Sidestory 3-a; The Beast Inside Me.
http://www.imagebam.com/image/7aec81990553924
(Rere)
###
"Rere sudah besar ya sekarang," kalimat itu diucapkan Bude Della. "Ayok, masuk." Bude mengamit lenganku setelah membantuku membawakan salah satu ransel berisi pakaianku.
Jadi, dua minggu yang lalu, Bude Della nelfon. Awalnya aku nggak kenal siapa Bude Della ini. Aku agak kaget pas dia bilang, dia kakak kandung almarhum Mama. Jadi, anak dari kakek dan nenekku jumlahnya ada empat. Dan posisi Bude adalah yang paling sulung. Kemudian Almarhum Ibuku, Om Anton dan terakhir Mama Bella. Jarak kelahiran mereka nggak jauh. Cuma berselang beberapa tahun, dan setelah aku lihat wajah Bude Della, aku jadi makin yakin.
Kalau Sella, nama Ibu Kandungku, Bude Della dan Mama Bella itu... Kembar tiga.
Tapi, Almarhum Ibu kandungku cenderung lebih dekat sama Mama Bella. Karena Mama Sella dan Mama Bella, punya pemahaman dan pemikiran yang sama, sama - sama nakal. Hihihi. Beda sama Bude Della, kalo kata Mama Bella sebelum aku berangkat kesini waktu itu, Bude Della adalah yang paling alim. Paling dewasa juga. Jadi ketika Ibu kandungku pergi, Mama Bella yang langsung bawa aku ke Jakarta, dan selama di Jakarta, sampai dua minggu yang lalu, aku baru tahu kalau di keluarga besar Ibu Kandungku masih ada Bude Della, karena yang aku tahu cuma Om Anton sisanya.
Rumah ini, adalah rumah masa kecil mereka. Kakek sama Nenek udah almarhum, jadi yang nempatin rumah ini Bude Della. Bude milih buat stay disini sementara adik - adiknya merantau ke Jakarta.
Nggak bertingkat, tapi melebar ke belakang. Suasana disini sejuk, bener - bener adem. Padahal ini masih siang, jam segini di Jakarta biar mataharinya diumpetin awan, tetep aja panas, gerah. Tapi disini enggak. Tuh diatas mataharinya masih nemplok, tapi adem - adem aja.
Sampe di dalem, ruang tamu sama dapur nggak ada pemisah, cenderung disatuin. Jadi mungkin kalau makan ya di ruang tamu, menurut aku sih lebih enak, bisa sambil nonton tv. Hehe.
Bude nuntun aku ke sebuah kamar, yang kata dia bakal aku pake selama aku tinggal disini, katanya sih ini kamar anaknya dia yang masih SMA.
Anak Bude Della ada tiga. Dua laki - laki, satu perempuan. Yang perempuan udah diboyong suaminya ke luar kota, anak laki - laki pertama, kuliah di luar kota juga. Nah terakhir, Samudera, si bungsu. Masih SMA.
"Emang Sam pulang sekolah jam berapa biasanya Bude?" tanyaku, sembari meletakkan koperku di sudut kamar. Ah ya, rencana sih aku disini seminggu. Mama Bella ngizinin, bahkan dia yang nyuruh. Katanya biar aku lebih kenal kampung halaman aja, jadi selama seminggu aku disini, Mama Bella yang urus butik. Duh sayang banget lah aku sama Mama Bella pokoknya!
"Sore, Re. Kayaknya dia ada ekskul di sekolahnya hari ini. Eh, kamu udah makan, Re?" Bude bangkit dari kasur yang tadi dia dudukin, "Makan dulu ya. Yuk." katanya sambil ngedorong lembut badanku keluar kamar.
Sementara Bude masak entah apa, aku berkeliling rumah. Di halaman depan, ada kolam ikan yang masih terawat, kolam yang dikelilingi tanaman - tanaman yang aku gak tau apa namanya, aku kan bukan tukang kebon. Di ruang tamu, hampir di dominasi sama benda - benda antik. Pajangan - pajangan antik, foto hitam - putih di dinding dengan bingkai lumayan besar yang aku yakin dua sosok di dalamnya itu adalah almarhum kakek sama nenek waktu masih muda. Dihalaman belakang ada pohon gede, yang dahannya terikat dua tali yang ngejulur ke bawah dan masing - masing tali itu mengikat di sisi - sisi ban seukuran ban motor bebek. Ayunan. Hampir aja aku kalap duduk disitu, aku kan udah gede. Masa main ayunan.
Puas keliling - keluling rumah, aku balik ke ruang tamu. Nyalain tv, biar ada suara aja sih, abis kayak sunyi banget gitu disini. LED tv itupun nyala dan langsung nampilin acara berita. Bagus deh, ada yang rela ngomong walaupun dicuekin, karena alih - alih nonton, aku malah ngambil hape di celana jeans ketatku, dan buka - buka apa aja yang bisa dibuka di dalem ponsel pintar itu.
Nggak lama, Bude ke ruang tamu sambil bawa nampan yang isinya mangkuk - mangkuk sebagai wadah sayur sama lauk yang dia masak tadi. Sayur sop, sama telur puyuh balado. Wah kesukaan ini.
"Almarhum Ibu kamu suka kalap nih kalau ada telur puyuh balado, apalagi kalau Bude yang masak." ucap Bude sambil tersenyum ramah.
"Ih sama Bude. Aku juga suka banget telor puyuh balado. Kalo dirumah yang bikin Mama Bella, tapi jarang sih dia masak. Soalnya dirumah udah ada yang masak." balasku panjang lebar. Setelah ngobrol sesaat, akupun langsung pura - pura enggak kalap nyantap telur puyuh balado buatan Bude Della, yang enak banget ini.
Selesai makan, aku bantu - bantu Bude angkat piring - piring dan gelas - gelas kotor ke dapur, tadinya aku nawarin diri buat nyuciin itu semua, tapi dilarang sama Bude. Biar Bude aja, kamu istirahat aja, gitu katanya.
Iya deh, aku istirahat. Soalnya, entah kenapa aku mikir kalau suatu saat nanti entah kapan selama aku disini bakal jadi hari yang... Melelahkan.
****
Sorenya, aku dibangunin Bude. Dia bilang udah jam lima, mager sebenernya, ya gimana enggak, udara disini emang molor-able, sih. Tapi ya akhirnya aku bangun juga. Sebelum keluar kamar, aku ngoprek - ngoprek isi ransel setelah Bude keluar kamar, aku ngambil anduk warna biru yang ada motif donald ducknya itu, anduk kesayangan. Ini udah dari dulu banget kayaknya, makanya kalau ngelilit di badan aku jadi rada kekecilan. Bukan rada. Emang kekecilan. Saat itu juga aku nyesel kenapa nggak bawa handuk kimono aja sih... Bego banget deh, Rere. Tapi bodo deh, kepalang tanggung. Daripada nggak mandi?
Sambil bawa anduk yang udah terkalung di leher dan bag kecil yang isinya keperluan mandi, aku keluar kamar.
Mataku nangkep sosok laki - laki, lagi duduk diatas sofa, mungkin karena suara pintu kamar yang aku buka, dan kamar ini letaknya deket sama ruang tamu, dia noleh kesini, mungkin penasaran sama mahluk yang udah berani - beraninya nginvansi kamarnya, karena dari foto - foto diatas meja itu, aku tahu kalau yang lagi duduk diatas sofa adalah Samudera, atau Sam.
Aku cuma ngelempar senyum, yang dia bales dengan hal yang sama, bedanya dia kelihatan agak kikuk. Penampilannya rada nerd gitu, menurutku. Kacamata, baju kaus yang kebesaran, celana pendek selutut yang kelihatan gombrong. Badannya jadi kelihatan kurus.
Coba, sejak kapan aku nilai penampilan orang? Pft.
Dah, aku mandi aja deh.
****
NYESEL!
Sumpah, aku nyesel se nyesel - nyeselnya. Keluar dari kamar mandi, aku langsung jalan cepet ke arah kamar, di sofa masih ada Sam yang aku tangkep sempet sekelebat ngelirik ke arahku. Tepatnya, badan aku. Bodo. Aku buru - buru masuk kamar.
Tau kenapa aku nyesel mandi sore - sore?
Iya, bener. Airnya dingin! Mungkin karena baru pertama kali kesini, dan habis bangun tidur, aku jadi nggak sadar kalau suhu udara yang dingin, pengaruhin suhu airnya juga. Disini jelas bukan hotel yang ada water heaternya.
Di ruang tamu, Bude dengan perangainya yang lembut dan halus itu, ngerasa bersalah dan minta maaf. Bukan ngerasa bersalah karena nggak ngasih tau kalau airnya dingin, tapi ngerasa bersalah karena lupa masak air. Tapi ya gak apa - apa, toh akunya juga yang teledor. Jadi, sisa sore itu aku habisin di ruang tamu, ngobrol sama Bude, Sam dan Suaminya Bude, Om Yudha. Om? Iya, beda sama Bude Della, suaminya malah nggak mau dipanggil Pak De, katanya kesannya tua banget. Padahal emang tua. Dia sendiri yang ngomong umurnya udah lima puluh satu. Dan itu rada bikin aku kaget. Soalnya masih tegap gitu. Fisiknya masih kelihatan lebih muda dari usianya, ya walaupun beberapa helai uban udah tumbuh di atas kepalanya, tapi itu tetep gak menghalangi sosok gagahnya, apalagi dari cara Om Yudha ngomong, kelihatan berwibawa.
***
Jam delapan malam disini, nggak bisa aku temuin di jam berapapun di Jakarta. Sepi. Cuma ada suara jangkrik, di dalem rumah, tepatnya di ruang tamu, cuma ada suara tv yang volume suaranya kecil tapi masih bisa diterima pendengaran.
Aku duduk sila diatas sofa, sementara Sam duduk diatas karpet, kaki nya ngejulur ke depan di bawah meja, dia lagi sibuk nulis - nulis.
"Ngerjain apa, Sam?" dia agak kaget, mungkin karena terlalu fokus sama kegiatannya.
Dia natap aku sebentar, dan pas nolehin kepala, pipinya nyentuh lutut kaki kiri aku, mungkin karena aku duduk sila diatas sofa, jadi bagian lutut aku keliatan agak maju kesamping. Aku duduk nggak jauh dari dia. Aku sih biasa aja, tapi raut wajahnya Sam kayak gugup gitu.
"Tu-tugas, Mbak." katanya setelah nolehin kepala ke arah semula, ke selembar kertas di atas meja, disamping kertas yang jadi kegiatannya, ada setumpuk lagi kertas - kertas yang kayaknya itu hasil ujian gitu.
Daripada bete, mending aku nawarin bantuan deh.
"Mbak bantuin ya." kataku, sebelum dia jawab, aku udah beringsut turun dan duduk di sisi meja satunya. Karena dibawah meja ada kakinya yang lagi lurus ngejulur, aku terpaksa bersila lagi diatas karpet dengan bagian paha berada dibawah meja. Posisi kaki dia sama kaki aku yang dibawah meja, otomatis bikin kaki aku sama dia bersentuhan. Ya cuma nyentuh aja.
"Duh nggak usah, Mbak. Ini cuma di centang sama silang aja, kok." tolaknya halus
"Ga apa - apa," diatas meja ada dua tumpukan kertas, yang satu di sisi kiri Sam, itu yang udah selesai dikoreksi, sementara tumpukan yang lebih banyak dari tumpukan kertas yang satunya, itu yang belum dikoreksi. "Ini belum dikoreksi, kan?" tanya aku sambil nunjuk tumpukan di depan aku, di sisi kanan Sam. Dia ngangguk.
Untungnya yang harus dikoreksi ini soal ujian bahasa inggris. Sedikit banyak aku nguasain sih. Dan kegiatan itu aku laluin sambil ngobrol - ngobrol ringan. Kebanyakan aku yang nanya dan buka obrolan sambil tetep ngebantuin Sam ngoreksi tugas dari wali kelasnya itu.
Entah udah berapa lama, karena emang kertas ujiannya banyak. Kata Sam sih lembaran ujian yang dikoreksi dia ini punya anak - anak di kelas dia dan anak - anak kelas lain, materinya sama, cuma soal - soalnya aja di letakkin secara acak berbeda di tiap kelas. Udah tinggal beberapa kertas ujian lagi, dan aku udab beberapa kali nguap. Ngantuk.
"Mbak Rere kalau mau tidur, tidur duluan aja. Ini udah tinggal sedikit lagi, kok." yaudah, aku nurut deh. Tapi alih - alih masuk ke kamar, aku justru beringsut ke samping dia, nyelonjorin kaki agak serong ke samping di samping meja. Nyandarin badan dan kepala di bagian bawah sofa, disamping Sam.
"Mbak, tidur dikamar aja," kata dia, mandang aku yang nggak sadar ngelempar senyum ramah. "Gapapa, Mbak temenin sambil tidur. Kalau udah selesai, bangunin ya." ujarku sambil mejamin mata.