Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

The GODFATHER - original by Mario Puzo

Malming sambil baca apdetan godfather enaak ni,, ayo bro apdet, :D
 
===SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA===


maaf nih jd lambat updatenya.selain saya lagi gila2an jadwal,sempet sakit dan juga apes banget kapan hari tab saya mati total lebih dr seminggu.jd bener2 tersendat.

tenang aja,saya pasti tamatin cerita ini soalnya saya sendiri ga suka kalo baca cerita ga sampe tamat.

Terimakasih yg masih stay gelar tiker disini,juga makasih banyak buat semua komen dan grp yang dikirim.apapun itu...ai lop yu brader n sister semproters.


Sekali lagi maaf yang sebesar2nya buat yg udah nunggu


Regards,

Rockmantic



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
 
● BUKU DUA ●


BAB 12a

Johnny Fontane melambai santai untuk mengusir pelayan dan berkata, "Sampai ketemu besok pagi, Billy."

Kepala pelayan berkulit berwarna itu membungkuk sebelum keluar dari ruang makan yang sekaligus ruang duduk luas, dengan jendela menghadap Samudra Pasifik. Ia membungkuk sebagai ucapan selamat berpisah yang bersahabat, bukan sebagai pelayan, dan hanya dilakukan karena Johnny Fontane menjamu tamu untuk makan malamnya.

Tamu Johnny bernama Sharon Moore, gadis dari Greenwich Village, New York City. Ia pergi ke Hollywood untuk mencoba mendapat peran kecil dalam film yang diproduksi mantan kekasih yang sukses. Ia mengunjungi studio sewaktu Johnny berakting dalam film Woltz. Johnny menganggap gadis yang masih muda dan segar ini mempesona dan cerdas, dan mengundangnya makan malam di rumahnya sore hari itu. Undangan makan malamnya terkenal dan memiliki kekuatan seperti perintah raja. Tentu saja gadis itu menerima. Sharon Moore jelas menganggap Johnny akan langsung menyerbunya karena reputasinya, tapi Johnny membenci pendekatan "sepotong daging" gaya Hollywood. Ia meniduri gadis hanya kalau ada yang benar-benar disukainya pada diri gadis itu. Kecuali, tentu saja, waktu ia kadang mabuk berat dan mendapati dirinya di ranjang bersama gadis yang bahkan tidak diingatnya kapan atau di mana ia menemuinya.

Dan sekarang Johnny Fontane berusia 35 tahun, pernah bercerai, berpisah dengan istri keduanya, dan mungkin karena sudah meniduri seribu wanita, ia tidak terlalu bergairah. Tapi ada sesuatu pada diri Sharon Moore yang membangkitkan rasa sayang dalam dirinya hingga ia mengundang gadis itu makan malam.

Ia tidak pernah makan banyak, tapi mengetahui gadis muda yang cantik sengaja menahan lapar agar bisa mengenakan pakaian-pakaian indah dan biasanya makan banyak saat kencan sehingga ia menyajikan berbagai makanan di meja. Juga tersedia minuman yang melimpah; sampanye dalam ember, scotch, rye, brendi, dan minuman keras lain di meja dekat dinding. Johnny menyajikan minuman dan piring-piring makan telah disiapkan.

Sesudah mereka makan, Johnny mengajak gadis itu ke ruang tengah yang luas dengan dinding kaca menghadap Samudra Pasifik. Ia memasang piringan hitam Ella Fitzgerald pada hi-fi set dan duduk santai di sofa bersama Sharon. Ia bercakap-cakap santai dengan Sharon dan menyelidiki seperti apa gadis itu ketika masih kanak-kanak, apakah ia tomboi atau gadis yang gila cowok, apakah sederhana atau cantik, kesepian atau periang. Johnny Fontane menganggap rincian seperti itu menarik, selalu membangkitkan kelembutan yang diperlukannya untuk bercinta.

Mereka duduk berpelukan di sofa, sangat akrab, sangat nyaman. Johnny mencium bibir gadis itu, ciuman persahabatan yang tenang, dan kalau gadis itu membatasi hanya sampai di situ, ia pun akan menurut. Di luar dinding kaca yang lebar, ia bisa melihat Samudra Pasifik yang biru dan rata di bawah sinar bulan.

"Kenapa kau tidak memutar salah satu rekamanmu sendiri?" tanya Sharon. Nadanya menggoda.

Johnny tersenyum padanya. Ia senang gadis itu menggodanya. "Aku tidak se-Hollywood itu," katanya.

"Putarkan rekamanmu untukku," kata Sharon. "Atau menyanyilah untukku. Kau tahu, seperti di film. Aku akan merasa bangga sekali dan meleleh tidak berdaya seperti gadis-gadis di layar putih."

Johnny langsung tertawa. Sewaktu lebih muda, ia melakukan tepat seperti itu, dan hasilnya selalu seperti dibuat-buat, gadis-gadis berusaha tampak seksi dan menyerah, membuat mata mereka dipenuhi gairah untuk kamera khayalan. Sekarang ia tidak pernah bermimpi menyanyi lagi bagi gadis; salah satu alasannya, ia sudah berbulan-bulan tidak bernyanyi, dan ia tidak lagi mempercayai suaranya. Penyebab lain, orang awam tidak menyadari betapa besar ketergantungan para profesional pada bantuan teknis agar suara mereka terdengar begitu bagus. Ia bisa memutar rekamannya tapi malu mendengar suara masa mudanya yang penuh semangat, seperti pria paro baya botak dan gemuk yang memperlihatkan foto dirinya di masa muda yang penuh kejantanan.

"Suaraku tidak seperti dulu lagi," katanya. "Dan sungguh, aku muak mendengar nyanyianku sendiri."

Mereka berdua menghirup minuman masing-masing.

"Kudengar kau hebat di film ini," kata Sharon. "Apa benar kau melakukannya tanpa dibayar?"

"Hanya bayaran sekadarnya," kata Johnny. Ia berdiri untuk mengisi kembali gelas brendi Sharon, memberinya sebatang rokok bermonogram emas, dan menyalakan korek untuk gadis itu.

Sharon mengembuskan asap rokok dan menghirup minuman. Johnny kembali duduk di sisinya. Isi gelas brendinya lebih banyak daripada gelas Sharon, sebab ia perlu menghangatkan tubuh, menggembirakan hati, membangkitkan semangat. Situasinya berlawanan dengan percintaan biasa. Ia harus memabukkan diri, bukan memabukkan si gadis. Biasanya gadisnya terlalu bernafsu, sementara ia sendiri tidak. Selama dua tahun terakhir ia merasakan martabat dirinya merosot drastis, dan ia menggunakan cara yang sederhana itu untuk memulihkannya tidur dengan gadis yang masih segar, mengajaknya makan malam beberapa kali, memberinya hadiah mahal, lalu menyingkirkannya dengan cara paling manis yang bisa dilakukannya sehingga tidak menyakiti hati gadis itu. Kemudian mereka selalu bisa mengatakan pernah berhubungan dengan Johnny Fontane yang terkenal. Itu bukan cinta sejati, tapi orang tidak bisa menolak kalau gadisnya cantik dan benar-benar baik. Ia membenci wanita yang keras dan menyebalkan, wanita yang bercinta dengannya lalu memberitahu teman-temannya bahwa ia pernah bercinta dengan Johnny Fontane yang terkenal, selalu menambahkan bahwa mereka pernah merasakan yang lebih dahsyat. Yang membuatnya lebih tertegun lagi dibandingkan apa pun sepanjang kariernya adalah para suami pasrah yang nyaris memberitahunya terang-terangan bahwa mereka memaafkan istri mereka karena wanita yang paling suci sekalipun boleh berselingkuh dengan penyanyi dan bintang film besar seperti Johnny Fontane. Itu benar-benar membuatnya terpana. Ia menyukai rekaman lagu-lagu Ella Fitzgerald. Ia menyukai nyanyian bersih seperti itu, lantunan kata-kata sejenuh itu. Itulah satu-satunya yang dipahaminya dalam hidup ini dan ia mengetahui ia lebih memahaminya daripada siapa pun di bumi ini.

Sekarang, menyandar di sofa, brendi menghangatkan kerongkongannya, ia merasakan keinginan bernyanyi, bukan bermain musik, tapi mengikuti rekamannya. Namun ia mustahil berbuat begitu di depan orang tak dikenal. Ia meletakkan tangannya yang bebas di pangkuan Sharon, menghirup minuman di tangannya yang lain. Tanpa kelicikan apa pun tapi dengan sensualitas kanak-kanak yang mencari kehangatan, tangannya di pangkuan Sharon menarik gaun sutranya ke atas hingga menampakkan kulit paha yang seputih susu di atas stoking jala emas tipis, dan seperti biasa, biarpun sudah meniduri banyak wanita selama bertahun-tahun, sehingga semua terasa biasa, Johnny merasakan kehangatan yang cair membanjiri tubuhnya saat melihat pemandangan itu. Keajaiban masih terjadi, dan apa yang akan dilakukannya kalau keajaiban itu juga gagal seperti suaranya?

Ia siap sekarang. Ia meletakkan minuman di meja cocktail panjang dan memutar tubuh menghadap Sharon. Ia sangat yakin, sangat hati-hati, tapi lembut. Tidak ada kelicikan atau nafsu dalam belaiannya. Ia mencium bibir Sharon sementara tangannya merayap ke payudara gadis itu. Tangannya jatuh ke paha Sharon yang hangat, kulit Sharon terasa bagai sutra saat disentuh. Ciuman balasan Sharon hangat tapi tidak bernafsu dan Johnny lebih suka begitu saat ini. Ia benci gadis yang tiba-tiba bernafsu seakan tubuh mereka mesin yang tiba-tiba hidup akibat sentuhan sakelar berbulu.

Lalu Johnny melakukan apa yang selalu dilakukannya, apa yang tidak pernah gagal merangsang dirinya. Dengan hati-hati dan seringan mungkin tapi masih bisa terasa, ia menyapukan ujung jari tengahnya jauh di dalam sela paha Sharon. Ada gadis yang bahkan tidak merasakan langkah awal menuju percintaan itu. Beberapa gadis teralih perhatiannya, tidak yakin sentuhan itu benar-benar terjadi, karena pada saat yang bersamaan Johnny selau mencium bibir mereka dalam-dalam. Sekalipun begitu, ada gadis-gadis yang seakan mengisap jarinya atau melahapnya dengan gerakan pinggul. Dan, tentu saja, sebelum ia terkenal, ada gadis-gadis yang menampar wajahnya. Itulah seluruh tekniknya dan biasanya cukup berhasil.

Reaksi Sharon tidak biasa. Ia menerima semuanya, sentuhannya, ciumannya, tapi lalu menjauhkan bibirnya dari bibir Johnny, mundur sedikit di sofa, dan meraih minuman. Tindakannya tenang tapi jelas merupakan penolakan.

Terkadang terjadi seperti itu. Jarang; tapi pernah. Johnny meraih minuman dan menyulut sebatang rokok.

Sharon berbicara dengan sangat manis, sangat hati-hati. "Bukan karena aku tidak menyukaimu, Johnny, kau lebih manis daripada dugaanku. Dan bukan karena aku bukan gadis seperti itu. Hanya saja aku harus terangsang dulu untuk melakukannya dengan pria, kau mengerti maksudku?"

Johnny Fontane tersenyum padanya. "Dan aku tidak merangsangmu?"

Sharon agak malu. "Yah, kau tahu, sewaktu kau begitu hebat sebagai penyanyi, aku masih kecil. Aku seperti kehilangan kau, aku dari generasi berikut. Sungguh, bukan berarti aku sok alim. Seandainya kau menjadi bintang film sewaktu aku tumbuh dewasa, dalam sekejap mata aku pasti sudah menyerbumu."

Sekarang Johnny tidak terlalu menyukainya. Sharon manis, cerdas, dan begitu pandai. Sharon tidak langsung takluk di bawah telapak kakinya atau menipunya karena koneksinya akan memberi banyak bantuan dalam bisnis pertunjukan. Sharon benar-benar gadis yang jujur. Tapi ada sesuatu yang dikenali Johnny. Kejadian seperti ini pernah terjadi beberapa kali. Ada gadis yang mau diajak kencan dengan tekad bulat tidak akan bersedia diajaknya ke tempat tidur, tidak peduli sebesar apa gadis itu menyukai dirinya, hanya agar bisa bercerita pada teman-temannya, dan terlebih lagi, pada dirinya sendiri, bahwa ia pernah menolak kesempatan bercinta dengan Johnny Fontane yang terkenal. Ia memahami hal itu sekarang, sesudah dirinya lebih tua, dan ia tidak marah karenanya. Ia hanya tidak terlalu menyukai gadis ini, walau tadi ia sangat menyukainya.

Dan sekarang sesudah merasa tidak begitu menyukai gadis itu, ia merasa lebih santai. Ia menenggak minuman dan memandangi Samudra Pasifik.

Sharon berkata, "Kuharap kau tidak marah, Johnny. Kurasa aku terlalu lurus, kurasa di Hollywood seorang gadis melakukannya dengan mudah seperti mencium pria sebagai ucapan selamat malam. Tapi aku belum lama tinggal di sini."

Johnny tersenyum padanya dan menepuk pipinya. Tangannya turun untuk merapikan gaun gadis itu di atas lututnya yang membulat dan mulus seperti sutra. "Aku tidak marah," katanya. "Senang berkencan seperti zaman dulu."

Ia tidak mengatakan apa yang dirasakannya: rasa lega karena tidak harus membuktikan diri sebagai pencinta yang hebat, tidak harus membuktikan citranya di layar putih yang seperti dewa. Tidak harus mendengarkan si gadis berusaha bereaksi seakan ia sesuai dengan citra tersebut, membesar-besarkan suatu hal melebihi kenyataan.
Mereka minum lagi, berciuman beberapa kali, kemudian Sharon memutuskan untuk pergi. Johnny berkata sopan, "Boleh aku mengajakmu makan malam kapan-kapan?"

Sharon tetap terus terang dan jujur sampai akhir. "Aku tahu kau tidak ingin membuang-buang waktu kemudian kecewa," katanya. "Terima kasih untuk sore yang indah ini. Pada suatu hari kelak aku akan bercerita pada anak-anakku bahwa aku pernah makan malam bersama Johnny Fontane yang termasyhur, hanya berdua di apartemennya."

Johnny tersenyum padanya. "Dan bahwa kau tidak menyerah," katanya.

Mereka berdua tertawa.

"Mereka tidak akan mempercayai itu," kata Sharon.

Lalu Johnny ganti sedikit berbohong, berkata, "Aku akan memberikan pernyataan tertulis, kau mau?"

Sharon menggeleng.

Johnny meneruskan, "Setiap orang akan meragukan kata-katamu; kalau itu sampai terjadi, teleponlah aku, dan aku akan meluruskannya. Akan kukatakan pada mereka bagaimana aku mengejar-ngejarmu di apartemen tapi kau tetap mempertahankan kehormatan. Oke?"

Akhirnya Johnny terlampau kejam dan terkejut melihat ekspresi sakit hati pada wajah Sharon yang muda. Sharon mengerti bahwa Johnny secara tidak langsung mengatakan ia tidak berusaha terlalu keras. Johnny merebut kemanisan kemenangan dari dirinya. Kini ia merasa pasti dirinya yang kurang mempesona atau kurang menarik yang menyebabkan ia menjadi pemenang malam itu. Dan sebagai gadis yang jujur, ketika menceritakan bagaimana ia menolak Johnny Fontane yang hebat, ia akan selalu menambahkan dengan senyum masam, "Tentu saja, ia tidak berusaha terlalu keras."

Maka kini dengan rasa belas kasihan padanya, Johnny berkata, "Kalau kau merasa jemu, teleponlah aku. Oke? Aku tidak harus bercinta dengan setiap gadis yang kukenal."

"Baiklah," kata Sharon. Ia pergi ke pintu.

Johnny ditinggalkan dengan sisa sore yang masih panjang. Ia bisa menggunakan apa yang disebut Jack Woltz "pabrik daging", kandang penuh bintang muda yang bersedia diajak berkencan, tapi ia memerlukan teman dalam hubungan yang manusiawi. Ia ingin bercakap-cakap seperti manusia pada umumnya. Ia ingin memikirkan istri pertamanya, Virginia.

Sekarang setelah pekerjaan film selesai, ia akan punya banyak waktu lebih banyak untuk anak-anak. Ia ingin menjadi bagian dari kehidupan mereka lagi. Dan ia juga mengkhawatirkan Virginia. Wanita itu tidak siap menghadapi laki-laki hidung belang Hollywood yang mungkin akan datang mengejarnya hanya supaya bisa membual bahwa mereka pernah menggauli istri Johnny Fontane.

Sejauh yang diketahuinya, belum ada laki-laki yang membual seperti itu. Tapi setiap orang bisa bicara begitu tentang istri keduanya, pikir Johnny kesal. Ia mengangkat telepon.

Johnny seketika mengenali suara istrinya dan itu tidak mengherankan. Ia mendengarnya pertama kali ketika berumur sepuluh tahun dan mereka di 4B bersama-sama, "Hai, Ginny," katanya. "Kau sibuk malam ini? Boleh aku datang ke rumahmu sebentar?"

"Baiklah," kata Virginia, "tapi anak-anak sudah tidur; aku tidak ingin membangunkan mereka."

"Tidak apa-apa," kata Johnny. "Aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu."

Suara Virginia terdengar agak ragu-ragu, lalu dikendalikan dengan hati-hati agar tidak memperdengarkan kekhawatiran. Ia bertanya, "Apakah masalahnya berat, penting?"

"Tidak," jawab Johnny. "Aku baru saja menyelesaikan film hari ini dan kupikir mungkin aku bisa menemuimu dan mengobrol sedikit. Mungkin aku bisa menengok anak-anak kalau kau yakin mereka tidak akan terbangun."

"Oke," kata Virginia. "Aku ikut senang kau mendapat peran yang kauinginkan."

"Terima kasih," kata Johnny. "Akan kutemui kau kira-kira setengah jam lagi."

***

Setelah tiba di rumah yang dulu miliknya di Beverly Hills, Johnny Fontane duduk di mobil sejenak, memandangi rumah. Ia teringat pada apa yang dikatakan Godfather, bahwa ia bisa membuat kehidupan seperti yang diinginkannya. Tapi apa yang diinginkannya?
Istri pertamanya menunggunya di pintu. Ia cantik, mungil, berambut cokelat, gadis Italia yang manis, anak tetangga yang tidak pernah bermain dengan pria lain, dan itu penting baginya. Apakah aku masih menginginkan Virginia? tanya Johnny dalam hati, dan jawabannya adalah tidak. Salah satu alasannya, ia tidak lagi bisa bercinta dengan Virginia, kasih sayang mereka telah terlalu tua.

Dan ada beberapa alasan kini yang tidak berkaitan dengan seks, istrinya tidak akan bisa memaafkannya. Tapi mereka tidak lagi bermusuhan.

Virginia menyeduhkan kopi dan menyajikan kue buatan sendiri di ruang duduk. "Santailah di sofa," katanya. "Kau tampak kelelahan."

Johnny menanggalkan jas dan sepatu, mengendurkan dasi sementara istrinya duduk di kursi di hadapannya sambil tersenyum sedih. "Lucu sekali," katanya.

"Apanya yang lucu?" tanya Johnny, sambil menghirup kopi yang tercecer sedikit di kemejanya.

"Johnny Fontane yang terkenal tidak punya teman kencan," kata Virginia.

"Johnny Fontane yang terkenal beruntung kalau bisa mendapatkan teman kencan lagi," kata Johnny. Johnny tidak biasa bicara seterus terang ini.

Ginny bertanya, "Apakah ada yang benar-benar merupakan masalah?"

Johnny tersenyum padanya. "Aku kencan dengan gadis di apartemenku dan ia menolak ajakanku. Tapi aku justru merasa lega."

Johnny heran melihat kemarahan melintas di wajah Ginny. "Jangan cemas memikirkan sundal kecil itu," kata Ginny. "Ia pasti menganggap itu cara agar kau tertarik padanya."

Dan Johnny menyadari dengan geli bahwa Ginny benar-benar marah pada gadis yang menolak dirinya tersebut.

"Ah, persetan," kata Johnny. "Aku sudah bosan dengan hal-hal seperti itu. Aku harus dewasa, bukan? Dan sekarang sesudah tidak bisa menyanyi lagi, kurasa aku akan mengalami kesulitan dengan gadis-gadis. Kau tahu, aku tidak pernah bisa mengandalkan tampangku."

Ginny berkata dengan loyal, "Kau tampak lebih tampan daripada fotomu."

Johnny menggeleng. "Aku mulai gemuk dan botak. Persetan, kalau film ini tidak bisa membuatku menjadi besar lagi, sebaiknya aku belajar cara membuat pizza. Atau mungkin sebaiknya kubawa kau ke dunia film, kau tampak hebat."

Ginny tampak sebagaimana usianya yang sudah 35 tahun. Wanita berusia 35 tahun yang cantik, tapi tetap saja berusia 35 tahun. Dan di Hollywood itu sama saja dengan usia seratus tahun. Gadis-gadis muda yang cantik berderet di kota seperti tikus kutub, hanya bertahan selama setahun, ada yang hingga dua tahun. Beberapa di antara mereka begitu cantik sehingga bisa menyebabkan jantung para pria nyaris berhenti berdetak sampai mereka membuka mulut, sampai harapan serakah tentang keberhasilan menggelapkan kecantikan mata mereka. Wanita biasa tidak boleh berharap bisa bersaing dengan mereka secara fisik. Dan orang bisa berbicara sebanyak yang diinginkannya tentang pesona, kecerdasan, kerapian berpakaian, sikap yang menawan, kecantikan gadis-gadis ini mengalahkan segalanya. Mungkin kalau tidak terlalu banyak gadis seperti mereka, akan ada peluang bagi wanita biasa yang cantik. Dan karena Johnny Fontane bisa memiliki mereka semua, atau nyaris mereka semua, Ginny mengetahui Johnny mengatakan begitu hanya untuk menyenangkan hatinya. Sikap Johnny memang selalu semanis itu.

Johnny sejak dulu sopan pada wanita, bahkan di puncak ketenarannya, senang memuji mereka, menyalakan rokok mereka dengan korek apinya, membukakan pintu bagi mereka. Dan karena semua itu biasanya dilakukan orang bagi dirinya, tindakan tersebut terasa semakin mengesankan bagi gadis-gadis yang dikencaninya. Dan Johnny melakukannya untuk semua wanita, bahkan wanita yang hanya berkencan semalam dengannya, gadis yang bahkan namanya sama sekali tidak diketahuinya.

Ginny tersenyum padanya, senyum ramah. "Kau sudah menjadikan diriku bintang film, Johnny, ingat? Selama dua belas tahun. Kau tidak perlu berbuat begitu lagi untukku."

Johnny menghela napas dan menjulurkan kaki di sofa. "Sungguh, Ginny, kau tampak hebat. Aku ingin sekali bisa tampak sehebat dirimu."

Ginny tidak menjawab. Ia bisa melihat Johnny merasa tertekan. "Menurutmu film itu bagus? Apa film itu akan berguna bagimu?" tanyanya.

Johnny mengangguk. "Yeah. Film itu bisa membuatku terkenal kembali. Kalau bisa mendapatkan Oscar dan memainkan kartuku dengan baik, aku bisa menjadi besar lagi bahkan tanpa menyanyi. Lalu mungkin aku bisa memberimu dan anak-anak uang yang lebih banyak."

"Kami sudah mendapatkan lebih dari cukup," kata Ginny.

"Aku juga ingin lebih sering bertemu anak-anak," kata Johnny. "Aku ingin menenangkan diri sebentar. Kenapa aku tidak boleh datang kemari setiap Jumat malam untuk makan di sini? Aku bersumpah tidak akan melewatkan satu hari Jumat pun, tidak peduli seberapa jauh atau sesibuk apa pun aku dengan pekerjaan. Dan setiap kali bisa, aku akan melewatkan akhir pekan dengan anak-anak atau mereka melewatkan sebagian liburan bersamaku."

Ginny meletakkan asbak di dada Johnny. "Aku tidak keberatan," katanya. "Aku tidak menikah lagi karena ingin kau selalu menjadi ayah mereka."

Ia mengatakannya tanpa emosi apa pun. Tapi Johnny Fontane, yang menatap langit-langit, mengetahui istrinya mengatakan hal itu sebagai penebusan atas hal-hal lain, atas kata-kata kejam yang pernah dilontarkan istrinya padanya sewaktu pernikahan mereka berantakan, sewaktu kariernya mulai merosot.

"Oh ya, coba tebak siapa yang meneleponku," kata Ginny.

Johnny tidak suka menebak, tidak pernah. "Siapa?" tanyanya.

Ginny berkata, "Kau boleh menebak satu kali."

Johnny tidak menjawab.

"Ayah baptismu," kata Ginny.

Johnny benar-benar terkejut. "Ia tidak pernah berbicara pada siapa pun melalui telepon. Apa yang dikatakannya padamu?"

"Ia memintaku membantumu," jawab Ginny. "Katanya kau bisa mencapai kebesaranmu seperti dulu lagi, bahwa kau dalam perjalanan kembali, tapi kau membutuhkan orang yang mempercayai dirimu. Kutanyakan padanya kenapa harus aku. Dan katanya karena kau ayah anak-anakku. Ia orangtua yang begitu manis dan mereka menyebarkan cerita-cerita mengerikan tentang dirinya."

Virginia membenci telepon dan memutus semua sambungan kecuali di kamar tidur dan dapur. Sekarang mereka bisa mendengar suara telepon di dapur berdering. Ia pergi untuk menerimanya. Sekembalinya ia ke ruang duduk, ekspresi wajahnya memancarkan keheranan. "Telepon untukmu, Johnny," katanya. "Dari Tom Hagen. Katanya penting."

Johnny pergi ke dapur dan mengangkat telepon. "Yeah, Tom," katanya.

Suara Tom Hagen terdengar dingin. "Johnny, Godfather memintaku menemuimu dan mengatur beberapa hal agar kau bisa keluar sekarang sesudah pembuatan film selesai. Ia ingin aku menggunakan penerbangan pagi. Kau bisa menemui aku di Los Angeles? Aku harus kembali ke New York malam itu juga agar kau tidak perlu mengorbankan waktu di malam hari untukku."

"Baik, Tom," kata Johnny. "Dan jangan khawatir aku rugi semalam. Menginap dan santailah sedikit. Akan kuselenggarakan pesta untukmu dan kau bisa bertemu orang-orang film." Ia selalu mengajukan tawaran seperti itu, tidak ingin orang-orang dari lingkungannya yang dulu menganggap ia malu pada mereka.

"Terima kasih," kata Hagen. "Tapi aku benar-benar harus kembali dengan penerbangan pagi. Oke, kau bisa menjemputku di penerbangan yang berangkat dari New York pukul setengah dua belas?"

"Tentu saja," kata Johnny.

"Tetaplah di mobil," kata Hagen. "Kirimkan salah seorang anak buahmu untuk menjemputku sewaktu aku turun dari pesawat dan mengantarku menemuimu."

"Baik," kata Johnny.

Johnny kembali ke ruang duduk dan Ginny memandangnya dengan penasaran.

"Godfather memiliki rencana bagiku, untuk membantuku keluar," kata Johnny. "Ia mendapatkan peran di film untukku, aku tidak mengetahui bagaimana caranya. Tapi aku tidak ingin ia mencampuri hal-hal lain."

Johnny kembali ke sofa. Ia merasa kelelahan.

Ginny berkata, "Bagaimana kalau kau tidur di kamar tamu malam ini dan tidak pulang? Kau bisa sarapan bersama anak-anak dan tidak perlu mengemudi pulang selarut ini. Lagi pula, aku tidak senang membayangkan kau sendirian di rumah. Kau kesepian?"

"Aku jarang di rumah," kata Johnny.

Ginny tertawa dan berkata, "Kalau begitu kau belum banyak berubah." Ia terdiam sejenak lalu berkata, "Kusiapkan kamar tidur tamu untukmu?"

Johny berkata, "Kenapa aku tidak boleh tidur di kamarmu?"

Wajah Ginny memerah. "Tidak," katanya. Ia tersenyum pada Johnny dan Johnny membalasnya. Mereka masih bersahabat.

Sewaktu terjaga keesokan harinya, Johnny mengetahui hari telah siang dari sinar matahari yang menerobos celah-celah kerai yang tertutup. Cahayanya tidak pernah seperti itu kecuali hari telah siang. Ia berseru, "Hei, Ginny, aku masih dapat sarapan?"

Dan dari kejauhan ia mendengar suara Ginny menjawab, "Sebentar."

Dan ia memang hanya perlu menunggu sebentar. Ginny pasti telah menyiapkan segalanya, panas di dalam oven, baki siap diisi, sebab sewaktu Johnny menyulut rokok pertama hari itu, pintu kamar tidurnya terbuka dan kedua putrinya yang masih kecil masuk sambil mendorong kereta sarapan. Mereka begitu cantik hingga Johnny merasa hatinya sakit. Wajah mereka berseri-seri dan jernih, mata mereka hidup oleh rasa ingin tahu dan keinginan untuk segera berlari mendatanginya. Rambut mereka dikepang dan mereka mengenakan rok model lama serta sepatu kulit putih. Mereka berdiri di samping kereta sarapan, memperhatikannya sementara ia mematikan rokok, menunggu ia memanggil dan membentangkan tangan lebar-lebar.

Mereka berlari mendekatinya. Johnny membenamkan wajah diantara dua pipi yang segar dan harum, dan menggaruk mereka dengan dagunya hingga mereka memekik. Ginny muncul di pintu kamar tidur dan meneruskan mendorong kereta agar Johnny bisa sarapan di ranjang. Ia duduk di samping Johnny di tepi ranjang, menuangkan kopi, dan mengoleskan mentega di roti bakar. Kedua putrinya duduk di sofa kamar tidur dan mengamati Johnny sarapan. Sekarang mereka terlalu besar untuk perang bantal atau dilambung-lambungkan. Mereka sudah merapikan rambut yang diacak-acaknya tadi. Ya Tuhan, pikir Johnny, tidak lama lagi mereka akan tumbuh dewasa, dan pemuda-pemuda Hollywood akan mengejar mereka.

Johnny membagi roti bakar dan daging asapnya dengan mereka sambil makan, dan mengizinkan mereka ikut meneguk kopinya. Itu kebiasaan sejak ia masih bernyanyi bersama band dan jarang makan bersama mereka sehingga mereka senang berbagi makanan dengannya sewaktu ia makan di jam-jam yang tidak semestinya, seperti sarapan di sore hari atau makan malam di pagi hari. Perubahan jenis makanan membuat mereka gembira makan bistik dan kentang goreng pada pukul tujuh pagi, telur dan daging asap di sore hari.

***
 
BAB 12b


Hanya Ginny dan beberapa teman dekatnya yang mengetahui betapa Johnny sangat memuja putri-putrinya. Itu hal yang paling buruk dari perceraian dan keharusan meninggalkan rumah. Satu-satunya yang diperjuangkan Johnny hanyalah kedudukannya sebagai ayah mereka. Dengan cara yang sangat licin ia membuat Ginny memahami ia tidak senang bila mantan istrinya itu menikah lagi. Bukan karena cemburu, tapi karena ia tidak ingin kehilangan kedudukannya sebagai ayah. Ia mengatur uang dibayarkan pada Ginny sehingga dari segi keuangan Ginny menerima jauh lebih besar daripada kalau ia menikah lagi. Mereka juga sama-sama memahami Ginny boleh memiliki kekasih selama tidak diperkenalkan dengan kehidupan di rumahnya. Tapi dalam hal ini Johnny mempercayai Ginny sepenuhnya. Ia salah seorang wanita yang sangat pemalu dan berpendirian kuno dalam hal seks. Para gigolo Hollywood gigit jari sewaktu mereka mulai mengerumuninya, mencium bau uang dan bantuan yang bisa diberikan suaminya yang terkenal.

Johnny tidak takut istrinya berharap mereka bisa rujuk kembali karena ia ingin tidur bersamanya semalam. Tidak satu pun dari mereka ingin memperbarui pernikahan. Ginny memahami kehausan suaminya akan kecantikan, dorongannya yang sulit dibendung dalam mengejar-ngejar wanita muda yang jauh lebih cantik daripada dirinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Johnny selalu tidur dengan aktris lawan mainnya sedikitnya satu kali. Mereka tidak mampu menahan pesona Johnny yang kekanak-kanakan, sebagaimana Johnny tidak mampu melawan kecantikan mereka.

"Kau harus segera berpakaian," kata Ginny. "Pesawat Tom akan segera tiba." Ia memerintahkan kedua putri mereka keluar kamar.

"Yeah," kata Johnny. "Oh ya, Ginny, kau tahu aku akan segera bercerai? Aku akan menjadi pria bebas lagi."

Ginny mengawasi Johnny berpakaian. Johnny selalu menyimpan pakaian bersih di rumahnya sejak mereka membuat persetujuan baru setelah pernikahan putri Don Corleone.

"Natal tinggal dua minggu lagi," kata Ginny. "Boleh aku merencanakan kunjunganmu kemari?"

Ini pertama kalinya Johnny memikirkan liburan. Sewaktu suaranya masih bagus, liburan selalu penuh dengan acara menyanyi, tapi Hari Natal masih dianggapnya sebagai sesuatu yang suci. Kalau ia melewatkan Natal ini, itu akan jadi yang kedua kalinya. Tahun lalu ia mengejar-ngejar istri keduanya di Spanyol, berusaha agar wanita itu bersedia menikah dengannya.

"Yeah," kata Johnny. "Malam Natal dan Hari Natal."

Ia tidak menyebutkan malam Tahun Baru. Itu akan merupakan malam pesta gila-gilaan yang terkadang dibutuhkannya, untuk bermabuk-mabukan dengan teman-teman, dan pada saat-saat seperti itu ia tidak ingin ditemani istri. Ia tidak merasa bersalah mengenai hal itu.

Ginny membantunya mengenakan jas dan menyikatnya. Johnny selalu sangat rapi dalam berpakaian. Ginny bisa melihatnya mengernyit karena kemeja yang dikenakannya tidak dicuci seperti yang diinginkannya, dan mansetnya, yang cukup lama tidak dikenakannya, sekarang terasa terlalu meriah untuk selera berpakaiannya. Ginny tertawa pelan dan berkata, "Tom tidak akan menyadari bedanya."

Tiga wanita dalam keluarga itu mengantarnya ke pintu dan melintasi halaman ke mobilnya. Kedua gadis ciliknya memegangi tangannya, satu orang pada satu tangan. Istrinya berjalan agak di belakang. Ginny senang melihat betapa bahagia Johnny tampaknya. Setelah tiba di mobil, Johnny berbalik dan mengangkat kedua putrinya tinggi-tinggi ke udara bergantian dan mencium mereka saat menurunkannya. Lalu ia mencium istrinya dan masuk ke mobil. Ia tidak pernah menyukai perpisahan yang suram.

Orang humas dan asistennya telah membuat persiapan. Di rumahnya, mobil mewah dengan sopir telah menunggu, mobil sewaan. Di dalamnya menunggu orang humas dan asistennya. Johnny parkir dan masuk ke mobil itu, dan mereka pun melaju ke bandara. Ia menunggu di mobil sementara orang humasnya menjemput Tom Hagen begitu turun dari pesawat.

Setelah Tom masuk ke mobil, mereka berjabatan dan mobil meluncur kembali ke rumahnya. Akhirnya ia dan Tom sendirian di ruang duduk. Ada suasana dingin di antara mereka. Johnny tidak pernah memaafkan Hagen karena bertindak sebagai penghalang ketika ia ingin menghubungi Don sewaktu Don marah padanya, selama hari-hari yang buruk sebelum perkawinan Connie. Hagen tidak pernah mengajukan dalih untuk tindakannya. Ia tidak bisa berbuat begitu. Itu merupakan bagian tugasnya, jadi penangkal petir bagi kekesalan orang yang terlalu takut mengarahkannya pada Don sendiri walaupun mestinya begitu.

"Godfather mengirimku ke sini untuk memberimu bantuan dalam beberapa hal," kata Hagen. "Aku ingin menyelesaikannya sebelum Natal."

Johnny Fontane mengangkat bahu. "Pembuatan film sudah selesai. Sutradara baik dan memperlakukanku sebagaimana mestinya. Adegan-adeganku juga terlalu penting sehingga tidak bisa ditinggalkan di lantai kamar editing hanya supaya Woltz bisa menyingkirkanku. Ia tidak bisa merusak film yang bernilai sepuluh juta dolar. Jadi sekarang semuanya tergantung pada pendapat orang-orang seberapa bagus diriku dalam film itu."

Hagen berkata hati-hati, "Apakah memenangkan Oscar begitu penting bagi karier aktor, atau itu hanya tetek-bengek publikasi yang sebenarnya tidak berarti sama sekali?" Ia berhenti bicara sebentar dan menambahkan ragu-ragu, "Kecuali, tentu saja, kemenangannya, setiap orang menyukai kemenangan."

Johnny Fontane tersenyum padanya. "Kecuali Godfather. Kecuali kau. Tidak, Tom, Oscar bukan sekadar untuk publikasi. Oscar bisa membuat aktor bertahan sepuluh tahun. Ia bisa memilih sendiri perannya. Publik ke bioskop untuk melihatnya. Memang itu bukan segalanya, tapi bagi aktor, itu hal yang paling penting dalam bisnis. Bukan karena aku aktor besar, tapi karena aku mula-mula dikenal sebagai penyanyi dan peran itu sempurna sekali. Dan aku juga cukup baik, jelas."

Tom Hagen mengangkat bahu dan berkata, "Godfather mengatakan padaku bahwa mengingat keadaan sekarang, kau tidak punya peluang memenangkan hadiah itu."

Johnny Fontane marah. "Sialan, apa maksudmu? Film itu dipotong pun belum, apalagi diputar. Don bahkan tidak berkecimpung dalam bisnis perfilman. Mengapa kau terbang sejauh tiga ribu mil hanya untuk mengatakan tahi kucing itu?" Ia begitu terguncang sehingga hampir menangis.

Hagen berkata cemas, "Johnny, aku tidak tahu sedikit pun tentang film. Ingat, aku hanya pesuruh Don. Tapi kami sudah membicarakan seluruh urusanmu ini berkali-kali. Ia mencemaskan dirimu, mencemaskan masa depanmu. Ia merasa kau masih memerlukan pertolongannya dan ia ingin menyelesaikan masalahmu untuk selamanya. Itulah sebabnya aku di sini sekarang, untuk mengusahakan agar segala sesuatu berjalan lancar. Tapi kau harus mulai dewasa, Johnny. Kau harus berhenti memikirkan dirimu sebagai penyanyi atau aktor. Kau harus mulai memikirkan dirimu sebagai penggerak utama, pria yang memiliki kekuatan."

Johnny Fontane tertawa dan mengisi gelas. "Kalau aku tidak memenangkan Oscar, kekuatanku sama seperti kekuatan putriku. Suaraku sudah hilang; kalau aku memperoleh kembali suaraku, aku bisa bertindak. Ah, persetan. Bagaimana Godfather tahu aku tidak akan memenangkannya? Oke, aku percaya ia tahu. Ia tidak pernah keliru."

Hagen menyulut sebatang cerutu kecil. "Kami mendapat kabar bahwa Jack Woltz tidak mau menggunakan uang studio untuk mendukung pencalonanmu. Bahkan ia mengatakan pada setiap orang yang memiliki hak suara bahwa ia tidak menginginkan kau menang. Tapi menahan uang untuk iklan dan segalanya mungkin akan berhasil. Ia juga mengatur agar seseorang mendapat sebanyak mungkin suara yang mestinya mendukungmu. Ia bisa menggunakan segala jenis penyuapan, pekerjaan, uang, pelacur, apa saja. Dan ia berusaha melakukannya tanpa merugikan filmnya atau kalaupun merugi, pasti hanya pada batas seminimal mungkin."

Johnny Fontane mengangkat bahu. Ia mengisi gelasnya dengan wiski dan menenggaknya habis. "Kalau begitu riwayatku tamat."

Hagen memperhatikan dengan mencibir. "Minum tidak menolong suaramu," katanya.

"Persetan kau," kata Johnny.

Wajah Hagen tiba-tiba berubah pasif tanpa perasaan. Lalu ia berkata, "Oke, kuanggap semua ini masalah bisnis semata."

Johnny Fontane meletakkan gelas dan melangkah ke hadapan Hagen. "Maafkan kata-kataku, Tom," katanya. "Ya Tuhan, aku sangat menyesal. Kulampiaskan kemarahanku padamu karena aku ingin membunuh Jack Woltz keparat itu dan aku takut mengatakannya pada Godfather. Aku jadi jengkel padamu."

Mata Johnny berkaca-kaca. Ia melemparkan gelas wiski kosong ke dinding, tapi tenaganya begitu lemah hingga gelas yang berat itu bahkan tidak pecah dan menggelinding kembali ke dirinya. Johnny memandangi gelas itu dengan marah bercampur heran. Lalu ia tertawa. "Ya Tuhan," katanya.

Ia melintasi ruangan dan duduk di seberang Hagen. "Asal kau tahu, lama sekali aku dapat berbuat sesuka hati. Lalu kuceraikan Ginny dan segalanya mulai merosot. Aku kehilangan suara. Rekamanku tidak laku lagi. Aku tidak mendapatkan pekerjaan dalam film. Kemudian Godfather marah padaku dan tidak mau berbicara denganku di telepon atau menemuiku sewaktu aku ke New York. Kau selalu menjadi orang yang menghalangiku dan aku menimpakan kesalahan padamu, tapi aku tahu kau tidak akan berbuat begitu tanpa perintah Don. Tapi tidak ada yang bisa marah padanya. Itu sama saja dengan marah pada Tuhan. Jadi ku-kutuk kau. Tapi kau benar sejak dulu. Dan untuk menunjukkan padamu bahwa aku benar-benar menyesal, akan kuturuti nasihatmu. Tidak ada minum minuman keras lagi hingga suaraku pulih. Oke?"

Permintaan maafnya tulus. Hagen melupakan kemarahannya. Pasti ada sesuatu dalam diri pria berusia 35 tahun ini, kalau tidak, Don pasti tidak akan sesayang itu padanya. Ia berkata, "Lupakan saja, Johnny."

Ia malu pada betapa dalamnya perasaan Johnny dan pada kecurigaannya bahwa hal itu mungkin ditimbulkan rasa takut, ketakutan bahwa ia menyebabkan Don marah padanya. Dan tentu saja Don tidak pernah bisa dipengaruhi siapa pun karena alasan apa pun. Perasaan sayangnya hanya bisa berubah karena keinginannya sendiri.

"Keadaannya tidak terlalu buruk," katanya pada Johnny. "Kata Don, ia bisa membatalkan apa saja yang dilakukan Woltz terhadap dirimu. Bahwa kau hampir bisa dipastikan akan memenangkan Oscar. Tapi ia merasa kau tidak akan bisa memecahkan masalahmu. Ia ingin mengetahui apakah kau memiliki otak dan nyali untuk menjadi produser sendiri, membuat filmmu sendiri dari awal sampai akhir."

"Bagaimana cara ia mengusahakan aku bisa memenangkan Oscar?" tanya Johnny takjub.

Hagen berkata pedas, "Bagaimana kau bisa semudah itu percaya bahwa Woltz bisa mengatur segalanya sedangkan Don tidak? Sekarang karena perlu mendapatkan kepercayaanmu untuk bagian lain urusan kita, aku harus mengatakan ini padamu. Ayah baptismu orang yang jauh lebih berkuasa daripada Jack Woltz. Dan ia jauh lebih berkuasa di bidang-bidang yang jauh lebih rumit. Bagaimana ia bisa mengatur pemberian Oscar? Ia mengendalikan, atau mengendalikan orang yang mengendalikan, semua serikat buruh dalam industri, semua orang atau hampir semua orang yang akan memberikan suara. Tentu saja kau harus bagus, kau harus yakin sekali pada kemampuanmu. Dan Godfather memiliki otak yang jauh lebih cerdas daripada Jack Woltz. Ia tidak mendekati orang-orang ini dan menodongkan pistol ke kepala mereka sambil berkata, "Berikan suara kepada Johnny Fontane, kalau tidak kau kehilangan pekerjaan." Ia tidak memaksa kalau paksaan tidak berhasil atau menimbulkan ketidaksenangan bagi terlalu banyak orang. Ia akan membuat orang-orang itu memilihmu karena mereka ingin berbuat begitu. Tapi mereka tidak ingin berbuat begitu kalau tidak ada keuntungannya. Sekarang percayalah padaku bahwa ia bisa memberimu Oscar. Dan kalau ia tidak mengusahakannya, kau tidak akan mendapatkan hadiah itu."

"Oke," kata Johnny, "aku percaya padamu. Dan aku memiliki nyali dan otak untuk menjadi produser, tapi aku tidak memiliki uang. Tidak ada bank yang mau membiayai diriku. Butuh uang berjuta-juta untuk membuat film."

Hagen berkata tegas, "Sesudah kau mendapatkan Oscar, mulailah susun rencana untuk memproduksi tiga filmmu sendiri. Pekerjakan orang-orang terbaik dalam bisnis film, teknisi terbaik, bintang terbaik, siapa saja yang kaubutuhkan. Rencanakan tiga hingga lima film."

"Kau sinting," kata Johnny. "Film sebanyak itu berarti dua puluh juta dolar."

"Saat kau membutuhkan uangnya," kata Hagen, "hubungi aku? Akan kuberikan nama bank di California sini yang akan menangani pendanaannya. Jangan khawatir, mereka sudah sejak dulu membiayai pembuatan film. Minta saja uang kepada mereka dengan cara yang biasa, dengan alasan-alasan selayaknya, seperti transaksi bisnis biasa. Mereka akan setuju. Tapi kau harus menghubungi aku dulu dan memberitahukan angka-angkanya dan rencanamu. Oke?"

Johnny terdiam lama sekali. Lalu ia berkata pelan, "Ada yang lain lagi?"

Hagen tersenyum. "Maksudmu, apakah ada yang harus kaulakukan sebagai imbalan pinjaman dua puluh juta dolar? Tentu saja ada yang harus kaulakukan." Ia menunggu hingga Johnny berbicara. "Lagi pula, tidak ada yang tidak akan kaulakukan kalau Don memintamu melakukannya."

Johnny berkata, "Don harus memintanya sendiri padaku kalau urusannya serius, kau mengerti? Aku tidak mau mempercayai kata-katamu atau Sonny."

Hagen terkejut dengan ketajaman logika Johnny. Rupanya Johnny Fontane memang memiliki otak. Ia punya akal untuk mengetahui Don terlalu menyayanginya, dan terlalu pintar, sehingga tidak akan memintanya melakukan tindakan yang tolol dan berbahaya, yang mungkin akan diminta Sonny. Ia berkata pada Johnny, "Baiklah, kuyakinkan kau soal satu hal. Godfather memberi aku dan Sonny perintah tegas untuk tidak melibatkan dirimu dengan cara apa pun ke dalam apa saja yang mungkin akan menjadi publikasi buruk bagimu gara-gara kesalahan kami. Dan ia sendiri juga tidak akan melakukannya. Kujamin pertolongan apa pun yang dimintanya darimu akan kautawarkan untuk kaulakukan sebelum ia memintanya. Oke?"

Johnny tersenyum. "Oke," katanya.

Hagen berkata, "Ia juga mempercayaimu. Katanya kau punya otak dan dengan begitu menurut perhitungannya, bank akan mendapat keuntungan dari investasi itu, yang berarti ia akan mendapat uang dari bisnis tersebut. Jadi ini transaksi bisnis semata, jangan lupakan itu. Uangnya jangan kauhamburkan. Mungkin kau anak baptis kesayangannya, tapi dua puluh juta dolar bukan uang yang sedikit. Ia harus mempertaruhkan leher untuk memastikan kau mendapatkannya."

"Katakan padanya ia tak perlu khawatir," kata Johnny. "Kalau orang seperti Jack Woltz bisa menjadi jenius besar film, setiap orang bisa."

"Itu yang diperhitungkan Godfather," kata Hagen. "Kau bisa mengantarku kembali ke bandara? Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan. Setelah kau mulai menandatangani kontrak untuk segala sesuatu, gunakan pengacaramu sendiri, aku tidak akan turun tangan. Tapi aku ingin melihat semuanya sebelum kautandatangani, kalau kau tidak keberatan. Kau juga tidak akan mendapat kesulitan tenaga kerja. Itu akan menghemat biaya pembuatan film hingga batas tertentu, jadi kalau ada akuntan yang mencantumkan biaya untuk itu, abaikan saja angka-angka tersebut."

Johnny berkata hati-hati, "Apa aku harus mendapat persetujuanmu dalam masalah lain, skenario, bintang film, hal-hal seperti itu?"

Hagen menggeleng. "Tidak," katanya. "Ada kemungkinan Don keberatan terhadap hal-hal tertentu, tapi kalau memang ada masalah, ia pasti akan menyampaikannya sendiri padamu. Tapi aku tidak bisa membayangkan apa yang tidak disetujuinya. Film sama sekali tidak berpengaruh pada Don, dengan cara apa pun, jadi ia tidak berminat. Dan ia tidak suka mencampuri urusan orang lain, itu bisa kukatakan padamu berdasarkan pengalaman."

"Bagus," kata Johnny. "Akan kuantar sendiri kau ke bandara. Dan sampaikan terima kasihku pada Godfather. Aku mau meneleponnya untuk berterima kasih langsung padanya, tapi ia tidak pernah menerima telepon. Kenapa begitu?"

Hagen mengangkat bahu. "Ia hampir tidak pernah berbicara melalui telepon. Ia tidak ingin suaranya direkam, bahkan sewaktu mengatakan sesuatu yang biasa saja. Ia takut mereka memutarbalikkan kata-katanya sebegitu rupa hingga kedengaran berbeda. Kupikir itu alasannya. Bagaimanapun juga, satu-satunya kekhawatirannya adalah dijebak pihak berwenang. Jadi ia tidak mau memberi mereka peluang."

Mereka masuk ke mobil Johnny dan pergi ke bandara. Hagen berpikir Johnny lebih baik daripada dugaannya selama ini. Sudah ada yang diketahuinya tentang sifat orang itu, kesediaannya mengantarkan Hagen sendiri ke bandara membuktikannya. Kebaikan pribadinya, sesuatu yang dipercaya Don juga. Dan permintaan maafnya. Permintaan maaf Johnny tulus. Hagen sudah lama mengenal Johnny dan tahu permintaan maaf pria itu bukan karena takut. Johnny sejak dulu punya nyali. Itu sebabnya ia selalu mendapat kesulitan, dengan bosnya di dunia film dan dengan kaum wanita. Ia juga salah satu dari sedikit orang yang tidak takut pada Don. Fontane dan Michael mungkin satu-satunya kenalan Hagen yang bisa dibilang memiliki keberanian seperti itu. Jadi permintaan maaf Johnny tulus, dan ia akan menerimanya. Ia dan Johnny akan sering bertemu selama beberapa tahun yang akan datang. Dan Johnny harus lulus ujian berikutnya, yang akan membuktikan seberapa cerdik dirinya. Ia harus melakukan sesuatu bagi Don yang tidak akan pernah diminta Don sendiri untuk dilakukan Johnny atau dipaksanya dilakukan anak baptisnya itu sebagai bagian dari persetujuan. Hagen bertanya-tanya dalam hati apakah Johnny Fontane cukup cerdas untuk menyadari bagian itu dari persetujuan ini.

Setelah mengantar Hagen ke bandara (Hagen meminta Johnny tidak menemaninya menunggu pesawat), Johnny pergi ke rumah Ginny. Ginny terkejut melihatnya. Tapi Johnny ingin berada di tempatnya agar bisa berpikir, menyusun rencana. Ia tahu apa yang dikatakan Hagen padanya sangat penting, seluruh hidupnya akan berubah. Dulu ia bintang besar, tapi kini, di usia yang baru 35 tahun, ia telah tamat. Ia mengakui sendiri hal itu. Biarpun ia memenangkan Oscar sebagai aktor terbaik, apa arti kemenangan itu baginya? Tidak ada sama sekali, kalau suaranya tidak pulih. Ia hanya orang kelas dua, tanpa kekuasaan yang sesungguhnya, tanpa keunggulan apa pun. Bahkan gadis itu pun menolaknya. Gadis yang begitu manis, cerdas, dan hip, tapi apakah Sharon akan sedingin itu kalau ia di puncak?

Sekarang sesudah Don mendukungnya dengan dana, ia akan bisa menjadi sebesar siapa pun di Hollywood. Ia bisa menjadi raja. Johnny tersenyum. Persetan. Ia bahkan bisa menjadi Don. Pasti asyik juga bersama Ginny lagi beberapa minggu, mungkin lebih lama. Ia akan mengajak anak-anak keluar setiap hari, mungkin mengundang beberapa teman ke rumah. Ia akan berhenti mengkonsumsi minuman keras dan rokok, akan benar-benar menjaga diri. Mungkin suaranya bisa kuat kembali. Kalau semua itu terjadi dan ia dibantu dengan uang Don, ia tidak akan terkalahkan. Ia benar-benar akan mirip seorang raja atau kaisar zaman dulu sebagaimana yang bisa terjadi di Amerika. Dan hal itu tidak harus tergantung pada kekuatan suaranya atau berapa lama publik akan mempedulikan dirinya sebagai seorang aktor. Hal itu akan menjadi kerajaan yang berakar pada uang dan kekuasaannya akan sangat istimewa, dari jenis yang paling diinginkan semua orang.

Ginny menyiapkan kamar tidur tamu baginya. Mereka sama-sama memahami bahwa mereka tidak akan tidur sekamar, bahwa mereka tidak akan hidup sebagai suami-istri. Mereka tidak akan memiliki hubungan seperti itu lagi. Dan sekalipun dunia luar yang penuh kolumnis gosip dan penggemar film hanya menyalahkan dirinya atas kegagalan pernikahan mereka, dengan cara yang aneh, di antara mereka berdua, mereka sama-sama mengetahui Ginny yang harus lebih disalahkan atas perceraian mereka.

Sewaktu Johnny Fontane menjadi penyanyi dan bintang film komedi musik paling populer, ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ia terlalu Italia, terlalu kuno. Tentu saja ia tidak setia. Itu tidak mungkin dihindari dalam bisnisnya dan dengan godaan yang terus-menerus dihadapinya. Dan walaupun ia pria kurus yang tampak lemah, ia memiliki aura mantap seperti banyak tipe Latin yang bertulang kecil. Dan kaum wanita membuatnya senang dengan keterkejutan mereka. Ia suka pergi bersama gadis alim berwajah manis dan tampak polos, dan sewaktu membuka pakaiannya, ia mendapati payudara yang begitu montok dan penuh, sangat kontras dengan wajahnya yang kekanak-kanakan. Ia senang pada sikap malu-malu dan tersipu-sipu gadis berpenampilan seksi yang penuh gerak tipuan seperti pemain basket yang lincah, genit seakan pernah tidur dengan seratus pria, lalu saat mereka berdua saja, ia harus berjuang berjam-jam untuk bisa masuk dan beraksi, dan mendapati mereka ternyata masih perawan.

Dan semua pria Hollywood lain menertawakan kegemaran Johnny pada perawan. Mereka menyebutnya berselera kuno, bodoh. Ingat saja betapa repot dan lama mengajari perawan pandai bercinta dan akhirnya ternyata mereka tidak sepandai itu. Tapi Johnny mengetahui memang begitulah cara menghadapi gadis muda. Orang harus mendekati si gadis dengan benar, lalu apa yang lebih dahsyat daripada membuat seorang gadis bisa menikmati permainan cinta pertamanya? Ah, alangkah nikmatnya menembus benteng pertahanan seorang gadis. Alangkah senangnya merasakan kaki-kaki mereka dibelitkan ke tubuh kita. Paha mereka berbeda-beda bentuknya, begitu pula bokong mereka. Warna kulit mereka juga berlainan, dari putih hingga cokelat dan kehitaman. Pernah ia tidur dengan gadis kulit berwarna di Detroit, gadis baik-baik, bukan pelacur, anak penyanyi jazz yang bermain bersamanya di kelab malam, dan gadis itu merupakan salah satu pengalaman paling manis baginya. Bibirnya benar-benar terasa seperti madu hangat bercampur lada, kulitnya yang cokelat tua mulus, lembut, dan ia semanis wanita mana pun yang pernah diciptakan Tuhan dan ia masih perawan.

Pria lain selalu membicarakan seks oral, variasi ini-itu, tapi ia sebenarnya tidak terlalu menyukainya. Ia tidak pernah terlalu menyukai gadis yang mau mencoba bercinta secara menyimpang, dan gaya itu tidak pernah benar-benar memuaskannya. Ia dan istri keduanya akhirnya tidak cocok, karena wanita tersebut begitu menyukai gaya 69 sehingga tak suka yang lain dan Johnny harus berjuang agar mereka bisa bercinta secara konvensional. Istri keduanya mulai mengejek dan menyebutnya pria kampungan, dan gosip tersebar bahwa ia bercinta seperti anak-anak.

Mungkin itu sebabnya gadis yang tadi malam menolak dirinya. Ah, persetan, lagi pula gadis itu pasti tidak terlalu hebat di ranjang. Ia selalu bisa menebak gadis mana yang senang bercinta dan biasanya merekalah yang terbaik. Terutama gadis-gadis yang belum terlalu lama melakukannya. Yang benar-benar dibencinya adalah gadis yang mulai bercinta sejak usia dua belas tahun dan telah "tamat" di usia dua puluh tahun. Setelah itu mereka melakukan semuanya secara otomatis, padahal beberapa di antara mereka sangat cantik. Mereka juga bisa menipumu.

***
 
BAB 12 c

Ginny membawa kopi dan kue ke kamarnya, lalu meletakkannya di meja panjang. Johnny bercerita singkat padanya bahwa Hagen akan menolongnya mendapatkan pinjaman untuk produksi film dan Ginny sangat senang mendengarnya. Johnny akan menjadi orang penting lagi. Tapi Ginny tidak bisa membayangkan sebesar apa sebenarnya kekuasaan Don Corleone, sehingga ia tidak mengerti sepenting apa kedatangan Hagen dari New York. Johnny memberitahu Ginny bahwa Hagen juga akan membantunya menangani segi-segi hukumnya.

Sesudah mereka selesai minum kopi, Johnny mengatakan ia akan bekerja malam ini, menelepon dan merencanakan masa depan. "Separo dari semua ini akan kubuat atas nama anak-anak," katanya pada Ginny.

Ginny tersenyum penuh terima kasih dan menciumnya sebagai ucapan selamat malam sebelum meninggalkan kamar. Ada piring kaca penuh rokok bermonogram yang sangat disukainya dan sekotak penuh cerutu hitam Kuba sebesar pensil di meja tulisnya.

Johnny menyandar ke kursi dan mulai menelepon. Otaknya benar-benar berputar keras. Ia menelepon pengarang bukunya, novel laris, yang merupakan dasar film barunya. Pengarang itu pria sebaya dirinya, yang menanjak dengan susah payah dan sekarang menjadi orang terkenal di dunia literatur. Ia datang ke Hollywood dengan harapan akan diperlakukan sebagai orang top, tapi seperti sebagian besar pengarang lain, ia diperlakukan seperu sampah. Johnny pernah menyaksikan penghinaan yang dialami si pengarang pada suatu malam di Brown Derby. Pengarang itu dipasangkan dengan bintang muda terkenal berdada besar untuk acara kencan di kota yang pasti akan berakhir di tempat tidur. Tapi saat mereka makan malam, si bintang muda meninggalkan pengarang terkenal itu karena ada bintang film berwajah tikus memberi isyarat memanggil padanya. Kejadian tersebut membuat si pengarang paham struktur kekuasaan di Hollywood. Tidak peduli bukunya menjadikan dirinya terkenal di seluruh dunia, bintang muda lebih memilih orang film yang paling buruk, paling angkuh, dan paling palsu daripada dirinya.

Sekarang Johnny menelepon pengarang itu di rumahnya di New York untuk mengucapkan terima kasih mengenai peran besar yang ditulisnya dalam buku baginya. Ia memuji orang itu habis-habisan. Lalu sambil lalu ia menanyakan perkembangan novel berikutnya dan ceritanya. Ia menyulut sebatang cerutu sementara si pengarang bercerita mengenai bab yang paling menarik dan akhirnya berkata, "Aku ingin sekali membacanya sesudah kauselesaikan. Bagaimana kalau kaukirimkan satu copy untukku? Mungkin aku bisa mendapatkan transaksi yang bagus untukmu, lebih bagus daripada yang kaudapat dari Woltz."

Semangat yang terdengar dalam suara si pengarang memberitahu Johnny bahwa dugaannya benar. Woltz menipu orang itu, memberinya bayaran yang rendah untuk bukunya. Johnny mengatakan ia mungkin akan berada di New York sesudah liburan dan ingin si pengarang makan malam bersama beberapa temannya.

"Aku kenal beberapa cewek yang cantik," kata Johnny dengan nada bergurau. Si pengarang tertawa dan menyetujui.

Selanjutnya Johnny menelepon sutradara dan juru kamera film yang baru saja diselesaikannya untuk berterima kasih atas bantuan yang mereka berikan padanya. Ia memberitahu mereka dengan penuh keyakinan bahwa ia mengetahui Woltz tidak menyukai dirinya dan ia sangat menghargai bantuan mereka, dan kalau ada apa saja yang bisa dilakukannya untuk mereka, mereka hanya perlu menghubungi dirinya.

Lalu ia melakukan telepon yang paling sulit di antara semuanya, yaitu menghubungi Jack Woltz. Ia berterima kasih kepada Woltz untuk perannya dalam film dan mengatakan akan senang bekerja dengan Woltz kapan saja. Ia melakukan tindakan ini semata-mata untuk mengalihkan perhatian Woltz. Ia selamanya sangat jujur, sangat lurus. Dalam beberapa hari Woltz akan mengetahui usahanya dan terkejut pada teleponnya yang menipu, dan Johnny Fontane memang mengharapkan Jack Woltz merasakan hal itu.

Sesudah itu ia duduk menghadapi meja tulis dan menikmati cerutu. Ada wiski di meja dekat dinding, tapi ia telah berjanji pada diri sendiri dan Hagen bahwa ia tidak akan menyentuh minuman keras lagi. Seharusnya ia bahkan tidak merokok. Sebenarnya tindakan itu bodoh; apa pun yang tidak beres dengan suaranya tidak mungkin bisa disembuhkan dengan berhenti merokok dan minum. Tidak terlalu, tapi persetan, siapa tahu tindakan itu ada gunanya. Ia menginginkan semua kesempatan yang menguntungkan dirinya, karena sekarang ia memiliki kesempatan.

Sesudah rumah sunyi, mantan istrinya tidur, kedua putri tercintanya juga pulas, ia bisa memikirkan kembali masa-masa mengerikan dalam hidupnya saat ia meninggalkan mereka. Ia meninggalkan mereka demi wanita jalang yang menjadi istri keduanya. Tapi sekarang pun ia tersenyum saat teringat wanita itu, sundal paling hebat dalam banyak hal. Disamping itu, satu-satunya hal yang menyelamatkan hidupnya adalah hari ia bertekad tidak memiliki wanita, atau lebih spesifik lagi, hari ia memutuskan ia tidak bisa membenci istri pertamanya dan putri-putrinya, istri keduanya, dan pacar-pacarnya, sampai Sharon Moore menolaknya supaya bisa membual pernah menolak ajakan bercinta dengan Johnny Fontane yang terkenal.

Ia pernah berkeliling menyanyi bersama band, kemudian menjadi bintang radio dan pertunjukan panggung, sebelum akhirnya berhasil di film. Dan selama waktu itu ia menjalani hidup sesuka hati, menggauli setiap wanita yang diinginkannya, tapi ia tidak membiarkan semua itu memengaruhi kehidupan pribadinya. Kemudian ia jatuh cinta pada wanita yang segera menjadi istri keduanya, Margot Ashton. Ia sungguh tergila-gila pada wanita itu. Kariernya jadi berantakan, suaranya hilang, kehidupan keluarganya kacau-balau. Dan akhirnya tibalah hari ia tidak punya apa-apa.

Yang menjadi persoalan, ia selalu demawan dan adil. Ketika menceraikannya, ia memberikan kepada istri pertamanya semua yang dimilikinya. Ia memastikan kedua anaknya mendapatkan sebagian dari apa saja yang dibuatnya, setiap rekaman, setiap film, setiap pertunjukan yang dilakukan di kelab malam. Dan setelah kaya dan termasyhur, ia tidak pernah menolak apa pun permintaan istrinya yang pertama. Ia menolong semua saudara istrinya, ayah dan ibunya, teman-teman sekolah wanitanya dan keluarga mereka. Ia tak pernah menjadi selebriti yang sombong. Ia menyanyi dalam pesta perkawinan dua adik perempuan istrinya, sesuatu yang tidak suka dilakukannya. Ia tidak pernah menolak permintaan istrinya, kecuali menyerahkan sepenuhnya kepribadiannya sendiri. Kemudian setelah ia jatuh sampai ke dasar, tidak lagi mendapat pekerjaan dalam film, tidak bisa menyanyi lagi, dikhianati istrinya yang kedua, ia pergi melewatkan beberapa hari bersama Ginny dan anak-anak.

Suatu malam ia bisa dibilang menyembah minta ampun pada istrinya karena perasaannya begitu kacau. Hari itu ia mendengar salah satu rekamannya dan suaranya kedengaran begitu buruk sehingga ia menuduh teknisi suara menyabot rekaman. Sayangnya akhirnya ia yakin memang begitulah suaranya yang sebenarnya, ia membanting rekaman master itu dan tidak mau menyanyi lagi. Ia begitu malu sehingga tidak bisa bernyanyi satu lagu pun kecuali bersama Nino dalam pesta pernikahan Connie Corleone.

Ia tidak pernah melupakan ekspresi wajah Ginny sewaktu mengetahui semua kesialan ini. Ekspresi itu hanya satu detik kelihatan di wajahnya, tapi cukup bagi Johnny untuk tidak melupakannya. Itu ekspresi yang menunjukkan kepuasan buas dan penuh sukacita. Itu ekspresi yang membuat Johnny yakin istrinya sangat membencinya bertahun-tahun terakhir ini. Ginny cepat-cepat menutupi perasaannya dan menyatakan simpati yang dingin tapi sopan. Johnny pura-pura menerimanya. Beberapa hari berikutnya ia menemui tiga gadis yang paling disukainya beberapa tahun terakhir, gadis-gadis yang tetap berteman dengannya dan terkadang tidur bersamanya secara bersahabat, gadis-gadis yang dibantunya dengan seluruh kekuatannya, gadis-gadis yang diberinya ratusan ribu dolar dalam bentuk hadiah dan kesempatan kerja. Di wajah mereka ia melihat ekspresi kepuasan sekilas yang sama.

Pada waktu itulah ia menyadari ia harus mengambil keputusan. Ia bisa menjadi seperti banyak pria lain di Hollywood, produser yang sukses, penulis, sutradara, aktor, yang memburu wanita cantik dengan kebencian penuh nafsu. Ia bisa menggunakan kekuasaan dan bantuan keuangan dengan perasaan kurang rela, selalu waspada menghadapi kemungkinan pengkhianatan, selalu yakin wanita bisa mengkhianati dan meninggalkan dirinya, merupakan musuh yang harus dikalahkan. Atau ia bisa menolak membenci wanita dan terus mempercayai mereka. Ia mengetahui dirinya tidak bisa tidak mencintai mereka, bahwa sesuatu dalam jiwanya akan mati kalau ia tidak terus mencintai wanita, tidak peduli seberapa besar pengkhianatan dan ketidaksetiaan mereka. Tidak masalah apakah wanita yang paling dicintainya di dunia diam-diam senang melihat dirinya hancur, terhina, bernasib sial; tidak masalah kalau dalam cara yang paling buruk, bukan secara seksual, mereka tidak setia padanya. Ia tidak memiliki pilihan lain. Ia harus menerima mereka. Jadi ia bercinta dengan mereka semua, memberi mereka hadiah, menyembunyikan sakit hatinya melihat mereka gembira menyaksikan kesialan yang menimpa dirinya. Ia memaafkan mereka karena tahu yang dialaminya ini adalah akibat kehidupannya yang sangat bebas dan karena menikmati mereka sepenuhnya. Tapi sekarang ia tidak pernah merasa bersalah karena tidak jujur pada mereka. Ia tidak pernah merasa bersalah mengenai perlakuannya terhadap Ginny, berkeras tetap menjadi satu-satunya ayah bagi anak-anaknya, tapi tidak pernah mempertimbangkan rujuk dengan Ginny, dan memberitahukan hal itu pada Ginny. Hanya itulah satu-satunya segi positif kejatuhannya. Ia jadi tebal muka dalam hal menyakiti hati wanita.

Ia kelelahan dan sangat mengantuk, tapi satu ingatan tidak mau meninggalkannya menyanyi bersama Nino Valenti. Tiba-tiba ia mengetahui apa yang akan menyenangkan Don melebihi apa pun. Ia mengangkat telepon dan meminta operator menghubungkannya dengan New York. Ia menghubungi Sonny Corleone dan meminta nomor telepon Nino Valenti. Lalu ia menelepon Nino. Nino kedengaran agak mabuk, seperti biasa.

"Hei, Nino, bagaimana kalau kau datang kemari dan bekerja bersamaku?" tanya Johnny. "Aku membutuhkan orang yang bisa kupercaya."

Nino, dengan bergurau, berkata, "Well, entahlah, Johnny, aku sudah memiliki pekerjaan yang bagus sebagai sopir truk, sambil mengencani ibu-ibu di sepanjang rute yang kulalui, dan dengan mudah mendapat seratus lima puluh dolar setiap minggu. Apa yang bisa kautawarkan?"

"Sebagai awalan, aku bisa membayarmu lima ratus ditambah kencan buta dengan bintang film, bagaimana?" kata Johnny. "Dan mungkin kau akan kuberi kesempatan menyanyi di pesta-pesta."

"Yeah. Oke, well, akan kupikirkan dulu," kata Nino. "Akan kubicarakan dulu dengan pengacara dan akuntanku, dan kernet trukku."

"Hei, jangan bergurau, Nino," kata Johnny. "Aku membutuhkan dirimu di sini. Kuminta kau terbang kemari besok pagi dan menandatangani kontrak pembayaran lima ratus ribu seminggu untuk setahun. Jadi kalau kau merebut salah satu gadisku dan aku memecatmu, kau mendapat sedikitnya gaji setahun. Oke?"

Lama sekali tidak ada yang bicara. Suara Nino terdengar serius. "Hei, Johnny, kau bergurau?"

Johnny berkata, "Aku serius, kid. Pergilah ke kantor agenku di New York. Mereka akan memberimu tiket pesawat dan sedikit uang tunai. Akan kutelepon mereka besok pagi-pagi sekali. Jadi kau bisa tiba di sini sorenya. Oke? Akan kukirim orang untuk menjemputmu di bandara dan membawamu ke rumah."

Sekali lagi mereka terdiam sejenak, lalu Nino, dengan suara pelan, tidak pasti, berkata, "Oke, Johnny." Ia kedengaran tidak mabuk lagi.

Johnny meletakkan telepon dan bersiap-siap tidur. Ia merasa lebih baik daripada kapan pun sejak ia memecahkan master rekaman itu.

***
 
Wao, sollozzo akhirnya tewas, tp thanks to sollozzo, dia telah membangkitkan singa yang tertidur di diri mike,

Ane sempet ngira si hagen telah dipengaruhi sama sollozzo, tp dengan kematiannya sollozzo, kayaknya gugur deh pendapt ane ini,,

Sepertinya perang kali ini akan memakan banyak korban di keluarga corleone,

Motongnya pas bener, bikin penasaran,,

:semangat: update ya bro :)

Thanks bro kopred,maaf terakhiran agak tersendat ane updatenya.
Semoga berkenan dengan cerita2nya.
 
BAB 13

Johnny Fontane duduk dalam studio rekaman yang besar dan menghitung berbagai pengeluaran di notes kuning. Para pemain musik mulai masuk, semua temannya sejak ia masih kecil dan dikenal sebagai penyanyi band anak-anak. Konduktornya, orang terbaik dalam bisnis musik pop dan baik padanya di masa-masa sulit, memberi setiap pemain buku musik dan instruksi lisan. Namanya Eddie Neils. Ia bersedia ikut rekaman untuk menyenangkan Johnny, sekalipun jadwalnya sendiri padat.

Nino Valenti duduk menghadapi piano sambil memainkan tuts-tutsnya dengan gelisah. Ia juga menyesap rye dari gelas sangat besar. Johnny tidak keberatan. Ia mengetahui Nino menyanyi sama baiknya dalam keadaan sadar maupun mabuk, dan yang mereka lakukan sekarang tidak membutuhkan keahlian bermain musik sedikit pun dari pihak Nino.

Eddie Neils membuat aransemen khusus beberapa lagu lama Italia dan Sisilia, dan karya istimewa nyanyian duet yang dibawakan Nino dan Johnny di pesta pernikahan Connie Corleone. Johnny membuat rekaman itu terutama karena ia mengetahui Don menyukai lagu-lagu seperti itu dan itu akan merupakan hadiah Natal yang sempurna baginya. Ia
juga menduga rekaman itu akan laku keras, meskipun tentu saja tidak mencapai sejuta. Dan ia memperhitungkan bahwa membantu Nino adalah balas budi yang diinginkan Don. Bagaimanapun, Nino anak baptis Don juga.

Johnny meletakkan clipboard dan notes di kursi lipat di sampingnya dan beranjak ke samping piano. Ia berkata, "Hei, paisan," dan Nino menengadah sambil berusaha tersenyum. Ia tampak agak sakit.

Johnny membungkuk dan menggosok punggung Nino. "Santai saja, kid," katanya. "Lakukan pekerjaanmu dengan baik sekarang dan akan kuatur kencanmu dengan cewek paling cantik di seluruh Hollywood."

Nino meneguk wiskinya. "Siapa, Lassie?"

Johnny tertawa. "Bukan, Deanna Dunn. Kujamin barangnya bagus."

Nino terkesan, tapi tidak bisa menahan diri untuk berkata dengan nada pura-pura berharap, "Kau tidak bisa mendapatkan Lassie untukku?"

Para musisi mulai memainkan lagu pembuka medley. Johnny Fontane mendengarkan dengan teliti. Eddie Neils akan memainkan semua lagu beraransemen khususnya. Lalu mereka akan mulai merekam. Sementara mendengarkan, Johnny mencatat dalam hati bagaimana tepatnya ia akan mengucapkan setiap bait, bagaimana ia akan membawakan setiap lagu. Ia mengetahui suaranya tidak akan bertahan lama, tapi Nino akan membawakan sebagian besar lagu, dan Johnny akan menyanyi di bawahnya. Kecuali, tentu saja, untuk nyanyian duet. Ia harus menghemat tenaga untuk itu.

Ia menarik Nino berdiri dan mereka berdua menghadapi mikrofon masing-masing. Nino melakukan kesalahan di bagian pembukaan, lalu melakukannya lagi. Wajahnya mulai memerah karena malu. Johnny menggodanya, "Hei, kau sengaja mengulur waktu agar lembur?"

"Aku kurang nyaman tanpa mandolin," kata Nino.

Johnny memikirkannya sejenak. "Pegang gelas minumanmu," katanya.

Tampaknya hal itu membantu. Nino terus minum dari gelas itu sambil bernyanyi, tapi hasilnya bagus. Johnny menyanyi dengan santai, tidak tegang, suaranya hanya menari-nari di sekitar melodi utama yang dibawakan Nino. Tidak ada kepuasan emosional dalam jenis nyanyian ini, tapi ia terpesona pada kemampuan teknisnya sendiri. Ada yang dipelajarinya setelah sepuluh tahun menyanyi. Ketika mereka tiba pada lagu duet yang mengakhiri rekaman, Johnny membebaskan suaranya dan setelah mereka selesai ia merasakan tenggorokannya sakit.

Para pemain musik hanyut dalam lagu terakhir, hal yang langka bagi kaum veteran yang berpengalaman. Mereka memukuli instrumen dan mengentakkan kaki seperti tepuk tangan sebagai tanda suka. Pemain drum melakukan ruffle.

Dengan menghitung waktu istirahat dan berunding, mereka bekerja hampir empat jam sebelum berhenti. Eddie Neils menghampiri Johnny dan berkata pelan, "Kau kedengaran bagus sekali, man. Mungkin kau siap untuk membuat rekaman. Aku punya lagu yang sempurna sekali untukmu."

Johnny menggeleng. "Sudahlah, Eddie, jangan menggodaku. Lagi pula, dua jam lagi aku akan terlalu serak bahkan untuk bicara. Kaupikir banyak yang harus kita bereskan dari kerja kita hari ini?"

Eddie berkata sambil berpikir, "Nino harus datang ke studio besok pagi. Ia melakukan beberapa kesalahan. Tapi ia jauh lebih baik daripada dugaanku. Sedang mengenai suaramu, akan kuminta bagian suara membereskan apa yang tidak kusukai. Oke?"

"Oke," kata Johnny. "Kapan aku bisa mendengar hasilnya?"

"Besok malam," kata Eddie Neils. "Di tempatmu?"

"Yeah," kata Johnny. "Terima kasih, Eddie. Sampai ketemu besok pagi."

Ia meraih lengan Nino dan mengajaknya keluar studio. Mereka pergi ke rumahnya, bukan ke rumah Ginny.

Saat itu hari telah menjelang senja. Nino tetap lebih daripada separo mabuk. Johnny menyuruhnya mandi pancuran lalu tidur. Mereka akan menghadiri pesta besar pukul sebelas malam.

Sesudah Nino terjaga, Johnny memberinya pengarahan. "Pesta ini diselenggarakan Lonely Hearts Club milik seorang bintang film," katanya. "Wanita-wanita yang datang malam ini adalah yang kaulihat di film sebagai ratu gemerlapan pujaan berjuta-juta pria yang bersedia mengorbankan tangan kanan mereka agar bisa bercinta dengan mereka. Dan satu-satunya alasan kehadiran mereka adalah untuk menemukan orang yang mau mengajak mereka ke ranjang. Kau tahu sebabnya? Karena mereka haus hal itu, mereka hanya sedikit terlalu tua. Dan setiap wanita kaya lain, mereka menginginkannya dengan gaya kelas atas."

"Kenapa suaramu?" tanya Nino.

Johnny berbicara nyaris berbisik "Setiap kali aku bernyanyi sedikit, selalu begini jadinya. Sudah sebulan aku tidak bisa bernyanyi. Tapi serakku akan hilang dua hari lagi."

Nino berkata sambil berpikir, "Berat juga, heh?"

Johnny mengangkat bahu. "Dengar, Nino, jangan sampai kau terlalu mabuk malam ini. Kau harus memperlihatkan pada gadis-gadis Hollywood bahwa temanku bukan paisan yang lemah. Kau harus berhasil. Ingat, beberapa dari wanita-wanita itu sangat berkuasa di dunia film, mereka bisa mendapatkan pekerjaan untukmu. Tidak ada salahnya bersikap memikat sesudah kau menaklukkan mereka."

Nino mulai menuang minuman lagi. "Aku selalu memikat," katanya. Ia menghabiskan isi gelasnya. Sambil tersenyum, ia bertanya, "Aku serius, kau benar-benar bisa memperkenalkan aku pada Deanna Dunn?"

"Jangan khawatir," kata Johnny. "Ini tidak akan seperti yang kaupikirkan."

***

Hollywood Movie Star Lonely Hearts Club (dijuluki begitu oleh para bintang muda yang harus hadir) berkumpul setiap Jumat malam di rumah Roy McElroy yang seperti istana dan dimiliki studio. La agen pers, atau lebih tepatnya penasihat humas Woltz International Film Corporation. Sebenarnya, meskipun acara itu merupakan pesta terbuka McElroy, gagasannya berasal dari otak praktis Jack Woltz. Beberapa bintang filmnya yang menghasilkan uang sekarang sudah tua. Tanpa bantuan pencahayaan khusus dan juru rias yang jenius, mereka akan tampak sesuai usia mereka. Mereka mulai menghadapi masalah. Mereka juga menjadi kurang peka secara fisik dan mental hingga batas tertentu. Mereka tidak lagi "jatuh cinta". Mereka tidak lagi memegang peran sebagai wanita yang diburu-buru. Mereka jadi terlalu angkuh; karena uang, ketenaran, sisa-sisa kecantikan.

Woltz menyelenggarakan pesta itu agar mereka lebih mudah mendapatkan kekasih, kekasih semalam, yang kalau hebat, bisa menjadi partner tidur tetap dan meningkatkan karier mereka. Karena kegiatan pesta terkadang berubah menjadi perkelahian massal atau kegiatan seksual berlebihan yang menyebabkan polisi harus campur tangan, Woltz memutuskan melangsungkan pesta di rumah penasihat humasnya, yang akan berada di sana untuk membereskan segala sesuatu, membayar orang pers dan polisi agar beritanya tidak tersebar. Bagi aktor-aktor muda tertentu yang jantan tapi belum mencapai tingkat bintang atau belum pernah mendapat peran utama, kehadiran dalam pesta Jumat malam itu tidak selalu merupakan tugas yang menyenangkan. Ini karena fakta bahwa film baru yang belum dilempar studio ke pasaran akan diputar dalam pesta. Kenyataannya, memang itulah alasan penyelenggaraan pesta itu sendiri. Orang akan mengatakan, "Mari kita lihat seperti apa film baru yang dibuat studio ini atau itu." Dengan begitu pesta ditempatkan dalam konteks profesional. Aktris pemula yang masih muda tidak boleh menghadiri pesta Jumat malam. Atau lebih tepat, tidak dianjurkan. Sebagian besar dari mereka memahami pesan tersamarnya. Pemutaran film baru dilangsungkan tengah malam.

Johnny dan Nino tiba pukul sebelas. Ternyata pada pandangan pertama, Roy McElroy tampak seperti pria yang sangat simpatik, serba rapi, berpakaian bagus. Ia menyambut Johnny Fontane dengan berteriak terkejut tapi gembira. "Apa yang kaulakukan di sini?" ia bertanya dengan keheranan yang tulus.

Johnny menjabat tangannya. "Aku mengajak pesiar sepupuku dari kampung. Perkenalkan, Nino."

McElroy menjabat tangan Nino dan memandanginya dengan kagum. "Mereka akan melahapnya hidup-hidup," katanya pada Johnny. Ia mengajak mereka ke patio belakang.

Patio belakang merupakan deretan kamar besar yang jendelanya terbuka ke taman dan kolam renang. Di sana ada sekitar seratus orang berkeliaran, semuanya membawa gelas minuman. Penerangan taman diatur secara artistik untuk meningkatkan keindahan wajah dan kulit kaum wanita. Mereka wanita-wanita yang pernah dilihat Nino di layar putih sewaktu masih remaja. Mereka memainkan peran dalam impian erotis masa remajanya. Tapi melihat mereka sekarang dalam keadaan yang sebenarnya seperti melihat mereka mengenakan riasan yang mengerikan. Tidak ada yang bisa menyembunyikan kelelahan jiwa dan raga wanita-wanita itu, waktu telah menggerogoti kondisi puncak mereka. Mereka bersikap dan bergerak dengan memesona sebagaimana yang diingat Nino, tapi mereka seperti buah-buahan dari lilin, mereka tidak bisa merangsang dirinya.

Nino mengambil dua gelas minuman, mengembara hingga meja tempat ia bisa berdiri di dekat kumpulan botol minuman. Johnny berjalan dengannya. Mereka minum bersama hingga dari belakang mereka terdengar suara merdu Deanna Dunn.

Nino, seperti jutaan pria lain, mengingat suara itu dalam otaknya selamanya. Deanna Dunn pernah memenangi dua Oscar, dan main dalam dua film paling laris yang pernah dibuat Hollywood. Di layar putih, Deanna Dunn memiliki pesona kewanitaan seperti kucing, yang memikat semua pria. Tapi kata-kata yang diucapkannya di sini tidak akan pernah terdengar di layar perak. "Johnny, keparat, aku harus menemui psikiater lagi karena kau hanya mau menjadi kekasih semalam. Kenapa kau tidak pernah kembali untuk kedua kalinya?"

Johnny mencium pipi yang disodorkan kepadanya. "Kau membuatku kelelahan selama sebulan," katanya. "Aku ingin kau bertemu dengan saudara sepupuku Nino. Pemuda Italia yang manis dan kuat. Mungkin ia bisa menandingimu."

Deanna Dunn berpaling pada Nino dengan pandangan dingin. "Ia senang menonton preview?"

Johnny tertawa. "Kurasa ia tidak pernah mendapat kesempatan. Bagaimana kalau kau mengajaknya?"

Nino terpaksa minum sebanyak-banyaknya saat bersama Deanna Dunn. Ia berusaha bersikap manis dan terbuka, tapi sulit. Deanna Dunn memiliki hidung yang tinggi, wajah tajam klasik yang merupakan kecantikan khas Anglo-Saxon. Dan ia mengenal wanita ini dengan baik. Ia pernah melihatnya sendirian di kamar tidur, patah hati, menangisi suaminya, pilot yang tewas dan membuat anak-anaknya tanpa ayah. Ia pernah melihatnya marah, sakit hati, terhina, tapi masih memiliki martabat yang berkobar-kobar sewaktu Clark Gable yang jahat menggagahinya, lalu meninggalkannya gara-gara pelacur. (Deanna Dunn tidak pernah memainkan peran pelacur di film.) Ia pernah melihat Deanna Dunn marah karena cinta yang tidak dibalas, menggeliat dalam pelukan pria yang dicintainya, dan ia pernah melihatnya tewas dengan sikap yang anggun sedikitnya enam kali. Ia pernah melihatnya, mendengarnya, dan memimpikannya, tapi ia tidak siap mendengar kata-kata pertama yang dilontarkan Deanna Dunn sewaktu mereka berdua saja.

"Johnny salah satu di antara sedikit pria yang bernyali di kota ini," kata Deanna Dunn. "Yang lain hanyalah orang bodoh dan sakit, tidak bisa terangsang wanita walaupun dicekoki satu truk obat perangsang." Ia memegang tangan Nino dan mengajaknya ke sudut ruangan, jauh dari orang banyak dan persaingan.

Lalu, masih dengan pesona yang dingin, Deanna Dunn bertanya kepada Nino tentang dirinya. Nino mengetahui Deanna tengah memainkan peran wanita kaya yang berbaik hati pada penjaga kandang atau sopir, yang kalau di dalam film akan ditolaknya (jika dimainkan Spencer Tracy), atau diterimanya dengan mengorbankan segalanya karena kesukaannya pada pria itu (kalau dimainkan Clark Gable). Tapi itu bukan masalah. Nino bercerita pada Deanna tentang bagaimana ia dan Johnny tumbuh dewasa bersama-sama di New York, bagaimana ia dan Johnny menyanyi bersama dalam penunjukan di kelab malam. Ia mendapati Deanna Dunn sangat simpatik dan penuh perhatian.

Sekali Deanna Dunn bertanya sambil lalu, "Kau mengetahui bagaimana Johnny memaksa si Woltz keparat itu memberinya peran dalam filmnya?"

Nino tertegun dan menggeleng. Tapi Deanna Dunn tidak mendesak.

Tiba waktu untuk pemutaran preview film baru Jack Woltz. Deanna Dunn menuntun Nino, tangan Deanna yang hangat memegangi tangannya, menuju ruangan tidak berjendela di rumah besar itu, tapi dilengkapi sekitar lima puluh sofa untuk dua orang yang tersebar sebegitu rupa sehingga setiap orang agak terpisah.

Nino melihat ada meja kecil di samping sofa, dan di atas meja ada mangkuk es, gelas-gelas, dan botol-botol minuman keras, ditambah piring berisi rokok. Ia memberi Deanna Dunn sebatang rokok, menyulutnya, lalu membuat minuman bagi mereka berdua. Mereka tidak saling berbicara. Beberapa menit kemudian lampu-lampu dipadamkan.

Nino telah menduga akan ada kejadian luar biasa. Bagaimanapun, ia pernah mendengar mengenai kebejatan Hollywood yang melegenda. Tapi ia tidak siap menghadapi serangan Deanna Dunn yang rakus terhadap organ seksualnya, tanpa pembukaan yang sopan dan ramah.

Nino terus menghirup minuman dan menonton film, tapi tidak bisa merasakan, tidak bisa melihat. Ia merasakan kesenangan yang belum pernah dialaminya. Tapi ini sebagian karena wanita yang tengah melayaninya dalam kegelapan adalah objek impian masa remajanya.

Tapi entah mengapa kejantanannya terasa terhina. Jadi sesudah Deanna Dunn yang terkenal di seluruh dunia merasa puas dan merapikannya, dengan sangat tenang Nino memberinya minuman baru dan menyulut sebatang rokok, dan berkata dengan suara paling santai yang bisa dibayangkan, "Tampaknya film ini bagus sekali."

Ia merasa Deanna Dunn menegang di sampingnya di sofa. Apakah wanita ini menunggu pujian? Nino mengisi gelasnya hingga penuh dari botol terdekat dan tangan mereka bersentuhan dalam gelap.

Persetan. Deanna Dunn memperlakukan dirinya seperti gigolo. Karena suatu alasan sekarang ia merasakan kemarahan yang dingin pada semua wanita ini.

Mereka menonton film selama lima belas menit lagi. Nino mencondongkan tubuh menjauhi Deanna hingga mereka tidak lagi bersentuhan.

Akhirnya Deanna Dunn berbisik kasar, "Jangan sok, kau menyukainya. Milikmu sebesar rumah."

Nino menghirup minuman dan berkata dengan sikap sambil lalu sewajarnya, "Memang selalu begitu. Kau harus melihatnya waktu aku terangsang."

Deanna Dunn tertawa kecil dan diam sepanjang sisa pemutaran film. Akhirnya film selesai dan lampu-lampu dinyalakan kembali. Nino melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Ia bisa melihat bahwa dalam kegelapan tadi telah berlangsung pesta sekalipun ia tidak mendengar apa-apa. Tapi beberapa wanita memancarkan ekspresi berseri-seri seakan baru saja mendapat kepuasan yang luar biasa.

Mereka keluar dari ruang pemutaran film. Deana Dunn tiba-tiba meninggalkannya untuk berbicara dengan pria yang lebih tua, yang dikenal Nino sebagai pemeran utama dalam film; tapi sekarang, melihat pria itu langsung, ia menyadari pria itu homo. Ia menyesap minuman sambil berpikir.

Johnny Fontane datang ke sisinya dan berkata, "Hei, kid, kau bersenang-senang?"

Nino tersenyum. "Entahlah. Ini berbeda. Sekarang sesampainya di rumah nanti, aku bisa mengatakan Deanna Dunn menggarapku."

Johnny tertawa. "Ia bisa lebih baik daripada itu kalau mengundangmu ke rumahnya. Ia mengundangmu?"

Nino menggeleng. "Aku terlalu memperhatikan filmnya," katanya.

Tapi kali ini Johnny tidak tertawa. "Yang benar, kid? katanya. "Cewek seperti itu bisa memberimu banyak keuntungan. Padahal kau biasanya memanfaatkan apa saja. Nino, kadang-kadang aku masih bermimpi buruk kalau ingat lonte-lonte jelek yang dulu kaugauli."

Nino melambaikan gelasnya setengah mabuk dan berkata keras, "Yah, mereka jelek, tapi mereka wanita."

Deanna Dunn, di sudut, menoleh untuk melihat mereka berdua. Nino melambaikan gelas padanya.

Johnny Fontane menghela napas. "Oke, kau hanya petani yang bodoh."

"Dan aku tidak akan berubah," kata Nino dengan senyuman mabuknya yang menawan.

Johnny sangat memahami perasaan Nino. Ia tahu Nino tidak semabuk yang diperlihatkannya. Ia tahu Nino hanya berpura-pura supaya bisa mengatakan hal-hal yang dirasakannya terlalu kasar bagi padrone Hollywood-nya yang baru kalau ia tidak mabuk. Ia mengalungkan lengannya di leher Nino dan berkata, "Kau orang yang sok bijaksana, kau tahu kau punya kontrak yang sangat mengikat selama setahun dan bisa mengatakan apa saja sesukamu dan aku tidak bisa memecatmu."

"Kau tidak bisa memecatku?" tanya Nino dengan kelicikan mabuk.

"Ya," kata Johnny

"Kalau begitu, persetan kau," kata Nino.

Sesaat Johnny terkejut dan bangkit kemarahannya. Ia melihat Nino menyeringai tidak peduli. Tapi dalam beberapa tahun terakhir rupanya ia semakin cerdik, atau kejatuhannya dari puncak kemasyhuran membuatnya semakin peka. Saat itu ia memahami Nino, mengapa teman nyanyinya di masa kanak-kanak tidak pernah meraih sukses, mengapa ia menghancurkan setiap peluang sukses sekarang. Nino bereaksi menjauhi semua konsekuensi sukses, bahwa entah bagaimana ia merasa terhina oleh semua yang dilakukan orang untuknya.

Johnny menggandeng Nino dan menuntunnya ke luar rumah. Kini Nino nyaris tidak bisa berjalan.

Johnny berbicara padanya dengan lemah lembut. "Oke, kid, kau menyanyi saja untukku, aku ingin menghasilkan uang darimu. Aku tidak ingin mencoba mengatur hidupmu. Lakukan saja apa yang ingin kaulakukan. Oke, paisan? Yang harus kaulakukan hanya menyanyi untukku dan menerima uang karena sekarang aku tidak bisa lagi menyanyi. Kau mengerti, Sobat?"

Nino menegakkan tubuh. "Aku akan menyanyi untukmu, Johnny," katanya. Suaranya begitu pelan sehingga hampir tidak bisa dipahami. "Aku penyanyi yang lebih baik daripada yang kauketahui. Aku selalu menyanyi lebih baik daripada kau, kau tahu itu?"

Johnny berdiri sambil berpikir, jadi itulah. Ia tahu bahwa ketika suaranya masih sehat, Nino hanya tidak setingkat dengannya, tidak pernah, ketika mereka bernyanyi bersama sewaktu kecil.

Ia melihat. Nino menunggu jawaban, terhuyung-huyung mabuk dalam sinar bulan California. "Sialan kau," katanya lembut, dan mereka tertawa bersama seperti masa lalu, sewaktu keduanya masih sama-sama muda.

***

Sewaktu Johnny Fontane mendengar berita penembakan Don Corleone, ia bukan hanya mengkhawatirkan Godfather-nya, tapi juga apakah rencana pembiayaan filmnya masih berlaku. Ia ingin pergi ke New York untuk menyampaikan penghormatan pada Godfather di rumah sakit. Tapi ia dinasihati supaya tidak memperoleh publikasi buruk, dan bahwa itu sangat tidak disukai Don Corleone. Maka ia menunggu. Seminggu kemudian datang utusan dari Tom Hagen. Rencana pembiayaan masih berlaku, tapi hanya untuk satu film setiap kalinya.

Sementara itu Johnny membiarkan Nino bebas di Hollywood dan California, dan hubungan Nino baik sekali dengan aktris-aktris pemula yang masih muda. Terkadang Johnny meneleponnya untuk mengajaknya keluar bersama di malam hari tapi tidak pernah tergantung pada dirinya.

Sewaktu mereka membicarakan peristiwa penembakan Don, Nino berkata pada Johnny, "Ketahuilah, aku pernah meminta pekerjaan pada Don dalam organisasinya dan ia tidak mau memberikannya. Aku bosan mengemudikan truk dan ingin mendapat banyak uang. Kau tahu apa yang dikatakannya padaku? Ia bilang setiap orang hanya memiliki satu takdir dan takdirku adalah menjadi seniman. Artinya aku tidak boleh menjadi anggota organisasinya."

Johnny memikirkan hal itu. Godfather pasti orang yang paling pandai di dunia. Ia langsung mengetahui bahwa Nino tidak bisa terlibat dalam kegiatan bisnis Keluarga, hanya akan mendapat kesulitan atau terbunuh. Terbunuh hanya karena bicaranya yang sok tahu. Tapi bagaimana Don bisa mengetahui Nino akan menjadi seniman? Sebab, sialan, ia memperhitungkan bahwa suatu hari nanti aku akan membantu Nino. Dan bagaimana ia bisa memperhitungkan begitu? Karena ia akan bicara padaku dan aku akan berusaha memperlihatkan rasa terima kasihku. Tentu saja ia tidak pernah memintaku melakukannya. Ia hanya memberitahuku ia akan bahagia kalau aku melakukannya.

Johnny Fontane menghela napas. Sekarang Godfather sakit, dalam kesulitan, maka ia boleh mengucapkan selamat tinggal pada Piala Oscar karena Woltz menentangnya dan tidak ada
yang membantu Johnny. Hanya Don yang memiliki kontak pribadi yang bisa menekan, dan keluarga Corleone harus memikirkan masalah lain. Johnny telah menawarkan bantuan, tapi Hagen menolak dengan tegas.

Johnny sibuk membuat filmnya. Pengarang buku yang dijadikan film yang dibintangi Johnny itu telah menyelesaikan novel barunya dan datang ke Pantai Barat atas undangannya, untuk berunding tanpa melibatkan agen atau studio. Buku yang kedua sempurna sekali dengan apa yang diinginkan Johnny. Ia tidak harus bernyanyi, ceritanya bagus dengan banyak wanita dan seks, serta memiliki peran yang seketika dikenali Johnny sebagai peran yang sangat cocok bagi Nino. Tokoh itu berbicara seperti Nino, bertingkah laku seperti Nino, bahkan tampangnya pun mirip Nino. Yang harus dilakukan Nino hanyalah datang ke studio dan menjadi dirinya sendiri.

Johnny bekerja dengan cepat. Ia menyadari bahwa ia mengetahui lebih banyak mengenai produksi daripada dugaannya. Tapi ia mempekerjakan produser eksekutif, orang yang menguasai bidangnya, tapi sulit mencari pekerjaan karena termasuk dalam daftar hitam. Johnny tidak memanfaatkan kesempatan dan memberi orang itu kontrak yang adil. "Kuharap kau bisa membuatku lebih hemat dengan cara ini," katanya terus terang pada orang itu.

Jadi ia heran sewaktu produser eksekutif itu menemuinya dan mengatakan wakil serikat buruh meminta pembayaran lima puluh ribu dolar. Ada banyak masalah yang berkaitan dengan kerja lembur dan penempatan tenaga kerja, dan uang lima puluh ribu dolar yang dikeluarkannya tidak akan sia-sia. Johnny bertanya-tanya apakah produser eksekutifnya mencoba memerasnya, lalu berkata, "Minta orang serikat buruh itu datang padaku."

Orang serikat buruh itu ternyata Billy Goff. Johnny berkata padanya, "Kupikir masalah serikat buruh sudah diurus teman-temanku. Aku diberitahu untuk tidak mengkhawatirkannya. Sama sekali."

Goff bertanya, "Siapa yang mengatakan itu padamu?"

Johnny berkata, "Kau mengetahui dengan tepat siapa yang mengatakannya padaku. Aku tidak mau menyebutkan namanya tapi ia yang mengatakan begitu padaku."

Goff berkata, "Keadaan sudah berubah. Temanmu dalam kesulitan dan kata-katanya tidak lagi berpengaruh hingga di Barat sini."

Johnny mengangkat bahu. "Temui aku dua hari lagi. Oke?"

Goff tersenyum. "Baik, Johnny," katanya. "Tapi menelepon New York tidak akan menolongmu."

Tapi menelepon New York ternyata bisa menolongnya. Ia berbicara dengan Hagen di kantornya. Hagen dengan tegas melarangnya membayar. "Godfather akan sangat marah kalau kau membayar keparat itu meski hanya lima sen," katanya pada Johnny. "Itu akan menyebabkan Don kehilangan rasa hormat dari orang lain, padahal sekarang itu tidak boleh terjadi."

"Bisa aku berbicara dengan Don?" tanya Johnny. "Kau mau bicara dengannya? Pembuatan film harus jalan terus."

"Tidak ada yang bisa berbicara dengan Don sekarang ini," kata Hagen. "Sakitnya terlalu berat. Akan kubicarakan masalah ini dengan Sonny. Tapi aku yang mengambil keputusan dalam hal ini. Jangan membayar keparat licik itu lima sen pun. Kalau ada perubahan, kau akan kuberi tahu."

Dengan jengkel Johnny menutup telepon. Masalah dengan serikat buruh bisa menambah biaya yang besar dalam pembuatan film dan dapat mengacaukan pekerjaan pada umumnya. Sesaat ia berdebat sendiri apakah akan memberi Goff lima puluh ribu diam-diam atau tidak. Bagaimanapun, Don memberitahu dirinya dan Hagen memberitahu sekaligus melarang dirinya merupakan dua hal yang berbeda. Tapi ia memutuskan menunggu beberapa hari. Dengan menunggu ia menghemat lima puluh ribu dolar.

Dua malam kemudian, Goff ditemukan tewas ditembak di rumahnya di Glendale. Tidak ada pembicaraan lagi mengenai masalah perburuhan. Johnny agak terguncang dengan pembunuhan itu. Untuk pertama kalinya tangan Don yang panjang melontarkan pukulan mematikan yang begitu dekat dengan dirinya.

Minggu demi minggu berlalu, dan sementara ia semakin sibuk mempersiapkan naskah, menyusun daftar pemain, dan menangani rincian produksi, Johnny Fontane melupakan suaranya, melupakan ketidakmampuannya bernyanyi.

Tapi sewaktu nominasi Academy Award diumumkan dan ia ternyata termasuk salah satu calon, ia merasa tertekan karena tidak diminta menyanyikan salah satu lagu yang dinominasikan dalam acara yang ditayangkan televisi secara nasional itu. Tapi ia mengesampingkannya dan terus bekerja. Ia tidak memiliki peluang untuk memenangi Oscar sekarang karena Godfather tidak bisa melakukan tekanan, tapi masuk nominasi pun sudah berarti.

Rekaman yang dibuatnya bersama Nino, yang berisi lagu-lagu Italia, jauh lebih laku daripada apa pun yang dibuatnya akhir-akhir ini. Tapi ia tahu kesuksesan itu lebih merupakan kesuksesan Nino daripada kesuksesannya sendiri. Ia sekarang pasrah karena tidak bisa bernyanyi profesional lagi.

Sekali seminggu ia makan malam bersama Ginny dan anak-anak. Tidak peduli sesibuk apa pekerjaannya, ia tidak pernah melewatkan kewajiban itu. Tapi ia tidak tidur dengan Ginny.

Sementara itu, istri keduanya mendapatkan surat cerai di Meksiko, dan ia kembali menjadi bujangan. Anehnya, ia tidak lagi begitu bernafsu menggauli aktris-aktris pemula yang masih muda, yang merupakan sasaran empuk baginya. Sebenarnya ia telah menjadi terlalu angkuh. Ia sakit hati karena tidak seorang pun di antara bintang-bintang muda itu, aktris-aktris yang tengah berada di puncak, yang memberinya kesempatan.

Tapi ia sangat senang bekerja keras. Hampir setiap malam ia pulang ke rumah seorang diri, memutar rekaman-rekaman lamanya, minum, dan menggumam mengikuti beberapa bait lagu. Dulu ia begitu hebat, sangat hebat. Ia tidak pernah menyadari sehebat apa dirinya dulu. Bahkan kalaupun tak ada suara istimewanya, yang bisa dimiliki siapa pun, ia sangat hebat. Ia benar-benar seniman dan ia tidak pernah menyadarinya, tak pernah mengetahui bahwa ia sangat menyukainya. Ia merusak suaranya sendiri dengan minuman keras, tembakau, dan perempuan tepat pada saat ia benar-benar mengetahui arti semua itu. Terkadang Nino datang untuk minum dan mendengarkan Lagu bersamanya. Johnny biasanya berkata padanya dengan nada mengejek, "Dasar keparat bodoh, kau tidak pernah bernyanyi seperti itu seumur hidupmu." Dan Nino tersenyum mempesona sambil menggeleng, dan berkata, "Ya, dan aku tidak akan pernah bisa," dengan suara yang simpatik, seakan mengetahui apa yang dipikirkan Johnny.

Akhirnya, seminggu sebelum pengambilan gambar film barunya dimulai, malam penganugerahan Oscar pun tiba. Johnny mengajak Nino ikut, tapi ditolak. Johnny berkata, "Sobat, aku tidak pernah menuntut kebaikan hatimu, bukan? Sekarang berbaik hatilah padaku dan ikutlah denganku. Kau satu-satunya orang yang akan mengasihaniku kalau aku tidak menang."

Sesaat Nino seakan terkejut. Lalu ia berkata, "Tentu saja, sobat lama, aku ikut." Ia terdiam sejenak lalu berkata, "Kalau kau tidak menang, lupakan sajalah. Minumlah semabuk mungkin dan aku yang akan mengurusmu. Persetan, aku tidak akan minum seteguk pun malam ini. Bagaimana itu sebagai sahabat?"

"Man," kata Johnny Fontane, "itu baru benar-benar sahabat."

Di malam Academy Award itu Nino menepati janjinya. Nino sama sekali tidak minum dan mereka pergi bersama ke teater tempat acara dilangsungkan. Nino bertanya-tanya dalam hati mengapa Johnny tidak mengundang salah satu pacarnya atau bekas istrinya ke jamuan makan malam pemberian Oscar. Terutama Ginny. Apakah ia berpikir Ginny tidak akan mendukungnya?

Nino ingin sekali bisa minum segelas saja, malam ini sepertinya akan panjang dan buruk. Nino Valenti menganggap seluruh acara Academy Award membosankan sampai pemenang untuk aktor terbaik diumumkan. Ketika mendengar nama "Johnny Fontane" disebut, ia melompat-lompat sambil bertepuk tangan. Johnny mengulurkan tangan padanya dan ia menjabatnya. Ia tahu sahabatnya memerlukan kontak manusiawi dengan seseorang yang dipercayanya. Dan Nino merasakan kesedihan yang sangat besar karena Johnny tidak memiliki siapa pun yang lebih baik daripada dirinya pada saat kemenangannya.

Yang menyusul kemudian merupakan mimpi buruk. Film Jack Woltz menyapu bersih semua penghargaan dan pesta studio penuh orang surat kabar yang semuanya penipu, baik pria maupun wanita. Nino memenuhi janjinya untuk tidak mabuk, dan ia berusaha menjaga Johnny. Tapi kaum wanita dalam pesta tersebut terus-menerus menarik Johnny ke kamar tidur untuk mengobrol sebentar dan Johnny semakin mabuk.

Sementara itu, wanita yang memenangkan penghargaan untuk aktris terbaik mengalami nasib yang sama, tapi lebih menyukainya dan bisa menghadapinya dengan lebih baik. Nino menolaknya, satu-satunya pria yang berbuat begitu di pesta tersebut.

Akhirnya seseorang punya gagasan bagus. Kedua pemenang harus bercinta di depan umum, dan setiap orang menjadi penontonnya. Si aktris ditelanjangi dan wanita-wanita lain mulai membuka baju Johnny Fontane. Ketika itulah, Nino, satu-satunya orang yang sadar, menyambar Johnny yang sudah setengah telanjang dan memanggulnya di pundak, berjuang menembus orang banyak menuju mobil mereka. Sementara ia menyetir mobil menuju rumah Johnny, Nino berpikir, kalau ini yang namanya sukses, ia tidak menginginkannya.

***
 
===SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA===


maaf nih jd lambat updatenya.selain saya lagi gila2an jadwal,sempet sakit dan juga apes banget kapan hari tab saya mati total lebih dr seminggu.jd bener2 tersendat.

tenang aja,saya pasti tamatin cerita ini soalnya saya sendiri ga suka kalo baca cerita ga sampe tamat.

Terimakasih yg masih stay gelar tiker disini,juga makasih banyak buat semua komen dan grp yang dikirim.apapun itu...ai lop yu brader n sister semproters.


Sekali lagi maaf yang sebesar2nya buat yg udah nunggu


Regards,

Rockmantic



xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Wah, sampe sakit ya, GWS y bro,
Santai aja, ane stay tuned disini kok :D, sabar menanti,
Ijin :baca: dulu ya,,
 
● BUKU TIGA ●

BAB 14a


Don menjadi pria sejati pada usia dua belas tahun. Dengan tubuh pendek, rambut hitam, tinggal di desa Corleone, Sisilia, yang mirip perkampungan Moor, ia dilahirkan dengan nama Vito Andolini, tapi ketika orang-orang tidak dikenal datang untuk membunuh anak pria yang mereka bunuh, ibunya mengirim bocah itu ke Amerika untuk tinggal bersama teman-teman. Dan di negeri baru tersebut ia mengganti namanya menjadi Corleone untuk melestarikan ikatannya dengan kampung halaman. Itu salah satu dari sedikit tindakan sentimental yang pernah dilakukannya.

Di Sisilia pada pergantian abad, Mafia merupakan pemerintah kedua, jauh lebih berkuasa daripada pemerintah resmi di Roma. Ayah Vito Corleone terlibat perselisihan dengan orang desa lain yang lantas membawa masalah mereka ke Mafia. Ayahnya tidak mau tunduk dan dalam perkelahian di depan umum, ia membunuh kepala Mafia setempat. Seminggu kemudian ia sendiri ditemukan tewas, tubuhnya hancur karena tembakan lupara. Sebulan sesudah pemakamannya, orang-orang Mafia bersenjata api datang mencari si putra yang masih kecil, Vito. Mereka menyimpulkan ia hampir dewasa, bahwa ia mungkin akan menuntut balas kematian ayahnya di tahun-tahun mendatang.

Vito yang berusia dua belas tahun disembunyikan kerabatnya dan dikirim ke Amerika dengan kapal. Di sana ia tinggal di rumah keluarga Abbandando, yang anaknya, Genco, kemudian menjadi consigliori sewaktu Vito menjadi don.

Vito muda bekerja di toko bahan pangan Abbandando di Ninth Avenue, Hells Kitchen, New York. Pada usia delapan belas tahun Vito menikah dengan gadis Italia yang baru datang dari Sisilia, gadis yang baru berusia enam belas tahun tapi pandai memasak dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mereka tinggal di rumah sewaan di Tenth Avenue, dekat 35th Street, hanya beberapa blok dari tempat kerja Vito. Dua tahun kemudian mereka dianugerahi anak pertama, Santino, yang dipanggil Sonny oleh semua temannya karena baktinya pada ayahnya.

Di lingkungan itu tinggal pria bernama Fanucci. Ia orang Italia gemuk dan bertampang bengis, yang mengenakan setelan mahal berwarna terang dan topi fedora krem. Pria tersebut dikenal sebagai "Tangan Hitam", tukang pukul Mafia yang memeras uang dari para keluarga dan pemilik toko dengan ancaman penganiayaan. Tapi, karena sebagian besar penghuni lingkungan itu sendiri juga kejam, ancaman penganiayaan Fanucci hanya efektif terhadap pasangan lanjut usia yang tidak memiliki putra untuk membela mereka. Beberapa pemilik toko membayarnya dalam jumlah yang tidak seberapa demi keselamatan. Sekalipun begitu, Fanucci juga senang memangsa sesama penjahat, orang yang menjual lotre Italia atau mengelola perjudian ilegal di rumahnya. Toko bahan pangan Abbandando memberi upeti dalam jumlah kecil, walau diprotes Genco muda, yang mengatakan pada ayahnya bahwa ia akan mengakhiri pemerasan Fanucci. Ayahnya melarang. Vito Corleone menyaksikan semua ini tanpa merasa terlibat sedikit pun.

Suatu hari Fanucci dihadang tiga pemuda yang menggorok lehernya dari telinga ke telinga, tidak cukup dalam untuk membunuhnya, tapi cukup untuk menakut-nakutinya dan membuatnya mengeluarkan banyak darah. Vito melihat Fanucci melarikan diri dari orang-orang yang menghukumnya, dengan irisan melingkar berwarna merah. Yang tidak pernah dilupakannya adalah Fanucci yang memegangi topi fedora krem di bawah dagunya untuk menampung darah yang menetes sambil berlari. Seakan ia tidak ingin setelan jasnya kotor atau tidak ingin meninggalkan jejak darah yang memalukan.

Tapi serangan tersebut merupakan berkah tersembunyi bagi Fanucci. Ketiga pemuda itu bukan pembunuh, hanya pemuda-pemuda tangguh yang ingin memberi pelajaran pada Fanucci agar menghentikan pemerasan. Fanucci membuktikan diri sebagai pembunuh. Beberapa minggu kemudian pemuda yang menganiaya dirinya dengan pisau ditembak mati. Dan keluarga kedua pemuda lainnya membayar Fanucci agar bersumpah tidak akan membalas dendam. Setelah itu upetinya semakin tinggi dan Fanucci menjadi partner dalam usaha perjudian di lingkungan itu. Sedangkan Vito Corleone menganggap itu bukan urusannya. Ia segera melupakannya.

Pada Perang Dunia I, sewaktu minyak zaitun impor menjadi barang langka, Fanucci mendapat bagian keuntungan dari toko bahan pangan Abbandando dengan memasok bukan saja minyak, tapi juga salami, ham, dan keju impor dari Italia. Lalu ia memasukkan keponakannya di toko dan Vito Corleone pun kehilangan pekerjaan.

Pada waktu itu anak keduanya, Frederico, telah lahir dan Vito Corleone harus memberi makan empat mulut. Hingga saat itu ia masih pemuda pendiam yang bisa menahan diri, yang menyimpan pikirannya, tidak mengungkapkannya pada siapa pun. Anak pemilik toko makanan, Genco Abbandando, adalah sahabat karibnya, dan Vito membuat keduanya terkejut dengan mencela temannya atas perbuatan ayahnya itu. Genco, dengan wajah memerah karena malu, bersumpah kepada Vito bahwa ia tidak akan kekurangan makan. Bahwa ia, Genco, akan mencuri makanan dari toko untuk memenuhi kebutuhan sahabatnya. Tawaran ini ditolak tegas Vito; merupakan tindakan yang memalukan kalau anak mencuri dari ayahnya.

Tapi Vito muda merasakan kemarahan yang dingin pada Fanucci yang ditakuti itu. Ia tidak pernah memperlihatkan amarahnya dengan cara apa pun, hanya menunggu kesempatan. Ia bekerja di perusahaan kereta api selama beberapa bulan, dan sesudah perang berakhir, pekerjaan tidak begitu ramai hingga ia hanya bisa menerima upah beberapa hari kerja setiap bulannya. Juga sebagian besar mandornya orang Irlandia dan Amerika yang senang mencerca para pekerja dengan bahasa yang paling kotor. Vito selalu menunjukkan ekspresi kaku seperti tidak mengerti, walau ia sangat memahami bahasa Inggris tapi masih bicara dengan aksen Italia.

Pada suatu sore, sewaktu Vito sedang makan malam bersama keluarganya, terdengar ketukan di jendela yang menghadap saluran udara terbuka yang memisahkan mereka dari bangunan sebelah. Vito menyibakkan tirai, dan heran melihat salah satu pemuda di lingkungan itu, Peter Clemenza, mencondongkan tubuh dari jendela di seberang saluran. Ia mengulurkan bungkusan kain putih.

"Hei, paisan" kata Clemenza. "Simpankan ini sampai kuminta kembali. Cepat."

Vito otomatis mengulurkan tangan
menerima bungkusan itu. Wajah Clemenza tampak tegang dan mendesak. Kelihatannya ia tengah menghadapi kesulitan dan Vito menolongnya karena naluri. Tapi sewaktu membuka bungkusan itu di dapur, ia melihat ada lima pucuk pistol berminyak yang mengotori kain putihnya. Ia menyimpannya di lemari kamar dan menunggu. Ia mengetahui Clemenza dibawa pergi polisi. Mereka pasti sudah mengetuk pintunya sewaktu Clemenza memberikan pistol-pistol itu melalui saluran udara.

Vito tidak pernah menceritakannya pada orang lain dan tentu saja istrinya yang ketakutan tidak berani membuka mulut bahkan sewaktu bergosip, takut suaminya sendiri dijebloskan ke penjara. Dua hari kemudian, Peter Clemenza muncul kembali di lingkungan itu dan bertanya sambil lalu pada Vito, "Kau masih menyimpan barangku?"

Vito mengangguk. Ia memiliki kebiasaan sedikit bicara. Clemenza datang ke rumah sewaannya dan diberi segelas anggur, sementara Vito mengambil bungkusan itu dari lemari.

Clemenza meminum anggurnya, wajahnya yang gemuk dan ramah mengawasi Vito dengan waspada. "Kau melihat isinya?"

Vito, dengan wajah tetap pasif, menggeleng. "Aku tidak tertarik pada apa yang bukan urusanku," katanya.
Mereka minum anggur bersama-sama sepanjang sisa sore itu. Mereka segera akrab. Clemenza gemar bercerita; Vito Corleone senang mendengarkan orang yang senang bercerita. Mereka jadi bersahabat.

Beberapa hari kemudian Clemenza menanyakan pada istri Vito Corleone apakah ia ingin permadani yang bagus untuk lantai ruang duduknya. Ia mengajak Vito untuk membantu mengangkut permadaninya. Clemenza mengajak Vito ke apartemen dengan dua pilar marmer dan serambi depan dari marmer putih. Ia membuka pintu dan mereka berada dalam apartemen yang mewah.

Clemenza menggeram, "Pergilah ke ujung ruangan dan bantu aku menggulungnya."

Permadani itu terbuat wol merah tebal. Vito Corleone takjub pada kedermawanan Clemenza. Bersama-sama mereka menggulung permadani, Clemenza memegang ujung yang satu sementara Vito memegang ujung lain. Mereka mengangkat permadani dan mulai membawanya menuju pintu.

Saat itu bel apartemen berbunyi. Clemenza seketika menjatuhkan gulungan permadani dan berjalan ke jendela. Ia menyibakkan tirai ke samping sedikit dan apa yang dilihatnya menyebabkan ia mencabut pistol dari dalam jaket. Ketika itulah Vito Corleone yang kaget baru menyadari mereka mencuri permadani dari apartemen orang yang tidak dikenal.

Bel apartemen berbunyi lagi. Vito berdiri di samping Clemenza agar bisa melihat apa yang terjadi. Di pintu ada polisi berseragam. Sementara mereka memandang, polisi itu membunyikan bel sekali lagi, lalu mengangkat bahu dan berbalik menuruni tangga marmer ke jalan.

Clemenza mendengus puas dan berkata, "Ayo, kita pergi." Ia mengangkat kembali ujung permadani dan Vito mengangkat ujung yang lain.

Polisi belum lagi berbelok di tikungan sewaktu mereka keluar dari pintu kayu ek ke jalan, sambil membawa gulungan permadani di antara mereka. Tiga puluh menit kemudian mereka memotong permadani itu agar sesuai dengan ruang duduk apartemen Vito Corleone. Mereka masih memiliki cukup permadani untuk kamar tidur. Clemenza pekerja yang ahli dan dari dalam saku jasnya yang kebesaran (bahkan waktu itu ia telah senang mengenakan pakaian yang longgar walau belum terlalu gendut), ia mengeluarkan alat pemotong permadani yang dibutuhkan.

Waktu terus berjalan, dan keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Keluarga Corleone tidak bisa memakan permadani yang indah. Jadi, kalau tidak ada pekerjaan, istri dan anak-anaknya harus kelaparan. Vito menerima beberapa bungkus makanan dari sahabatnya Genco sementara ia memikirkan situasinya. Akhirnya ia didatangi Clemenza dan Tessio, pemuda tangguh lain dari lingkungannya. Mereka orang-orang yang menyukai dirinya, melihat caranya membawa diri, dan mengetahui ia tengah pusing memikirkan nasib. Mereka mengajaknya menjadi anggota geng mereka yang ahli membajak truk pengangkut gaun sutra sesudah truk itu dimuati di pabrik di 31st Street.

Tidak ada risikonya sama sekali. Sopir-sopir truk adalah orang-orang yang berpikiran waras, yang begitu melihat pistol langsung menelungkup di tepi jalan, sementara para pembajak melarikan truk untuk dibongkar muatannya di gudang seorang teman. Sebagian barangnya dijual pada pedagang grosir Italia, dan sisanya dijual dari rumah ke rumah di lingkungan masyarakat Italia-Arthur Avenue di Bronx, Mulberry Street, dan distrik Chelsea di Manhattan-semua kepada keluarga Italia yang miskin dan mencari barang murah, yang para putrinya tidak akan mampu membeli barang seindah itu.

Clemenza dan Tessio membutuhkan Vito untuk mengemudikan truk karena mereka mengetahui ia dulu sopir truk pengiriman di toko bahan pangan Abbandando. Pada tahun 1919, pengemudi mobil yang ahli sangat langka. Dengan mengabaikan akal sehatnya sendiri, Vito Corleone menerima tawaran mereka. Argumentasi yang menyebabkan ia mengambil keputusan itu adalah ia akan mendapat bagian minimal seribu dolar dari pekerjaan itu. Tapi menurutnya, teman-temannya yang masih muda melakukan kecerobohan, perencanaan mereka untuk pekerjaan itu kacau-balau, dan pendistribusian barang bajakannya dilakukan secara bodoh. Seluruh pendekatan mereka kurang hati-hati, tidak sesuai dengan seleranya. Tapi ia berpendapat mereka memiliki sifat yang baik dan mantap. Peter Clemenza, yang mulai gemuk, menimbulkan kepercayaan, dan Tessio yang kecil ramping menimbulkan keyakinan.

Pekerjaan itu sendiri dilakukan tanpa kesulitan. Vito Corleone tidak merasa takut, dan ini sangat mengherankan dirinya sendiri, sewaktu dua temannya menodongkan pistol dan memaksa sopir turun dari truk pengangkut sutra. Ia juga terkesan pada ketenangan Clemenza dan Tessio. Mereka tidak gugup, bahkan bergurau dengan sopirnya, mengatakan sopir itu anak yang baik sehingga mereka akan mengirimkan beberapa helai gaun kepada istrinya. Karena menurut Vito bodoh sekali menjajakan sendiri gaun-gaun itu, ia memberikan bagiannya pada tukang tadah, hingga hanya mendapat tujuh ratus dolar. Tapi jumlah ini cukup besar pada tahun 1919.

Pada hari berikutnya di jalan, Vito Corleone dihentikan Fanucci yang mengenakan setelan krem dan topi fedora putih. Fanucci bertampang brutal dan tidak melakukan apa pun untuk menyembunyikan bekas luka yang melingkar dari telinga ke telinga di bawah dagunya. Ia memiliki alis yang tebal dan kasar, dan wajah yang, anehnya, tampak ramah kalau tersenyum. Ia berbicara dengan aksen Sisilia yang sangat kental. "Ah, anak muda," katanya pada Vito. "Kata orang-orang, kau kaya. Kau dan kedua temanmu itu. Tapi apa kau tidak berpikir bahwa kau sudah agak meremehkan diriku? Bagaimanapun juga, ini lingkunganku, dan kalian harus mengizinkan aku membasahi paruhku." Ia menggunakan ungkapan Sisilia yang digunakan Mafia, "Fari vagnari a pizzu." Pizzu artinya paruh burung kecil seperti burung kenari. Ungkapan itu sendiri berarti menuntut bagian dari barang jarahan.

Sebagaimana kebiasaannya, Vito Corleone tidak menjawab. Ia seketika memahami arti kata-kata orang itu dan menunggu tuntutan yang pasti.

Fanucci tersenyum padanya, memperlihatkan gigi emas, dan memegang bekas luka yang seperti jerat membelit lehernya. Ia mengusap wajahnya dengan saputangan dan membuka kancing jas sesaat seakan untuk menyejukkan diri, tapi sebenarnya untuk menunjukkan pistol yang terselip di sabuknya. Lalu ia menghela napas dan berkata, "Beri aku lima ratus dolar dan akan kulupakan penghinaan kalian. Bagaimanapun, anak muda memang tidak mengetahui sopan santun yang seharusnya diberikan pada orang seperti diriku."

Vito Corleone tersenyum padanya dan biarpun ia pemuda yang belum pernah menumpahkan darah, ada sesuatu dalam senyumnya yang mendirikan bulu roma sehingga Fanucci ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan.

"Kalau tidak, polisi akan mencari kalian, istri dan anak-anak kalian akan malu dan telantar. Tentu saja, kalau informasi tentang keberuntungan kalian tidak benar, aku akan mencelupkan paruhku sedikit saja. Tapi tidak kurang dari tiga ratus dolar. Dan jangan coba-coba mengkhianatiku."

Untuk pertama kalinya Vito Corleone berbicara. Suaranya terkendali, tidak menunjukkan kemarahan. Bicaranya sopan, cocok bagi anak muda yang berbicara pada pria yang lebih tua dan lebih terkemuka seperti Fanucci. Ia berkata pelan, "Kedua temanku yang memegang uang bagianku, aku harus membicarakannya dengan mereka."

Fanucci jadi tenang. "Kau boleh memberitahu kedua temanmu itu bahwa aku berharap mereka mengizinkan aku membasahi paruhku dengan cara yang sama. Kau tidak perlu takut mengatakannya pada mereka," tambahnya untuk menegaskan. "Aku dan Clemenza kenal baik, ia memahami hal-hal seperti ini. Biarlah kau mendapat petunjuk dari mereka. Ia lebih berpengalaman dalam hal ini."

Vito Corleone mengangkat bahu. Ia berusaha terlihat agak malu. "Tentu saja," katanya. "Kau mengerti bahwa semua ini baru bagiku. Terima kasih sudah berbicara padaku seperti ayah baptis."

Fanucci kagum. "Kau anak yang baik," katanya. Ia memegang tangan Vito dan menggenggamnya dengan dua tangan berbulu. "Kau memiliki rasa hormat," katanya. "Hal yang baik pada diri anak muda. Lain kali bicarakan dulu denganku, eh? Mungkin aku bisa membantu rencanamu."

Pada tahun-tahun mendatang, Vito Corleone memahami bahwa yang menjadikan ia bertindak setaktis dan sesempurna itu dalam menghadapi Fanucci adalah kematian ayahnya yang pemarah, yang dibunuh Mafia di Sisilia. Tapi pada waktu itu yang dirasakannya hanyalah kemarahan yang dingin karena orang ini akan merampok uang yang diperolehnya dengan mempertaruhkan nyawa dan kebebasannya. Ia sama sekali tidak takut. Bahkan waktu itu ia berpikir Fanucci orang tolol yang sinting.

Dari apa yang dilihat Vito pada diri Clemenza, pria Sisilia gendut itu lebih suka kehilangan nyawa daripada kehilangan satu sen pun uang hasil rampokannya. Bagaimanapun, Clemenza siap membunuh polisi hanya karena ia mencuri permadani. Dan Tessio yang ramping sama berbahayanya dengan ular berbisa.

Tapi malam itu juga, di apartemen Clemenza di seberang lorong udara, Vito Corleone mendapat pelajaran lain dalam pendidikan yang baru saja dimulainya. Clemenza mengumpat, Tessio cemberut, tapi lalu keduanya mulai membicarakan apakah Fanucci akan puas dengan dua ratus dolar. Menurut Tessio ya.
Clemenza yakin. "Tidak, keparat itu pasti mengetahui berapa yang kita dapat dari pedagang grosir yang membeli gaun-gaun itu. Fanucci tidak akan mau menerima kurang lima sen pun dari tiga ratus dolar. Kita harus membayar."

Vito keheranan tapi ia berhati-hati untuk tidak memperlihatkan perasaannya. "Kenapa kita harus membayarnya? Apa yang bisa dilakukannya pada kita bertiga? Kita lebih kuat daripada dia. Kita memiliki pistol. Kenapa kita harus menyerahkan uang yang kita dapat dengan susah payah?"

Clemenza menjelaskan dengan sabar. "Fanucci memiliki teman-teman, semuanya orang yang kejam. Ia memiliki koneksi dengan polisi. Ia ingin kita memberitahukan rencana kita padanya agar bisa menjebak kita dan mendapat imbalan dari polisi. Dan mereka berutang budi padanya. Begitulah caranya beroperasi. Dan ia mendapat izin dari Maranzalla sendiri untuk beroperasi di lingkungan ini."

Maranzalla adalah gengster yang namanya sering masuk koran, terkenal sebagai bos penjahat yang mengkhususkan diri pada pemerasan, perjudian, dan perampokan bersenjata api.

Clemenza menyajikan anggur buatannya sendiri. Istrinya, setelah meletakkan sebaki salami, buah zaitun, dan roti Italia di meja, pergi untuk duduk-duduk bersama teman-teman wanitanya di depan apartemen, membawa kursinya sendiri. Ia wanita Italia muda yang baru beberapa tahun tinggal di Amerika dan belum menguasai bahasa Inggris.

Vito Corleone duduk dan minum anggur bersama kedua sahabatnya. Belum pernah ia menggunakan otaknya seperti sekarang. Ia takjub mampu berpikir sejernih ini. Ia mengingat segala sesuatu yang diketahuinya mengenai Fanucci. Ia teringat hari waktu orang mengiris leher Fanucci dan Fanucci lari sepanjang jalan sambil memegangi topi fedora di bawah dagu untuk menampung darah yang menetes-netes. Ia teringat pembunuhan terhadap orang yang menganiaya Fanucci dengan pisau dan kedua pemuda lain, yang mendapat hukuman tapi lalu dibatalkan dengan membayar ganti rugi. Dan tiba-tiba ia yakin Fanucci tidak memiliki koneksi dengan orang besar, tidak mungkin. Orang yang memberikan informasi kepada polisi tidak begitu. Begitu juga orang yang melupakan pembalasan dendamnya karena uang. Bos Mafioso sejati pasti akan membunuh kedua pemuda lain itu.

Tidak. Fanucci beruntung bisa membunuh satu orang, tapi ia mengetahui tidak akan bisa membunuh kedua orang lainnya sesudah mereka waspada. Jadi ia membiarkan dirinya "dibeli". Kebrutalan pribadi orang itulah yang menyebabkan ia bisa menarik upeti dari para pemilik toko dan perjudian yang dilakukan di apartemen-apartemen sewaan.

Tapi Vito Corleone tahu sedikitnya ada satu usaha perjudian yang tidak pernah membayar upeti pada Fanucci dan tidak terjadi apa pun pada orang yang menyelenggarakannya. Jadi Fanucci sendirilah masalahnya. Atau Fanucci dengan beberapa orang bersenjata yang disewa untuk pekerjaan khusus dengan dasar uang semata. Berarti Vito Corleone hanya punya satu pilihan lain. Jalan hidup yang harus ditempuhnya.

Dari pengalaman inilah timbul keyakinan yang sering dikatakannya bahwa setiap orang hanya memiliki satu takdir. Malam itu ia bisa saja membayar upeti kepada Fanucci dan menjadi pekerja toko bahan pangan lagi, lalu mungkin memiliki toko sendiri di tahun-tahun mendatang. Tapi takdir menentukan ia akan menjadi don dan menghadirkan Fanucci dalam hidupnya untuk menempatkan dirinya di jalan yang sesuai takdir.

Setelah mereka menghabiskan sebotol anggur, Vito berkata hati-hati kepada Clemenza dan Tessio, "Kalau kalian mau, bagaimana kalau kalian masing-masing memberiku dua ratus dolar untuk dibayarkan kepada Fanucci? Kujamin ia akan menerima jumlah itu dariku. Lalu serahkan segala sesuatunya padaku. Akan kuselesaikan masalah ini dengan cara yang memuaskan kalian."

Seketika mata Clemenza berkilau curiga. Vito berkata tenang padanya, "Aku tidak pernah membohongi orang yang sudah kuterima sebagai sahabat. Bicaralah kepada Fanucci sendiri besok pagi. Biar ia sendiri yang minta uang padamu. Tapi jangan bayar dia. Dan jangan bertengkar dengan cara apa pun. Katakan kau harus mengambil uangnya dan akan kauberikan padaku untuk kuberikan padanya. Biarlah ia mengerti kau bersedia membayar sebanyak yang dimintanya. Jangan tawar-menawar. Aku yang akan menawar harga dengannya. Tidak ada gunanya membuat ia marah pada kita kalau ia seberbahaya yang kalian katakan."

Mereka membiarkan masalahnya berhenti di sana. Keesokan harinya, Clemenza berbicara dengan Fanucci untuk memastikan Vito tidak mengarang cerita. Lalu Clemenza datang ke apartemen Vito dan memberinya dua ratus dolar. Ia menatap Vito Corleone dan berkata, "Fanucci mengatakan padaku uangnya tidak bisa kurang dari tiga ratus dolar. Bagaimana kau akan membuatnya mau menerima kurang dari itu?"

Vito Corleone menjawab dengan penuh pertimbangan, "Tentu saja itu bukan urusanmu. Hanya jangan lupa bahwa aku sudah membantumu."

Lalu Tessio datang. Tessio lebih mampu menahan diri daripada Clemenza, lebih cerdas, lebih pintar, tapi dengan semangat yang lebih rendah. Ia merasakan adanya kekurangan, ada yang tidak beres. Ia tampak agak gelisah. Ia berkata kepada Vito Corleone, "Hati-hatilah terhadap si Tangan Hitam keparat itu, ia penuh tipu muslihat. Kau ingin kutemani sebagai saksi sewaktu memberikan uangnya?"

Vito Corleone menggeleng. Ia bahkan tidak mau bersusah payah menjawab. Ia hanya berkata pada Tessio, "Katakan pada Fanucci, aku akan membayar uang padanya di sini, di rumahku pukul sembilan malam ini. Aku akan memberinya segelas anggur dan bicara, berunding dengannya supaya ia mau menerima jumlah yang lebih kecil."

Tessio menggeleng. "Kau tidak akan mujur. Fanucci tak pernah mundur."

"Aku akan bicara baik-baik dengannya," kata Vito Corleone. Ini akan menjadi ungkapan termasyhur bertahun-tahun yang akan datang. Ini merupakan peringatan, seperti yang dilakukan ular derik sebelum melontarkan patukan mematikan. Setelah ia menjadi don dan meminta lawan duduk serta berbicara baik-baik dengannya, mereka mengerti itu kesempatan terakhir untuk menyelesaikan urusan tanpa pertumpahan darah dan pembunuhan.

Vito Corleone mengatakan kepada istrinya agar membawa pergi kedua anaknya, Sonny dan Fredo, mengajak mereka ke ujung jalan sesudah makan malam, dan dalam keadaan bagaimanapun tidak membawa mereka kembali ke rumah sampai ia mengizinkan. Istrinya harus duduk berjaga di pintu gedung apartemen. Ia punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu dengan Fanucci. Ia melihat ekspresi ketakutan di wajah istrinya dan marah. "Kau mengira kau menikah dengan orang bodoh?"

Istrinya tidak menjawab. Ia tidak menjawab karena takut, sekarang bukan pada Fanucci, tapi pada suaminya. Vito tampak berubah di depan matanya, jam demi jam, menjadi pria yang memancarkan bahaya.

Vito Corleone selama ini pendiam, sedikit bicara, tapi selalu lemah lembut, mau diajak bicara, sifat luar biasa pada diri pria muda dari Sisilia. Yang dilihat istrinya adalah pelepasan samaran sebagai orang biasa yang tidak berbahaya, karena sekarang Vito siap menerima takdir. Ia agak terlambat memulainya, ia sudah berusia dua puluh lima tahun, tapi ia memulainya dengan penuh semangat.

Vito Corleone memutuskan membunuh Fanucci. Dengan berbuat begitu ia akan memiliki tambahan uang tujuh ratus dolar dalam tabungannya. Tiga ratus dolar uangnya sendiri yang mestinya dibayarkan pada si teroris Tangan Hitam ditambah dua ratus dolar dari Tessio dan dua ratus dolar dari Clemenza. Kalau tidak membunuh Fanucci, ia akan membayar tujuh ratus dolar tunai kepada orang itu. Ia tidak sudi membayar tujuh ratus dolar untuk membiarkan Fanucci tetap hidup. Kalau Fanucci membutuhkan tujuh ratus dolar untuk pembedahan agar bisa menyelamatkan nyawanya, ia tidak akan memberi Fanucci tujuh ratus dolar untuk membayar dokter bedah. Ia tidak berutang budi pada Fanucci, mereka tidak memiliki hubungan darah, dan ia tidak menyayangi Fanucci. Lalu kenapa ia harus memberi Fanucci tujuh ratus dolar? Dan selanjutnya tidak terelakkan, karena Fanucci ingin mengambil tujuh ratus dolar dari dirinya dengan kekerasan, kenapa ia tidak membunuh Fanucci saja? Dunia tidak bakal rugi kehilangan orang seperti Fanucci.

Tentu saja ada beberapa alasan praktis. Fanucci mungkin memang memiliki teman-teman yang berkuasa dan akan membalas dendam. Fanucci sendiri orang yang berbahaya, tidak begitu mudah dibunuh. Ada polisi dan ada kursi listrik. Tapi Vito Corleone memang hidup di bawah ancaman kematian sejak ayahnya terbunuh. Sebagai anak berumur dua belas tahun, ia melarikan diri dari tangan algojo yang akan mencabut nyawanya dan menyeberang lautan ke negeri asing, menyandang nama yang asing. Dan penyelidikan diam-diam selama bertahun-tahun meyakinkannya bahwa ia lebih memiliki kecerdasan dan keberanian daripada siapa pun, tapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk menggunakan kecerdasan dan keberanian itu.

Sekalipun begitu ia ragu-ragu sebelum mengambil langkah pertama menuju takdirnya. Ia bahkan menggulung tujuh ratus dolarnya jadi satu dan meletakkan uang itu di saku kiri celana. Di saku kanan ia mengantongi pistol pemberian Clemenza yang digunakan untuk membajak truk pengangkut sutra.

Fanucci datang tepat waktu pada pukul sembilan malam. Vito Corleone meletakkan seguci anggur buatan sendiri yang diperolehnya dari Clemenza. Fanucci meletakkan topi fedora putihnya di meja di samping guci anggur. Ia mengendurkan dasi lebar bermotif bunga yang dikenakannya, bekas-bekas tomat tersembunyi dalam motifnya yang berwarna-warni. Malam musim panas itu sangat gerah dan lampu gas hanya memancarkan cahaya remang-remang. Di dalam apartemen terasa sunyi. Tapi Vito Corleone sedingin es. Untuk memperlihatkan niat baik, ia mengulurkan gulungan uang dan mengawasi dengan hati-hati saat Fanucci, sesudah menghitung uangnya, mengeluarkan dompet kulit yang lebar dan memasukkan uang itu. Fanucci menenggak anggur dan berkata, "Kau masih berutang dua ratus dolar padaku."

Wajahnya yang beralis tebal tidak memancarkan ekspresi apa pun.

***
 
BAB 14b


Vito Corleone berkata tenang, "Aku agak kekurangan uang, aku baru saja kehilangan pekerjaan.' Izinkan aku berutang dulu padamu beberapa minggu."

Langkah itu merupakan pancingan. Fanucci sudah mendapatkan sebagian besar uangnya dan akan menunggu. Ia mungkin bahkan bisa dibujuk untuk tidak meminta tambahan lagi atau menunggu lebih lama. Ia tertawa kecil sambil minum anggur dan berkata, "Ah, kau anak muda yang cerdas. Kenapa aku tidak menyadarinya sebelum ini? Kau orang yang terlalu pendiam hingga merugikan dirimu sendiri. Aku bisa menemukan pekerjaan yang sangat menguntungkan bagimu."

Vito Corleone menunjukkan minat dengan anggukan sopan dan mengisi gelas Fanucci dengan anggur dari guci ungu.

Tapi Fanucci membatalkan niatnya untuk melanjutkan kata-katanya dan berdiri dari kursi, lalu menjabat tangan Vito. "Selamat malam, anak muda," katanya. "Tidak ada dendam, eh? Kalau ada yang bisa kubantu, beritahu saja aku. Kau sudah melakukan kebaikan bagi dirimu sendiri malam ini."

Vito membiarkan Fanucci menuruni tangga dan meninggalkan gedung apartemen. Jalan penuh saksi yang akan mengatakan ia telah meninggalkan rumah Corleone dan pulang dengan selamat. Vito mengawasinya dari jendela. Ia melihat Fanucci berbelok di tikungan menuju 11th Avenue dan mengetahui Fanucci tengah menuju apartemennya sendiri, mungkin untuk menyimpan hasil rampokannya sebelum kembali ke jalan. Mungkin untuk meletakkan pistol.

Vito Corleone meninggalkan apartemennya dan lari menaiki tangga ke atap. Ia berjalan di atap gedung-gedung yang merupakan blok-blok persegi dan menuruni tangga darurat kebakaran di gedung kosong, yang turun ke halaman belakang. Ia menendang pintu belakang hingga terbuka dan keluar lagi melalui pintu depan. Apartemen sewaan Fanucci berada di seberang jalan.
Daerah permukiman yang terdiri atas gedung-gedung apartemen hanya membentang ke barat hingga Tenth Avenue. Eleventh Avenue sebagian besar diisi gudang dan bangunan sementara yang disewa perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan New York Central Railroad. Di sana terdapat banyak lorong yang malang-melintang dari Eleventh Avenue ke Sungai Hudson. Apartemen Fanucci adalah salah satu dari beberapa apartemen yang masih berdiri di belantara beton ini, yang sebagian besar dihuni para pekerja kereta api dan stasiun yang masih bujangan, dan pelacur murahan. Orang-orang ini tidak duduk-duduk di pinggir jalan dan mengobrol dengan sesamanya seperti yang dilakukan orang-orang Italia yang jujur, mereka duduk di bar sambil meneguk upah. Jadi Vito Corleone dengan mudah bisa menyelinap menyeberangi Eleventh Avenue yang sepi dan masuk ke serambi gedung apartemen Fanucci. Di sana ia mencabut pistol yang belum pernah ditembakkannya dan menunggu.

Ia mengawasi dari balik pintu kaca serambi, mengetahui Fanucci akan datang dari arah Tenth Avenue. Clemenza telah menunjukkan padanya kunci pengaman pistol dan cara menarik pelatuknya dalam keadaan kosong. Tapi sebagai anak kecil di Sisilia, pada usia sembilan tahun ia sering berburu bersama ayahnya, sering menembakkan senapan tabur yang berat, yang disebut lupara. Keterampilannya dengan lupara bahkan saat ia masih kecillah yang membuat para pembunuh ayahnya menjatuhkan hukuman mati bagi dirinya.

Sekarang sewaktu menunggu di lorong yang gelap, ia melihat sosok Fanucci menyeberangi jalan menuju pintu.

Vito mundur, bahunya merapat ke bagian belakang pintu yang menuju tangga. Ia menggenggam pistolnya yang siap ditembakkan. Tangannya yang terulur hanya dua langkah dari pintu luar. Pintu pun terbuka ke dalam. Fanucci, putih, besar, bau, mengisi cahaya berbentuk persegi di pintu. Vito Corleone menembak.

Pintu yang terbuka menyebabkan suaranya terdengar hingga ke jalan, dan gema letusan pistol mengguncang gedung. Fanucci berpegangan pada sisi pintu, berusaha berdiri tegak, berusaha meraih pistol. Kekuatan gerakannya menyebabkan kancing-kancing jasnya lepas dan jasnya pun terbuka. Pistolnya kelihatan, tapi begitu pula darah merah di perut kemeja putihnya.

Dengan sangat hati-hati, seperti menusukkan jarum ke pembuluh darah, Vito Corleone menembakkan peluru kedua ke bercak darah Fanucci.

Fanucci jatuh berlutut, menahan pintu tetap terbuka. Ia mengerang mengerikan, erangan pria yang menderita kesakitan fisik yang sangat hebat hingga kedengarannya hampir lucu. Ia terus mengerang-erang; Vito ingat mendengar sedikitnya tiga erangan sebelum ia menempelkan pistol ke pipi Fanucci yang berkeringat dan berminyak, lalu menembak otaknya. Waktu berlalu tidak lebih dari lima detik sewaktu Fanucci jatuh tertelungkup tak bernyawa, menahan pintu tetap terbuka dengan tubuhnya.

Dengan hati-hati sekali Vito mengambil dompet lebar dari saku jas orang yang telah tewas itu dan memasukkannya ke balik kemejanya. Lalu ia menyeberangi jalan menuju gedung reyot, melalui gedung itu ke bengkel kereta api yang terbuka dan menaiki tangga darurat ke atap. Dari sana ia mengawasi jalan. Mayat Fanucci masih tergeletak di ambang pintu, tapi tidak terlihat tanda-tanda kehadiran orang lain. Dua jendela di apartemen sewaan itu telah terbuka dan ia bisa melihat kepala-kepala yang kehitaman menjulur keluar, tapi karena ia tidak bisa melihat wajah mereka, mereka pun pasti tidak bisa melihat wajahnya. Dan
orang-orang seperti itu tidak mau memberikan informasi pada polisi. Fanucci bisa tergeletak di sana hingga subuh atau hingga polisi yang berpatroli tersandung mayatnya. Tidak ada seorang pun di rumah itu yang akan sengaja melapor ke polisi untuk menjadi sasaran kecurigaan dan pertanyaan. Mereka akan mengunci pintu dan berpura-pura tidak mendengar apa pun.

Ia bisa santai. Ia melewati atap gedung-gedung apartemen untuk kembali ke pintu atapnya sendiri dan turun ke apartemen yang dihuninya. Ia membuka kunci pintu, masuk, dan mengunci pintunya. Ia membuka dompet orang yang telah tewas itu. Selain tujuh ratus dolar yang diperoleh Fanucci dari dirinya, ada beberapa lembar uang satu dolar dan selembar uang lima dolar. Di lipatan dompet terselip sekeping uang emas lima dolar, mungkin jimat keberuntungan. Kalau Fanucci gengster yang kaya, ia pasti tidak membawa hartanya ke mana-mana. Penemuan ini menguatkan beberapa kecurigaan Vito. Ia tahu harus menyingkirkan dompet dan pistolnya (bahkan waktu itu pun ia sudah cukup paham bahwa ia harus membiarkan kepingan uang emas itu tetap berada dalam dompet). Ia naik ke atap lagi dan berjalan melewati beberapa apartemen. Dilemparkannya dompet ke bawah di salah satu lorong udara, lalu ia mengosongkan pistol dan menghantamkan larasnya ke atap gedung. Laras itu tidak patah. Ia membaliknya di telapak tangan dan menghantamkan gagang pistol ke cerobong asap. Gagang pistol terbelah menjadi dua. Ia memukulkannya lagi dan pistol itu patah menjadi laras dan gagangnya menjadi dua bagian yang terpisah. Ia menggunakan lorong udara yang berbeda untuk membuang setiap potongan. Potongan-potongan pistol tersebut tidak menimbulkan suara sewaktu mengenai tanah sejauh lima tingkat di bawahnya, melainkan terbenam dalam gundukan sampah lunak yang terkumpul di sana. Besok pagi akan lebih banyak lagi sampah yang dibuang ke sana dari jendela-jendela, dan kalau ia beruntung, sampah-sampah itu akan menutupi segalanya.

Vito kembali ke apartemennya. Ia agak gemetar tapi bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Ia berganti pakaian dan takut ada sedikit percikan darah di pakaiannya, melemparkan pakaian itu ke bak besi yang digunakan istrinya untuk mencuci. Ia mengambil larutan alkali dan sabun cuci cokelat, merendam pakaian, dan mencucinya di tempat cuci piring. Lalu ia menggosok bak cuci dan tempat cuci piring dengan larutan alkali dan sabun. Ia menemukan pakaian yang baru dicuci di sudut kamar tidur dan mencampurkan pakaiannya sendiri di tumpukan itu. Lalu ia mengenakan kemeja dan celana yang sudah disetrika dan turun untuk menemani istri dan anak-anaknya yang duduk bersama para tetangga di depan apartemen.

Semua tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu. Polisi, setelah menemukan mayat Fanucci pagi harinya, tidak pernah menanyai Vito Corleone. Bahkan ia heran polisi tidak pernah mengetahui kunjungan Fanucci ke rumahnya pada malam ia ditembak mati. Vito mengandalkan hal itu sebagai alibinya, yaitu Fanucci meninggalkan apartemennya dalam keadaan hidup. Belakangan ia baru mengetahui bahwa polisi senang dengan terbunuhnya Fanucci dan tidak terlalu bernafsu mengejar pembunuhnya. Mereka menduga kematiannya adalah hukuman yang dilakukan geng lain, dan mereka menanyai penjahat-penjahat yang memiliki catatan pelanggaran hukum dan riwayat penggunaan kekerasan. Karena Vito tidak pernah terlibat masalah, ia tidak pernah diperhatikan polisi.

Tapi kalau polisi bisa dibohongi, teman-temannya lain lagi. Peter Clemenza dan Tessio menghindarinya selama seminggu berikutnya, lalu seminggu lagi, dan setelah itu baru mereka mengunjungi rumahnya pada suatu sore. Mereka datang dengan rasa hormat yang mencolok. Vito Corleone menyambut mereka dengan kesopanan yang pasif dan menjamu mereka dengan anggur.

Clemenza yang berbicara terlebih dulu. Ia berkata pelan, "Tidak ada yang memungut upeti dari para pemilik toko di Ninth Avenue. Tidak ada yang memungut pembayaran dari permainan kartu dan perjudian di lingkungan ini."

Vito Corleone menatap kedua temannya dengan mantap tapi tidak menjawab. Tessio berkata, "Kita bisa mengambil alih pelanggan Fanucci. Mereka akan membayar kita."

Vito Corleone mengangkat bahu. "Kenapa datang padaku? Aku tidak tertarik pada hal-hal seperti itu."

Clemenza tertawa. Bahkan di masa mudanya, sebelum perutnya membuncit, tawanya sudah seperti tawa pria gendut. Sekarang ia berkata pada Vito Corleone, "Bagaimana dengan pistol yang kuberikan padamu untuk pekerjaan dengan truk? Karena tidak membutuhkannya lagi, kau bisa mengembalikannya padaku."

Dengan sangat lambat dan tanpa terburu-buru, Vito Corleone mengeluarkan gulungan uang dari saku celana dan mengambil lima lembar uang sepuluh dolar. "Ini, kubayar kau. Aku sudah membuang pistol itu setelah pekerjaan dengan truk." Ia tersenyum pada kedua temannya.

Waktu itu Vito Corleone belum mengetahui pengaruh senyumnya. Senyumnya terasa dingin karena tidak mengandung ancaman. Ia tersenyum seakan ada lelucon pribadi yang hanya dipahaminya sendiri. Tapi karena ia tersenyum seperti itu hanya kalau ada masalah yang berkaitan dengan kematian, dan karena leluconnya tidak benar-benar pribadi,
juga karena matanya tidak ikut tersenyum, dan karena sifatnya yang biasanya begitu masuk akal dan tenang, penampakan tiba-tiba jati dirinya yang sebenarnya terasa menakutkan.

Clemenza menggeleng. "Aku tidak menginginkan uang," katanya.

Vito mengantongi kembali uangnya. Ia menunggu. Mereka semua saling memahami. Mereka mengetahui ia telah membunuh Fanucci. Dan walaupun mereka tidak pernah membicarakan hal itu dengan siapa pun, dalam waktu beberapa minggu seluruh lingkungan pun mengetahuinya. Vito Corleone diperlakukan sebagai "orang terhormat" oleh setiap orang. Tapi ia tidak mau mengambil alih usaha pemerasan dan penarikan upeti yang dilakukan Fanucci.

Apa yang terjadi selanjutnya tidaklah tetelakkan. Pada suatu malam istri Vito membawa tetangga mereka yang janda ke apartemen mereka. Wanita itu orang Italia dengan sifat yang tidak bercacat. Ia bekerja keras dan mengurus rumah bagi anak-anaknya yang tidak lagi memiliki ayah. Putranya yang berusia enam belas tahun membawa pulang amplop gajinya dalam keadaan masih tertutup, diserahkan kepadanya sesuai adat leluhur, putrinya yang berusia tujuh belas tahun, penjahit, juga begitu. Seluruh keluarga menjahitkan kancing ke kartu-kartu di malam hari dengan upah yang tidak seberapa. Wanita itu bernama Signora Colombo.

Istri Vito Corleone berkata, "Signora ini membutuhkan bantuan. Ia punya masalah."

Vito Corleone mengira akan dimintai bantuan uang, yang siap diberikannya. Tapi tampaknya Mrs. Colombo memiliki anjing yang sangat disayangi putra bungsunya. Pemilik rumah sewaan menerima keluhan mengenai anjing yang selalu menyalak di malam hari dan meminta Mrs. Colombo menyingkirkannya. Mrs. Colombo berpura-pura mematuhinya. Pemilik rumah mengetahui ia berbohong dan memerintahkan ia meninggalkan apartemen. Kali ini Mrs. Colombo berjanji akan benar-benar menyingkirkan anjingnya. Tapi pemilik rumah begitu marah sehingga tidak mencabut perintahnya. Mrs. Colombo harus keluar dari apartemennya, kalau tidak pemilik rumah akan memanggil polisi untuk mengusirnya. Dan putranya yang bungsu menangis sewaktu mereka memberikan anjingnya kepada kerabat yang tinggal di Dong Island. Semuanya sia-sia, mereka tetap harus meninggalkan apartemennya.

Vito Corleone bertanya lembut, "Kenapa kau meminta bantuanku?"

Mrs. Colombo mengangguk ke arah istri Vito. "Ia yang memberitahuku untuk meminta bantuanmu."

Vito heran. Istrinya tidak pernah bertanya mengenai pakaian yang dicucinya pada malam ia membunuh Fanucci. Istrinya tidak pernah bertanya dari mana asal semua uang itu padahal ia tidak bekerja. Bahkan sekarang pun wajah istrinya tetap pasif. Vito berkata pada Mrs. Colombo, "Aku bisa memberimu sedikit uang untuk membantumu pindah, itu yang kauinginkan?''

Wanita itu menggeleng, air matanya berlinang, "Semua temanku ada di sini, semua gadis yang tumbuh besar bersamaku di Italia. Bagaimana aku bisa pindah ke lingkungan lain yang penuh orang asing? Aku ingin kau berbicara dengan pemilik apartemen agar mengizinkan aku tetap tinggal di sana."

Vito mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kau tidak perlu pindah. Aku akan berbicara dengannya besok pagi."

Istrinya tersenyum padanya tapi ia tidak membalas, sekalipun merasa senang. Mrs. Colombo tampak kurang yakin. "Kau yakin ia akan setuju, pemilik apartemen itu?" tanyanya.

"Signor Roberto?" kata Vito dengan nada terkejut. "Tentu saja ia akan setuju. Ia orang yang baik hati. Begitu kujelaskan masalahmu padanya, ia akan merasa kasihan padamu. Nah, jangan biarkan masalah itu membuatmu gelisah lagi. Jangan bingung. Jaga saja kesehatanmu, demi anak-anakmu."

***

Pemilik apartemen, Signor Roberto, datang ke lingkungan itu setiap hari untuk memeriksa lima apartemen sewaan miliknya. Ia padrone, orang yang menjual tenaga kerja Italia begitu turun dari kapal kepada perusahaan-perusahaan besar. Dengan keuntungannya ia membeli gedung-gedung apartemen sewaan itu satu demi satu. Sebagai orang terpelajar dari Italia utara, ia membenci orang-orang selatan dari Sisilia dan Napoli yang buta huruf, yang memenuhi gedungnya seperti hama, yang melemparkan sampah di lorong udara, yang membiarkan kecoak dan tikus menggerogoti dinding tanpa mau berusaha menyelamatkan propertinya. Ia bukan orang yang jahat. Ia ayah dan suami yang baik, tapi terus-menerus mengkhawatirkan investasinya, mengkhawatirkan uang yang diterimanya, pengeluaran yang tidak terelakkan sebagai pemilik apartemen sewaan yang membuat sarafnya tegang terus.

Sewaktu Vito Corleone menghentikannya di jalan untuk meminta berbicara dengannya sebentar, Roberto tak menanggapi. Ia tidak kasar, sebab setiap orang dari selatan mungkin akan menikamnya kalau ia salah berbicara atau salah bersikap, walau orang ini tampak seperti pemuda yang pendiam.

"Signor Roberto," kata Vito Corleone, "teman istriku, janda miskin yang tidak memiliki pria untuk melindunginya, mengatakan padaku bahwa karena suatu alasan ia diusir dari apartemennya di gedung milikmu. Kukatakan padanya aku akan berbicara denganmu, bahwa kau orang yang bisa diajak bicara baik-baik dan bertindak begitu hanya karena salah paham. Ia sudah menyingkirkan hewan yang menimbulkan semua kesulitan ini, jadi kenapa ia tidak boleh tetap tinggal? Sebagai sesama orang Italia, aku meminta bantuanmu."

Di hadapannya. Ia melihat pemuda dengan perawakan sedang tapi kekar, berpenampilan seperti orang-orang umumnya tapi bukan penjahat, meskipun secara menggelikan ia berani menyebut dirinya orang Italia. Roberto mengangkat bahu. "Aku sudah menyewakan apartemen itu pada keluarga lain dengan sewa yang lebih tinggi," katanya. "Aku tidak bisa mengecewakan mereka demi temanmu."

Vito Corleone mengangguk tanda mengerti. "Seberapa lebih tinggi sewanya sebulan?" tanyanya.

"Lima dolar," kata Roberto. Ia berbohong. Apartemen di kompleks kereta api, empat kamar yang gelap, disewakan hanya dua belas dolar sebulan pada si janda dan Roberto tidak bisa mendapatkan uang sewa yang lebih banyak dari penyewa baru.

Vito Corleone mengeluarkan uang dari saku dan mengambil tiga lembar sepuluh dolar. "Ini untuk kenaikan sewa selama enam bulan, dibayar di depan. Kau tidak perlu berbicara dengan janda itu mengenai hal ini, ia wanita yang penuh martabat. Temui aku lagi enam bulan mendatang. Tapi tentu saja kau harus membiarkan anjingnya tetap tinggal di sana."
"Persetan," kata Signor Roberto. "Kau ini siapa, berani memerintah diriku? Jaga kesopananmu atau pantat Sisilia-mu akan mencium jalanan di sini."

Vito Corleone mengangkat tangan dengan heran. "Aku meminta bantuanmu, hanya itu. Orang tidak pernah tahu kapan ia membutuhkan teman, bukan? Ini, terimalah uang ini sebagai tanda niat baikku dan ambillah keputusan. Aku tidak berani mencampuri pengambilan keputusanmu." Ia menjejalkan uang itu ke tangan Roberto. "Tolonglah, ambillah uang ini dan pikirkan kembali masalahnya. Besok pagi kalau kau ingin mengembalikan uangnya, jangan ragu-ragu melakukannya. Kalau kau ingin mengusir wanita itu dari rumahmu, mana aku bisa mencegahnya? Bagaimanapun juga, itu rumahmu. Kalau kau tidak menginginkan adanya anjing di sana, aku mengerti. Aku sendiri tidak menyukai hewan." Ia menepuk-nepuk bahu Signor Roberto. "Tapi tolonglah aku kali ini, eh? Aku tidak akan melupakannya. Tanyakan pada teman-temanmu di lingkungan sini mengenai diriku, dan mereka akan memberitahumu bahwa aku orang yang senang menunjukkan rasa terima kasih."

Tapi tentu saja Roberto sudah paham. Sore itu ia mulai menyelidiki Vito Corleone. Ia tidak menunggu hingga esok harinya. Ia mengetuk pintu rumah Corleone malam itu juga, meminta maaf karena datang selarut itu, dan menerima segelas anggur dari Signora Corleone. Ia meyakinkan Vito Corleone bahwa semua ini hanya kesalahpahaman besar, bahwa tentu saja Signora Colombo akan tetap tinggal di apartemennya, tentu saja ia boleh tetap memelihara anjingnya. Memangnya siapa penyewa brengsek yang berani mengeluhkan bunyi hewan malang itu, mereka kan membayar sewa begitu rendah? Akhirnya ia meletakkan uang tiga puluh dolar yang diterimanya dari Vito di meja dan mengatakan dengan nada yang sangat tulus, "Kebaikan hatimu dalam menolong janda yang malang ini membuatku malu dan aku ingin memperlihatkan bahwa aku juga memiliki kemurahan hati Kristiani. Sewanya akan tetap sama seperti sebelumnya."

Semua pihak memainkan komedi ini dengan baik. Vito menuangkan anggur, meminta kue dihidangkan, menjabat tangan Signor Roberto, dan memujinya kebaikan hatinya.

Roberto menghela napas dan berkata bahwa berkenalan dengan orang seperti Vito Corleone memulihkan kepercayaannya pada kebaikan sifat manusia.

Akhirnya mereka berpisah. Roberto, dengan badan lemas seakan kehilangan semua tulang karena ketakutan memikirkan dirinya yang nyaris celaka, naik trem pulang ke rumahnya di Bronx dan langsung tidur. Ia tidak datang ke apartemennya hingga tiga hari kemudian.

Vito Corleone sekarang menjadi "orang terhormat" di lingkungan itu. Ia dikenal sebagai anggota Mafia Sisilia.

Pada suatu hari seorang pria yang menyelenggarakan permainan kartu di kamar rumahnya menemuinya dan dengan suka rela membayar dua puluh dolar setiap minggu sebagai tanda "persahabatan" di antara mereka. Ia hanya perlu mengunjungi perjudian itu satu atau dua kali seminggu untuk meyakinkan para pemain bahwa mereka ada di bawah perlindungannya.

Para pemilik toko yang menghadapi masalah dengan bajingan-bajingan muda meminta bantuannya sebagai penengah. Ia melakukannya dan mendapat imbalan yang pantas. Dalam waktu singkat ia memiliki pendapatan yang sangat besar untuk masa dan tempat itu, seratus dolar seminggu. Karena Clemenza dan Tessio sahabatnya, sekutunya, ia memberi mereka bagian, tapi ia melakukannya tanpa diminta.

Akhirnya ia memutuskan terjun ke bisnis impor minyak zaitun dengan sahabat masa kanak-kanaknya, Genco Abbandando. Genco akan menangani bisnis itu, mengimpor minyak dari Italia, membeli dengan harga yang layak, dan menyimpannya di gudang ayahnya. Genco memiliki pengalaman menangani bagian bisnis tersebut. Clemenza dan Tessio dijadikan wiraniaga. Mereka mengunjungi setiap toko bahan pangan Italia di Manhattan, lalu di Brooklyn, selanjutnya Bronx, untuk membujuk para pemilik toko agar mau menjual minyak zaitun Genco Pura. (Dengan kerendahan hatinya yang khas, Vito Corleone tidak mau menggunakan namanya sendiri sebagai merek dagang.) Tentu saja Vito menjadi pemimpin perusahaan karena ia yang menyediakan sebagian besar modal. Ia juga selalu dipanggil dalam beberapa masalah tertentu, sewaktu pemilik toko tidak mau menerima tawaran Clemenza dan Tessio. Lalu Vito Corleone akan menggunakan kemampuan membujuknya yang luar biasa.

Selama beberapa tahun berikutnya, Vito Corleone menikmati hidup yang sangat memuaskan sebagai pengusaha muda yang memusatkan seluruh perhatiannya untuk membangun usaha dalam perekonomian yang dinamis dan makin berkembang. Ia ayah dan suami yang berbakti pada keluarga, tapi hanya memiliki sedikit waktu untuk mereka. Sementara minyak zaitun Genco Pura berkembang menjadi minyak impor dari Italia yang paling laris di Amerika, organisasinya pun berkembang pesat. Seperti wiraniaga yang baik, ia pun memahami keuntungan menurunkan harga dibandingkan para saingan, menghalangi jalur distribusi mereka dengan membujuk pemilik toko untuk mengurangi simpanan merek lain. Seperti wiraniaga yang baik lainnya, ia ingin melakukan monopoli dengan memaksa para pesaingnya meninggalkan arena atau bergabung dengan perusahaannya sendiri. Namun, karena ia memulai dengan keadaan tidak berdaya secara ekonomi, karena ia tidak menyukai iklan, hanya mengandalkan berita dari mulut ke mulut, dan karena kalau mau jujur sebenarnya minyak zaitunnya tidak lebih baik daripada milik pesaingnya, ia tidak bisa menggunakan taktik bersaing yang umumnya digunakan para pengusaha. Ia harus mengandalkan kekuatan kepribadiannya dan reputasinya sebagai "orang terhormat".

***
 
BAB 14c


Bahkan sebagai pemuda, Vito Corleone telah dikenal sebagai "orang yang senang berbicara baik-baik". Ia tidak pernah mengancam. Ia selalu menggunakan logika yang terbukti tidak bisa ditolak. Ia selalu memastikan orang lain mendapat bagian dari keuntungan. Tidak ada seorang pun yang rugi. Tentu saja ia melakukan semua ini dengan tujuan yang jelas. Seperti banyak pengusaha jenius lain, ia mengetahui persaingan bebas merupakan penyia-nyiaan, sementara monopoli efisien. Jadi ia pun berusaha meraih monopoli yang efisien. Ada beberapa pedagang grosir minyak di Brooklyn, orang-orang yang pemarah, keras kepala, tidak mau diajak bicara baik-baik, tidak mau melihat dan mengakui visi Vito Corleone walau ia sudah menjelaskan pada mereka segalanya dengan rinci dan penuh kesabaran. Menghadapi orang-orang seperti ini, Vito Corleone mengangkat tangan dan mengirim Tessio ke Brooklyn untuk mendirikan markas dan memecahkan masalah. Gudang-gudang dibakar, bertruk-truk minyak zaitun ditumpahkan hingga membentuk genangan di jalan-jalan pelabuhan. Seseorang yang bodoh, seseorang dari Milan yang sombong dan lebih percaya pada polisi daripada kepercayaan orang kudus kepada Kristus, benar-benar menemui pihak berwajib dengan keluhan terhadap sesamanya orang Italia, melanggar hukum omerta yang sudah berusia sepuluh seabad.

Tapi sebelum persoalan berkembang lebih lanjut, pedagang grosir itu menghilang, tidak ada yang pernah melihatnya lagi. Ia meninggalkan istri dan tiga anaknya yang, untungnya, berkat karunia Tuhan, cukup dewasa untuk mengambil alih bisnis ayahnya dan berdamai dengan Perusahaan Minyak Genco Pura. Tapi orang-orang besar tidak dilahirkan begitu, mereka tumbuh jadi besar, begitu pula Vito Corleone. Sewaktu larangan minuman keras diberlakukan dan penjualan alkohol dilarang, Vito Corleone mengambil langkah terakhir dari pengusaha biasa yang cukup keras menjadi don besar di dunia kejahatan. Hal itu tidak terjadi dalam waktu sehari.

Tapi pada akhir masa larangan minuman keras dan awal Depresi Besar, Vito Corleone sudah menjadi Godfather, menjadi don, Don Corleone. Hal ini dimulai nyaris secara kebetulan. Pada waktu itu Perusahaan Minyak Genco Pura telah memiliki enam truk pengiriman. Melalui Clemenza, Vito Corleone didekati sekelompok pembuat minuman keras ilegal yang menyelundupkan alkohol dan wiski dari Kanada ke Amerika Serikat. Mereka membutuhkan truk dan tenaga pengantar untuk mendistribusikan hasil produksi mereka ke seluruh New York City. Mereka membutuhkan tenaga pengantar yang bisa diandalkan, bijaksana, memiliki tekad dan semangat yang besar. Mereka bersedia membayar Vito Corleone untuk truk dan anak buahnya. Upahnya begitu besar hingga Vito Corleone mengurangi secara drastis bisnis minyaknya agar truk-truknya bisa digunakan hampir eksklusif untuk melayani penyelundup dan pembuat minuman keras ilegal. Ia melakukannya biarpun ada ancaman samar yang menyertai tawaran orang-orang itu. Tapi bahkan pada waktu itu Vito Corleone telah cukup matang sehingga tidak merasa tersinggung atau marah karena ancaman itu sampai menolak tawaran yang menguntungkan. Ia menilai ancaman tersebut, dan menyadari ancaman itu dilontarkan karena kurangnya keyakinan; akibatnya ia menurunkan penilaiannya terhadap mitra dagang barunya karena mereka begitu tolol dan menggunakan ancaman yang tidak perlu. Ini informasi yang berguna untuk dipertimbangkan pada waktunya nanti.

Sekali lagi ia makmur. Tapi, yang lebih penting lagi, ia memperoleh pengetahuan dan kontak serta pengalaman. Dan ia menyimpan perbuatan baik seperti bankir menimbun sekuritas. Sebab selama tahun-tahun berikutnya jelas bahwa Vito Corleone bukan hanya orang yang berbakat, tapi juga jenius dengan caranya sendiri. Ia menjadikan dirinya pelindung keluarga-keluarga Italia yang mengelola usaha kecil-kecilan di rumah, menjual wiski dengan harga lima belas sen segelas kepada para pekerja bujangan. Ia menjadi bapak pelindung bagi putra Mrs. Colombo yang bungsu pada krisma anak itu dan Vito menghadiahinya sekeping uang emas dua puluh dolar. Sementara itu, karena beberapa truknya tidak terelakkan dihentikan polisi, Genco Abbandando menyewa pengacara yang baik dengan banyak kontak di Departemen Kepolisian dan Kejaksaan. Sistem pembayaran dibentuk dan segera organisasi Corleone mempunyai "neraca" yang cukup besar, daftar para pejabat yang berhak mendapat pembayaran bulanan. Ketika si pengacara berusaha membatasi daftar ini, minta maaf karena besarnya pengeluaran, Vito Corleone menenangkannya. "Tidak, tidak," katanya. "Masukkan mereka semua ke daftar walaupun mereka tidak bisa menolong kita sekarang ini. Aku percaya pada persahabatan dan aku bersedia memperlihatkan persahabatanku lebih dulu."

Seiring berlalunya waktu, kerajaan Corleone menjadi semakin besar, lebih banyak truk ditambahkan, dan "daftar" pun semakin panjang. Orang-orang yang bekerja langsung di bawah Tessio dan Clemenza juga meningkat jumlahnya. Semua menjadi repot ditangani. Akhirnya Vito Corleone merencanakan suatu sistem organisasi. Ia memberi Clemenza dan Tessio jabatan sebagai caporegime, atau kapten, dan orang-orang yang bekerja di bawah perintah mereka mendapat pangkat prajurit. Ia menunjuk Genco Abbandando sebagai penasihatnya, atau consigliori. Ia meletakkan lapisan-lapisan penghalang di antara dirinya dan tindakan operasional apa pun. Kalau ia memberi perintah, perintah itu diberikannya pada Genco atau salah seorang caporegime saja. Jarang ia punya saksi untuk perintah yang diberikan pada salah satu seorang dari mereka. Kemudian ia memecah kelompok Tessio dan membuat kelompok itu bertanggung jawab atas daerah Brooklyn. Ia juga memisahkan Tessio dari Clemenza serta selama bertahun-tahun menegaskan bahwa ia tidak ingin kedua orang itu berhubungan, walaupun hanya berbasa-basi, kecuali kalau sangat diperlukan. Ia menjelaskan ini kepada Tessio yang lebih cerdas, yang seketika menangkap maksudnya, walaupun Vito menerangkannya sebagai tindakan pengamanan menghadapi hukum. Tessio mengerti Vito tidak ingin kedua caporegime punya kesempatan bersekongkol melawannya dan ia juga paham di sini tidak ada maksud buruk apa pun, hanya tindakan berjaga-jaga yang taktis. Sebagai gantinya Vito memberi Tessio kebebasan beroperasi di Brooklyn sementara ia tetap mengawasi dengan ketat wilayah Bronx yang merupakan tanggung jawab Clemenza. Clemenza lebih berani, lebih sembrono, dan lebih kejam walaupun penampilan luarnya periang, dan memerlukan kendali yang lebih ketat.

Depresi Besar meningkatkan kekuasaan Vito Corleone. Dan memang sudah tiba saatnya ia disebut Don Corleone. Dimana-mana di kota, orang-orang jujur dengan sia-sia mencari pekerjaan yang halal. Orang-orang yang tinggi hati merendahkan diri dan keluarga mereka untuk menerima bantuan resmi dari pejabat pemerintah yang sombong. Tapi anak buah Don Corleone berjalan di depan umum dengan kepala terangkat tinggi, saku mereka penuh uang logam dan kertas. Tanpa rasa takut kehilangan pekerjaan. Bahkan Don Corleone, orang yang paling rendah hati, mau tidak mau juga merasa bangga. Ia mengurus dunianya, anak buahnya. Ia tidak mengecewakan mereka yang bergantung padanya dan memeras keringat baginya, mempertaruhkan kemerdekaan hidup mereka untuk melayani dirinya. Dan kalau salah seorang anak buahnya ditangkap dan dipenjara karena nasib sial, keluarga orang yang sial itu mendapat tunjangan hidup. Dan bukan dalam jumlah kecil yang menyakitkan hati, tapi sama besarnya dengan yang diperoleh sewaktu si anak buah masih bebas. Tindakan ini tentu saja bukan kedermawanan Kristiani semata. Teman-teman terbaiknya tidak bisa menyebut Don Corleone santo dari surga. Ada kepentingan pribadi dalam kedermawanannya. Karyawan yang dipenjara tahu ia hanya perlu menutup mulut agar istri dan anak-anaknya tetap terjamin hidupnya. Ia mengetahui kalau ia tidak memberi informasi kepada polisi, ia akan mendapat sambutan hangat begitu bebas dari penjara. Pesta akan diselenggarakan di rumahnya, dengan hidangan paling mewah, ravioli, anggur, kue-kue buatan sendiri, dan semua teman bersama keluarga masing-masing berkumpul untuk merayakan kebebasannya. Dan terkadang di malam hari, Consigliori, Genco Abbandando, atau mungkin bahkan Don sendiri, akan mampir untuk menyampaikan penghargaan atas keteguhan hatinya, minum segelas anggur untuk menghormatinya, dan memberi hadiah uang agar ia bisa bersantai menikmati hidup selama satu atau dua minggu bersama keluarganya sebelum kembali membanting tulang dalam pekerjaan sehari-hari. Hingga sear itulah simpati dan pengertian Don Corleone. Pada waktu itulah Don terpikir bahwa ia mengurus nianya jauh lebih baik daripada musuh-musuhnya mengurus dunia mereka yang lebih besar dan selalu menghambat jalannya. Dan perasaan ini diperkuat orang-orang miskin di lingkungannya yang terus mendatanginya untuk minta bantuan. Untuk mendapat bantuan bagi keluarga, mendapat pekerjaan, atau membebaskan putra mereka dari penjara, meminjam sedikit uang yang sangat dibutuhkan, turun tangan dalam perselisihan dengan pemilik rumah yang tetap menuntut pembayaran sewa dari penghuni yang kehilangan pekerjaan.

Don Vito Corleone membantu mereka semua. Bukan hanya itu, ia membantu mereka dengan niat baik, dengan kata-kata yang membesarkan hati untuk membuang perasaan kurang enak dari amal yang diberikannya. Jadi wajar saja kalau saat orang-orang Italia ini kebingungan mengenai siapa yang harus mereka pilih untuk mewakili mereka di badan legislatif negara bagian, di balai kota, dalam Kongres, mereka meminta nasihat kepada sahabat mereka Don Corleone, Godfather mereka. Dan begitulah cara Don Corleone menjadi kekuatan politik yang diajak bicara oleh para ketua partai yang berpikiran praktis. Ia mengonsolidasi kekuatan ini dengan kecerdikan negarawan yang berwawasan luas; dengan membantu anak-anak yang cemerlang dari keluarga Italia miskin untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, anak-anak yang kemudian menjadi ahli hukum, pengacara, asisten jaksa wilayah, bahkan hakim. Ia merencanakan masa depan kerajaannya dengan wawasan pemimpin nasional hebat.

Pencabutan larangan minuman keras memberikan pukulan yang melumpuhkan pada kerajaan ini, tapi sekali lagi ia sudah mengambil beberapa langkah untuk berjaga-jaga. Pada tahun 1933, ia mengirim utusan kepada orang yang mengendalikan semua kegiatan perjudian di Manhattan, permainan judi di pelabuhan, usaha lintah darat yang menyertainya seperti penjualan hot dog mendampingi pertandingan bisbol, penjualan kupon taruhan dalam olahraga dan pacuan kuda, rumah judi gelap yang menyelenggarakan permainan poker, penjualan nomor lotre di Harlem. Pria itu bernama Salvatore Maranzano dan ia salah seorang yang diakui sebagai pezzonovante, kaliber .90, atau orang besar di dunia bawah tanah New York. Utusan Corleone menawarkan kepada Maranzano usaha patungan yang menguntungkan kedua belah pihak. Vito Corleone dengan organisasinya, kontak polisi dan politiknya, bisa memberikan payung yang kuat dan kekuatan baru bagi operasi Maranzano untuk diperluas hingga Bronx dan Brooklyn. Tapi Maranzano orang yang picik dan menolak mentah-mentah tawaran Corleone. Al Capone yang hebat bersahabat dengan Maranzano dan ia memiliki organisasi sendiri, anak buah sendiri, ditambah harta rampasan perang yang banyak. Ia tidak mau menerima pemula yang bereputasi lebih sebagai tukang debat dalam parlemen daripada Mafioso sejati. Penolakan Maranzano mengobarkan perang besar di tahun 1933 yang mengubah seluruh struktur dunia bawah tanah New York City.

Pada kesan pertama pertarungan itu seperti tidak seimbang. Salvatore Maranzano memiliki organisasi yang kuat dengan jumlah prajurit yang jauh lebih banyak. Persahabatannya dengan Al Capone di Chicago sangat erat dan ia bisa meminta bantuan di kawasan itu. Ia juga berhubungan baik dengan Keluarga Tattaglia, yang mengendalikan pelacuran dan peredaran obat bius, yang masih kecil-kecilan pada masa itu, di New York. Ia juga memiliki kontak politik dengan pemimpin bisnis yang berkuasa, yang menggunakan prajuritnya untuk meneror aktivis serikat buruh Yahudi di pusat produksi pakaian jadi dan sindikat anarkis Italia dalam perdagangan gedung-gedung. Untuk melawan ini, Don Corleone bisa mengerahkan dua regime kecil tapi terorganisir baik yang dipimpin Clemenza dan Tessio. Kontak politik dan polisi yang dimilikinya dihalangi pemimpin bisnis yang mendukung Maranzano. Tapi ia memiliki kelebihan, yaitu musuh tidak memiliki data intelijen mengenai organisasinya. Dunia bawah tanah tidak mengetahui kekuatan sebenarnya para prajuritnya, bahkan tertipu menganggap Tessio di Brooklyn merupakan organisasi yang mandiri dan terpisah. Sekalipun begitu, pertempuran ini tetap tidak seimbang hingga Vito Corleone menyamakan kekuatan dengan satu pukulan telak.

Maranzano mengirim pesan kepada Capone, meminta dua jago tembak terbaiknya datang ke New York untuk menyingkirkan si pemula.

Keluarga Corleone memiliki teman-teman dan intelijen di Chicago yang menyampaikan berita bahwa kedua jago tembak itu akan datang dengan kereta api. Vito Corleone menugaskan Luca Brasi membereskan mereka dengan perintah yang membebaskan naluri paling biadab pria aneh tersebut.

Luca Brasi dan anak buahnya, semuanya empat orang, menjemput kedua jago tembak Chicago itu di stasiun kereta api. Salah seorang anak buah Brasi menyediakan dan mengemudikan taksi, dan kuli stasiun yang mengangkat koper mengantar jago tembak Capone ke taksi ini. Sesudah mereka masuk, Brasi dan anak buahnya yang lain mengepung mereka, dengan pistol siap ditembakkan, dan memaksa kedua orang Chicago tersebut berbaring di lantai mobil. Taksi dibawa ke gudang dekat pelabuhan yang sudah disiapkan Brasi. Tangan dan kaki kedua jago tembak Capone diikat dan mulut mereka disumpal handuk kecil agar mereka tidak berteriak. Lalu Brasi mengambil kapak dari tempatnya di dinding dan mulai mencincang salah satu anak buah Capone. Ia memenggal kakinya, lalu membabat lututnya, dan sesudah itu persendian paha yang menghubungkan paha dan tubuhnya. Brasi pria yang sangat kuat, tapi ia membutuhkan beberapa ayunan kapak untuk melaksanakan niatnya. Pada waktu itu tentu saja korbannya sudah tidak berdaya dan lantai gudang berubah licin karena darah dan potongan daging yang tercincang.

Sewaktu Brasi mengalihkan perhatian pada korban kedua, ia mendapati ia tidak perlu bersusah payah lagi. Jago tembak Capone yang kedua, karena sangat ketakutan, telah menelan handuk kecil yang menyumbat mulutnya dan mati karena tidak bisa bernapas. Handuk kecil itu ditemukan dalam perutnya sewaktu polisi meng-autopsi mayatnya untuk menentukan penyebab kematian.
 
Beberapa hari kemudian di Chicago, Keluarga Capone menerima berita dari Vito Corleone, Pesan yang disampaikannya berbunyi, "Kau tahu bagaimana caraku menangani musuh-musuhku. Kenapa orang Napoli harus mencampuri perselisihan antara dua orang Sisilia? Kalau kau ingin aku menganggap dirimu sebagai sahabat, aku berutang budi yang akan kubayar kalau kauminta. Orang seperti kau pasti mengetahui sebesar apa keuntungan yang bisa diraih dengan memiliki sahabat yang bukannya meminta bantuan darimu tapi membereskan masalahnya sendiri dan selalu siap menolongmu kalau suatu hari nanti kau menghadapi kesulitan. Tapi harus kukatakan padamu bahwa iklim di kota ini lembab, tidak sehat bagi orang Napoli, dan kusarankan sebaiknya kau tidak berkunjung kemari."

Nada sombong dalam surat itu dibuat penuh perhitungan. Don menganggap Capone orang tolol, hanya tukang pukul biasa. Intelijennya menginformasikan Al Capone merusak pengaruh politiknya sendiri karena keangkuhannya di depan umum dan karena ia senang memamerkan kekayaannya sebagai penjahat. Don mengetahui, bahkan yakin, bahwa tanpa pengaruh politik, tanpa kamuflase masyarakat, dunia Capone, dan orang-orang seperti dirinya, bisa dihancurkan dengan mudah. Ia juga mengetahui pengaruh Al Capone tidak melewati perbatasan Chicago, biarpun pengaruhnya mengerikan dan mencakup banyak hal.

Taktiknya berhasil. Bukan karena kekejamannya tapi karena kegesitan dan kecepatan reaksi Don Corleone yang mendirikan bulu roma. Jika intelijennya begitu bagus, tindakan lebih lanjut apapun akan berbahaya. Lebih baik, jauh lebih bijaksana, untuk menerima persahabatan yang menjanjikan imbalan.

Keluarga Capone balas mengirim pesan yang mengatakan mereka tidak akan ikut campur lagi. Sekarang posisi mereka seimbang. Dan Vito Corleone menerima banyak sekali "penghormatan" dari seluruh dunia bawah tanah Amerika Serikat karena telah mempermalukan Al Capone. Dalam waktu enam bulan ia menghajar Maranzano habis-habisan. Ia menyerang permainan judi yang berada di bawah perlindungan Maranzano, menemukan usaha lintah darat terbesarnya di Harlem, dan menghancurkan permainannya bukan saja dalam segi keuangan, tapi juga riwayatnya. Ia menghadapi musuhnya di semua bidang. Bahkan di pusat produksi pakaian jadi ia mengirim Clemenza dan anak buahnya untuk bertempur di pihak serikat buruh melawan penegak hukum yang berada dalam daftar suap Maranzano dan pemilik perusahaan pakaian. Dan di semua medan, keunggulan intelijen dan organisasinya menjadikan dirinya pemenang. Kekejaman Clemenza yang periang, yang dimanfaatkan Corleone sebaik-baiknya, juga turut berperan dalam membalik situasi pertarungan. Lalu Don Corleone mengerahkan cadangan yang selama ini disimpannya, yaitu regime Tessio, untuk memburu Maranzano sendiri.

Pada waktu itu Maranzano sudah mengirim utusan-utusan untuk minta perdamaian. Vito Corleone tidak bersedia menemui mereka, menolak mereka dengan berbagai alasan. Para prajurit Maranzano lalu meninggalkan pemimpin mereka, karena tidak ingin mau dalam pertempuran yang tak mungkin mereka menangkan. Para penjual kupon taruhan dan lintah darat membayar uang perlindungannya pada organisasi Corleone. Perang nyaris berakhir.

Kemudian akhirnya pada Malam Tahun Baru 1933, Tessio berhasil menembus pertahanan Maranzano sendiri. Para letnan Maranzano ingin sekali melakukan transaksi dan setuju menggiring pemimpin mereka ke pembantaian. Mereka memberitahunya bahwa pertemuan dengan Corleone telah diatur di sebuah rumah makan di Brooklyn, dan mereka mendampingi Maranzano sebagai pengawal pribadi. Mereka meninggalkannya duduk menghadapi meja bertaplak kotak-kotak, dengan muram mengunyah roti, dan lari dari restoran sewaktu Tessio dan empat anak buahnya masuk. Eksekusi dilakukan dengan cepat dan pasti. Maranzano, dengan mulut penuh roti yang baru setengah dikunyah, dihujani peluru. Sekarang perang benar-benar berakhir.

Kerajaan Maranzano digabung dengan operasi Corleone. Don Corleone menetapkan sistem upeti, memberikan peluang kepada semua orang yang berkuasa untuk tetap memegang posisi mereka sebagai penjual kupon taruhan dan lintah darat. Sebagai bonus ia mendapat cengkeraman dalam serikat buruh pusat industri pakaian jadi yang pada tahun-tahun mendatang terbukti sangat penting. Dan sekarang sesudah menyelesaikan urusan bisnisnya, Don menghadapi masalah di rumah.

Santino Corleone, Sonny, yang berusia enam belas tahun dan tumbuh menjadi pemuda jangkung menakjubkan setinggi 180 sentimeter berbahu lebar, dengan wajah bulat yang sensual tapi sama sekali tidak feminin. Tapi kalau Fredo anak yang pendiam, dan Michael tentu saja masih kanak-kanak, Santino selalu terlibat masalah. Ia senang berkelahi, prestasinya di sekolah payah, dan akhirnya Clemenza, ayah baptis anak itu dan berkewajiban bicara dengannya, menemui Don Corleone pada suatu sore. Ia memberitahu Don bahwa putranya terlibat perampokan bersenjata, perbuatan tolol yang bisa berakibat buruk. Sonny jelas jadi kepala kelompok dan kedua pemuda lain dalam perampokan adalah pengikutnya.

Itulah salah satu dari sedikit kesempatan ketika Vito Corleone kehilangan kesabaran. Tom Hagen telah tinggal di rumahnya selama tiga tahun dan Don bertanya pada Clemenza apakah anak yatim-piatu itu terlibat. Clemenza menggeleng. Don Corleone mengirim mobil untuk mengantar Santino ke kantornya di Perusahaan Minyak Genco Pura.

Untuk pertama kalinya, Don Corleone menghadapi kekalahan. Hanya berdua dengan anaknya, ia mengeluarkan semua kemarahannya habis-habisan, mengutuk Sonny yang tinggi besar dalam dialek Sisilia, bahasa yang jauh lebih memuaskan untuk melampiaskan kemarahan dibandingkan bahasa lain mana pun. Ia mengakhirinya dengan satu pertanyaan. "Siapa yang memberimu hak melakukan perbuatan seperti itu? Apa yang membuatmu ingin melakukan perbuatan tersebut?"

Sonny berdiri saja, marah, tidak mau menjawab.

Don berkata kesal, "Dan begitu tolol. Apa yang kauperoleh untuk pekerjaan di malam hari itu? Masing-masing lima puluh dolar? Dua puluh dolar? Kau mempertaruhkan jiwamu untuk dua puluh dolar, eh?"

Seakan tidak mendengar kata-kata terakhir ayahnya, Sonny menjawab dengan nada menantang, "Aku melihat kau membunuh Fanucci."

Don berkata, "Ahhh," dan menyandar ke kursinya. Ia menunggu.

Sonny berkata, "Ketika Fanucci meninggalkan apartemen, Mama berkata aku boleh naik ke rumah. Aku melihat kau naik ke atap dan aku mengikutimu. Kulihat semua yang kaulakukan. Aku tetap berada di atap dan melihat kau melemparkan dompet dan pistol."

Don menghela napas. "Baiklah, kalau begitu aku tidak bisa bicara padamu tentang perilaku yang benar. Apakah kau tidak ingin menyelesaikan sekolah, apakah kau tidak ingin menjadi ahli hukum? Ahli hukum bisa mencuri uang lebih banyak dengan tasnya daripada seribu orang dengan pistol dan topeng."

Sonny tersenyum padanya dan berkata licik, "Aku ingin masuk bisnis keluarga."

Ketika ia melihat wajah Don tetap pasif, tidak tertawa mendengar leluconnya, ia menambahkan dengan tergesa-gesa, "Aku bisa belajar cara menjual minyak zaitun."

Don masih tidak menjawab. Akhirnya ia mengangkat bahu. "Setiap orang punya satu takdir," katanya. Ia tidak menambahkan bahwa dengan menyaksikan pembunuhan Fanucci, Sonny telah menetapkan takdirnya sendiri. Ia hanya membuang muka dan menambahkan perlahan, "Datanglah besok pagi jam sembilan. Genco akan menunjukkan kepadamu apa yang harus dilakukan."

Tapi Genco Abbandando, dengan wawasan cerdik sebagaimana yang harus dimiliki consigliori, menyadari keinginan Don yang sesungguhnya dan menggunakan Sonny terutama sebagai pengawal pribadi ayahnya, kedudukan yang memungkinkannya bisa mempelajari keahlian sebagai don. Dan hal itu membangkitkan insting profesor dalam diri Don sendiri, yang sering mengajarkan cara meraih sukses pada anak laki-lakinya yang tertua.

Di samping teori yang sering dikatakannya bahwa setiap orang hanya punya satu takdir, Don terus menegur Sonny karena sifatnya yang mudah marah. Don menganggap penggunaan ancaman sebagai jenis pemaparan yang paling bodoh; melampiaskan kemarahan tanpa berpikir adalah perbuatan paling berbahaya. Tak ada yang pernah mendengar Don mengutarakan ancaman terang-terangan, tidak seorang pun pernah melihatnya marah tak terkendali. Tak mungkin terjadi.

Jadi ia berusaha mengajari Sonny nilai-nilainya sendiri. Ia menyatakan tak ada hal alamiah yang lebih menguntungkan dalam hidup daripada musuhmu yang melebihkan kelemahanmu, selain teman yang menganggap rendah kebaikanmu.
 
Bimabet
BAB 14d


Sang caporegime, Clemenza, menuntun Sonny dan mengajarinya cara menembak dan menggunakan tali pencekik. Tapi Sonny tidak suka tali pembunuh Italia, ia sudah terlalu Amerika. Ia lebih memilih pistol Anglo-Saxon yang sederhana, langsung dan tidak pribadi, yang membuat Clemenza sedih. Tapi Sonny sekarang menjadi pendamping ayahnya yang disukai, menyetir mobilnya, membantunya mengurus detail-detail kecil. Selama dua tahun berikutnya ia seperti anak laki-laki yang memang sudah sewajarnya memasuki bisnis ayahnya, tidak terlalu cedas, tidak terlalu bersemangat, puas mendapat pekerjaan yang mudah.

Sementara itu sahabat masa kanak-kanak dan saudara angkatnya, Tom Hagen, kuliah di perguruan tinggi. Fredo masih di sekolah menengah atas, Michael, saudara laki-laki yang paling kecil, duduk di bangku sekolah dasar, dan Connie, adik perempuan ciliknya, berumur empat tahun. Keluarga mereka sudah lama pindah ke apartemen di Bronx. Don Corleone mempertimbangkan membeli rumah di Dong Island, tapi ia ingin hal itu sesuai dengan rencana lain yang sedang disusunnya.

Vito Corleone orang yang punya wawasan. Semua kota besar di Amerika dirobek permusuhan dunia bawah tanah. Puluhan perang gerilya berkobar, setiap penjahat yang ambisius berusaha mendirikan kerajaan sendiri; orang-orang seperti Corleone sendiri berusaha mempertahankan wilayah dan usahanya. Don Corleone melihat surat kabar dan instansi pemerintah memanfaatkan semua pembunuhan ini untuk melahirkan peraturan yang makin keras, untuk menggunakan metode polisi yang lebih kejam. Ia meramalkan kemarahan publik mungkin bahkan bisa berujung pada pembatalan prosedur-prosedur demokratis yang akan berakibat fatal bagi dirinya dan anak buahnya. Kerajaannya sendiri, secara intern, aman. Ia memutuskan mendatangkan perdamaian bagi semua golongan yang berperang di New York City, kemudian seluruh negara. Ia tahu betapa berbahaya misinya. Ia menggunakan tahun pertama untuk menemui berbagai kepala geng di New York, menyusun landasan kerja, mendengarkan pendapat mereka, mengusulkan lingkaran pengaruh yang akan dihormati dewan konfederasi yang tidak terlalu mengikat. Tapi terlalu banyak faksi, terlalu banyak kepentingan khusus yang bertentangan. Persetujuan tidak mungkin tercapai. Seperti penguasa dan pembuat hukum besar lain dalam sejarah, Don Corleone menarik kesimpulan bahwa ketertiban dan perdamaian tidak mungkin dicapai sebelum jumlah negara yang memerintah dikurangi sampai bisa ditangani.

Ada lima atau enam "Keluarga" yang begitu kuat sehingga tidak bisa dikurangi. Tapi yang lain, teroris Tangan Hitam di lingkungan itu, rentenir mandiri, penjual kupon taruhan yang beroperasi tanpa membayar uang perlindungan kepada pihak berwajib resmi, semua harus dibasmi.

Dan demikianlah ia memulai sesuatu yang serupa perang kolonial terhadap orang-orang ini dan mengerahkan semua sumber daya organisasi Corleone untuk melawan mereka. Perdamaian kawasan New York makan waktu tiga tahun dan menghasilkan beberapa imbalan yang tidak terduga. Mula-mula bentuknya kemalangan. Sekelompok penodong Irlandia yang seperti anjing gila dan sudah diincar Don untuk dibinasakan nyaris mencelakainya dengan kenekatan semata-mata. Secara kebetulan, dengan keberanian nekat, salah seorang penodong Irlandia ini berhasil menembus pagar betis yang melindungi Don dan menyarangkan sebutir peluru di dadanya. Si pembunuh segera diberondong dengan peluru, tapi ia sudah menimbulkan kerusakan. Tapi ini memberikan kesempatan kepada Santino Corleone. Karena ayahnya tidak bisa memimpin kegiatan keluarga, Sonny mengambil alih komando pasukan, regime-nya sendiri, dengan pangkat caporegime -dan seperti Napoleon muda yang belum dielu-elukan, ia memperlihatkan kecakapannya dalam peperangan kota. Ia juga menunjukkan kekejaman tanpa belas kasihan, satu-satunya hal yang tak dimiliki Don Corleone sebagai penakluk.

Dari tahun 1935 sampai 1937, Sonny Corleone memiliki reputasi sebagai algojo paling licik dan kejam yang pernah dikenal dunia bawah tanah. Walaupun demikian, dalam hal kengerian yang ditimbulkannya, ia masih kalah dibandingkan orang menakutkan bernama Luca Brasi.

Luca Brasi juga yang memburu penjahat Irlandia lainnya dan seorang diri menyapu bersih mereka semua. Brasi beroperasi sendirian ketika enam keluarga yang kuat berusaha ikut campur untuk melindungi penjahat-penjahat independen, dan ia membunuh seorang kepala keluarga sebagai peringatan. Tidak lama kemudian, Don sembuh dan membuat perdamaian dengan keluarga tersebut.

Tahun 1937, perdamaian dan harmoni meliputi New York City, hanya ada beberapa insiden kecil, kesalahpahaman sepele, yang tentu saja kadang-kadang berakibat fatal. Sebagaimana penguasa kota kuno selalu mengawasi suku-suku biadab yang berkelana di sekeliling pagar temboknya, Don Corleone dengan waspada mengawasi perkembangan dunia di luar dunianya. Ia memperhatikan munculnya Hitler, jatuhnya Spanyol, tindakan Jerman menggertak Inggris di Munich. Dengan selalu mengawasi dunia luar, ia melihat dengan jelas kedatangan perang global dan mengerti apa akibatnya. Bukan hanya itu, ia tahu bahwa orang bisa menumpuk harta pada masa perang dengan bekerja sama dengan orang-orang yang waspada dan punya pandangan jauh. Tapi untuk bisa melakukan itu, lingkungannya harus tetap damai sementara perang merajalela di dunia luar.

Don Corleone membawa pesannya ke seluruh Amerika Serikat, Ia berunding dengan teman-temannya di Dos Angeles, San Francisco, Cleveland, Chicago, Philadelphia, Miami, dan Boston. Ia menjadi rasul perdamaian dunia bawah tanah. Tahun 1939, lebih berhasil daripada Paus, ia mencapai kesepakatan kerja di antara organisasi-organisasi dunia bawah tanah yang paling kuat di seluruh penjuru negeri. Seperti Konstitusi Amerika Serikat, kesepakatan ini menghormati sepenuhnya wewenang intern setiap anggota di dalam negara bagian atau kotanya. Kesepakatan hanya mencakup lingkungan pengaruh tertentu dan merupakan persetujuan untuk menjaga perdamaian di dunia bawah tanah.

Jadi ketika Perang Dunia II meletus pada tahun 1939, ketika Amerika Serikat ikut dalam konflik pada tahun 1941, dunia Don Vito Corleone damai, tertib, siap sepenuhnya menunai panen emas dengan pembagian yang sama dengan industri-industri lain yang meledak di Amerika. Keluarga Corleone ambil bagian memasok pasar gelap dengan kupon makanan OPA, kupon bensin, bahkan prioritas untuk bepergian. Juga tidak ada ruginya mendapat kontrak perang, lalu memperoleh bahan-bahan dari pasar gelap untuk industri pakaian jadi yang tidak diberi cukup bahan mentah karena tidak memiliki kontrak pemerintah. Ia bahkan bisa mengusahakan agar semua pemuda dalam organisasinya, yang memenuhi syarat untuk kena wajib militer, dibebaskan dari tugas berperang di negara asing. Ia melakukan ini dengan bantuan dokter-dokter yang menyarankan obat apa yang harus diminum sebelum pemeriksaan kesehatan, atau dengan menempatkan pemuda-pemuda itu di pos-pos yang dibebaskan dari kewajiban wamil dalam industri perang.

Dan Don pun bisa membanggakan pemerintahannya. Dunianya aman bagi mereka yang bersumpah setia padanya; orang-orang lain yang lebih memilih hukum dan ketertiban, mati dalam jumlah jutaan. Satu-satunya yang menyimpang dalam keluarganya adalah anak laki-lakinya sendiri, Michael Corleone, yang tidak mau ditolong, dan berkeras menawarkan diri mengabdi pada negaranya. Dan, Don terheran-heran melihatnya, begitu pula beberapa pemuda dalam organisasinya. Salah satu dari pemuda-pemuda itu berusaha menjelaskannya pada caporegime-nya, ia berkata, "Negara ini baik padaku."

Ketika cerita itu diteruskan kepada Don, ia berkata marah pada si caporegime, "Aku juga selama ini baik padanya."

Mereka sebetulnya bisa mengalami hal-hal buruk, tapi karena Don memaklumi anaknya Michael, ia juga harus memaklumi para pemuda yang begitu salah memahami tugas mereka pada Don dan pada diri mereka sendiri.

Pada akhir Perang Dunia II, Don Corleone menyadari bahwa sekali lagi dunianya harus mengubah kebiasaan, harus menyesuaikan diri dengan keadaan dunia, dunia yang lebih besar. Ia yakin bisa melakukan itu tanpa kehilangan keuntungan. Ada alasan untuk keyakinan ini berdasarkan pengalamannya sendiri. Dua peristiwa pribadi membuat dirinya berada pada jalur yang benar.

Pada awal kariernya, Nazorine, yang ketika itu masih muda, hanya pembantu tukang roti yang ingin menikah, datang padanya untuk minta tolong. Ia dan calon istrinya, gadis Italia yang baik, telah menabung tiga ratus ribu dan membayarkannya kepada pedagang grosir perabotan yang direkomendasikan kepada mereka. Pedagang itu membiarkannya memilih sendiri semua yang diperlukannya untuk mengisi apartemennya. Tempat tidur kokoh dengan dua meja dan lampu. Ruang duduknya diisi sofa dan kursi empuk, semuanya dilapis kain berhias benang emas yang mewah. Nazorine dan tunangannya bahagia sepanjang hari itu, memilih apa yang mereka inginkan dari gudang yang penuh segala macam perabotan. Si pedagang mengambil uang mereka, tiga ratus dolar hasil keringat mereka, mengantonginya dan berjanji akan mengirimkan perabotannya seminggu kemudian ke apartemen yang mereka sewa.

Tapi pada minggu berikutnya perusahaan itu bangkrut. Gudang yang penuh perabotan disegel dan akan disita kreditor. Si pedagang menghilang untuk memberikan kesempatan pada para kreditor lain melampiaskan amarah pada angin. Nazorine, salah seorang kreditor, menemui pengacara, yang memberitahunya tidak ada yang bisa dilakukannya hingga persoalan ini diselesaikan pengadilan dan semua kreditor puas. Ini bisa memakan waktu hingga tiga tahun dan Nazorine beruntung kalau bisa mendapat tiga sen dari setiap dolarnya.

Vito Corleone mendengarkan kisah ini dengan rasa tidak percaya bercampur geli. Seharusnya tidak mungkin hukum memberikan kesempatan pada pencurian seperti itu. Si pedagang memiliki rumah seperti istana, tanah di Long Island, mobil mewah, dan menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi. Bagaimana ia bisa merampas uang tiga ratus dolar dari Nazorine si tukang roti miskin dan tidak memberinya perabotan yang telah dibayarnya?

Tapi, untuk memastikan, Vito Corleone memerintahkan Genco Abbandando mengecek sendiri, menggunakan pengacara yang mewakili perusahaan Genco Pura. Mereka menegaskan kebenaran cerita Nazorine. Si pedagang perabotan menggunakan nama istrinya untuk kepemilikan harta pribadinya. Perusahaan perabotannya merupakan perusahaan patungan dan bukan ia sendiri yang bertanggung jawab. Memang ia menunjukkan niat buruk sewaktu mengambil uang Nazorine padahal mengetahui dirinya akan bangkrut. Tapi praktik seperti itu sudah biasa dilakukannya. Berdasarkan hukum, tidak ada tindakan apa pun yang bisa diambil.

Tentu saja masalah ini bisa diselesaikan dengan mudah. Don Corleone mengirim Consigliori, Genco Abbandando, untuk berbicara dengan si pedagang. Dan, sebagaimana yang bisa ditebak, pengusaha yang waras itu langsung memahami keadaan dan mengatur agar Nazorine mendapatkan perabotannya. Tapi kejadian itu menjadi pelajaran yang menarik bagi Vito Corleone muda.

Insiden yang kedua jauh lebih berpengaruh. Pada tahun 1939, Don Corleone memutuskan memindahkan keluarganya ke luar kota. Seperti orangtua lain, ia pun ingin anak-anaknya bersekolah di sekolah yang lebih baik dan bergaul dengan teman-teman yang lebih baik juga. Untuk alasan pribadi, ia sendiri menginginkan kehidupan anonim daerah pinggiran di mana reputasinya tidak diketahui orang. Ia membeli kompleks kecil di Long Beach, yang waktu itu hanya terdiri atas empat rumah yang baru dibangun, tapi tanahnya cukup luas untuk beberapa rumah lagi. Sonny sudah resmi bertunangan dengan Sandra dan akan segera menikah, salah satu rumah akan diberikan kepadanya. Sebuah rumah untuk Don sendiri. Yang lain untuk Genco Abbandando dan keluarganya. Sisanya dibiarkan kosong.

Seminggu setelah mereka menghuni kompleks itu, kelompok yang terdiri atas tiga pekerja datang seenaknya naik truk. Mereka mengaku sebagai pemeriksa pemanas untuk wilayah Dong Beach. Salah seorang pengawal pribadi Don yang masih muda mempersilakan orang-orang itu masuk dan mengantar mereka ke tungku di ruang bawah tanah. Don, istrinya, dan Sonny berada di taman, bersantai menikmati angin laut, Don jengkel sewaktu dipanggil pegawainya ke rumah.

Ketiga pekerja itu, semuanya tinggi besar, berkelompok mengerumuni tungku pemanas. Mereka membongkarnya, bagian-bagiannya berserakan di lantai semen ruang bawah tanah. Pemimpinnya, seseorang yang tampak berwibawa, berkata pada Don dengan suara kasar. "Tungkumu tidak baik. Kalau kau ingin kami memperbaiki dan "memasangnya lagi, biayanya seratus lima puluh dolar untuk upah kerja dan suku cadang, lalu akan kami nyatakan tungku ini lulus pemeriksaan petugas daerah." Ia mengeluarkan label berwarna merah. "Kami akan menempelkan segel ini, dan tidak satu pun orang pemerintah daerah yang akan mengganggumu lagi."

Don geli. Minggu ini membosankan dan membuat Don terpaksa meninggalkan bisnis demi mengurus detail-detail kepindahan keluarganya ke rumah baru. Dengan bahasa Inggris yang lebih terpatah-patah daripada biasanya yang sedikit beraksen Italia, ia bertanya, "Kalau aku tidak membayarmu, apa yang akan terjadi pada tungku ini?"

Pemimpin ketiga orang itu mengangkat bahu. "Akan kami biarkan tungku ini dalam keadaan seperti ini." Ia menunjuk bagian-bagian tungku yang berserakan di lantai.

Don berkata takut-takut, "Tunggu, akan kuambilkan uangmu."

Lalu ia pergi ke taman dan berkata pada Sonny, "Dengar, ada beberapa orang yang membongkar tungku, aku tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Masuklah dan bereskan masalah ini."

Omongannya ini bukan semata-mata lelucon; ia tengah mempertimbangkan putranya menjadi bos kecil. Ini merupakan salah satu ujian yang harus dijalani eksekutif bisnis.

Cara Sonny mengatasi masalah tidak terlalu menyenangkan ayahnya. Caranya terlalu langsung, sangat kurang mengandung kehalusan Sisilia, ia menggunakan Pentungan, bukan Pedang. Sebab begitu mendengar tuntutan si pemimpin, Sonny langsung menodong ketiganya dengan pistol dan memerintahkan anak buahnya mengepung mereka. Lalu ia memerintahkan mereka memasang kembali tungkunya dan merapikan ruang bawah tanah.

Sonny juga menggeledah mereka dan mendapati mereka benar-benar karyawan perusahaan perbaikan rumah yang berkantor pusat di Suffolk County. Ia mengetahui nama pemilik perusahaannya. Lalu ia mengusir mereka, "Jangan pernah aku bertemu lagi dengan kalian di Long Beach," katanya pada mereka. "Akan kuhajar kalian."

Itu ciri khas Santino muda, sebelum ia bertambah tua dan menjadi lebih kejam. Ia memperluas perlindungannya ke lingkungan tempat tinggalnya. Sonny sendiri yang menelepon perusahaan perbaikan rumah itu dan meminta pemiliknya tidak mengirimkan anak buahnya yang mana pun ke kawasan Long Beach.

Begitu Keluarga Corleone menjalin hubungan bisnis seperti biasa dengan kepolisian setempat, mereka diberitahu tentang keluhan yang sama dan kejahatan yang dilakukan para penjahat profesional. Dalam waktu kurang dari setengah tahun, Long Beach menjadi kota yang paling bebas kejahatan di seluruh Amerika Serikat untuk ukuran kawasan seluas tempat itu. Para seniman penodongan profesional dan tukang pukul menerima peringatan agar tidak lagi melakukan kegiatan di kota itu. Mereka hanya diberi satu kali kesempatan untuk melakukannya. Kalau mengulangi pelanggarannya, mereka akan menghilang begitu saja. Para penipu dari perusahaan perbaikan rumah, penjahat yang beroperasi dari rumah ke rumah, diperingatkan dengan sopan bahwa mereka tidak disukai di Long Beach. Penjahat paling tangguh yang tidak mempedulikan peringatan dipukuli hingga nyaris tewas. Para berandalan muda yang tidak menghormati hukum dan wewenang yang semestinya dinasihati secara kebapakan agar melarikan diri dari rumah sejauh mungkin. Long Beach menjadi kota teladan.

Yang mengesankan Don adalah keabsahan hukum para penipu yang berkedok sebagai penjual itu. Jelas sekali ada tempat bagi orang yang berbakat seperti itu di dunia lain yang tertutup baginya sebagai orang yang masih muda dan jujur. Ia mengambil langkah yang semestinya untuk memasuki dunia itu.

Dan begitulah, ia hidup bahagia di kompleks Long Beach, mengkonsolidasi dan memperluas kerajaannya, hingga perang berakhir dan Sollozzo si Turki merusak perdamaian dan menjerumuskan kerajaan Don ke medan pertempuran, membuatnya tergeletak di ranjang rumah sakit.

***
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd