Episode 35
Jetlag
POV Hari
Ah, gila. Kami terkecoh dengan pergerakan Hammer Tech. Mereka melakukan manuver di waktu-waktu terakhir sebelum kami berhasil menyergap mereka. Gue memaki situasi yang berjalan saat ini. Bagaimana mungkin organisasi teknologi keparat itu bisa lepas. Padahal mereka sudah berada di ujung batang hidung.
Harusnya tinggal menunggu waktu untuk gue supaya bisa menghajar mereka. Memukul bos mereka yang melakukan jual beli senjata alien.
Dan, orang-orang Hammer Tech sekarang sudah sampai di tempat operasi Dani dan Erna. Siapa yang tau jumlah mereka sekarang. Mungkin sepuluh, mungkin seratus, mungkin seribu. Berapa jumlah senjata rakitan mereka. Berapa amunisi alien yang mereka punya. Ancaman besar benar-benar menunggu tim yang ada di sana.
“Ini bukan soal tim aja. Penduduk juga, Har.” Kata Akmal di radio.
Ya, itu juga. Penduduk. Semua yang gue pikirkan hanyalah menghajar Hammer Tech. Sedikit teringat dengan orang-orang terdekat, tapi sepenuhnya lupa dengan masyarakat luas.
Masyarakat itu penting. Mereka lah yang membangun peradaban sejak zaman dahulu. Masyarakat itu penting. Karena kalau gak ada mereka, negara kekurangan syarat de facto untuk berdaulat. Masyarakat itu penting. Karena kalau terjadi bencana, berita bisa viral sehingga hidup kami gak akan sama lagi.
Masyarakat itu penting. Tapi lebih penting Dani dan Erna. Dan pembalasan atas Kenia. Masyarakat biar jadi tugas polisi.
“Kita harus ke Bawean!” Gue memaksa.
“Hari, tenang.” Bujuk Akmal.
“Tenang apa?! Dani sama Erna gak ada kabar!” Gue membela diri.
“Mereka bareng tim tanggap.” Kata Akmal.
Apa iya mereka masih bersama-sama tim tanggap. Kemungkinan yang ada sekarang sama tak terbatasnya dengan teori peluangnya logika matematika. Bawean itu luas, kata Dani. Tapi terasa kecil dalam pikiran gue. Itu cuma pulau kan. Pulau tetaplah pulau, ada batasan wilayah untuk bisa bersembunyi.
Percuma Akmal membujuk gue untuk tetap tenang dan rasional. Kemenangan adalah hal yang paling rasional buat gue. Dan supaya menang itu kami semua harus secepatnya bisa ke Bawean serta menolong Dani dan Erna. Tim tanggap memang ada, tapi gue gak yakin mereka cepat tanggap menghadapi senjata alien mengingat kegagalan di Mangga Dua lalu.
“Nicole, kita butuh quinjet sekarang.” Laras bicara.
“Saya sedang usahakan.” Katanya.
Di sini, di Pulau Bawal, di pinggir pantai, aku terduduk lemas menatap laut yang gelap. Ada garis horizon tipis yang membuat gue bisa membedakan langit dan air laut itu. Seorang berpangkat AKP menemani, tapi dia seperti sungkan untuk mengajak gue bicara. Dia seolah melampiaskan pembicaraan itu melalui walky talky kepada anggota-anggotanya.
Tadi, beberapa anggota polisi berpencar menyisir pulau yang gak terlalu luas ini. Sekarang, deru suara motor trail semakin keras pertanda para anggota polisi telah kembali. Keberadaan Hammer Tech memang dilaporkan hilang dari Pulau Bawal.
“Mas Hari.” Panggil AKP itu.
“Iya?” Sahut gue.
“Kami menemukan sisa-sisa gubuk yang dibongkar. Tapi gak ada tanda-tanda Hammer Tech.” Katanya.
Gue mengangguk. Hammer Tech memang dipastikan udah pergi dari sini, jadi gak perlu kaget lagi.
Belum ada komunikasi lanjutan dari pusat. Nicole kayanya sedang sibuk dengan tim polisi di pusat. Belum lagi harus berkomunikasi dengan A.T.C.U di seberang benua. Gue benar-benar merasakan gimana gak punya kuasa untuk berbuat apa-apa. Gue gamang. Marah, kecewa, putus asa, semua jadi satu.
“Nicole, gimana quinjet?” Laras bertanya lagi.
“Sabar.” Balas Nicole.
Laras sedang memerjuangkan quinjet untuk kami. Dia begitu ngototnya supaya Nicole terus berkomunikasi dengan pimpinan A.T.C.U agar memerjuangkan quinjet.
Seandainya Sigit ada di sini, dia pasti udah mengantarkan kami secepat kilat. Apalagi cuma ke Bawean atau Surabaya, secara itu memang daerah dekat rumahnya. Oh, gue merindukan cincin dan portal yang bisa dia buat.
Portal! Itu dia! Sigit memang gak ada di sini, tapi Laras punya batu rune yang bisa dijadikan portal. Dia bisa membuatkan portal dan menjemput kami di masing-masing tempat. Atau dia dahulu ke Bawean, lalu membukakan portal untuk kami dari sana. Banyak opsi, tapi yang jelas gue bisa ke Bawean dalam waktu singkat.
"Lar..." Satu suku kata terucap.
Gue baru aja mau membuka mulut sesaat sebelum teringat sesuatu. Laras dan Pur merahasiakan batu rune itu dari A.T.C.U., khususnya Nicole. Meminta Laras untuk menggunakan rune itu sama saja membunuh mereka.
Gue benar-benar gamang. Kepala gue penat dengan banyak hal. Ditambah lagi angin laut yang kencang, membuat gue lambat laun masuk angin. Sedikit-sedikit gue mencoba memikirkan keputusan yang baik. Baik untuk gue, para einherjar itu, dan terlebih Dani dan Erna.
Memang sepertinya menunggu quinjet paling terbaik.
“Quinjet tidak ada.” Kata Nicole.
“Apa?” Laras langsung menyahut.
“Pilot terakhir tewas di atmosfer dekat Madagaskar.” Balas Nicole.
ANJIR! Baru aja gue berpikir quinjet adalah opsi terbaik. Tapi rupaya Nicole malah memberi kabar buruk. Itu memang bukan salah Nicole. Tapi gue tetap aja kesal dengan manajemen A.T.C.U. yang buruk.
“Kami bisa kirim helikopter.” Kata pimpinan polisi di pusat.
“Iya, tolong.” Pinta Nicole.
Nada bicara Nicole berubah. Dia terdengar lemah dan putus asa. Sementara kami di sini cuma menunggu. Oleh karena itu gue harus tetap ada di pantai, supaya bisa terlihat dari langit dan dijemput sewaktu-waktu.
Pimpinan di pusat ikut memerintahkan anggota tim dari masing-masing wilayah untuk juga berangkat ke Bawean. Merekalah yang paling siap, dan jumlahnya mencapai seratus orang jika digabung dalam satu tempat. Jumlah yang cukup untuk memulai perang dengan Hammer Tech.
“Helikopter ya?” AKP bertanya ke gue.
“Iya pak.” Jawab gue singkat.
Highlightnya adalah perang. Kata itu cukup familiar dengan gue beberapa bulan lalu. Sewaktu perang di Vanaheim, Dani dan Erna lah yang menyelamatkan gue. Mereka memenangkan perang. Kalau ini tepat disebut perang, gue harus bisa sekaligus membalas budi Dani dan Erna.
Kalau begitu biarlah terjadi perang.
“Dengan segala hormat. Saya tidak menginginkan perang pak.” Akmal angkat bicara.
“Perang adalah opsi terakhir. Tugas kalian di sana mengamankan masyarakat.” Kata pimpinan.
Tetap ada kemungkinan perang. Tunggu aja sampai Jenderal Polisi datang.
“Helikopter akan sampai kurang lebih satu jam lagi. Kalian siapkan helipad.” Komandan berujar lagi.
What the hell! Satu jam itu terlalu lama! Satu jam hanya untuk menjemput kami di masing-masing wilayah. Kemudian butuh berapa jam lagi untuk sampai ke Bawean. Bisa-bisa kami sampai setelah matahari terbit. Benar-benar terlalu lama.
“Satu jam?” Kata gue.
“Mohon maaf, itu sudah paling cepat.” Balas sang komandan.
Ohh gila gila gila... Portal punya Laras harus dibicarakan sekarang. Itu opsi paling terakhir terbodoh yang harus dilempar ke semua orang. Dan taruhannya adalah kepercayaan dua einherjar itu kepada gue. Tapi taruhannya juga keselamatan Dani dan Erna kalau kami telat ke Bawean.
Sekarang siapa yang lebih penting? SIAPA??
“Kita punya opsi lain.” Laras bicara.
“Laras. Nggak.” Potong Pur.
“Kita punya opsi lain.”
“Laras!” Bentak Pur.
Rupanya dua einherjar itu juga sejak tadi memikirkan batu rune.
Laras membentak balik Pur dengan penuh kepercayaan diri. Dia berkata bahwa sekarang waktunya bertindak serius. Laras meyakinkan juga tentang loyalitas dan janji mereka menolong midgard melewati konflik ini. Bagi Nicole dan Akmal, ini pasti semacam obrolan rahasia yang gak mereka mengerti.
Butuh beberapa waktu untuk Laras supaya bisa meyakinkan Pur. Gue bisa memahami itu. Batu rune mereka mungkin bisa aja disita, dihancurkan, atau lebih parah lagi. Pur dan Laras bisa dianggap sebagai ancaman selanjutnya bagi bumi.
“Apa kalian menyembunyikan sesuatu?” Tanya Nicole dengan formalnya.
“Iya.” Jawab Laras tegas.
Laras mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang dicecar oleh Nicole melalui radio. Suara yang terdengar kemudian adalah suara gesekan benda berlogam. Itu pasti Laras sedang menggosok batu rune dengan pedang besarnya.
Gak lama kemudian, Laras dan yang tadinya ada di Karimunjawa berkata bahwa dia udah berada di Bawean. Lalu, satu per satu portal dibuka untuk kami. Mulai dari Pur dan timnya di Belitung, Akmal dan timnya di Pulau Seribu, dan terakhir gue dan tim di Pulau Bawal. Kami semua berpindah dari hutan satu ke hutan yang lain.
Gue bisa mengamati wajah-wajah takjub para polisi. Mereka baru aja merasakan lubang cacing. Itu mempercepat waktu tempuh dari dua lokasi yang jaraknya ratusan kilometer. Beberapa orang sangat ekspresif dan yang lainnya berusaha menahan kewarasan mereka. Salah satu yang berusaha biasa aja adalah Akmal.
“Oke, kalian udah lihat yang tadi. Jadi tolong dirahasiakan.” Pur memberi pengumuman.
Pur diacuhkan. Orang-orang ini masih mengalami semacam jetlag lubang cacing.
“I can’t see you guys. Apa yang terjadi?!!” Nicole mulai bersungut-sungut.
“Nicole, kita semua udah di Bawean.” Lapor Laras.
“Kalian serius?” Sang pimpinan pusat ikut bertanya.
Laras akhirnya mengungkap dengan jelas rahasia yang mereka miliki. Dia buka mulut soal batu berkekuatan sihir yang bisa membuka portal. Bisa ditebak apa yang kemudian terjadi, Nicole jadi marah-marah di waktu yang gak tepat.
Menurutnya kedisiplinan lebih penting dibandingkan respon tanggap. Menjaga rahasia bukan hal yang baiklah, ini lah, itu lah, tipikal ngelantur yang sama ketika emak-emak marah gak beraturan kepada orang asing. Jika gak ada pimpinan yang menengahi, kegiatan kami selama satu jam ke depan adalah mendengarkan ocehan Nicole.
Kalau kami mau lebih buruk, bisa aja radio kami matikan sementara. Tapi itu gak kami lakukan mengingat ada tim kepolisian yang ikut.
“Kita ke mana sekarang?” Tanya Akmal.
“Insting.” Sahut Pur.
Pur membuka genggaman tangannya. Ada sebuah kamera lebah rusak yang ditunjukkannya. Itu berarti tadi Dani dan timnya melewati jalur tunggal yang ada di hutan ini.
Nicole sudah cukup tenang meski dengusan nafasnya masih terdengar ditahan-tahan. Dia kembali mengamati titik GPS dan memberi tahu bahwa lokasi kami sekarang berada di tengah hutan Pulau Bawean, sebelah timur dari Danau Kastoba. Rumah terdekat jaraknya kurang lebih 2 kilometer.
Gue pernah dengar soal Danau Kastoba dari Dani. Itu dia bicarakan beberapa jam sebelum kami berangkat ke bandara tadi pagi. Danau Kastoba itu salah satu lokasi wisata yang mau dia kunjungi di Bawean. Katanya, Danau tu gak begitu luas, tapi sejarah pembentukannya yang menarik. Bla bla bla...
Gue gak begitu ingat lagi apa cerita Dani selanjutnya. Yang gue pikirkan sekarang adalah bagaimana mencari Dani dalam kegelapan malam. Apalagi jalan setapak yang kami lalui ini hanya cukup dilalui satu baris orang. Sebelah kanan kami adalah jurang dengan suara desiran sungai dan di sebelah kiri terlalu banyak rotan untuk dihindari.
"Ayo jalan." Perintah Akmal.
Kami mulai berjalan menyusuri jalur setapak. Gak ada suara motor, suara televisi, atau suara berisik manusia di sekitar sini. Itu menandakan kami jauh dari pemukiman. Kami jauh dari mana-mana, seenggaknya dalam jarak dua atau tiga kilometer, kata Nicole tadi.
Tim dipecah menjadi dua. Satu tim diperintahkan kapten mereka agar membuka jalur baru untuk penjelajahan. Pur dan Laras ikut tim tersebut naik menuju salah satu bukit. Kemampuan mereka dibutuhkan untuk menaiki daerah-daerah terjal. Sementara itu, Akmal dan gue terus menyusuri jalur setapak.
Tiba-tiba terdengar bunyi deru senapan dari tim di atas bukit.
“Pur, masuk. Kenapa?” Akmal bicara ke radionya.
“Musuh!” Balas Pur.
Seketika Laras melompat dari atas bukit ke depan orang terdepan di barisan kami. Itu yang dilakukan Laras sangat bahaya karena sekarang begitu gelap. Hanya senter yang menjadi penerang.
“Ada cahaya dari Danau di sebelah timur.” Kata Laras.
“Itu Danau Kastoba.” Sahut gue.
“Terserah namanya apa. Kita ke sana sekarang.”
Laras kembali membuka portalnya.
Sekarang, gak terlalu jauh di depan kami, terdapat pertunjukan manusia yang berdiri di pinggir Danau. Ada dua kelompok orang berbeda seragam di sana. Kelompok satu berdiri berjejer dengan gagah, ditemani api-api unggun kecil yang menerangi mereka. Cahaya terang dari api itu mengalahkan lampu-lampu senter yang menempel di kepala orang-orang tersebut.
Kelompok yang lainnya berderet berlutut. Tangan mereka ditekuk di belakang kepala. Itu adalah kelompok kepolisian, karena semua orang bisa langsung tau dari seragam yang mereka kenakan.
Seseorang dari kelompok yang berdiri mulai bicara soal suara rentetan senapan yang tadi terdengar. Mereka ingin tau jawaban dari apa yang gak mereka ketahui. Sebagai gantinya, dia mau mengampuni nyawa mereka yang berlutut. Sebentar lagi mereka akan dieksekusi.
“Gak ada negosiasi. Oke? Mereka gak mau negosiasi. Kita serang.” Gue betitah.
Laras langsung setuju. Serangan tiba-tiba langsung dia lancarkan dengan kecepatannya yang luar biasa. Dia menusuk jatuh si orator demi memberi efek kejut. Akmal dan beberapa orang polisi lainnya membidik cepat, lalu melakukan tembakan tepat ke kepala orang-orang yang siap mengeksekusi rekan mereka.
Gue langsung berlari maju ke barisan terdepan ke arah Laras. Gue menjadi tameng untuk melindungi para sandera agar bisa segera mengamankan diri. Baku tembak kini terjadi. Beberapa polisi mulai bersembunyi di balik batu dan pepohonan, sedangkan yang kurang tanggap menjadi korban seketika.
"Hati-hati. Tanah di sini gak rata!" Laras berteriak.
Tunggu. Mereka yang kami tolong itu sudah tanpa helm. Tapi gue gak bisa mencari di mana Dani dan Erna.
“Dani sama Erna gak ada!” Gue teriak.
“Kita cari nanti! Gue lagi sibuk!” Laras balas berteriak.
Lesatan peluru mengeluarkan suara yang kebih bising dari pita suara kami. Radio pun kurang bisa didengar. Situasi menjadi sangat menegangkan dengan suara desingan senapan yang silih berganti.
Gue maju lagi setelah mengamankan para sandera. Nekat. Tangan gue teracung ke depan, lalu gue melangkah satu demi satu tapak. Tanah di sini benar-benar gak rata sehingga gue harus berhati-hati. Sekali gue terpeleset, habislah kami semua.
Gak ada satupun peluru yang mampu menembus saat gue fokus seperti ini. Semua energi kinetiknya terserap dari jarak 3 meter, lalu jatuh begitu saja. Itu gak terkecuali dengan peluru-peluru alien yang disebut sebagai Judas Bullet. Peluru itulah yang dikatakan Pur bisa berputar seperti gasing dan meletup seperti petasan.
Di depan gue, Laras udah berubah penampilan. Dia kembali dalam wujud layaknya orang Asgard. Baju zirah emas, helm bertanduk, dan jubah hijau. Pedangnya pun terayun ke sana ke mari menebas senapan-senapan laras penjang menjadi dua bagian. Gue tau dia gak sampai hati membunuh orang lain, selain orator tadi.
Akmal dan tim polisi lainnya masih beradu tembak dari balik pepohonan. Gue gak tau udah berapa orang yang berhasil dia lumpuhkan. Tapi, dibanding dengan gue, jumlah lawan yang jatuh mungkin masih menang gue.
“Lima menit, gue dapet 10 orang.” Batin gue.
Gue berpikir begitu sebelum kembali menengok kepada Laras. Dia baru saja menggetok leher belakang musuh ke sekian menggunakan sisi tumpul pedangnya. Di sekelilingnya, udah terjatuh lebih banyak musuh dibanding yang gue lawan.
Baku tembak terakhir terjadi selang beberapa detik kemudian. Selanjutnya, musuh yang tersisa gak lebih banyak dari selusin jumlahnya. Mereka menyerahkan diri ketimbang mati konyol di pinggir danau atau jatuh ke jurang.
Gue pun menghampiri satu demi satu musuh yang menyerah.
“MANA PARA PEREMPUAN YANG KALIAN TANGKAP HAH!!?”
Gue memukul semua orang yang gue tanyai, tapi tetap mereka gak mau bicara.
“Hari, cukup. Dani sama Erna ketemu.” Pur bicara di radio.
Pur meminta Laras membuka portal. Kemudian, sampailah kami di suatu rumah permanen yang di dalamnya berhawa dingin. Ini sangat berbeda dengan kondisi di luar rumah. Kabut putih melayang di mana-mana. Ada sejumlah manekin, sebagian hampir tanpa pakaian, terdiam kaku dalam balutan bunga es. Mungkin jumlahnya 40 orang lebih.
Permukaan kulit mereka agak biru. Laras mencoba menyentuh satu jari salah seorang dari mereka, namun tiba-tiba jari itu putus. Itu bukan manekin, melainkan orang sungguhan. Mereka manusia yang mati beku!
Pur memimpin gue dan Laras. Kami masuk ke suatu kamar yang pintunya terbuka. Ada lampu neon 15 watt yang berkedip-kedip sebagai penerangan kamar itu. Kabut putih dan hawa dingin masih menyarukan pandangan kami. Kami menjelajah perlahan melewati beberapa mayat beku lainnya.
Kami memukan mereka di pojokan kamar...
Dani dan Erna...
Mereka....
BERSAMBUNG