Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

THE LUCKY BASTARD – PART 5

------------------------------------------

kamar-10.jpg

Aku menelan ludahku sendiri melihat adegan itu. "Sini... Buruan... Mumpung pengen" goda Anggia. Dia menyingkap rok dressnya lebih atas lagi sambil menyentuh dirinya sendiri. Aku mendekat, mulai menciumi kakinya mulai dari tumit sampai ke lutut. Dari lutut sampai ke paha. Dari paha sampai ke pangkalnya. Anggia memegang kepalaku dan menekankan kepalaku ke bibir vaginanya. Tanpa disuruh, aku langsung menjilat bibir vaginanya.

"Aahhhh.... Mmmmmmhhhhh...." Anggia meracau tanpa menahan diri. Aku menggenggam kedua pergelangan kakinya, sambil terus menjilati areakewanitaannya dengan penuh nafsu.

"Kasian Rendy..." gumamku pelan di sela-sela mengambil nafas.
"Biarin. Masa bodo" jawab Anggia dengan nafas berat. Kulit pahanya yang halus dan licin beberapa kali menyentuh kulitku. Anggia memang sangat cantik. Badannya sungguh indah dan kulitnya merangsang siapapun yang menyentuhnya.

"Ughh.... Jangan dijilatin terus... Masukin..." nafsunya tampak tak tertahan lagi.
"Gak mau" berontakku dan lantas menusukkan jariku ke dalam lubang vaginanya.

Jariku menyentuh dinding kewanitaannya yang hangat dan licin. Aku malah memasturbasikannya, dan merangsangnya dengan gerakan yang cukup kasar. "Ooohhhh........" desahan Anggia terdengar cukup keras, tapi aku tak peduli. Yang aku pedulikan hanyalah bagaimana membuatnya orgasme. "Jangan digituin... masukin... aaaahhhh...." Anggia memohon untuk segera digagahi.

Aku akhirnya berdiri, mengangkat badannya ke atas, menuntun dia berdiri menghadap tembok, membelakangiku. Aku menggengam kedua tangannya dan menaruhnya di dinding. Badannya agak menunduk, menaungi sofa. Aku menaikkan satu kakinya ke atas sofa. Setelah aku membuka celanaku, aku menyingkapkan rok dressnya lebih atas lagi, bersiap memasukkan penisku ke dalam vaginanya dan memegang erat pinggangnya.

"Tok tok tok" Shit. Aku dan Anggia mencoba mengatur nafas sambil berpandangan bingung.

"Nggi.."
"Iya gue tau" kami berdua buru-buru merapihkan pakaian kami, dan aku dengan kesal membuka pintu. Mbak Mayang.

"Eh Mbak..." sapaku dengan muka khawatir. Anggia berdiri dibelakangku dengan tampang bodoh, masih memakai backless dress yang tadi.

"Ada tamu ya?" selidiknya.
"Iya mbak....." jawabku pelan. Muka Mbak Mayang memang tidak menampakkan aura curiga atau kesal, hanya aura penasaran.
"Kenalin Mbak... temen saya.."
"Anggia".
"Mayang".
"Jadi ini yang namanya Anggia.." Mbak Mayang tersenyum kepada Anggia.
"Ha.. Halo Mbak..." sapa Anggia dengan kaku.
"Rendy keluar ya?"
"Iya Mbak"
"Oke deh... Maaf ya ganggu..." Mbak Mayang lalu melambaikan tangannya dan berlalu kembali ke unit apartemennya.
Aku dan Anggia hanya berpandang-pandangan sambil menutup pintu. Kusambar rokok dan segera menyalakannya, lalu duduk di sofa.

"Geblek" kata Anggia.
"Emang" jawabku.
"Kita ketauan?"
"Kayaknya"
"Dia bakal gimana?"
"Paling disangka gue pacaran ama elu"
"Emang lo pernah cerita apa sama dia soal gue?" tanya Anggia menyelidik.
"Soal singapur"
"Lo cerita kita ML disana?!?!?!"
"Bukan... cerita kalo gue mau ke singapur ama elo"
"Kirain"
"Dia ga tau soal kebiasaan kita"
"Bagus lah"

"Tapi keliatannya kok dia seneng..." Lanjutku.
"Dia sangkain gue pacar lo sekarang kali...." Anggia menatapku dengan ekspresi bodoh. "Gue udah gak kepengen" lanjutnya lagi.

"Sama gue juga" Aku hanya fokus menghisap rokokku dalam-dalam.
"Gue pake baju ini dulu terus ya" Anggia mendadak memecah keheningan.
"Buat apa?!" aku heran mendengarnya.
"Ngegodain Rendy kalo dia balik entar" jawabnya.
“Iseng banget sih bocah”

“Biarin hahaha….”

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

"Kemana nih.... Gaya amat..." ledek Rendy
"Main ludruk" jawabku sambil memakai sepatu. Aku mengenakan setelan jas ringan berwarna abu-abu gelap, kemeja putih tanpa dasi, dan ikat pinggang serta sepatu yang berwarna senada.

"Salamin buat Anggia yak..." Lanjut Rendy.
"Tanpa gue harus sampein aja dia tau kali lo nyalamin dia tiap ada kesempatan" jawabku.
"Gue masih inget pas gue balik waktu itu, yang dia pake dress merah itu ya tuhan........." Rendy tampaknya sedang berkhayal sambil terus sibuk kerja di depan laptopnya.

Aku hanya tersenyum kecil, sambil duduk, menghabiskan batang rokok yang tersisa, menunggu waktu berangkat.

"Lo bareng ama Anggia ntar perginya?" Tanya Rendy lagi.
"Tembak Anggia aja Ren kalo penasaran mah, daripada nanya gue mulu" jawabku bosan. Rendy hanya menyeringai, memberi tanda kalau dia pikir dirinya tidak sepadan untuk Anggia.

"Jalan yak gue"
"Balik jam berapa men?"
"Sejam-jam nya" Jawabku malas.

------------------------------------------

desain10.jpg

Aku sampai di kantor pada sabtu sore itu. Aku turun dari mobil dan langsung menyalakan rokok. Aku langsung duduk di teras, memandangi jalanan yang sepi, jalan yang biasanya ramai setiap sore di hari kerja itu.

"Kamu kebanyakan ngerokok" terngiang-ngiang nasihat Dian yang berulang kali dia ulang di telingaku. Dian selalu seperti itu. Dia tidak pernah melarangku merokok, dia hanya selalu memperingatkanku soal bahya merokok. Setiap saay aku menghisap rokok, dia selalu berkata seperti itu sambil tersenyum. Entah apakah itu “kewajibannya” sebagai seorang dokter, atau apakah dia memang benar-benar tidak ingin aku terkena bahaya, sebagai tanda bahwa dia selalu memperhatikanku. Aku hanya menggelengkan kepala secara otomatis. Berusaha mengosongkan kepalaku dari pikiran apapun, soal siapapun.

"Loh mas?" Nica keluar dari dalam kantor, mengagetkanku.
"Eh" reaksiku pelan.
"Kirain belum dateng" lanjutnya.
"Gue pikir baru gue sendiri" jawabku.

Aku sedikit terpana melihat Nica. Tubuh mungilnya di balut pouf dress tanpa lengan berwarna hitam, dengan riasan minimalis. Heels simple warna hitam pekat menemani dandanan cutenya hari itu.

"Yang lain mana?" aku bertanya sambil melihat dirinya dari atas kepala sampai ke ujung kaki.
"Gak tau..." jawabnya pelan. Aku bergegas memeriksa grup kantor di sosial media. Dari 5 orang yang janjian bareng, baru dua yang datang. Tiga lainnya ada satu yang batal, satu nyusul, dan satu lagi tidak ada kabar. Aku paling benci dengan janji yang tidak ditepati dan keterlambatan.

"Kalo sampe maghrib ga ada yang nongol, kita jalan ya?" Nica hanya menganggukan kepalanya.

------------------------------------------

Dengan agak kesal aku menyetir ke lokasi pernikahan, yang bertempat di salah satu hotel bintang lima yang berada di selatan Jakarta. Jalanan agak relatif ramai ketika mobilku mendekati lokasi pernikahan.

"Rumah lo ke kantor jauh gak sih?" tanyaku membuka percakapan ringan dengan Nica.
"Enggak mas, cuma 15 menit kalo pake mobil" jawabnya dengan senyum manis khasnya. Buset, tajir dong orang tuanya, rumahnya disitu, tapi tidak heran, membaca CV nya saja sudah keliatan status ekonominya.

"Enak dong" senyumku. Dia hanya menyeringai manis sambil menyibakkan rambutnya.
"Mas udah berapa lama sih di kantor kita?" Nica melanjutkan pembicaraan kami.
"Udah mau 7 taunan"
"Kerjaan pertama ya mas?"
"Bukan, sebelumnya di kampus bantuin dosen"
"Ooo... Kenal Mbak Anggia udah dari kuliah kan ya?" Dia mengulang pertanyaan yang dia sudah tahu jawabannya.
"Iya, dari pertama dia masuk kampus udah kenal"
"Enak ya.."
"Enak gimana" aku sedikit tertawa.

Jika yang dia maksud enak adalah berteman cukup lama dan dekat dengan seorang perempuan yang bossy, galak, dan judes, aku tidak bisa berkomentar apa-apa.

"Aku gak pernah punya sobat cowok seumur hidup soalnya, agak iri sama Mbak Anggia yang gampang akrab sama cowok" lanjutnya dengan senyum. Aku mengrenyitkan dahi. Aku pusing mencari koneksi dari semua kalimat yang ia ucapkan tadi. Alur bicaranya seperti tidak make sense sama sekali.

"Lo anak kedua kan ya?" tanyaku berbasa basi kembali.
"Iya mas"
"Kakaknya pasti cewek juga ya?"

Dia mengangguk pelan. Aku anak satu-satunya di keluargaku. Walau begitu, aku tidak dimanja. Tidak pernah ada cerita anak tunggal dimanja di dalam keluargaku. Semuanya normal seperti kebanyakan orang yang kukenal.

"Ntar pulangnya gimana?" tanyaku.
"Santai aja mas, aku udah bilang bakal nginep di tempat Mbak Anggia. Dia juga udah oke kok" jawabnya. Aku senyum aneh, kupikir menginap bersama dengan Anggia adalah ide yang buruk.

------------------------------------------

attrac11.jpg

"Daaan datang juga akhirnya!" sambut Anggia, dengan backless dress warna merah yang super seksi itu. Dia menyambut kami di lobby hotel. "Untung kalian cepet dateng, daritadi udah diajak kenalan ama dua cowok, gerah gue" keluhnya. Nica mendengarnya hanya bisa senyum-senyum sendiri

"Salah sendiri, lagian tumben datengnya cepet, biasanya suka telat" ledekku.
"Kan nungguin kalian gue disini..." jawabnya, sambil menggandeng dan menarik Nica ke arah Ballroom. Yang ditarik kaget, tapi cuma bisa pasrah.

Aku membuntuti mereka saja dari belakang, sambil menyapa beberapa orang yang kami kenal. Ah, harusnya di pernikahan seperti ini, aku bisa survive.

Selanjutnya bisa ditebak. Dimulai dari menyalami pengantin, makan, menonton musik, ngobrol, dan kegiatan yang paling suka aku lakukan, merokok di luar. Aku menghisap rokok ku dalam-dalam, mencoba membayangkan sosok Nica, yang polos, penuh senyum, dan selalu ceria. Mendadak aku membandingkannya dengan Dian. Dua-duanya tidak ada kemiripan sama sekali. Nica terlihat begitu polos dan lugu, tak seperti Dian yang terlihat sangat mature. Sialan, Dian lagi. Kalau lagi ke kondangan berdua dengan Dian, pasti dia tidak akan mengizinkanku untuk merokok sendirian ke luar. Aku langsung mencoba mendistraksi pikiranku dari Dian dengan berkonsentrasi ke tiap hisapan rokok. Dan tiba-tiba sosok merah itu muncul di sampingku.

"Ngapain lo?" tanya Anggia.
"Ngerokok"
"Pengen cepet mati ya?"
"Berisik"
"Bentar lagi beres kawinannya"
"Yang lo tunggu kan?" tanyaku sinis
"After Party!" seringai Anggia.
"Muke lo jadi serem"
"Biar gak serem lagi harus minum alkohol" jawabnya dengan muka licik.
"Pemabuk"
"Bodo" lanjutnya. "Tadi berdua doang ama Nica?" tanyanya kepadaku.

"Iya" jawabku sambil menyalakan batang rokok baru.
"Cie" ledeknya.
"Apa sih..." aku jadi gusar dibuatnya.
"Gue kalo jadi cowok dah gue embat itu anak selucu dan seimut itu" liriknya sinis ke arahku. Aku cuma geleng-geleng kepala.

"Masuk yuk" ajakku. Anggia mendadak bergelayut di tanganku.
Tiba-tiba dia berbisik "Gue masih penasaran pengen ML pake dress ini" nafasnya menggelitik telingaku.
"Apaan sih..." responku cuek.

Sebagian besar tamu sudah pulang ternyata. Musik pengiring pernikahan yang romantis dan manis sudah berganti menjadi DJ Booth, dengan lagu-lagu upbeat kekinian. Beberapa tamu sudah cuek menyalakan rokok di dalam Ballroom tersebut. Pasti banyak sekali ganti rugi dari Pak WIlliam, pikirku sambil tersenyum. Aku menghampiri bar dan meminta wine kepada bartender. Aku lantas duduk disana, memandangi tamu-tamu undangan yang berusia muda larut dalam suasana. Aku menyesap wine yang kering itu, sambil berusaha menyalakan rokok.

"Hei.. Apa kabar?" Pak William mendadak menyapaku.
"Baik" jawabku tersenyum
"Makin ganteng aja" pujinya berbasa basi. Aku tersenyum, menyalaminya dan memberi selamat atas pernikahan anaknya."Anak saya nih, minta pake ada after party segala, hahahaha"

"Oke lah pak, buat yang muda-muda" aku tersenyum lebar, memaksakan keramahan ini. Kulihat Nica menghampiri kami.

"Oh iya pak, kenalin ini..."
"Pacar baru?" tanya jahil Pak William.
"Haha, bukan, karyawan baru di kantor"
"Nica" senyumnya sambil mengulurkan tangannya ke Pak William.
"Halo, William, please, enjoy partynya ya?" senyumnya sambil berlalu menyapa tamu yang lain.

Nica memesan wine juga, lalu duduk di sebelahku. Gesturenya mendadak mengajakku toast. "Untuk malam ini" Katanya tersenyum. Gelas kami berdenting. Entah apa maksudnya "Untuk malam ini". Mendadak Anggia mendatangi kami, memesan sesuatu yang namanya tidak kudengar jelas ke bartender. Dia lalu meminumnya dengan cepat.

"Pemabuk" ledekku.
"Perokok" balasnya.

Nica hanya nyengir melihat kami berdua saling bertukar celaan.

"Ayo, sini, turun ke dancefloor ama gue" ajaknya kepadaku. "Gue capek ngeladenin orang-orang yang pada mau ngajakin gue joget".
"Salah sendiri" ledekku.
"Ayo" tangannya menarik tanganku.
"Gak mau" aku menghindar, dan malah menyalakan sebatang rokok lainnya.
"Gak seru, mana minum cuma wine lagi..." Anggia lalu menarik tangan Nica dan menariknya ke dancefloor. "Ayo" Nica tak kuasa menahannya dan ikut ke dancefloor. Aku hanya bisa tersenyum simpul melihatnya.

------------------------------------------

cockta11.jpg

Kepalaku sudah pusing. Entah berapa gelas wine, bir dan cocktail yang kuminum. Setidaknya aku masih bisa aware dengan sekelilingku. Salahnya adalah aku hanya duduk saja, tidak bergerak. Karena aku tidak bergerak, maka alkohol di dalam tubuhku tidak terdevelop jadi keringat, dan aku jadi tipsy karenanya. Aku melirik ke arah Nica, yang entah untuk keberapa kalinya disodori gelas oleh Anggia, yang memaksanya minum terus. Mukanya sudah merah. Apalah dia jika dibandingkan dengan Anggia yang peminum berat.

Mendadak lagu yang familiar terputar di dancefloor. Aku ingat lagu ini. Lagu di beachclub di Bali ketika aku kesana dengan Dian. Shook feat Ronika - Distorted Love.

Won't you won't you wait up?
Nothing gets me dancing like the thought of you
Don't you don't you give up
No one makes me move
Like you, like you, like you


Distorted love
Can't get you off my mind
(Cause I'm not your favorite form of game)
Distorted love
Won't you just help me find
(We're gonna pull this on again)
Distorted love
Can't get you off my mind
(Don't want your favorite player to break)
Distorted love
Won't you just help me find
Distorted love?


Mendadak ingatan tentang Dian lewat liriknya menggangguku. Aku hanya bisa melawan sambil menghisap rokok ku kencang-kencang. Bingung bertingkah laku, aku malah membuka jasku, dan melipatnya di pangkuanku. Aku melihat Nica dan Anggia serta puluhan orang lainnya bergerak random di depanku. Kurasakan Anggia dan Nica mendekat.

"Anak ini parah!" tunjuk Anggia ke Nica. Nica hanya tersenyum, kacamatanya agak melorot, dan dia bersusah payah membetulkannya.
"Mbak yang parah..." jawabnya dengan senyum yang sangat lebar.
"Kalian gila" komentarku sambil membuang puntung ke asbak.

Aku lantas mengambil batang baru. Gila, sudah berapa batang kuhabiskan? untuk aku membawa dua bungkus rokok malam ini. Anggia kembali meminta minuman dari bartender, dua gelas, satu lagi untuk Nica.

"Udah dong" aku memperingatkan mereka. Aku yang tidak minum sebanyak mereka saja rasanya sudah sangat pusing dan berat. Nica mendadak bersandar di bahuku. Kepalanya terkulai lemas. "Nggi... udah deh.." aku menyambar minuman yang tadinya untuk Nica. Mendadak Nica malah mengambil gelas itu dan meminumnya habis.

Duh, darah muda Nica sepertinya menggelegak karena alkohol.

------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Jam 1 malam. Aku duduk di dalam mobilku, berusaha menelpon Anggia. Tidak diangkat. Mana anak itu? Sedangkan Nica terkulai lemah di kursi penumpang sebelahku. Mana Anggia, yang berjanji sudah bersedia menyediakan tempat mengingap untuk Nica? Aku akhirnya menyerah. Aku selimuti Nica dengan Jasku. Dengan susah payah kumasukkan kunci untuk menyalakan mobil. Aku menyetir keluar dari parkiran hotel dengan gusar dan kesal.

Waktu yang kutempuh dari Hotel tersebut ke apartemen hanya setengah jam kurang. Tapi rasanya seperti setengah hari. Susah payah aku menyetir dengan pelan, berusaha menghindari dan bersikap normal setiap kulihat polisi di jalan raya.

Aku sejenak melirik ke Nica. Dia masih dengan lemahnya terkulai, tapi sedikit bergerak, memeluk jasku dan menghirup baunya. "Bau rokok........" suaranya terdengar pelan dan lemah. Anggia gila. Anak ini dibikin mabuk dan ditinggal.

Ah, akhirnya sampai juga ke parkiran apartemen. Setelah berhasil parkir dengan susah payah, aku berusaha membangunkan Nica. "Nica... malem ini lo tidur disini dulu ya, besok baru pulang, mau dianter pulang tadinya tapi gak ada yang tau rumah elo, dan udah malem banget juga..." bisikku. Nica hanya mengangguk pelan. Dan dengan sempoyongan berusaha keluar dari mobil. Aku terpaksa memeluknya dan memapahnya ke lift. Badannya ternyata sangat lembut dan wangi.

kamar-10.jpg

Susah payah aku membuka pintu unit, dan memapah Nica ke arah kamarku. Aku membaringkannya, lalu dengan susah payah menutup pintu, agar kalau Rendy terbangun tidak banyak curiga dan banyak bertanya.

Aku akan tidur di sofa, setelah ganti baju dan sedikit bersih-bersih, pikirku. Aku membawa t shirt dan celana pendek ke kamar mandi. Aku ganti baju disana.

Setelah keluar, kulihat Nica masih memeluk jasku dengan erat. Aku menggelengkan kepala dan berusaha menarik jas itu dari Nica.

"Jasnya gue pinjem ya..." bujukku.
"Gak mau...." bentaknya tanpa tenaga.
"Nica..."
"Ssst...." dia malah menyuruhku diam.

Aku akhirnya berusaha menarik jas itu dengan paksa. Tapi aku agak kalah cepat. Nica malah membuang Jas itu ke sisi yang berlawanan. Aku berusaha meraih Jas itu, tapi itu malah membuat aku berada di atas badan Nica yang mungil.

Aku menelan ludah, melihat wajah polosnya yang begitu manis. Nica membuka matanya sayu, lalu tersenyum dan malah menyentuh pipiku lembut.

"Untuk malam ini........." bisiknya lemah. Cukup lama aku memandang mata sayu itu. Tangannya mendadak naik ke atas leherku. Aku pun tak kuasa.

Bibir kami bersentuhan lembut, aku setengah mabuk, dan dia mabuk parah. Baru kurasakan bibir selembut itu di bibirku. Wangi tubuhnya memenuhi rongga hidungku dan memperparah efek setengah mabuknya. Dia memelukku lembut, dan aku pun meraih badannya. "Nica..." bisikku.

Dia diam saja dan terus menciumiku dengan lembut. Aku otomatis membuka kacamatanya dan menyingkirannya dari kasur. Kami berciuman dengan mesra, dengan penuh hasrat. Pikiranku semuanya dipenuhi dengan senyumnya sehari-hari. Badan mungil itu kini berada di pelukanku.

Aku menjamah ke resleting pouf dressnya. Aku membukanya pelan-pelan. Tidak ada pemberontakan dari Nica. Nafas kami beradu lembut di tengah sunyinya malam. Dia menurutiku saat tanganku berusaha melepaskan dressnya. Badannya terlihat pucat di malam hari ini. Tangannya tetap berusaha meraih leherku, tubuh mungilnya hanya berlapis pakaian dalam berwarna biru muda. Sangat serasi dengan kulit putihnya. Aku meraih selimut. Menciuminya terus sampai aku lupa semuanya.

Lupa semuanya. Sampai kami pun tenggelam.

"Be gentle... This is my first time" bisik Nica.

Ya, tampaknya malam ini kami akan tenggelam.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Lanjutkan perjuanganmu brada!!!
Untuk saat ini, Be masih suka alurnya
 
THE LUCKY BASTARD – PART 6

------------------------------------------

kamar-10.jpg

"Ughhh...." mataku silau, terlalu banyak cahaya masuk saat kubuka mataku. Nica masih terlelap di pelukanku, masih dengan pakaian dalamnya. Aku melepaskan pelukanku dengan buru-buru dan bangkit menuju kamar mandi. Aku mencuci muka dengan air dingin dan segera buang air. Kepalaku sakit sekali.

Tadi malam tidak terjadi apa-apa. Kami hanya tidur berdua, berpelukan, tanpa suara, tanpa gerakan. Semua ini gara-gara pengaruh alkohol di dalam darah kami. Lemas dan lunglai semalaman. Aku berkaca, menatap diriku, yang setelah selama ini, setelah perjalanan panjangku dengan Dian, mungkin akan mencoba untuk melangkah maju. Ini bukan Mbak Mayang atau Anggia. Ini Nica. Dia tampaknya begitu fragile, lembut, dan manis.

Tidak ada salahnya untuk mencoba menyayanginya.

Aku kembali ke kasurku, memandang Nica yang terkulai anggun di kasurku, hanya dalam pakaian dalamnya saja.

"Nica..." aku berusaha membangunkannya.
"Sini...." dia merespon dengan menarik diriku dengan lemah. Aku menurut saja, kembali memeluk tubuh mungilnya yang wangi. Dia membelakangi tubuhku, dan aku menghirup wangi rambutnya dalam dalam.

"Lo gapapa?" bisikku pelan ke telinganya.
"Gapapa...." bisa kulihat senyumnya yang manis saat menjawabku. Kulingkari perutnya dengan tanganku, menyentuh kulitnya yang sangat halus. Aku menutup mataku lagi, membiarkan diriku sejenak menikmati tubuhnya yang lembut dan mungil ini.

Tak tahu berapa lama aku memeluknya. Wangi tubuhnya membuat darahku mengalir kencang. Senyum tipisnya membangkitkan gairahku. Otomatis aku mencium tengkuknya yang ditutupi rambut. Tangannya bergerak lembut memegang pipiku. Badannya makin menempel, dan pantatnya menekan penisku dengan keras. Gila. Untuk sejenak kepalaku kosong, tanpa bayangan siapapun. Kepalaku lalu bangkit dan mencium pipinya. Dia tidak menghindar, malahan tersenyum manis.

Nica lantas menuntun tanganku ke buah dadanya yang kecil, memintaku menggenggamnya lembut. Aku menurutinya, meremas pelan. Bisa kulihat reaksi wajahnya yang tersenyum tipis keenakan. Nica mendesah tanpa suara, membiarkan diriku meraba dan menjelajahi buah dadanya. Tanganku masuk dalam BH nya, menyentuh kulitnya yang halus dan putingnya yang mengeras. Tanpa sadar aku meremasnya dan mempermainkan putingnya dengan perlahan. Matanya tertutup, mulutnya terbuka lebar dengan nikmatnya.

Tangannya bergerak canggung ke punggungnya, mencoba membuka baju dalamnya. Aku tidak dapat membantunya sekarang. Aku sedang fokus mempermainkan buah dadanya yang mungil itu.

Berhasil. Dia berhasil membuka BH nya. Dia menariknya dan meletakkannya entah dimana. Aku belum pernah menyentuh kulit sehalus ini. Kepalaku bersandar di lehernya, mencium wangi tubuhnya yang manis. Tangannya dengan lembut memegang tanganku, menariknya dengan halus. Dia lantas berbalik menghadapku. Mukanya penuh keluguan menatapku, menggengam ujung bajuku, dengan canggungnya mencoba menarik dan membukanya. Aku membantunya, memberikannya reaksi yang ia inginkan. Kami lalu berciuman dengan lembut. Bibirnya sangat lembut dan manis. Beberapa kali hidung kami beradu dalam ciuman mesra itu. Aku tak mau momen ini berakhir. Badanku mendesak badannya, berusaha meraih laci di samping tempat tidurku, meraih kondom.

Kami terus berciuman sambil berpelukan dengan hangat. Tubuhnya dalam genggamanku. Nafasnya bersatu dengan nafasku. Memori memoriku yang pahit seakan akan terhapus. Matanya yang lucu itu memandangiku penuh harap. Bibirnya yang lembut terus menempel, seperti tidak mau lepas dari diriku. Aku dengan nakal berusaha meremas pantatnya. Dia mengizinkannya dengan membuka celana dalamnya secara perlahan. Pandangan aku dan Nica saling bertaut satu sama lain.

Aku meresponnya dengan melepas celanaku, dan bersiap memakai kondom. Tapi ciuman kami tak mau lepas. Tangan kami saling menggenggam. Tubuh telanjang kami menempel erat, seperti sepasang kekasih yang lama tak berjumpa. Dia masuk kedalam pelukanku. Tak berapa lama kami berdua terdistraksi, suara hujan yang cukup kencang datang dari luar.

Kami saling menatap dalam waktu yang cukup lama. Jantungku berdegup kencang melihat muka tanpa dosanya. Wajahnya penuh pengharapan dan tanpa penyesalan. Mendadak ia mengangguk pelan dan menghela nafas panjang, seperti memberi izin untuk melepasnya bersamaku. Lalu dia mencium hidungku pelan dan tersenyum. Senyum yang tulus dan benar-benar ikhlas.

Sudah tak ada kata mundur lagi sekarang. Aku melihat ini sebagai peluang membahagiakan diriku, setelah tenggelam dengan memori buruk yang mengakhiriku dan Dian. Aku juga ingin mengucapkan selamat tinggal kepada hubungan-hubungan tanpa arah antara aku dengan Anggia dan Mbak Mayang.

Dengan ragu aku memakai kondom, sedangkan Nica berbaring di sebelahku dengan tangan bersilang menutupi buah dadanya. Setelah berhasil melindungi alat kelaminku dengan benda karet itu, dengan lembut aku memeluknya lagi, menimpa tubuh mungilnya. Kami berciuman dengan lembut kembali, lantas pelan-pelan aku meraba bibir vaginanya yang halus. Mengelus-elus permukaannya, menjelajah setiap lekukannya. Bisa kurasakan Nica mendesah tertahan, menikmati setiap sentuhanku. Pelan pelan kucoba membasahi vaginanya dengan natural, aku tidak ingin membuatnya kesakitan di pengalaman pertamanya. Aku seperti memasturbasikannya. Dia hanya bergantung di leherku, berusaha menikmati setiap detiknya.

Akhirnya kuputuskan, aku turun kebawah, mencoba menjilatinya. Nica tampak agak malu dan dengan protektif merapatkan pahanya. Kucium lembut pahanya, dan pelan pelan tanganku bermain, melebarkan pahanya. Aku mulai mencium dan menjilati pangkal pahanya. Badannya bergetar. "Ohhh...." desahnya ketika aku mulai menjelajah area kewanitaannya. Tangannya kupegang erat. Nafasnya menjadi berat, ekspresi mukanya tampak tidak beraturan merasakan pengalaman baru ini. "Ahhh..... Ahhhh....." Nica terus mendesah pelan, dengan irama nafas yang sama dengan permainan lidahku.

"Uuuhhhh....." Nica melenguh lama, menikmati setiap detiknya. Setelah kurasa sangat basah, barulah aku berhenti. Aku menatapnya dalam-dalam. Nica kembali mengangguk dengan menggigit bibirnya. Pelan-pelan kumasukkan penisku dengan lembut ke vaginanya. "Aahhh.... Uugggghhhhhhh...." Nica mengerang, entah antara sakit atau keenakan. Bibirnya bergetar, wajahnya memerah dan nafasnya memburu. "Gila..." bisiknya dengan suara yang sesak. Aku bisa merasakan nafasnya menerpa mukaku. Dia makin keras memelukku. "Aaahh.... Ahhh..." ada desahan di tiap tusukanku. Aku menidurinya dengan lembut, dengan penuh perasaan, berniat memberinya kenikmatan untuk kali pertamanya.

"Uuuhhh.... Uuuuuuhhhhh...." Nica terus meracau tanpa henti. Keringat mulai terasa di punggungnya. Yang kurasakan hanya pelukan kencang, sempitnya dinding rahimnya, dan nafsu memburu kami berdua yang kencang. Kepalaku tidak bisa lari kemana mana. Hanya Nica dan kepolosannya di hadapanku saat ini.

Nica terus memelukku, rambutnya terurai jatuh ke kasur, matanya tertutup, berkonsentrasi pada setiap gerakanku. Badannya bergetar, dia terus menggigit bibirnya atau membuka mulutnya lebar-lebar, mencari udara. Pipinya yang putih menjadi pink. Mendadak ia mencoba meremas rambutku, lalu menatapku dengan dalam

"Ahhhh.. Ahhhhh... Ahhh....." hanya suara itu dari tadi yang dia keluarkan. Aku mencoba konsentrasi pada satu posisi ini saja, fokus untuk pengalaman pertamanya.

"Aku... Aku... Ahhhh....." Nica seperti panik. Badannya mulai terasa tegang, dan akupun mulai merasa spermaku akan keluar dalam waktu dekat. "Terus sayang.... Enak..." Sayang? Sejak kapan? Tapi aku tak peduli. Aku terus berkonsentrasi.

"Uuuggghhhhhh... Ahhhh" badannya mendadak kaku, melenting ke belakang, lalu bergetar beberapa kali. Nica menarik dan membuang nafas dengan panjangnya. Pipinya tampak merona merah, terkulai bersama dirinya di bawah badanku. "Ahhh...." spermaku pun keluar di dalam kondom. Penisku menyentak vaginanya, dan dia pun bereaksi dengan geli. "Uhhhhh...." desahnya lega.

Aku belum akan mencabutnya. Aku hanya ingin memeluknya. Pipi kami berdua menempel, saling mendengarkan nafas masing-masing. Kepalaku bergerak menjauh, dan menatap kedua buah mata Nica yang berbinar. Lalu kucium bibirnya dengan lembut. Aku tak peduli apa yang terjadi dibawah sana. Aku bahkan lupa untuk membuka dan membersihkan kondomku. Ya kutahu cuma berpelukan dan berciuman dengannya.

"Aku pengen kita kayak gini selamanya....." bisik Nica lirih.

Aku menjawab dengan meraih badannya dan dia pun masuk dalam pelukanku.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
sini saja:mindik: nggak pa-2:genit: jendela tebuka, lampu terang menyala dan tanpa selimut membalut.
:D
 
Suhu RB apa gak ada niatan kasih nama buat tokoh utamanya "aku" ini suhu?? Siapa gitu kek..

:Peace:
 
Suhu RB apa gak ada niatan kasih nama buat tokoh utamanya "aku" ini suhu?? Siapa gitu kek..

:Peace:
anggap saja agan yang jadi 'aku' pada saat membaca..
makin pertajam feel nya lho!
itu :Peace: cara ane menikmati
 
Mantapnihyaa cerita lama bersemi kembali. Ditunggu updatenya hu
 
Suhu mau tanya, kakaknya Dian yg di Singapore itu siapa ya? Beberapa kali disinggung di MDT, Amyra dan disini...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd