada bokongnya, dan lututnya sakit. Orgasm barusan berhasil meredakan birahinya, menyadarkan pada kondisinya yang memperihatinkan. Ning meludahi kedua lutut lalu mengusap-usapnya. Kemudian ia menepuk-nepuk pantatnya dengan dompet dan butiran tanah yang menempel di sana pun berjatuhan. Rumah si kakek masih setengah perjalanan dan di belakangnya ada orang-orang sedang bermain kartu, ia harus lekas bergerak lagi karena malam sudah terlalu larut dan mereka yang bermain kartu bisa bubar kapan pun, Ning tidak mau ketahuan untuk yang kedua kalinya. Ia pun melanjutkan perjalanan sampai akhirnya ia tiba di perempatan jalan. Lampu penerangan terpasang tepat di atas persimpangan tak bertiang, sebagai gantungannya sebuah tali panjang melintang di atas dari tiang listrik lalu dihubungkan ke pohon, di sepanjang tali itu seutas kabel melilitnya dan lampu bertopi menggantung di sana.

Ning berjingkat-jingkat di tengah perempatan jalan itu sepertu orang gila, dan cahaya lampu yang berwarna jingga membuatnya tubuhnya yang telanjang berwarna serupa. Lalu tiba-tiba muncul cahaya terang berwarna putih dari arah kanan, sebuah motor di kejauhan sedang menghampirinya, buru-buru Ning berbalik arah menghindari sorotan lampu, di sudut kiri perempatan ada semak yang cukup baginya untuk berjongkok, lalu bergegaslah Ning bersembunyi di belakang semak itu menunggu pengendara motor itu lewat. Tak lama kemudia pengendara motor itu pun tiba, sepasang muda-mudi mengendari astrea panda berboncengan mesra. Motor itu berbelok ke kiri, ke arah jalan di mana Ning tengah berjongkok di belakang semak dan tubuhnya menempel pada pagar di kanannya. Di posisi itu, payudaranya yang besar tergencet oleh lututnya sendiri, dan pentilnya mencuat di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Ning bisa melihat pengendara berboncengan itu berbelok ke arahnya dari celah dedaunan, ia menahan nafas dan kedua pasangan muda-mudi itu hanya melewatinya saja, andai ia mau memelankan sedikit kendaraanya dan melirik ke arah kiri tembok sekejab saja, ia pasti sudah mendapati seorang wanita telanjang tengah jongkok di dekat semak-semak. Ning menoleh kebelakang, dan cahaya merah pada kendaraan itu perlahan semakin kecil. Setelahnya, edaran pandang Ning menjadi semakin awas, dan telinganya menajam pada setiap bunyi-bunyian

Setelah pengendara berboncengan itu, tidak ada lagi manusia yang dijumpainya selama perjalanan, dan kini ia sudah hampir sampai di ujung desa, tinggal tersisa beberapa rumah lagi yang perlu ia lewati. Telapak kakinya yang telanjang terasa sakit sewaktu melintasi jalanan berbatu, kadang medannya cekung dan kadang berunduk, ia harus berhati-hati agar tidak tersandung. Beruntunglah rumah-rumah terakhir sama sunyinya dengan rumah miliknya. Mereka yang bertempat tinggal di sini memang bukan keluarga berada, jalan depan rumah mereka juga selalu buruk, Ning tidak yakin proyek pengakavlingan jalan akan tiba sampai sini. Setelah melewati rumah terakhir, di depannya sekarang terpampang ladang sawah yang luas. Sekitar 200 meteran dari tempat Ning berdiri, ujung tepi area persawahan itu menghilang, di sana adalah jurang. Lalu di sisi kanan ada ladang tebu, dan di balik rimbun ladang tebu situlah rumah si kakek itu tinggal. Sebelum memasuki area persawahan, Ning terlebih dahulu harus menyeberangi sungai melalui jembatan tanggul kecil untuk bisa sampai ke sana. Setelahnya, jalan setapak yang dilaluinya sangat gelap tanpa tiang lampu jalan, satu-satunya pelita yang membuatnya bisa melihat sekelilingnya hanyalah bulan di langit, tapi sinarnya juga tidak cukup terang untuk menyinari jalan. Ia khawatir kalau-kalau muncul seekor ular yang mematuk kakinya dari sawah. Berkali-kali Ning terpeleset karena pijakan yang basah, membuat kaki hingga separuh betisnya terbenam di lumpur. Tapi seluruh usaha itu terbayar lunas ketika ia melihat rumah Kopiang Bagia setelah melewati ladang tebu, cuma beberapa meter saja di depan. pepohonan bambu menjulang tinggi di samping rumah, menaunginya dengan batangnya yang melengkung, dan di malam hari pepohonan bambu itu hanya tampak seperti kegelapan besar yang mengerikan. Untuk sedetik Ning merasa ragu untuk melangkah maju. Rumah di hadapannya gelap, tidak ada listrik, tidak ada lampu, dan sinar yang terlihat di celah pintu jendela berwarna merah, redup, dan memperihatinkan. Selangkah, dua langkah, Ning mendekati rumah yang lebih mirip gubuk itu, perlahan namun pada akhirnya ia sampai di depan sana. Nyali Ning mendadak menciut, pepohon bambu di sebelah rumah menghalangi sinar bulannya, dan cahaya api yang muncul di sela-sela lubang rumah hampir tidak menyinari apapun di sekitarnya. Rumah kopiang benar-benar tinggi, rumah itu menggunakan cagak kayu sebagai pondasinya lalu dipasangi tangga miring di depan pintunya. Ning yang sudah tidak tahan dengan kegelapan ganjil di sekelilingnya berteriak memanggil Kopiang Bagia. “Pekak! Saya sudah sampai!”

“Oh sudah sampai ya. Masuk masuk!” Suara si kakek tua dari dalam rumah menenangkan jiwanya, ia juga tidak perlu berteriak dua kali. Pintu depan rumah itu pun terbuka sambil disusul senyum mesum si kakek. Ning mulai memanjat tangga dan payudaranya bergelantungan indah.

“Makin besar aja nduk, pasti berat ya hahaha.” Kopiang Bagia terkekeh tapi Ning tidak tau apa maksudnya, jadi ia tidak menanggapinya. Sesampainya di mulut pintu Ning mengucapkan permisi pada si kakek dan langsung masuk. “Permisi.”

“Mari mari.” Ucap si kakek mempersilahkan. Ruang tamunya cukup kecil, lantai kayunya di tutupi oleh karpet hijau dengan noda hitam di mana-mana, lentera dimar berbahan minyak bakar tergantung di dinding ruangan. Ning duduk bersila dihadapan kakek, dan pintunya dibiarkan terbuka.

“Ayo kek buruan dimulai.”

“Eeiits kok buru-buru amat? uangnya dulu dong hehehe…” Ning membuka resleting dompetnya yang kotor terkena tanah dan lumpur selama perjalanan lalu mengambil uang pecahan 100 ribu di dalamnya, kemudian menyerahkannya ke Kopiang Bagia.

Si kakek menerima uang itu sambil cengengesan lalu menghitungnya. Setelah dipastikan jumlahnya benar senilai 3 juta, si kakek kemudian pergi ke kamarnya lalu kembali ruang tamu dengan membawa kendi dan sebuah kantong plastik hitam.

“Sip, sip, ayok mulai ritualnya. Siap?”

“Siap.”

“Kalau begitu jangan bergerak, aku akan menuangkan air kendi ini ke badan mu.” Kopiang Bagia mengambil kendi itu lalu menyiramkan isinya ke atas kepala Ning. Badanya seketika menegang saat air mengalir dari kepalanya, ia tidak mengira jika air di dalam kendi itu akan sedingin ini. Bunga melati yang ada di dalam kendi turut serta membasuh tubuh telanjang Ning dan sebagian menempel di rambut dan kulitnya. Kopiang Bagia bergumam dengan bahasa yang tidak ia mengerti, Ning tidak sempat untuk menafsirkan ucapan kakek itu sementara tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Kemudian sesuatu di dalam kantung pelastik itu mulai bergerak-gerak, Ning merinding menebak-nebak isi di dalamnya, dan berbagai macam makhluk mengerikan bermunculan di dalam benaknya.

“I-itu yang ad-a di dah-lamm kresek apa?” Tanya Ning terkatuk-katuk menggigil.

“Shss!” Si kakek menyuruhnya agar diam, dan ia pun patuh.

Setelah isi kendi itu habis, Kopiang Bagia mulai membelai tubuh telanjang Ning, mengurut bagian dahi, pipi, hidung, lalu turun pundak, ke dua tangan, kemudaian di area payudaranya. Di momen itu, Ning terkesiap dan mengambil nafas dalam sementara si kakek mengurut payudaranya yang besar dan menggantung secara bergantian. Pijatanya pada kedua payudaranya jauh lebih lama dibandingkan dengan bagian tubuh lain sebelumnya. Selesai mengurut payudara, si kakek berpindah ke area perut. Di situ Ning mulai merasa panas, ia bisa merasakan sensasi terbakar di bagian perutnya. Apa ini? “Panas.”

“Tahan ya.” Kopiang Bagia mulai menggumam tidak jelas lagi. Tak lama kemudian Kopiang Bagia melepaskan sentuhanya pada tubuh Ning, dan seketika itu rasa panas yang menjalar itu sirna, berganti dengan udara dingin yang memeluk tubuh telanjangnya.

“Sudah selesai?”

“Sudah mersa dingin?” Kopiang Bagia berbalik bertanya.

“Banget. Pi-pintunya ditutup aja ya.” Ucap Ning, lalu Kopiang Bagia bangkit menutup pintunya.

“Kita belum selesai. Masih ada satu lagi.”

“Bu-buruan pekak Su-sudah menggigil ini!”

“Sabar, sabar. Biar saya angetin dulu.” Kopiang Bagia berdiri lalu mulai membuka kancing celananya sampai disuruh berhenti oleh Ning. “Eh eh! Tunggu tunggu! Kok Pekak tiba-tiba buka celana.”

“Ini bagian dari ritual. Ayo cepet! Sekarang nungging nduk.” Meski berat hati, Ning pun akhirnya menuruti keinginan si kakek. Ia memposisikan pantatnya ke arah si kakek sampai ia menyadari jika masih ada batu yang menyumpal lubang memeknya. Kopiang Bagia yang nafsunya sudah di ubun-ubun segera meloloskan celananya, Kontolnya yang berurat tegak mengacung siap menusuk lembah rimbun Ning. Si Kakek kemudian menyibak bulu jembut Ning dan bibir memeknya dengan kedua jempolnya untuk memulai penetrasi sampai si kakek mendapati ada yang ganjil dengan memek di depannya. Ada batu yang tertanam di sana. Ning tak sempat memperingatinya. “Loh, ada batunya nduk?”

Ning yang posisinya tengkurap cekikikan mendengar respon Kopiang Bagia. “Ma-maaf pekak, tadi di jalan memek Ning gatel jadi saya masukin ba-batu sekalian.”

“Dasar kamu ini memang janda nakal.” Tiba-tiba Kopiang Bagia menampar bokong Ning ‘plash!’

“Aahh.” Desahnya. Kopiang Bagia kemudian menkgorek-korek memek Ning dengan jari telunjuknya untuk mengeluarkan batu itu dari dalam sana. Ning yang sudah birahi kepalang mendesah tanpa malu. “Eeeiiihhhh, aahhh, ah, ah.”

“Kenapa, enak ya?” Tanya si kakek tapi Ning hanya membalasnya dengan desahan nikmat.

Batu besar itu sudah tertanam begitu dalam, namun dengan ketelatenan dan usaha si kakek, akhirnya batu itu pun bisa kakek keluarkan. ‘Duk!’ Batu yang menyampal lubang pernakan Ning itu terjatuh disertai lendir putih.

“Wuih! Besar juga ya nduk batunya, pantes kok sulit dikeluarin hehehe…” Kopiang Bagia memposisikan penisnya di depan memek Ning yang masih menganga, dan sleb. Kontol itu pun akhirnya masuk ke dalam.

“Aduh gusti ini apa lagi!” Kopiang Bagia merasakan kepala kontolnya menubruk benda keras di dalam sana.

“Maaf pekak tadi Ning juga memasukan batu-batu kecil sama kerikil juga di dalam. Sakit yah?”

“Dasar perempuan lacur!” Ucap si kakek merendahkannya, dan Ning menyukainya. “Cuma agak ngilu sedikit tapi gak masalah, kamu gak bilang dari awal, saya hukum kamu sekarang!”

Dengan gaya doggy style, Kopiang Bagia mulai menggoyangkan pinggulnya ke depan dan ke belakang. Awalnya si kakek ingin mengeluarkan bebatuan kecilnya tapi karena sudah terlanjur masuk maka ia genjot saja, sekalian mencicipi sensai baru. Kontolnya menyeruak di antara batu-batu maju mundur dengan cepat. Ning bisa merasakannya, bahkan suara bebatuan yang saling bergesekan juga bisa didengarnya, ‘skrew, kruk, kruk, kruk.’

“Yah yah ah ah aah ahh ahh ah yah enakh enak lebih cepet!” Si kakek tiba-tiba menampar pantatnya yang semok dengan cukup keras, ‘PLAS!’

“AH!” Ning terkaget. Sekaligus merasa seksi. “Yah tampar terus pekak!”

“Nih ‘plak!’ nih! ‘plak’ ini lagi ‘plak! Plak! Plak! Plak!” Kopiang Bagia menampar bokong semok Ning tanpa ampun. Bokong Ning yang mulanya berwarna putih ke kuningan berubah merah lebam. ‘plak! Plash! Plas! Plas!’

“Aah! Panas! Panas! Lagi, lagii, lageehh.” Bulir-bulir air keringat tampak di tubuh bugilnya, terutama di area leher dan wajah. Rambut menempel pada pelipisnya, dan bunga-bunga yang tersangkut di rambut berjatuhan karena goyangan si kakek.

“Pantatmu sudah merah nduk, bisa jadi koreng nanti kalo keterusan.”

“Biaar! Ayokh terus, goyang terus!”

‘PLAK PLAS! PLAS! PLAS! PLAS!’ Kopiang Bagia menampar lebih kasar dan lebih kuat dengan sepenuh kekuatan lengannya. “AH! AAAH! AAAHH! AH! AH! PANAS! NING SUKA!”

“Di siksa kok suka, memang dasarnya lacur. Dah, ah, tanganku capek, mau fokus genjot memek aja.” Kontol si kakek keluar masuk dengan lebih cepat, di bagian pangkal batangnya lendir putih Ning terkumpul mengotori jembut si kakek.

Setelah menerima tamparan dari Kopiang Bagia, sensasi panasnya menghilang berganti dengan rasa perih saat bertemu perut si kakek. Sensasi perih di bokong dan rasa nikmat di memeknya bercampur membuat pahanya gemetar.

‘Plok plok plok plok plok plok plok plok plok plok plok plok plok plok’ Kopiang Bagia menghentikan genjotannya. “Gantian nduk. Pekak dah capek hah hah hah.”

Kopiang Bagia berbaring terlentang dengan kontol yang tegak berdiri. Ning memposisikan diri untuk menduduki penis si kakek. ‘jleb,’ tanpa halangan bibir bawahnya mencaplok seluruh batang lelaki tua itu. “Ah ah ah ah ah.” Desah Ning.

Kopiang Bagia tersenyum melihat payudara Ning bergelantungan, memantul ke berbagai arah. Kopiang Bagia yang tidak tahan melihat dua pepaya itu langsung mencengkramnya dengan kasar.

“Jangan di cakar pekak.” Protes Ning.

“Biarin, salah sendiri toket nakal gak punya adab begini gak di tutupin.” Ning sedikit terkikik mendengar Kopiang Bagia menyebut payudaranya toket nakal. Kemudian kakek itu memegaing payudara bagian kiri dengan tangan kirinya agar tidak mantul, lalu tangan kananya mengambil ancang-ancang. ‘PLAK!’

“Akh!” teriak Ning. “Sakit!”

Kopiang Bagia puas dengan reaksi Ning dan melakukannya lagi. ‘PLAK!’ Ning merintih.

“Gimana, suka?” Tanya si kakek.

“I-iya kasarin lagi susu Ning.” Kopiang Bagia gemas mendengarnya lantas lanjut menaparinya, dan Ning terus memompa genjotanya. Si kakek juga melakukan hal yang sama dengan payudara kanan Ning supaya impas. Tak lama kemudian Ning sudah hampir mencapai puncak kenikmatanya. Kedua kakinya lelah.

“Pekak, Ning mau sampehh ah ah ah ah ah.” Ujarnya letih.

“Jebolin aja nduk.”

Perut Ning mengeram, pahanya gemetar, dan bola matanya menukik ke belakang. Genjotanya semakin tidak beraturan dan benar saja, orgasmnya pun datang.

“AAAaaarrggghhhh!!!” Ning histeris lalu dari lubang kencingnya menyemburkan cairan. Ia muncrat tepat mengenai wajah Kopiang Bagia. “Ak ak ak ag ag ahh ahhhh ak ak aaahhhhh.” Ning tak bisa mengontrol tubuhnya.

“Bwah! Kurang ajar, wajahku di kencingin!” Ucapnya berang sembari mengelap matanya. Sedangkan Ning terduduk di atas tubuhnya mengejang-ngejang tidak memberi respon. Payudaranya berguncang, dan tubuhnya bergetar bak orang kena penyakit ayan. Wajah Ning mendongak ke atas, bola matanya putih, dan mulutnya menganga dengan suara ag ag ag yang tidak jelas.

“Heh denger ndak kamu!?” Ning yang masih dalam euforia masih tidak merespon. Kopiang Bagia lantas menghantamkan tinjunya dari arah kanan mengenai payudara Ning. ‘PAK!’ Suara pukulan mengenai payudara kiri Ning, membuat daging kenyal itu terbang ke kanan lalu menggantung ke posisi semula. ia tidak menjerit atau merintih, seolah ia tidak merasakan pukulan pada payudara kirinya.

“Capek hah hah hah. Sakit ah ah ah.” Ucap Ning

Si kakek lantas melayangkan pukulan dari samping dengan tangan kirinya pada payudara kanan Ning. ‘BUK!’ Payudara kanan Ning melayang kiri sampai putingnya bersentuhan dengan bahu kirinya dan berakhir menggantung seperti sedia kala.

“Sakit gak nduk?”

Ning yang masih sedikit mengejang mulai memberi respon. “Gak terlalu.”

“Toket sakti.” Ejeknya sambil tertawa.

“Udah capek?” Tanya si kakek, Ning mengangguk lalu berbaring di sebelahnya.

“Waduh pekak belum sampe loh.”

“Istirahat bentar ya.”

“Ya udah gak papa.” Si kakek menoleh ke arah Ning. Tangan meraba putting Ning. “Toket mu bagus loh nduk, melar tapi berisi. Cuma satu yang kurang.”

“Apa?”

“Gak ada susunya. Kopong hehehe.”

“Saya kan gak lagi ngandung pekak.”

“Kamu salah. Emang untuk bisa keluar susu harus hamil dulu?”

“Emang bisa?”

“Bisa dong. Aku ada obatnya. Gratis kalau kamu mau.”

“Beneran?”

“Iya, tapi nanti, ritual yang ini aja belum selesai.”

“Loh saya kira udah selesai lo.”

“He he he belum, masih ada satu lagi. Kamu siap?” Ning mengangguk, kemudian Kopiang Bagia bangun dan terduduk. Ia lalu membuka ikatan kantong plastik dekat kendi, saat membukanya sesuatu di dalam sana bergerak-gerak. Ning penasaran dengan isinya.

Kopiang Bagia menggenggam seekor sesuatu yang mirip ular. Ning terkesiap melihat makhluk mirip ular itu, tubuhnya berwarna putih mengkilat oleh lendir, dan kepalanya tidak mirip dengan ular. itu seekor belut.

“Gak gampang loh buat dapatin belut ini.” Ucap si kakek.

“Loh, di pasarkan banyak.” Bantah Ning.

“Oh maaf, salah ngomong, maksudnya dapetin do’anya.”

“Do’a siapa?”

“Roh penunggu desa ini.” Wajah Ning berubah serius. “Sebentar lagi kamu akan berbagi tubuh dengan belut-belut ini nantinya.”

“Maksudnya?”

“Maksud saya kamu harus menampung hewan-hewan ini ke dalam tubuh kamu.”

“Dimasak?”

“Ya gak gitu caranya. Kamu harus mau menelan belut ini hidup-hidup.”

Ning merenung, ia tidak menyangka ritualnya akan menjadi sesulit ini. Muncul sedikit penyesalan dalam dirinya, tapi ini sudah tanggung, ia sudah berjalan jauh malam-malam dari rumahnya ke ujung desa untuk ini. Ia juga sudah menyerahkan uang senilai 3 juta pada Kopiang Bagia, ia tidak bisa menolaknya.

“Gimana, masih mau lanjut?” Ucap si kakek yang menangkap kegelisahan Ning.

“Iya.” Ucap Ning pelan.

“Tenang aja Nduk, tubuhmu gak bakal kenapa-kenapa kok, sudah dijamin sama roh-roh agung. Gak mudah loh buat ndapatin do’a roh-roh itu. Lihat ini.” Kopiang Bagia memperlihatkan jempolnya kaki kirinya yang diikat dengan kain. “Pekak kehilangan kuku jempol, gara-gara minta do’a restu dari roh penunggu utara desa. Semacam barter lah.”

Ning bangun dari posisi tidurnya lalu duduk bersila. Tangan Kopiang bagia bergoyang-goyang mendapati perlawanan belut itu. Kulit belut yang licin hampir memubuat pegangan si kakek tergelincir.

“Ayo buka mulutmu nduk.”

Ning membuka mulutnya lebar mempersilahkan belut itu masuk. Sulit sekali mengarah kepala belut yang meronta ke mulutnya, tapi dengan usaha yang gigih kepala belut itu akhirnya mencapai tenggorokan Ning. Mulanya Ning merasa mual ketika makhluk itu menggeliat di kerongkongannya, hingga separuh dari keseluruhan belut itu masuk. Itu bisa terlihat dari leher Ning yang membengkak.

“Ayok jangan dimuntahin.” Ucap Kopiang Bagia. Mudah baginya berbicara. Batin, Ning.

Berkali-kali belut itu menggeliat hampir merosot keluar. Kali ini Ning memeganginya sendiri, dan mendorongnya masuk. Air mata Ning merembes di ujung matanya. Sampai akhirnya belut itu berhasil di paksa masuk seluruhnya ke dalam saluran kerongkongan. Setelah semuanya masuk, ia masih merasakan gerakan makhluk itu, ia juga kesulitan bernafas. Makhluk itu terjebak di sana sebelum sampai ke lambung, dan mengecap menjadi hal yang menjijikan di mulutnya. Turunlah belut kecil, batinya. Berulang kali Ning menelan ludah agar belut itu sampai kelambung. Kopiang Bagia membawa kantung plastik itu dan ditunjukan di depan Ning. Masih dua ekor lagi, sedangkan yang satu ini masih belum turun ke perut.

“Masih ada dua ekor lagi.” Ucap Kopiang Bagia.

“Bentar Pekak yang di dalam masih seret.”

“Kalo gitu, kamu emut burung ku sini.”

Ning merangkak lalu melahap penis si kakek. Ia jijik menelan seekor belut tapi suka mengemut kontol dan meminum pejunya, itu aneh pikirnya. Kepalanya maju mundur mengulum batang si kakek mengurutnya dengan hati-hati agar giginya tidak mengenai kepala kontolnya. Cairan lendirnya sendiri masih menempel di sana, ia akrab dengan rasanya. Tak hanya melahap batangnya, Ning juga membelai testis Kopiang Bagia membuat empunya merinding keenakan. Semakin lama sepongan Ning menjadi semakin bringas, buih air liur dan cairan memeknya menghiasi kedua ujung bibirnya.

“Aaak pekak udah gak kuat! Pejunya udah sampe ujung!” Tak kuasa menahan nikmat yang menderanya, si kakek akhirnya menyemburkan benih spermanya ke kerongkongan Ning. ia menahan kepala Ning, membiarkan hidung Ning bersentuhan dengan bulu jembut putihnya hingga tetes terakhir maninya keluar semua. Setelah puas, ia baru melepaskan kepala Ning agar menjauh.

“Ah hah hah hah.” Penisnya melayu. Si kakek terduduk kelelahan.

Ning merasakan saluran kerongkonganya sudah tidak mengganjal, ia bisa bernafas dengan normal. Binatang itu telah masuk ke lambungnya sewaktu menyepong penis kakek tua itu.

“Aku mau istirahat dulu.”

“Kok udah mau istirahat, terus yang dua ini bagaimana?”

“Kau masukin aja sendiri lah. Bisa kan?”

Ning mengangguk ragu. Ia membelai kepala salah satu belut dan belut itu mengibas-ibaskan tubuhnya di dalam kantung. Ning mengenggam kepala belut itu kuat, ia fokuskan jempolnya untuk menekan sedangkan tangan lainya memegangi bagian tengah hewan itu. Karena si kakek tidak mau membantu kali ini, Ning berinisiasi untuk melakukanya dengan cepat. Ia buka mulutnya lebar-lebar lalu menggigit bagian pangkal kepala belut.

“Eey jangan sampai mati, percuma nanti kalau sampai belutnya mati!”

Ning mengurangi kekuatan gigitanya dan menyedot belut itu hidup-hidup. Ia merasakan kembali sensasi menggeliat pada tenggorokannya. Setengah badan belut itu akhirnya masuk.

“Gampangkan? Hehehe.” Komentar si kakek.

Ide kotor muncul di dalam benak Ning.

“Pe’a’” Suara Ning terdengar aneh sebab belutnya masih tertahan di sana, tapi Kopiang Bagia tau bahwa Ning sedang memanggilnya.

Ning mengambil belut terakhir, menggenggamnya erat lalu mengarahkan ke dalam lubang memeknya. Berkali-kali Ning mencoba untuk memasukannya tapi belut itu selalu menggeleng-geleng kiri kanan. Merasa sudah tidak sabar, Ning mempiting kepala belut itu kuat-kuat dan memasukannya dengan paksa. Belut itu bergoyang hebat, menyerobot bebatuan kecil, lalu menyundul-nyundul rahimnya, Ning bisa merasakanya.

Separuh belut masuk ke dalam mulut, dan separuh belut lain masuk ke dalam memeknya. Ning mencoba tersenyum ke arah si kakek meski ia sendiri kesulitan bernafas. Kepalanya mendongak, lehernya sulit untuk ditekuk. Kini leher Ning hampir sebesar kepalanya. Separuh badan belut yang masih diluar menampar-namparkan ekornya ke pipi Ning, begitupun belut yang di bawah, ekornya mengepak kiri kanan seperti ikan yang baru mencicipi daratan. Ning duduk dengan kedua kakinya, lurus mengakang lalu ada belut di selangkangan dan di mulutnya. Keadaanya terlihat begitu konyol. Kopiang Bagia tertawa terbahak-bahak melihatnya.

Di kondisinya yang sekarang Ning mulai masturbasi sambil ditonton Kopiang Bagia. Ia memelintir puting kiri dan mengusap-usap itil bengkaknya. Kenikmatan pada liang kawinnya membuatnya ingin menjerit tapi suaranya terhalang oleh belut di tenggorokan.

“Eeeg Eeeeeeeg aaaaag aaaag!” kepalanya mendongak kaku, dan wajahnya seolah tidak memiliki dagu, karena ukuran leher Ning yang besar.

Remasaan Ning di payudaranya sendiri semakin kasar, ia tak segan menggunakan kukunya mencengkram sehingga meninggalkan bekas pada kulit payudaranya. Sedangkan tangan yang lainya sibuk memaju mundurkan belut di memeknya. Kontraksi pada otot vaginanya ternyata juga mempengaruhi lubang serviksnya. Lubang rahimnya tanpa Ning sadari menganga dan mengatup seakan tengah bernafas.

“Aaag ag ag ag ag aag aag.” Ning hampir kehabisan udara.

Kocokan Ning pada memeknya membuat belut itu menyeruak masuk ke lubang berikutnya dan kepalanya terjepit di dalam lubang rahim. Ketika ia merasakannya, seketika itu juga Ning mulai panik membuat kedua belut itu meronta-ronta. Belut di dalam memeknya mencoba menyeruak masuk semakin dalam ke ruang pribadi Ning tanpa bantuan tangannya, bahkan Ning malah mencoba menariknya keluar dan gagal.

“Aaaggg! Aagg! Aag ag ag!” ekspresi Ning yang panik karena ulahnya sendiri membuat Kopiang Bagia terpingkal-pingkal.

Sedangkan belut di tenggorokan Ning juga menunjukan prilaku yang sama. Belut itu menggeliat hebat menerobos masuk semakin dalam menyisakan ekor kecil di bibir Ning, barangkali ia sudah tidak sabar ingin bertemu temannya yang sudah masuk duluan.

“AAAGG! AAAG! Aaaggghh!” Perasaan panik justru membuatnya semakin horni. Ia lelah menarik ekor belut yang licin itu dengan tangannya. Kini ia sudah tidak peduli lagi. Jika belut itu benar-benar masuk ke dalam rahimnya maka biarlah. Kalau sesuatu hal yang buruk terjadi padaku maka biarlah. Ia sungguh-sungguh tidak peduli. Ning menampar-nampar memeknya dengan keras. Ini semua salah memek itu. Ia harus menghukumnya.

‘Pak! Pak! Pak! Paak!’ dan yang terakhir adalah yang paling kuat ‘PLAK!!!’ Rasa sakit itu menjalar keseluruh syarafnya dan birahinya membara, ia menjadi gila.

“Eeeeeiiirrggghhhhh iiikkhhh iiihhh ihhh.” Ning mengerang oleh tamparannya sendiri, tubuhnya condong ke depan, wajahnya nyengir oleh rasa sakit membuatnya berwarna merah padam serta akar urat yang muncul di dahi dan lehernya juga terlihat jelas, ada setitik air mata dujung kelopak, sedangkan tangannya masih sibuk mengusap-usap memeknya seperti seorang ibu yang mengusap kepala anaknya yang sehabis terbentur benda keras.

Ekor belut di mulutnya sudah tidak ada, dan tenggorokannya yang bengkak kembali normal, tapi Ning masih bisa merasakan keberadaan belut itu di kerongkongannya, tersendat. Ia butuh minum sesuatu tapi ia sedang masturbasi, puncak orgasm yang sudah ia dambakan sebentar lagi akan tiba. Ia tidak mau berhenti bahkan andai ia tengah terbaring di rel kereta dan kereta api tengah melaju ke arahnya, sungguh ia tidak akan pergi sampai orgasmnya sampai.

“Air, ahir ah-ir ah ah ah ah.”

“Air kencing mau?”

“Terserah! Aah ah ah hah ah.” Pikiran Ning benar-benar telah rusak, ia bahkan terkejut dengan ucapannya sendiri.

“Dasar lonte edan! hahaha.” Tawa Kopiang Bagia dan desahan Ning memenuhi rumah gubuk itu. Si kakek bangkit dari duduknya dan Ning tiba-tiba terjengkang kebelakang.

Tidak ada lagi ekor belut yang terlihat di memeknya, makhluk itu benar-benar telah menyeruak masuk ke dalam rahim. Tiga jari Ning keluar masuk memeknya secepat piston kendaraan yang melaju kencang, sedetik pun tangannya tidak melambat. Kopiang Bagia yang sudah bangkit dan berdiri di atas tubuh Ning yang berbaring mengakang. Diarahkanya kontol miliknya agar bidikannya sesuai sasaran, lalu ‘cuuurrrrrrrr.’ Di saat bersamaan, orgasm Ning akhirnya sampai.

“AAAAGGGGHHHHHH!!!” Ning menyemprotkan cairan dari memeknya sedangkan Kopiang Bagia meloloskan isi kandung kemihnya, dan Ning menampung air berwarna kuning itu dengan mulutnya secara suka rela. Tidak jarang siraman airnya mengenai wajahnya yang tolol saat orgasm. Ning menelannya, dan ia tidak memperhatikan bagaimana rasanya. Orgasmnya menghentak lebih kuat dan nikmat, mengalihkan perhatiannya dari rasa kecing urine Kopiang Bagia.

Kopiang Bagia telah selesai mengencingi mulutnya tapi orgasmenya belum kunjung reda. Matanya masih putih dan sesekali ia juga mengejang sampai akhirnya ia benar-benar tenang. Ning tidak percaya dengan apa yang barusan dilaluinya, memeknya panas, bokongnya perih, dan payudaranya dihiasi guratan-guratan merah. Ia butuh isirahat.

“Pekak, ramuan susunya kapan-kapan aja ya.”

“Iya.”

“Tapi, belut yang satunya gak ketelan itu gimana?”

“Gak harus lewat mulut kok nduk, jadi kamu gak usah khawatir.”

“Saya gak akan kenapa-kenapa kan pekak?” Ning bisa merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di bagian ulu hati dan perutnya.

“Kamu terlalu banyak khawatir. Kamu sudah di mandikan dengan mantra untuk melindungi kamu dan belut itu sudah bukan lagi belut biasa setelah 4 roh agung mendo’akan mereka dengan kata lain belut-belut itu sudah di urapi mantra sama mereka, kamu jangan tanya siapa mereka, namanya gak boleh disebut. Belut itu sudah menjadi bagian dari diri kamu, jadi gak akan mungkin buat nyakitin kamu. Paham?”

“Paham.” Ning mengangguk, meski rasa geli pada perut dan ulu hatinya masih terasa.

“Ingat ini nduk. Kamu hanya bisa telanjang di desa ini dan orang-orang yang tinggal di sini saja. Sihirnya gak akan berfungsi di luar kawasan desa, atau orang asing yang bukan dari sini. Aku udah pasang 4 pusaka di penjuru mata angin, jangan melewati batasnya kalo kamu gak ingin kepergok terus dijahati orang lain.”

“4 pusaka itu keris kah?”

“Bukan, aku mana ada keris, koin 500-an aja kembalian dari beli rokok kemarin.”

“Kok katanya pusaka.”

“’Pusaka’ itu cuma sekedar nama, yang penting logam. Dah ah, capek neranginnya, aku mau tidur dulu.” Kopiang Bagia memakai celanannya. “Kamu mau tidur di mana?”

“Saya numpang tidur di sini bentaran ya pekak, udah jam 1 soalnya. Ning udah gak ada tenaga lagi buat pulang.”

Keadaan ruang tamu itu sekarang sangat kotor, ada berbagai macam cairan yang membasahi karpet dan kelopak bunga berceceran di mana-mana. Kopiang Bagia masuk ke dalam kamarnya lalu Ning berpindah posisi ke area karpet yang masih kering. Ning berbaring terlentang, pikiranya menerawang jauh di masa-masa mendatang. Tiba-tiba sebuah kain mendarat di atas tubuhnya yang telanjang, si kakek itu yang melemparkanya. Itu sebuah selimut. Ning tidak membutuhkan selimut, persetubuhannya dengan belut-belut itu masih membuatnya panas dan berkeringat, ia pun memintal selimut itu menjadi gumpalan kain dan memakainya sebagai bantal. Tak lama setelahnya kelopak mata Ning menjadi semakin berat, berkali-kali ia menguap sambil memandangi atap sampai akhirnya ia pun terlelap.



To be continued.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd