Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT [No SARA] Panah Asmara (True Story)

Suhu .... terima kasih info dan penjelasaan .... tetap terus berkarya kreatif ... mantappppp pokoknya ...
Masih ada kisah lain based on true story ane. Masih ane susun ceritanya. Kisah bersama seorang anak magang yang terjadi sebelum affair ane dengan Nira.
Nantikan kisahnya hu.

Mantappppp... Plus pesan moril ya suhu :cendol:
Yah,,,meskipun bejad, ane berharap bisa masuk surga hu. Wkwkwkwkkwk

Kenapa gak dinikahin aja suhu?
Kayaknya udah ane jelasin Hu alasan ane dan Nira gak menikah.
Intinya adalah, ane gak mau Nira berpisah dengan suaminya karena Ane. Begitu juga setelah Ane pikir mateng-mateng, sepertinya Ane belum siap untuk bisa Adil dengan memiliki 2 istri. Walaupun Nira tidak menuntut apa-apa, tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat ketika dia sudah menjadi istri ane, rasa egonya muncul dan mulai nuntut ini itu yang sebelumnya tidak dia permasalahkan.

wah ketinggalan cerita seru ne.
maraton hu...wkwkwkwkkw

Nira tdk hamil ya suhu
Hamil gak ya?? Jangan lewatin bagian Epilog nanti akan ane ceritakan. Apakah Nira hamil, apakah kami bisa move on, bagaimana hubungan Nira dengan suaminya, bagaimana kami menyikapi diri kembali sebagai teman, dan bagaimana bagaimana lainnya akan ane bahas di bagian Epilog.

FYI, sekarang Nira udah punya anak 2. Umurnya hampir 4 tahun.
 
Terakhir diubah:
EPILOG
Tears In Heaven


Sudah 4 bulan setelah aku dan Nira berpisah. Akupun sudah mulai terbiasa dengan segala aktivitas tanpa chat darinya. Jikapun ada semuanya tak lebih hanya merespon story di medsos. Aku sedang duduk di garasi belakang sambil menghisap rokok. Tempat yang sama ketika aku menyatakan perasaanku pada Nira melalui chat waktu itu. Aku kemudian bangkit menuju lockerku hendak menyimpan rokok setelah security mengatakan bahwa ada nasabah yang datang menemuiku.

Kubuka lockerku, memasukkan rokok, kemudian merenung sejenak menatap kotak kecil bekas kado ultah dari Nira tahun lalu. Dia membelikanku sebuah dompet. Sebuah kado sederhana tapi memiliki makna menyentuh karena Nira sangat tau bahwa aku tak pandai mengelola keuangan.
"Simpan uang Bi di dompet ini. Jangan boros" ucapnya waktu itu seraya menyerahkan kado tersebut. Ya, Nira memintaku mulai belajar mengelola keuanganku.
Kubuka kotak kado tersebut, terlihat senyuman Nira disebuah potret di dalamnya. Aku masih menyimpan sedikit sisa-sisa kenangan darinya di dalam locker ini. Tak mungkin kubawa pulang karena akan memicu kemarahan istriku.

Aku kemudian menemui nasabah yang menungguku di ruang tunggu khusus nasabah. Seorang wanita bersama teman kerjaku duduk di dalam sana.
"Assalamualaikum" ucapku saat membuka pintu.
"Waalaikum salam" jawab mereka bersamaan.
"Nah ini dia orangnya. Yaudah saya tinggal dulu yah, masih banyak kerjaan. Nanti biar Pak Adji yang layani ya" ucap rekanku seraya bangkit dan meninggalkan ruangan.
Aku kemudian duduk dan senyum kepada nasabah di depanku sambil basa basi menanyakan kabar. Persis seperti standar layanan perbankan.
"Apa kabar? Sehat?"
"Alhamdulillah, saya sehat. Mas apa kabarnya?" Ucap Nira. Ya, nasabah yang di depanku saat ini adalah Nira. Dia datang sebagai nasabah.
"Sombong yah sekarang" tambahnya sambil mencubit pahaku yang dengan refleks kutangkap tangannya namun Nira kembali menarik tangannya dengan cepat.
"Bukan sombong, cuma malu" ucapku asal-asalan.
"Halah, bilang aja udah move on"
"Belum sepenuhnya. Masih tetap ada kok, sekali kamu masuk ke hati saya, selamanya kamu akan ada disana, mengisi ruang-ruang di dalam hati saya" jawabku lagi.
"Iya mas, saya tau. Saya ngerti banget kamu orangnya seperti apa" Nira menunduk seperti mengingat-ingat masa lalu kami. Aku mencoba mencairkan suasana dan mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya, ada perlu apa? Biar saya bantu uruskan. Tapi ini bukannya ngusir lho ya" ucapku sambil mencoba mengajaknya tersadar bahwa masa lalu udah berakhir dan sekarang kami udah memulai lembaran baru masing-masing.
"Enggak kok. Cuma mau nganter ini" ucapnya sambil menyerahkan sebuah goddie bag.
"Apa nih?"
"Selamat Ulang Tahun ya Ayah" ucapnya sambil tersenyum.
"Eh barusan bilang apa?? Ayah? Kita udah sepakat move on lho" aku panik khawatir ada yang mendengarkan ucapannya. Nira hanya tertawa kecil lalu bangkit.
"Aku hamil mas, udah 4 bulan" ucapnya sambil menunjuk perutnya yang belum terlalu jelas kelihatan buncit. Nira lalu berjalan keluar meninggalkan aku yang masih bengong beberapa lama sambil melihatnya keluar dari gedung. Aku serasa jadi patung ketika mendengarkan berita bahwa dia sedang hamil.

Aku kemudian melangkah keluar mencoba menyusulnya. "Hamil?? Nira hamil?" Aku deg-degan dengan kabar itu.
"Nira, tunggu sebentar" aku memanggilnya di areal parkiran.
"Terus aja jalan. Lurus sampai ke cafe di depan itu. Kita ngobrol sebentar yah" ucapku berbisik disampingnya. Aku pura-pura melangkah seakan-akan semuanya biasa saja agar teman-temanku tidak curiga.
Di dalam cafe kami kemudian memilih tempat duduk lalu memesan beberapa makanan.
"Kamu beneran hamil?" Tanyaku tidak sabar.
"Iyalah. Masa bohong. Kaget ya?"
"Iyalah. Kok pas 4 bulan?" Aku masih penasaran.
"Lha iya dong mas. Kan 4 bulan lalu dibikin. Ya jadi deh sekarang janinnya" jawab Nira sambil mengelus perutnya.
"Anak siapa?" Aku langsung tidak sabar menanyakan inti dari rasa penasaranku.
"Kira-kiraaaa..." jawab Nira sambil meledekku. Ah sialan memang. Bisa-bisanya kini dia meledekku.
"Mas, kamu gak perlu khawatir. Anak ini nanti akan lahir,.tumbuh dan besar bersamaku" sebuah jawaban yang seakan-akan menunjukkan dirinya sebagai wanita kuat yang rela menanggung semua beban itu sendiri.
Aku bukannya tidak ingin anak itu lahir. Akupun tak ingin jika Nira sampai ****** karena aku juga ingin melihat anak itu. Anak yang tercipta atas dasar cinta antara ibu dan ayahnya. Sejuta skenario mulai berkeliaran di benakku. Terbayang nanti anak itu lahir dan aku diam-diam mengirimkan uang pada Nira untuk membantu biaya hidupnya. Atau ketika nanti anak itu besar lalu dia mengetahui bahwa aku adalah ayahnya, akan kuceritakan semua kisah pahit ayah dan ibunya yang saling mencintai tapi tak dapat bersatu.
"Semoga dia mewarisi mata indahmu" ucapku pada Nira yang mulai menyantap makanannya. Nira hanya menjawab dengan senyumannya.

Hari itu aku chat Nira sampai malam. Menanyakan kabarnya, aktivitasnya setelah kami berpisah. Menayakan kehidupannya, kesehariannya, dan yang paling banyak adalah kehamilannya. Hanya saja, sejak kehamilan itu Nira mulai mengurangi aktivitasnya di sekolah. Dia lebih banyak berada di rumah sehingga aku tidak bisa menghubunginya setiap hari. Aku sangat berhati-hati agar tidak ada yang tau tentang hubungan kami meskipun sudah berakhir.

Dari chat-chat dengannya, aku mengetahui bahwa setelah kami berpisah Nira menyibukkan diri dengan aktivitas lain di luar sekolah. Dia melanjutkan belajar masak, kursus menjahit dan ikut pengajian rutin bersama teman-temannya sesama ustazah. Nira juga mulai mencoba berkomunikasi dengan suaminya, meskipun kadang muncul rasa enggan tetapi dia tidak pernah lupa akan kewajibannya sebagai istri. Meskipun dia tidak mencintai suaminya, dia berusaha sabar dan tetap melayaninya. Meski dia sendiri menganggapnya mustahil, namun dia berserah diri pada yang Maha Kuasa agar bisa mencintai suaminya sekarang atau suatu saat nanti. Suaminya, meskipun kaku, namun harus kuakui bahwa dia adalah laki-laki terbaik hanya saja dia belum tau cara menyenangkan hati Nira. Tak apalah, mungkin dia butuh waktu untuk belajar.

Empat bulan kemudian, beberapa hari menjelang lahiran aku kembali bertemu Nira di kantor. Dia mengajak temannya yang akaj bertugas menggantikan dia mengurus tabungan sekolah selama dia cuti melahirkan. Saat temannya masih duduk di counter CS, Nira mengajakku ngobrol di ruang tunggu khusus nasabah.
"Mas, beberapa hari lagi aku lahiran. Aku lupa ngasi tau kalo hasil USG anak ini ternyata cewek. Bukan cowok seperti harapanku, tapi aku akan tetap menyayanginya" ucap Nira.
"Semoga lancar ya lahirannya. Semoga nanti dia secantik kamu" ucapku sambil menahan diri untuk tidak mengelus perut hamilnya. Tak lama kemudian temannya datang dan mengajak Nira pulang.


PUTRI

Aku mendengar kabar bahwa Nira telah melahirkan. Sayangnya saat itu aku sedang di luar kota karena tugas kantor. Aku baru kembali ke kota kami 5 hari kemudian. Ingin rasanya kukirimkan chat kepadanya. Menanyakan kondisinya, memintanya mengirimkan foto anak kami. Ah sayangnya aku tak bisa melakukan itu karena aku yakin saat ini dia sedang sibuk dan dikelilingi oleh orang-orang terdekat.

Sekembalinya aku ketika kembali ke aktivitasku di kantor, aku kemudian pergi ke rumah Nira. Membawakan sepaket bingkisan yang kubeli di toko perlengkapan bayi. Aku kangen ingin bertemu dengan Nira, terlebih lagi dengan putriku yang baru dilahirkannya 5 hari lalu. Sedikit sedih karena aku tak bisa menemaninya di ruang bersalin, tak bisa menggendong bayi kami, dan tak bisa mengucapkan adzan di telinga bidadari kecilku.

Sambil menyetir, aku memikirkan alibi kenapa aku datang membawa bingkisan. Dan aku menemukan sebuah alibi yang sangat tepat.
"Ini bingkisan sebagai bentuk perhatian kami kepada nasabah. Saya mewakili teman-teman, pimpinan dan perusahaan mengucapkan selamat atas kelahiran putrinya". Ah sebuah kalimat yang sempurna untuk kuucapkan nanti saat menyerahkan bingkisan. Aku kemudian tiba dan dipersilahkan masuk. Kebetulan di rumah itu hanya ada Nira dan Ibunya. Nira menemuiku di ruang tamu sambil menggendong bayinya. Menatap bayi kecil itu membuatku deg-degan. Teringat akan semua dosa-dosaku bersama Nira, namun disaat yang bersamaan teringat akan besarnya rasa cinta kami berdua.

"Untung gak mirip aku" ucapku setengah berbisik.
"Dia mirip suamiku. Orang-orang yang datang kesini bilang begitu. Dan menurutku itu benar" jawab Nira.
"Eh!!? Berarti bukan anakku dong" aku membalas ucapannya dengan muka terheran.
"Kayaknya sih bukan" jawab Nira sambil cengengesan ke arahku.
"......" aku terdiam hanya bisa menatap bayi mungil tersebut.
"Kok diam mas, kecewa yah?" Sambung Nira.
"Eh,,enggak. Maksudku, entahlah. Kecewa atau tidak aku gak tau. Tapi aku sedikit lega jika dia bukan anakku"
"Aku juga mas. Kalau seandainya dia mirip kamu, dan memang benar anakmu, mungkin situasinya akan menjadi buruk. Syukurlah dia adalah anak suamiku" ujar Nira sambil mengeluarkan payudaranya hendak menyusui bayinya. Payudaranya besar sekali, sebesar buah pepaya dengan puting lebih gelap dari yang pernah kulihat hampir setahun lalu. Aku menatap tajam melihat payudara itu. Membayangkan mulutku berada disana menghisap asinya.
"Matanya biasa ajaaaa....jangan cabul. Ada anak kecil lho" goda Nira yang memergokiku menatap payudaranya. Aku hanya tertawa dan akhirnya hari itu kami berbicang-bincang sambil sesekali saling mengingatkan momen-momen ketika kami masih bersama.

Hari itu aku mengetahui bahwa setelah kami berpisah, Nira sangat terpukul. Dia menangis dalam diam, menangis tanpa air mata. Hatinya menjerit karena harus berpisah denganku, laki-laki yang sangat dia cintai. Dalam keadaan duka, malam itu dia mengenang semua hal-hal yang pernah kami lalui. Mengenang persetubuhan kami di siang hari itu. Dia kemudian melampiaskan semua itu pada suaminya. Sakit hatinya berubah menjadi birahi yang tak tertahan. Malam itu Nira menjamah,,,lebih tepatnya memperkosa suaminya. Suaminya yang cenderung biasa-biasa saja, dimarahinya.
"Jika kamu gak bisa manafkahiku lahir bathin, jangan sampai ada orang yang merebut istrimu" protes Nira malam itu. Suaminya terkaget dan mencurigai Nira sedang didekati orang lain.
"Jangan salahkan anjing makan di rumah tetangga jika disana selalu tersedia makanan, apalagi majikannya tidak memberinya makan" ucap Nira yang menyadarkan suaminya.
Malam itu mereka bercinta dengan penuh nafsu.

Selepas bercinta, malam itu Nira menangis meminta maaf kepada suaminya. Memohon ampun atas segala dosa dan khilafnya. Nira mengakui kepada suaminya bahwa dia telah jatuh cinta pada orang lain. Bahwa dia selalu berkhayal menjadi istri orang tersebut, membayangkan orang tersebut ketika sedang birahi bahkan setiap kali bersenggama dengan suaminya, Nira selalu membayangkan orang tersebut. Namun Nira tidak menyebutkan siapa laki-laki tersebut yang tak lain adalah diriku.
Malam itu dia mengakui semuanya, tentang perasaan kepada suaminya, tentang rasa cintanya yang tak pernah ada, tentang rumah tangganya yang terasa datar. Malam itu dia memelas, meminta kesabaran suaminya untuk memaafkan kesalahannya.
"Jika kamu tidak belajar, maka kamu gak akan mengerti. Kamu adalah guru, hal seperti itu harusnya kamu sadari" ucap suaminya malam itu "Jika kamu tidak mengerti cara mencintaiku, maka belajarlah mencintaiku. Aku tidak sempurna, tapi akupun belajar untuk menjadi sempurna bagimu. Tolong, cukuplah aku bagimu". Sebuah kalimat santun penuh kebijaksanaan terucap dari mulut suaminya membuat Nira menangis.

Malam itu Nira bersyukur diberikan suami yang sabar dan penuh pengertian. Suami yang kelak akan tetap menemaninya, menerima segala kekurangannya, memaafkan segala kesalahannya. Dan sosok itu benar-benar sesuai dengan doanya dahulu. Sebelum terpejam, dia berdoa agar Tuhan menuntun hatinya untuk bisa mencintai suaminya. Matanya basah, ia menangis dalam gelap hingga matanya terlelap menyisakan tetesan air mata mengering di pipinya.

TAMAT
 
Ya Allah qaq 😂 ceritanya nge tag aquh nih barangkali ada kesamaan dg cerita ini gitu 😛
Ehh malah gak ada kepikiran niat gitu ko adeq @n1Q4b sayang . . Coba aja adeq baca ceritanya dari awal sambil meraton sampe selsai deq... nah pas endingnya ini cerita koq jadi ada duka citanya gitu... 😭😭😭
 
Waduh tamat, makasih suhu telah menceritakan kisahnya. Sehat selalu bersama keluarga dan nira
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd