Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT SI RAMBUT MERAH (by Arczre)

Apakah perlu melanjutkan cerita ini dengan tokoh utamanya Han-Jeong?

  • Ya

  • Tidak


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
BAB VI

The Prince


Kembali ke masa sekarang. Itulah ceritaku dengan Suni. Cinta pertamaku. Setelah itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan lelaki seperti Suni. Sama sekali tidak pernah ada. Sekarang aku berada di Indonesia. Dan aku punya misi penting untuk mendapatkan S-Formula. Sayangnya jejak terakhir adalah benda itu berada di M-Tech Building. Besoknya setelah aku istirahat, aku bertemu dengan keempat agen lainnya. Kami semua melakukan rapat.

"Ini tidak mungkin, bagaimana bisa benda sepenting S-Formula itu ada di dalam M-Tech Building?? Ini sama sekali tidak masuk akal," kata Peter.

"Bisa saja bukan?" kata John. "Terlebih gedung ini diklaim punya sekuriti yang paling sulit ditembus. Di dalamnya terdapat penyimpanan data. Mulai Inggris, Amerika, Rusia, China semuanya menyimpan data penting mereka di sini. Dengan alasan, siapapun yang sudah masuk ke sana tak ada yang bisa keluar."

"Untuk bisa mendapatkan S-Formula, kita harus tahu bagaimana bentuknya. Sebab selama ini hanya para petinggi M-Tech saja yang tahu bagaimana tempat penyimpanannya. Setiap ilmuwan dan pekerja yang ada di sana tidak pernah menceritakan atau tutup mulut," kata Devita.

"Apa perlu kita terobos?" tanya Nikolai.

"Itu bisa mengakibatkan perang dunia Nik!" kata John.

"Jadi?" tanya Peter.

"Kita pakai cara halus," kata Devita sambil menoleh ke arahku.

"Aku lagi?" tanyaku.

"Kau sangat ahli dalam hal ini bukan Moon? Tenang saja aku akan membantumu," kata Devita. "Aku yang lebih tahu tentang Indonesia."

"Sebentar, lalu siapa target kita?" tanya Nikolai.

"Kalau bisa, kita jangan membunuhnya. Tentunya kita harus mendekati seorang pangeran dari kerajaan Hendrajaya Group. Namanya Hiro Hendrajaya," kata Devita.

"Kenapa tak boleh membunuhnya?" tanyaku.

"Sabar Moon, dia ini orang baik-baik. Aku yakin bahkan dia tidak tahu kalau di dalam M-Tech ada sesuatu yang bisa menghancurkan dunia," kata Devita menenangkanku.

Aku pun sedikit tenang. Aku memang berprinsip selama dia orang baik aku tak akan membunuhnya. Devita kemudian menampilkan sesuatu di layar meja. Sebuah wajah terpampang di sana. Dialah wajah yang akan mengisi hari-hariku. Seseorang yang akan menjadi pangeranku, yang akan mendampingiku untuk selama-lamanya. Yang akan mengubahku cara memandang dunia. Hiro Hendrajaya.

NARASI HIRO

"Aaachuuuuu!" aku bersin. Apa ini efek musim penghujan??

Namaku Hiro Hendrajaya. Aku anak dari konglomerat Indonesia sekaligus orang terkaya se-Asia Faiz Hendrajaya. Aku anak pertama dan ngomong-ngomong soal anak pertama, aku bukan anak pertama sih sebenarnya. Tapi kalau dikatakan anak pertama dari istri yang sah, maka itu aku. Ayahku seorang pekerja keras. Beliau menciptakan banyak paten terhadap peralatan elektronik, semisal ponsel, ataupun software dan aplikasi mobile.

Dia pernah mendapat predikat Man of The Year dari majalah TIMES. Dan tak hanya itu saja, sejak dulu beliau sudah terkenal, sejak muda tentunya. Aku pernah iseng mencari-cari berita tentang ayah di internet. Ternyata beliau cukup terkenal. Bersamaan juga dengan ibuku Iskha Kusumaningrum. Beliau dulunya adalah seorang musisi ternama. Bahkan sampai sekarang namanya masih diingat orang. Lagu-lagunya banyak orang yang suka dan hafal. Dia menjadi legenda.

Ayahku punya dua orang istri. Yang pertama adalah ibuku. Yang kedua adalah bunda Vira. Aku mempunyai tujuh saudara. Dari ibuku aku punya adik Rara, Mark dan Lusi. Dari bunda Vira aku punya adik Joshua, Mike dan Cici. Well, satu lagi yang belum aku sebut. Yaitu Faiz junior. Dia anak dari hubungan ayah dengan bunda Putri. Tapi mereka tak menikah walaupun masih kerabat dekat. Aku tak tahu alasannya kenapa. Keluargaku juga tak pernah cerita. Tapi sepertinya hubungan ayah dan Bunda Putri sangat dekat. Kadan mereka berjumpa ngobrol lama sekali. Aneh juga sih bunda-bundaku tak cemburu ketika mereka bertemu. Entah apa yang terjadi pada masa lalu mereka, tapi sepertinya kehidupan mereka sekarang sangat damai.

Aku sendiri berperawakan sedang. Rambutku dipotong cepak, walaupun ibuku tak suka dengan penampilanku, tapi aku suka koq. Ibuku selalu memanjakan aku. Walaupun aku sudah segedhe ini selalu beliau bertanya kepadaku, sudah makan? Sudah belajar? Ada yang ketinggalan? Hhh....rasanya kalau sudah ditanyain begitu serasa masih kecil.

Aku sebenarnya ingin seperti Mas Faiz, dia mandiri. Berbeda denganku. Sekarang kuliah di Oxford. Sebentar lagi ulang tahunku ke-17. Aku tak tahu apakah dia akan datang atau tidak. Tahu tak mungkinlah dia datang, kuliahnya sendiri di Oxford gitu loh.

Sebagai anak orang terkaya, urusan antar jemput yaahh....tahu sendiri. Bunda selalu memanjakan aku, pakai sopir. Ketika orang-orang ribut dengan tiga pedal atau dua pedal, aku tak perlu meributkannya, cukup sopirku saja yang ribut. Gila apa? Aku jarang sekali pergi keluar sendirian dengan mobil pribadi. Selalu dilarang sama ayah dan ibu. Dan mungkin karena inilah untuk urusan cewek, aku tidak beruntung.

Di sekolah misalnya. Memang aku anak orang kaya, tapi masih jomblo. Nggak ada yang suka atau mereka takut? Padahal aku ya nggak neko-neko sih. Mungkin karena aku jarang bergaul. Mungkin juga. Aku lebih sering bergaul di internet. Di sosial media. WhatsApp, LINE dan lain-lain. Mungkin dengan sebab inilah aku tak bisa banyak bergaul ama teman-teman, bahkan cewek-cewek pun terkesan menjaga jarak denganku.

Aku saat itu sedang browsing di Google Plus, saat itulah Mas Faiz nyeletukku.

Faiz: "Hai Hiro?! W's up?"

Me: "Oh, Mas Faiz? Baik mas, gimana kuliahnya?"

Faiz: "London dingin! Aku sampai membeku. Gimana sekolahnya? Bisa nyusul aku ke London nggak nih?"

Me: "Wah, berat mas bro."

Faiz: ":v kenapa berat? kalau berat ya ditaroh."

Me: "Haiyah. Mas Faiz ini ada-ada aja. Beneran nih. Agak berat deh kayaknya."

Faiz: "Kamu ini, sebagai anak Faiz Hendrajaya gunakan kesempatan itu. Kamu bisa punya banyak resource. Internet, buku, perpustakaan, server kamu punya semuanya. Gunain itu!"

Me: "Iya sih mas. Tapi entah kenapa males banget."

Faiz: "Kamu itu sebenarnya pinter. Terbukti kamu selalu jadi juara tiga dari sejak SD, SMP sampai SMA juara tigaaaa melulu. Kan ya aneh. Kamu sepertinya sengaja ya?"

Me: "Dikit sih."

Faiz: "Tapi aku yakin koq, kamu nanti bakal bisa seperti ayah."

Me: "Ah, mas Faiz ini bercanda aja. Yang bakal seperti ayah ya cuman Mas Faiz."

Faiz: "Nggak juga bro, ayah kan lebih suka sama dunia mobile, aku sendiri lebih suka matematika."

Aku tak heran sih, Mas Faiz orangnya cerdas. Dia dua kali juara olimpiade matematika. Maka dari itulah dia bisa kuliah di Oxford dapat beasiswa di sana. Dan sampai sekarang aku tak habis pikir, orang jurusan matematika nanti kerjanya di mana ya? Apa jadi ilmuwan terus? Tapi tipe orang seperti Mas Faiz ini emang cocok. Lagipula dia ini cool, tampangnya paling keren deh pokoknya. Mirip banget wajahnya ama ayah ketika masih muda dulu.

Me: "Mas, kapan lulus?" tanyaku.

Faiz: "Ini hampir saja lulus. Aku seminggu lagi maju buat tugas akhir. Moga aja selesai."

Me: "Wah, keren. OK, semangat deh."

Faiz: "Gimana kabar yang lain? Ayah, bunda Iskha, Bunda Vira?"

Me: "Mereka baik-baik saja koq. Sering nanyain kamu juga. Kan aku yang sering ngobrol sama Mas Faiz."

Faiz: "Oh iya. Aku belum nelpon ibuku. Pernah jenguk?"

Me: "Seminggu sekali kami main di sana. Beliau kan di rumah sendirian. Kasihan kalau tak dijenguk. Makanya Mas Faiz cepetan pulang biar bisa nemenin Bunda Putri."

Faiz: "Iya, iya. Sampaikan salamku yah."

Me: "Koq nggak Mas Faiz sendiri?"

Faiz: "Ibuku pasti nangis kalau aku telpon, jadinya nggak enak. Plis ya, titip salam aja."

Me: "Oke deh."

Faiz: "Aku mau hibernasi dulu, salju di luar brrr..."

Me: "Oke mas."

Begitulah Mas Faiz. Kami masih sering chatting pas malam hari. Pasti orangnya nanyain kabar semuanya. Padahal bisa saja ia tanya sendiri. Tapi ya memang seperti itu wataknya. Dia terkesan low profile. Bahkan orang-orang lebih tahu aku daripada Mas Faiz. Ya jelas saja. Aku lebih sering tampil di depan umum. Dan ayah sering mengajakku ke tempat-tempat klien. Jadi orang-orang lebih tahu aku.

Aku melihat notification di facebook. Ada request pertemanan. Apa ini? Moon? Orang Korea? Eh, ngapain juga orang Korea nge-add aku. Aku lihat profilenya. Hmm...dia cakep juga. Rambutnya merah gitu. Cakep gilak. Eh, tanggal lahirnya, mirip-mirip ama aku. Lahirnya juga sama. Wogh......ini akun palsu apa akun spam nih? Koq friendnya cuma beberapa? Ah, bodo amat. Paling ya barusan bikin trus disuggest ama facebook ke diriku. Hihihihi.

Coba aja ahh...aku pun klik Accept.

Facebook memberitahukan bahwa dia sudah jadi temanku. Aku tunggu beberapa saat. Eh...dia nulis di wall-ku.

"Thank you for accepting me as your friend," katanya.

"Are you really from Korea?" tanyaku di bawahnya.

Tiba-tiba "TUING!" muncul facebook messenger. Dia menjawab, "Yes I am."

Me: "Moon, how do you know me?"

Moon: "I don't know you. I'm just new using facebook. If you don't mind."

Me: "No, no, off course not." (bego juga sih, kenapa aku tanya gitu).

Moon: "Where do you live?"

Me: "I'm from Indonesia. Have you visited my country?"

Moon: "Yes, once."

Me: "So, which place?"

Moon: "Just Jakarta. And only a few days."

Me: "Oh... I see. Btw, I saw your hair is red. That was awesome."

Moon: "Yeah, do you like it?"

Me: "Well, off course."

Moon: "Thanks."

Aku lihat jam, buset, udah malem aja nih. Mana besok sekolah. Aku pun pamitan.

Me: "Moon, I've go to sleep. Cacth you later."

Moon: "Ok, good night."

Aku segera menutup laptopku dan tidur. Moga besok nggak kesiangan. Nah, ini yang lucu. Malam itu aku bermimpi. Aku bertemu dengan seorang wanita berambut merah. Aku memegang tangannya.

"Jangan lepaskan! Jangan lepaskan!" kataku.

RIIIIIIIIIINGGGGG! Aku tiba-tiba tersentak. Terbangun. Mimpi apaan itu? AKu melihat jam sudah menunjukkan jam 6.00. Oh, this is not good. Aku segera ke kamar mandi dan siap berangkat sekolah.

Hari ini seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Rumahku ini perabotannya tak banyak. Ayah orang yang tak suka banyak perabot. Semuanya tampak sederhana. Kami cuma punya satu meja di ruang tamu. Di bawahnya ada karpet yang lebar. Biasa kami buat lesehan di sana. Jadi para tamu harus duduk semuanya. Nggak ada sofa. Lucu ya. Di pojok ruangan ada lampu, ada juga rak yang berjejer buku-buku. Macam-macam sih. Aku termasuk orang yang gemar baca buku. Hampir semua buku aku lahap.

Di meja makan aku sudah mendapati Rara, Mark dan Lusi. Aku lihat ibuku sedang mempersiapkan semuanya. Kulihat ayah sedang menikmati salad di atas piringnya. Dari semua anggota keluarga hanya ayah yang paling sehat menunya setiap sarapan. Beliau bukan vegetarian, tapi lebih menjaga pola makan. Aku saja eneg melihat menu sayurannya. Apalagi dia juga minum Klorofil. Phew. Serba hijau. Mungkin kalau ada darah monster, atau darah alien, dia juga bakal minum. Ewww...

"Kesiangan lagi Hiro?" sapa ayah.

"Sorry, tadi malam chatting sama Mas Junior," kataku. Aku selalu manggil Mas Faiz dengan sebutan Mas Junior di hadapan semuanya.

"Wow, oya?" tanya ayahku excited.

"Bagaimana kabarnya?" tanya ibu.

"Baik, dia mau lulus kan? Dia juga nanyain kabar semuanya," jawabku.

"Ayo Mas, bisa nyusul Mas Junior nggak?" tanya Rara.

"Belum ada rencana kesana," kataku.

Aku menerima omelet buatan ibu. Sejujurnya ayah itu orang yang paling bisa masak di rumah. Omelet buatan ibu itu sedikit asin. Tapi kami tak pernah protes. Yang paling pas bikin itu cuma ayah. Aku heran saja, ayah bisa masak, kenapa nggak diserahkan ke ayah saja urusan masak memasaknya??

Aku tersenyum kecut melihat omelet itu. Rasanya ayah melihatnya.

"Makan yang cepet, ntar telat!" celetuk ayah.

Aku cuma meringis. Mark menyenggol kakiku. Aku langsung menoleh ke arahnya dan menampakkan ekspresi tanda tanya. Mark melirik ke arah bunda yang melihatku.

"Eh, bunda, heheheh," kataku.

"Masakan bunda nggak enak lagi?" tanyanya.

"Enak koq, enak!" kataku. Aku langsung mengambil semuanya. Dan kumasukkan ke mulut. Asiiinn... Melihat itu bunda tersenyum.

"Lusi, jangan main ponsel waktu di meja makan!" kata ibu.

Sebenarnya Lusi juga nggak mau sarapan.

"Nda, tolong ambilin jus sirsak di dapur!" kata ayah.

Bunda lalu berdiri berjalan ke dapur meninggalkan kami.

"Makan saja sepotong dan senyum. Kalian tak mau kan lihat bunda kalian ngambek gara-gara kalian nggak sarapan?" tanya ayah. Ia tahu.

Kami semua mengangguk. Rara, Mark dan Lusi langsung memotong omeletnya dan memasukkan ke mulut mereka. Lalu mereka minum air yang ada di gelas masing-masing.

"Udah sana berangkat! Telat lho!" kata ayah dengan lembut. Waaah...ayah memang mengerti kami.

Satu persatu kami mencium tangan ayah. Saat itu ibu datang dengan membawa jus sirsak.

"Berangkat?" tanyanya.

"Iya bunda, udah telat," kataku.

Kami segera mencium tangan beliau. Lalu berhamburan pergi. Sementara itu ayah tersenyum penuh arti kepada kami. Itulah yang selalu ayah ajarkan. Jangan mencela makanan orang lain. Sedapat mungkin kalau memang tak suka dan tak mau jangan disentuh, tapi agar hati orang yang memasaknya tak disakiti makanlah sedikit. Filosofinya itu sungguh mengena. Dan kami pun merasakan imbasnya sekarang.

Seperti biasa, aku diantar dengan sopir. Mulanya menurunkan Mark, lalu Lusi. Mereka di SMP yang sama. Kemudian aku dan Rara. Kebetulan kami di sekolah SMA yang sama. Masa putih abu-abu. Aku sudah kelas XI.

"Hai Hiro!" sapa seseorang. Dia Joshua. Dia Oh iya anak ayahku juga dari istrinya, bunda Vira.

"Hai bro, w'sup!?" aku tos dengan dia dan menepuk pundaknya. Kami beda kelas sih, walaupun sama-sama kelas XI.

"Aku duluan!" kata Rara.

"OK Sis!" kata Joshua.

Setelah Rara pergi ada seseorang yang datang melintas. Eh...itu Yunita. Awwww...ok siapa sih Yunita itu? Dia itu gebetanku.

"Hai Nit?" sapaku.

"Hai, aku duluan ya," katanya. Hari ini rambutnya dikuncir dua. So cuuuuutttteeeee...

"Lo sudah nembak belum?" tanya Joshua.

AKu menggeleng.

"Jiah, pangeran kerajaan Hendrajaya nggak berani nembak cewek, cemen lu!" kata Joshua. Emang sih. Aku kagok kalau nembak cewek. Beda ama Joshua dia sudah punya pacar sekarang. Namanya Niken sekelas ama aku. Nah, sedangkan si Yunita, dia sekelas ama Joshua. Kami seperti kelas yang tertukar gitu.

"Ah, lu tahu sendiri aku gimana gitu ama cewek," kataku.

"Moga aja lu nggak jadi gay," katanya.

"Ah, sompret lu!" aku langsung merangkul lehernya. Dia berkelit dan kami saling memukul sambil tertawa.
 
Terakhir diubah:
BAB VII

Approaching


Dalam kehidupan ini memang aneh. Anehnya adalah, kenapa juga ceweknya Joshua ada di kelasku. Sedangkan orang yang aku taksir ada di kelasnya. Duh....

Niken ini anaknya manis, rambutnya seleher. Kulitnya putih. Pantes si Joshua demen ama do'i. Tapi entah kenapa cewek yang aku ingini seperti Yunita itu. Orangnya kalem sih, wajahnya semi-semi oriental gitu. Tatapannya itu lho...duhh....bikin hati lumer. Begitulah, aku selalu pedekate, tapi dasar akunya yang nggak berani dekatin cewek, akhirnya ya cuma pake perantara si Niken ama Joshua.

Sialnya juga si Yunita ini katanya ditaksir juga ama anak dari kelas lain. Banyak yang demen ama do'i rupanya. Dan Joshua selalu menyemangatiku, "ayo broooo kapan nembaknya??"

Yaelah pedekate aja belom koq.

"Eh, Ken, Niken!" panggilku.

"Apaan?" tanyanya.

"Masih sering jalan ama Yunita?" tanyaku.

"Masih dong, kenapa? Kamu sih cuek melulu," katanya.

"Yaelah, cuek gimana sih?"

"Udah deh, Hiro. Sebenarnya banyak lho yang suka ama kamu, tapi kamunya sendiri yang tertutup. Nggak terbuka gitu. Ama cewek malah menjauh," katanya.

"Bohong lu."

"Suwer deh. Terus terang ya, selama ini itu kamu itu kelihatan terlalu seperti apa ya....hmmm....susah dideketin."

"Maksud lo?"

"Coba lihat, kamu tiap hari dianter sopir. Kaya' nggak bisa mandiri. Trus klo sudah selesai sekolah ya sudah pulang. Naaahh...?? Kapan kamu pernah jalan?"

Aku akui. Aku ini sedikit culun. Tapi apa ya, aku masih belum bisa nyaman dengan itu semua. Apalagi aku dimanja banget sama ortuku, terutama bunda. Tapi mungkin setelah ini aku bisa berubah. Aku berusaha sih sebenarnya. Aku sering diejek sama Joshua bahwa aku ini "anak mama". Hiks mungkin emang bener sih. Aku ingin tahu sebenarnya ayah dulu seperti apa sih waktu muda. Karena sepertinya ayah ini orang yang sempurna. Bagaimana tidak? Dua wanita yang dicintainya bisa takluk gitu.

Aku hanya bisa menunduk hari itu. Mungkin memang sudah saatnya aku berubah. Aku malu rasanya kalau minta nasehat ayah. Malu banget. Nanti malah diejek, masa' anak laki-laki takut ama cewek?

Dan hari itu seperti biasa aku lesu. Pulang sekolah aku langsung ke kamarku. Aku mengurung diri di sana. Kenapa aku sama cewek nggak pernah bisa lancar kalau komunikasi? Hadeeh... Aku lalu membuka facebook. Eh ada notification. Dari Moon. Dia sedang selfie, "Wake up in the morning". Cakep juga nih cewek. Usianya berapa sih? Wajah-wajah oriental seperti ini susah ditebak sih. Tapi kalau dari cara dia selfie, sepertinya masih sekolah. Aku pun memberikan komentar, "Cute overload" sambil kutekan tombol Like.

Aku menunggu, siapa sangka dia nanti online. Dan...dia pun menjawab, "Thanks"

Oh, dia online. Aku pun langsung menyenggolnya.

Me: "Hi Moon?!"

Moon: "Hi."

Me: "Just Woke up?"

Moon: "No, that was old pic."

Me: "Ahh I see. Btw, how old are you?"

Moon: "Guess??"

Me: "17?"

Moon : "Almost, but it's fine."

Me: "When you visit Indonesia again?"

Moon: "I don't know. I'm student you know. So I can't just have a trip around the world."

Me: "How about New Year?"

Moon: "Hmm...."

Me: "So?"

Moon lama tak menjawab. Aku sampai bosan. Akhirnya aku pun tak menghiraukannya lagi mungkin sedang sibuk. Saat aku mau menutup laptopku dia baru menjawab.

Moon: "Sorry. Just from bathroom. Maybe next time."

Me: "Arghh...what a pity."

Moon: "Do you have a girlfriend?"

Me: "No. I haven't. But I had someone...."

Moon: "Someone? your crush?"

Me: "Yeah, like that."

Moon: "Your friend at school?"

Me: "Trully yeah."

Moon: "What do you do normally to the person you love?"

Me: "Nothing."

Moon: "What?"

Me: "Yeah, tell me what you like."

Moon: ":v :v :v :v"

Sialan aku malah diketawain.

"Hirooo??! Kamu nggak makan dulu?" ibuku sudah memanggil.

"Iya bunda!" kataku.

Me: "Sorry Moon, I've to go. Bye ;)"

Moon: "OK, bye."

NARASI MOON

AKu sudah mencoba membuat akun di facebook. Posting foto selfie. Memalsukan identitasku dan mencoba mendekati Hiro. Tampaknya ini akan berlangsung lumayan lama. Pendekatan dengan anak SMA tidak pernah aku lakukan. Apalagi anaknya masih polos. Belum punya pacar.

Kalau aku dengan orang-orang selain dia cepet banget pendekatannya, asal aku pakai pakaian seksi korban langsung melirik dan takluk di hadapanku. Tapi tidak dengan yang ini. Dia belum mengerti sama sekali tentang perempuan. Apa mimpi basah juga dia belum? Oh tidak, kenapa aku harus dapat tugas seperti ini. Kenapa bukan anaknya Hendrajaya yang berada di Oxford saja yang aku dekati kenapa harus anak sekolahan ini.

Dan gara-gara ini juga aku harus belajar bahasa Indonesia. Hampir tiap hari Devita dan aku berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, walaupun terdengarnya sedikit aneh. Paling tidak kalau nanti aku ketemu dengan Hiro tidak kebingungan dengan bahasanya.

Dari semua info yang aku dapatkan, Hiro ini sangat lugu dan polos. Ia bahkan menuliskan segala hal di akun sosmednya. Mulai dari curhat, nomor telepon, kesukaannya semuanya. Aku juga mencoba mengikuti dia di sekolahnya. Aku mengamatinya dari jauh bagaimana dia diantar oleh sopir untuk sampai ke sekolah. Dia jarang keluar rumah, karena aku tak pernah melihat dia keluar dari rumah kalau tidak ke sekolah selama seminggu ini. Dan tentu saja aku chatting dengan dia saat sedang mengawasi rumahnya. Hal ini tidak akan mudah pikirku.

"How could I get him?" tanyaku kepada Devita.

"But, you're the best person for this job?" tanya Devita balik

"I know, but....he is innocent. He is good guy. I can't smack him down like anyone else," ujarku. "Devita, I think I can't do it."

"Moon, remember the world need us," Devita mencoba memberiku semangat.

Aku menghela nafas. Ini tak mudah. Sangat tidak mudah.

"I have an idea, but it will seems awkward," kata Devita.

"What?"

"Why you don't go to study in his school?"

"Whaaat?? You know I will not allowed."

"Hahahahaha...you seems doesn't know our country. Besides your face is baby face. Just like 17 years old girl. But not me," kata Devita. Serius?

NARASI HIRO

Sebentar lagi ulang tahunku ke-17. Tapi aku sama sekali belum punya gebetan. Aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku ke Yunita. Hadeeeeh.....kalau lihat dia sepertinya aku tiba-tiba menjadi es. Kaku, dingin. Hawanya sampai membuat orang lain menyingkir. Sialan.

Aku sudah seminggu ini sering chatting dengan Jung Ji Moon. Dia cewek yang menyenangkan sebenarnya. Seandainya ia ada di Indonesia, pasti kami bakal jadi teman akrab. Kami banyak ngobrol seputar hobi. Dari percapakan kami, aku baru tahu dia ini suka sekali sesuatu yang berbau tantangan. Wah, cewek tangguh nih. Aku juga sih sebenarnya kepengen banget punya hobi seperti dia. Dia lalu bertanya kepadaku "Kenapa tidak dicoba?" Mana boleh sama orang tuaku??

Hari ini ketika aku bicara dengan Moon ada yang lain. Ia pakai bahasa Indonesia!

Moon: "Hai."

Me: "Hi, how are you?"

Moon: "Aku baik-baik saja."

Me: "Wow, kamu coba bahasa Indonesia?"

Moon: "Iya, aku akhir-akhir ini sedang belajar bahasa Indonesia."

Me: "Aku turut senang."

Moon: ":p"

Me: "Kalau begitu aku nggak mau pakai bahasa Inggris lagi setelah ini."

Moon: "Eh??? Tapi aku masih belajar :("

Me: "Tenang aja, tanyakan kepadaku kata-kata yang tidak kamu mengerti."

Moon: "OK ;)"

Me: "Btw, kamu sudah punya pacar?"

Moon: "Belum."

Me: "Cewek secantik kamu belum punya pacar? Yang bener?"

Moon: "Beneran."

Me: "Bohong."

Moon: "Beneran! Aku ingin pindah ke Indonesia."

Ini cewek serius?

Me: "Wah, jadi kita bakal ketemuan dong?"

Moon: ":) mau ketemuan?"

Me: "Siapa takut?"

Moon: "Dua hari lagi aku akan ke sana, ikut orang tuaku."

Me: "Oh, emang orang tuamu kerja di mana?"

Moon: "Pekerjaannya sebagai konsulat"

Me: "Ah. I see. Tapi, kamu mau janji?"

Moon: "Janji?"

Me: "Kalau nanti ketemu aku jangan ketawain aku. Aku memang sedikit culun, tapi tidak bodoh."

Moon: "What is the meaning of culun?"

Me: "Hmmm...maybe 'nerd' is the meaning of 'culun'"

Apa ya? aku juga nggak tahu hihihi...

Moon: "Oh, it's OK. We are friends right?"

Me: "Ok, see you around and be careful."

Moon: ":)"

Aku tak tahu kalau orang tua Moon ini bekerja di konsulat. Wah, dua hari lagi ke Indonesia??? Muke gile. Berdebar juga nih mau ketemuan. Hihihi.

Me: "Moon, boleh aku tanya sesuatu?"

Moon: "Go ahead."

Me: "Aku tak pernah bisa mendekati cewek sebenarnya, setiap kali dekat dengan mereka pasti grogi, nervous. Kamu tahu cara yang tepat untuk mendekati cewek yang disuka?"

Moon terdiam agak lama. Argh...kenapa juga aku tanya ke dia? Dia juga kan masih jomblo.

Moon: "Yang jelas sih, kamu harus tunjukkan bahwa dirimu orang yang pantas untuk dia. Sebab seorang wanita akan melihat seorang pria dari banyak hal. Sampai akhirnya sang wanita membutuhkan dirinya, maka dia masih belum pantas."

Aduuuhhh....dalem banget nih kata-katanya. Hiks....etapi gimana ya? Apakah Yunita punya perasaan seperti itu? Padahal aku pedekate aja memble...huhuhuhu....masa mudaku kenapa kamu harus bertemu dengan diriku yang culun seperti ini.

Moon: "First of all, change yourself. You are a boy right?"

Me: "Yeah, you're right."

Moon: "How about this. Aku ingin melihatmu merubah penampilanmu ketika kita nanti ketemuan?"

Me: "OK. Good idea."

Idenya nggak buruk-buruk amat sih. Aku pun akhirnya ngobrol sama Moon sampai lupa waktu. Bahkan aku lupa kalau aku belum makan malam. Sampai aku tertidur di meja belajar. Malamnya kembali mimpi itu mengusikku lagi.

Aku melihat seorang cewek dengan rambut merahnya. Aku memegang tangannya sambil berkata, "Jangan lepaskan! Jangan lepaskan!"

Aku pun terbangun. Tahu-tahu sudah pagi aja. Aku melihat percakapanku dengan Moon. Ketawa-ketawa sendiri bacanya. Aku ternyata begitu ya, nggak modist. Bajuku nggak pernah sesuai dengan trend. Mungkin karena aku tidak pernah keluar rumah. Aku ada sepeda sih, apa enaknya mulai hari ini aku naik sepeda saja? Coba aja ah.

Hari itu pun aku mulai berdandan. Menata rambutku, merapikan bajuku. Ada yang berbeda dengan diriku hari ini.

Aku keluar dari kamar. Sarapan kali ini telur rebus. Aku orang yang dulu ada di meja makan. Bunda kaget melihatku.

"Hiro??" sapanya.

"Hi mom," sapaku.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku heran. "Emang ada yang aneh ama diriku?"

"Yaa...nggak sih. Hari ini kamu lain deh," kata ibuku yang masih menata meja makan.

"Oh ya, hari ini Hiro ingin naik sepeda aja, nggak dianter sopir. Nah, karena itu aku ingin berangkat lebih awal," kataku. "Nggak apa-apa kan bunda?"

"Nggak apa-apa sih," katanya.

"Mulai hari ini, sopirnya biar buat yang lain aja. Aku ingin naik sepeda ke sekolah," kataku.

Setelah menghabiskan telur rebus dan jus jeruk, aku berangkat. Aku cium tangan beliau lalu berangkat. Bunda cuma terbengong aja melihatku. Aku ke garasi memeriksa sepeda yang sudah lama tidak aku pakai. Kupompa bannya yang sedikit kurang angin itu. Setelah itu aku berangkat. Sebelum berangkat bunda mengirimi aku SMS. Aku heran, ngapain juga ngirimi aku SMS?? Aku coba buka.

"Siapa dia cewek yang sudah merebut hati anakku?"

Alamaaakk, bunda tahu aja? Aku balas SMS-nya.

"Mau tahu aja bunda."

Bunda langsung membalas.

"Cara merubah penampilanmu itu persis ama ayahmu waktu deketin bunda dulu. Nggak bapak nggak anak sama aja. Hahaha"

Aduh, jadi malu sendiri aku.
 
BAB VIII

Kejutan


Hari ini aku naik sepeda ke sekolah. Hampir satu sekolahan heboh melihatku naik sepeda. Kenapa? Ya karena sekarang aku nggak dianter sopir lagi. Nggak keluargaku, nggak orang lain, semuanya heboh. Dan melihat penampilanku yang nggak seperti biasanya hari ini, mereka juga sedikit terkejut. Terutama Joshua.

"Kamu kesambet ya?" tanya Joshua.

"Kenapa?" tanyaku.

"Lain daripada kemaren," jawabnya.

Kami pun berpisah di kelas masing-masing. Suasana kelas sedikit aneh juga. Mereka memperhatikan aku tak seperti biasanya. Aku sekarang pakai parfum cowok, rambutnya rapi, bajunya rapi. Niken pun agak terkejut melihatku.

"Kamu kesambet ya?" tanyanya.

"AH, kalian ini. Nggak Joshua nggak kamu ngomongnya sama," jawabku.

"Hihihihi, habis kamu ini koq ya aneh banget, tiba-tiba berubah gitu," katanya.

"Berubah jadi jelek?" tanyaku.

"Justru gini yang cewek demen. Dari dulu kek," kata Niken. "Aku yakin pasti hari ini Yunita bakal negur lo."

"Yeah, I wish," kataku.

Jam pelajaran pun dimulai. Guru walikelas masuk. Bu Ratna adalah walikelasku sekaligus guru pelajaran Bahasa Indonesia.

"Anak-anak sebelum pelajaran dimulai ada murid baru. Moon, Come in!" kata beliau. Eit, tunggu dulu, Moon? Nggak salah denger kan?

Saat itulah masuk seorang cewek. Wajahnya oriental, rambutnya merah, tingginya...seaku sih. Dia nggak salah lagi. Mimpi apa aku semalem? Eh, mimpiin dia. Iya, bener mimpiin dia. Koq dia bisa ada di mimpiku?? Dia ini....

"Namanya Jung Ji Moon, dari Korea. Karena ayahnya kerja di konsulat, makanya dia sekolah di sini sekarang," kata Bu Ratna.

"Heokseo, Selamat pagi," katanya sambil membungkuk. Alamaaaak...lebih cute aslinya daripada di facebook.

"Pagiii...," sapa seluruh murid.

"Moon, duduk di sana ya, di sebelah Hiro," kata Bu Ratna.

Moon melambai ke aku sambil tersenyum. Aku membalasnya. Semua mata langsung menoleh ke arahku.

"Lo kenal dia?" tanya Arief teman di sebelahku.

Aku tak menjawabnya. Moon melangkah menuju ke bangku di sebelahku yang kosong. Aku masih tak percaya. Dia beneran Moon.

"Hai, apa kabar?" sapa Moon.

"B..baik," jawabku.

"Ok anak-anak, kita lanjutkan pelajarannya," kata Bu Ratna mengalihkan perhatian. Semua murid langsung menghadap ke papan. Sebagian masih menoleh kepadaku nggak percaya. Terutama Niken.

Singkat cerita jam istirahat tiba. Langsung si Moon dikerumuni anak-anak satu kelas. Barang baru maklum. Apalagi dari Korea. Bahasa Indonesia Moon agak lancar, walaupun ada beberapa kata yang dia tidak faham.

"Moon, kenal sama Hiro?" tanya Niken.

"Iya sih, teman facebook," jawabnya.

"OOOOOOOoooo....," seluruh orang kompak banget bilang O.

"Udah ah, aku mau keluar dulu," kataku.

Aku segera keluar dari kelas. Sumpek juga di dalam sana. Semuanya ngerubuti Moon, seperti semut. Tapi emang di manis sih. Aku berjalan-jalan ke perpustakaan. Seperti biasa. Sampai kemudian pundakku disentuh. Aku menoleh dan kudapati Moon sudah berjalan di sebelahku.

"Hai?" sapanya.

"Hai juga," sapaku.

Aku masih tak percaya dia beneran Moon. Well, kalau menurutku dia lebih dewasa daripada foto dia di facebook. Apa bener dia usianya 17 tahun? Mataku mengarah ke boobsnya. Masa' sih? Lalu aku mengalihkan pandangan ke yang lain.

"Mau kemana?" tanyanya.

"Mau ke perpustakaan," jawabku.

"Makasih ya," katanya.

"Makasih untuk?"

"Makasih aja."

Apaan sih? Dia tersenyum kepadaku. Senyumnya cukup manis.

"Boleh ikut ke perpustakaan? Hmmm...please show me all about this school," ujarnya.

"Ok, siapa takut," jawabku.

Maka, jam istirahat itu aku berkeliling sekolah. Aku ngasih tahu ruangan-ruangannya. Di mana kantin, di mana gym, kelas-kelas dan seterusnya. Kami juga banyak ngobrol. Ada perasaan aneh waktu aku jalan ama dia. Nyaman sih iya. Dan entah bagaimana aku dan Moon lebih lancar berkomunikasi. Saat aku jalan itulah aku berpapasan dengan Yunita.

"Hai Nit?" sapaku.

"Hai," jawabnya. Dia melihat Moon, "Murid baru?"

"Iya, aku ngajak dia lihat-lihat sekolah ini. Kenalin namanya Jung Ji Moon, baru masuk hari ini," kataku.

Moon membungkuk sambil menyalami Yunita.

"Yunita," kata Yunita memperkenalkan diri.

"Jung Ji Moon, just call me Moon," kata Moon.

"Sampai nanti ya," kata Yunita.

"OK," kataku.

Setelah Yunita pergi menarik nafas dalam-dalam.

"Itu ...perempuan yang kamu suka?" tanya Moon. Tahu aja dia.

"Actually yes," jawabku. "How did you know?"

"Because, the way you are looking at her it's different," katanya.

Kadang cewek lebih sensitif daripada cowok ya? Kalau Moon saja tahu cara aku memandang Yunita beda, tapi kenapa Yunita nggak ada rasa?

"Begini saja, Hiro. Aku akan membantumu biar Yunita suka sama kamu," kata Moon.

"Hah? But how? I mean...why?"

"We are friends don't we? Trust me," Moon mengedipkan matanya kepadaku. Aduuuuh...cute banget. Sayang dia bukan cewekku.

****

NARASI MOON

Aku dan Hiro mulai dekat. Dia memandangku benar-benar sebagai teman. Sering aku nasehati bagaimana cara mendekati cewek. Bahasa Indonesiaku sudah mulai lancar. Walaupun masih ada beberapa kata yang aku tidak tahu. Terutama kalau kata-kata itu dicampur dengan bahasa daerah. Misiku sudah mendekati kata berhasil. Kalau sudah sedekat ini, aku tinggal tanya bagaimana keadaan gedung M-Tech.

Tapi yang bikin aku eneg adalah lockerku penuh surat cinta. Baru seminggu di sini sudah jadi idola ternyata. Pesonaku apakah sedahsyat itu? Hihihihi

Aku punguti amplop warna-warni itu dan satu per satu aku masukkan ke dalam tas plastik. Aku mau bakar semuanya. Gila apa masa' gadis seperti aku harus pacaran sama anak SMA. Yang benar saja. Hiro waktu itu kebetulan mau mengambil sesuatu di locker. Dia kaget melihatku membawa tas plastik penuh amplop. Aku mengunci lockerku.

"Apaan tu?" tanyanya.

"Teman-temanmu yang kepengen mendapatkan cinta dari seorang Moon," jawabku.

Hiro tertawa terkekeh-kekeh. "Baru seminggu aja sudah banyak yang naksir kamu. Pesonamu emang dahsyat."

Agak sombong dikit sih. Aku berjalan meninggalkan Hiro. Sesampainya di depan tong sampah aku masukkan plastik berisi surat-surat cinta itu. Sang tukang kebun tampak keheranan melihatku membawa plastik berisi kertas-kertas. Karena aku lihat tukang kebun itu merokok aku minta korek apinya. Dia nurut saja. Lalu aku bakar semua isi tong sampah itu.

Nggak nyangka saja setelah bertahun-tahun meninggalkan SMA, aku ketemu lagi dengan masa-masa ini. Dan kini harus ngurusi orang bernama Hiro. Hanya saja aku masih belum bisa bertanya kepadanya tentang M-Tech. Belum saatnya.Lucunya adalah sekarang ini aku jadi orang yang ngajari dia untuk mendekati cewek. Dia tergila-gila kepada seorang cewek namanya Yunita.

Jam pelajaran telah usai. Semua murid pulang. Jangan sampai Hiro tahu di mana aku tinggal, bisa kacau semuanya. Aku telah mempersiapkan sesuatu untuknya. Alat yang disebut Weaves Geometric Survilance. Aku pasang alat itu di sebuah boneka Minions kecil. Aku berikan itu ke Hiro.

"Buatmu," kataku.

Hiro menerimanya, "Kamu suka minion?"

Aku mengangguk.

"Wah, terima kasih. I'll treasure it," kata Hiro. Dia langsung memasukkannya ke dalam sakunya.

"Kamu ada acara hari ini?" tanyaku.

"Tidak," jawabnya.

"Aku mau ngajari kamu cara ngajak cewek kencan," kataku. "Lihat kamu nggak bisa apa-apa bikin aku...ehhmm..."

"OK, to be honest. I'm really suck in this," katanya.

"Fine then. To your house?"

"NO!" dia langsung menolak.

"Tempat lain aja," kata dia sambil menyatukan telapak tangannya.

"Ok, di kafe," kataku.

"Ah, aku tahu kafe yang cocok. Kafe Berontoseno," katanya.

****

Jadilah sore itu kami berada di kafe Berontoseno. Lagi-lagi aku harus memakai baju anak remaja. Pakai jeans, kaos, jaket jins, sepatu kets. Euughh...Dan harus kuakui Hiro benar-benar kerja keras. Dia merubah penampilannya. Dan ketika kami bertemu dia benar-benar wangi. Parfumnya ini....kenapa parfumnya sama seperti Suni. Oh tidak, aku jadi teringat kepadanya.

"Hai?! Sudah lama" sapanya.

"Baru saja," kataku.

Tak banyak yang aku ajarkan kepada Hiro sebenarnya. Aku justru mengajarkan kepada dia bagaimana cara Suni memperlakukanku. Bagaimana cara dia berbicara kepadaku, cara dia memandangku, cara dia makan, cara dia berjalan. Aku bukan orang yang tahu bagaimana seorang pria yang ideal bagi para wanita. Tapi aku sudah menganggap Suni adalah seorang cowok yang paling ideal bagiku. Dan ini adalah kesalahan fatal bagiku.

Setiap sore, aku dan Hiro bertemu di kafe. Dia benar-benar melakukan apa yang aku ajarkan. Dan dia dari hari-ke-hari makin mirip Suni. Apa yang sudah aku lakukan? Aku seharusnya tidak boleh melakukan ini. Sekarang seluruh sifat-sifat Suni ada pada diri Hiro. Aku tak mau melakukannya lagi. Tapi ini adalah tugas negara.

"Aku punya tiket buat nonton bioskop, seharusnya hari ini mau ngajak Joshua. Kamu mau? mubadzir kalau dibuang," katanya.

"Boleh," kataku.

"OK, jadi begitu ya caranya?" katanya. Eh?? Dia tadi cuma akting?

"Aku kira tadi sungguhan," kataku.

"Hehehehe, kan kamu sendiri yang ngajarin caranya ngajak cewek. Gimana sih?" gerutunya.

"Oh iya, iya. Coba saja ke Yunita. Dia pati mau," kataku.

Hiro terdiam. Dia memandang keluar. Hujan bulan Desember. Sebentar lagi liburan Natal dan Tahun Baru. Aku pandangi wajah Hiro. Bayang-bayang Suni mulai tampak di wajahnya. Sikapnya, cara berjalannya kenapa harus Suni? Aku bodoh, bodoh. Aku segera beranjak. Aku tak mau terus-terusan di sini. Kepalaku bisa meledak.

"Moon, mau kemana?" tanyanya.

"Aku mau pulang. Permisi," kataku.

"Tapi hujan!"

Aku tak peduli. Di bawah guyuran hujan aku pun berlari meninggalkan kafe itu. Suni...aku sangat merindukanmu.
 
BAB IX

Why?


"Nit, aku punya tiket buat nonton bioskop, seharusnya hari ini mau ngajak Joshua. Kamu mau? mubadzir kalau dibuang," katanya kepada Yunita.

"Oke, boleh," jawab Yunita.

"Siipp, nanti sore? Kujemput?" tanya Hiro.

"Gak usah, kita ketemuan aja di mall," jawab Yunita.

"Baiklah," kata Hiro.

Ya, bagus Hiro. Kamu bisa ngajak Yunita kencan sekarang. Moga saja sukses. Setelah Yunita pergi Hiro seperti anak kecil melompat-lompat sambil berposes YES. Aku yang mengamati dari jauh hanya memberikan jempol kepadanya ketika dia melihatku. Dia membungkuk kepadaku sebagai tanda terima kasih. Tapi,...dia belum aku ajarkan satu hal. Ah, kurasa tak apa-apa.

Aku hari ini mencoba mengikuti Hiro. Dan entah kenapa aku melakukannya. Dia berangkat memakai taksi untuk sampai di mall. Aku bersama Devita di mobil, mengikuti Hiro sampai di mall.

"Ok, dia sudah masuk ke mall," kata Devita.

"Aku keluar. Tetap berkomunikasi," kataku.

Aku segera berlari-lari kecil mengikuti Hiro dari belakang. Di sebuah stand aksesoris, Yunita tampak sudah menunggu. Hiro lalu menyapanya dan mereka berjalan beriringan. Hiro lalu mengambil inisiatif untuk memegang tangan Yunita. Bagus Hiro, seperti itu. Yunita tak menolak. Mereka ngobrol banyak hari itu, aku menjaga jarak paling tidak jangan sampai ketahuan.

Namun konsentrasiku terpecah. Ada sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Ada paling tidak dua sampai lima orang mengamati Hiro dari berbagai arah. Mereka memakai kemeja hitam dan jas berwarna gelap. Semua matanya menatap Hiro. Assasins!

"Dev, we have a trouble. Assasins!" kataku.

"What?" Devita terkejut. "Are you fucking serious?"

"I'm sure of it," kataku. Aku mengambil pistol Glock dari dalam tas.

"Moon, be sure not to kill them. You don't wanna make a mess," kata Devita. Aku tahu itu. Kalau sampai aku membunuh mereka satu mall bisa kacau. Aku cuma pakai peluru bius saja. Aku tukar magazineku dengan peluru bius. Dan aku juga memasang silencer ke pistolku agar tak bersuara.

"I know, where is the others?"

"They are on the way."

Aku sedapat mungkin jangan sampai membuat penghuni mall panik. Pertama kali yang harus aku lumpuhkan adalah yang paling dekat denganku. Aku berjalan dengan santai. Tanganku kutaruh di dalam tas untuk menyembunyikan senjataku. Sang Assasin itu tampak sedikit menggeser bahunya ke belakang. Pertanda dia membawa senjata di sana, tersembunyi di balik jas abu-abunya. Dia sendirian. Aku berjalan agak cepat dan langsung menembaknya. Dia agak terkejut. Aku seperti pengunjung mall biasa. Begitu dia akan ambruk aku langsung mengaturnya agar terlihat ia seperti tidur. Dengan begini biar nanti tim penjemput yang akan membereskan mereka.

"One down," kataku. "Four to go."

Aku menuruni tangga berjalan. Sedapat mungkin jangan sampai Hiro melihatku. Dia dan Yunita sudah menuju ke Studio 21. Aku mengambil sebuah topi dari sebuah stand untuk menutupi wajahku. Aku kemudian mengacungkan pistolku ke ara dua orang yang berjalan di belakang Hiro. Mereka berdua sedikit terkejut tapi mereka tak sempat berbuat apa-apa ketika kedua peluruku menancap di tubuh mereka.

Aku langsung menangkap salah satu dari mereka dan menggeretnya ke pinggir, bersandar pada sebuah pilar. Dan yang satunya kubiarkan ambruk. Aku kemudian berlari menghampiri assasin yang ambruk itu langsung berteriak, "Help! Help!"

Seketika itu orang-orang berkerumun ke arah orang itu. Ketika banyak orang sudah berkumpul mengerumuni assasin yang ambruk itu, aku lalu berlari menuju ke arah Hiro dan Yunita.

"Dev, two to go," kataku.

"Peter dan John has came, Nikolai will get the package," kata Devita.

Aku melihat Peter dan John. Mereka berlari menuju ke arah Hiro dan Yunita. Aku kemudian berlari memutar menghindari Hiro. Dari arah depan aku lihat kedua assasin akan mengampiri mereka. Aku berpapasan dengan Peter dan John. Ku arahkan pistolku ke kedua assasin itu, dua buah peluru bius menancap di tubuh mereka. Peter dan John langsung menangkap mereka. Aku menyimpan pistolku dan bersamaan dengan itu aku menabrak Hiro. BRUK! Aku terjatuh. Hiro lalu menangkapku. Untuk sesaat mataku beradu dengan Hiro. Cara memandangku...Suni....Oh tidak.

"Moon?!" Hiro mengetahui diriku.

"Oh, hai," sapaku. Aku sedikit gugup.

"Ngapain di sini?" tanyaku. Aku melirik ke arah Peter dan John yang sudah menyeret kedua assasin itu hingga tak terlihat lagi.

"Oh, hanya jalan-jalan saja," jawabku.

"Moon, murid baru dari Korea?" tanya Yunita.

"Hai," sapaku.

"Hai juga," kata Yunita.

"Kalian mau nonton?" tanyaku.

"Iya, aku diajak Hiro," jawab Yunita.

"Ok, aku harus pergi," kataku.

"Hati-hati," kata Hiro.

Aku segera berlari meninggalkan mereka. Fuck, Fuck! fuck! Kenapa? Kenapa aku melihat Suni di dalam matanya. Kenapa? Kenapa?

Para assasin itu kami tangkap. Tim pembersih yang terdiri dari anggota BIN yang lain telah mengumpulkan mereka di sebuah truk trailer yang berada di luar mall. Trailer itu memang sengaja digunakan untuk keperluan seperti ini. Mungkin orang-orang tidak begitu mengurusi tentang sebuah truk trailer yang berputar-putar saja di sekitar jala raya mall.

Mereka semua sudah sadar ketika aku menyusul ke truk trailer itu. Nikolai sudah menyetrum mereka hingga mereka sadar.

"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Devita.

Mereka tersenyum, tak menjawab. Nikolai kembali menyetrum mereka. Percuma saja, mereka memang ingin mati.

"Just kill them all," kataku.

"But we don't know why they're targeting Hiro," kata Devita.

"Tell us, or you will get torture from me," Nikolai.

"Just do it, even you kill me. I wont tell," kata salah seorang dari mereka.

Aku mengambil pistol dan aku tembak kepala mereka satu per satu. Devita berusaha mencegahku. Hingga aku menyisakan satu orang.

"Moon, what the hell are you doing?" tanya Devita.

"They are useless. They from Black Wolf Assasins," kataku.

"How do you know?" tanya Peter.

Aku kemudian menunjukkan lengan orang yang mati. Ada tanda serigala di sana. Peter lalu menghela nafas.

"Yeah, she's right. Kill him!" kata Peter.

"Why?" tanya Devita.

"Because they have a principal, get the job done or die. That's why," kataku.

"No, I'm not one of them. I'm just new," kata satu orang yang masih hidup. Mata kami menoleh ke satu orang ini.

"So, tell us. Who hired you?" tanyaku.

Satu assasin ini kemudian menceritakan bahwa dia disuruh oleh seorang yang mengaku bernama Lucifer untuk menculik Hiro. Untuk alasan apa menculiknya, dia tak tahu. Yang jelas mereka ingin menculik Hiro. Genesis, apa rencana kalian sebenarnya?

"Kalau begitu, kamu harus selalu dekat dengan Hiro sekarang. Dia satu-satunya aset kita untuk bisa masuk ke M-Tech," kata Devita.

Aku menarik nafas panjang. Masih panjang perjalananku untuk bisa menyelesaikan misi ini. Aku keluar dari trailer dan kembali mengawasi Hiro. Dia masih di sana bersama Yunita.

NARASI HIRO

Pelajaran yang diberikan Moon mulai aku terapkan semuanya. Paling tidak Yunita mau jalan denganku. Kami nikmati waktu bersama. Tadi sempat ketemuan sama Moon. Sejujurnya entah kenapa saat mataku bertemu dengan Moon ada sesuatu. Semenjak itulah aku jadi kepikiran terus dengannya. Aku bahkan sampai melamun sendiri. Tidak konsen ketika Yunita bicara denganku.

"Kamu tak apa-apa? Sakit?" tanyanya.

"Oh, tidak," kataku.

Kenapa aku malah kepikiran Moon sih? Hei, sadar kamu sedang jalan ama Yunita. Bukankah ini yang kamu harapkan? Bisa jalan bersama Yunita? Kenapa kamu sekarang malah mikirin Moon? Aku bingung. Semua ini. Cara penampilanku, sikapku semuanya dari dia.

"Kamu berubah ya," kata Yunita.

"Berubah gimana?"

"Iyalah, berubah. Sekarang lebih menarik. Berbeda pokoknya."

"Makasih."

Kami tadi pulang dengan taksi bersama-sama. Aku mengantarkannya sampai di jalan dekat dengan rumah.

"Sudah sini aja," kata Yunita. Kami berhenti di sebuah rumah. Cukup besar rumahnya. Pagarnya dicat berwarna hitam dan rumahnya ada tiga lantai. Bangunannya artistik khas eropa. Dia keluarga kaya rupanya.

"Rumahmu besar juga ya," kataku.

"Nggak sebesar rumahmu pasti. Keluarga orang terkaya di Indonesia masa' rumahnya seperti aku? Aku mah kecil," katanya.

"Hehehe," aku nyengir.

"Kapan-kapan main saja ke sini. Boleh koq," katanya.

"Sungguh?"

Ia mengangguk. "Kan emang biasanya cowok yang pergi ke rumah cewek."

Aku mengangguk. "Yah, kapan-kapan."

"Makasih ya, untuk hari ini. Sudah nraktir aku. Sampai besok."

"Iya, sampai besok."

Yunita masih berdiri untuk beberapa saat. Kemudian dia tersenyum lalu berbalik masuk ke rumahnya. Aku menghela nafas. Entah kenapa kencan yang harusnya aku nikmati tak ada rasanya sama sekali. Dan aku masih teringat dengan Moon. Dengan lesu aku pun pulang. Sengaja aku jalan kaki karena ternyata rumahnya tak begitu jauh dengan rumahku. Walaupun tetap saja lama kalau jalan.

Aku hampir sampai rumahku, hingga kemudian aku bertemu dengan Moon. Kenapa dia ada di sini?? Moon berdiri di sana.

"Kau bodoh! You're so stupid!" katanya.

"Kenapa?"

"Kenapa tadi kamu biarkan dia menunggu?"

Aku tak tahu apa yang dia bicarakan.

"Seharusnya ketika berpisah kamu lakukan ini!" tiba-tiba Moon menuju ke arahku. Kemudian ia memegang bahuku. Perlahan-lahan wajahnya mendekat ke wajahku. Dia mau apa? Tanpa dikomando dia sudah menciumku. Hei...whaaaatt?? Bibirnya serasa lembut. Bau nafasnya sekarang masuk ke mulutku. Ia menghisap bibirku. Moon, kamu kenapa menciumku? Kenapa kamu menciumku? Ini adalah ciuman pertamaku, kenapa aku harus memberikannya kepadamu? Aku kemudian reflek melingkarkan tanganku ke pinggangnya.

Entah berapa lama dia menciumku. Saat dia melepaskan ciumannya. Tampak air mata mengalir di pipinya. Kenapa dia menangis?

Dia lalu pergi sambil berlari. "Tunggu dulu Moon! Jung Ji Moon!"

NARASI MOON

Kenapa? Kenapa? Kenapa ada Suni di sana? Cara dia menciumku. Sama seperti Suni. Kenapa? Aku berlari hingga Hiro tidak melihatku lagi. Aku menangis. Aku teringat Suni. Sebuah mobil menghampiriku. Devita yang menyetir.

"Kau tak apa-apa?" tanyanya.

Aku lalu jongok dan menangis. Menutupi wajahku dengan lenganku. Devita keluar dari mobil. Dia menghampiriku. Aku lalu berdiri dan memeluknya.

"Kenapa aku bisa melihat Suni di dirinya? Kenapa?" aku terisak dalam pelukan Devita.
 
BAB X

Hard Feeling

NARASI MOON


Sekolah liburan natal dan tahun baru. Dan hari ini aku diundang oleh Hiro. Dia berulang tahun. Ulang tahunnya tepat tanggal 31 Desember. Hampir saja pergantian tahun. Usianya sekarang tujuh belas tahun. Anehnya ulang tahunnya tak mengundang banyak orang. Hanya teman-temannya dan keluarganya saja. Dia mentraktir seluruh teman-temannya di sebuah kafe. Aku bisa melihat seluruh saudara-saudaranya di tempat itu.

Acaranya khas anak muda. Mungkin hanya aku sendiri yang tidak menikmatinya. Aku sudah menghabiskan dua cangkir Cappucino. Kalau aku sampai menambah satu lagi, aku bisa tidak tidur semalaman. Hiro dan Yunita tampaknya mulai dekat. Aku bisa melihat mereka duduk berdua di acara ini. Mengawasi Hiro sekarang lebih berat kerjanya. Karena selain aku harus mendapatkan cara untuk bisa mengetahui dan masuk ke gedung M-Tech. Aku juga harus melindungi dia dari para assasin yang diutus oleh Genesis. Entah tujuannya apa mereka ingin menculik Hiro.

Aku mendapatkan kabar bahwa sebentar lagi ada acara peluncuran produk terbaru dari M-Tech. Faiz Hendrajaya akan meresmikan peluncurannya tepat pada tanggal 1 Januari. Mungkin aku bisa memanfaatkan momen itu untuk masih ke gedung M-Tech. Siapa tahu dengan Hiro di sana aku lebih mudah untuk masuk.

"Kau kenapa?" tanya Hiro. Aku terkejut.

"Nggak apa-apa," jawabku.

"Dari tadi merenung terus. Nggak berbaur," katanya.

"Ngomong-ngomong besok M-Tech ada acara ya?" aku mengalihkan perhatian.

"Iya, mau ada peluncuran produk baru. Kamu mau ikut?" tanyanya.

"Boleh?"

"Tentu saja. Aku akan memperkenalkanmu kepada ayah dan ibuku."

"Tak perlu repot-repot seperti itu."

"Harus itu," kata Hiro. Dia lalu menggandeng tanganku.

"Apa? Mau kemana?"

"Ikut aku sebentar."

Aku digeret oleh Hiro keluar kafe sebentar. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan.

"Moon, boleh aku bicara?"

"Bicaralah!"

"Aku tak bisa mencium Yunita seperti yang kau ajarkan kemarin."

Aku agak terkejut dengan omongannya. Kenapa dia berkata seperti itu?

"Kenapa?"

"Aku tak tahu. Rasanya Yunita bukan lagi wanita yang aku inginkan."

"So?"

"So I...I...I'm not sure. It's complicated to say."

Aku tak bisa mengetahui apa yang dia bicarakan. Dia menyentuh pipiku dan mengusapnya. Eh, kenapa dia melakukan itu?

"Maafkan aku," katanya. Dia lalu berbalik dan meninggalkanku. Apa maksudnya? "Besok datanglah ke M-Tech!"

Secara garis besar aku tak tahu apa yang dia maksudkan dengan minta maaf. Tapi besok aku sudah bisa masuk ke M-Tech.

****

NARASI HIRO

Acara ulang tahun. Yah begitu-begitu saja. Entahlah, tadi malam aku bingung. Aku kenapa mengusap pipinya Moon? Dan malam ini aku bermimpi lagi untuk ketiga kalinya. Wajah wanita berambut merah itu adalah Moon. Dan aku menggenggam erat tangannya. Aku tak tahu apakah ini mimpi buruk atau bukan. Tapi semenjak aku mengenalnya di facebook itu dia selalu hadir di dalam mimpiku.

Apakah aku menyukai Moon? Aku sendiri sudah tak yakin lagi dengan Yunita. Aku lebih dekat dengan Moon. Di kantin, di perpustakaan, di mana-mana ada dirinya. Gadis berambut merah dari Korea. Kenapa kamu selalu hadir? Kenapa wajahmu selalu terbayang?

Hari ini aku dan kedua bundaku berada di lantai satu gedung M-Tech. Ayah menginginkanku untuk hadir juga. Pers sudah menunggu di bawah dengan lampu blitz yang menari-nari mengambil momen-momen penting. Aku pun tak luput dari blitz wartawan. Entah akan ada berita apa esok hari. Sambil menemani bundaku dan Bunda Vira aku menunggu Moon. Katanya dia akan datang hari ini.

"Kamu menunggu siapa?" tanya Bunda Vira.

"Menunggu teman," jawabku.

"Teman apa teman?" goda ibuku.

"Ah, ibu ini. Teman beneran," kataku.

"Teman yang sudah mengubah anak ibu jadi seperti ini?" lagi-lagi aku digoda ibuku.

"Oh, sama gebetannya ya dek?" Bunda Vira malah ikutan.

"Sudahlah, aku nggak mau malu di hadapan kalian ama ayah. Iya, dia yang bikin aku seperti ini sekarang. Tapi bukan pacar, OK?" kataku kepada mereka berdua.

Ibuku dan Bunda Vira tertawa. Tak berapa lama kemudian datang seorang gadis berambut hitam, berwajah oriental, memakai swaeter coklat dengan rok selutut. Moon? Rambutnya diwarna hitam?

"Moon?" sapaku.

Dia membungkukkan badan kepada ibuku dan Bunda Vira.

"Oh, ini ya?" ibuku melirikku dengan tatapan aneh.

Aku hanya nyengir.

"Boleh juga seleranya, dek," kata bunda Vira. Aduh, mereka menggoda aku lagi.

"Nice to meet you," kata Moon.

"Bukan orang Indonesia?" tanya ibuku.

"I'm from South Korea, my name is Jung Ji Moon," jawab Moon.

"I'm his mother," kata ibuku sambil cipika-cipiki dengan Moon.

"I'm his mother too, he called me Bunda Vira," kata Bunda Vira melakukan hal yang sama.

"You are big family I guess," kata Moon.

"Yes, we are," kataku.

Aku melihat Ayah mendatangi kami. Dia baru turun dari lift dan langsung menghampiri kami.

"Ayah!?" sapaku.

"Siapa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Moon

"Oh, kenalkan ayah, temanku Jung Ji Moon," kata Hiro. "Please interduce this is my father."

"Bukan orang Indonesia?" tanya ayah

"Bukan, dia orang Korea," jawabku

"Oh, pacar?" tanyanya lagi.

"Bbb..Bukan ayah bukan. Cuma teman. Kebetulan ia ada di Indo, jadi aku ajak dia ke sini."

"Glad to meet you, sir," kata Moon. Dia menampakkan senyumnya kepada ayahku.

Bahu ayah dipukul oleh bunda. "Nda, jangan langsung main tonjok aja ama Hiro, barangkali masih pedekate."

"Biarin dek, dia aja waktu nembak aku langsung nyosor koq," gurau bunda Vira.

Kedua bundaku tertawa bersama. Moon sepertinya tak mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Yes, indeed," gumam ayah. "So Moon, take your time. Take care Hiro. He is stubborn kid."

"Oh...come on Dad," kataku.

Ayah mengedipkan matanya kepadaku. Moon membungkukkan badan. Ayah kemudian menuju ke podium untuk mempromosikan produk M-Tech terbaru dengan disambut tepukan tangan yang membahana.

"Aku jadi penasaran seperti apa sih dalamnya M-Tech itu?" gumam Moon.

"Kamu mau lihat?" tanyaku.

"Boleh?"

"Ayo!" ajakku.

Di saat ayah sedang berpidato aku pun mengajak Moon untuk jalan-jalan ke dalam gedung. Aku mengambil dua buah tag-name yang isinya kartu untuk membuka beberapa pintu di gedung ini. Sebab tidak sembarangan orang bisa masuk ke tempat ini. Petugas sekuriti sudah mengenal aku tentunya. Jadi mereka memberikan aku kartu khusus juga kepada Moon.

Aku memberitahu Moon tentang gedung ini. Berjalan-jalan dari ruang staf, ruang produksi sampai kemudian aku menunjukkan sebuah ruangan di lantai bawah tanah. Tapi aku tak masuk ke sana. Moon memang sangat tertarik. Dia bertanya banyak hal. Aku hanya bisa menjelaskan semampuku saja.

"Ruangan apa itu?" tanyanya.

"Ini ruangan server. Seluruh data ada di sini. Pintunya lima lapis. Tak bisa dibuka oleh sembarangan orang kecuali ayahku, aku dan Mas Faiz," kataku.

"Mas Faiz? Kakak? Setahuku saudaramu hanya tujuh bersaudara," kata Moon.

"Tidak, ada satu saudaraku lagi. Anak dari bunda Putri. Memang tak pernah disebut. Sebab ayah sudah pisah dengan beliau," kataku.

"Oh...I see," tampak wajah Moon sedikit kecewa.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tak apa-apa," jawabnya.

"Kalau masuk ke sana harus pake ini?" tanyanya.

"Nggak. Ruangan ini hanya dibuka pada saat ayah membutuhkannya. Siapapun yang sudah masuk tak bisa keluar lagi. Dan untuk membukanya hanya aku dan Mas Faiz yang bisa," jelasku.

"Hanya kalian?"

"Iya, karena hanya aku yang tahu kuncinya. Ayah menggunakan sebuah algoritma khusus untuk mengunci pintu ini. Dan hanya dengan aku dan Mas Faiz sajalah yang bisa membukanya," aku tersenyum kepada Moon. "Canggih kan?"

"Seperti kunci DNA?"

"Apa itu?"

"Oh tidak, lupakan saja."

"Iya, kalau dikatakan kunci DNA. Algoritma itu adalah DNA-ku. Jadi ketika aku ingin membuka pintu alat itu akan memeriksa DNA-ku," kataku sambil menunjuk ke sebuah benda seperti touchpad. "Setelah DNA-ku dicheck maka akan ada beberapa persoalan angka-angka. Yang harus kami kerjakan dalam waktu kurang dari dua puluh detik. Kalau aku berhasil, maka aku bisa membuka kuncinya. Hebat kan?"

"Hebat sekali. Ayahmu yang merancang ini semua?" tanya Moon.

"Bukan, dulu ada seorang yang bekerja di tempat ini. Namanya Dr. Edward, tapi beliau sudah pergi," jawabku.

"Baiklah, aku sepertinya ada keperluan setelah ini. Kalau kau tak keberatan....," kata Moon.

"Oh iya, silakan! Aku antarkan kamu ke luar," kataku.

NARASI MOON

Aku menggebrak meja. Kami berada di ruang pertemuan. Devita tampak memijat-mijat kepalanya. Peter dan John juga ikut merasa pusing. Hanya Nikolai saja yang tak merasa.

"Aku tak tahu kalau ruangan itu punya sekuriti secanggih itu," kataku dengan bahasa Indonesia yang sudah mulai aku kuasai.

"Damn it, bagaimana kita bisa masuk ke sana?" Devita juga pusing.

"What about explosive?" tanya Nikolai.

"Do you want our country had a war?" tanya Devita.

"And not just that. We need Faiz Hendrajaya Junior to open that damn door," kataku.

"We only work with one name, Hiro. And now it's more complicated with Faiz Junior," kata Devita.

"Do we had a picture of him?" tanyaku.

Devita mencoba mencari-cari datanya. Dia kuliah di Oxford pasti ada fotonya. Dan saat Devita melihat foto itu dia bergumam, "Oh My God."

"What?" tanyaku. Di layar monitor ada sebuah foto seorang pemuda. Cukup tampan. Atau lebih tepatnya sangat mirip dengan Faiz Hendrajaya yang aku temui kemarin.

"Tell me this is bullshit," kata Devita.

"Why?"

"I know this person," kata Devita.

"What??" semua mata menoleh ke arah Devita.

"It's a long story," katanya.

"Okay, so here is this. I got Hiro, you got him. And we met to open that door. Get the S-Formula and finish this," kataku.

"But, I never meet him," kata Devita.

"So??"

Devita tahu tak akan mungkin bisa berdebat lagi. Kalau dia memang tahu Faiz Junior, maka itu adalah bagiannya. Karena aku sudah terlalu stress hanya untuk mengurusi Hiro.
 
Terakhir diubah:
BAB XI

Man from the Past

NARASI DEVITA


Aku tahu siapa dia. Dia adalah Faiz. Faiz Junior. Kami dulu pernah punya masa muda bersama. Tapi aku tak menyangka dia itu anaknya Faiz Hendrajaya. Mungkin memang salahku. Kami terlalu konsentrasi ke Hiro. Karena dia ada di negara ini dan paling dekat dengan server M-Tech. Ternyata hal itu di luar rencana. Sejujurnya aku pernah punya perasaan ke Faiz junior. Ceritanya beberapa tahun yang lalu saat aku masih kecil.

Aku kenal dengan Faiz karena dia adalah tetanggaku. Kakeknya dan ibunya bekerja sebagai buruh petani teh. Keluarga mereka sederhana. Dan Faiz adalah teman mainku sejak kecil.

"Faiz?!" panggilku.

"Hai, Dede!?" sapanya. Dia memanggilku dengan panggilan Dede. Karena nama lengkapku adalah Devita Dwi Artanti. Disingkat oleh Faiz dengan Dede. "Ibu, aku berangkat!"

"Hati-hati di jalan!" kata ibunya Faiz.

Kami masih SMP saat itu. Faiz selalu bercerita bahwa dia ingin bisa sekolah di kota. Ia ingin bisa bersama ayahnya. Aku tak pernah tahu tentang ayahnya. Bahkan semenjak kakeknya meninggal beberapa bulan lalu, tak ada satupun keluarganya yang datang. Faiz ini orangnya cerdas. Di kelas selalu juara. Aku saja kalah.

Kemana-mana aku dan Faiz selalu berdua, baik itu sekolah, main, kemana-mana selalu berdua. Sudah seperti dua sejoli. Aku sebenarnya suka kepada Faiz sudah lama. Semenjak aku masih SD, mungkin ini cinta monyet. Tapi makin lama aku makin suka ama dia.

"Faiz, kamu nanti SMA sekolah di mana?" tanyaku

"Aku tak tahu, belum ada rencana," jawabnya.

"Cita-citamu ke depannya nanti kemana?" tanyaku.

"Kalau bisa sih aku ingin nanti sekolah di SMA Kebangsaan. Trus kuliah di luar negeri. Seperti ayahku," jawab Faiz.

"Kamu mengidolakan ayahmu ya. Aku penasaran sama ayahmu. Dia masih hidup?"

"Iya, masih hidup. Tapi kata ibu dia sibuk bekerja jadi belum bisa menjengukku."

"Tapi udah lama lho, memangnya ayahmu kerja apa sih?"

"Beliau punya gedung yang tinggi. Beliau juga punya pabrik."

"Wah, jadi kepingin ketemu ama ayahmu. Tapi bener lho, kalau aku tak ketemu ayahku pasti kangen. Kamu sendiri bagaimana?"

"Aku kangen tentunya. Tapi, aku sudah cukup bangga menjadi anaknya. Ibuku selalu mengajarkanku untuk bangga menjadi anaknya. Mengajarkanku untuk mengidolakan dia."

Aku cukup heran dengan Faiz ini. Dia selalu seperti itu. Mengidolakan ayahnya. Katanya sepatu yang dia pakai itu juga dulu pernah dipakai oleh ayahnya. Potongan rambutnya juga niru ayahnya. Sebegitu cintanyakah dia kepada ayahnya? Dia sangat membanggakan ayahnya.

Tak terasa hari itu tiba. Hari-hariku bermain bersama Faiz usai. Hari-hariku bersama dia usai. Setelah ia datang ke pemakaman kakeknya di kota. Ia akan tinggal bersama ayahnya. Aku merasa sedih sekali. Hari itu adalah hari di mana dia berpamitan kepadaku.

"Kamu akan pergi?" tanyaku.

"Iya, aku akan pergi. Kamu tak apa-apa kan di sini sendirian."

"Bodoh, aku tentu saja akan kangen ama dirimu."

"Kan kita bisa kirim email,"

"Mana cukup?"

"Dede, sudahlah jangan menangis. Kalau menangis kamu terlihat jelek."

"Biarin. Kenapa kamu harus pergi? Kita sudah bermain bersama selama ini, kita sekolah bersama. Bahkan...bahkan...ibumu sudah baik kepadaku, menganggapnya sebagai anak sendiri. Faiiz...aku akan kangeeen sekali kepadamu...."

Aku memeluk Faizku. Apakah ini cinta? Apakah aku jatuh cinta kepada Faiz.

"Aku tak akan melupakanmu Dede. Aku akan kembali. Aku akan terus ingat kepadamu," kata Faiz mencoba menenangkanku. Ia mengusap-usap rambutku.

"Janji kepadaku. Berjanjilah!" kataku.

"Janji apa?"

"Janji hanya aku yang boleh jalan denganmu, kamu tak boleh jalan dengan perempuan lain!"

"Idiih, koq gitu janjinya?"

"Ayo janji!" aku menatap matanya dengan tatapan berkaca-kaca.

"Iya deh, aku janji," katanya.

"Beneran!?" kataku.

"Iya, beneran," jawabnya sambil menyeka air mataku.

Aku lalu memeluk dan menciumnya. Faiz Hendrajaya. Inilah ciumanku untukmu, ciuman pertamaku. Kuberikan kepada cinta pertamaku. Kepadamu. Aku hisap bibirnya, aku tak pernah mencium lelaki sebelumnya, bahkan cara berciuman pun aku tidak tahu. Aku hisap bibirnya dan dia juga menghisap bibirku. Setelah itu aku menundukkan pandangan.

"Ingatlah, ini adalah hadiahku untukmu, jangan lupakan aku! Berjanjilah!" kataku sambil menyentuh dadanya.

Dia mencium keningku. "Aku tak akan melupakanmu Dede."

Masa laluku dengan Faiz tiba-tiba saja hadir. Oh apa ini? Aku tak pernah menyangka ayah yang dibanggakannya itu ternyata adalah Faiz Hendrajaya. Orang terkaya di negeri ini dan yang mempunyai Hendrajaya Group. Kali ini aku dihadapkan kepada sesuatu yang sulit.

Aku semalaman memandangi foto itu. Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku selama ini tak pernah melihat fotonya? Moon sempat marah-marah ke aku karena aku sangat ceroboh tidak mengetahui Faiz. Dia sebentar lagi akan pulang ke Indonesia. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah lama tidak berjumpa dengannya.

Tentu saja aku masih ingat dengan janji itu. Tentu saja perasaanku kepadanya tak akan berubah. Dan kenapa juga harus bertepatan dengan misi ini? Aku mengumpat kepada diriku sendiri. Ini tidak adil.

Aku tidak pernah lagi membuka emailku semenjak aku masuk ke Sekolah Intelejen Negara. Karena memang berpisah dari dunia luar adalah salah satu cara agar aku bisa konsentrasi di sini. Sekaligus agar statusku sebagai intelejen terjaga. Ketika aku sudah resmi sebagai anggota BIN, aku pun sudah merelakan Faiz untuk pergi. Aku pun membuka emailku.

Oh ya tuhan, banyak sekali email dari dia. Aku pun sampai mengeluarkan air mata. Tidak ada satupun yang aku balas. Dia terus bertanya tentang kabarku. Dia bercerita sepanjang tahun tentang kuliahnya. Dia bercerita tentang banyak hal. Dia juga mengirimiku foto-foto terbarunya. Ya tuhan, kalau saja aku tahu dia anaknya Faiz Hendrajaya. Dia tak pernah berhenti mengirimiku email. Bahkan sampai sekarang. Apa dia tak tahu kalau aku tak pernah membalas emailnya? Kenapa dia terus melakukan itu? Ia tak menyerah.

Aku membaca email terbaru darinya, subject-nya Graduation.

Hai Dede,

Aku lulus. Sebentar lagi aku akan pulang. Oxford telah aku taklukkan. Bagaimana kabarmu? Kamu tak pernah membalas emailku, tapi aku yakin kamu membacanya. Aku tak akan menyerah untuk tetap berharap kamu baik-baik saja. Kalau kamu membaca email ini, balaslah. Aku ingin bertemu denganmu. Aku akan memamerkan kelulusanku kepadamu. Lihatlah aku bisa mendapatkan cita-citaku.

regards

Faiz, jr.


Faiz menunjukkan fotonya yang sedang membawa topi kelulusan dan baju toga. Dia sekarang menjadi sarjana dari Oxford. Dadaku berdesir, jantungku berdebar lebih kencang. Sesak sekali rasanya. Aku cinta kepada dirinya. Aku masih mencintainya. Apakah aku harus membalas emailnya? Ah, persetan aku pun membalas emailnya.

Hai Faiz,

Selamat ya atas kelulusannya. Aku ingin bertemu denganmu. Aku sudah kangen kepadamu.

ttd

Dede.


Aku langsung menutup laptopku. "Aaargghh...!"

"Kau kenapa?" tanya Moon.

"Tidak apa-apa," jawabku.

"Kamu benar-benar bikin aku gemes. Kalau tahu kamu punya hubungan dengan Faiz Hendrajaya sejak dulu, aku tak perlu repot-repot mendekati Hiro!" kata Moon.

"Maaf, I'm sorry. I just don't know if his father is Faiz Hendrajaya. I thought someone else," kataku.

"So, what next?"

"I will met him," kataku.

Faiz jr. telah membalas emailku. Isinya:

Dede,
Aku senang sekali dari empat tahun nulis email baru kali ini kamu membalasnya. T____T
Baiklah, ketemuan di kafe Brontoseno yuk, besok lusa. Aku sudah ada di Indonesia sekarang. Ketemuan jam 7 ya.

regards

Faiz,jr.


NARASI FAIZ

Namaku Faiz Hendrajaya Junior. Orang-orang memanggilku Faiz Jr. Aku kuliah di Oxford. Ayahku adalah seorang yang mempunyai perusahaan mobile terbesar se-Asia. Sudah dua hari ini aku ada di Indonesia. Aku sangat senang sekali bisa berkumpul lagi bersama ibuku. Beliau wanita yang luar biasa. Mendidikku sejak kecil hingga sekarang. Ayahku juga sangat senang ketika aku pulang.

Aku tak tahu persoalan antara ayah dan ibuku sampai mereka berpisah. Tapi yang jelas, ibuku tidak menuntut apapun kepada ayahku. Beliau sendiri sudah cukup senang dengan nafkah materi yang diberikan oleh ayah. Dan ibuku tidak menikah. Menurutnya semua laki-laki di dunia itu brengsek kecuali ayahku. Nah, tapi kenapa mereka tak menikah saja sih? Itu yang aku tak habis pikir. Tapi kata ibuku dia dulu membuat kesalahan yang tak dimaafkan oleh ayahku sampai ketika kakek meninggal ayah memaafkan ibu dan merangkulku untuk masuk ke dalam keluarga Hendrajaya.

Aku adalah cerminan ayahku. Itulah yang dikatakan orang-orang. Wajar sih, gaya bicaraku, cara berpakaianku, semuanya hampir mirip ayahku. Dan aku sangat berbeda dengan Hiro. Hiro bertingkah apa adanya, aku tidak. Aku lebih terlihat cool daripada terlihat apa adanya. Jarang bicara kalau tidak dibutuhkan. Seperti sifat ayahku. Dan itu juga yang ibu ajarkan kepadaku. Bunda Iskha dan Bunda Vira iri kepadaku karena lebih mirip ayah daripada anak-anaknya.

Hari ini adalah hari spesial. Aku akan bertemu lagi dengan Devita. Eh, sebentar. Aku tak tahu apakah dia ada di kota ini atau tidak. Kenapa aku langsung bilang ketemu di kafe Brontoseno? Emangnya dia tahu? Bodoh amat sih aku ini. Tapi di email dia menjawab bahwa dia akan datang.

Karena dijawab akan datang ya aku datang dong ke kafe itu. Kafe ini kata ayahku adalah kenangan beliau dengan Bunda Iskha. Katanya dulu Bunda Iskha sering ngisi di kafe ini. Bunda Iskha adalah seorang penyanyi terkenal pada masanya. Beliau adalah legenda bahkan sampai sekarang terkadang masih diundang untuk ngisi di acara televisi.

"Ibu, aku berangkat dulu," kataku kepada ibuku.

"Berangkat kemana? Kamu lho barusan datang," kata ibuku.

"Ke kafe, ada janji ketemuan ama teman lama," jawabku.

"Temen apa temeen?" godanya.

"Ibu masih ingat ama Dede?" tanyaku.

"Devita? Temen mainmu itu?"

Aku mengangguk. "Iya, ingat kan?"

"Oh kamu mau ketemu dia? Wah, masih berhubungan saja kalian ini."

"Heheheh, sudah ya, nanti telat lagi," aku mencium kening ibuku. Kemudian pergi.

Ibuku selama ini tinggal sendirian di rumah. Tapi banyak pembantunya koq. Jadi hampir segala kebutuhannya disediakan oleh para pembantu. Terkadang sepupu-sepupuku main ke rumah, jadi rumah tidak begitu sepi. Rumah ini konon katanya warisan kakek. Cukup besar sih. Dan aku tidur di bekas kamar ayahku.

Aku sudah melaju di atas jalanan kota yang diguyur hujan di bulan Januari. Orang jawa bilang Januari adalah "Hujan sehari-hari". Mungkin tepat sekali filosofinya. Benar-benar hujan setiap hari. Pukul tujuh tepat aku sampai di kafe itu. Seorang pelayan langsung menyambutku.

"Silakan masuk!" katanya.

Aku menoleh kiri-kanan. Mencari-cari kalau ada seorang cewek yang duduk sendirian. Dan, aku melihat seorang yang tidak asing. Seorang perempuan dengan rambut seleher. Matanya memandang keluar. Aku kemudian menghampirinya. Aku berdebar-debar, karena sudah lama tidak berjumpa dengan dirinya. Dia Devita. Teman mainku sejak kecil.

Saat aku sudah ada di depannya aku langsung menggeser kursi dan duduk di sana. Ia kaget ketika melihatku.

"Maaf ngagetin," kataku.

Ia menutup wajahnya. Mengusap mukanya seperti ingin membuang seluruh perasaan yang dirasakannya saat ini. Begitu tangannya turun dia menatapku dengan tersenyum.

"Apa kabar?" katanya.

"Baik, kamu?" tanyaku.

"Baik juga," jawabnya.

Setelah itu....hening. Kami cuma diam sambil membolak-balik menu.

"Mau pesan apa?" tanyaku memecah keheningan.

"Cappucino saja deh," jawabnya.

Aku memberi aba-aba kemudian pelayan datang.

"Cappucino dua ya mbak," kataku.

"Ada lagi?" tanyanya.

"Itu saja dulu," jawabku.

Ia kemudian pergi.

"Aku tak sangka kita bertemu lagi," kataku.

"Iya, bagaimana kabarmu?" tanyanya lagi.

"Aku sudah bilang, aku baik-baik saja," jawabku.

Ia tertawa, "Maaf, aku grogi sekali."

"Tak perlu grogi santai sajalah. Dulu kita kan sering bicara seperti ini, bahkan lebih dekat," kataku. Aku memegang tangannya. Devita menarik nafas dalam-dalam.

"F..Faiz..," ia agak gugup. "M..maaf, aku tak sanggup. Maafkan aku..."

Tiba-tiba Devita berdiri. Lalu ia beranjak meninggalkan aku. Aku segera menyusulnya. "Dede, tunggu!" Aku taruh uang di atas meja. Lalu segera mengejarnya.

"Jangan kejar aku!" teriaknya. Ia lalu berlari di bawah guyuran hujan.

Aku menahannya agar tak lari. Kami sekarang berada di bawah guyuran hujan. Aku langsung membalikkan tubuhnya.

"Faiz...aku tak sanggup," katanya. Apa maksudnya tak sanggup?

"Kenapa? Kamu sudah punya pacar?" tanyaku.

Ia menggeleng.

"Lalu kenapa?"

Matanya...ia menangis. Air hujanlah yang telah berjasa menyamarkannya. Tapi aku bisa mengetahui kalau dia menyimpan sebuah beban. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku mengambil inisiatif, aku peluk dia dan kucium bibirnya. Devita tak bergerak. Ia mematung. Ia menerima ciumanku. Aku sangat merindukan dia. Aku masih setia kepada dia, dan inilah kerinduanku.

NARASI DEVITA

Ohh...Faiz...dia menciumku. Ohh...rasanya hangat. Aku sudah tak peduli lagi dengan hujan ini. Aku tak peduli dengan dinginnya air hujan. Dia memelukku di bawah guyuran air hujan. Ciuman ini lama sekali. Aku pun membalas pelukannya yang hangat. Dia lelaki dari masa laluku, kini telah kembali. Pasti Moon akan sangat marah mengetahui hal ini.

"Dev, Devita?!" panggilnya melalui codec. "What the hell are you doing? Focus! focus!"

Faiz kemudian menggandengku. Ia mengajakku masuk ke mobilnya. Mau dibawa ke mana aku? Moon berkali-kali memanggilku. Aku kemudian berbisik, "Please turn off this codec, I can do it alone."

"Are you sure?" tanya Moon.

"Please, I know him. Just forgive me, this once. Please!?" bisikku.

"Arrggh....fine then. Just do it!" kata Moon. Ia pun mematikan komunikasi. Aku melihat dari kaca spion, mobil yng dinaiki Moon kemudian berbelok tidak mengikuti kami. Aku tak tahu kemana Faiz akan membawaku. Dan....kami pun berhenti di sebuah rumah. Rumah siapa ini?

"Ini rumahku," kata Faiz. "Kalau kamu tak keberatan aku mengundangmu untuk masuk."

"Faiz...jangan, aku tak bisa," kataku. Faiz membelai wajahku.

"Aku masih setia kepadamu De, aku masih ingat janjiku. Aku tak pernah punya hubungan dengan wanita lain. Aku tetap menjaganya sampai sekarang. Dan aku kembali hanya untukmu," kata Faiz. Ohh...Faiz.

Faiz menggandengku masuk ke rumahnya. Besar sekali. Tak seperti rumahnya di kampung dulu. Jelaslah. Ayahnya adalah Faiz Hendrajaya. Rumah sebesar ini pasti dia punya. Kami masuk sekarang. Baju kami masih basah. Tanganku digandeng olehnya menuju ke sebuah kamar.

"Ibu sudah tidur pasti, kamu bisa keringkan dirimu," kata Faiz. "Aku akan tinggalkan kamu untuk ganti baju. Di dalamnya ada baju-baju sih. Paling tidak sampai bajumu kering semua pakailah punyaku."

Faiz mau keluar kamar aku menahannya.

"Jangan tinggalkan aku," kataku.

Faiz berbalik. Ya Tuhan, tampan sekali dia. Bagaimana kalau dia tahu bahwa aku adalah seorang intel? Seorang agen rahasia. Dia pasti akan marah kepadaku. Tapi, aku tak sanggup lagi menahan kerinduan ini. Fuck that. Besok aku pikir besok. Sekarang di hadapanku adalah seorang pangeran yang sudah aku nanti sejak bertahun-tahun.

"Bajumu basah," kataku. Aku raba kemejanya yang membekas bentuk dadanya yang kekar. Perlahan-lahan kancingnya aku lepas. Aku kemudian membuka kemejanya. Tampaklah olehku sebuah dada bidang yang selebar lapangan badminton kelurahan. Ada bulu halus di sana. Aku menciuminya.

"De..apa yang...??"

"Faiz, biarlah aku meluapkan rasa kerinduan ini. Kumohon! Agar aku tak menyesal kalau berpisah denganmu lagi," kataku.

Faiz kemudian membiarkanku menciumi dadanya. Kuciumi putingnya. Dia mendesah. Aku bisa merasakan jantungnya berdebar-debar. Dia membelai rambutku. Kemudian dia melepas blazerku. Dia lalu membuka satu persatu kancing kemejaku. Ya tuhan, dia sekarang melihat tubuhku. Dia sudah melepaskan kemejanya sekarang. Tubuhnya sempurna.

Ia menciumi pundakku, dihisapnya butiran-butiran air hujan yang menetes di tubuhku. Dia juga menghisap butiran-butiran air hujan yang ada di leherku. Ciumannya kembali ke bibirku. Dia menghisap lidahku. Kami berpanggut. Baju atasku sudah dilucutinya. Dia lalu melihat payudaraku yang tertutup oleh bra.

"Kamu sangat sempurna De," katanya.

"Faiz...aku serahkan diriku kepadamu sekarang, komohon jangan sia-siakan diriku!" kataku.

Dia melepas kaitan braku. Dadaku yang berukuran 34B telah dilepaskan penutupnya. Dia sentuh kedua payudaraku. Kemudian wajahnya didekatkan ke dadaku. Aku lalu memeluknya. Rasanya hangat. Dia ciumi dadaku, dihisapnya putingku. Aahhkkk...Faizku...kamu menyusu kepadaku??

Dia lalu meloloskan rokku. Aku pun membuka celananya, kubuka ikat pinggangnya. Kini dia hanya memakai celana dalam yang juga basah karena air hujan. Ia pun meloloskan apapun yang menempel ditubuhku. Kini aku polos. Aku dipeluknya. Dia megangkat tubuhku sambil menciumiku. Kemudian dia rebahkan diriku di atas kasur. Kami berciuman panas. Suasana kamar itu kini mulai menghangat. Rasa dingin akibat air hujan tadi sudah tidak terasa lagi. Debur-debur kehangatan yang terpancar dari tubuh kami mulai meresap menggantikan rasa menggigilnya suhu tubuh karena air hujan.

Faiz memelukku dan mencumbuku. Ohh..inilah yang ingin aku rasakan. Faizku...terus...ciumi leherku....ohh..dia beranjak ke dadaku. Dia suka dadaku. Dia kulum putingku. Ohh..Faiz, kamu hebat. Kamu profesional sekali memperlakukan seorang wanita sepertiku. Faiz makin membuatku melayang saat bibirnya menjelajah perutku. Lidahnya menggelitik pinggangku, kemudian ke bawah lagi menuju liang senggamaku yang berwarna merah merekah. Aku memang inginkan ini. Aku memang inginkan ini sejak dulu. Aku rindu Faiz. Aku merindukannya.

Lidah Faiz terus bergerak, menari-nari di selakanganku. Aku bisa rasakan lidah itu menyapu lembut daerah kewanitaanku. Bukan saja membuatku melayang ia benar-benar membuatku menggelepar seperti cacing kepanasan. Pantatku sudah tak bisa diatur lagi. Terus bergerak kiri kanan. Memutar seiring dia menggelitikku dengan lidahnya yang kasar tapi lembut. Tangannya bergerilya meremas payudaraku memberikan kepuasan tersendiri. Aku tak ingat lagi bahwa aku seorang agen rahasia dan seharusnya aku tak boleh melakukan ini.

Kalau saja bukan Faiz, aku tak akan melakukannya. Tapi aku sekarang membiarkan diriku dijamah olehnya. Ohh...kini dia menggelitik dan mencolok-colok klitorisku. Aku tak kuasa lagi, aku ingin menyembur. Ohh..aku tak kuasa. Tak kuattt..

"Faiizzz....oohhhh!" tubuhku mengejang. Aku mengangkat pantatku ke atas. Faiz menahannya. Ia menghentikan aktivitasnya yang memuaskan kemaluanku. Aku lalu ambruk, lemas. Tidak, aku tidak boleh istirahat. Aku belum memberikannya kepuasan. Aku tak boleh lemas dulu. Aku sebenarnya masih terlena dengan orgasmeku barusan. Tapi aku sudah bangkit sekarang mencari batang keperkasaan Faiz.

Batang itu besar, panjang dan berurat. Warnanya coklat. Kepalanya berwarna lebih cerah dan tampak kokoh seperti sebuah pion catur. Aku memegangnya. Faiz berlutut. Aku dituntunnya agar aku memberikan kenikmatan yang sama seperti apa yang telah dia lakukan kepadaku. Aku menurut. Kuciumi kemaluan pria ini. Dia perkasa sekali. Aku kemudian mulai memasukkannya ke mulutku. Aku tahu cara ini dari buku kamasutra. Aku selalu ingin tahu bagaimanakah bentuk kemaluan Faiz. Sekarang aku sudah melihatnya dan sekarang sudah masuk ke mulutku.

Sebuah sapuan lembut di pionnya membuat Faiz mengeluh. Dia meremas rambutku. Aku pegang batangnya yang perkasa itu. Kuberikan rangsangan di bagian telurnya. Kuremas-remas lalu lidahku menari-nari di atas telurnya. Kuciumi aroma keperkasaan pria ini. Dia jantan sekali. Rambutnya menggelitiki pipiku. Aku tempelkan batang itu ke hidungku dan kuhirup aromanya. Faiz...aku ingin kau lakukan itu kepadaku.

Aku langsung merebahkan diriku. Kutatap wajahnya dengan pandangan sayu. Faiz menindihku. Dia peluk diriku. Dibisikinya aku sesuatu, "Kamu yakin?"

Aku mengangguk. "Lakukanlah, agar aku tak akan menyesal seumur hidupku."

Faiz kemudian menggesek-gesekkan kepala pionnya di belahan memekku. Ohh...sebentar lagi, hal yang ingin aku lakukan sejak dulu. Aku ingin dimasuki olehnya. Gelombang kenikmatan mulai menjalari tubuhku, menggelitik tubuh bagian selakanganku. Namun rasanya menjelar ke ubun-ubun. Faiz menciumku, aku tahu ini, dia akan menerobosku. Entah kenapa pionnya itu sekarang sudah berada di lubangku. Pantatnya makin dia tekan ke depan. Dan.....SREEEETTTT!

"AAahhhkk!" hampir saja aku berteriak ketika dia menerobosku. Ohh...dia merobekku. Aku telah dirobek olehnya. Inilah yang aku inginkan. Biar mereka mengatakan aku seorang agen rahasia yang bodoh. Biar Moon menghinaku, biar John, Peter dan Nikolai mengejekku, aku tak peduli. Aku tak akan kuat menahan kerinduanku kepada pria ini. Lelaki yang sudah aku cintai sejak lama.

Sekali lagi Faiz mendorongnya. Aku tak mempedulikan rasa sakitku. Pahaku semakin kulebarkan ketika dia mencoba menarik batangnya. Dia kembali mendorongnya kali ini sedikit dipaksa hingga mentok. AAARRGGHH...bagaimana mungkin batang sebesar dan sepanjang itu bisa amblas semua di dalam kemaluanku. Ohh...Faiz...kita sudah bersatu. Aku kangen kamu.

"Aku kangen kamu Faiz," bisikku. "Hari ini kamu telah memberikannya."

"Tidak, engkaulah yang memberikannya kepadaku," katanya. "Aku tak akan pernah melupakan ini De."

"Teruskan! Teruskan Faiz!" kataku.

Aku kemudian digenjot olehnya. Rasa sakit yang sudah tak kupedulikan itu berangsur-angsur menghilang. Keperawanan yang harusnya aku jaga ini telah direnggut oleh Faiz Hendrajaya junior. Orang yang dulu aku beri ciuman pertamaku. Dia ternyata sampai sekarang masih setia kepadaku. Inilah Faiz jawaban dari email-emailmu yang tak pernah aku balas. Aku akan jujur kepadamu setelah ini. Karena tak ada cara lain. Dunia sedang dalam bahaya. Kami butuh S-Formula. Tolonglah kami Faiz. Aku berikan keperawananku kepadamu agar kamu bisa memberikanku S-Formula yang berada di dalam server data M-Tech.

Ini tindakan terbodoh yang harus aku lakukan. Tapi aku juga menikmatinya. Faizku....bencilah aku setelah ini. Aku tak akan menyesal. Entah kenapa aku menitikkan air mata. Tapi aku sembunyikan dengan memeluk Faiz. Dia terus menggenjotku. Memekku serasa menyedot-nyedot batangnya. Aku bisa mengetahui Faiz keenakan. Dia menghisap leherku kuat-kuat. Giginya menempel di kulit leherku. Aku pun makin terangsang dan ikut bergoyang. Entah apakah nanti perlakuannya itu akan membekas di leherku atau tidak. Aku tak peduli. Dia telah memberikan cupangan lembutnya kepadaku. Aku hampir sampai. Bulu kudukku merinding. Memekku makin keras mencengkram.

"Aku nyampe De, keluarin di mana?" tanyanya.

"Terserah kamu Faiz," jawabku.

"AAaagghhhh! Dedeeee...!" dia menjerit ketika kemaluannya menyemburkan milyaran sel sperma ke rahimku. Ohhh...rasanya hangat. Ia hujamkan sedalam-dalamnya batangnya hingga aku bisa merasakan rahimku disentuh oleh ujung pionnya. Luar biasa. Aku juga orgasme. Kami berpelukan erat ketika itu. Dunia rasanya melayang. Nafasku memburu, capek sekali rasanya. Seluruh tulang-tulangku serasa ingin copot semua.

Malam itu aku tidur di pelukan Faiz hingga pagi datang. Aku bangun duluan kulihat diriku di balik selimut. Sebuah bercak darah ada di atas sprei kasurnya. Itu darahku. Darah keperawananku yang kujaga selama ini untuk Faiz. Dan sekarang aku harus jujur kepada lelaki dari masa laluku ini.

(bersambung....)
 
sorry klo bab-bab awal ini terlalu berbelit-belit. Hal ini dikarenakan ane harus menguras tenaga untuk mengenalkan karakter masing-masing.
Setelah bab ini ceritanya akan lebih mendekati inti cerita. Tapi soal spionase ini cuma awal saja. Nantinya akan lebih ke perjuangan Hiro dan Faiz untuk mendapatkan cinta mereka.
Motonya adalah Save the girl Save the world.
Mirip serial Heroes aja :D :p :ampun: :ampun:
 
  • Like
Reactions: 048
Dan satu lagi. Ada maksudnya kenapa di awal ini gambarnya Moon terbagi menjadi 2 warna. :Peace:
stay tune next update.
 
  • Like
Reactions: 048
Top abis suhu :-D
 
hahahaha maksudnya gimana? :D
semacam pernah tahu ceritanya? atau dejavu?

yup.. sperti dialog cerita saduran.. kesannya kaku.. jadi kurang menegaskan karakter tokohnya..

eniwei.. good story bro..
ane serasa baca cerita Ian Fleming dan Alistair Mclean.. dengan plus2-nya.. heheh..
 
Pas SS jadi keinget putri ama iskha. . .
Bener-bener adil kisah anak ama emak bisa kebalik yang enyaknya perawan eh anaknya dapet ampas trus enyaknya ampas eh anaknya dapet perawan, .
Hehe. . .ane mantau selaputny aja dah . . .
S O L A R D E X
 
keren bgt ceritanya suhu
tpi tdi ada typo, lupa bab brp
 
Owhh.. Action n spionase cm background yaa..??:ngupil:

lanjuuuut... A like this story..
:papi:
 
Bimabet
BAB XII

Cinta yang Jujur

NARASI HIRO


Aku mencintai Jung Ji Moon. Itulah sebenarnya yang terjadi. Aku tak ada rasa sekarang kepada Yunita. Aku tak ingin membohongi diriku sendiri. Selama ini yang mengajarkanku cara untuk mencintai seorang wanita adalah Jung Ji Moon. Cara untuk mengajak seorang wanita berkencan. Juga cara untuk mencium seorang wanita. Dialah orangnya.

Pagi ini aku melihat Moon agak kesal. Entah karena persoalan apa. Aku tak mengerti. Hari ini rambutnya berwarna merah lagi setelah beberapa hari dicat hitam.

"Kenapa Moon?" tanyaku di dalam kelas.

"Aku sedang kesal dan tolong jangan ganggu," jawabnya.

"Baiklah, Ok," kataku. Aku tak mau mengganggunya sekarang. Hampir satu jam pelajaran dia hanya mengutak-atik ponselnya. Sebenarnya sih ponsel nggak boleh digunakan ketika jam pelajaran dimulai.

Tapi Moon selalu pandai dalam menyembunyikannya. Satu yang membuatku takjub saat diminta ponselnya adalah dia menyembunyikannya di toketnya. What?? Dan dia menantang pak guru, "Ambil saja kalau berani." Tentu saja seluruh kelas langsung heboh. Bahkan lucunya adalah guru-guru tak ada yang berani kepadanya. Siapa sih Moon ini? Katanya anak seorang konsulat. Aku saja tak tahu di mana dia tinggal.

Ketika jam istirahat dia langsung meninggalkan kelas. Ia sepertinya kebingungan dia menelpon seseorang berkali-kali. Entah siapa yang dia telepon. Melihat ini aku pun penasaran.

"Kamu menghubungi siapa?" tanyaku.

"Ani dangsin munje! It's not your bussines!" bentaknya. Mana sebagian pake bahasa Korea lagi.

Aku pun jadi kesal dibuatnya. "Fine, it's your bussines but I care!"

"Why?! You are not important!"

Tampaknya keributan kami menarik beberapa murid. Mereka berbisik-bisik.

"So, I'm not important then? Fine. Go away!" kataku.

Moon mengerang, "Aaarrgghh...!" Dia membanting ponselnya dan mengejarku.

"Hiro! Hiro! Wait!" dia terus memanggilku. Aku terus berjalan dan kemudian berlari.

"Go away!" perintahku. Aku sebenarnya nggak marah. Hanya memancing Moon. Aku terus berlari hingga ke atap sekolah.

Moon sudah berada di atap bersamaku. Nafasnya terengah-engah mengejarku.

"Larimu cepat sekali, aku saja yang sudah terlatih bertahun-tahun kalah,...eh ups..," kata Moon.

"Hah? terlatih?" aku heran. Maksudnya apa?

"Oh...sorry, maksudku aku yang sudah terlatih lari. Aku sering latihan lari," katanya.

"Oh...kukira apa," kataku.

"Sorry, I'm so sorry. I just fucked up!" katanya.

Aku tersenyum kepadanya sampai gigiku kelihatan. Dia lalu membalikkan badannya, "No no no! Don't show that face to me!"

"Why?!" tanyaku.

"Because I hate that face! You...you are so much so much like him," kata Moon sambil terisak.

"He?? Siapa? Mantan?" tanyaku.

Moon mengangguk. Tiba-tiba dia memelukku dan menundukkan wajahnya ke pundakku. "Kau jahat, kau sangat jahat Hiro. Kenapa kamu mirip dia? Kenapa?"

Aku tak bisa berkata apa-apa. Ya bukan salahku dong mirip ama mantannya. Gimana sih? Aku tak tahu apa yang terjadi tapi ini pertama kali Moon memelukku. Oh God, aku sayang ama dia. Aku cinta ama dia.

"Moon, kenapa kamu menangis?" tanyaku.

"Biar begini dulu. Jangan kamu lepas!" katanya.

Aku pun lama memeluknya. Sampai tangisnya reda. Waktu begitu lama. Lamaaaa sekali. Aku tak pernah memeluk seorang gadis pun sebelumnya. Moon adalah wanita pertama yang menangis dalam pelukanku. Setelah tangisnya reda dia mendorongku. Moon ini begini anaknya, kadang lembut, kadang keras, kadang tegas, kadang juga cute, kadang menyenangkan. Sebulan ini dia kami sangat dekat. Walaupun dia mendorongku aku tetap tak melepaskan lengannya. Karena tinggi kita sama, aku hanya perlu maju satu langkah. Wajahku sudah mendekat ke wajahnya. Ia agak memiringkan kepalanya. Kami pun berciuman di atap sekolah. Ciuman yang sangat lembut. Ciuman yang diajarkan kini aku berikan ke dirinya sendiri. Masih dengan derai air mata ia menciumku. Dunia bagai berhenti berputar saat itu. Aku tak menyangka hari itu aku mencium orang yang aku cintai.

Hari itu seharian aku tak masuk kelas. Biarin kek. Dicariin guru juga biarin. Urusan gue.

Aku berada di atap. Moon bersandar di bahuku. Entah apa yang terjadi. Dia sekarang kalem banget. Nggak seperti tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Dia tak cerita. Tapi aku tak ingin membuatnya sedih lagi. Sekarang aku nyaman didekatnya. Tidak, dialah yang merasa nyaman di dekatku. Aku tak pernah sedekat ini dengan Moon walaupun duduknya di sebelahku.

"Kamu tahu Hiro, seandainya apa yang kamu lihat dan rasakan tidak sesuai dengan apa yang kamu lihat dan rasakan apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya.

Pertanyaannya membingungkan. Aku jawab aja sekenanya, "Aku tidak tahu."

"Itulah yang sedang aku rasakan sekarang, pertanyaan itu selalu berputar-putar di kepalaku serasa ingin pecah saja kepala ini," katanya.

"Dengarlah Moon, aku jujur sekarang kepadamu. Engkau adalah wanita yang aku cintai. Aku tak bisa berbohong kepada siapapun sekarang. Aku tak mencintai Yunita. Semua kebaikanmu, semua hal yang kamu lakukan ini membuatku mencintaimu," kataku.

Moon tak berkata apa-apa. Dia hanya beranjak dari tempat duduknya menatap halaman sekolah dari atap.

"Aku minta maaf Hiro, sekali lagi aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku juga tak tahu kenapa ini semua harus terjadi. Awalnya aku ingin bisa lepas dari bayang-bayang kekasihku dulu, tapi semua bayang-bayang itu ada pada dirimu. Aku ingin mengutuk diriku sendiri karenanya. Hiro....Saranghae!" katanya. "Aku jujur sekarang. Aku mencintaimu."

Aku lalu memeluk Moon dari belakang. Dia pun kemudian bersandar di dadaku.

NARASI MOON

Ini adalah hari teraneh dalam hidupku. Setelah Devita memutuskan komunikasi tadi malam. Sekarang aku dipeluk dan dicium oleh Hiro. Dan aku mengalami hal yang sangat aneh. Aku bisa jatuh cinta kepada anak ini. Anak yang baru saja berusia 17 tahun ini. Oh, apa yang terjadi sebenarnya? Aku tak bisa melawan diriku. Dia bukan Suni, tapi perlakuan dia, sifat dia, caranya menyentuhku sama seperti cara Suni menyentuhku.

Bagaimana mungkin anak kemaren sore ini sudah bisa mencuri hatiku? Bagaimana dia bisa sedewasa ini hanya dalam waktu singkat. Hiro,....maafkan aku. Tapi aku harus jujur kepadamu. Kalau aku adalah agen rahasia NIS yang datang untuk mengambil S-Formula sebelum diambil oleh Genesis.

Aku bersandar di dadanya. Entah berapa lama aku bisa bertahan seperti ini. Tiba-tiba ponsel Hiro berbunyi. Tapi dia tidak mengangkatnya. Aku membalikkan badanku.

"Tidak diangkat?" tanyaku.

"Ah biarin, aku sedang ingin bersamamu koq," jawabnya.

"Angkat saja!" kataku.

Hiro menghela nafas. Ia lalu mengangkat ponselnya. "Dari Mas Faiz. Ada apa brother?"

Hah? Dari kakaknya. Aduh, kakaknya kan sedang bersama Devita. Apa yang terjadi dengan Devita?? Apakah dia baik-baik saja?

"Hah? Ngapain? Nanti malem? Oke deh," kata Hiro. Dia lalu menutup ponselnya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Nggak tahu. Nanti malam aku disuruh ke M-Tech Building, tapi sambil ngajak kamu katanya," jawabnya.

Aku mengerti sekarang. Devita sudah bicara dengan Faiz junior rupanya sehingga menyuruh Hiro dan aku pergi ke M-Tech Building. Hiro, tak tahukah kamu ini adala akhir perjumpaan kita? Apakah kamu merasakannya Hiro? Setelah ini kita akan berpisah. Aku akan mendapatkan S-Formula dan pergi dari negara ini. Pergi untuk menghancurkan Genesis. Hiro...maafkan aku.

Aku pun bertekad. Aku akan memberikan kenangan yang tak terlupakan kepada Hiro. Ini semua sebagai permohonan maafku. Aku lalu menggandeng Hiro.

"Pergi yuk!" kataku.

"Kemana?" tanyanya.

"Sudah deh, ikut aja!" kataku.

Aku hari itu bersama Hiro keluar sekolah. Kami membolos. Masih dengan seragam kami jalan-jalan. Berbagi keceriaan, mencoba bermain di wahana bermain. Jalan-jalan ke mall, mengacak-acak toko baju. Dan segala kegilaan yang pernah aku lakukan ketika masih SMA dulu. Hiro tampak menyukainya. Selama itu pula, aku selalu tersenyum kepada Hiro. Aku berikan semuanya, semua kesenangan, semua luapan kegembiraanku, cintaku...semuanya. Seolah-olah tak ada hari esok lagi.

Hari itu aku ajak Hiro ke apartemenku. Apartemen tempatku menginap sementara di Indonesia.

"Apartemen siapa nih?" tanyanya.

"Aku menyewanya," jawabku.

Aku menggeret dia untuk masuk.

"Nggak apa-apa aku masuk?" tanyanya.

"Sudahlah! Ayo!" ajakku.

"Permisi!" gumamnya.

Aku akhirnya mengajak Hiro ke apartemenku. Aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Dia memang masih muda, lebih muda dariku. Tapi aku tak bisa membohongi diriku. Aku mencintainya. Aku memajukan wajahku. Kucium bibirnya. Bibir kami melekat lagi. Hiro mendorongku.

"Moon, kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?" tanya Hiro.

"Karena aku tak ingin menyesali apa yang akan terjadi setelah ini. Kamu mau kan?" tanyaku. Hiro menelan ludahnya. Aku tahu dia gugup. Dia masih perjaka. Masih culun. Tidak ngerti begituan.

"Moon, aku tak mau melakukan ini kalau perasaanmu tidak jujur," kata Hiro.

"Perasaanku jujur. Aku cinta kamu," aku menatap mata Hiro tanpa berkedip. Kami bertatapan lama. Bahkan keheningana itu hanya menyisakan dentuman jantungku yang makin cepat. Aku juga bisa mendengar detak jantung Hiro. Remaja ini kini memelukku dan menciumku.

Ya, seperti ini. Hiro menciumku, menghisap lidahku sepenuhnya. Entah bagaimana tiba-tiba ia bergejolak. Dia melepaskan seragamku. Dilemparkannya entah kemana. Aku juga demikian, kubuka seragamnya dan kulemparkan entah kemana. Dia memelukku lagi aku lalu ambruk di atas sofa. Hiro berada di atasku. Dibelainya rambutku....Ohh..Hiroo...maafkan aku...aku akan berikan sesuatu yang tidak akan pernah kamu lupakan.

Hiro menciumi leherku. Ia masih terlalu kaku, belum lembut. Lidahnya belum bisa bermain dan menari-nari di tubuhku tapi aku menyukainya. Aku harus bimbing dan ajari dia. Aku bantu dia melepaskan kaitan braku. Mata Hiro melotot. Seolah-olah ia tak pernah melihat payudara wanita sebelumnya.

"Aku jujur belum pernah melihat sesuatu seindah ini," katanya.

"Hiroo....lakukanlah apa yang kau inginkan," kataku.

Hiro kemudian membenamkan wajahnya di belahan payudaraku. Dia hirup parfum dan bau tubuhku. Lalu ia remas dengan lembut kedua bukit kenyal itu. Aku melayang. Terlebih dia memijiti puting susuku. Libidoku mulai naik. Dia mulai menghisapi putingku dengan lembut. Pertama kali lidahnya ditempelkan di sana. Kedua, dia lalu menyapu area di sekitar putingku. Ketiga, putingku dikunyahnya lembut lalu dihisap dengan lembut dan kuat, secara bergantian. Ahhh...Hirooo....

Pantatku mulai menggeliat kiri kanan saat kemaluanku menyentuh kemaluannya yang sama-sama masih berbalut celana dalam. Hiro tampaknya puas sekali mengenyoti payudaraku. Kedua putingku sekarang basah oleh ludahnya. Ia gemas sekali sampai berkali-kali meremas dan menghisapnya secara bersamaan. Ia pun mulai menciumi perutku, dan turun ke bawah. Aku menggeliat.

Hiro agak terkejut ketika melihat sesuatu seperti bekas luka di perutku. Iya, bekas luka itu aku dapatkan ketika aku ada misi di Afghanistkan. Aku tertembus peluru.

"Jangan Hiro, kamu pasti tak suka melihatnya. Itu bekas lukaku," kataku.

"Tak apa-apa, aku menyukai dirimu seutuhnya Moon," katanya sebelum menciumi bekas lukaku. Sensasinya aneh, tapi aku suka. Justru perlakuannya membuatku banjir di bawah sana. Kenapa aku bisa terangsang ketika dia menciumi bekas lukaku??

Dia akhirnya berusaha membuka penutup tubuhku bagian bawah. Rok dan celana dalamku dilepasnya. Dia pasti terkejut melihat bagian tubuhku itu. Dia juga membuka celananya dan CD-nya. Benda panjang berurat tiba-tiba seolah-olah seperti melompat begitu saja.

"Indah sekali Moon," katanya tepat di atas lubang kemaluanku. Nafasnya seperti menyapu kemaluanku. TIdaaakk...aku merinding. Ia pasti merasakan bulu kudukku merinding sekarang. Ia tak mempedulikannya. Ia menciumi pahaku yang mulus dan putih tanpa noda itu.

"Hiroo...jangan Hiro...aku tak kuat kamu gituin!" kataku memelas. Aku memang orang yang bakal menyerah kalau pahaku diberlakukan seperti itu. Kelemahanku adalah pahaku. Aku sangat sensitif dengan tubuhku bagian bawah itu. Dan yang kedua adalah leherku. Ketika Hiro mencium leherku tadi aku sebenarnya sudah pasrah dan basah. Ketiga aku sengaja sembunyikan sebab kalau dia melakukannya aku akan meledak, yaitu ketiakku. Hiro menjilati pahaku. Aahhh....dia pasti melihat kemaluanku mengeluarkan cairan. Tidaak...aku malu, kenapa aku malu? Aku pernah melakukan ini dengan Suni, lalu kenapa harus malu? Mungkin karena Hiro masih terlalu muda dan ini dia masih perjaka.

"Hiro...sudah...! Aku tak kuat lagi. Masukkan!" keluhku. Aku memelas. Aku menatapnya dengan pandangan sayu. Sangat memohon. Kemaluanku sudah gatal sekali.

"Moon, aku baru pertama, maaf ya," kata Hiro. Aku mengangguk.

Hiro menindihku. Kemaluannya menggelitik klitorisku. Aaahhkk...geli. Dan BLESSS! Aku tersentak. Sejujurnya, semenjak terakhir kali aku melakukan dengan Suni, aku tak pernah melakukannya lagi dengan siapapun. Aku juga tak pernah mastrubasi. Memekku serasa kaget ketika tiba-tiba ada sebuah benda asing masuk ke sana. Keras, tegang, hanya itu yang bisa aku ungkapkan ketika benda itu bersarang di sana.

"Aahhh....Moon...! Ahh...aku enak Moon, kamu juga?" tanyanya.

"Iya Hiro, yes...me tooo....you feel deep down there," kataku.

Hiro bergoyang naik turun. Enak sekali, nikmat dan aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi selain kenikmatan yang bertubi-tubi aku rasakan menghujam kemaluanku. Rongga vaginaku benar-benar distimulus dengan ekstasi nafsu. Pahaku makin melebar membiarkan tubuh Hiro memasuki diriku. Hiro terus mendekapku. Ia juga menciumi seluruh wajahku. Aku hanya bisa memejamkan mata menikmati perlakuannya. Ohh...aku cinta kepada pemuda ini. Persetan urusan spionase ini, persetan semuanya. Aku hanya ingin Hiro sekarang ini. Persetan juga dengan Devita. Persetan semuanya.

Tiba-tiba Hiro berhenti. Ia menciumiku dengan lembut.

"Boleh aku melakukannya dari belakang?" bisik Hiro. Aku mengerti. Ia mencabut pionnya. Aku bisa melihat kemaluan Hiro yang tegang dan berotot itu mengkilat. Itu berarti kemaluanku sudah benar-benar banjir. Aku berbalik dan menungging. Hiro memposisikan pion kemaluannya tepat di depan miss-V-ku. Tak perlu lama-lama untuk mencari celahnya, karena begitu terkena lendir kemaluanku pionnya langsung melesat masuk seperti kereta api ekspress yang masuk ke lorong. Uuhgggh....

"Ugghh!" desahku. Hiro kemudian memaju-mundurkan pinggulnya. Aku terus mendesah dan mengeluh. Hiro berusaha memegang payudaraku. Dia meremas-remas payudaraku. Ohh...aku nikmat sekali Hiro. "Hiro, kamu merasakan nikmat?"

"Iya, aku nikmat sekali. Your pussy is tight," katanya. Aku senang. Aku pun memaju mundurkan pantatku. Dia makin keenakan, diremasnya berkali-kali pantatku. Hiro kembali membalikkan badanku, hingga terlentang lagi. Kini ia bagai menguasai diriku seperti boneka. Ia tak langsung memasukkan miliknya, tapi kembali menciumiku, menciumi leherku. Ahhh....ini kelemahanku. Kemaluanku kembali menyemprot-nyemprot kecil. Mungkin Hiro tak melihatnya tapi aku merasaknnya. Dan AAAHHHHKKKK....dia menciumi ketiakku. Dia menjilatinya.

"Aaahhh....Hirooo...jangan disitu...No not right there...I'm cummmiiiingg! AAARRGHH!" aku menjerit. Kedua pahaku kukatupkan. Pinggulku bergetar hebat. Itu kelemahaanku ketiakku. Kenapa dia menciumnya? Aku segera mengapitkan ketiakku, takut diciumnya lagi.

Hiro membelai rambutku. Aku menatapnya sayu. Dia menciumku lagi. Aku masih dilanda orgasme yang dahsyat. Dia membuka kembali pahaku. Entah berapa liter lendir yang aku keluarkan di bawah sana. Yang jelas sekarang pahaku dibuka lebar lagi dan Hiro masuk lagi. Sangat mudah. Dia kembali menggenjotku. Aku dipeluknya lagi. Kali ini gerakannya sangat cepat. Kemaluanku sudah ngilu sekali. Aku tak pernah bercinta sedahsyat ini. Bahkan dengan Suni pun tidak pernah. Suni memang tak tahu titik sensitifku, karena akulah yang selalu berinisiatif untuk bercinta, tapi Hiro mendapatkan semuanya. Walaupun ia masih muda tapi dia mampu memberikan efek yang tidak biasa ke seluruh tubuhku.

Keningnya sekarang menempel di keningku. Mata kami beradu. Aku tak sanggup menatapnya. Ohh...Hiro. Dia menarik kedua tanganku ke atas dan menahannya. Hei, apa yang??? AAAHHHKKK...dia menjilati ketiakku yang putih tanpa bulu itu. Aaahh....pinggulku bergetar hebat. Aku orgasme lagi....

"Hiroooo...don't...I can't hold it anymore!" kataku.

Aku terus diperlakukan seperti itu. Rasanya geli dan nikmat. Di atas aku diserang di ketiakku, di bawah dia menggenjot makin cepat. Aku benar-benar multiple orgasme. Dan Hiro pun keluar juga. "I'm...cumming....!"

Hiro menyemprotkan seluruhnya ke dalam rahimku. Ahh....hangat sekali spermanya. Aku bisa merasakannya. Ini ML terdahsyat, dalam sejarah hidupku. Aku tak pernah merasakan ML seperti ini. Aku bisa orgasme berkali-kali dalam waktu yang dekat. Hiro langsung ambruk menindihku. Kami berpelukan erat. Hiro,....kamu telah menjadi pangeranku sekarang.

(bersambung....)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd