Aku kadang kesal dengan betapa pendiamnya Ragil, tapi kadang juga sangat bersyukur. Bayangkan kalau anakku seorang anak yang banyak omong dan rewel, tidak mungkin perjalanan nekatku ini bisa mulus.
Namun ternyata yang mulus hanya awalnya saja. Sebab, cuma orang sinting yang berharap dapat pekerjaan dengan ijazah SMP. Hampir satu tahun aku tak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Banyak biaya kukeluarkan untuk sekolah baru Ragil. Tabungan semakin menipis. Aku di ambang keputusasaan.
Sempat terpikir ingin jadi lonte betulan saja. Usiaku masih terbilang lumayan. Masih sangat bisa dipakai. Tapi kuputuskan untuk menundanya sampai aku benar-benar tak punya uang sepeser pun.
Di saat-saat terakhir, ketika kupikir betulan harus melacur, akhirnya ada lowongan di sebuah rumah makan tak jauh dari kontrakan. Untuk sementara ada pemasukan untukku meskipun sangat pas-pasan.
***
Aku bukan ibu yang baik. Itu kuakui sejak Ragil masih dalam kandungan. Aku membiarkannya lahir ke dunia ini hanya karena ketika hamil dulu Mario terus menyuplaiku dengan kontolnya. Berkali-kali aku hampir menangis mengingat betapa menyedihkannya hidupku.
Di tempat kerja, anak perempuan pemilik rumah makan usianya terpaut satu tahun denganku, lebih muda. Kami sering mengobrol, dan bara api rasa iri itu menyala lagi di dalam sanubariku. Di usia segitu dia sudah mau menyelesaikan kuliah S2-nya. Sudah pernah berkunjung ke berbagai negara. Punya pacar seorang dosen muda yang usianya hanya terpaut tiga tahun.
Ketika mengobrol dengannya, aku merasa seumuran. Aku lupa saja dengan kehidupan dan semua masalahku ketika sedang dengan dia. Tapi begitu kembali ke rumah, dan kulihat Ragil sedang menonton TV, aku seperti dibetot kembali ke alam kenyataan.
“Cucian tuh! Udah numpuk baju lu mau sampai kapan ga dicuci, hah?!”
Tak digubris, kupukul punggungnya. “Lu denger ga gue ngomong! BUDEG!”
Ragil hanya mengaduh dan segera pergi ke belakang untuk mencuci baju kotornya.
Lain kali pernah kumarahi dia karena lupa menjetrekkan
mejikom ketika kusuruh untuk menanak nasi.
“Makanya kalau disuruh itu dengerin yang bener. Perhatiin! DASAR BEGO!” seraya kutoyor kepalanya.
“RAGIL…! INI APA HAH TOPLES GULA BERANTAKAN GINI?! KALAU ABIS DIBUKA ITU TUTUP LAGI YANG BENER! DIPAKE DONG OTAKNYA!”
Suatu hari pernah kutampar dia karena urusan sepele salah membeikan bumbu masakan. Saat itu sedang bokek dan lapar akhir bulan.
“MASA BEGINI AJA LU GA BISA?! HAH? ******!” Kutampar lagi dia. Ragil diam saja. Tak menjawab. Tak menghindar. Dia diam saja seperti patung.
Tanpa kusadari aku semakin sering memukul dan memaki Ragil, tapi anak itu tetap saja diam. Dan aku malah tambah kesal dengan diamnya dia itu.
Di kemudian hari kusadari bahwa Ragil sebenarnya sama sekali bukan anak yang bandel. Masih di batas wajar kesalahan-kesalahan yang dia lakukan. Dia hanya apes karena harus lahir dari rahim wanita hina sepertiku.
Peristiwa marahku yang paling dahsyat terjadi ketika ranking Ragil turun dari tahun sebelumnya rangking 2 menjadi rangking 5.
“******!!” kupukul kepalanya pakai buku rapor.
“JANGAN MAIN TERUS! TURUN KAN RANGKING LU! DASAR TOLOL!” padahal aku tahu dia main sewajarnya saja.
“MAU JADI APA LU KALAU BEGO BEGINI HAH? JAWAB!”
Ragil tetap tertunduk, pasrah menerima gebukan buku rapor.
“JAWAB BANGSAT! MAU JADI APA LU, HAH?!”
Ragil tetap bergeming. Setan sudah menguasai tubuhku.
“DASAR ANAK ANJING!”
Kutempeleng dia sangat keras sampai terjatuh. Untuk pertama kalinya kulihat dia seperti hampir menangis. Dan aku cukup terkejut ketika melihat bercak merah di sudut bibirnya.
Saat itulah aku sadar, dan akal sehatku sedikit kembali. Saat itulah semuanya berubah seketika. Tiba-tiba aku melihat semuanya dari perspektif Ragil. Dia yang tak tahu apa-apa kubawa kabur beberapa tahun lalu, kemudian kupaksa dia hidup seadanya, dan kulampiaskan semua emosiku kepadanya.
Malam itu aku memikirkan ulang semuanya. Sampai tidak tidur.
***
Setelah kejadian menempeleng itu interaksiku dengan Ragil berubah. Dia jadi semakin hati-hati, tak membiarkan sedikit pun kesalahan terjadi. Aku sendiri—meskipun canggung—mulai berusaha untuk mencintainya sedikit demi sedikit. Seperlahan mungkin. Sebisaku. Walau bagaimana pun, cuma anak ini keluargaku yang sebenar-benarnya, dan dia telah tahan hidup denganku sekian tahun meskipun perangaiku seperti orang gila.
Perlahan keadaan hidup pun mulai semakin membaik. Aku semakin dipercaya di tempat kerja. Gajiku naik. Aku juga mulai cari-cari penghasilan tambahan. Aku sangat terbantu karena banyak pekerjaan rumah yang mulai dikerjakan dengan serius oleh Ragil. Anak itu bahkan sudah bisa masak-masak sederhana.
Hal paling mengejutkan adalah ketika suatu hari Ragil pulang bawa piagam. Dia memenangkan sebuah lomba matematika tingkat provinsi dan akan segera berangkat ke nasional bulan depan.
“Bu, Ragil bulan depan ke Jakarta.” Ujarnya sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.
“Apaan ini?”
“Lomba matematika, Bu.”
Aku sempat tak percaya. Kemudian perasaanku berubah jadi sangat senang, tapi sialnya aku gengsi menunjukkan itu kepada anakku sendiri. Meskipun hubungan kami semakin membaik dan aku tak pernah lagi mengasarinya, aku tetap belum pernah berkata-kata manis kepada Ragil.
“Oh. Tanggal berapa berangkatnya?” Aku berusaha untuk bersuara sedatar mungkin. Padahal saat itu ingin sekali aku lompat-lompat kegirangan.
“Lombanya tanggal 13, dari sini berangkat tanggal 12.”
Oke. Sekarang apa yang harus kukatakan? Sumpah aku mati kutu. Ingin sekali aku memberinya selamat, bilang kepadanya betapa aku sangat bangga.
“Jaga kesehatan. Mulai sekarang ga usah main ke luar dulu. Di rumah aja.”
“Iya, Bu.”
“Perlu bayar berapa ini?”
“Nggak ada kok. Semuanya dibayarin pemprov sama sekolah.”
“Ya udah. Tidur duluan sana. Ibu mau cuci muka dulu.”
Ragil mengambil kembali kertas-kertas itu dan masuk ke dalam kamar. Sementara aku segera bergegas masuk kamar mandi. Kunyalakan keran air, dan aku menangis kecil karena terharu. Jangan salah, ini tangis bahagia.
Selesai menangis dan mencuci muka, aku pun masuk kamar. Ragil sudah tertidur pulas. Keperhatikan wajahnya, aku hampir tak tahan ingin memeluknya. Entah mengapa malam itu rasa keibuanku seperti meledak-ledak, tapi tetap tak bisa kuungkapkan. Tapi karena tak tahan, kuberanikan diri, dengan sangat pelan dan tanpa menimbulkan suara, kukecup lembut kepalanya. Aku sudah pastikan bahwa dia benar-benar tidur.
***
Hari keberangkatan aku heboh sendiri.
“Sikat gigi, handuk, odol, udah dimasukkin belum?”
“Udah, Bu.”
“Coba cek lagi. Takutnya lupa.”
“Iya.”
Ragil mencium tanganku sebelum berangkat—seperti biasanya. Yang tak biasa adalah, entah wangsit dari mana, tiba-tiba saja dengan cepat kucium pipinya. Ragil sempat mengalami freeze. Tentu saja dia kaget, aku saja kaget, kok bisa-bisanya aku berbuat keibuan seperti itu? Dan sepertinya orang-orang yang melihat pun akan lumayan kaget. Sebab, Ragil bukan lagi bocah balita.
“Hati-hati,” ujarku ketika Ragil mulai berjalan menuju mobil jemputan. Itu pertama kalinya aku bilang hati-hati sama anakku sendiri.
Baru beberapa menit mobilnya pergi, aku sudah tak sabar ingin dia cepat pulang. Selama kepergian Ragil ke Jakarta, waktu menyendiri membuatku banyak merenung lagi. Aku mengambil jarak yang cukup jauh supaya bisa melihat hidupku secara lebih adil. Memang hidupku ini sangat menderita dan sengsara, tetapi mungkin Ragil adalah kompensasi atas semua kesialanku itu. Aku jadi sedikit lebih rela menerima semua keterpurukan yang pernah kualami.
Semakin lama aku semakin merasakan rasa cinta yang tumbuh meledak-ledak di dalam hatiku. Sebagian besar mungkin dilatarbelakangi oleh rasa bersalahku karena telah memperlakukannya dengan sangat buruk. Aku jadi bertekad untuk memberikan seluruh hidupku untuknya. Ya. Apalagi hal yang bisa diberikan oleh seorang ibu selain memberikan seluruh hidupnya kepada anaknya?
Saking tak sabarannya, di hari kepulangan aku berangkat pagi-pagi sekali ke kota besar, ingin kujemput dia di bandara. Dari pembimbingnya aku tahu bahwa Ragil tak mendapat juara di tingkat nasional. Aku tak peduli sama sekali. Aku cuma ingin cepat melihatnya.
Begitu Ragil nongol dari pintu kedatangan, aku hampir berlari hendak memeluknya. Tak sempat kulihat raut wajahnya, juga tak sempat aku mempedulikan sekitar, langsung kupeluk saja anakku itu. Kubenamkan wajahnya di dadaku sambil kuelus-elus kepalanya. Aku tidak menyadari dampak besar dari afeksi tiba-tiba yang kuberikan ini.
“Maaf Bu, Ragil ga dapet juara.” Wajahnya tertunduk, tampak sangat murung.
“Ga apa-apa.” Kusejajarkan wajahku dengan wajahnya. “Hei.” Kuangkat wajahnya supaya menatapku. “Ga apa-apa. Ya?” Kuusap lembut pipinya. “Ga apa-apa.”
Dari yang tak pernah peduli anak itu mau melakukan apa, aku jadi sayang sampai mabuk kepayang kepadanya. Kupeluk lagi anakku itu sepuasku.
***
Keadaan jadi jauh lebih baik. Aku sangat menikmati perasaan cintaku yang semakin hari semakin bertumbuh ini. Meskipun tetap tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, entah karena gengsi atau karena canggung, tapi untuk hal lainnya aku sudah jauh lebih perhatian kepada Ragil. Dia juga, mungkin karena merasa tersanjung, semakin menurut dan tak pernah tunggu waktu untuk melaksanakan semua perintahku.
Kadang ada sedikit kesalahan, dan aku tetap memarahinya, tapi tak lagi betulan marah. Kini setiap ucapanku penuh kesadaran sebagai upaya untuk mendidiknya.
“Tadi katanya cuma sejam? Ini udah lebih sepuluh menit.”
Dan Ragil segera mematikan PS-nya seraya bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengerjakan PR.
Pernah Ragil memecahkan gelas dan piring yang hendak ia cuci sehabis makan.
“Aduh. Hati-hati dong, Ragil!”
Dia hendak memungut pecahan gelas itu. Segera kucegah.
“Diem! Biar Ibu aja. Nanti kaki lu kena, bisa berdarah.”
“Maaf Bu.”
“Lain kali hati-hati. Jangan sambil ngelamun.”
Aku mengambil pengki dan berjongkok untuk membersihkan pecahan kaca, Ragil berdiri diam di tempatnya, yakni di hadapanku yang sedang membersihkan kaca. Aku fokus membersihkan dan tidak mengamati apa yang Ragil lakukan. Ketika aku menengadah ke arahnya, kulihat tatapannya sangat tajam melihat ke arahku.
“Woy! Tuh kan ngelamun lagi.”
Seperti orang linglung, Ragil langsung membuang muka dan bergegas pergi. Aku cuma geleng-geleng. Waktu itu aku belum menyadari apa yang sedang terjadi.
Sejak kejadian itu, semakin sering kutemukan Ragil melamun, tapi aku tak pernah berpikir apa-apa.
Hingga suatu hari, saat sedang memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, aku mencium sesuatu yang sangat khas. Sesuatu yang sangat kuhafal baunya tapi sudah lama. Kusibak pakaian kotor satu per satu, mencari sumber bau, firasatku sudah mengatakan sesuatu, tapi aku belum berani berpikir apa-apa.
Sejujurnya aku bingung dengan pikiranku sendiri. Sejak pertama kali mencium bau itu, aku sudah
haqqul yakin asalnya dari mana. Itu bau yang sangat familier dari fase hidupku bertahun-tahun yang lalu. Tapi aku masih tak punya keberanian untuk menghubungkan temuanku itu dengan suatu fakta yang lain.
Mendadak rasa gundah memenuhi relung hatiku. Sangat cepat seperti tinta yang diteteskan ke dalam air bening. Aku terduduk di lantai memegangi sepotong sesuatu yang menjadi sumber bau. Jantungku langsung berdebar-debar. Tiba-tiba masa depan menjadi tak jelas lagi. Perutku dilanda mulas.
Berlusin-lusin bayangan masa lalu memenuhi benakku. Bukan bagian masa lalu yang buruk dan sengsara, melainkan secuil masa lalu yang menyenangkan. Bukan hanya menyenangkan, tetapi… Ahh… Apa yang akan terjadi?
Adegan demi adegan. Seperti playback memutar film lama.
Tanpa kusadari, aku sudah mendekatkan sepotong sesuatu itu ke wajahku.
Sialan. Apa yang terjadi? Siapa ini yang mengambil alih tubuhku? Tiba-tiba saja sudah kuendus sepotong sesuatu itu.
“HMMPPPPHHHH…!” Kuambil satu tarikan napas penuh. Lalu seluruh tubuhku bergetar. Kuambil tarikan napas kedua, dan kepalaku menjadi sedikit pusing. Tubuhku seperti bukan milikku lagi.
Aku kesurupan. Aku kerasukan. Kesadaranku berusaha melakukan pertahanan terakhir tetapi sia-sia.
Kurang dari 30 detik aku sudah melucuti seluruh pakaianku. Satu tanganku menekan sepotong sesuatu itu ke hidungku, satu tanganku yang lain mengobel alat kelaminku sendiri. Tak lama, lenguhan erotis keluar dari pita suaraku. Aku sudah hilang kesadaran akan sekitar.
Pada saat itu, tanpa sepengetahuanku, ada sepasang mata yang mengintip dari balik ambang pintu. Tentu saja dia juga tak sadar sekitar.
Lalu pada detik yang sangat krusial, mata kami saling bertemu. Ragil melihatku yang sedang masturbasi sambil mengendusi celana dalamnya. Aku melihat Ragil sedang mengocok penis yang menyembul dari celananya.
Ragil langsung ngibrit meninggalkan ruang belakang setelah terburu-buru memasukkan penis tegangnya ke dalam celana. Sementara aku masih dalam posisi duduk, tak tahu apa yang akan kulakukan, sedangkan celana dalam itu masih dalam genggaman.