diablosamudra
Semprot Baru
- Daftar
- 17 Jul 2022
- Post
- 46
- Like diterima
- 165
NAKED MOM SEKUEL
Sudah 3 bulan Dewandaru meninggalkan bali, selama itu juga Ning merindukan putra semata wayangnya. Semenjak dewandaru melantiknya menjadi hewan peliharaan, Ning sama sekali tak pernah mengenakan secarik pakaian pun di dalam rumah maupun di luar rumah, kecuali kalo pergi ke tempat-tempat yang ramai; seperti ke pasar untuk membeli kebutuhan pokok, dan saat menghadiri upacara-upacara adat desa.
Ketelanjangannya adalah satu-satunya kesenangan bagi Ning yang sudah lama menjanda. Ning sangat bersyukur pada dewa-dewa karena telah dikaruniai anak seperti Dewandaru, meskipun sosoknya tidak ada di sampingnya, hasil jerih payahnya selama ini sudah terbayar lunas.
Putra semata wayangnya kini telah menjadi orang betulan, di pelayaran, di laut lepas. Hampir tiap dua minggu sekali Ning mendapat kiriman uang dari putranya itu, dan dalam jumlah nominal yang sangat banyak.
Pernah di suatu malam Dewandaru menelpon Ning, dan menyarankan untuk ibunya agar tidak perlu berjualan lagi ke pasar. Kala itu Ning tengah bertelanjang bulat seperti biasanya dan bercengkrama dengan seonggok jagung yang baru dibelinya tadi pagi, dan seperti malam dan hari yang sudah-sudah, mulut cabul Ning tak pernah lupa menyebut-nyebut nama anaknya.
“Dewandaru anak ibuk yang paling ganteng… yah begitu.. terush.. kamu hebat banget nak!”
bunyi kecipak dari kelamin Ning beriringan dengan suara desahan nakal Ning. Tubuh Ning menggeliat bak ular yang kesakitan. Bulir keringat di mana-mana, wajah nih menyala merah, air liur mengalir dari mulut Ning bak seekor anjing tapi tangan kiri ning yang memegang jagung masih terus semangat menumbuk-numbuk lubang mekinya yang sudah babak belur mengeluarkan cairan putih dan buih gelembung kecil-kecil membasahi tikar di bawahnya. Sedangkan si tangan kanan bergerilya meremas dan mencubiti puting payudaranya yang mengeras maksimal,
menambahkan sensasi seksual dalam diri Ning.
Dari yang mulanya suara desahan, Ning mulai menyalak-nyalak seperti orang kerasukan. Rupanya orgasm Ning yang pertama hampir sampai. Rambutnya berantakan, menutupi wajah meranya. Dan ketika puncak kenikmatan itu hampir diraihnya, suara HP yang tergeletak di sampingya berdering nyaring.
“kringgg...kringgg…!” Seketika itu wajah Dewandaru muncul dalam imajinya. “Dewandaru!” puncak oragasm yang sudah Ning nantikan itu pun sirna. Ning segera menyautnya Hp-nya itu.
“Hah hah halo Nak?” Suara Ning yang masih ngos-ngosan bisa didengar oleh Dewandaru di
seberang sana. ”Ibuk lagi asik mainan ya?” Tanya anaknya. Meski sudah terbiasa bertelanjang di depan anaknya, Ning masih menyimpan gengsi pada anaknya bila dia ketahuan mainan kelamin sendirian.
“Hus! Kamu ini sembarangan aja sama ibu. Baru juga nelpon udah tanya yang aneh-aneh kamu ini. Kamu gimana kabarnya di sana, betah gak kerja di kapal?” Ning mengalihkan pertanyaan anaknya.
“Yah betah aja sih bu. Tapi ya masih enak di rumah, bareng ibuk hihihi”
“Syukurlah kalo kamu emang udah betah. Jangan lupa kalo kamu udah nemu jodoh cepet-cepet dikenalin ke ibuk.”
“Mau dapat jodoh gimana buk, orang isinya orang eropa semua, mana cocok sama Ndaru.”
“Iya, iya. Ini malam-malam kenapa tiba-tiba nelpon?”
“Bukan apa-apa sih buk. Ndaru cuma kepikiran kalo baiknya ibuk gak perlu lagi jualan ke pasar. Kan Ndaru udah bisa ngasilin uang buat ibuk di rumah, jadi gak perlu capek-capek lagi.” Ning hendak menangis menangis mendengarnya tapi Ia menahanya. Ning merasa dirinya adalah manusia paling beruntung di dunia ini karena kepedulian Dewandaru pada ibunya yang tak pernah bisa
memberikan kehidupan yang layak pada putranya. Semua kesuksesan yang berhasil dicapai anaknya tidak lain adalah murni usaha anaknya sendiri, pikir Ning. Dan uang yang ditransfer Dewandaru ke rekeningnya, sejatinya membuat Ning merasa semakin malu sekaligus bangga.
“Kalo butuh apa-apa, tinggal bilang ke Ndaru aja. Dan satu lagi bu-ini ak-u ad…” Eh ini kenapa kok tiba-tiba jadi putus-putus begini?
“Nak ini putus-putus! Waduh sinyalnya jelek.” “Ha-lo buk? Sua…Ke-d-ran ak?” “Bentar nak! Ibuk ke depan rumah dulu, gak ada sinyal di sini!”Ning segera bangkit dan berlari ke depan rumah tanpa memperdulikan keadaanya yang masih bertelanjang total, bahkan barangkali ia juga tak ingat ada sebuah jagung yang masih tertancap di mekinya. Mungkin karena kebiasaanya yang sering bertelanjang bulat telah menumpulkan kepekaan Ning pada rasa malu yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia yang mengaku beradab.
Di luar, Ning mengacungkan HP-nya tinggi-tinggi ke langit. “Gimana buk? Sudah jelas belum suaranya?” tanya Dewandaru penasaran. “Sudah-sudah, ini udah mulai jelas. Maklum namanya juga desa. Kamu gimana di sana sehat gak?”
Jalan desa begitu sepi di saat malam, tiang-tiang lampu kayu di sisi jalan tidak terlalu terang memang supaya lebih irit, karena memang sengaja dipasang oleh warga sekitar yang ingin jalan di depan rumahnya terang, dan mereka ini bukan orang-orang berada. Kebetulan rumah Ning memang dari dulu tidak pernah memasang lampu di jalan, dan cuma pasang satu lampu kuning dengan daya 3 watt di bagian teras rumah aja. Ning melihat batu tua besar yang sebagian tertanam di dalam tanah dekat pagar rumahnya.
“Sehat buk. Kalo ibuk sekarang gimana? Masih sering main sama I Sampi gak? Hihihi…” Tanya Dewandaru sambil sedikit cekikikan.
“Hih kamu ini mulai lagi ngomong yang nggak-nggak. Kenapa, anak ibu penasaran ya? Ahh!” Ning terlonjak kaget ada sesuatu yang menumbuk mulut rahimnya. Ternyata jagung yang tertancap di mekinya merengsek masuk semakin dalam sewaktu ia duduk di atas batu itu. Ning meraba jagung
itu yang kini tinggal terlihat pangkalnya saja. Aduh ini gimana cara ngeluarinya ya?
“Ibu kenapa kok tiba-tiba ndesah gitu? Iiihhh jangan-jangan ibu lagi bugil di teras ya?” Tanya Ndaru penasaran.
“Kan kata kamu, ibu gak boleh pakai pakaian. Lagian jalan desa juga sepi di jam-jam sekarang.”
Pengakuannya pada putranya membuatnya malu, sekaligus membangkitkan lagi keinginannya untuk masturbasi. Dia menyadari keadaanya yang tengah bugil di halaman rumah membuat mekinya yang menyimpan sebuah jagung cenat-cenut menuntut untuk dipuaskan.
“Pasti sambil mainan itu. Pantesan suaranya agak aneh. Tapi Ndaru juga pernah sih ketemu yang nudis-nudis sewaktu kerja di sini.”
“Anak ibu pake bahasa aneh-aneh, ibu mana tau istilah ‘nudis-nudis’ begituan.”
“Ituloh buk, orang yang hobinya gak pake baju, sukanya telanjang terus kayak ibuk.” Oh jadi
nudis-nudis itu artinya orang yg gak pake baju.
“Anak ibu yang suka pikiran jorok ini pasti seneng dong bisa ketemu mereka yang ‘nudis-nudis’ itu isshhh.” Ning menggoda anaknya sambil mengusap-usap itilnya yang bengkak. Ia membayangkan Dewandaru dikelilingi wanita-wanita tanpa busana. Ning tak bisa
membayangkan bagaimana ekspresi wajah anaknya yang lugu di tengah situasi semacam itu. Ning mulai menggoyang-goyangkan pantatnya, membiarkan pangkal jagung bergesekan dengan permukaan batu sehingga memunculkan kembali birahi seksual yang sebelumnya hilang, dan cairan cinta pun mulai membasahi batu tua itu.
“Mereka cantik sih tapi… Gak ah! Buat Ndaru mereka gak menarik, gak kayak ibuk.”
“Gombal ah.”
“Buk, kelak Ndaru bakal beli rumah sendiri, rumah yang lebih bagus agar nanti-…” Ning mulai tak fokus dengan percakapan putranya.
“Iyah.. iya nak.”
“…-jadi nantinya Ndaru itu bisa diriin toko atau restoran biar gak perlu kerja jauh-jauh lagi.”
“Ooohhh… ishhh.” Gatel banget, Batin Ning.
“Ya udah lah buk, Ndaru pamit dulu ya.”
“Eh! Kok udahan?” Ning menghentikan aktifitasnya sejenak.
“Habisnya ibuk kayaknya gak fokus waktu diajak ngomong serius.”
“Ibuk denger kok.”
“Tadi Ndaru bilang apaan coba?” Ning tidak mengingat jelas apa yang diucapkan anaknya
barusan. Aduh apa ya?
“Eee Tadi Ndaru bilang pengen bikin restoran kan di sana.” Ucap Ning menerka-nerka.
“Di sana, di mana?”
“Di tempat kamu kerja kan?”
“Hiiii salah. Tuh kan bener, Ibuk gak dengerin Ndaru.”
“Iya deh ibuk minta maaf, tadi kamu bilang apa sih nak?”
“Gini loh buk, kalo Ndaru balik terus beli rumah di Kuta, nanti ibu pindah ikut Ndaru mau gak?
Dari pada rumah yang sekarang kan udah lama, dan kalo dibandingin dengan rumah di kota-kota kan jauh lebih enak. Gimana?”
Pertanyaan Ndaru memunculkan dilema dalam di hati Ning. Ia bukan tipe orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, apalagi daerah perkotaan. Tempatnya adalah di desa dengan segala kesederhanaanya, dengan orang-orangnya, dengan rumah ini, rumah hasil banting tulang I koplag mantan suaminya. Namun di samping itu, ia juga tidak mau hidup terpisah dengan anak satu-satunya. Ini pertanyaan berat.
“Jadi rencananya nanti disana Ndaru bisa buka restoran atau buka toko buat usaha. Kan di kota posisinya rame.”
“Ooh gitu, ya nanti lihat aja dulu. Kamu fokus kerja dulu aja, agar nanti apa yang kamu pengen bisa tercapai.”
“Iya udah lah buk. Kayaknya ibuk dah pengen banget nuntasin hajatnya. Ndaru jadi kasihan.
Kapan-kapan lagi ya buk.” Ia ketahuan mianan meki sama anaknya, Ning malu untuk membalas. Ia memilih diam, dan telpon pun terputus. Kini di dalam pikiran Ning. Apakah dia mampu bergaul dengan orang-orang kota, dan kelak apa yang akan ia lakukan di sana. Sejatinya berjualan dan mencari pakan ternak adalah keseharianya. Kegiatan itulah yang mengisi kekosonganya semenjak ditinggal mati I Koplag. Kegiatan itu ibarat seperti bernafas baginya. Dan lagi, Ning tidak tau apa-apa tentang perkotaan.
Itil bengkak itupun di usap-usap lagi. Dan pinggulnya pun mulai ia gerakan lagi seperti tadi. “Uuuhhhh…” Hanya ini lah satu-satunya cara untuk mengobati kegalauan yang menjangkiti. Dirabanya jagung yang telah tertanam di dalam meki. Kuku-kukunya mencoba mencengkram sebisa mungkin biji-biji jagung yang terlihat, agar bisa di keluarkan. Meski mulanya licin namun dengan sedikit kegigihan dan dorongan dari otot dinding kelaminya, akhirnya jagung itu pun bisa ia keluarkan. Dimasukannya lagi jagung itu ke dalam lubang peranakanya tapi tidak sampai
mentok seperti sebelumnya, ia menggunakan jangung itu sebagai alat untuk masturbasi, untuk menggaruk lubang mekinya yang gatal.
“Ah ah ah ah..” Wajah Ning yang merah mengiba menghadap langit malam. Sensasi bertelanjang di luar rumah, dan rasa takut ketahuan membuat birahinya makin menjadi-jadi. Kedua payudaranya yang bergoyang-goyang hebat ia cubit dan tarik dengan kasar satu persatu secara bergantian. Ning menyukai rasa ngilu pada payudara dan putingnya. Ia tidak sadar jika payudaranya semakin besar dan melar tiap harinya semenjak menjadi binatang peliharaan anaknya karena kebiasaanya.
Batu besar tempatnya berbaring menjadi semakin basah oleh lendir dan keringat. Mulut Ning yang ngos-ngosan melepaskan karbondioksida ke udara, menciptakan kepulan putih embun tanpa henti. Udara dingin malam tak bisa mencengkram tubuh panas Ning di tengah adrenalinnya yang membara. “Aaaaarrgghh! gatal banget!” pikirannya mulai tumpul, dan rasa was-wasnya perlahan memudar. Ia jadi tak segan lagi menjerit-jerit di pinggir pagar yang tingginya hanya sebatas paha.
Semakin lama ia merancap, semakin cepat pula ia mengocok jagung itu keluar masuk ke lubang kawinnya.”Aaaahhh yaah yah yah! Bentar lagi! Sampe!” setelah dibuat tanggung oleh anaknya, ia tidak boleh gagal meraih orgasme kali ini. Dan tiba-tiba dari kejauhan suara asing tertangkap oleh gendang telinga Ning.
“Ting ting ting!” Gawat, ada kang Komang! Dia adalah penjual nasi goreng keliling yang biasa
keliling desa sewaktu malam. Ning yang panik segera berusaha bangkit dari batu besar, lalu
menjatuhkan tubuhnya ke rumput.
“Ting ting ting ting!” Suara kentingan mangkok penjual nasi goreng itu kian terdengar. Tangan
kiri Ning tidak bisa berhenti mengocok jagung di selangkanganya, bahkan makin dekat suara
gerobak itu makin cepat gerakan tangannya. Ning mati-matian menahan desahan. “Iiisshhhhh!! Ah! Ah! Ah!” namun tetap saja sebagian desahannya keluar tanpa bisa dikontrolnya.
Kang Komang yang sudah sampai di depan rumah Ning pun mendengar suara desahannya. “Halo pak!? Buk!? Kayaknya tadi denger suara orang. Apa anjing kali ya?” Kang Komang bicara sendiri, sedangkan Ning tengah berbaring mengakang di balik pagar. Ia mengarahkan payudara kirinya
kemulut, lalu menggigit puting kirinya kuat-kuat agar tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, dan tangan kirinya mengocok jagung di selangkanganya dengan kecepatan yang luar biasa. Ning sudah tidak mampu menahanya. Rasa takut ketahuan Kang Mamang, rasa geli rumput yang
menusuk di bagian belakang tubuhnya, rasa perih pada payudaranya, rasa ngilu pada kelamin dan gatal pada itilnya,serta sensasi bugil di luar rumah, menciptakan euforia yang meledak-ledak di dalam otaknya. Birahinya mengatakan dia harus mencapai puncak sekarang juga. Inilah momennya.
“Eeerrrggghhhhhh! Aurgh! Eerggghhh! AAAaargggghhh!” Batang jagung yang bersemayam di lubang cintanya terpental ke tembok dibarengi dengan muncratan lendir.
Ning tidak peduli lagi dengan situasinya, yang ia perlu pedulikan sekarang adalah menikmati
orgasm yang tengah melandanya. Tubuhnya kejang-kejang seperti orang yang tengah sekarat karena keracunan.
“Aduuuh kok ngeri gini. Pak? Buk?” Suara Kang Komang pelan dan ragu. Kang Komang merinding mendapati suara tak bertuan. Ia tidak tau jika di dekatnya ada seorang janda yang sedang dilanda orgasme. “Argh! Augh! Augh! Hiih hiiih!” Ning menyalak bak kesetanan, menggosok-gosok klentitnya dengan telapak tangan, dan mulutnya masih tidak mau lepas dari puting kirinya.
“Udah ah!” Kang Komang bergegas pergi dari sana, mendorong gerobaknya dengan langkah
cepat-cepat. Sedangkan Ning masih ngos-ngosan menikmati sisa orgasme yang menderanya. Cairan lendirnya masih mengalir dari vaginanya, tapi tenaganya sudah terkuras habis. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah berbaring menikmati surga dunia ini dengan tubuh yang kadang masih mengejang, sambil menatap bintang-bintang. Dan seperti biasa, setelah orgasme Ning akan lupa dengan hal-hal yang terjadi, ia berubah menjadi orang ling lung untuk sesaat. Sampai kemudian, Oh iya Kang Komang!
Dengan perlahan Ning mencoba bangkit dari posisinya yang berbaring lalu berjongkok. Ia tidak mungkin berdiri karena tinggi pagarnya hanya sebatas paha. Di posisinya yang tengah jongkok, Ning mulai menjulurkan kepalanya dari balik pagar. Tidak orang di jalan. Sepi. Kang Komang udah gak ada, kirain bakal ketahuan, perasaan aku tadi teriaknya agak kekencengan, ya kan? Ning tidak bisa mengingatnya. Ia kemudian berdiri, lalu meraih HP-nya yang tertinggal di atas batu dan jagung yang tergeletak di sisi pojok pagar. Lalu ia berjalan dengan santai masuk kedalam rumah.