fathimah
Semprot Addict
Part 4: Tugas
Amanda
Amanda
Amanda dan Jenny baru saja masuk ke ruangan yang berisi kubikel-kubikel tempat para editor seperti mereka bekerja, saat Pak Budi tiba-tiba keluar dari ruangannya. "Amanda, ke sini sebentar."
"Duh, ada apa lagi tuh Pak Bos. Jangan-jangan naskah yang kemarin banyak typo-nya," ujarku gelisah. Meski sudah mengedit banyak buku, ada beberapa kata yang seringkali luput dari pengamatanku. Untungnya, Pak Budi merupakan sosok yang sangat teliti untuk hal-hal seperti itu, dan bisa mencegahnya masuk ke versi yang siap untuk diterbitkan.
"Udah samperin aja dulu. Siapa tahu mau dikasih naskah baru," ujar Jenny sambil melenggang ke meja kerjanya.
Aku pun mengangguk dan langsung berjalan menuju ruangan Pak Budi. Di departemen kami, hanya Pak Budi yang mempunyai ruangan khusus seperti ini. Maklum, dia adalah editor paling senior, dan sepertinya sudah bekerja puluhan tahun juga. Mungkin sudah ratusan buku yang dia edit dan kemudian berhasil diterbitkan.
Begitu duduk di kursi yang ada di hadapannya, Pak Budi langsung bertanya tanpa basa-basi: "Kamu tahu Pak Raharjo kan?"
Kepalaku langsung berputar-putar berusaha memikirkan apakah ada sosok lain bernama Raharjo yang sedang dibicarakan oleh Pak Budi. Karena setahuku, di dunia penulisan hanya ada satu orang bernama Raharjo yang mungkin dimaksud oleh beliau. Dia adalah seorang penulis kawakan yang sudah berhasil mengeluarkan banyak novel populer, meski tidak pernah masuk sama sekali ke daftar pemenang penghargaan sastra.
"Maksudnya, Pak Raharjo penulis novel "Jalan Panjang" dan "Runtuhnya Ikatan" Pak?"
"Memang ada Raharjo siapa lagi? Kemarin dia bilang bahwa naskah novel terbarunya sudah selesai, dan ia ingin penerbit kita menerbitkan bukunya lagi."
"Wah, itu berita bagus, Pak. Sepertinya sudah bertahun-tahun sejak beliau menerbitkan buku, penggemar setianya pasti akan menunggu sekali kehadiran buku terbaru ini. Tapi, mengapa Bapak memberitahukan itu pada saya?"
"Saya ingin kamu yang menjadi editornya."
Mendengar kata-kata tersebut, aku sontak terdiam. Ludahku seperti tertahan tiba-tiba di koerongkongan. Wajahku memucat, dan detak jantungku berdetak lebih cepat.
"Hmm, maksudnya gmana Pak? Bukankah biasanya Bapak yang mengedit tulisan beliau?"
"Saya sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan lain, Amanda. Lagipula, harus ada regenerasi di penerbit ini, dan saya rasa kamu sudah punya kemampuan untuk mengedit naskah Pak Raharjo. Dan jujur saja, dia bukan tipe orang yang rewel soal editing, naskahnya pun biasanya sudah bebas dari masalah. Ini pasti pekerjaan yang mudah untuk kamu."
Ini tentu merupakan tantangan besar bagiku. Tapi apabila berhasil melewatinya, kemungkinan besar reputasiku sebagai editor juga akan melambung. Tidak ada alasan lain untuk menolaknya.
"Baik, Pak. Saya siap menerima pekerjaan tersebut."
"Bagus, nanti saya akan CC kamu di email balasan saya untuk Pak Raharjo ya. Nanti saya share juga nomor WhatsApp beliau ke kamu, karena beliau seringkali tidak menggubris apabila dihubungi lewat email."
"Siap, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu."
"Silakan."
Pak Budi pun tampak kembali berkutat dengan komputer kerjanya saat aku undur diri dan meninggalkan ruangan.
***
Meski bukan akhir pekan, mal yang berada di kawasan pusat ibukota ini tampak tetap ramai dengan pengunjung. Bagi seorang perempuan yang menyukai tempat sepi sepertiku, datang ke mal yang ramai seperti ini sebenarnya tidak begitu menyenangkan. Sayangnya, restoran Jepang favoritku dan Jodi memang selalu berada di mal yang seperti ini. Mau tidak mau, aku pun terpaksa untuk sering mengunjunginya.
Saat memasuki restoran tersebut, aku bisa langsung melihat Jodi tengah duduk di sushi bar. Di hadapannya tampak baru ada segelas Ocha dingin dan sebuah piring kecil berisi sushi yang sepertinya baru ia makan sepotong.
Jodi langsung tersenyum melihat kedatanganku. Ia pun berdiri dan memeluk tubuhku erat, melepaskan kerinduan yang tertahan selama berhari-hari kami tidak berjumpa. Sungguh terasa nyaman berada di pelukannya yang hangat.
"Apa kabar hari ini, Sayang?" tanyanya begitu aku duduk di kursi yang ada di sebelahnya.
"Biasalah, pagi ngedit tulisan, siang makan bareng Jenny, sorenya ngedit lagi, hee. Kamu bagaimana?"
"Lagi ada banyak proyek audit yang harus dikerjakan, tapi sejauh ini masih terkendali dan gak perlu lembur. Makanya aku sempetin untuk makan malam bareng kamu."
"Makasih ya sayang," ujarku sambil mengecup pipinya mesra. Mohon maaf kalau aku seperti menganggap pengunjung lain restoran ini sebagai orang yang sedang mengontrak di rumah kemesraan kami berdua.
"Makan dulu yuk."
Aku pun langsung memanggil pelayan untuk meminta segelas Ocha hangat, kemudian mengincar beberapa sajian favoritku di atas conveyer yang membawa berbagai makanan lezat berseliweran di hadapanku.
"Eh, sayang. Kamu tahu penulis buku yang namanya Raharjo gak?" Tanyaku tiba-tiba, sambil memasukkan sebuah sushi dengan saus mentai ke dalam mulutku.
"Hmm, sepertinya pernah dengar. Tapi di mana ya?"
"Itu lho, yang bukunya suka dibaca sama mami kamu."
"Oh iya bener. Sepertinya mami pernah nyebut-nyebut penulis yang namanya Raharjo. Dia kayak penulis cerita cinta-cintaan gitu kan? Kalau gak salah ada satu bukunya yang suka dibawa sama Mami kalau pergi ke luar kota, judulnya "Jalan Pantang" atau apa gitu."
"Jalan Panjang," ujarku mengoreksi.
"Nah iya betul, Jalan Panjang. Maaf ya sayang, pacarmu ini jarang banget baca buku, jadi gak tahu soal buku-bukuan begitu. Emang kenapa kamu tiba-tiba ngomongin dia? Kamu juga suka bukunya dia?"
"Aku cuma pernah baca, dan gak terlalu suka-suka banget. Tapi penulis ini memang kayak populer banget gitu lho, Sayang. Dan penggemarnya yang kayak mami kamu gitu banyak banget di luar sana."
"Lalu?"
"Novel terakhirnya yang berjudul "Runtuhnya Ikatan" sepertinya terbit 3 tahun lalu, dan sejak saat itu dia belum merilis novel lagi. Jadi, seluruh fansnya kayak nunggu-nunggu banget karya terbaru dia."
"Terus?" Jodi sepertinya masih begitu penasaran dengan arah pembicaraanku ini.
"Nah, dia sekarang baru saja menyelesaikan novel terbarunya. Dan Pak Budi meminta aku untuk menjadi editornya."
"Wah, itu berita bagus banget. Selamat ya sayang," Jodi pun langsung memasang wajah gembira dan kembali memelukku.
"Awas, awas, nanti soyu-nya tumpah ke baju, hee."
"Biarin deh gpp," ujar Jodi sambil tertawa. "Ini kabar baik banget, nanti aku kasih tahu mami ah. Siapa tahu dia mau ketemu sama Raharjo itu, hee."
"Bisa diatur," ujarku tersenyum.
Kami pun kembali menyantap berpiring-piring hidangan yang kami ambil dari sushi bar hingga merasa kenyang. Pengunjung restoran tersebut pun satu per satu telah pergi karena hari sudah kian malam. Jodi pun kemudian memanggil pelayan untuk meminta bill.
"Oh iya, kira-kira berapa lama kamu akan mengurus naskah Raharjo?" Tanya Jodi tiba-tiba.
"Hmm, mungkin sekitar beberapa bulan. Kalau cepat sih satu bulan juga bisa selesai. Memang kenapa, Sayang?"
"Nggak apa-apa, sih. Aku cuma khawatir itu bisa mengganggu rencana pertunangan dan pernikahan kita. Tapi kamu kan udah sering ngedit buku, jadi harusnya gak masalah ya," ujarnya sambil tersenyum.
Aku pun turut mengamini kata-kata Jodi barusan. Aku juga tidak mau pekerjaanku sampai mengganggu rencana kami berdua untuk membangun rumah tangga. Dalam hati, aku pun senang karena Jodi ternyata masih memikirkan persiapan pertunangan kami berdua.
"Tenang saja, Sayang. Bisa diatur kok itu."
"Yuk, aku antar pulang." ujar Jodi setelah dia membayar bill yang baru saja disodorkan seorang pelayan.
"Yuk."
Kami berdua pun berjalan bersama menuju mobil Jodi yang berada di area parkir. Aku menggenggam tangannya erat, dan merasa bersyukur memiliki pacar yang begitu perhatian dengan segala aspek dari hidupku.
(Bersambung ke Part 5)
Terakhir diubah: