THE LUCKY BASTARD – PART 8
------------------------------------------
"Nyesel kenapa? Tanyaku tegas kepada Anggia. Aku gusar. Bukannya berarti aku tidak menganggap Anggia menarik atau seksi, tapi aku sedang berusaha membenahi hatiku tanpa gangguan. Terutama di awal hubunganku dengan Nica sekarang.
"Nyesel, lo punya kesempatan untuk ML ama gue tapi lo lewatin gitu aja" mendadak dia senyum. Aku bingung sebenarnya, dia ini serius atau bercanda?
"Lo becanda ama gue Nggi?"
"Menurut lo?"
"Ayolah"
"Ayolah apa?"
"Gue udah ada Nica"
"Pas ada Mayang lo mau ama gue"
"Beda"
"Bedanya dimana"
"Gue beneran ama Nica, Nggi..."
"Mayang?"
"It was just a fling"
"So i'm also just a fling?" Aku terdiam, menatap mata tajam Anggia. Aku tak tahu harus bicara apa. Kami terdiam cukup lama, saling menatap. Aku merasakan telingaku memanas. Sialan, apa maksud Anggia sih.
"HAHAHAHA" Anggia tertawa sambil menepuk-nepuk pahanya
"Hah?"
"Gila. Gampang amat ni anak emosinya"
"Hah?"
"Udah ah, kasian gangguinnya" Anggia terus tertawa tak berhenti. Mataku menyipit.
"Bangsat"
"Duh marah ya"
"Sekali lagi awas ya..."
"Awas apaan"
"Gila lu"
"Ini namanya pinter tau"
"Pinter apaan"
"Kalo lo ketipu gue bisa ML, udah lama enggak kan lumayan, kalo lo gak kena, berarti elo setia, sama-sama untung kan?"
"Bangsat"
------------------------------------------
Sore itu aku kesal. Kesal pada Anggia. Entah apa maksudnya, aku mendiamkannya seharian sehabis kejadian itu. Belasan pesan ke handphoneku berdatangan, isinya emoticon nyengir dan permintaan maaf. Aku hanya menghela nafas. Masuk pesan dari Nica. Aku melirik ke arahnya. Dia cuma menatapku balik sambil menunjuk layar handphone nya. Aku melihat pesan darinya.
"Kenapa sayang? Kok mukanya kusut amat?" begitu isinya. Aku mengetik balik
"Gapapa, pusing abis rapat"
"Kasian...."
"Biasa kok"
"Pulang mau aku temenin?"
"Boleh"
Aku menarik nafas panjang. Aku tidak akan membiarkannya gagal lagi kali ini. Kalau aku tidak ingin dikhianati, bukankah sudah seharusnya aku tidak berkhianat? Aku ingin mengubur ingatan-ingatan rusakku tentang Dian, oleh karenanya, aku harus membangun ingatan-ingatan baru tentang Nica. Anggia sialan. Aku tak menyangka cara bercandanya dan caranya menginginkan sesuatu bisa lebih dari sekedar memaksa. Jika ia memang menginginkan diriku, kenapa tidak jujur.
Jujur saja, aku tidak pernah membayangkan memiliki masa depan dengannya.
Tetapi jika mengingat kejadian di Singapura itu, itu kejadian yang sungguh gila, aku tak menyangka bahwa tanpa hati, tanpa rasa suka, tanpa simpati, bisa berujung pada seks. Dan terjadi ber ulang-ulang. Si sialan itu kadang-kadang harus diberi pelajaran, tapi biarlah, mungkin bukan aku yang membalas keusilannya itu. Biar nanti karma yang membalasnya, and karma is a bitch.
------------------------------------------
"Sayang... Ahhh...... Ahh...." Nica bertumpu pada bedhead, aku meremas pantatnya dengan penuh nafsu. Badannya membungkuk didepanku, dan tampak kepayahan mengimbangiku. Masih terbayang kekesalanku kepada Anggia tadi siang, yang mendadak aku asosiasikan dengan kejahatan Dian pada hatiku. Kejahatan yang merusak hubunganku dengannya, perselingkuhan itu. Dan ketika Nica memutuskan untuk mampir ke apartemen untuk menghiburku yang tampak begitu kesal di depan dirinya, aku melampiaskan kekesalanku padanya.
Aku tahu posisi Doggystyle tidak romantis, terkesan mendominasi, dan membuat perempuan merasa rapuh. Tapi ini otomatis saja terjadi. Nica masih dalam balutan pakaian dalamnya, aku hanya menyingkap celana dalamnya untuk menjadi jalan bagi penisku. Kacamatanya pun masih terpakai.
"Sayang.... Pelan-pelan sayang...." Nica berusaha membuatku sedikit menurunkan frekuensi terjanganku. Aku tak peduli lagi suara dari dalam kamar ini didengar siapa, Rendy, Mbak Mayang, siapapun silakan.
"Aahhh... Ahhh...." Aku terus menerjang Nica tanpa mengambil nafas, biarkanlah tiba-tiba keluar, toh pakai kondom ini, pikirku. Suara pantatnya beradu dengan pahaku, nafas nya tersenggal senggal. Mungkin dia tidak merasakan aura marahku, atau mungkin dia merasakannya dan hanya berusaha menjadi pacar yang baik. Sudah hampir dua bulan aku berpacaran dengannya, dan semuanya baik-baik saja. Walau kadang aku agak kurang sreg dengan gaya Nica yang terlalu childish, tapi biarlah. Apalah itu artinya dibandingkan dengan perasaan nyaman bersama seorang kekasih yang tulus?
"Mmm.... Ahhhh....." Badan Nica bergetar dan mendadak kaku. "Aku udah sayang....." Aku lantas makin ganas menyerangnya, berusaha menyudahinya juga saat ini. Aku berteriak tertahan. Terasa spermaku mengalir di dalam kondom.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Masih marah ama gue?" Anggia mengajakku ngobrol di sore hari itu, saat seperti biasa aku memperhatikan mobil-mobil macet di depan kantor.
"Sedikit" Sudah dua minggu sejak kejadian itu terjadi. Aliran mobil yang entah mau ke Antasari, Ampera, Bangka, ataupun Mampang menjejali jalanan di depan kantorku.
"Masih mau temenan ama gue?" katanya pelan. Aku hanya mengangguk, melihatnya dengan tatapan datar, dan berharap dia tidak mengulanginya lagi di kemudian hari. Nica mendadak keluar dari pintu kantor.
"Eh Mbak" Senyumnya ke Anggia dengan ceria. Anggia tersenyum sedikit nakal dan menggodanya "Nyariin Masmu?".
Nica hanya tertawa tanpa suara, lalu mengangguk pelan. Anggia mundur teratur, dan masuk kembali ke dalam kantor.
"Besok jadi kan?" tanya Nica. Besok adalah acara ulang tahun ayahnya. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Papa dan Mama gak sabar pengen ketemu kamu" tampangnya hari ini dan pernyataan itu membuatku makin melihat dia seperti anak-anak yang menggemaskan. Sneaker Converse, Skinny Jeans, kemeja putih tipis yang dibalut dengan sweater abu-abu yang bermotif print tokoh kartun tikus kesukaan anak-anak dan orang tua. Bring it on. Aku memang selalu takut bertemu dengan orang tua pacar. Tapi ini langkah kemajuan dalam hubunganku dengan Nica.
------------------------------------------
Aku menjejak pegal gas mobilku, menuju rumah Nica. Entah kenapa hatiku sangat deg-degan. Aku sudah pernah ke rumah Nica sebelumnya, rumah yang berada tidak jauh dari kantorku, dengan halaman luas mentereng, bangunan yang lumayan besar. Setelah menemukan rumahnya, aku parkir dan segera keluar dari mobil. Handphone dan rokok selalu setia menemaniku, walau aku belum tahu di rumah ini boleh merokok atau tidak. Matahari perlahan terlihat menghilang dari langit, dan lamunanku dibuyarkan oleh sosok mungil yang menyambutku.
"Akhirnya sampeeee... Sini, udah ditungguin" sapa Nica.
Tubuhnya yang mungil dibalut cut shirt top 3/4 dengan v neck lebar berwarna krem, celana jeans yang bermotif unik, sneaker vans, dan jam tangan Daniel Wellington yang tidak murah itu. Aku tersenyum melihatnya, meraih gandengan tangannya dan pasrah ditarik ke halaman belakang. Dari jauh tercium bau bakaran daging, dan asap yang membumbung rendah. Suasana sudah agak ramai, aku melirik sekilas ke arah meja, oke, tidak ada minuman keras, bahkan wine sekalipun, jadi aku akan diam saja atau menghindar kalau ada pertanyaan yang bertema minuman keras.
"Papa... kenalin..." keceriaan Nica disambut baik oleh keluarganya.
Ayah dan ibunya menyalamiku dan berkenalan, dan akupun tak lupa memberi selamat pada ayahnya. Ayahnya bertubuh tinggi sepertiku, dari caranya bicara dan tindak tanduknya terlihat dia sudah berduit dari lahir, generasi ke sekian mungkin, dengan logat jawa ketika bicara ke keluarga, dan logat betawi kalau bicara ke teman sejawatnya, pastilah ayahnya memang lahir dan tumbuh besar di Jakarta. Ibunya mirip dengan Nica, versi tua, berkulit putih dengan kerudung ala Mbak Tutut, badan yang kecil, dan perkataan yang halus, bisa kutebak pasti ibunya keturunan sunda. Mereka sangat ramah. Saat bersalaman dengan ayahnya aku melirik ke arah jam tangan ayahnya, Bell & Ross, okay, itu penanda bahwa ini bukan main main.
Keluargaku bukanlah keluarga miskin, berada malahan. Orang tuaku beretnis Padang dan Jawa, tapi mereka dan aku lahir dan tumbuh besar di Jakarta. Aku selalu masuk sekolah swasta yang top di kota Jakarta ini, jadi aku tahu dan mengenal anak-anak yang datang dari keluarga seperti ini. Mereka rata-rata tidak sombong, hanya tidak bisa menutupi kalau mereka tajir mampus. Orang tua Nica, bisa dibilang mereka ada beberapa level di atas orang tuaku. Beberapa orang seumurku dan Nica ada di tempat itu, beberapa dari mereka ikut usil memanggang daging, dan malah lebih banyak orang yang seumuran orang tuanya disini. Aku bisa mulai ngobrol basa basi dengan beberapa orang disana, dan melahap beberapa makanan. Nica terlihat mengobrol dengan ceria, bersama beberapa orang perempuan sebayanya, dengan tak lupa curi-curi pandang sedikit ke arahku. Lama kelamaan, aku mulai bosan. Aku akhirnya menghampiri Nica, dan bertanya dimana aku bisa merokok, dan dia menyuruhku untuk merokok di depan, dekat pos satpam. Tak pikir panjang aku berjalan kesana.
Dan akhirnya aku bisa menghisap rokok juga. Pos satpam tampak kosong, karena mereka sedang nongkrong di depan pagar. Mendadak ada suara yang mengagetkan aku.
"Ada korek bro?" Seorang lelaki sebayaku, bertubuh tinggi, berkacamata dengan brewok yang lebat, dia mengenakan kaos polos dan celana jeans belel yang tampak murah. Tapi tidak dengan sneakers dan jam tangannya. Yeezy dan Seven Friday. Ini pasti kalau bukan sepupunya Nica, mungkin anak teman ayahnya.
"Pacarnya Nica?" tanyanya.
"Iya" jawabku.
"Kenalin, Adrian" sahutnya sambil mengulurkan tangan kepadaku. Jabat tangan yang cukup erat dan firm.
"Itu anak heboh di grup wassap keluarga waktu dia jadian ama elo" lanjutnya. Oh, berarti orang ini sepupunya. "Gue pikir tu anak bakal jadi bocah seumur hidup" tawanya. "Dari SMA ampe sekarang bentuknya ga berubah gitu" lanjut Adrian.
"Di kantor emang dia bocah banget sih" balasku.
"Kalo tu anak ampe nikah bakal gue bully seumur hidup" Adrian melanjutkan bicaranya.
"Nikah?" tanyaku.
"Iya... tu anak.."
"Lho Adri, disini toh?" suara ayahnya Nica memotong pembicaraan kami. "Ternyata kalian berdua ngilang, disini toh, kamu ahli hisab juga kayak Adri ya?" candanya dengan ramah. Aku berusaha mematikan rokok ku. "Gak gak usah, santai aja, wong saya juga dulu ngerokok kok" lanjut ayahnya Nica.
"Udah berhenti om?" tanyaku.
"Yah, udah dari lima taun yang lalu, batuk terus soalnya" senyumnya. Aku agak bingung mencari bahan pembicaraan dengan ayahnya. Dengan bodoh aku menunjuk motor keren yang nangkring disitu.
"Punya om?"
"Iya, Ducati Scrambler"
"Keren banget om"
"Yah, hobi sih ya.. hehe"
"Keren hobinya, om.."
"Kapan-kapan temenin saya yuk, di garasi ada dua lagi, satu yang klasik, satu harley" balasnya.
Glek.
Aku menelan ludah.
"Adri juga main kan? kapan-kapan kita rame-rame" lanjut ayahnya.
"Lah... saya udah gak main om" jawab Adrian.
"Lah gimana toh..." ayahnya Nica terlihat agak kecewa. "Lagi sibuk main apa kamu?" tanyanya ke Adrian.
"Lagi seneng air soft gun sekarang om.." jawab Adrian dengan seringai nya.
"Lah... gak bahaya?" ayahnya Nica mendadak bermuka khawatir.
"Motor kan bahaya juga om" ledek Adrian dengan nakalnya. Ayahnya Nica hanya tertawa mendengarnya.
"Kalo kamu, hobinya apa Mas?" tanya ayahnya Nica.
"Ah... akhir-akhir ini saya sibuk kerja om, lagi gak berhobi" jawabku dengan tak nyaman.
"Lah... gimana? Anak laki harus punya hobi dong, biar gak stress... Nanti..."
"Eh, dicariin" suara imut Nica menyela pembicaraan itu. "Aku pinjem dulu yaa... aku mau suruh dia nambah makan" Nica setengah bercanda menarik tanganku.
Beruntung. Aku diselamatkan oleh Nica. Pembicaraan yang tidak nyaman. Pembicaraan yang sering kudengar dibicarakan oleh ayah-ayah teman-temanku. Pembicaraan yang sering kudengar dari teman-teman sekolahku dulu. Aku menarik nafas dalam.
"Sayang" selaku.
"Kenapa?" tanya Nica.
"Aku mau ke WC dong..."
------------------------------------------
Mampus. Pikirku sehabis buang air. Hingar bingar suasana di luar membuatku agak tak nyaman. Aku mencuci mukaku agar terasa segar, dan dalam-dalam menatap ke mataku sendiri di cermin. Kenapa pembicaraan tadi sangat berat buatku? Tak sadar aku melamun dan buyar oleh suara ketokan di pintu.
"Sayang? kok lama?" tanya Nica.
Aku membuka pintu kamar mandi dan menatap Nica dengan senyuman manis.
"Kayaknya kamu pusing ya?" tanya Nica.
"Iya" jawabku ringan.
"Too much info dari keluargaku?" tanyanya.
"Ya gitu deh..." jawabku lagi.
"Kasian. Mau aku bikin rileks?" Nica mendadak menutup pintu kamar mandi dari dalam, dan menguncinya. Dia lantas duduk di lantai, berusaha membuka celanaku. Mukanya tampak antusias ketika dia menyingkap celana dalamku dan menemukan penisku yang belum berdiri disana.
"Kasian....." katanya. Dia lantas mengelus-ngelus halus kepala penisku, bersiap untuk melakukan oral seks.
"Sayang.... Ntar ketauan..." bisikku.
"Mereka sibuk sendiri di luar" jawabnya. Dengan muka tanpa dosanya, dia mulai memasukkan penisku ke dalam mulutnya.
Dia mulai mengulumnya tanpa suara. Kedua tangannya bertumpu di pahaku. Matanya yang polos menatapku tajam di balik kacamata frame tebalnya. Aku terangsang sekaligus gelisah apabila kami tertangkap basah. Penisku semakin tegang. Nica mengulumnya dengan semangat. Tak jarang ia berhenti untuk mengambil nafas, atau untuk menjilatinya. Dia sangat berhati-hati, tidak membiarkan sedetikpun giginya menyentuh penisku. Pemandangam bibir tipisnya yang melingkar di batang penisku adalah pengalaman yang luar biasa.
Nica terlihat begitu mungil dari atas sini. Bentuknya terlalu innocent untuk melakukan adegan dewasa ini. Aku merasakan sensasi yang berlebihan, perpaduan antara kenikmatan dan waspada.
"Sayang...." mendadak Nica menghentikan kulumannya.
"Mau?" tanyanya sambil merogoh kondom dari saku celananya.
Mataku seperti gelap, dan cuma bisa mengangguk setuju dengan ajakannya. Nafasku begitu berat, pikiranku melantur tidak karuan. Nica berusaha untuk memakaikan kondom di penisku. Sepertinya dia sudah belajar caranya entah dari mana.
Nica lalu berdiri, membuka celana dan celana dalamnya. Dia membiarkan semuanya jatuh di kakinya. Lalu dia berbalik, memunggungiku dan bertumpu ke wastafel. Pandangan matanya memandang balik dari cermin ke diriku. Tidak bisa tidak kulakukan.
Aku menuntun kakinya untuk melebar, memberiku jalan ke daerah kewanitaanya. Aku meraba bibir vaginanya dari belakang. Tampaknya sudah cukup basah. Entah dari kapan dia telah menahan hasrat untuk melakukannya denganku. Aku maju dan memeluk badannya dari belakang, mengatur posisiku untuk memasukkan penisku di vaginanya. Pelan pelan aku memasukkannya, berusaha menahan agar suaraku tidak keluar dari mulutku. Nica membuka mulutnya, meneriakkan teriakan yang tak terdengar saat aku berhasil menempatkan penisku di tempat yang seharusnya.
Aki mulai bergerak maju mundur perlahan. Telingaku kupasang dalam mode awas, jika terdengar langkah kaki sedikitpun, aku akan berhenti. Kepalaki terbagi antara menikmati seks, dan memikirkan beribu alasan yang masuk akal jika kami tertangkap basah.
"Yang cepet sayang... Biar gak dicariin...." bisik Nica. "Gak usah mikirin aku." lanjutnya.
"Hah?" bisikku bertanya, sambil terus merasakan sempitnya dinding rahimnya, dan tanganku sedang menggenggam pantatnya yang halus. Nica mendadak ikut menggoyangkan pantatnya, berusaha mengimbangiku.
"Biar kamu aja yang enak...... Biar gak tegang....." bisiknya menggoda. Aku makin bersemangat mendengar perkataannya. Aku terus berkonsentrasi pada gerakanku, sambil melihat ekspresinya yang menggemaskan dari pantulan cermin. "Sayang...." bisiknya lagi. Aku terus melihat matanya dan bentuk mukanya. Dia terengah engah dan sangat berusaha menahan desahan dan erangan yang mungkin keluar dari mulutnya. Aku menyeringai keenakan mendadak, merasakan gejolak pada penisku. Sebentar lagi.
Aku semakin ganas bergerak. Bergerak tanpa suara. Dan pada akhirnya, aku mendesah tanpa suara, sambil merasakan cairan yang hangat keluar dari penisku. Aku terkulai lemas sambil memeluknya dari belakang, berusaha mencium, meraih bibir mungilnya yang hangat.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Kenapa lo?" tanya Anggia saat melirikku di teras kantor. "Hmm?" aku menjawabnya dengan bodoh, tak bisa berpikir. "Muka lo kok kayak kusut gitu?" tanyanya lagi. Pertanyaan yang sama seperti yang Rendy tanyakan tadi pagi. Dan hampir semua orang di kantor ini seharian. Aku menghela nafas, entah kenapa rokok tak lagi terasa nikmat.
"Sakit lo..." selidik Anggia.
"Ga tau"
"Cari tau dong"
"Males"
"Ntar mati"
"Bodo"
Nica keluar dari pintu kantor dengan gusar. Dia meraba leherku dari belakang. "Tuh kan... Panas" aku hanya menggeleng lemah, menghisap rokokku lagi. "Aku anter ke dokter ya, udah minta izin Mbak Vania tadi..." ajaknya dengan manja. "Gak usah..." jawabku. "Kalo gitu pulang, tidur sayang... Aku anterin mau?"
"Gak usah, kamu banyak kerjaan kan?
"Tapi kamu pulang"
"Iya"
------------------------------------------
Aku terbaring di sofa sudah dari sore tadi. Aku melihat jam. Jam 2 pagi. Tubuhku terasa lemas tak bertenaga.
"Bangun juga akhirnya" tegur Rendy.
"Hmmmmm" jawabku sekenanya sambil tetap berbaring.
"Buset panas banget men"
"Ngapain sih pegang pegang"
"Ke rumah sakit ya?"
"Udah malem"
"UGD maksud gue"
"Ngapain?"
"Udah ikut gue deh" Rendy mengacak ngacak laci kamarku, mencari kunci mobilku. Setelah mendapatkannya, dia berusaha memapahku menuju lift.
------------------------------------------
"Gimana, apa yang dirasain?" Dokter UGD, bapak-bapak berumur 40an itu sedang merasakan detak jantungku melalui stetoskop. "Panasnya tinggi ya" lanjutnya. Aku yang sedari di mobil lemas hanya bisa mengangguk. Aku tertidur di mobil, dan linglung saat Rendy memapahku masuk ruangan UGD. Rumah sakit yang sepertinya familiar. Tapi bukankah semua UGD bentuknya seperti ini?
"Bapak gimana BAB nya?" tanya dokternya.
"Susah...." jawabku lirih.
"Terakhir makan?"
"Siang...."
"Waduh, diinfus ya... Abis ini ambil darah dulu, kayaknya sih tipes"
Aku menghela nafas, pasrah. Rendy duduk di samping bedku, dengan sabar menungguiku.
"Permisi pak...." seorang suster datang, bersiap memasang infus dan mengambil darahku. "Tadi dokter bilang, rawat inep ya, apapun hasil tes darahnya, buat observasi" aku mengangguk lemah. Tapi..... Aku hapal seragam suster ini.
Setelah menunggu suster berlalu, aku berbisik pada Rendy.
"Ren gue gak boleh ada di sini".
"Maksudnya?"
"Bawa gue keluar"
"Maksudnya?"
"Bawa gue keluar, sekarang!”
“Gila apa lo?” Rendy makin lama makin kaget ekspresinya.
“Ren…”
“Kenapa?”
Ya. Aku tidak seharusnya berada disini.
------------------------------------------
BERSAMBUNG