Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 13: Wawancara

"Duh, setiap habis makan Nasi Padang, perut rasanya selalu penuh banget neh," ujar Mbak Vera sambil merebahkan badan di kursi kerjanya.

Ia mengelus-elus perutnya sendiri yang sedikit menggembung setelah kemasukan santapan makan siang yang baru saja kami nikmati berdua. Dalam hati, aku iri padanya karena bentuk tubuhnya yang indah bisa tetap terjaga dengan baik meski baru saja melahirkan anak pertama.

Setelah sembilan bulan mengandung, perutnya berhasil mengempis hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Karena itu, banyak rekan sesama karyawan di luar desk Humaniora dan Hiburan tempat aku dan Mbak Vera bekerja, yang tidak menyadari bahwa perempuan berusia 30 tahun tersebut telah mempunyai seorang anak. Celana yang selalu ia kenakan sebelum hamil pun sudah bisa kembali dipakai olehnya.

Bahkan, seusai menjalani cuti melahirkan dan kembali masuk kerja, ia masih menjadi perhatian para lelaki hidung belang nan mesum yang banyak beredar di gedung ini. Berbeda denganku yang biasa didekati oleh pria muda, Mbak Vera justru sering menarik atensi dari lelaki yang lebih tua darinya. Mungkin hal itu terjadi karena ukuran payudaranya yang mustahil tidak menjadi santapan mata jalang para lelaki. Terlebih setelah ukurannya yang sedikit membesar pasca melahirkan, karena ia masih dalam proses menyusui sang buah hati.

"Bagaimana gak penuh, nasinya aja satu setengah porsi. Belum ditambah sama lalapan dan ayam pop," cibirku.

"Ahh, ngeledek aja lo bisanya, Astari."

Kami berdua memang telah bersahabat dekat, sehingga melontarkan ledekan seperti itu adalah hal yang biasa kami lakukan sehari-hari. Aku selalu menganggap Mbak Vera sebagai sosok kakak, selain kakak kandungku sendiri tentunya, karena usianya yang lebih tua. Aku merasa nyaman untuk membicarakan banyak hal dengannya, mulai dari soal pekerjaan, kehidupan, hingga urusan pribadi seperti hubungan percintaan. Terkadang bahkan ada hal-hal yang tidak sanggup aku sampaikan kepada Kak Amanda, tapi justru bisa aku ceritakan pada Mbak Vera.

Sebaliknya, Mbak Vera pun sering mencurahkan apapun yang tengah hinggap di pikirannya. Ia bahkan tidak malu membicarakan urusan ranjang dengan suaminya di hadapanku, seperti berapa sering mereka melakukannya dalam seminggu, dan dengan gaya yang seperti apa. Namun, karena aku belum pernah mempraktekkannya secara langsung, aku pun lebih banyak mendengarkan saja, dan hanya menjadikan cerita Mbak Vera sebagai pelajaran.

"Banyak makan tuh bikin badan makin sehat tahu. Cobain deh, biar badan lo bisa lebih berisi kayak gw."

"Ya lo makan banyak badannya tetep seksi kayak begitu. Kalau gw makan banyak yang ada malah berubah jadi gajah nanti," jawabku kecewa.

Aku akui tubuhku saat ini memang sedikit lebih langsing daripada dirinya, dengan ukuran payudara yang juga lebih mungil. Namun kalau urusan wajah, aku sebenarnya tidak merasa minder. Meski tidak terlalu tinggi, tetapi aku mempunyai paras yang selalu mengundang laki-laki untuk melirik, termasuk Mas Roni sang petugas keamanan kantor. Ahh, aku jadi sebal bila mengingat-ingat tingkah Mas Roni yang menyebalkan itu.

Aku hanya tertawa mendengar racauan Mbak Vera tadi. Di saat yang sama, aku mulai membereskan laptop di atas meja kerjaku dan memasukkannya ke dalam tas. Beberapa alat makeup yang tadi pagi aku keluarkan pun turut aku masukkan. Aktivitas tersebut membuat perempuan yang biasa duduk di sebelahku itu tampak bingung.

"Woy, belum jam lima neh," ujarnya menyebutkan waktu biasanya kami berdua meninggalkan kantor.

"Iya, tahu kok. Siapa juga yang bilang sekarang udah jam lima?"

"Nah itu lo udah beres-beres aja. Mau ke mana hayo?" Tanyanya penuh selidik.

"Ada wawancara Mbak, sama narasumber."

"Sama narasumber atau sama HRD? Mau pindah kerja ke mana sih, Astari?" Ujar Mbak Vera sambil mengikik.

"Kali ini beneran sama narasumber kok, hee," ia tahu betul betapa bosannya aku bekerja di tempat ini. Karena itu, Mbak Vera seringkali meledekku untuk buru-buru hijrah ke kantor lain yang bisa membuatku lebih nyaman.

Aku memang pernah beberapa kali menjalani proses rekrutmen untuk bergabung dengan perusahaan lain, tetapi belum ada yang cocok. Ada saat di mana aku suka sekali dengan sebuah perusahaan, tetapi aku malah gagal ketika menjalani tes. Ada juga saat di mana aku berhasil lolos tes dan sampai di tahap wawancara, tetapi tiba-tiba ada pertanda kurang baik tentang perusahaan tersebut, yang memaksaku untuk mundur. Serba salah memang.

"Owh, wawancara yang sama penulis itu ya?"

"Yup, betul. Sama Pak Raharjo, untuk tulisan yang membahas tren penulis junior dan penulis senior itu."

Saat makan siang tadi aku memang sempat membicarakan tentang tulisan tersebut dengan Mbak Vera, sehingga dia pasti mengingatnya. Kami memang sering bertukar informasi tentang tulisan yang sedang kami kerjakan. Dia sendiri mengaku sedang menyelidiki kasus perselingkuhan seorang selebriti, sebuah cerita yang sepertinya tak akan aku baca setelah terbit nanti. Aku tidak terlalu suka mengurusi masalah pribadi orang lain seperti itu. Namun tentu saja aku tidak berani mengatakan itu secara langsung di hadapan Mbak Vera, yang selalu menjadikan sifat keponya tersebut sebagai sarana untuk menulis berita.

"Mau ketemu di mana memangnya sama penulis yang namanya Raharjo itu?"

Aku berpikir sejenak harus menjawab apa. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, Mbak Vera pasti akan mencecarku dengan lebih banyak pertanyaan tambahan. Bisa-bisa aku terlambat untuk berangkat demi menjawab semua pertanyaan darinya.

Rasanya lebih baik apabila aku tidak mengatakan bahwa aku diundang untuk langsung datang ke rumah Om Raharjo. Dengan status sebagai duda, aku tahu betul bahwa ia pasti hanya sendirian saja tinggal di rumah tersebut.

Terasa mencurigakan memang apabila hanya ada aku dan dia, berduaan di sebuah tempat yang pasti akan sangat tertutup. Aku sebenarnya sempat berpikir untuk menolak, tetapi aku khawatir hal itu justru akan menyinggung Om Raharjo dan membuatnya enggan untuk menjadi narasumberku. Itu tentu merupakan masalah besar karena artinya penyelesaian tulisanku bisa menjadi tertunda, padahal editorku sudah sejak lama menagih tulisan ini.

"Di rumah makan yang ada di sekitar rumah dia, Mbak," akhirnya aku pun berbohong. "Memangnya kenapa?"

"Gak apa-apa, gw kepo aja, hee ..."

"Dasar Ratu Kepo," ujarku sambil menyebut julukan yang khas untuk seorang Vera Trisnawati. "Ya sudah, aku berangkat dulu ya Mbak. Bye."

Aku berjalan meninggalkannya dengan begitu terburu-buru, sampai tidak bisa mendengar apakah Mbak Vera menjawab salam perpisahan dariku atau tidak.

***​

Astari-1.jpg

Butuh waktu 45 menit bagiku untuk sampai di depan rumah Pak Raharjo. Bangunan tersebut berada di dalam sebuah komplek perumahan elit, yang setiap unit di dalamnya merupakan bangunan bertingkat dan setiap penghuninya mempunyai minimal sebuah mobil mewah di garasi mereka. Saat masuk, petugas keamanan sempat memintaku untuk menitipkan kartu identitas. Namun begitu aku mengatakan bahwa aku ingin berkunjung ke rumah Om Raharjo, petugas tersebut tidak jadi memintanya dan mempersilakan taksi online yang aku tumpangi untuk langsung masuk.

"Nanti langsung lurus saja, sampai perempatan belok kanan. Rumahnya nomor 20, adanya di sebelah kanan," ujar petugas keamanan tersebut menjelaskan.

Pengemudi taksi online yang mengantarkan aku pun mengangguk dan kembali menjalankan mobil mengikuti arahan tersebut.

"Apakah Om Raharjo telah mempersiapkan semuanya untuk menyambut kedatanganku?" Pikirku dalam hati. "Ah, tidak mungkin. Semua orang yang akan berkunjung ke rumah beliau pasti mendapatkan perlakuan yang sama."

Begitu turun dari mobil, aku langsung menekan tombol bel yang berada tepat di sisi pagar rumah. Kudengar suara musik menggema dari dalam rumah begitu bel kutekan. Tak sampai lima detik kemudian, pagar rumah tersebut bergeser ke samping, membuka jalan bagiku untuk masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang menggerakkan pagar tersebut, yang artinya ia bergeser secara otomatis.

Saat telah berada di balik pagar, aku bisa melihat bentuk rumah Om Raharjo dengan lebih jelas. Rumah tersebut tampak teduh dengan keberadaan beberapa pohon rindang di sekelilingnya. Terdapat beberapa ornamen kayu yang menempel di dinding, lengkap dengan sebuah kolam ikan di depan rumah yang terus mengeluarkan bunyi kecipak air. Pasti nyaman sekali menghabiskan waktu dengan duduk di teras rumah yang megah seperti ini, jauh berbeda dengan suasana rumahku yang begitu sederhana.

Aku belum selesai mengagumi struktur rumah tersebut, saat seorang lelaki paruh baya tampak keluar dari pintu utama rumah. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih dengan dua kancing bagian atas yang terbuka, menampakkan dada pemiliknya. Jelas sekali pria tersebut tidak mengenakan kaos dalam lagi di balik kemeja. Tubuhnya tidak bisa dibilang kekar, dan dadanya pun tidak mungkin disebut bidang, tapi ada aura berbeda yang kurasakan saat ia mendekat. Dengan gaya yang santai, ia berjalan ke arahku dengan celana jeans panjang berwarna biru gelap yang ia kenakan.

"Selamat datang di rumahku, Astari," ujar pria tersebut menyambutku.

"Selamat siang Om Raharjo," ujarku sambil menggapai tangannya untuk bersalaman. Ia pun langsung menyambutnya dan menggenggam tanganku dengan sopan.

"Ayo masuk ke dalam," ujar Om Raharjo sambil berjalan ke arah pintu utama tempatnya keluar tadi.

Aku pun mengikutinya dari belakang, sembari menjaga jarak sekitar satu meter di antara kami berdua. Terhirup aroma parfum yang cukup segar dari tubuh Om Raharjo yang berada di hadapanku. Sedangkan dari belakang, terdengar suara pagar yang kembali menutup secara otomatis. Aku tahu itu adalah teknologi yang sangat biasa di jaman sekarang, tetapi menyaksikannya berfungsi secara langsung tetap saja membuatku kagum.

Begitu kami berdua telah berada di dalam rumah, Om Raharjo pun menutup pintu, membuat jantungku berdebar kencang karena mengetahui hanya ada kami berdua di dalam rumah itu.

Setelah itu, Om Raharjo langsung menuju ke sebuah area di pojok rumah yang berbentuk seperti meja bar. Aku bisa melihat beberapa botol minuman keras tersimpan rapi di atas di rak, lengkap dengan gelas berbagai bentuk yang aku tahu biasa digunakan untuk meminum bir dan wine, hingga yang berukuran lebih kecil untuk meminum soju. Terdapat sebuah mesin pembuat kopi juga di atas meja, yang mungkin biasa digunakan Om Raharjo saat sedang tidak ingin meminum alkohol di pagi atau siang hari.

Secara otomatis, hanya dengan melihat meja bar tersebut beserta isinya, aku pun berusaha menebak-nebak bagaimana aktivitas keseharian penulis tua tersebut. Apakah dia selalu menenggak minuman keras di malam hari sebelum tidur? Apakah dia meminumnya sambil ditemani perempuan lain?

"Kamu mau minum apa?" Tanya Om Raharjo menyadarkanku dari lamunan aneh tersebut.

"Hmm, apa saja Om."

"Orange juice, mau?"

Sepertinya itu adalah pilihan yang bagus di saat siang hari seperti ini. Aku pun mengangguk tanda setuju. Dengan sigap, Om Raharjo menunduk dan membuka kulkas kecil yang terdapat di bawah meja. Ia langsung mengeluarkan botol berisi jus jeruk siap minum, dan menuangkannya ke dalam gelas. Tak lupa, ia pun menyajikan minuman yang sama untuk dirinya sendiri.

"Mau langsung saja wawancaranya?" Ujar Om Raharjo saat menyerahkan gelas minuman untukku.

"Boleh, Om. Enaknya di mana ya?" Jawabku sambil menyeruput jus jeruk yang terasa segar tersebut. Pilihanku meminta minuman ini memang sungguh tepat.

"Di sofa situ saja ya, di depan televisi. Sepertinya nyaman."

"Pas sih, kebetulan di rumah ini memang sepi gak ada suara yang berisik. Jadi hasil rekamannya juga akan lebih bagus," ujarku sambil mengikutinya menuju sofa.

Entah bagaimana ruangan di dalam rumah ini terasa begitu sejuk, meski tanpa pendingin ruangan. Mungkin arsiteknya memang mendesain agar sirkulasi udara di dalamnya tetap terjaga baik, meski di siang hari yang cukup terik. Dari ruangan tempatku berada, aku bisa langsung melihat teras belakang dengan lapisan rumput hijau dan sebuah kolam renang yang cukup besar. Antara ruangan ini dan tempat terbuka tersebut hanya dibatasi oleh barisan jendela lebar, yang bisa terbuka apabila digeser, serta bisa ditutup dengan tirai apabila sang penghuni menginginkan.

Aku dan Om Raharjo kini sudah duduk di sofa yang terpisah, tapi saling berhadapan. Setelah meletakkan gelas minumanku di atas meja, aku pun meletakkan alat perekam suara di sebelahnya, lalu menekan tombol untuk mulai merekam. Tak lupa, aku juga mengambil buku catatan dan pena dari dalam tas guna menuliskan hal-hal penting yang nanti akan beliau sampaikan.

"Aku mulai ya, Om. Jadi pertama-tama aku ingin ..."

"Kamu kemarin tanya kalau saya kesepian atau tidak kan?" Tiba-tiba Om Raharjo menyela kata-kataku, membuatku begitu kaget. Untuk apa sebenarnya dia mengingatkanku akan obrolan yang sebelumnya kami lakukan lewat telepon. "Melihat kondisi rumah ini, sepertinya kamu sudah tahu jawabannya apa."

"Eh, maaf Om. Aku tidak paham," aku khawatir kata-kataku yang memang cukup lancang kemarin telah membuatnya tersinggung. Namun itu ternyata hanya bagian dari rencananya untuk mencairkan suasana.

"Hahaa, saya hanya bercanda. Silakan mulai Astari, kamu mau tanya apa?"

Aku pun menghembuskan nafas dengan lega. Namun harus aku akui, ini adalah salah satu awal wawancara paling canggung yang pernah aku alami.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Baru sampai bagian 10. Belum nemu hal yang bisa dikoreksi sih, dan sejauh ini alurnya enak buat diikutin.
Walau awalnya agak susah ngebedain narasi Rahardjo dan narasi Amanda, karena terkesan sama,
Tapi setelah baca beberapa bagian dan tahu mereka berasal dari dunia yang sama (kepenulisan)
jadi wajar kalau cara mereka berpikir dan bertutur itu sama.
Tapi setelahnya udah mulai bisa ngebedain, tanpa ilustrasi Amanda udah bisa kerasa itu PoVnya dia.

Good job Bu, terusin yah tulisannya . jangan patah hati dan jengkel. nanti cepet muda
:banzai:
Halah belum ngopi toh sayaa....
 
Part 13: Wawancara

"Duh, setiap habis makan Nasi Padang, perut rasanya selalu penuh banget neh," ujar Mbak Vera sambil merebahkan badan di kursi kerjanya.

Ia mengelus-elus perutnya sendiri yang sedikit menggembung setelah kemasukan santapan makan siang yang baru saja kami nikmati berdua. Dalam hati, aku iri padanya karena bentuk tubuhnya yang indah bisa tetap terjaga dengan baik meski baru saja melahirkan anak pertama.

Setelah sembilan bulan mengandung, perutnya berhasil mengempis hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Karena itu, banyak rekan sesama karyawan di luar desk Humaniora dan Hiburan tempat aku dan Mbak Vera bekerja, yang tidak menyadari bahwa perempuan berusia 30 tahun tersebut telah mempunyai seorang anak. Celana yang selalu ia kenakan sebelum hamil pun sudah bisa kembali dipakai olehnya.

Bahkan, seusai menjalani cuti melahirkan dan kembali masuk kerja, ia masih menjadi perhatian para lelaki hidung belang nan mesum yang banyak beredar di gedung ini. Berbeda denganku yang biasa didekati oleh pria muda, Mbak Vera justru sering menarik atensi dari lelaki yang lebih tua darinya. Mungkin hal itu terjadi karena ukuran payudaranya yang mustahil tidak menjadi santapan mata jalang para lelaki. Terlebih setelah ukurannya yang sedikit membesar pasca melahirkan, karena ia masih dalam proses menyusui sang buah hati.

"Bagaimana gak penuh, nasinya aja satu setengah porsi. Belum ditambah sama lalapan dan ayam pop," cibirku.

"Ahh, ngeledek aja lo bisanya, Astari."

Kami berdua memang telah bersahabat dekat, sehingga melontarkan ledekan seperti itu adalah hal yang biasa kami lakukan sehari-hari. Aku selalu menganggap Mbak Vera sebagai sosok kakak, selain kakak kandungku sendiri tentunya, karena usianya yang lebih tua. Aku merasa nyaman untuk membicarakan banyak hal dengannya, mulai dari soal pekerjaan, kehidupan, hingga urusan pribadi seperti hubungan percintaan. Terkadang bahkan ada hal-hal yang tidak sanggup aku sampaikan kepada Kak Amanda, tapi justru bisa aku ceritakan pada Mbak Vera.

Sebaliknya, Mbak Vera pun sering mencurahkan apapun yang tengah hinggap di pikirannya. Ia bahkan tidak malu membicarakan urusan ranjang dengan suaminya di hadapanku, seperti berapa sering mereka melakukannya dalam seminggu, dan dengan gaya yang seperti apa. Namun, karena aku belum pernah mempraktekkannya secara langsung, aku pun lebih banyak mendengarkan saja, dan hanya menjadikan cerita Mbak Vera sebagai pelajaran.

"Banyak makan tuh bikin badan makin sehat tahu. Cobain deh, biar badan lo bisa lebih berisi kayak gw."

"Ya lo makan banyak badannya tetep seksi kayak begitu. Kalau gw makan banyak yang ada malah berubah jadi gajah nanti," jawabku kecewa.

Aku akui tubuhku saat ini memang sedikit lebih langsing daripada dirinya, dengan ukuran payudara yang juga lebih mungil. Namun kalau urusan wajah, aku sebenarnya tidak merasa minder. Meski tidak terlalu tinggi, tetapi aku mempunyai paras yang selalu mengundang laki-laki untuk melirik, termasuk Mas Roni sang petugas keamanan kantor. Ahh, aku jadi sebal bila mengingat-ingat tingkah Mas Roni yang menyebalkan itu.

Aku hanya tertawa mendengar racauan Mbak Vera tadi. Di saat yang sama, aku mulai membereskan laptop di atas meja kerjaku dan memasukkannya ke dalam tas. Beberapa alat makeup yang tadi pagi aku keluarkan pun turut aku masukkan. Aktivitas tersebut membuat perempuan yang biasa duduk di sebelahku itu tampak bingung.

"Woy, belum jam lima neh," ujarnya menyebutkan waktu biasanya kami berdua meninggalkan kantor.

"Iya, tahu kok. Siapa juga yang bilang sekarang udah jam lima?"

"Nah itu lo udah beres-beres aja. Mau ke mana hayo?" Tanyanya penuh selidik.

"Ada wawancara Mbak, sama narasumber."

"Sama narasumber atau sama HRD? Mau pindah kerja ke mana sih, Astari?" Ujar Mbak Vera sambil mengikik.

"Kali ini beneran sama narasumber kok, hee," ia tahu betul betapa bosannya aku bekerja di tempat ini. Karena itu, Mbak Vera seringkali meledekku untuk buru-buru hijrah ke kantor lain yang bisa membuatku lebih nyaman.

Aku memang pernah beberapa kali menjalani proses rekrutmen untuk bergabung dengan perusahaan lain, tetapi belum ada yang cocok. Ada saat di mana aku suka sekali dengan sebuah perusahaan, tetapi aku malah gagal ketika menjalani tes. Ada juga saat di mana aku berhasil lolos tes dan sampai di tahap wawancara, tetapi tiba-tiba ada pertanda kurang baik tentang perusahaan tersebut, yang memaksaku untuk mundur. Serba salah memang.

"Owh, wawancara yang sama penulis itu ya?"

"Yup, betul. Sama Pak Raharjo, untuk tulisan yang membahas tren penulis junior dan penulis senior itu."

Saat makan siang tadi aku memang sempat membicarakan tentang tulisan tersebut dengan Mbak Vera, sehingga dia pasti mengingatnya. Kami memang sering bertukar informasi tentang tulisan yang sedang kami kerjakan. Dia sendiri mengaku sedang menyelidiki kasus perselingkuhan seorang selebriti, sebuah cerita yang sepertinya tak akan aku baca setelah terbit nanti. Aku tidak terlalu suka mengurusi masalah pribadi orang lain seperti itu. Namun tentu saja aku tidak berani mengatakan itu secara langsung di hadapan Mbak Vera, yang selalu menjadikan sifat keponya tersebut sebagai sarana untuk menulis berita.

"Mau ketemu di mana memangnya sama penulis yang namanya Raharjo itu?"

Aku berpikir sejenak harus menjawab apa. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, Mbak Vera pasti akan mencecarku dengan lebih banyak pertanyaan tambahan. Bisa-bisa aku terlambat untuk berangkat demi menjawab semua pertanyaan darinya.

Rasanya lebih baik apabila aku tidak mengatakan bahwa aku diundang untuk langsung datang ke rumah Om Raharjo. Dengan status sebagai duda, aku tahu betul bahwa ia pasti hanya sendirian saja tinggal di rumah tersebut.

Terasa mencurigakan memang apabila hanya ada aku dan dia, berduaan di sebuah tempat yang pasti akan sangat tertutup. Aku sebenarnya sempat berpikir untuk menolak, tetapi aku khawatir hal itu justru akan menyinggung Om Raharjo dan membuatnya enggan untuk menjadi narasumberku. Itu tentu merupakan masalah besar karena artinya penyelesaian tulisanku bisa menjadi tertunda, padahal editorku sudah sejak lama menagih tulisan ini.

"Di rumah makan yang ada di sekitar rumah dia, Mbak," akhirnya aku pun berbohong. "Memangnya kenapa?"

"Gak apa-apa, gw kepo aja, hee ..."

"Dasar Ratu Kepo," ujarku sambil menyebut julukan yang khas untuk seorang Vera Trisnawati. "Ya sudah, aku berangkat dulu ya Mbak. Bye."

Aku berjalan meninggalkannya dengan begitu terburu-buru, sampai tidak bisa mendengar apakah Mbak Vera menjawab salam perpisahan dariku atau tidak.

***​

Butuh waktu 45 menit bagiku untuk sampai di depan rumah Pak Raharjo. Bangunan tersebut berada di dalam sebuah komplek perumahan elit, yang setiap unit di dalamnya merupakan bangunan bertingkat dan setiap penghuninya mempunyai minimal sebuah mobil mewah di garasi mereka. Saat masuk, petugas keamanan sempat memintaku untuk menitipkan kartu identitas. Namun begitu aku mengatakan bahwa aku ingin berkunjung ke rumah Om Raharjo, petugas tersebut tidak jadi memintanya dan mempersilakan taksi online yang aku tumpangi untuk langsung masuk.

"Nanti langsung lurus saja, sampai perempatan belok kanan. Rumahnya nomor 20, adanya di sebelah kanan," ujar petugas keamanan tersebut menjelaskan.

Pengemudi taksi online yang mengantarkan aku pun mengangguk dan kembali menjalankan mobil mengikuti arahan tersebut.

"Apakah Om Raharjo telah mempersiapkan semuanya untuk menyambut kedatanganku?" Pikirku dalam hati. "Ah, tidak mungkin. Semua orang yang akan berkunjung ke rumah beliau pasti mendapatkan perlakuan yang sama."

Begitu turun dari mobil, aku langsung menekan tombol bel yang berada tepat di sisi pagar rumah. Kudengar suara musik menggema dari dalam rumah begitu bel kutekan. Tak sampai lima detik kemudian, pagar rumah tersebut bergeser ke samping, membuka jalan bagiku untuk masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang menggerakkan pagar tersebut, yang artinya ia bergeser secara otomatis.

Saat telah berada di balik pagar, aku bisa melihat bentuk rumah Om Raharjo dengan lebih jelas. Rumah tersebut tampak teduh dengan keberadaan beberapa pohon rindang di sekelilingnya. Terdapat beberapa ornamen kayu yang menempel di dinding, lengkap dengan sebuah kolam ikan di depan rumah yang terus mengeluarkan bunyi kecipak air. Pasti nyaman sekali menghabiskan waktu dengan duduk di teras rumah yang megah seperti ini, jauh berbeda dengan suasana rumahku yang begitu sederhana.

Aku belum selesai mengagumi struktur rumah tersebut, saat seorang lelaki paruh baya tampak keluar dari pintu utama rumah. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih dengan dua kancing bagian atas yang terbuka, menampakkan dada pemiliknya. Jelas sekali pria tersebut tidak mengenakan kaos dalam lagi di balik kemeja. Tubuhnya tidak bisa dibilang kekar, dan dadanya pun tidak mungkin disebut bidang, tapi ada aura berbeda yang kurasakan saat ia mendekat. Dengan gaya yang santai, ia berjalan ke arahku dengan celana jeans panjang berwarna biru gelap yang ia kenakan.

"Selamat datang di rumahku, Astari," ujar pria tersebut menyambutku.

"Selamat siang Om Raharjo," ujarku sambil menggapai tangannya untuk bersalaman. Ia pun langsung menyambutnya dan menggenggam tanganku dengan sopan.

"Ayo masuk ke dalam," ujar Om Raharjo sambil berjalan ke arah pintu utama tempatnya keluar tadi.

Aku pun mengikutinya dari belakang, sembari menjaga jarak sekitar satu meter di antara kami berdua. Terhirup aroma parfum yang cukup segar dari tubuh Om Raharjo yang berada di hadapanku. Sedangkan dari belakang, terdengar suara pagar yang kembali menutup secara otomatis. Aku tahu itu adalah teknologi yang sangat biasa di jaman sekarang, tetapi menyaksikannya berfungsi secara langsung tetap saja membuatku kagum.

Begitu kami berdua telah berada di dalam rumah, Om Raharjo pun menutup pintu, membuat jantungku berdebar kencang karena mengetahui hanya ada kami berdua di dalam rumah itu.

Setelah itu, Om Raharjo langsung menuju ke sebuah area di pojok rumah yang berbentuk seperti meja bar. Aku bisa melihat beberapa botol minuman keras tersimpan rapi di atas di rak, lengkap dengan gelas berbagai bentuk yang aku tahu biasa digunakan untuk meminum bir dan wine, hingga yang berukuran lebih kecil untuk meminum soju. Terdapat sebuah mesin pembuat kopi juga di atas meja, yang mungkin biasa digunakan Om Raharjo saat sedang tidak ingin meminum alkohol di pagi atau siang hari.

Secara otomatis, hanya dengan melihat meja bar tersebut beserta isinya, aku pun berusaha menebak-nebak bagaimana aktivitas keseharian penulis tua tersebut. Apakah dia selalu menenggak minuman keras di malam hari sebelum tidur? Apakah dia meminumnya sambil ditemani perempuan lain?

"Kamu mau minum apa?" Tanya Om Raharjo menyadarkanku dari lamunan aneh tersebut.

"Hmm, apa saja Om."

"Orange juice, mau?"

Sepertinya itu adalah pilihan yang bagus di saat siang hari seperti ini. Aku pun mengangguk tanda setuju. Dengan sigap, Om Raharjo menunduk dan membuka kulkas kecil yang terdapat di bawah meja. Ia langsung mengeluarkan botol berisi jus jeruk siap minum, dan menuangkannya ke dalam gelas. Tak lupa, ia pun menyajikan minuman yang sama untuk dirinya sendiri.

"Mau langsung saja wawancaranya?" Ujar Om Raharjo saat menyerahkan gelas minuman untukku.

"Boleh, Om. Enaknya di mana ya?" Jawabku sambil menyeruput jus jeruk yang terasa segar tersebut. Pilihanku meminta minuman ini memang sungguh tepat.

"Di sofa situ saja ya, di depan televisi. Sepertinya nyaman."

"Pas sih, kebetulan di rumah ini memang sepi gak ada suara yang berisik. Jadi hasil rekamannya juga akan lebih bagus," ujarku sambil mengikutinya menuju sofa.

Entah bagaimana ruangan di dalam rumah ini terasa begitu sejuk, meski tanpa pendingin ruangan. Mungkin arsiteknya memang mendesain agar sirkulasi udara di dalamnya tetap terjaga baik, meski di siang hari yang cukup terik. Dari ruangan tempatku berada, aku bisa langsung melihat teras belakang dengan lapisan rumput hijau dan sebuah kolam renang yang cukup besar. Antara ruangan ini dan tempat terbuka tersebut hanya dibatasi oleh barisan jendela lebar, yang bisa terbuka apabila digeser, serta bisa ditutup dengan tirai apabila sang penghuni menginginkan.

Aku dan Om Raharjo kini sudah duduk di sofa yang terpisah, tapi saling berhadapan. Setelah meletakkan gelas minumanku di atas meja, aku pun meletakkan alat perekam suara di sebelahnya, lalu menekan tombol untuk mulai merekam. Tak lupa, aku juga mengambil buku catatan dan pena dari dalam tas guna menuliskan hal-hal penting yang nanti akan beliau sampaikan.

"Aku mulai ya, Om. Jadi pertama-tama aku ingin ..."

"Kamu kemarin tanya kalau saya kesepian atau tidak kan?" Tiba-tiba Om Raharjo menyela kata-kataku, membuatku begitu kaget. Untuk apa sebenarnya dia mengingatkanku akan obrolan yang sebelumnya kami lakukan lewat telepon. "Melihat kondisi rumah ini, sepertinya kamu sudah tahu jawabannya apa."

"Eh, maaf Om. Aku tidak paham," aku khawatir kata-kataku yang memang cukup lancang kemarin telah membuatnya tersinggung. Namun itu ternyata hanya bagian dari rencananya untuk mencairkan suasana.

"Hahaa, saya hanya bercanda. Silakan mulai Astari, kamu mau tanya apa?"

Aku pun menghembuskan nafas dengan lega. Namun harus aku akui, ini adalah salah satu awal wawancara paling canggung yang pernah aku alami.

(Bersambung)
Finally update, thank you suhu @fathimah 🙏🙏
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd