Episode 34
Nama Sandi: Jomblo
POV Akmal
Hari sudah gelap ketika kami menyisir Pulau Bira yang sepi penghuni, lokasinya ada di sebelah utara Pulau Harapan. Disitulah aku dan tim akhirnya menemukan lokasi Hammer Tech. Ada gubuk-gubuk kayu seukuran rumah yang sepertinya baru dibangun. Mungkin untuk menyimpan senjata, mungkin juga untuk mereka beristirahat.
Beberapa orang berkeliling, keluar-masuk, ada juga yang bersenda gurau sambil menenteng senjata rakitan. Kondisi macam begini sering kudengar dari teman-teman di tentara nasional yang pernah ikut misi kemanusiaan ke Afganistan dan Irak. Aku gak paham betul persamaan di sini dan di Irak, tapi ini tetap menegangkan.
“Bakso ke Jomblo. Masuk.” Alat komunikasiku berbunyi.
“Jomblo aktif. Ganti.” Balas gue.
Jomblo itu asik kan. Aku yang minta sendiri nama sandi Jomblo tadi siang. Itulah sedikit kebebasan yang aku miliki dalam misi berpotensi mengerikan yang satu ini. lagipula kami gak saling kenal dalam misi ini untuk menghindari hal yang lebih berbahaya.
“Semua sudah di posisi.” Lapor si Bakso, pemimpin kami di sini.
“Oke tunggu sedikit lagi.” Sahut gue.
Gue kemudian beralih saluran menuju sambungan kepada Dani. Dia menjadi mata utama bagi kami dengan perangkat milik A.T.C.U. meski tampilan kamera lebah juga diberikan kepada masing-masing daerah. Pimpinan kami tetaplah dari kepolisian, tapi peran A.T.C.U. juga penting. Mereka telah menjadi konsultan supaya strategi penyergapan bisa dilakukan bersama-sama di setiap daerah.
“Gue alihkan ke masing-masing tim ya. Tim Bawean udah mau jalan nih.” Dani memberi laporan terakhir.
“Tim dari Kendawangan sebentar lagi sampai Pulau Bawal. Maaf jadi kacau.” Sambung Hari.
Hari menceritakan kalau dia dan beberapa orang dari tim harus menyisir di tempat terjadi perkelahian tadi siang. Hasilnya, dua orang begal dan sopir travelnya berhasil ditemukan beberapa kilometer mendekati Kendawangan. Itu katanya penting untuk memastikan bahwa info kedatangan A.T.C.U. gak bocor ke daerah lainnya.
Keberuntungan lainnya yang disampaikan Hari adalah identitas pelaku yang menyerangnya. Mereka rupanya hanyalah kelompok begal jalanan dengan membeli senjata ke penyedia di daerah Pulau Bawal. Penyedia itu gak salah lagi adalah Hammer Tech.
Cerita Hari tadi cukup untuk menghabiskan waktunya di sisa perjalanan. Kini kami semua sudah bersiap di posisi masing-masing. Aku dan tim di Kepulauan seribu. Pur dan tim polisinya di garis pantai pulau Ajermasin, sebelah timur Pulau Belitung. Laras dan tim polisinya di sudut pulau di Karimunjawa. Dani, Erna, dan tim polisinya di wilayah hutan jati pulau Bawean. Terakhir, Hari dan tim polisinya sudah di kebun kelapa di Pulau Bawal.
“Semua bisa jalan.” Nicole mengucapkan kalimat sakti.
“Oke. Semua bisa jalan.” Pimpinan kepolisian di pusat mengikuti kalimat Nicole.
Kini timku dipimpin si Bakso. Dia mengatakan kami bisa masuk melalui pantai berlumpur di sebelah selatan. Kami harus menyergap orang-orang mereka satu demi satu, dimulai dari orang yang berjaga di garis paling luar.
Aku sebagai sersan di lapangan membagi tim menjadi dua. Satu masuk lewat selatan sesuai jalur yang berlumpur, satu lagi lewat belakang dari deretan pohon cemara laut. Hanya tiga orang ditunjuk agar menyusup tanpa bersuara lewat deretan pohon itu
“Jomblo, kamu ikut.” Perintah Bakso.
“Siap 86.” Jawabku.
Aku dan dua orang rekan melangkah di antara pepohonan, menginjak pasir-pasir basah yang membuat kaki jadi lebih berat. Laser-laser dari laras panjang masih kami matikan untuk dapat menyelinap lebih jauh.
Ada dua orang dari kelompok Hammer Tech yang berjaga di barisan paling luar. Sepertinya mereka mengantuk. Ini kesempatan yang baik untuk membuka jalur dan melakukan penetrasi lebih dalam. Tapi sebelumnya mereka berdua harus dilumpuhkan dahulu.
Aku memberi sinyal tangan berupa kepalan tangan dengan jari jempol yang diapit telunjuk, tengah, dan manis. Itu artinya huruf M, agar dia segera mengeluarkan madu dari tasnya. Madu yang dimaksud bukanlah madu dari lebah. Bukan madu yang mengandung fruktosa, yang katanya ampuh mengatasi segala penyakit. Madu hanyalah istilah yang kami gunakan untuk menyarukan nama obat pembius aromatik.
Aku kembali memberi sinyal tangan untuk menanyakan kesiapan. Rekanku memberi jawaban bahwa dia siap. Dua sapu tangan yang basah dengan madu sudah dalam genggaman dua rekan. Sementara itu, aku berjaga untuk mengawasi sekitar.
Serangan mendadak dilancarkan. Dua orang lawan kami ambruk seketika setelah menghirup madu dengan terpaksa.
“Pintu belakang aman.” Aku bicara kepada earphone.
Aku memeriksa senjata rakitan yang tergeletak ditinggal pingsan sang pemilik. Di dalamnya ada selusin peluru polos tanpa label, apalagi cetakan tulisan Hammer Tech. Masih sulit mencari barang bukti keberadaan Hammer Tech di Kepulauan Seribu. Kami harus menusuk lebih jauh lagi.
Seorang rekan menepuk bahuku. Dia menunjuk seorang musuh yang sedang pipis di bawah pohon. Kami bertiga pun berjalan merunduk agar tak terlihat. Madu disiapkan lagi, lalu lawan pun ambruk.
Sampai sejauh ini situasi masih aman terkendali.
DEP! Sebuah lesatan peluru terdengar meski menggunakan peredam. Itu bukan berasal dari lokasi kami bertiga dan bukan kami pula korbannya. Aku pun berasumsi bahwa suara itu berasal dari kelompok sebelah.
“Jomblo masuk.” Kataku ke earphone.
Kosong. Hanya suara frekeuensi radio yang krasak-krusuk.
“Jomblo masuk.” Aku mengulang.
Masih tak terjawab. Kami bertiga saling menoleh, saling bertanya apa yang terjadi barusan.
“Jomblo masuk.”
“Bakso di sini. Ganti.” Akhirnya ada jawaban.
“Tadi suara apa? Ganti.” Tanyaku.
“Tindakan tanggap.” Balasnya.
Ini semakin bahaya. Tindakan tanggap sudah dilakukan. Lesatan senapan tadi mungkin masih cukup terdengar sampai sini akibat terlalu heningnya situasi malam hari. Ada kemungkinan lawan kami juga mendengar suara yang sama. Oleh karena itu kami harus semakin sigap dan fokus untuk menyelesaikan misi tanpa keributan.
Tanpa pikir lebih panjang lagi, kami bertiga masuk wilayah mereka semakin dalam. Beberapa orang lainnya sudah terlihat sedang bersenda gurau di sekeliling perapian. Senjata mereka tergeletak gak begitu jauh. Tapi tetap saja akan berakibat fatal kalau keputusan diambil secara gegabah.
Rekanku menepuk bahu. Dia menunjuk ke arah yang jauh melewati lingkaran perapian. Disitulah tim lainnya terlihat samar-samar. Mereka bersembunyi di balik pepohonan, sama seperti kami.
“Bakso masuk.” Suara dari radio.
“Jomblo di sini. Ganti.” Jawabku.
Kami di sini bisa menatap samar-samar Bakso dan timnya di seberang sana. Itu pertanda bagus dan bukanlah sebuah tipuan.
“Total ada tiga gubuk. Kalian masuk ke gubuk di sebelah kanan kalian. Ganti.” si Bakso memberi instruksi.
“Apa selanjutnya? Ganti.” Tanyaku.
“Tetap lumpuhkan tanpa suara.” Perintahnya.
Aku dan tiga rekan lainnya berjalan mengendap dari pohon satu ke pohon lainnya. Lalu kami sampai di sisi gelap tembok gubuk, tak terlihat dari arah perapian.
Seseorang keluar dari gubuk bertelanjang dada. Waktunya pas sekali. Rekanku mampu melumpuhkan dia diam-diam dengan madu. Kesempatan itu kami gunakan untuk masuk ke gubuk, dijaga seorang rekan yang tetap tinggal di luar
“Apa ini?” Gumamku.
Ada dua ruangan di dalam gubuk, terbagi menjadi ruang depan dan ruang belakang. Tapi yang kukagetkan adalah ruangan ini kosong. Gak ada apa-apa kecuali lantai, tembok, jendela, dan satu senjata rakitan yang sama saja.
Aku melangkah masuk ke ruang belakang. Rupanya ada perempuan tertidur lelap di sana. Tanpa busana.
“Cakep.” Kata rekanku yang ikut masuk.
“Fokus. Itu cewek bayaran.” Kataku setelah memeriksa tas si perempuan.
Ada alat kosmetik di dalam tas perempuan itu. Ada juga alat-alat kontrasepsi dan sebuah gadget tanpa terkunci layar. Dari situ aku bisa mengetahui komunikasi dan transaksi-transaksi yang dia lakukan. Transaksi imbal jasa selangkangan tentunya. Gak ada transaksi atau obrolan lain yang mencurigakan selain itu.
“Maho.” Ledeknya.
Aku mendengus untuk tertawa, lalu kuajak rekanku yang mulai terangsang itu untuk segera keluar. Gubuk yang satu ini tanpa hasil. Sementara itu, kami melihat perapian sudah ditinggal pergi orang-orang yang bersenda gurau tadi.
Setelah kami cek, ternyata wilayah depan telah disisir oleh kelompok si Bakso.
Selang beberapa lama kemudian, tim Bakso sudah selesai menggeledah semua gubuk yang terletak di sana secara keseluruhan. Coba tebak, di gubuk itu hanya ada perempuan-perempuan bayaran yang sedang disewa untuk menemani malam para kelompok bersenjata ini. Bukti keberadaan Hammer Tech berupa senjata alien, amunisi, atau logo sekali pun gak terdeteksi.
Bakso memerintahkan kami mengumpulkan semua orang yang kami tangkap ke sebelah perapian. Pertanyaan pun satu per satu diajukan dengan intimidasi beberapa petugas lainnya. Peran yang bagus, bermain good cop bad cop. Para perempuan penyedia jasa selangkangan itu juga turut kami interogasi secara terpisah.
Tiga puluh menit berjalan.
Mereka selalu memberi keterangan berbelit. Gak ada satupun juga kalimat dari jawaban pasukan bersenjata itu yang bisa mengarah pada keberadaan Hammer Tech. Kejanggalan telah terjadi sepertinya.
“Kamu yakin mereka Hammer Tech?” si Bakso berbisik padaku.
“Harusnya begitu.”
Aku jauh dari kata puas. Penyelidikan bersama Dani selama tiga bulan gak mungkin salah begitu saja. Pasti ada yang gak beres dalam hal ini. Itu bisa dibuktikan karena sudah ada tanda-tanda perdagangan senjata dari Hammer Tech di Pulau Bawal, tempat Hari diserang dan menyerang balik sejak tadi siang.
“Gapapa, mereka tetap teroris. Ini tetap tangkapan bagus kalo kamu mau naik pangkat.” Bakso sang pimpinan memuji.
“Saya belum puas.” Responku.
Si Bakso kemudian bilang bahwa kami tetap berhasil menangkap kelompok kriminal bersenjata, meski bukan Hammer Tech. Lebih beruntung lagi bahwa gak ada korban jiwa dari pihak kami selama penyergapan berjalan tadi.
Aku melangkah menjauh dari kerumunan. Udara dingin dan kesunyian biasanya mampu membuatku berpikir jernih. Harus ada jalan keluar cepat dari kejanggalan ini, karena nyatanya kemarin malam masih ada tanda-tanda Hammer Tech di Pulau Harapan dan sekitarnya. Mereka memang seringkali berputar-putar di sekeliling zona inti Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk menjauhi petugas, tapi gak sampai menghilang seperti sekarang.
“Halo halo.” Suara Pur terdengar di radio.
“Kenapa Pur?” Aku menjawab.
“No offense ya. Kan gue einherjar, gampang banget nih ngelawan manusia...”
Pur sering sekali mengoceh gak jelas. Mungkin dia punya gejala charming syndrome, suka melucu, dan sebagainya. Sayangnya dia mengoceh di waktu yang kurang tepat sampai aku terganggu dengan obrolannya yang terbiasa tanpa makna. Harus kumatikan sejenak radio supaya bisa berpikir dalam tenang.
“Langsung intinya Pur.” Aku memotong.
“Ini terlalu gampang, apalagi buat polisi. Gak ada tanda Hammer Tech di sini.” Jawab Pur.
Jempolku berhenti sesaat sebelum mematikan radio. Aku tersentak dengan pernyaaan Pur. Kasus serupa ternyata dialaminya juga di Belitung sana.
“Pur, tolong jelasin lebih detail.” Aku masuk dalam obrolan.
“Ini Akmal?” Tanya Pur.
“Iya. Tolong jelasin detailnya.” Pintaku.
Pur mulai menjelaskan kronologi penyerangan yang dilakukan olehnya dan tim kepolisian. Mereka menyisir Pulau Ayer di sebelah timur Belitung. Situasi saat itu sunyi senyap saat mereka masuk ke tegalan.
Mereka juga menemukan gubuk yang dicurigai menjadi tempat tinggal teroris. Tapi jumlah orang-orang di sana tidak sama banyaknya saat Dani melaporkan kepadaku. Terdapat banyak sekali pengurangan personil, dan tentunya barang bukti Hammer Tech. Logo di dekat gubuk yang telah berhasil difoto melalui kamera lebah pun juga sudah hilang.
“Kamu nangkap berapa orang Pur?” Tanyaku.
“Gak banyak, 12 orang.” Jawab Pur.
“Apa kata mereka?”
“Mereka gak mau bicara.” Jawab Pur lagi.
Gak lama setelah itu, Laras ikut melapor dari Kepulauan Karimunjawa. Kasusnya juga serupa denganku dan Pur. Bukti-bukti mengenai keberadaan Hammer Tech lenyap tak berbekas. Orang-orang yang tertangkap di sana juga gak mau bicara banyak.
“Ini janggal.” Aku memberi laporan universal.
“Banget.” Sahut Pur.
Ada sambungan dari Nicole.
“Saya juga yakin ini janggal. Sekarang saya di sini sedang diskusi dengan pimpinan kamu untuk cari jalan keluarnya.” Nicole memberi pengarahan dari pusat.
Tersisa kelompok Dani dan Hari yang belum memberi kabar. Kalau mereka juga mendapatkan fakta serupa, bisa dipastikan kami gagal mendapatkan Hammer Tech. Pencarian betul-betul harus kembali dilakukan dari ulang. Mungkin butuh berbulan-bulan lagi untuk mengintai mereka.
Kenapa harus begini. Aku dan Dani sudah merencanakan ini matang-matang. Celah macam apa yang kami tinggalkan sampai-sampai bisa kecolongan.
“Hari masuk. Pulau Bawal aman.” Hari masuk ke radio.
“Aman kaya apa?” Tanyaku.
“Aman. Kosong. Gak ada tanda Hammer Tech kecuali dari begal yang tadi siang.” Jelasnya.
Kondisi semakin janggal. Aku gak bisa menyembunyikan kekhawatiran akan kehilangan jejak Hammer Tech. Padahal tanda-tanda Hammer Tech sudah ditemukan oleh Hari tadi siang di pantai barat Kalimantan itu. Tapi nyatanya di Pulau Bawal tidak ada apa-apa.
“Kosong. Gak ada kelompok bersenjata kaya di tempat kalian.” Hari mengulang.
“Coba kamu interogasi orang yang ditangkap itu.” Aku menyuruh Hari.
Paling juga nanti orang polisi yang menginterogasi begal itu. Aku hanya mengingatkan agar Hari jangan lupa mengawasi. Siapa sangka nanti kami bisa menemukan petunjuk yang bisa mencerahkan. Karena semuanya menjadi gelap sekarang, mulai dari perihal informasi, barang bukti, hingga saksi.
“Kalian coba dengar.” Nicole masuk lagi.
“Kenapa?” Aku menyahut.
“Dani? Erna? Mana mereka?” Nicole bertanya.
“Masih penyergapan mungkin.” Jawab Pur.
Nicole menghela nafas sebentar. Sepertinya ada infomasi penting dan buruk yang hendak disampaikan Nicole.
“Apa kalian udah ngecek kamera lebah atau satelit sejak 24 jam terakhir?” Niole bertanya lagi.
“Belum. Cuma Dani dan anda yang berhak kan.” Jawabku.
Nicole kemudian menyampaikan hal yang menjadi penerang. Menurutnya, satelit mendapatkan gambar ada tiga kapal cepat yang sudah mendekati Pulau Bawean. Itu hasil foto sekitar beberapa jam lalu. Jika ditelusuri arahnya, mereka berasal dari wiayah barat. Mungkin berasal dari Kepulauan Seribu atau Belitung.
Tim polisi kami di pusat turut membantu Nicole menyusun hipotesis dengan foto-foto satelit itu. Perlahan mereka menyusun skenario yang telah terjadi beberapa jam belakangan.
Dua belas jam lalu, satu kapal cepat berangkat dari Belitung dan Karimunjawa. Sebelas jam lalu, satu kapal cepat berangkat dari Pulau Bawal dan Kepulauan Seribu. Empat jam kemudian, kapal dari Karimunjawa sudah merapat di Bawean. Foto terakhir mendapatkan bahwa tiga kapal lainnya akan sampai di Bawean beberapa menit lagi.
Belum ada bukti bahwa kapal itu kapal wisata, kapal angkut umum, atau kapal milik Hammer Tech. Gak ada bukti Hammer Tech berada di kapal itu. Tapi lokasi keberangkatan dan tujuannya sangat memberi dugaan bahwa itu Hammer Tech.
“Dani. Masuk.” Panggil Laras di radio.
“Dani?” Pur memanggil juga.
“Halo? Dani!? Erna!!? JAWAB!” Hari meninggi.
Orang-orang dari A.T.C.U. ini mulai panik dan ribut sendiri di radio.
“Tohar! Masuk, Tohar! Waru! Siapa aja yang dengar dari Bawean, Masuk!??” Pimpinan di pusat juga ikut ribut.
Semua ribut di radio. Sayangnya belum ada jawaban apa-apa dari Dani, Erna, Parwo, atau siapapun yang dipanggil barusan.
BERSAMBUNG