THE LUCKY BASTARD – PART 4
--------------------------------------------
"Hei....kita bisa makan ditempat lain!" panggil Anggia ketika aku sedang berjalan dengan cepatnya di tempat parkir. "Mall ini luas!" teriaknya.
Orang-orang melihat kami seakan-akan kami adalah pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Aku tidak mempedulikannya. Aku terus berjalan ke mobilku, membuka pintunya, dan menyalakan mesinnya. Aku menunggu Anggia masuk, dan kuremas setir mobilku erat-erat, seakan-akan sedang mencekik leher seseorang, menunggunya untuk kehabisan nafas.
"Jangan overreacted! Terus kita gak jadi makan?" tanya Anggia setelah masuk dalam mobil. Aku diam saja, dan langsung mengemudi keluar. Dadaku sesak, air mataku serasa mau keluar. "Hei.." Anggia memegang tanganku dari samping.
"Berhenti dulu..."
Akhirnya aku berhenti di pinggir jalan dengan terpaksa. "Lo masih sayang kan sama Dian?" tanya Anggia. Aku diam saja, tertunduk. "Lo gak bisa kayak gini terus.... Lo harus lupain dia atau hadepin dia...." Anggia berusaha menasihatiku.
"Gak sekarang Nggi..." balasku.
"Terus mau kapan? Lo gak bisa kan kayak begini terus… Jakarta itu sempit tau… Lo bisa ketemu dia kapan aja..."
"Gak sekarang"
"Cerita lo sama Dian kan udah selesai setahun yang lalu…. Jangan lo jadiin beban terus…"
"G30SPKI juga udah puluhan taun yang lalu, dan sampe sekarang ga ada yang berhenti mikirin…"
"Jangan dibecandain dong"
"Pokoknya gak sekarang. Titik!" Bentakku.
Anggia tersentak. Dia mengulum bibirnya, menarik nafas pendek dan menatapku dengan tatapan prihatin. “Gue gak bisa liat lo kacau begini…. Gak bisa…” dia menepuk punggungku dan menggosoknya dengan pelan. Aku diam. Diam dan menatap ke ujung jalan. Ujung jalan yang tidak ada ujungnya itu.
------------------------------------------
Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai. Rendy menyambutku dengan muka ceria, yang tak aku gubris sama sekali. Dia bertanya ada apa, kenapa aku tidak bereaksi pada sapaanya, aku hanya bisa bilang tidak ada apa-apa, kepalaku kosong dan pening rasanya. Aku hanya masuk ke kamarku, menutupnya, berbaring dan memeriksa pesan di Handphoneku. Ada banyak pesan dari Anggia sejak dari pulang kantor, mulai dari yang marah-marah, bingung, hingga menawarkan untuk menemani di apartemen. Aku mendiamkannya saja. Kepalaku pusing.
Mendadak aku memberanikan diri mengirim pesan ke Mbak Mayang.
"Mbak, masih bangun?".
"Masih" jawabnya tak lama kemudian.
"Anaknya Mbak ada ya?"
"Ada" Aku menghela nafas. Ya sudah, tidak ada yang bisa menghiburku malam ini. Aku keluar kembali dari kamar, dan menemukan Rendy bengong menatapku.
"Lo kenapa men?"
"Tadi siang ga sengaja ketemu Dian"
"Waduh…. Kacau dong?"
"Emang kacau" minimal perasaanku yang kacau.
"Terus lo gimana?" tanyanya lagi
"Ya cabut lah....."
Rendy berinisiatif mengambilkan sekaleng bir dari lemari es. Tetapi kutolak dengan halus. "Gapapa men, bukan itu yang gue butuhin sekarang" Rendy lalu bingung menatapku. Aku duduk dimeja makan, lalu bersender dan menyalakan rokok. Aku menghisapnya dalam-dalam.
Di dalam kepalaku, semua hal tentang Dian muncul lagi. Dian. Semuanya. Semua yang baik, mulai dari pertemuan pertama, kencan pertama, ciuman pertama, nonton di bioskop bersama, liburan pertama, dan semuanya. Semua yang buruk, mulai dari pertengkaran-pertengkaran kecil, pertengkaran besar, sampai ke kejadian hina yang membuatku memutuskan untuk berpisah dengannya.
Lucu. Aku yang memutuskan perpisahan, dan aku juga yang masih merasa terluka sampai sekarang. Harusnya aku lega, karena kesalahan tidak berada di diriku. Harusnya mudah meninggalkan Dian. Harusnya.
"Minum dulu aja men..." Rendy lalu duduk di sebelahku dan mendorong kaleng bir yang sudah dibuka itu ke depan mukaku. Akhirnya kuangkat dan kuminum. Setahun tanpa Dian, dan ini salah satu hari terburuk ku. "Pusing?" tanya Rendy sambil tersenyum.
"Iya, kacau banget hari ini gue, kerja juga jadi gak konsen, si Anggia jadi marahin gue mulu gara-gara gue ga kuat ketemu Dian" jawabku.
"Anggia sampe marah segala?"
"Iya...".
Ah, ada pesan masuk di handphoneku. "Jam 12 kalo kamu mau main kesini boleh...
" pesan dari Mbak Mayang. Aku lantas menghabiskan birku, dan bergegas mandi, tanpa suara dan tanpa dialog lagi.
------------------------------------------
Aku berbohong pada Rendy. Aku bilang kalau aku mau keluar cari udara segar, merokok di lobby apartemen atau di dekat parkiran. Dia mengiyakan saja, padahal aku hanya pindah ke unit sebelah. Mbak Mayang pelan-pelan membukakan pintunya, takut suaranya terdengar ke unitku atau membangunkan anaknya.
"Kamu beruntung... Aku belum mens" bisik Mbak Mayang genit di telingaku. Aku hanya tersenyum tipis, dan kami berdua dengan senyap masuk ke dalam kamar tidurnya.
Aku melucuti baju Mbak Mayang dengan tidak sabar. Aku langsung menelanjangi dirinya. Tanpa aba-aba setelah aku membuka bajuku, aku langsung memeluknya dan membawanya ke tempat tidur. Kami berciuman dengan penuh nafsu, tapi dengan berjaga-jaga agar tidak membuat suara yang gaduh. Aku menarik selimut dan menyelimuti kami berdua. Aku menindih tubuhnya, melumat bibirnya dan memeluk tubuhnya erat. Satu tanganku meraba-raba vaginanya dengan agak kasar. Mbak Mayang berusaha dengan keras untuk tidak membuat suara apapun. Sebelum memakai kondom, penisku dengan nakal kugesek-gesekkan ke belahan pantatnya.
"Jangan dimasukin kesitu...." pinta Mbak Mayang berbisik.
"Saya tadi ketemu Dian Mbak..."Bisikku.
"Terus gimana?"
"Saya kabur..." jawabku.
Mbak Mayang mengangguk pelan, dan membalikkan badan dan menatap wajahku. "Kasian..." katanya sambil mengecup keningku. Lalu dia melumat bibirku dengan tenaga penuh, berusaha mengalihkan pikiranku dari Dian.
Mbak Mayang lalu turun ke bawah, mencoba mulai menciumi penisku dengan lembut. Dia berbaring di antara pahaku, tetapi mendadak aku punya ide yang lebih baik. Aku menarik tubuhnya, dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Saya mau jilat punya Mbak juga..." Mbak Mayang mengangguk pelan mengiyakan. Dia menindih badanku, vaginanya menghadap jelas di depan wajahku. Aku mulai menjilati bibir vaginanya, menjelajahi setiap lekuknya dan merasakan nikmat kewanitaannya. Kurasakan badannya menegang dan nafasnya memberat, sebelum dia mulai berkonsentrasi menghisap penisku. Dia menghisapnya dengan lembut. Entah mengapa aku jadi mengingat pose seperti ini ketika masih berpacaran dengan Dian. Curi-curi di rumah orang tua nya sewaktu mereka sedang pergi, mencoba berbagai macam pose seksual bersamanya. Tapi aku lantas mengembalikan konsentrasiku untuk menjilati Mbak Mayang. Bisa kurasakan nikmatnya gigitan-gigitan pelan dan sentuhan lidahnya ke penisku.
Kuhabiskan waktu cukup lama menjilati Vaginanya. Mbak Mayang tidak bisa berkonsentrasi melakukan oral seks dengan baik karena kenikmatan yang dia rasakan di bibir vaginanya. Kami tetap bergumul dalam pose ini. Entah mengapa tiba-tiba badannya mengejang.
"Mmmm... mmmhhh..." Erangan tertahan Mbak Mayang terdengar. Dia melepaskan penisku dari mulutnya, dan dengan sigap menutup mulut dengan tangannya. "Emmmhhh.........." Lalu ia terkulai lemas di atas diriku. Aku beringsut, memeluk dirinya, dan membisikinya.
"Kok tumben cepet Mbak...." tanyaku pelan.
"Kalau punyaku dijilatin aku suka gak tahan....." liriknya dengan tatapan mesum.
"Mau lanjutin?" tanyaku.
"Lanjutin aja, tidurin aku sepuas kamu..." tawaran yang menarik.
Aku membaringkannya telungkup. Aku melebarkan pahanya, dan mulai mencoba memasukkan penisku ke vaginanya. "Mmmmhhh.." Erangan tertahannya, ketika penis masuk ke dalam vaginanya. Aku menimpa badannya, satu tanganku menutup mulutnya, menjaga agar tidak mengeluarkan suara ribut, dan satu lagi melingkar di lehernya. Lantas aku mulai menggagahinya, dengan gerakan yang kencang dan penuh nafsu. Sekilas posisi seperti itu tampak seperti adegan dari sebuah film porno. Mbak Mayang tampak mengrenyitkan matanya, dan mengeluarkan ekspresi-ekspresi kenikmatan dan teriakan yang tertahan. Yes, you're my bitch now, begitu suara dalam kepalaku berbunyi. Entah kenapa walaupun aku sedang menggagahi Mbak Mayang, tapi aku seperti merasakan sedang memperkosa Dian dengan marah. Apakah aku masih sangat dendam, atau masih sayang padanya? Aku sekarang tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah janda beranak satu yang sedang kutimpa dan sedang kutiduri ini.
Mbak Mayang menggenggam erat selimut, tanda dia merasakan kenikmatan yang luar biasa. Aku bergerak makin liar, hampir lupa kalau aku tidak memakai kondom. Aku segera membalikkan badannya dan mencabut penisku. Aku dengan penuh nafsu mendatangi muka Mbak Mayang, dan mengocokkan penisku dengan agak kasar di depan mukanya. Dia membuka mulutnya menunggu.
Aku tidak bersuara saat spermaku keluar, menetes deras ke dalam mulut Mbak Mayang. Aku hanya meringis keenakan dengan ekspresi muka yang kuyakin terlihat bodoh. Mbak Mayang tampak puas menampung spermaku. Dia menelannya dalam satu tegukan, dan memandangku dengan senyum nakal. Benar kata Anggia. Perempuan ini extraordinary, setahuku hanya sedikit perempuan yang benar-benar suka menelan sperma tanpa terpaksa. Dia mendadak bangkit memelukku. Dan membisikkan kalimat untuk menenangkanku
"Kamu lupain Dian ya, masih banyak perempuan lain yang butuh kamu puasin..." Aku menelan ludah. membayangkannya saja aku agak takut. Aku bukan lelaki genit dan promiscuous, tapi... kalau memang harusnya dunia bekerja seperti perkataan Mbak Mayang, mungkinkah hubungan seks antara aku dengan dia dan Anggia adalah wujud balas dendamku ke Dian? Aku hanya mengangguk pelan dan memeluk Mbak Mayang dengan hangat.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Dateng kan?" Anggia membuka pertanyaan
"Kemana?"
"Nikahan anaknya Pak William"
"Males"
"Makan gratis lho"
"Rakus"
"Ada after partynya, free flow minuman"
"Pemabuk"
"Ga Asik"
"Bodo"
Anggia lalu berlalu begitu saja meninggalkan ruanganku. Aku hanya menghela nafas panjang, lalu melihat Nica melirik ke arahku. Sadar aku melihatnya, dia langsung membuang muka. Aku hanya mengkerutkan dahiku heran. Kenapa tu anak? Pikirku.
Pak William, salah seorang klien sejati kantor kami. Rata-rata usaha yang ia miliki logonya di desain oleh kantor kami, begitu juga dengan kartu nama, notepad, dan segala tetek bengek grafis visualnya. Orangnya sangat royal dan baik, dan tidak heran dia mengundang seisi kantorku untuk datang, dan mengundangnya ke after party juga.
"Dateng dong...." rajuk Mas Akbar.
"Kayak yang Mas Akbar minum aja..." jawabku.
"Enggak sih, tapi kan kita hormatin klien kita. Umur kamu udah 30, masa harus dibilangin kayak anak kuliahan..." nasihatnya. Aku diam saja, ya memang terpaksa untuk datang ke acara-acara seperti ini. Dan aku tidak bisa menghindar. Setidaknya tamu-tamu undangan tidak mengenal Dian dan tidak akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang Dian yang laknat seperti di pesta-pesta pernikahan lainnya.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku duduk di teras kantor sore itu, di hari jumat, memperhatikan jalan yang mulai macet, mempersiapkan mental untuk terjun ke sungai yang berisi ikan besi dan asap hitam itu. "Bengong lagi...." tegur Anggia. Dia lantas menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku menarik rokok dari bungkusnya, menyalakannya dengan cepat.
"Ngerokok mulu, mati lho entar" tegur Anggia lagi.
"Daripada elu, kalo minum gak pake otak" balasku.
"Dibilangin malah ngelawan..." Kata Anggia.
Nica mendadak keluar dari pintu kantor dan ikut duduk di dekat kami. "Mbak Anggia pasti bareng Mas ya entar ke kawinan yang kita diundang itu?" tanyanya.
"Hah? Ngapain?" sanggah Anggia.
"Lho... pasti bareng kan perginya?" tanya Nica lagi.
"Gue bisa nyetir sendiri kalik..." jawab Anggia judes.
"Loh masa couple gak pergi bareng?" pertanyaan terakhir Nica membuatku heran.
"Siapa yang couple?" tanyaku balik ke Nica.
"Kalian berdua" jawab Nica.
Aku dan Anggia berpandang-pandangan.
"Sama dia? gak sudi" tegas Anggia dengan sinis.
"Lo pikir kita berdua pacaran?" tanyaku heran ke Nica.
"Lho... iya kan... kalian berdua deket banget..... kemana-mana juga sering bareng....." Nica menunjuk kami berdua dengan kedua belah tangannya. Mukanya polos tanpa dosa. Aku menutup mukaku dengan tanganku. Kejadian-kejadian quickie dan seks dadakan dengan Anggia memang sering terjadi akhir-akhir ini. Wajar saja kami sering terlihat berdua keluar kantor.
"Nica sayang....." Anggia memberikan klarifikasinya. "Gue ama Mas-mu ini emang deket dari dulu, kita satu almamater, dia kakak kelas gue, gue kenal temen-temen dia dan dia kenal temen-temen gue, jauh lah dari kata pacaran". Mendadak ekspresi Nica membingungkan. Ekspresinya campuran antara malu dan lega.
"Dan makasih, gue bisa nyetir sendiri ke kawinannya ya, gak butuh dianterin ama kantong asep sialan ini" tunjuknya ke hidungku. Nica mendadak tersenyum.
"Kalo gitu mas pergi ama siapa?" tanyanya dengan muka riang.
"Sendiri... kali?" jawabku dengan muka heran sambil menatap wajah Anggia, yang mukanya seperti ingin menahan ketawa.
"Oh... anak-anak yang lain mau pada bareng sih, pada ngumpul di kantor" lanjut Nica. "Yaudah paling kita bareng aja semua, bilangin anak-anak, siapa tau mau nebeng mobil gue" jawabku.
"Deg-deg an gue, gue sangkain dia mau ngajakin elo jalan berdua" Anggia mulai usil, setelah Nica kembali masuk ke dalam kantor.
"Emang nya elo, agresif sama cowok" sinisku. Anggia hanya mengacak-acak rambutku dan berlalu ke dalam kantor.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Anggia jadi kesini?" tanya Rendy tidak sabar.
"Jadi" jawabku.
"Aduh deg-degan" ekspresi muka Rendy terlihat sangat tidak karuan.
"Bukannya lo mau pergi Ren?"
"Iya ada ketemuan di kemang, tapi gapapa telat deh, udah lama gak ketemu Anggia." dia tidak sabar sepertinya menunggu Anggia datang.
Hari minggu malam ini, rencananya Anggia ingin mampir sebentar ke apartemenku. "Abis gue ke gereja mampir ke tempat lu ya". Pernyataan tanpa pertanyaan, tidak ada kata meminta izin atau permisi, pokoknya main.
"Telat Ren... Si Anggia suka telat ga jelas kalo janjian.." Rendy tak peduli, dia tetap duduk manis menonton TV sambil menunggu. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
Rendy bergegas membukakannya "Hai Anggia...." sapanya dengan muka sumringah.
"Jijay lo Ren" ledek Anggia. Jeans belel, sneaker belel, tank top, dan kemeja flanel menghiasi tubuh langsing Anggia.
"Ke gereja kok pake baju gitu sih" ledekku.
"Yang penting isi hatinya tauk" jawabnya. Dia seperti membawa tentengan laundry selain tote bag nya. Dengan asal dia melempar bawaannya di meja makan. Dia merangsek ke lemari es, membukanya, dan menarik satu kaleng bir.
"Kurangin dikit dong minumnya Nggi" nasihatku.
"Bodo" jawabnya.
"Yang penting perut gue ga buncit kayak si Rendy"
"Apa kabar Nggi?" Rendy berusaha membuka pembicaraan.
"Gini-gini aja"
"Keliatan sehat elo sekarang"
"Makasih…. Emang gue sehat kok dari dulu"
"Beneran deh, makin cantik aja keliatannya"
"Udah dari lahir itu mah"
"Beneran deh"
"Woi ! Mupeng banget sih mas" ledek Anggia ke Rendy. Rendy hanya tersenyum. Sudah dari lama Rendy menyukai Anggia, entah hanya fisiknya saja atau memang suka beneran.
"Katanya mau pergi?" tanya Anggia.
"Bentar lagi, belom sempet gue ngobrol sama elo" jawab Rendy.
"Kalo gue colok matanya lo pergi gak?" balas Anggia.
Aku hanya tersenyum kecil melihat mereka. "Buruan Ren, tar telat lho" Aku memperingatkannya. Rendy menghela nafas lemas.
"Iya deh..." Setelah berpamitan ia lalu jalan keluar unit.
"ML yuk" mendadak Anggia mengajak yang tidak-tidak.
"Duh... jadi kesini cuma mau ML?" responku.
"Ya enggak lah, gampang amat kegoda" Dia lalu membuka bungkusan laundrynya.
"Gimana, cakep gak? baru jadi nih buat acara kawinan ntar".
"Buset... ga ada punggungnya gitu...." komentarku.
"Ini namanya backless bego..." Anggia menunjukkan gaun merah backless, dengan tangan panjang, rok diatas paha.
"Bahannya kayak cuma dari lace gitu" komentarku.
"Gue cobain ah" Dia menyambar gaun itu dari tanganku dan melangkah ke kamar tidurku. Aku menunggu di meja makan sambil menyalakan rokok. Tak lama kemudian, Anggia keluar dari kamar tidur.
"Gimana?" Anggia berkacak pinggang di hadapanku.
"Wow... Bagus..." Aku memandang tubuh langsing Anggia yang indah berbalut dress merah itu. Punggungnya yang putih mulus sebagian tertutup oleh rambutnya yang indah dan hitam legam. Kakinya yang jenjang terlihat jelas memancarkan pesona indah yang pasti membuat lelaki terpikat.
"Seksi abis..." komentarku.
"Iya dong, siapa dulu yang make" Anggia terlihat jumawa. Beda sekali dengan Dian, kalau kuingat lagi. Dress yang dipakai Dian ke acara-acara resmi selalu berwarna kalem dan elegan. Sedangkan Anggia tampak selalu ingin tampil di muka umum.
"Bikin cowok horny gak ya ngeliat gue" nada suara Anggia terdengar jahil.
"Jangan kepedean" kataku.
"Kalo gini, horny gak?" Mendadak ia membuka celana dalamnya, menyingkap roknya.... dan menunjukkan belahan bibir vaginanya. Nafasnya terlihat agak berat. Dia membanting dirinya ke sofa, dan memainkan jarinya di bibir Vaginanya. Damn.
“Come, fuckboy” senyumnya ke arahku, memintaku menggagahinya.
------------------------------------------
BERSAMBUNG