Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
berarti dengan kata lain saat kita pilih pov cewek kita harus lebih menyombongkan semua kelebihan cewek ini dalam narasi? ohh!!! berarti anggep aja ini juga termasuk poin yg kita dapet untuk mempertegas perbedaan antara pov cewek dan cowok? :hore:

tapi lebih tegas menyombongkannya di pov 1 yah dr pada hanya mengandalkan narasi make pov 3.

"kini untaian kalung yang berkilauan itu melingkar pada leher jenjangnya"


meski bagus, cuma tetep aja lebih terasa di pov 1. mungkin ini juga kelebihannya itu.
Bukan menyombongkan tapi mempertegas.
Kalo menyombongkan sudah masuk ke karakternya si cewek.

Contohnya shiro, nggak cocok kalo deskripsinya terkesan sombong (deskripsi 1) atau unik / spesial (deskripsi 3). Dia lebih cocok dengan deskripsi yang lebih soft (deskripsi 2) jadi dapet kesana kawaii nya

gw suka aja ama cewek2 fukuoka. apalagi yg jadi mulustrasinya shiro juga asal fukuoka. :ngupil:
Ooooohhhhhh nubie kira ente termasuk yg nubie tebelin kalimatnya
:pandaketawa:
 
Makasih atas updatenya... Nggaj bisa ngasih kripik... But... Kasih kejelasan aja... Kalo emang ganti sudut pandang .... Hehehehe...

Sekali lagi... Makasih dan... Semangat suhu untuk updatenya....
 
Freidy =)) =))
makasih om, emang buat bahan pembelajaran ane juga semua kritik suhu2 disini :beer:


alur maju mundur? :bingung: di sebelah mana ya om?


wah, justru ane berterimakasih banget om mau nyempetin kritik cerita amburadul ane :ampun: ditunggu saran2 selanjutnya
Alur bab 4 itu usia shiro 16 tahun bab 4,5 jadi mundur ke 6 tahun sebelum nya usia shiro 10tahun.
Jadi fashback nya itu terasa sedikit kaget padahal eksplore shiro di usia 16 thn lebih asiik utk di eksplore hu...
Tapi itu tergantung dari suhu nara sebagai dalang.
Keep spirit n keep writing.
 
Menurut hemat saya, ngulang kalimat ga masalah, asal ga terlalu sering dan tidak berdekatan pemakaiannya.. Gimana klo kehabisan kata" yang arti nya sama.. Apa mau pake bahasa slang/prokem/G4uL :|
ngulang kalimat ya?

Coba cek di sini! secara teliti. Di situ ada pengulangan kalimat. Satu paragraf pula! Apakah itu salah?
 
Terakhir diubah:
heiii:kaget:iyaaakkk, O-Pai! malah diajak pijit ke mbak Lena.. nggak ketemu kata yang rangkap.. tapi inu nya mbak Lena yang lengkap

"kamu:jimat: jangan lihat nganu nya mas Toto ya, Shiro!"
"nggak baik!":ogah:




:pandaketawa:
 
hahahhaha...
parah² om pai dapet kerjaan lg...
eh perasaan om pai udah jadi pilot di 2 cerita nya om tj44.
kayanya kemaren ane ada komen yg pedo² tp dmn ya? lupa...

suhu nara, udah bayar duit iklan blm sm suhu paidikahe n suhu tj44?

@tj44 boleh tuh d post pas foto suhu @paidikage disini tp dengan sensor hitam di mata saja ya, sm baju oranye, lengkap dengan nametag nomor sm papan nama nya...
 
Wah ceritanya brutal, terbaik dah suhu nara

Ceritain momen berantem dri pov cewe itu sesuatu susahnya suhu, tp disini ciamik lah suhu.

Itu nara kun ga dilatih bela diri gitu? Atau bertapa di gunung shiro buat dpt ilmu kanuragan #ehh
 
Ore no Kawaii Imouto



Chapter 4,5
(Shiro: Watashi no Hero)

Bogor, 21 Februari 2016

16.00 WIB



“Bruaaakk!!” ku banting pintu kamar itu cukup keras. Suaranya cukup untuk membuat siapapun terlonjak kaget. Eits, Jangan salahkan aku loh ya. Lelaki itu yang memulai semuanya. Siapa yang tidak marah jika seorang gadis sepertiku disuruh menunggu diluar selama itu? Iie-iie! (Nggak-nggak!) aku tidak mau membahas perihal kesopananku sekarang ini! Dianya saja yang keterlaluan!

“Uuuuuhhh!!!!! Padahal kan udah kubilang dari kemarin-kemarin!” kukeraskan rahangku saking gemasnya. Kulempar tas itu sembarangan, bersama sweater abu-abu yang kukenakan. Dengan wajah gondok kuhempaskan tubuh semampaiku diatas empuknya kasur. Huaa, capek banget! Udah gitu sampai rumah harus kekuncian begitu. Astaga, meski aku tak menyukai kepribadian laki-laki tapi diantara semua lelaki kurasa hanya dia yang paling menyebalkan. Eh? Emang aku ketemu laki-laki ya? Kan sekolahku khusus perempuan? Y-yaah, pak guru dan kepsek? Mereka masuk list kan? Ah, pokoknya dia paling parah!


“Hmph! Baka.”

(“Hmph! Bodoh.”) desisku dengan pipi yang menggembung. Karena ruangan dirasa cukup gelap, ku beranjak membuka jendela. Karena kamarku di lantai dua, dan kebanyakan rumah penduduk tidak tingkat, maka pemandangan menyegarkan sedikit terlihat di ujung mataku. Langit jingga berhiaskan kepakan burung gereja yang melayang diatas udara.


“Suasana mau sunset, ya.” bibir tipisku berucap pelan. Kubiarkan angin meniup pelan helai rambutku. Sensasi nyaman langsung terasa saat kulit wajahku diterpa belaiannya.


Tak mau berlama-lama, kulangkahkan kakiku menuju meja rias. Tanganku bertumpu diatas permukaan, ketika pandanganku sibuk menatap wajah kusut yang terpantul dibalik cermin. Kacau sekali.



Umm..Tapi..Onii-chan kok nggak ada usaha minta maaf?” aku menggigit ujung jariku, pikiranku kembali menepis hal-hal negatif yang mungkin akan terjadi nanti. Kini tanganku mulai menyisir rambutku yang menjuntai tak beraturan. Hmm, apa harus aku potong sedikit? Sepertinya agak panjang. Teman-temanku bilang rambut orang jepang bagus-bagus. Umm, Tapi kurasa mereka bohong, deh. soalnya habis bangun tidur rambutku selalu kusut. Eh, apa semua orang gitu ya? Hihi, Padahal kan aku tidurnya kalem kok! Nggak kayak kedua temanku itu. Ih, apalagi kudengar dari Sarah, Linda yang kalo tidur kakinya ke mana-mana!


Saat ku mulai menata rambutku. Pantulan mataku menangkap sebuah bingkai kecil disamping tempat tidurku. Melihatnya aku terdiam, lalu senyum tipis teruntas di bibirku. Aku menghampirinya, dan dapat kulihat jelas gambar bayi yang tengah digendong oleh seorang wanita cantik berkulit putih. Dapat kulihat raut bahagia terpancar pada wajahnya.


“ O-tousan.. “

(“Ayah..”) bibirku bergetar kala menyebut kata itu. Jemari ku menyentuh permukaan kaca yang melapisi foto. Bukan, lebih tepatnya menyentuh gambar pria tampan yang tampak berwibawa dengan jas yang membalut tubuhnya. Wajahnya berkharisma dengan senyuman yang menawan. Daichi Kashiwagi, Ayahku. Meninggal di usianya yang ketiga puluh tiga tahun. Aku tak mengingat jelas kejadiannya, karena saat itu aku masih sangat kecil untuk mengetahuinya. Tapi yang kutahu abu kremasi ayah adalah hal yang terakhir kali kulihat. Meski ingatanku masih samar, tapi tak pernah kulihat ibu sedepresi itu dalam hidupnya. Setelah itu Ibu berusaha keras menghidupi kebutuhan kami, tapi aku tidak ingat pernah dibawa olehnya ke tempat kerja. Mungkin aku lupa? uhh, shikatanai deshou? (Uuh, apa boleh buat kan?) Aku benar-benar tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.


Yahh, meski begitu, dilihat dari manapun mereka adalah pasangan jepang yang serasi, bukan? Ibuku dengan kecantikannya yang natural, dan ayahku dengan kegagahan yang tak terlukiskan. Dan itu terwaris padaku, puteri semata wayangnya. Bukan sombong, tapi meski aku lahir di Tokyo, aku adalah keturunan asli dari Sana Kashiwagi, sang bidadari dari prefektur Fukuoka. Hihihi apa aku berlebihan? Tapi sungguh, bahkan diantara para gadis cantik lain para warga sekitar masih memuji keindahannya.


Ini ada sedikit pengetahuan, dalam beberapa prefektur di Jepang adalah penghasil gadis-gadis cantik dan manis. Bahkan kebanyakan idol group juga diambil dari wilayah-wilayah ini. Fukuoka, Sapporo, Nagoya, Kyoto, Niigata, Onikawa, Akita.


Senyumanku beralih ketika melihat foto lain yang terbingkai indah di sebelah foto tadi. Haa, aku ingat betul kapan dan dimana lokasi ini di ambil. Ini saat pertama kali ibu membawaku ke indonesia setelah ia menikah lagi. Dan angle ini diambil di halaman rumah baru yang ayah tiriku beli setelah ia menjual rumah lamanya. Jangan tanya kenapa ia menjual rumah lamanya. Suasana baru mungkin? Aku tidak terlalu mengerti.


“Okaa-san wa kirei ne.”

(“Ibu cantik ya”) Inilah keluargaku saat ini. Tampak Ibuku, Sana Kashiwagi yang saat itu masih bersama kami. Tengah tertawa renyah berada dalam pelukan ayahku. Dialah ayah tiriku, Satria Purnama. Pria berkebangsaan Indonesia yang berhasil melamar ibuku setelah perjuangan kerasnya. Bukan dengan bujuk rayu semu, melainkan dengan sikap pantang menyerah setelah beberapa kali ditolak Ibuku. Tentu saja, itu baru beberapa lama sejak kematian ayah, begitu menurut ibuku. Makanya dia sulit untuk menerima kehadiran lelaki untuk masuk ke dalam hatinya. Kini, saat kami sudah menjadi keluarga utuh, ibuku justru menyusul ayah kandungku ke surga. Tahun lalu, Ia meninggal karena kecelakaan. Tak perlu kukatakan bagaimana kehancuranku saat itu. Aku bahkan tak ingin mengingat kejadian itu lagi.


Dibawah kaki pasangan bahagia itu, terlihat dua orang anak yang sibuk sendiri dengan urusannya. Seorang bocah lelaki nakal dan anak perempuan yang terzalimi. Lihat saja bagaimana ekspresi nya saat berlari mengejarku! Mengerikan sekali. Ia dengan stelan penuh lumpur membawa sekantung penuh berisi cacing tanah. Jangan samakan usaha kerasnya dan pantang menyerahnya (mencari cacing) dengan usaha ayah saat melamar ibu. Itu berbeda. Jauh berbeda. Dan aku yang seorang adik belianya hanya bisa menangis berkata ‘O-kaasan! O-kaasan!’ karena ‘orang itu’ berniat melemparkan cacingnya padaku. Itu yang membuatku menjauhinya. Dia sangat nakal untuk anak seusianya, dan bodoh. Bodoh yang kumaksud bukan berarti dia bodoh dalam sisi akademik. Maksudku kelakuannya sangat konyol, dan parah dalam membaca situasi. Aku tak ingat apa yang membuatku dekat kembali dengannya.



“Huahh, Onii-chan ya? Kapan ya aku terakhir kali nganggep dia keren?“ kutatap wajah dalam foto itu lekat-lekat. Itu sudah sangat lama sekali sepertinya. Fikiranku berputar, menarik lintasan kejadian yang bersemayam dalam kepalaku.


“Yah, kalau mengingat saat itu..“ Seuntas senyum terukir di bibirku saat akhirnya aku bisa mengingat saat itu. Kejadian itu sekitar satu tahun semenjak kami bertemu pertama kali. Saat itu aku masih menjalani home schooling ku. Umm, mungkin saat onii-chan menjalani tahun pertamanya di SMP.


~OreKaImo~


Bogor, 14 Maret 2011

16.00 WIB


“Ne, Anata. Hontouni daejobu?”

(“Hei, Sayang. Ini beneran nggak apa-apa?”)



“Iya, sayang. Nggak perlu khawatir. Inget ya, Nara. Karena sekarang kamu udah SMP kamu harus jagain adik kamu. Kalo udah selesai main, jangan mampir kemana-mana dulu. Langsung pulang. Udah sore. Kamu ngerti, Nak?”



“Hm-emm..”



“Ini uang jajannya ayah taruh di meja ya.”



“Hm-emm..”



“Nara, kiite nasai! Otou-san mo Okaa-san mo hontouni shinpaishite“

(“Nara, dengerin! Ayah dan ibu bener-bener khawatir.”)



“Haaii-Haiii, Okaa-san. Wakatta-wakatta!”

(“Iyaa-Iyaaa, Ibu. Aku ngerti-aku ngerti!”)


Aku terkikik geli mengingat orang yang tengah memboncengiku saat ini, beberapa saat yang lalu sempat menolak dengan wajah ngantuknya. Saat itu ia masih di tempat tidur menutup kepalanya dengan bantal. Kuintip dari belakang, eksperesinya sekarang masih sama, wajah bosan dengan bibir yang mengerucut kecil. Kakinya mengayuh sepeda ini menyusuri jalanan kota bogor. Hihi, tentu saja kakak nggak bisa menolak perintah Ayah Ibu untuk menemaniku pergi ke taman kota. Sebenarnya saat berangkat tadi Ayah dan Ibu sempat khawatir karena kami masih kecil untuk pergi berdua, dan lokasi taman ini juga terbilang agak jauh juga dari rumah kami. Ayah lah yang berjanji minggu lalu untuk menemaniku, apalagi mengingat ini baru setahun semenjak aku datang ke Indonesia.


Kota hujan ini, hal yang menurut ayah ingin ayah perkenalkan kepadaku sebanyak-banyaknya. Karena mulai saat ini dan seterusnya inilah rumahku bersama Ibu. Tapi siapa sangka janji itu harus batal, karena mereka menghadiri undangan pernikahan saudara Ayah. Huh, Nyebelin. Jadi maaf saja, aku yang masih sepuluh tahun ini tak bisa menahan rasa kecewaku dan melakukan aksi ngambek. Akhirnya, ayah pun memaksa kakak yang tengah terhanyut dalam tidur siangnya. Sebenernya aku juga nggak mau-mau banget ditemenin dia sih, dia kan selalu menjauhiku, pikirku.


“ Onii-chan, Hayaku-hayaku!”

(“Kakak, Ayo cepetan!”) desakku yang duduk menyamping di belakangnya. Tanganku menggoyang bahunya agar dia lebih mempercepat kayuhan pedalnya.


“....” ia hanya terdiam. Suara kendaraan bermotor, angin yang menerpa wajahku, itulah hal yang kudengar saat ini.


Aku hanya menggembungkan pipiku menyadari tak ada respon darinya. Jengkel dengan kelakuannya yang sama sekali tak mencerminkan sikap seorang kakak. Ah, benar. Ini sudah setahun. Tapi komunikasi diantara kami tidak berjalan begitu baik. Dia lebih memilih menyendiri di rumah, daripada bermain bersamaku. Dia juga menghindari percakapan langsung dengan alasan ingin mengerjakan hal lain. Apakah aku seburuk itu di matanya? Sempat terpikir kalau dia adalah anti-sosial yang tidak punya banyak teman. Tapi tidak! Nyatanya ia punya cukup teman kok di SD dulu. Atau..


Dia nggak suka aku dekat dengannya?


Ah, nggak-nggak! apa yang kupikirkan sih? Dia ini kakakku sekarang! Apapun kekurangannya aku harus mulai menerimanya. Tapi meski sikapnya begitu aku cukup takjub dengan hafalan bahasa jepangnya. Terhitung baru setahun sejak ia mengenal kami, dan tanpa kami ketahui ia langsung mempelajari banyak kosa kata jepang. Tidak hanya itu, ia bahkan mulai mengerti apa yang kami ucapkan, dan bahkan membalas perkataan kami sesekali. Berbeda denganku, yang sudah mengerti ucapan orang lain tapi masih bingung dalam mengucapkannya. Sudah kuduga untuk hal seperti itu otak kakak lebih hebat dariku. Menurut ayah, kakak adalah orang yang terus mempertahankan gelar peringkat pertama di kelasnya, bahkan saat tahun terakhirnya di sekolah dasar.


“Ummh, nanti terlalu sore. Jadi Shiro tidak puas mainnya..“ ucapku dengan bahasa indonesia yang kurasa masih terlalu baku. Ini baru beberapa bulan aku mempelajarinya saat homeschooling. Tentunya sambil dibantu Ayah juga. Kulihat ia tersenyum kecil mendengar perkataanku barusan. Entah kenapa kurasa ia meledekku.


“kenapa onii-chan senyum begitu?” aku cemberut sambil mencubit punggungnya. Ia langsung merubah ekspresinya kembali datar.


“Nggak apa-apa kok.” Ujarnya kemudian sambil mempercepat kayuhan sepedanya.


Kami pun sampai dan memarkirkan sepeda. Sebelum akhirnya memasuki kawasan taman ini. Suasana asri dan rindang lantas langsung menyambut kami ketika datang. Kulihat sebuah tugu bertuliskan "Taman Kencana”. Hoo, jadi ini ya taman yang ayah maksudkan. Bagus juga tempatnya. Hamparan rumput hijau dan pohon yang menjulang berderet disekitar jalan berlantai hitam putih itu. Hihihi, seperti papan catur saja. Tapi bedanya bukan bermotif kotak kotak, namun diamond. Kepalaku bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti lompatan kecil langkahku.




“Kok, sepi sekali?” tanyaku kemudian dengan kalimat formal, lagi. Dapat kulihat kakakku malah melihat ke arah lain. Namun tak urung menjawab pertanyaanku. Huh, dasar.


Setelah berjalan beberapa saat kami pun memilih duduk dan beristirahat sejenak di salah satu bangku. Bangkunya cukup tinggi sehingga kakiku tak bisa menyentuh tanah. Sambil mengayunkan kedua kakiku, kuhirup udara segar ini sedalam-dalamnya. Hmm, padahal kawasan ini termasuk pusat kota. Eh, mungkin itulah gunanya taman ini, kan? Agar tak terlalu banyak polusi. Sayang, kulihat langit sudah cukup mendung. Ah, gawat, padahal kami baru saja datang. Apa kami akan kehujanan nanti?


“ne, onii-chan! Mitte-mitte! Kono sora e..“

(“Hei, kakak! Lihat-lihat! Langitnya..”) ucapku sambil menunjuk gumpalan awan yang mulai menghitam diatas langit.


“Oh, mau hujan ya.” Ia menatap langit sebentar. Lalu kembali terdiam. Keheningan melanda kami. Dapat kurasakan rasa canggung yang kian menguat setiap detiknya.


A-Ano.. Onii-chan? Onii-chan sudah sering ke sini?” Gemas sendiri, aku memutuskan membuka mulutku lebih dulu.




“ Hmm, kadang-kadang.”




Hening lagi. Itu saja? Apa-apaan jawaban itu!



“Mau pulang aja? Ntar kehujanan loh..” sarannya tanpa melihatku. Entah kenapa kulihat wajah dia semenjak tadi selalu menghadap ke bawah. Sudah kuduga. Apa aku ini benar-benar parasit yang mengganggunya?


“tapi kita kan baru dateng!” gerutuku. Jelas lah aku memprotesnya! Aku sudah menunggu-nunggu untuk datang kesini, bahkan kurasa dia tahu bagaimana sulitnya aku membujuk ayah. Tapi belum setengah jam kami sampai, kakakku sudah mengajak pulang.


“oh, oke.” Ujarnya singkat. Lihat sikapnya yang barusan itu, benar-benar. Kalau begini aku lebih baik tidak usah kesini! Tiba-tiba kakak beranjak dari duduknya.


“Hei, Shiro.” Aku mendongak. Menunggu apa yang akan orang ini katakan selanjutnya.


“Kamu.. nggak apa-apa kakak tinggal bentar?” kata-kata itu akhirnya meluncur juga dari bibirnya. Kali ini dia menatapku. Langsung ke wajahku. Memberiku keyakinan bahwa dia benar-benar ingin pergi.


“Aeh?” aku bahkan tak bertanya apapun saat ia mulai melangkah pergi. Namun ia sempatkan untuk berhenti sejenak.



“Ah, hampir lupa. Mungkin aku cuma sebentar. Tapi..“




“Jangan gampang percaya sama orang asing.” Yang kulakukan hanya tersenyum manis. Memerankan peran adik baik yang tak ingin menyusahkan kakaknya. Hihi, sou desu ne (Hihi, benar juga ya) Lagipula aku sudah tahu, kok.




Kimi wa...

Kamu...







watashi o daikirai desu ne?

benar-benar membenciku, ya?




“TAP-TAP-TAP” suara langkah kaki membuatku tersadar, aku segera menghapus air mataku yang tiba-tiba menetes. Aku bodoh sekali. Tentu saja, apa yang aku harapkan dari seorang saudara tiri? Wajahku masih menunduk sementara seseorang tampak duduk di sebelahku. Menggantikan tempat kosong yang ditinggalkan kakakku.


“Eh, nona kecil? Kamu kenapa menangis?” suaranya terdengar khas. Kuperkirakan ini lelaki dewasa. Dari usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Aku belum berani menatap wajah pria itu. Malu, karena mataku akan terlihat sipit saat sedang menangis. Aku hanya menggeleng pelan.


“Dimana orang tuamu? Kamu nyasar ya?” dapat kurasakan ia sedikit panik. Tapi melihatku yang menggeleng, ia kembali tenang. Aku mencoba mengintipnya dari helai rambut yang menutupi sebagian wajahku. Pria tampan berkacamata, tak berambut. Tersenyum ramah. cara berpakaiannya sangat rapih dan sedikit formal. Dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Sejak kapan orang ini datang? Aku tak menyadarinya saat tadi bersama kakak. Yang lebih penting lagi, kurasa hanya tinggal kami berdua yang berada di taman ini.


“Ohh, gitu. Siapa nama kamu? Om boleh tahu?” aku masih mengunci mulutku, tak tertarik.


“Oke, kalo gitu biar om kasih tahu nama Om. Nama Om itu.. Fairuz Junaedy. Kamu bisa panggil om, umm...Om Faidy? Ya! Om Faidy.”


“Om...Paidi?” ucapku pelan. Ia nampaknya senang mendengarku mulai tertarik.


“Bukan Paidi. Tapi Fa-i-dy!” koreksinya.


“Paidi?” ucapku lagi, memiringkan kepalaku.


“Err, kamu bisa panggil Om Fai aja.”


“O-oppai?” alisnya berkedut mendengar kesalahan mengejaku. Aku tidak tahu dia mengerti atau tidak. Tapi kenapa ya nama panggilannya mirip dengan kata payudara?


“Ya udah, deh. Terserah adek aja mau manggil Om gimana. Oh iya, kamu belum kasih tahu nama kamu siapa?” ia tampak antusias. Seperti kakakku saat mendapat buku baru. Kakakku? Kenapa sekarang aku tiba-tiba mengingat orang itu?


“Ah, Hampir lupa”


“S-shiro” aku berusaha menjaga nada suaraku.tetap pelan. Kini ia benar-benar menghadap ke arahku sepenuhnya. Kakinya ia naikkan ke atas, dan duduk bersila.


“Hmm, wajah dan nama yang nggak umum. Kamu..orang jepang ya?” aku mengangguk ringan.


“Wah, hebat ya. Terus? kenapa kamu sendirian? Tadi juga nangis? mau cerita?” tanpa sungkan pria ini terus saja menanyaiku. Seperti tidak membiarkan ada jarak diantara kami. Nada bicaranya teratur, tak terlihat ia menyembunyikan sesuatu. Mungkin dia memang orang baik?





“Mungkin aku cuma sebentar. Tapi..“




“Jangan mudah percaya pada orang asing.” Aku menatap kosong pria ini. Sebuah kalimat kecil tergaung di daun telingaku. Pria itu tersenyum. Bukan. Perasaan ini. Aku tahu senyum yang ia goreskan disana bukan untuk menenangkanku. Senyum itu adalah senyum lain. Yang memiliki arti lebih dalam. Aku yang menyadarinya lantas menyapukan seluruh pandanganku ke seluruh penjuru taman. Mengharapkan sosok bocah lelaki yang kukenal tertangkap oleh kedua mataku. Tapi aku tak menemukannya! Onii-chan, orang ini..


Dahi pria ini berkerut saat tahu aku mulai menjaga jarak.


“Hei, kenapa? Kok panik gitu?” ucapnya lembut. Tidak. Aku tahu pria ini. Sejak awal Ia hanya menutupi hawa keberadaannya yang asli. Caranya berpenampilan dan berkomunikasi hanyalah wujud lain untuk beradaptasi. Ia mengambil sesuatu di kantongnya.


“Mau ini?” ia menyerahkan sebuah lolipop penuh warna. Gerik mataku bergantian menatap permen dan wajahnya.


“Iya.”

(“Tidak.”)


“Iya? Oh, iya! Silakan! ” Ia sepertinya salah mengerti ucapanku. Tangannya meraih telapak kecilku dan membukanya perlahan. Lalu menaruh lolipop itu ditanganku. Serta merta aku langsung menepisnya.


“Eh?” Tersirat wajah terkejutnya saat lolipop itu terjatuh.. Ia masih menatapku. Aku melangkah mundur. Kulihat pantulan iris yang mulai berubah. Itu dia. Akhirnya serigala ini menunjukkannya!


“Hahaha. Hei, adek kecil! Mau kemana?” Aku menarik langkah mundur meninggalkannya. Dapat kurasakan hawa kemarahan kian menguat saat titik air langit membasahinya bangun dari duduknya.


“Hahaha, Ketauan ya? Sial.” Ia melirikku dan berdecih kecil. Ia mulai mengikutiku. Bagai sebuah alarm peringatan, kakiku yang bergetar membimbingku berlari, sangat cepat. Hingga aku tak tahu lariku bisa secepat ini. Tapi sangat kontras, dia hanya mengejar dengan langkah yang terburu. Mungkin dia takut terbongkar kedoknya. Atau, karena dia berpikir langkahnya saja dapat mengejarku?


“ZRAAASSHH!!” kaki kecilku menginjak kubangan air yang menggenang. Hujan mulai menampakkan dirinya dalam kederasan tanpa henti. Gerbang taman kulewati begitu saja. Kemana para penjaga? Ini terlalu sepi untuk sebuah taman! Mataku terus berputar ke seluruh tempat, seperti menanyakan kemana aku harus berlari sekarang? Pertanyaan bodoh. Tapi alhasil, kaki lah yang menentukan jawabanku.


Jantungku berdegup kencang, membuat aliran darahku terpompa semakin cepat. Aku hanya percaya sepenuhnya kepada instingku untuk kabur. Sempat ku berhenti beberapa saat. Mencoba berkomunikasi dengan beberapa orang yang kutemui. Namun aku masih belum mengerti sepenuhnya, bagaimana mengucapkan kata ‘tolong’ dalam bahasa indonesia. Tak ada harapan!


“HEI ADEK KECIL! KENAPA KAMU LARI GITU? HAHAHA“ suara bariton itu seperti sebuah pahat yang mengikis segala bentuk keberanianku.


“ONII-CHAN!! ONII-CHAN!! TASUKETE!! HUUU.... ”

(“KAKAK!! KAKAK!! TOLONG AKU!! HUU....”) aku berteriak sambil terus berlari. Kakiku sudah mati rasa. Tak ada yang mendengarku. Desiran air yang terbawa angin menampar keras kulitku. Seakan dunia diciptakan untuk menulikan pendengarannya terhadap semua orang. Tidak, mungkin hanya untuk orang-orang sepertiku. Yang ditimpa kemalangan seperti ini. Yang bisa dilakukan oleh ‘gadis yang ketakutan’ hanya berlari dan berlari. Sudah tak kupedulikan badanku yang basah kuyup karena air hujan. Yang kuharapkan hanya menemukan seseorang yang bisa menolongku, atau setidaknya..



Bertemu dengan Kakakku.



“HEEEIII! DEK SHIRO?? OM BISA LIAT KAMU LOH! NGGAK USAH LARI GITU! YUK IKUT KE RUMAH OM! OM PUNYA BANYAK PERMEN DAN BONEKA LUCU LHOO!” ujar si pria itu melembut namun begitu mengintimidasi. Ia menyamarkan dirinya dengan langkah yang terburu. Penampilannya itu mungkin akan membuat kamuflase yang cukup baik. Tak ada yang mengira lelaki necis akan memiliki niat jahat untuk menculik seorang bocah tak berdaya.


Diantara langkahku yang kian pelan. Aku menyadari suatu hal. Sesuatu yang sangat getir untuk disadari anak sepuluh tahun sepertiku. Kakiku nyatanya berkhianat. Dapat kulihat tanah lapang yang kosong terhampar didepan mataku. Disisi-sisinya terpagar tembok tinggi, sangat tinggi untuk tubuh seukuranku. Nafasku tersengal, kini kabur bukan lagi pilihan. Disinilah aku, orang bodoh yang tak sadar bahwa ia memang diarahkan ke tempat ini. Bibir itu tergurat seringai seperti menandakan kemenangannya. Derap kakinya yang kian mendekat membuat bahuku gemetar.


“Tuhkan, apa om bilang? Capek kan main lari-larian?” ia melepas kacamatanya. aku tersudut hingga ke pojok dinding. Aku meringkuk dalam ketakutanku. Badanku lemas, tak bisa digerakkan.


“Dareka, tasukete...Dareka..”

(“Siapa saja, tolong aku..Siapa saja..”) ucapku lirih dengan sisa kekuatan yang kupunya. Kucoba melempar batu-batu kecil di sekitarku, namun rasanya tak terlalu berpengaruh. Air mataku layaknya hanya menjadi hiburan bagi orang ini.


“Hahaha..Belum nyerah juga ya?”


“O-Onii-chan..”


“Haha kamu boleh teriak lebih keras lagi, loh.” Tantangnya seakan tak takut. Jari kotornya mulai menyentuhku. Ia terkekeh. Aku menutupi kepalaku dengan kedua lengan.


“ONII-CHAN!!”


“HAAA?? APAAA??!!!!”


“ONIIIIIIIIIIIIIII----CHHAAAAAAAAAAAAAANNNNN!!!!!”



“HAHAHAHAHA NGOMONG APA KAMU DEK?!!!”



“ONIIIIIIIIIIIIII----CHHAAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNN!!!!!!” Aku menjerit sekeras-kerasnya. Memejamkan mataku. Tak berani bahkan sekedar untuk memandang pria di depanku. Haaa, ternyata begini akhirnya. Hihi, Kore wa hidoi desu ne? (Hihi, Ini kejam banget kan?) Dia bahkan..





belum kembali untuk menemuiku.



Oke. disini kita mulai. silakan diputar.





“TRAAAAKKK!!!”




“Ne, Oji-san! Omae wa hontouni saitei da na!”

(“Hei, om! Kamu ini bener-bener parah ya!”)



Semilir lembut angin menerpa wajahku, diantara wangi debu yang menyeruak menusuk hidung, kudengar suara itu. Kelopak mataku mencoba membuka.


Siluet tubuh diantara hujan berdiri membelakangiku. Irisku melebar, menajamkan apa yang kulihat. Butir air kini terlihat begitu lambat saat mataku menangkap punggungnya. Sosok itu, tak akan pernah memudar dari ingatanku. Rambutnya yang tebal kini acak-acakan karena basah. Bau lumpur yang melekati bajunya. Wajah oval yang tak dapat kulihat, karena tatapannya hanya fokus pada apa yang Ia hadapi saat ini.


“O-onii..” bibirku yang memucat kini bergetar, lidahku bahkan tak sanggup memenggal delapan huruf keluar dari mulutku. Kenapa dia?


“nande onii-chan koko ni?”

(“Kenapa Kakak kesini?”) Ia tak bergeming. Sebenarnya aku hanya menutupi gengsiku. Malu kalau dia tahu, aku mengharapkan bantuan dari orang yang tak peduli padaku.



“DOUSHITE? ONII-CHAN WA SHIRO O DAIKIRAI DESU KA!”

(“KENAPA? BUKANNYA KAKAK BENCI SAMA SHIRO!”)


“FUZAKEN NA!”

(“Jangan bercanda!”) jawaban tegasnya menutup mulutku. Ia menghampiriku. Kemudian dengan tangannya ia mengeluarkan bungkusan plastik dari balik bajunya.


“SRUUKK!” sebuah kain lembut menyelimutiku. Harum toko masih melekat, menandakan ini baru saja di beli. Eh? Ini? Sweater ini? Sweater monokurobo yang aku minta beli dari Ayah? cuma ayah belum sempat membelikannya.


“Pakai itu. Nanti kalo kamu sakit, Aku yang kena marah Ibu.” Ujarnya kemudian kembali ke posisi semula.


“Aku nggak tahu apa yang kamu pikirin soal aku. Tapi biar gimanapun Ayah udah memilih kalian menjadi bagian dari keluarga ini. Dan aku udah berjanji sama ayah, mau berapakalipun, aku akan melindungi keluargaku yang sekarang. Aku sih yakin ayah nggak akan salah memilih orang, karena aku percaya sama ayah. Kalo aku bisa ngutip apa kata ibu sih mungkin karena.. ” kedua tangannya terangkat keatas. Mengusir rasa pegal, mungkin.


“Oretachi wa kazoku da yo”

(“Kita adalah keluarga”) Aku masih membisu. Kenyataan di hadapanku membuatku rapuh. Dia orang yang sama yang meninggalkanku sendirian di taman, kan? Sekarang ia berbalik untuk menolongku?


“HEI, OM!” serunya kemudian, membungkamku dalam kesunyian. Aku baru sadar kalau posisi pria itu kini tersungkur, memegangi dahinya yang memar. Sebuah payung hitam tergeletak tak jauh darinya. Apa yang kukira adalah, entah bagaimana kakakku menaiki dinding tinggi ini dari belakang. Lalu saat keadaan memburuk ia melempar ujung payung besar itu hingga telak menghantam dahi pria ini. Kini pria itu kembali berdiri dan tersenyum kecut.


“Mau apa kamu, bocah?” ucapnya bernada merendahkan.


“Mungkin..” jawab kakakku.


“MUNGKIN SAYA NGGAK SEKUAT TEMAN SAYA, IKKY RIZALUDIN! MUNGKIN SAYA CUMA SEORANG PENGECUT YANG BAHKAN TAKUT UNTUK DIAJAK CABUT ATAU TAWURAN!”


“Mungkin....saya cuma orang tolol...yang gugup di depan adik sendiri.” Ia tampak gusar saat mengatakannya. Mataku nanar menatapnya. Gugup? Apa maksudnya?


“MUNGKIN KARENA SAYA PENGECUT SAYA JUGA AKAN DIEM AJA SEANDAINYA ITU TERJADI PADA ORANG LAIN! TAPI..” Ia melirikku saat memberi jeda pada kalimatnya.


“SAYANGNYA ITU TERJADI SAMA ADIK SAYA! KELUARGA SAYA! MAKA BIARIN SAYA, OM! BIARIN SAYA YANG PENGECUT INI JADI ORANG YANG PERTAMA BERDIRI UNTUK NGELAWAN OM!”


Seluruh tubuhku menegang. Tidak, bukan karena ketakutan. Tapi aku merasa terlindungi oleh sesuatu yang amat besar. Seakan seseorang menangkapku dalam pelukannya. Ne, oshiete kudasai (Hei, katakan padaku). Yang akan dia lawan adalah orang dewasa. Meski tubuhnya kini sedikit tinggi, tapi orang itu memiliki postur tubuh jauh diatasnya. Apa alasan Ia melakukan hal yang mustahil? Apa alasan dia melindungi orang yang bahkan baru setahun bersamanya? Persaudaraan? Tenggang rasa? Tanggung jawab? Nyawanya jauh lebih berarti dari pada itu! Tapi kenapa tak ada sedikitpun kegentaran dari setiap kata-katanya? Dari hal ini, aku menyadari bahwa tak sedikitpun aku mengetahui tentangnya.


“Hahahaha, beneran nih? Gua ditantangin bocah SMP! Bisa apa lu bocah?” pria itu tergelak menggaruk kepala plontosnya. Dari bahasanya sepertinya ia tak lagi menutupi tabiat aslinya. Seperti mendengar lawakan model lama, kakak hanya diam saja.


“Kasih unjuk ke gua!” ujarnya bengis. Sementara itu ekor mataku melihat secarik kertas yang terselip diantara lipatan sweater yang menutupi tubuhku. Kertas apa ini? Pikiranku bertanya-tanya. Agak lecak seperti terus menerus di genggam. Aku membuka kertas itu.


“Aeh? Kore wa..”

(“Aeh? Ini..”)



Tulisannya seperti terburu-buru, tapi ini tulisan kakak, kan?



Setelah si pria berkata begitu, Kakak berlari menerjang pria itu. Kakak melancarkan pukulan kuat-kuat, seluruh kekuatan ia arahkan pada tinjunya. Tinjunya mengarah ke perut sang pria, Namun pria itu menahan serangannya dengan mudah. Kakak kembali meninjunya berkali-kali. Tapi dengan satu hentakan kaki ke arah dada, pria itu membuat kakak terjungkal. Tak puas sampai disana, kakak kembali berdiri.




Tidak, sejak awal aku salah.


“AAAARRGHH!!” Ia menyerang lagi, kali ini ia mengarah kaki si pria. Kakinya menendang betis si pria sedangkan kedua lengannya tetap menjaga agar tak mendapat pukulan. Tiba-tiba kakak melayangkan pukulan samping yang langsung di tepis dan dibalas dengan pukulan keras yang telak menusuk rahangnya. Kakak kembali terjatuh.




“Onii-chan..” Ia kembali berdiri, bertumpu pada kaki-kakinya yang mulai goyah. Sejak awal aku melihatnya aku tahu dia tak pernah berkelahi. Apa lagi bertarung dengan seseorang yang lebih berpengalaman darinya. Tanganku bergetar memegang surat ditanganku.



Lelaki ini..





“Belum” ucapnya. Ia menyeka tetesan darah yang mengalir di mulutnya. Kembali Ia berlari lagi menuju pria itu. Tangannya kembali mengepal dan dikerahkannya segenap kekuatan pada pukulan kiri itu. Kembali sang pria menangkap dengan mudahnya.


“KRAAKK!”


“ONII-CHAN!” Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah adegan keji yang memaku pandanganku. Di ujung mataku kulihat raut kosong kakakku saat melihat lengannya dalam cengkeraman pria itu.





Dia tak pernah menjauhiku..



“AAAAARRGGGGHHHHHH!!!!!” Kakakku meraung saat lengannya dipelintir begitu kuatnya. Tangan kanannya yang kosong ia pakai untuk memukul pria itu agar melepaskan cengkeraman pada pada lengan kirinya. Ia mengerang menahan rasa sakit yang menderanya. Sang pria tak menggubris dan hanya tersenyum kecil. Kemudian dengan tenaganya yang besar ia hantamkan tinjunya pada wajah kakak. Bertubi-tubi. Hingga rasanya aku yakin Ia tak bisa bangun lagi.


“BRUGHH!” Ia melempar kakakku ke tanah. Kakakku tersungkur dengan posisi tangannya yang menekuk lemas. Ia terbaring terlungkup dengan wajah lebamnya. Air mataku mengalir. Tapi kenapa tubuhku rasanya sulit di gerakkan? Kenapa tubuhku selemah ini untuk menolong kakakku!


Dia hanya Bodoh!




“Sekarang tinggal kita.” Pria itu tersenyum padaku. Senyuman seperti di awal kali. Saat pertama bertemu denganku.


“GREB!!” Kakakku meraih kaki pria itu. Pria itu terbelalak, tak menyangka kakakku masih belum menyerah juga.


“Belum selesai, Shiro. Maaf ya tunggu sebentar” Ucapnya dengan wajah bengkak. Aku menutup mulutku, menahan isakanku yang membuncah. Ia bahkan tak bisa melihat lagi karena kelopaknya yang membiru.


“Masih belum jatuh juga nih bocah!” ia menendang kakakku berusaha melepaskan kakinya dari genggaman.


“Lepas!” namun kakakku masih memegang kuat kakinya.


“LEPAS GUA BILANG, BANGSAT!” dia mengangkat badan Kakak yang melemah dan mencengkeram lehernya. Tangannya yang kuat mengangkat leher kakak dalam posisi tergantung.



Aku tak pernah percaya adanya tokoh pahlawan fiksi seperti di novel.





“IYAAAAAAAHH!!! ONII-CHAAAAANNN!!”

(“TIDAAAAAKK!!! KAKAAAAKKKK!!”)


“URRGHH!!! GRUUOOHH!!” Kakakku menggelepar diatas gantungan tangannya. Seperti seekor ikan yang kehilangan sumber kehidupannya. Ia menggeliat merasakan kesakitan membelenggu tenggorokannya. Tangan kanannya ia gunakan untuk memukul tangan pria itu sementara kakinya menghentak berusaha menendang lelaki itu. Berharap rasa sakit bisa melepaskannya. Namun nihil. Karena kurasa orang ini bukan cuma mengincarku, tapi sejak awal..


Orang ini memang benar-benar sudah sakit, pikirku.


Kakakku mencoba mempersempit jarak diantara mereka saat pria itu tertawa. Matanya melotot saat wajah mereka hanya tersisa beberapa inci, karena mungkin pria ini ingin melihat wajah sekarat kakakku yang meringis seperti ditikam sembilu. Pria itu mungkin tak menyadarinya, tapi selama ia tergantung, tangan kiri kakak yang patah berusaha meraih sesuatu dibelakang bajunya. Apa itu? Ah itu kan!


Kakakku.



“HAHAHAHAHA!”


“AARRGGGHHHH!” Dengan satu gerakan cepat tangannya yang patah berhasil meraih batu yang selama ini dia sembunyikan. Ukurannya cukup besar. Sepertinya ia menyembunyikannya saat jatuh tadi.


“BRAAAKKK!! BRAAAKKK!! BRAAAKK!!” batu besar itu Ia ayun dengan tangannya. Menghantam keras. Tak hanya sekali, namun berkali-kali ia hantamkan ke wajah pria itu. Hingga kusadari wajah itu memerah karena darah. Kemudian pria itu oleng dan terjerembab. Tampaknya pria itu tak lagi fokus karena terlalu bernafsu untuk membunuh kakak. Kakak kembali merangkak ke arahnya saat Ia terlepas, sekedar memastikan Ia tak bangun lagi.


Mungkin mulai saat ini pandanganku akan berubah tentangnya.


“Selesai, Shiro.” Ia tersenyum menghampiriku, aku menangis. Lega mungkin? Aku tak tahu. Tapi.. disanalah Ia. Seorang bocah lelaki bodoh yang meninggalkanku seorang diri. Nara Purnama, seorang lelaki keturunan indonesia yang pada akhirnya berakhir dengan statusnya sebagai kakak tiriku.




“Yuk, kita pulang..” paraunya lalu ia terjatuh di pangkuanku. Aku tersenyum membelai rambut nya yang basah. Benar, Ayo kita pulang. Onii-chan.



Watashi no Hero

(Pahlawanku)


~OreKaImo~

“TUK-TUK-TUK!” suara ketukan kamar, membuat kilas balikku memudar. Terlihat suara helaan nafas dibalik pintu. Aku mengerenyitkan dahi.


“Ano, etto, GOMENASAI! HONTOUNI GOMEN! KORE WA ONII-CHAN NO SEI DE!”

(“Itu, umm, MAAF! AKU BENER-BENER MINTA MAAF! INI SALAHKU!”) Aku melangkah ke balik pintu.



“Kakak nggak ngeliat jam tadi, jadi kakak nggak tau udah sesore ini!” dalihnya. Aku hanya tersenyum kecil. Minta maaf juga ya? Hihi, yah. Pada akhirnya, dia orang yang seperti itu sih.


“Yada.”

(“nggak mau”) ujarku dengan nada jutek. Mencoba mengerjainya. Mungkin wajahnya sudah pucat sekarang.


"Hai'"

("B-baik.")
ucapnya terbata. mungkin ia tak ingin membuatku semakin marah. aku menahan tawaku. terdengar suara langkah kakinya pelan menjauhi kamarku. Mungkin akan lebih baik kalo aku pura-pura ngambek dulu, aku tersenyum penuh arti, mengetukan jari telunjukku di depan dagu.


"Tabeun kore wa omoshiroi ne"
("Mungkin ini akan menarik.")






つづく
BERSAMBUNG

Waaadepakkkkkkk. Keren abissss, jiwa jiwa wibu ane yang sudah lama terpendam mulai muncul coegggg. Btw apaan coba background sound sao. Bagus banget lah asliiii.....
Keren suhu. Udah nebak si awalnya ini pasti bakal kek anime anime nih. Tapi keren banget sih sesuai harapan. Really special chapter
Terus apaan juga ending songnya op narutp gitu wkwkwk
Maaf ya suhu karena baru sempet baca special chapternya ini
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd