Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT SI RAMBUT MERAH (by Arczre)

Apakah perlu melanjutkan cerita ini dengan tokoh utamanya Han-Jeong?

  • Ya

  • Tidak


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Dalam kepercayaan sekte kuno.. Lucifer itu adalah setan pembawa cayaha.. Waaahh.. Pindah genre nih kyaknya..
 
Wah. . .
Genre ni maen detektif sepertinya.
Pantesan updateny ga' frontal lagi. . .
Kisah sebelumnya malah bikin yang baca takjub. . .
 
BAB III

Target Changed




Hubunganku dengan Suni makin dekat. Dan juga makin panas. Tiap kali kami ada kesempatan bertemu, pasti bercinta. Entah di tempatku entah di tempatnya. Dan kami pun makin mesra dari misi ke misi. Hubunganku dengan Suni sudah bukan rahasia lagi. Seluruh kesatuan mengetahuinya. Mereka sedikit cemburu pastinya, si Rambut Merah pacaran dengan teman satu agensi.

Seperti misi kita kali ini. Kami harus menangkap hidup atau mati buronan negara. Memburunya persoalan mudah, tapi membunuhnya itu persoalan lain. Aku dan Suni sudah terperangkap kami sudah terkepung dan di tengah kami berdua ada sang target. Target bernama Baron Waard. Aku dan Suni menodongkan senjata kami ke leher si Baron. Di sekeliling kami puluhan pucuk senjata telah mengarah dan siap membidik kami berdua.

"Suruh mereka untuk pergi!" kataku.

"Coba saja!" kata Baron. "Toh kalian ke sini untuk membunuhku bukan? Setidaknya aku bukan orang yang takut mati."

Aku pun meletuskan senjataku. Peluruku langsung menembus kepalanya. Baron pun terkapar tak bernyawa lagi.

"Bagus, sekarang kesempatan kita untuk keluar dari tempat ini kosong," ujar Suni.

Aku langsung menembak ke arah lain, ke semua orang yang menodong kami. Terjadilah perang. Aku dan Suni berkelit dan berlari menghindari hujan peluru yang mengarah ke arah kami berdua.

"Mau kencan lagi setelah ini?" tanya Suni.

"Lagi?" tanyaku sambil menunduk di antara meja dan kursi.

"Aku sudah lama sekali tidak kencan denganmu," kata Suni.

"Nope!" kataku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku membalas tembakan mereka. Beberapa mengenai orang-orang itu.

"Setiap kali kencan, selalu berakhir di atas ranjang. Aku capek juga tahu!" kataku.

"Oh, kamu tidak suka?" tanya Suni sambil membantuku membalas tembakan anak buah Baron.

"Bukannya aku tak suka. Kau hebat diranjang, paling tidak sesekali jangan melakukan itu," kataku.

"Bukankah yang selalu ingin adalah dirimu?" tanyanya. Benar juga sih. Hampir pasti aku yang menginginkannya. Tapi itu karena berjalan dengan Suni sangat nyaman. Dan karena nyaman itulah....

"Folks, bantuan datang. Berlindung!" kata An Li di codec.

Aku dan Suni segera tiarap ke lantai. Sebuah roket melesat masuk ke dalam ruangan lalu BLAAAARRRR! kaca-kaca berhamburan debu mengepul dan para anak buah Baron bagi kapas tertiup angin. Yup, misi selesai. Aku dan Suni pun segera keluar. Kami tadi berada di sebuah restoran itali. Sayangnya tak sempat mencicipi masakannya.

Setelah ledakan berakhir. Aku ternyata ditutupi oleh tubuh Suni. Dia melindungiku dari serpihan ledakan. Ia yang pertama kali bangkit. Ia betulkan kemejanya. Diperiksanya magazine di pistolnya. Aku ikut bangkit, ia membantuku untuk berdiri. Kulihat tempat itu berantakan sekali.

"Misi selesai, target eliminated," kataku.

Suni berjalan menuju ke sebuah meja yang masih berdiri. Lucunya meja itu selamat dari ledakan. Dan Suni menaruh sebuah kursi yang tergeletak di lantai. Kemudian ia mengambil kursi satu lagi di taruh berhadap-hadapan di meja. Di atas meja itu ada sebuah penutup makanan. Kemudian ia membukanya. Ternyata ada kalkun panggang! What the???

"Kuharap kali ini makan malam kita sedikit berbeda, dan kamu menyukainya," kata Suni.

Aku tertawa terbahak-bahak melihat polah tingkahnya itu. Kemudian berjalan mendekat ke arahnya. Ia mempersilakanku duduk. Dan kami menikmati makan malam di atas tumpukan mayat sambil menunggu tim penjemput datang.

****

"Teknologi ini bernama Weave Geometric Survilance. Dengan alat sekecil ini, kita bisa menghasilkan gambar tiga dimensi di layar monitor pada radius 10 meter benda ini dipasang. Seperti sebuah sonar kapal selam. Kemudian interprestasi gambarnya dikirim ke satelit," kata An Li sambil menunjukkan sebuah benda kecil. "Benda ini menempel di kopor file dari Roger. Awalnya aku sangat curiga ketika ke tempat barang bukti. Di sana ada suara seperti detak-detik. Ketika aku selidiki ternyata berasal dari kopor ini. Dan ketika kubuka dan bongkar isi kopor ini tadaaaaa...aku menemukannya."

"Artinya?" tanyaku.

"Artinya entah siapa orang yang bernama Lucifer itu telah sukses merekam seluruh isi dari kantor NIS ketika kopor ini sampai kepada kita. Dan itu bencana," kata An Li. "Setiap saat para teroris dari seluruh penjuru dunia akan siap menyerang kita, kapan saja."

"Shit!" umpat Suni.

"Kita harus bersiap terhadap semua kemungkinan. Musuh kita sekarang ini terlalu kuat. Terlalu cerdik malah. Kita tidak akan sanggup untuk melawan mereka kalau terjadi serangan mendadak," kata An Li. "Sekarang seluruh agen sudah bersiap siaga kalau terjadi apa-apa."

"Gila apa? Gedung NIS mau diserang? Gedung teraman se-Korea Selatan mau diserang?" kata Suni.

"Itulah kenyataannya," kata An Li.

Ini tak bisa dibiarkan, kataku dalam hati. Kehancuran gedung ini artinya kehancuran bagi negeri ini.

"Ada satu lagi. Aku baru-baru ini mendapatkan sesuatu. Hanya saja biar komandan yang menjelaskannya," kata An Li.

"Sesuatu apa?" tanyaku.

"Sesuatu itu adalah Genesis," tiba-tiba komandan masuk ke ruangan. Dia menggebrak meja. "Kita kecolongan."

"Kecolongan?" tanyaku.

"Kita kecolongan karena ternyata mereka lebih cerdik daripada kita. Seluruh hal tentang isu terorisme ini, semuanya adalah karena dia, karena mereka," kata Komandan. "Semuanya ulah dari Genesis. Mereka yang merancang semua kehancuran ini, mereka yang merancang seluruh kekacauan ini. Mereka organisasi teroris yang suka memeras negara-negara besar. Pertama mereka mencuri dokumen penting negara, kemudian dijual lagi ke negara tersebut dengan harga tinggi. Kedua, merekalah organisasi yang merancang kekacauan-kekacauan di hampir tiap negara-negara di dunia. Ketika terjadi chaos mereka menawarkan bantuan, dan setelah negara tenang mereka menebarkan kekacauan. Dana mereka tak tertabas. Dan target utama mereka sekarang adalah kita."

"Ini gila," kataku.

"Kita telah kehilangan seorang agen. Namanya Park Jun So. Salah satu agen terbaik kita tewas ketika menangkap salah satu anggota genesis. Kita bekerja sama dengan CIA sehingga bisa menangkap salah satu anggota genesis itu. Namanya Rob Clark, termasuk anggota dari Genesis, lebih tepatnya mantan. Karena setelah itu dia mengatakan tidak akan kembali ke Genesis," jelas komandan. "Dari mulutnya kami pun mendapatkan ceria mengenai rencana gila untuk menghancurkan dunia. Ini tak bisa dibiarkan."

"Menghancurkan dunia?"

"Tepat sekali, mereka mengklaim punya sesuatu bernama S-Formula. Apa itu tidak ada yang tahu. S-Formula ditengarai merupakan sebuah senjata. Dan mereka tidak main-main. Mereka mengumpulkan dan menculik para ilmuwan untuk membuat senjata ini. Dan untuk membuat kita sibuk, mereka berusaha menyerang gedung-gedung intelejen. Memanfaatkan para teroris untuk membuat kita sibuk, selagi mereka membuat senjata itu," kata komandan.

"Oh My God," kataku. "Pasti ada tujuan lain, kenapa mereka sampai membuat senjata itu. Selain uang, pasti mereka punya keinginan lain selain uang. Mereka begitu banyak mengeluarkan dana, mereka sudah pasti tak butuh uang. Kecuali...."

"Kecuali, mereka ingin menguasainya," sambung Suni.

"Tepat sekali," kataku.

"Kalau begitu, kita berhadapan dengan organisasi tergila di dunia sekarang ini. Kalau Al-Qaida mereka berjuang berdasarkan agama Islam untuk mendirikan khilafah, pemberontak di Angola ingin mendirikan negara Kristen, Israel ingin mendirikan negara Yahudi, maka organisasi ini tidak berdasarkan agama. Mereka inginkan kekuatan yang absolut," kata Suni.

BLAARRR!

Tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat keras. Alarm langsung berbunyi.

"Ada apa?" tanyaku.

An Li memperlihatkan layar CCTV. Sebuah jet tempur baru saja melintas dan memuntahkan rudalnya ke gedung ini. Apa??

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya komandan.

"Pak, kita diserang," kata An Li.

"Mana pasukan udara? Kenapa mereka tak melindungi gedung ini?" kata komandan.

An Li sedang sibuk mengutak-atik keyboard dan memeriksa pesan-pesan yang masuk. Ia terkejut sambil memijat-mijat kepalanya, "Pak, pangkalan udara kita diledakkan, pesawat kita dicuri. Yang tersisa ada empat F-24. Radio mereka dihack dan posisinya sekarang jamming."

"Lapor!" salah seorang agen datang tergopoh-gopoh. "Pak, mereka menyerang gedung ini dari darat juga."

Komandan tampak gusar, "Semua agen, lindungi sektor B. Lindungi tempat arsip. Mereka akan ke tempat itu! An Li, aku tak mau tahu, lakukan apapun agar jet tempur itu bisa dilumpuhkan!"

"Yes Sir!" kata An Li.

Aku dan Suni segera pergi dari tempat itu. Kami menuju Sektor B, Basement. Total ada 12 lantai Basement. Basement 4 adalah tempat arsip. Kemungkinan besar para teroris itu akan menuju tempat itu. Kalau biasanya kita yang mencap target, sekarang kita yang jadi target mereka.
 
Terakhir diubah:
BAB IV

Ambushed


Dentuman bom, desingan rail gun dan meriam vulcan dari empat jet tempur yang menyerang kami masih terdengar. Sedangkan di bawah ada lima tank, empat panser dan puluhan orang bersenjata berat menghujani kantor NIS dengan peluru dan bom. Seluruh agen bersiap memakai baju anti peluru dan membawa senjata-senjata mereka. Ini bukan saja bertahan, ini adalah perang.

Aku segera menuju ke bawah. BLAAAARRR. Sebuah misil menghantam lantai di mana aku dan Suni sedang berada. Kami berdua tiarap. Serpihan tembok dan debu berhamburan. Kami seperti mandi pasir rasanya. Sesaat setelah kami yakin aman, segera kami berdiri. Aku melepaskan sepatu hak tinggiku dan melemparnya. Tidak nyaman berlari menggunakan sepatu macam ini.

Kami berjalan lagi. Kemudian belok di sebuah ruangan bertuliskan ARMORY. Salah seorang agen melemparkan sebuah senapan kepadaku. Aku langsung menangkapnya. M-16? Aku bukan Rambo! Aku lemparkan senapan itu ke Suni. Dengan cekatan ia menangkapnya dan mengecek senjata itu. Diambilnya beberapa magazine. Aku mengambil pistol Socom dan beberapa magazine. Juga dua buah granat, sebuah pistol Desert Eagle berikut dua magazinenya.

"Ayo!" seruku.

Kami semua bergerak ke lantai satu. Tempat di mana kami diserang. Begitu tiba di lantai satu. Suasananya benar-benar mencekam. Aku melihat banyak mayat bergelimpangan. Mulai dari tukang cleaning service, hingga security. Beberapa bagian gedung di lantai satu sampai hancur. Dari luar aku melihat lima buah tank membidik ke arah kami.

"Katakan itu tidak benar!" tunjukku melihat ke arah tank.

"Oh...shiiit!" Suni langsung menarikku. Kami melompat dan berguling saat itu tank menembakkan meriamnya ke arah kami. Untung kami bisa menghindar tapi ledakannya menghempaskan tubuh kami hingga beberapa meter jauhnya. Sementara itu para teroris terus menghujani kami dengan peluru-peluru.

Terdengar bunyi ledakan dari luar gedung. Salah satu tank meledak. Aku agak terkejut. Para teroris itu sebagian masih bertahan di luar, sepertinya bantuan sudah datang.

"Apa yang terjadi An Li?" tanyaku kepada An Li dengan codec.

"Bantuan datang, tapi bukan militer," jawab An Li.

"Bagaimana mereka bisa meledakkan tank?"

"Mereka menabrakkan mobil pengangkut bahan bakar ke arah tank. Keduanya meledak. Kita dapat bantuan dari polisi lokal," ujar An Li. "Aku tak sanggup melihatnya, persenjataan mereka tak seimbang."

Aku segera bangkit lalu kutembaki siapa saja teroris yang kulihat. Suni pun mengikutiku. Kami berdua sekarang benar-benar all out. Perang dimulai. Para teroris terus mendesak kami. Aku dan Suni mulai terdesak, kami kalah jumlah. Beberapa orang di antara mereka dengan mudah masuk ke dalam lift. Hei tunggu! Bagaimana lift itu bisa terbuka? Seharusnya mereka masuk dengan menggunakan password!?

"An Li, siapa yang membuka lift?" tanyaku.

"Sialan, kita dihack!" kata An Li.

"Bagaimana mungkin??" tanya Suni.

Aku segera menyusul mereka yang berada di lift. Kulumpuhkan beberapa teroris sambil terus berlari. Peluruku habis, kuambil magazine di saku ku. Kemudian magazinenya aku ganti. Dengan cepat aku menembak isi lift itu sebelum pintunya tertutup. Tapi sayang, aku hanya mengenai satu orang. Karena lariku terlalu cepat aku pun menubruk pintu lift yang tertutup. BRAK! Aku langsung jatuh. Suni datang membantuku.

"Kau tak apa-apa?" tanyanya.

Aku menggeleng. Suni mereload magazinenya.

"An Li, elevatornya!" kataku.

"Aku berusaha!" jawabnya.

Lift sebelah terbuka. Aku dan Suni segera masuk ke sana. Beberapa teroris menembaki kami lagi, dan kami dibantu oleh agen-agen yang baru saja turun dari lantai atas. Pintu lift pun tertutup. Kami bisa bernafas lega sekarang.

"FUUCCCKK!" umpat Suni. "Bagaimana mereka bisa menyerbu kita seperti itu?"

Aku memeriksa peluruku, masih cukup kurasa. OK, sepertinya saat ini kita harus berpikir jernih. Tak mungkin gedung paling aman di negara ini malah bisa diserbu seperti ini. Ada yang tidak beres. Walaupun mereka telah mendapatkan peta dari gedung ini, tapi rasanya mustahil mereka bisa leluasa masuk ke sini. Seolah-olah ini semua telah direncanakan dengan matang.

"An Li, tahan dulu liftnya!" kataku. Lift pun berhenti. "Apa menurut pendapatmu?"

"Maksudnya?" tanya Suni.

"Apakah mereka benar-benar ingin tempat arsip itu?" tanyaku.

Suni mengerutkan dahi, ia sepertinya tahu apa maksudku, "Oh, kurasa demikian."

"Menurutku, tak perlu repot-repot bagi mereka untuk mencuri arsip sampai menyerbu kita seperti itu. Kalau memang mereka organisasi yang setangguh itu, mereka akan memakai cara lain untuk mencuri arsip. Kalau Lucifer yang mereka agungkan itu bisa mengutus orang lain untuk mencuri arsip, kenapa harus menyerbu kita?"

"Kau benar, lalu?"

"Barangkali, mereka ingin sesuatu yang lain."

"Misalnya?"

"Arsip itu hanya pengalih perhatian, tujuan utama mereka bukan itu."

"Ah, aku tahu," Suni berseru.

"APa?"

"Tujuan utama mereka adalah mengancam presiden. Semua orang tahu NIS adalah senjata utama pemerintahan ini. Mereka ingin melumpuhkannya. Jadi yang mereka lakukan adalah...."

"Menghabisi kita semua!" seruku. "An Li, di lantai mana mereka berhenti?"

"Mereka berhenti di lantai parkir, tapi kemudian lanjut lagi turun ke lantai arsip," jawab An Li.

"Lantai parkir?" gumamku.

"Moon, kamu ke lantai arsip, aku akan ke lantai parkir," kata Suni.

Entah kenapa perasaanku waktu itu tidak enak. Tapi kemudian aku menepis semua itu. Keadaan sekarang ini sedang genting. Gedung ini bisa roboh sewaktu-waktu. Aku mengokang pistolku. Suni bersiap keluar. Dia memencet tombol P di lift. Aku menanti lift terbuka. Aku merasa waktu berjalan sangat lambat. Sampai-sampai aku bisa merasakan bagaimana pelannya lift itu turun. Rasanya aku sudah berdiri di sana selama berjam-jam.

'TING!' lift mulai terbuka di lantai P.

"Hati-hati Suni!" kataku.

Dia memberikan jempolnya kepadaku. Dengan sikap siaga, sambil posisi membidik, ia keluar dari lift. Pintu lift pun tertutup. Setelah itu terdengar suara rentetan senjata. Aku mulai khawatir kepada Suni.

"Suni? Kau tak apa-apa?" tanyaku.

"Aku bisa mengatasinya," ujar Suni.

Seharusnya aku memang tak perlu khawatir. Dari sejak pertama kali aku jalan dengan Suni, aku tak pernah khawatir kepadanya. Dialah yang selalu khawatir denganku. Dia selalu berusaha menjadi gentlemen. Maka dari itulah aku sangat nyaman sekali berada di sampingnya. Suni telah memberikan semuanya kepadaku, cintanya, sayangnya, nyawanya. Semua itu tak pernah bisa aku balas.

Pintu elevator pun terbuka di lantai B4. Aku bersiaga. Di bawah itu aku berhadapan dengan satu regu yang sudah bersiap dengan perisai dan persenjataan mereka. Lho??? Mana terorisnya?

"An Li?! Ke mana mereka?" tanyaku.

"Liftnya berhenti di lantai B4! Pastinya mereka turun di sana," kata An Li.

"An Li, di sini tidak ada apa-apa," kataku.

"Masa'?"

"An Li, jangan kamu katakan kamera di lift tidak berfungsi," kataku.

"I..iya, tidak berfungi. Aku hanya melihatnya operasi lift itu komputer," katanya.

"An Li! Suni sendirian di tempat parkir!" kataku.

"Celaka!" kata An Li.

"Suni! Suni! Suni! Kau baik-baik saja?" tanyaku. Kutekan-tekan lagi codec yang ada di telingaku. Celaka, Suni, semoga kamu baik-baik saja. Dengan tanpa alas kaki, aku pun kembali berjalan menuju lift. "Kalian siaga!"

"Ok, mam!" seru mereka.

Suni, Suni, Suni, kuharap dia tidak apa-apa. Elevator pun naik ke Parking Lot. Ketika Lift tepat ke lantai P, terbukalah pintunya. Aku segera menghambur keluar. Tak ada suara tembakan. Aku pun penasaran. Suara telapak kakiku satu-satunya yang terdengar di lantai parkir itu. Tak ada lampu, apakah sengaja dimatikan? Aku pun terantuk oleh sesuatu. Mayat?

Kunyalakan ponselku dan meneranginya. Ada banyak mayat di sini. Mayat para teroris. Di mana Suni?

Aku lalu bangkit dan berlari memanggil-manggil Suni sambil menjadikan ponselku sebagai penerangan.

"An Li, kenapa lampu di Parking Lot mati?" tanyaku.

"Aku tadi disuruh untuk mematikan oleh Suni," jawabnya.

"Hah? Nyalakan lagi!" kataku.

"Tapi..."

"Cepat!"

Segera lampu Parking Lot menyala. Aku bisa melihat sekarang banyak mayat bergelimpangan. Mayat para teroris. Lalu di mana Suni? Apakah dia masih hidup? Suni agen yang terlatih, dia handal dan piawai dalam menggunakan senjata. Ia termasuk lulusan akademi terbaik. Aku mencintai dia. Aku sayang kepadanya. Jangan sampai dia pergi, kumohon jangan sampai.

Aku pun mendengar seseorang sedang bersiul. Aku pun mencari arah suaranya. Apakah itu Suni? Perlahan-lahan aku bersiaga. Kumasukkan lagi ponselku ke dalam sakuku. Aku mengeluarkan pistol Desert Eagle. Sekarang di tanganku ada dua pistol. Aku menodongkan senjataku ke depan. Dan dengan sangat berhati-hati aku bersembunyi di antara mobil. Keuntunganku tidak memakai sepatuku adalah langkahku tidak berbunyi. Dan aku bisa cepat bergerak.

"Marco....poloo....!" terdengar suara asing. Aku tak mengenal suara itu. Aku juga tak tahu dari mana asal suara itu.

Masih mengendap-endap, aku terus merayap menelusuri tempat parkir, bersembunyi di antara tiang dan mobil-mobil.

"Ayo Moon, aku tahu kamu ada di sana, keluarlah!" kata suara itu. Siapa itu? Bagaimana ia bisa tahu namaku?

Aku kemudian keluar dari persembunyianku. Di ujung tempat parkir, aku bisa melihat sebuah mobil ambulance. Dan di dalamnya ada seseorang yang sedang duduk, terikat. Itu Suni. Tapi...di tubuhnya tampak juga ada sesuatu. Banyak kabel melilit tubuhnya. Ada sebuah lampu merah berkedip-kedip di dada sebelah kirinya. Di atas mobil ambulance itu ada seseorang yang sedang duduk. Orang itu tak aku kenal, wajahnya seperti tengkorak hidup karena sangat kurus. Ia tersenyum melihatku.

"Halo Moon, alias....Si Rambut Merah," sapanya.

Siapa orang ini?
 
BAB V

Don't be Sad




"Siapa kamu?" tanyaku sambil membidiknya.

"Tentu saja kamu tak pernah mengenalku, jadi tak tahu siapa aku. Perkenalkan namaku Lucifer," jawabnya. Lucifer? Orang yang ingin membeli dokumen rahasia negara dari Roger?

"Kamu...., apa yang telah kamu lakukan kepada Suni?" tanyaku.

"Ahh...iya, aku minta maaf. Karena dia tadi sedikit mengecewakanku. Seluruh anak buahku dibunuhnya. Kasihan sekali mereka," katanya.

Aku menembakkan pistolku, dengan mudah ia bisa mengelak, bahkan tanpa bergerak dari tempat duduknya. Apa-apaan ini? Aku coba menembaknya lagi, tapi lagi-lagi ia cukup kuat. Dia bisa menghindari seluruh peluruku.

"Tidak, tidak, tidak, aku tidak ingin kamu membunuhku secepat ini Moon, aku tahu siapa kamu. Aku tahu siapa ayahmu. Aku tahu siapa ibumu. Aku tahu misi apa saja yang kamu selesaikan," kata Lucifer. "Aku juga tahu apa hubunganmu dengan orang ini."

Aku mendekat, kulihat Suni di dalam mobil ambulance tak sadarkan diri. Lucifer lalu melompat turun dari mobil putih itu. Ia tak membawa senjata padahal, tapi kenapa aku takut? Ada rasa yang sangat tajam menusukku ketika dia mata kami beradu. Mata seorang pembunuh. Ya, mata seorang pembunuh. Aku tak akan pernah melupakan mata itu.

"Suni! Suni! Kau tak apa-apa?" panggilku.

"Suni! Bangun! kekasihmu memanggilmu!" kata Lucifer. Lucifer melangkah mendekati Suni dan menampar-nampar pipinya. Suni menggeliat. Ia kaget ketika melihat wajah nyaris mirip tengkorak itu di hadapannya. Ia ingin bergerak tapi tak bisa karena tubuhny terikat di kursi. Dia pun melihatku juga.

"Moon?!" katanya.

"Syukurlah kamu selamat," kataku lega.

Suni melihat tubuhnya yang terlilit kabel dan sebuah lampu merah berkedip-kedip di dadanya. Lucifer lalu mengambil sebuah penutup di rompi yang dikenakan Suni. Di sana terlihat timer berwarna merah. Aku terbelalak menyaksikan waktunya kurang dari 30 menit. Dan terus berjalan.

"Sekarang situasinya berubah," kata Lucifer. "Bom ini terhubung langsung ke pacarmu. Bom ini bisa dijinakkan hanya dengan satu cara, yaitu berhentinya detak jantung pacarmu. Atau kalau kamu bisa, suruh aku untuk menjinakkannya!"

"Jinakkan bom itu!" perintahku.

"Coba saja, aku mati bom itu meledak. Pacarmu meledak, booom. Hahahahahaha!" suara tawa Lucifer jelek sekali.

"Bangsat! Lepaskan aku dan kita duel!" kata Suni.

"No no no no, tidak semudah itu. NIS adalah peringatan bagi dunia, bahwa kami kuat. Kami bisa berbuat apa saja, dan kalian jangan khawatir ini baru permulaan," kata Lucifer.

"Lepaskan Suni! Lepaskan!" kataku.

"Ups! Waktuku habis, sampai nanti Moon and Suni. Rembulan dan matahari, Hahahahahahahahaha!" Lucifer tiba-tiba menghilang seperti kabut. Aku tak tahu bagaimana dia melakukan itu. Aku pun menghabiskan seluruh peluruku menembak di tempat ia tadi berdiri. Aku kemudian melemparkan pistolku.

"AAAARGGGHH!" aku menjerit dengan penuh emosi.

"Moon, tenang Moon!" kata Suni. "Coba jelaskan apa yang ada padaku!"

Aku berjalan ke depan Suni, "Kamu terikat. Di tubuhmu ada bom. Sepertinya apapun yang aku lakukan akan memicu ledakan bom ini. Bom ini bisa dijinakkan dengan membuat jantungmu berhenti alias mati. Di belakangmu adalah puluhan kilo TNT. Bom ini sanggup meruntuhkan satu gedung."

"Oh tidak," kata Suni. Ia sepertinya pasrah.

"Tenanglah, An Li akan datang membawa tim penjinak bom," kataku menghibur Suni. "An Li! Mana tim penjinak bomnya???"

"Dengan gedung kita diserang seperti ini? Mustahil mereka bisa mendekat!" kata An Li.

"Persetan! Cepat datangkan mereka atau kita semua akan mati!" kataku.

"Hei, hei! Easy girl, baik aku akan mencoba. Di sini kita juga ada ahli bom. Aku akan coba hubungi dia," kata An Li.

"Terima kasih," kataku.

"Well, setidaknya ini adalah pertama kalinya kamu bilang terima kasih," kata An Li.

Aku langsung memeluk Suni. Kening kami saling menyentuh. Aku tak bisa berbuat apa-apa dan aku sangat marah. Kenapa kau tak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang aku sayangi? Kenapa? Tidak ayah, tidak juga dia. Oh tidak, jangan sampai aku kehilangan dia. Aku tak mau. Aku telah menemukan sosok ayahku pada diri Suni, jangan sampai dia pergi juga. Tidak, tidak akan aku biarkan itu terjadi.

"Hei, kamu bersedih?" tanya Suni.

Aku menggeleng.

"Tenang, semua akan baik-baik saja," katanya. Kata-katanya itu sedikit memberikanku harapan.

Lima menit kemudian tempat parkir langsung dipenuhi oleh orang-orang. Tampak An Li dan komandan pun berada di sana. Pertempuran telah selesai sepertinya. Aku tak mendengar lagi kegaduhan di luar gedung, tak ada ledakan, tak ada suara tembakan, tak ada suara jet tempur. Ada apa sebenarnya?

"Moon, mundurlah! Aku mau memeriksanya," kata salah seorang agen. Aku segera melepaskan pelukanku dari Suni.

Sang agen boleh dibilang ahli dalam bom. Komandan melihat Suni, tampak ia semakin kacau. Melihat jumlah TNT sebanyak itu, ia benar-benar tak habis pikir harus bagaimana. An Li juga menampakkan raut wajah sedih. Ia sendiri tak bisa apa-apa untuk menolong Suni.

"Ini mustahil," kata agen tadi.

"Kenapa?" tanya komandan.

"Sang pembuat bom ini sangat cerdik. Dia menginginkan bom ini berhenti berfungsi ketika jantung Suni berhenti berfungsi. Selain itu dalam dua puluh menit, bom ini meledak," ujarnya.

"What?" komandan serasa tak percaya. "Tak bisa dijinakkan?"

"Aku tak yakin, semua kabel ini, salah potong saja...boom!" kata sang agen sambil tangannya memperagakan seperti bom meledak.

"Kalian, sudahlah. Evakuasi saja gedung ini. Sebelum terlambat," kata Suni.

"Kenapa tidak dikeluarkan saja mobilnya?" tanyaku.

"Moon, kamu ingin bom ini menghancurkan Seoul?" tanya Suni.

Aku menunduk ku pukulkan tanganku ke sebuah kaca mobil hingga hancur. Tanganku sampai berdarah karenanya.

"Moon, tahan emosimu!" kata Suni.

"Aku tak bisa melakukan apa-apa, aku tak bisa melakukan apa-apa kepadamu Suni!" kataku.

"Komandan, segera evakuasi gedung. Aku tak apa-apa," kata Suni. "Ini sudah jadi tugasku."

An Li dan komandan berpandangan. Aku menangis, tolong jangan lakukan ini Suni.

"Baiklah, semuanya evakuasi gedung!" kata komandan.

Segera setelah itu orang-orang mulai meninggalkan gedung. Mereka berhamburan keluar gedung. Baru kali ini dalam sejarah gedung NIS diserang, dihancurkan, dan dalam sekejap akan musnah dari muka bumi. Hanya aku dan Suni saja yang berada di dalam gedung sekarang ini. Suasana hening. Aku tahu semua orang sedang berkumpul di luar sana. Harap-harap cemas menantiku keluar.

"Moon, keluarlah!" bujuk Suni.

"Aku tak mau keluar, aku ingin bersamamamu," kataku.

"Moon, jangan bodoh! Kau harus keluar, bom ini akan meledak."

"AKu tahu, tapi aku tak mau. Aku tak mau meninggalkanmu Suni, aku tak mau. Kamu tahu kenapa aku menerima cintamu? Karena kamu seperti ayahku. Aku nyaman bersamamu, aku sangat senang bersamamu Suni. Tolonglah aku tak mau kehilangan dirimu," kataku.

"Tapi segala yang hidup pasti ada akhirnya," katanya.

"Tidak! Aku akan mencoba menjinakkannya, aku akan coba," kataku.

"Sudahlah! Moon! Relakanlah aku! Pergilah!" katanya.

"Aku tak bisa!" kataku.

"Moon! Kamu harus keluar dari sana," kata An Li dari codec.

"Moon? Kamu mencintaiku?" tanya Suni.

"Iya, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.....," aku memeluk Suni dengan erat. Tak ingin kehilangan dia. Aku mencium bibirnya. Aku ingin selalu bersamanya.

"Sudah Moon, sudah! Jangan seperti ini. Ingat, kita berjuang untuk negeri ini. Aku punya puisi untukmu," katanya.

"Puisi apa?" tanyaku

Dia pun kemudian berkata:

"Berjalan menembus batas
Cahaya rembulan kian membias
Andai aku punya sayap
Aku akan terbang ke sang rembulan

Kami generasi terbaru
Kami mengubah dunia
Berjuang untuk keadilan
We born for nothing
we live for nothing
but we die for something"


Puisi itu adalah puisi yang akan aku ingat selamanya. Suni mengingatkanku lagi akan alasan kenapa aku berada di agensi ini. Dia juga yang mengingatkanku bahwa aku harus kuat. Aku harus kuat, lebih kuat lagi. Aku jadi teringat tentang ayahku. Ayahku akan kecewa kepadaku kalau aku tidak sekuat yang dia kira.

"Pergilah Moon, pergilah!" kata Suni. "Aku akan terus berbicara kepadamu melalui codec."

"Suni...!" aku terisak. Kubalikkan badanku dan meninggalkan Suni.

"Hai Moon, kamu masih ingat ketika kita pertama kali kencan? Itu adalah kenangan terindah dalam hidupku. Aku tak akan melupakannya. Engkau adalah malaikatku, engkau adalah bidadariku. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan bersama. Tapi aku tak akan pernah kecewa dalam hidup ini karena telah mengenalmu. Aku suka ketika kamu tidur, kamu mendengkur halus. Wajahmu adalah wajah paling cantik ketika kamu tertidur," Suni terus berbicara melalui codec.

Komandan dan yang lain sudah menungguku di luar. Aku melihat serpihan-serpihan pesawat,tank-tank serta mobil-mobil berserakan di jalan raya. Aku tak tahu berapa lama lagi bom itu akan meledak. Suni terus mengoceh. Ia terus berbicara bahwa ia sangat mencintaiku. Aku bisa merasakan di saat-saat terakhir dalam hidupnya ia sama sekali tak bersedih. Dan kata-kata terakhirnya sebelum bom itu meledak menghancurkan gedung NIS hingga rata dengan tanah adalah..."Moon, kamu harus kuat!"
 
Terakhir diubah:
Mungkin masih beraba-raba, ya iyalah. Ini masih awal koq. Blm ada konfliknya. :)
 
ane termasuk PERTAMAXXX gak nih??? :ngupil: yosh... :baca: dulu suhu :D
 
siap pantengin si rambut merah. :jempol:

kayaknya rambut merah bakal jadi :marah:
ditunggu updatenya gan
 
Kenapa baca dialognya ane seperti baca cerita terjemahan ya ?
 
Kenapa baca dialognya ane seperti baca cerita terjemahan ya ?

hahahaha maksudnya gimana? :D
semacam pernah tahu ceritanya? atau dejavu?
 
mungkin kamsudnya pemilihan katanya kaya cerita saduran
cendol me if im wrong

Mungkin itu karena aku fans beratnya Stephen King. Jadi pemilihan kata-katanya mirip.
 
Bimabet
Masih ngetik sampai bab 10. Cuman karena ini ceritanya terlalu panjang, nanti ane rapel sampai agak jauh lagi.
Blom sempat posting.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd