Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

ceritanya nggak ringan, juga gak sepenuhnya berat..
ijin jadi asisten editor amanda ya suhu @fathimah :jempol:

sengaja gak dibikin berat2, karena masih tahap uji coba multi sudut pandang seperti ini
Pengin jadi asisten Amanda mau ketemu Jenny ya? Hee
 
sama" suhu, yg penting update lancar hehehe

Mudah-mudahan ya, terima kasih dorongan semangat dari para pembaca di sini.

Sebagai informasi, saya menargetkan cerita ini selesai di Part 40, dan sekarang sudah selesai ditulis hingga Part 8. Dan kemungkinan, part2 selanjutnya akan lebih panjang dari yang sudah dipublikasikan sekarang.
 
Mudah-mudahan ya, terima kasih dorongan semangat dari para pembaca di sini.

Sebagai informasi, saya menargetkan cerita ini selesai di Part 40, dan sekarang sudah selesai ditulis hingga Part 8. Dan kemungkinan, part2 selanjutnya akan lebih panjang dari yang sudah dipublikasikan sekarang.
siap suhu, kita setia nunggu, Makasi buat info valid nya suhu :halo: :halo:
 
Part 6: Rumah

Amanda-1.jpg

Amanda

"Ma, aku pulang," ujarku saat baru saja sampai di depan pintu rumah.

Entah mengapa busway yang membawaku pulang dari kantor tadi terasa sangat penuh, berbeda dari biasanya. Hal tersebut membuatku merasa begitu lelah saat turun. Padahal aku sudah berdiri di bagian khusus perempuan yang cenderung lebih sepi dibanding dengan bagian belakang yang bisa dimasuki oleh semua penumpang.

Sialnya, pacarku Jodi pun harus lembur hari ini, sehingga tidak ada pilihan lain untuk pulang selain berdesakan di atas bus yang padat tersebut. Di perjalanan dari halte busway ke rumah dengan ojek online pun aku masih merasa begitu lemas.

Tanpa menunggu balasan, aku langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, aku langsung menuju dapur untuk memeriksa makanan apa yang tersedia di sana. Baik sebelum maupun setelah kepergian Papa untuk selamanya, memasak makanan hangat saat malam seperti ini sudah menjadi tradisi bagi Mama.

Hal itu pun menjadi salah satu alasan mengapa aku mungkin merupakan salah satu pegawai yang paling sering pulang cepat dari kantor. Bisa dihitung jari sepertinya berapa kali aku makan malam di luar rumah saat hari kerja, layaknya kebanyakan rekanku yang lain.

Hari ini di atas meja makan sudah ada ikan sarden kesukaannku, lengkap dengan sayur kangkung, tahu, dan tempe goreng. Mama memang suka sekali memasak hidangan rumahan seperti ini.

"Wahh ... enak banget neh, Ma," ujarku sambil melihat-lihat makanan yang tersedia di meja makan. Aku baru akan mencomot sepotong tahu goreng untuk mengisi perut, tetapi mama sudah lebih cepat menepuk tanganku.

"Hushh, Amanda ... baru pulang juga. Mandi dulu sana, nanti baru makan. Di rice cooker juga ada nasi yang baru matang tuh," ujar Mama yang malam ini mengenakan daster batiknya yang khas.

"Iya, deh iya," ujarku mengalah. "Adek sudah pulang, Ma?"

"Sudah, nanti kalian makan bareng aja."

"Siap, Ma."

Aku pun langsung menuju ke kamarku yang berada di lantai atas, untuk mengambil baju ganti dan meletakkan tas. Sebelum masuk ke kamar mandi, aku tak lupa mengambil handuk yang tergantung di balkon, tempat Mama biasa menjemur pakaian. Rumah ini memang tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk ditinggali dengan nyaman oleh kami bertiga. Aku bersyukur pada Papa yang telah mewariskan rumah ini pada kami, sehingga kami tidak perlu hidup mengontrak ke sana ke mari.

Di dalam kamar mandi, aku langsung menanggalkan seluruh pakaianku, mulai dari jilbab, kemeja lengan panjang, hingga celana panjang, dan tentu saja bra dan celana dalam warna putih yang hari ini kukenakan. Aku pun mematut tubuhku di depan cermin, cukup berisi tapi sepertinya tidak bisa disebut gemuk. Namun bentuk dan ukuran payudaraku memang sering membuatku bangga.

"Semoga Jodi merasa bahagia melihatnya saat kami pertama melakukannya nanti," ujarku dalam hati.

Sebagai pasangan kekasih, ia memang sudah pernah menyentuh payudaraku, tetapi hanya dari luar pakaian. Aku pun tidak pernah mengirim foto bugil kepada dirinya, sesuatu yang katanya merupakan hal lumrah di antara orang yang berpacaran di masa sekarang. Aku masih berusaha menyimpan hal-hal tertutup tersebut untuk dibuka saat kami telah menikah nanti. Untungnya, Jodi pun memahami dan setuju dengan itu.

Aku mulai menyalakan keran dan memandangi air mengucur dari shower, hingga meluncur ke bawah. Perlahan, aku menggeser posisi berdiriku hingga tepat berada di bawahnya. Tidak ada pemanas air di rumahku, sehingga di malam hari pun aku harus siap untuk mandi dengan air dingin.

Di bawah guyuran air tersebut, aku membilas rambutku yang berwarna hitam, sambil merenungi masalah-masalah yang aku hadapi dalam hidup.

***​

Begitu selesai mandi dan berganti pakaian, aku pun langsung kembali ke dapur untuk mengisi perut yang sudah terasa lapar ini. Di sana ada Mama dan adikku yang sepertinya sudah mulai makan malam.

"Tuh kan jahat. Ditinggal mandi malah sudah makan duluan," ujarku dengan nada kesal yang dibuat-buat.

"Salah sendiri, mandinya lama kayak putri keraton," cibir adik perempuanku sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dengan iseng, aku pun memindahkan piringnya menjauh, hingga ia kesulitan untuk meletakkan kembali sendok yang digenggamnya. "Woy, biasa aja donk."

"Judes banget sih, pantes aja sampe sekarang belum punya pacar," ujarku sambil menjulurkan lidah ke arahnya. Ia pun membalas dengan memonyongkan bibirnya. Usia kami yang hanya terpisah tiga tahun membuat kami bisa bercanda dengan santai seperti itu sejak remaja.

Aku kemudian mengambil piring, mengisinya dengan nasi, dan mengambil lauk-lauk favoritku.

"Kalian ini, adik kakak bukannya yang akur gitu," ujar Mama berkomentar melihat tingkah kami berdua.

"Biasa mah, kalau gak begini kan artinya gak akrab," ujarku.

"Nah, bener tuh kata Kak Amanda," ujar adikku sambil dengan seenaknya mengambil sepotong tempe goreng dari piringku, dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.

"Rese banget sih ini anak," ujarku sambil mengacak-acak rambutnya yang panjang.

"Udah-udah, kalian ini kalau gak ketemu kangen, kalau ketemu malah ribut," Mama berusaha melerai. "Oh iya, untuk rencana lamaran kamu masih ada yang perlu Mama siapkan gak, Amanda?"

"Sudah beres semua kok, Ma," jawabku sambil tersenyum.

Aku memang tidak mau terlalu melibatkan Mama dalam rencana pertunangan hingga pernikahan dengan Jodi nanti. Bukan karena aku tak mau dibantu olehnya, tapi lebih karena aku tidak ingin membebani pikirannya yang pasti sudah begitu pusing mengurus kami berdua. Meski begitu, aku tetap membuka kesempatan apabila Mama ada usulan tertentu untuk rencana besarku tersebut.

Hingga saat ini, Mama bersikeras untuk hidup secara mandiri, tidak tergantung pada aku atau adikku. Ia bahkan masih memaksa untuk membayar tagihan dan belanja bulanan dengan uangnya sendiri, yang berasal dari dana pensiun Papa. Ia juga mempunyai sedikit penghasilan dengan membuka jasa catering bagi tetangga yang ingin mengadakan acara.

Sudah berkali-kali aku dan adikku menawarkan untuk memberi uang bulanan, yang bisa ia gunakan untuk keperluan rumah, tetapi Mama selalu menolak dan memintaku untuk menabungnya saja.

Baik aku dan adikku memang sudah bekerja dan mempunyai penghasilan masing-masing, meski jumlahnya tentu belum seberapa karena pengalaman kerja kami yang masih terbatas. Aku memang berhasil menabung sejumlah uang setelah bekerja beberapa tahun, tetapi sepertinya akan berkurang drastis untuk membiayai pernikahanku dengan Jodi nanti.

Pacarku itu memang sempat menawarkan untuk menanggung seluruh biaya pernikahan, tetapi aku menolak. Bagiku, ini adalah momen besar bagi kami berdua, dan sudah sepantasnya kami menanggung semuanya bersama-sama.

"Kak, besok ada acara gak?" Ujar adikku tiba-tiba.

"Emang kenapa?"

"Temenin aku cari baju donk. Mau gak? Mau ya? Please ..." Ujar adikku memelas, membuatku tidak tega.

"Boleh ..." Jawabku, sebelum aku ingat akan satu jadwal penting yang harus aku tepati besok. "Eh, tapi besok hari Jumat ya? Duh, kakak sudah terlanjur ada meeting sama penulis. Sabtu aja gmana? Sekalian kita malam mingguan."

"Boleh juga. Emangnya kakak gak malam mingguan sama Mas Jodi?"

"Bisa diatur lah itu," jawabku sambil tersenyum. Meski sering usil, aku dan adikku juga bisa bermanis-manis seperti ini.

"Memangnya kakak mau ketemu penulis siapa sih?" Tanya adikku penasaran.

"Raharjo, penulis buku "Jalan Panjang". Oh iya, kamu kan punya semua bukunya?"

Adikku mengangguk. "Jadi setelah bertahun-tahun gak bikin buku, dia akhirnya mau bikin novel lagi, Kak?"

"Sepertinya begitu. Kakak kemarin diminta editor senior untuk menangani karya beliau, jadi besok harus ketemu."

"Owh," ujar adikku singkat. Ia yang sudah menghabiskan makanan di piring pun bangkit untuk menuju tempat cuci piring. Saat aku melirik ke arahnya, tampak ada secarik senyum menempel di bibirnya.

(Bersambung ke Part 7)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd