Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA PERJALANAN.


Alfia Febriani


CHAPTER 9​

Suasana yang dingin menerpa dahiku. Menyibak rambut yang mulai panjang. Angin membawa kelembapan air yang tersisa setelah hujan tadi. Aku duduk di teras sambil melihat-lihat pagar rumah. Kuhisap lagi sebatang rokok untuk menemani malamku, tidak ada siapapun di sampingku saat ini. Tante Fia dan Tante Asri sudah tertidur di dalam. Untungnya rumah ini cukup luas.

Dulu saat kuliah aku sempat berpikir bagaimana bisa aku membeli rumah ini. Ya. rumah yang sekarang aku tempati ini, luas dan minimalis... tidak terkesan mewah. Aku melewati rute ini saat menuju bus kampus, rumah ini di pinggir jalan tapi tidak berisik, tertutup pagar namun tidak terkesan menutup diri dari lingkungan sekitar. Sejuk, namun tidak rimbun.

“kreeeek” pintu pagar dibuka. “wah... Arman, sedang apa sendirian? Belum ada yang datang ya?” Bulek Irma menyapaku sambil memasuki halaman rumah membawa tas kecil yang mungkin berisi pakaian.

“Ada tante Fia dan tante Asri sudah tidur di dalam bulek..” kataku menjawab sambil berdiri menyambutnya dan membawakan tasnya. “baru sampe bulek? Udah makan belum?”

“udah man, tadi di bandara ibukota sebelum terbang kesini. Kirain bakal lama, eh tepat waktu.” Hahaha

“lah, bagus dong.. tapi emang tumben sih di masa sepi begini tepat waktu. Hahaha” kami tertawa bersama.

Satu perempuan lagi masuk melewati pintu rumah malam ini, Bulek Irma...

9 Tahun lalu...​

Lagi lagi libur panjang kuliah selama 3 bulan. Aku sudah hilang akal bagaimana caranya berhubungan dengan perempuan. Bisa saja aku menyewa pelacur, namun aku ingat perkataan tante Fia bahwa jangan sampai aku behubungan seksual dengan pelacur atau wanita yang melayani banyak pria, bahaya.. jika sampai terkena penyakit yang menular dan memalukan. Not worth it.

Bagaimana dengan tante Fia sendiri? Aku sudah 2 kali mengunjungi tante Fia di kotanya. Namun aku tidak bisa berbuat banyak. Rumah tante Fia saat ini sempit sekali, hanya ada 2 kamar dan ada 4 orang yang tinggal disana. Tante Fia, ibunya, adiknya, dan Dio anaknya. 5 orang ditambah aku saat aku berkunjung kesana. Jangankan berhubungan intim, rumahnya sangat sempit sekali sampai-sampai selonjor saja sangat sulit sekali (RSSSSSSSSS). Lagipula, tante Fia selalu lelah. Ia harus bangun pagi buta untuk belanja ke pasar induk menyiapkan semua bahan jualan. Seharian ia akan berjualan di sekolah sampai sore, Dio bersekolah TK di antarkan oleh neneknya. Setelah sekolah Dio akan tinggal di rumah bersama neneknya menjaga warung manisan kecil milik mereka atau ke sekolah ikut bersama tante Fia. Sepulang dari sekolah tante Fia masih harus berberes dan menyiapkan peralatan jualan besok, lalu membantu memasak dan membereskan rumah bersama Ibunya. Aku hanya bisa bengong.

Tante Asri? Teringat tante Asri juga teringat duo semprul itu, Ahhh.. Om Jono dan Om Joni beberapa kali mengunjungiku kesini. Namun yang mereka inginkan hanya untuk menyewa rumahku dengan harga murah. Katanya untuk ekspansi bisnis baru mereka. Entah cara penyampaian mereka yang tidak meyakinkan atau memang mereka selalu mencurigakan. Aku tidak menyetujuinya. Hubunganku dengan mereka pun terputus sudah hapir sepuluh bulan ini, tentunya begitu juga dengan tante Asri dan Tante Ana.

Aku juga sudah mecoba pacaran dua kali, namun tidak sampai berhubungan seks. Alasannya? Karena yang pertama terlalu baik... kami pacaran tapi serasa teman dekat. Sebenarnya aku nyaman dengan hubungannya, namun bukan itu tujuanku pacaran. Aku sungguh menyakitinya kala mengatakan putus waktu itu. Yang kedua terlalu nakal. Aku mencoba mencari anak yang sudah rusak agar aku tidak merasa bersalah.. tapi malah membuatku illfeel sendiri. Percakapannya ke arah clubbing, alkohol, seks, kecantikan, liberalisme, over-proud, egois beralasan feminisme dan segudang hal absurd lainnya yang membuatku ilfeel sendiri sampai hubungan itu hanya bertahan 2 minggu. Dan tidak... aku tidak bisa melakukan tanpa rasa. So goodbye.

Tiba-tiba ada telepon, saat itu pak Darto menghubungiku perihal pembersihan lahan yang aku miliki di desa. Kebetulan pak Darto sedang peremajaan kebun kelapa sawitnya yang tidak jauh dari wilayah kebunku, mungkin hanya beberapa ratus meter. Ia menawarkan pembersihan lahan padaku juga dengan alat berat yang saat ini sedang ia sewa. Karena jika dibiarkan terlalu lama lahan itu akan menjadi belantara dan sulit untuk membersihkannya bahkan dengan alat berat.

Pak Darto adalah suami Bulek Irma, yang setahun lalu berdiri di belakangku saat aku berziarah ke makam mamak dan bapak. Kami jadi kenal cukup akrab karena waktu itu bulek Irma mengajakku untuk mampir kerumahnya. Juga bertemu Pak Darto dan dua anak laki-lakinya yang masih di bangku SMP dan SD.

Sebenarnya aku kurang tertarik dengan ide pembersihan lahan tersebut. Satu, karena aku belum bisa mengolah lahannya walau sudah dibersihkan. Dua, uang tabunganku sudah tipis... tersisa 140 juta lagi dan kuliahku masih dua tahun lagi. Itupun kalau tepat waktu, pengeluaranku makin boros dan biaya hidup makin tinggi. Namun bukan itu yang keluar dari mulutku.

Aku memperlihatkan ketertarikanku pada pak Darto, namun aku ingin melihat sendiri prosesnya kesana... serta ada yang mungkin ingin aku bicarakan dengannya. Pak Darto pun dengan senang hati menyuruhku datang... jika ingin melihat proses pembersihan yang mungkin berlangsung agak lama, ia mempersilahkanku menginap di rumahnya.

Singkatnya, dua hari kemudian aku sudah di rumah pak Darto. Rencananya aku akan menginap disini selama seminggu, pertama aku ingin melihat bagaimana pak darto membersihkan lahannya, kemudian bagaimana hasilnya setelah dibersihkan. Namun ada maksud lain dariku, apa lagi kalau bukan melihat bulek Irma.

Rumah pak Darto cukup luas. Di bagian depan ada toko khusus bahan-bahan pertanian. Kemudian ada ruang tengah yang sangat besar menyatu dengan ruang tamu. Dapurnya entah kenapa sangat besar sekali, ciri khas rumah orang di desa. ada dua kamar di bawah, kamar Pak Darto dan Kamar tamu, dua kamar mandi yang satu dekat dapur dan yang satu kamar mandi pribadi di kamar pak Darto. Di lantai atas terdapat dua kamar anaknya, satu kamar mandi dan satu ruang tengah untuk bermain game kedua anaknya.

Aku memiliki rencana dalam seminggu kedepan yang tidak ada hubungannya dengan lahan atau perkebuanan sawit, tapi bagaimana caranya bisa mendapatkan Bulek Irma seperti dulu aku mendapatkan tante Fia. Pertama, aku akan menjadi anak baik dan mendengarkan cerita keluah kesahnya saat ia menonton tv di ruang tengah pada malam hari, ibu-ibu pasti suka menonton sinetron di malam hari.

Malam pertama. Tidak ada yang menonton TV. Arka dan Bilal dua anak mereka sibuk bermain game di lantai atas, Pak Darto dan Bulek Irma sudah masuk ke kamar setelah makan malam pukul 8 tadi. Mungkin belum? Aku pun menunggu sambil menonton tv sendirian... sampai pukul 1 dini hari. Benar-benar tidak ada yang keluar dari kamar mereka masing-masing. Senyap... aku sampai lupa suasana desa dengan kesenyapan dan jangkriknya. Malam pertama gagal. Mungkin Bulek Irma lelah hari ini, siang hari rumah sangat ramai karena pak Darto selain sekdes juga toke sawit disini... banyak tamu dan pekerja berdatangan, sedang tante Irma mengurus toko bahan tani miliknya. Gg next.. mungkin besok.

“Arman bangun nak.. dah pagi katanya mau ikut Paklek ke lahan.” Suara bulek Irma tiba-tiba membangunkanku. Malah kesiangan...

“iya bulek ini bangun..” aku menjawab sedikit menjerit agar terdengar, lalu bergegas mandi.

Aku keluar dan kulihat dapur bulek sedang membereskan bekas sarapan. Aku menghampirinya.

“sarapan dulu man..” kata bulek Irma”

“iya bulek..” jawabku “paklek udah berangkat ke area lahan bulek?”

“belum.. lagi nganer Arka sama Bilal sekolah. Nanti pulang nganter berangkat ke lahan sama kamu.” Jawab bulek sambil mencuci piring yang sudah selesai selain milikku yang sedang makan.

“bulek mau ke kebun?” tanyaku karena kulihat bulek Irma mengenakan kaos panjang longgar dan sedikit kotor dan celna panjang lomggar dengan banyak bercak noda.

“iya mau nyadap karet man...”

“loh.. bulek punya kebon karet juga? Bukan Cuma sawit?”

“ada 2 hektar aja, punya bulek pribadi.”

“oooh... terus bulek nyadapnya sendirian kuat bulek?” tanyaku lagi.

“ya kalo bulek ga kuat si, tapi biasanya ada 2 orang yang tukang nyadap.. ini mereka lagi ga bisa aja jadi bulek gantiin sebisanya, daripada ga di sadap kan sayang.” Jawab bulek Irma sambil santai. “apa kamu mau ikut man?” tanya bulek Irma sambil menoleh ke arahku.

“hm... boleh bulek, tapi ini kegiatan sama paklek gimana?” tanyaku, aku berharap ia mencoba sedikit memaksaku untuk menemaninya.

“oh iya, yaudah kapan-kapan aja pasti ada waktu bulek gantiin nyadap karet lagi, kan harus tiap hari itu, sekarang kamu ikut paklek aja dulu.” Jawabnya. Sial. Aku berkata dalam hatiku.

Tak lama setelah itu pak Darto datang, kamipun berangkat menuju lokasi. Aku mengecek lokasi perkebunan kelapa sawit Pak Darto yang sudah menjulang tinggi, separuh dari seluruh batang sawit di lahan ini sudah di robohkan.. batang dan pelepahnya disusun rapi berjajar. Aku ingin mengecek lahanku juga yang tidak jauh dari situ, namun tiba-tiba hujan turun. Area ini masih becek, jalan menuju kemaripun masih jalan setapak yang terbentuk karena sering dilewati mobil truk sawit pak Darto. Pekerjaan dihentikan dan kami pulang agak sore, menunggu jalanan sedikit kering.

Malam kedua. Sama. Tidak ada kegiatan di malam hari. Aku sampai lupa bagaimana desa ini, dulu setahuku aku sering mondar mandir dengan beberapa orang teman di malam hari, walau tidak sampai pukul 11 malam. apa mungkin itu hanya untuk remaja seusiaku saja? Kenapa malam ini sunyi sekali seperti kemarin.

Pagi menjelang... dan kegiatanku sama seperti kemarin, lagi-lagi hujan di siang hari yang membuat kami harus terlambat pulang. Sepulang dari lahan aku harus membersihkan badan, mandi, sedikit mengobrol dengan anak-anak pak Darto, melihat orang lalu lalang di halaman rumah pak Darto yang luas... dan...

Menonton TV. Malam ketiga, masih sama seperti kemarin. Aku mulai hilang akal... rencanaku tidak berhasil. Benar saja. Sampai malam ke lima kegiatan yang kulakukan masih sama seperti kemarin-kemarin. Aku sudah melihat lahan peninggalan bapak padaku, besok adalah malam terakhirku disini dan pak Darto pasti meminta keputusanku untuk ikut membersihkan lahan (dan ikut bayar iuran sewa alat berat) atau tidak. Disini aku malah malamun di depan TV, membayangkan pikiran kotorku yang tidak kian tersalurkan.

Aku memalingkan pandangan ke arah kamar pak Darto... sepi, sama seperti malam-malam sebelumnya. Tiba-tiba badanku tergerak untuk berdiri, aku berjalan menuju kamar pak Darto, kuputar handle pintu perlahan dan sedikit membuka pintu tersebut untuk membuatku bisa mengintip kedalamnya.

Remang.. hanya lampu tidur di sebelah pak Darto yang menyala. Aku masuk kamar secara perlahan, pintu aku aku biarkan terbuka sedikit. Aku melangkah ke arah kasur di mana pak Darto dan Bulek Irma tertidur. Pak Darto ada di bagian ujung seberang dekat dengan tembok, sedangkan bulek Irma ada di hadapanku saat ini. Ia mengenakan daster tipis, mereka berdua tidur tanpa selimut. Ada pak Darto disini. Tapi pikiranku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Tanganku bergerak sendiri.

Aku duduk dan memperhatikan tubuh bulek Irma dengan seksama, tampak berisi.. kulitnya sawo matang, lumayan mulus. Pahanya lumayan putih. Dasternya tersingkap sampai paha. Perlahan tangan kananku naik dan mengelus elus pahanya, ingin sekali aku singkap sampai ke pangkal namun terhambat oleh tubuhnya yang membuat elusanku hanya bisa sampai ke paha saja. Aku lihat ekspresi wajah bulek Irma, pulas... aman.

Kemaluanku sudah mengeras. Sepertinya aku memang sangat terangsang dengan hal-hal semacam ini. Aku sudah tidak tahan lagi, tangan kananku kebawah masuk ke dalam celana kolorku dan mulai melakukan onani, sementara tangan kiriku mengelus elus kemaluan bulek Irma dari luar daster karena tanganku tak bisa masuk ke dasternya. Terlalu riskan dan jaga-jaga. Namun yang kurasakan malah membuatku kaget... tidak ada celana dalam? Aku elus-elus lagi bagian kemaluannya agak kutekan. Benar saja, aku yakin tidak ada celana dalam, irama elusanku mulai sedikit seperti menekan-nekan kemaluan bulek Irma yang lembut. Oohhh... betapa rindunya aku dengan rasa kenyal ini. Kepalaku rasanya sampai sakit keenakan... tanganku yang onani di dalam celana kolorku makin kencang dan kemudian...

“kreeeeaaak jdred!.” Bunyi pintu kamar yang tidak sengaja tertutup sepertinya terkena angin. Aku kaget dan langsung menarik kedua tanganku meletakkannnya di dada dan spontan mengguling di samping dipan tempat tidur bulek Irma. Aku rasakan ada sedikit goyangan di dipan tempat tidurnya, namun posisi bulek Irma tidak berubag sedikitpun, Pak Darto terbangunkah? Oh shit oh shit oh shit....

Aku menggelindingkan badanku ke samping secara perlahan masuk ke kolong dipan. Sangat berdebu namun aku tahan untuk tidak bersuara. Aku memperhatikan sekitar dari bawah kolong. Dan benar saja, tidak lama ada kaki Pak Darto yang mulai turun dari dipan dan berdiri. Ia menyalakan lampu kamar dan mulai berjalan mengelilingi dipan untuk menuju pintu? Atau kemana? Dadaku berdegup amat kencang, jika ia berjalan ke arah pintu, maka saat ia kembali ke aah dipan ini kemungkinan besar ia akan melihatku. Karena jarak pintu dan tempat tidur cukup jauh... hidungku juga sudah sangat gatal. Sepertinya aku akan bersin.... tolong, jangan menuju pintu pak Darto, jangan... kemudian ia berjalan ke arah pintu. fuck fuck fuck fuck fuck fuck.......
 
Jadi penasaran sama tante astri yg lebam²...
Wah nekad juga ya .. bersin gak tu hahaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd