Episode 38
Makan Wagyu
POV Hari
Sejauh-jauhnya helikopter bisa terbang sekali jalan, paling lama hanya satu jam. Itulah yang mendaratkan kami di satu rumah sakit besar di Surabaya, bukan Jakarta.
Dani dan Erna dilarikan menggunakan kasur tempat tidur pasien sesampainya di heliped. Mereka berdua nanti disusul polisi lainnya yang terluka. Dani dan Erna menjadi salah satu prioritas karena luka yang mereka alami bukan hanya fisik, tapi juga psikis.
“Halo, Erwan, ini Hari....” Gue bicara di telepon.
Nicole pasti udah tau info ini meski gak gue kabari berkelanjutan. Selebihnya, gue menelepon semua orang yang penting, mulai dari Erwan si kakaknya Erna. Katanya, dia akan terbang secepatnya supaya bisa sampai Surabaya.
Jamet dan Eda tak luput gue hubungi, tapi gue ragu apa mereka sanggup ke Surabaya secepat kilat.
Satu pihak yang gak boleh gue hubungi adalah orang tuanya Dani. Dani sendiri yang melarang gue menghubungi siapa-siapa. Melarang keras. Oleh karena itu dia hanya meminta gue untuk diandalkan kalau ada keperluan apa-apa. Gue langsung menurutinya karena terlanjur gak sampai hati bertanya kenapa.
Di halaman rumah sakit, media udah banyak berkeliaran. Mereka pasti udah dapat kabar kalau korban-korban dari Bawean dilarikan ke Surabaya. Bukan salah siapa-siapa berita ini menjadi viral. Hal terpenting adalah Dani dan Erna gak boleh sampai terekspos. Apalagi gue. Apalagi dua orang einherjar itu.
“Gue gak boleh kalut. Gak boleh.” Gue bicara sendiri.
Nyatanya gue kalut. Dani dan Erna masuk IGD, sementara gue cuma bisa mondar mandir panik di depan ruangan. Gue gak bisa terima apa yang terjadi. Rasanya seperti remuk redam di dada, tapi kehabisan tenaga untuk bisa berbuat sesuatu.
Salahkan semesta. Semesta telah berbuat semena-mena terhadap gue. Belum cukup dengan Puri, dia merenggut nyokap dan Kenia juga. Sekarang Dani dan Erna ikut menderita.
Menjadi agen rahasia ternyata penuh kesengsaraan. Bukan, jangan-jangan menjadi inhuman yang penuh kesengsaraan. Dulu hidup gue biasa-biasa aja, tapi sekarang runyam ke mana-mana. Gue gak bicara soal uang. Gue bicara kebahagiaan dan ketenangan hidup. Orang normal juga bisa cari uang meski gak sebanyak menjadi agen rahasia, tapi mereka tetap bisa bahagia.
“Mas Hari?” Seorang polisi menyapa.
“Ya?” Sahut gue.
Gue mengantongkan hape.
“Di luar banyak media, Mas Hari gak boleh keluar. Kalo butuh apa-apa bisa minta tolong saya atau teman saya yang lain ya.”
Oh, terima kasih masih ada yang berbaik hati sama gue. Meskipun itu sepertinya udah protokolnya mereka.
Beberapa waktu kemudian, gue akhirnya diperbolehkaan masuk ruangan. Secepat itu pula gue meminta pindah ke ruang kelas satu untuk rawat inap. Itu supaya Dani dan Erna bisa dirawat bersama-sama dan gak sendirian menghadapi realitas. Apalagi kalo melihat Erna sekarang yang penuh dengan tatapan kosong. Lebih kosong dibanding dulu.
“Erna. Kita pindah ruangan ya.” Ajak gue.
Erna hanya menoleh sesaat dan sekali menangguk, lalu kembali tenggelam dalam lamunannya.
Kenapa semesta terlalu jahat buat Erna. Dia anak baik. Sekalipun dia gak pernah tinggal dalam kehidupan malam selain karena hobi fotografinya. Sekarang dia harus menghadapi sesuatu yang mungkin, atau pastinya, berat untuk dilalui.
“Dani.” Panggil oke.
“I’m fine.” Katanya.
Dani memajukan satu telapak tangannya. Itu semacam isyarat untuk gak mengkhawatirkan dia lebih jauh. Dani lebih tegar dari yang gue bayangin. Atau mungkin terpaksa tegar untuk Erna.
Sekarang di benak gue penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang gak terbatas. Semuanya serba mungkin. Mungkin positif, mungkin juga negatif. Entah itu hanya pikiran atau sampai pada tindakan-tindakan yang harus gue lakukan demi mereka berdua.
---
POV Eda
Dua hari berlalu sejak Hari memberi kabar kalau Dani dan Erna masuk rumah sakit di Surabaya. Gue membayangkan tugas macam apa lagi yang membawa mereka sampai ke Surabaya. Sekarang terjadi pula kekhawatiran gue soal keselamatan mereka.
Untungnya hari ini gue mendengar kabar yang lebih baik. Hari, Dani, dan Erna udah pulang ke Jakarta. Erna jelas pulang ke rumahnya, sedangkan Dani memilih ditemani Hari. Hari bilang dia sama sekali gak perlu bantuan orang tuanya, dan mereka gak dikabari soal kejadian ini.
Dani, sebesar apa sebenarnya jarak yang ada sama lu dan orang tua lu.
Sebaiknya gue juga mengabari Jamet soal kepulangan ketiga bocah gila itu. Mumpung sekarang jam istirahat kerja.
“Halo, Met? Udah ditelepon Hari lagi?” Tanya gue lewat telepon.
“Udah. Mau jenguk?” Jamet dan logat Jawanya.
Berbeda dengan Jamet, gue sendiri mengambil solusi untuk gak menjenguk ke sana. Sudah cukup untuk berkabar sama Jamet. Gue gak mau nambah masalah lain. Selain karena gue belom boleh ambil cuti, pikiran gue juga masih kalut. Kalo gue ketemu Dani di sana, yang ada malah bikin gak tenang semua orang.
Apalagi di sana udah ada si Hari. Gue sebaiknya gak perlu khawatir apa yang akan terjadi kemudian. Pikiran gue udah penuh dengan macam-macam hal. Bagaimana soal gue dan Rivin, target kinerja mingguan, presentasi, menghadapi Samuel, sampai rencana mengecoh Alis. Cukup itu aja dan gak mau gue tambah lagi.
“Ada kabar soal Rivin?” Tanya gue.
“Biasa aja sih. Dia pindah kosan deket tempat kantornya. Putra punya jarak minimal ke Rivin. Baru itu yang ku tau.” Kata Jamet.
Gue merenung memikirkan Rivin.
“Nghh...” Itu suara Jennifer terdengar dari telepon.
“Heh lagi ngapain lu berdua?” Gue ngeledek.
“Udah dulu ya, ntar malam aku telepon balik.” Jamet memotong.
Telepon ditutup. Makin parah kelakukan main belakang Jamet dan Jennifer dari Janiar. Ridiculous tripel J conflict.
Ngomong-ngomong, nanti malam Alis ngajak gue jalan. Dia kali ini mencoba menghindari yang mewah dan glamor semisal restoran barat atau bar. Sebagai gantinya, dia menawarkan makan di kafe kekinian yang harganya masih relevan sama kantong karyawan baru.
Jadi, gue sekarang lebih baik menikmati sisa pekerjaan hari ini.
Sampai menjelang malam.
Alis datang menjemput ke tempat kerjaan gue tanpa mobilnya. Katanya biar lebih banyak waktu berdua di atas motor nanti. Itu gebrakan baru dari cewek kecil ini, meski di motor nanti sebenernya gue gak yakin bakal ngobrol banyak.
Sejenak gue melihat Alis dari kepala sampai kaki. Tampilannya juga berbeda dibanding yang lalu-lalu. Gak ada kacamata gelap di atas kepala kepalanya, dress terusan, atau tas hermes mahal. Kini kakinya berbalut jeans panjang, dia memakai blus biru terang, meski tanktopnya masih tampak tembus pandang. Poinnya, dia sedang berusaha mendekati selera gue.
“Ke mana sekarang kita?” Gue bertanya.
“Elo yang lebih tau.” Dia membalikkan kata-kata gue.
Tempat makan yang gue tau kebanyakan ada di Depok. Banyak tempat yang sering gue datangi dengan trio nongkrong gokil Hari, Jamet, dan Dani sewaktu masih mahasiswa. Tapi, kalo sekarang ke Depok pasti memakan waktu lama. Alis juga lebih jauh untuk pulang ke rumah. Jadi, gue dan dia sama-sama gak tau lokasi tempat makan yang pas.
“Di Depok gapapa kok.” Katanya.
“Nanti lu baliknya jauh.” Balas gue.
“Apa gunanya ada aplikasi online sekarang Eda..”
Alis memajukan dagunya. Itu hal sangat menggemaskan karena dia mungil.
Fokus. Gue harus membujuk Alis agar masuk ke rencana.
“Oke di Depok nih ya.” Gue mengonfirmasi.
“Ecie.. mau jalan nih ya. Sukses, sukses. Gue gak mau ganggu. Bye!” Samuel datang.
Tiba-tiba muncul Samuel. Dia baru aja keluar gedung, lalu sekedar bicara sebentar untuk kemudian pergi ke parkiran motornya. Gue rasa dia mulai paham dengan tingkah laku gue yang jengah. Itu bagus.
“Sebentar, Alis gak bawa helm kan. Ini gue pinjemin deh. Bye!” Samuel balik lagi.
Samuel tumben jadi orang berguna lagi.
Lupakan.
Sekarang, motor gue melaju di macetnya sore Jakarta Selatan. Sejak dulu gak ada yang berkesan di jalanan ibu kota, seenggaknya buat gue. Apalagi sekarang gue mulai penat berangkat pagi dan pulang hampir gelap.
Keberadaan Alis di belakang gue juga gak merubah apa-apa. Terlebih ini cuma motor matic, bukan motor gede 250 cc atau semacamnya. Bukan juga motor antik Zundapp atau BSA yang bisa memberi kesan romantis kala dua sejoli naik di atasnya. Yang ada malah gue dilirik banyak orang sepanjang jalan karena dianggap gak modal.
Sekalipun Alis memeluk dari belakang, kesannya ya biasa aja.
Lebih baik Rivin yang gue bonceng di belakang situ.
Kami sampai di Margonda selepas matahari terbenam. Sekitar jam setengah tujuh. Satu restoran kekinian di sana menjadi lokasi makan untuk kami berdua. Rasa gerah gak menurunkan semangat Alis untuk tetap bersama gue. Itu terpancar dari senyumnya yang terus menerus terlontar, seolah bibirnya begitu lebar untuk bisa disumpal.
Kami memesan, mengobrol banyak, lalu makanan datang. Gak ada obrolan yang aneh-aneh kali ini, gak kaya di Bottega waktu itu. Sekarang kami hanya saling cerita soal pekerjaan dan kehidupan sehari-hari yang serba normal.
“Gue cuci tangan dulu ya.” Kata gue.
“Oke, nanti gantian.” Balas Alis.
Obrolan kami menjadi sedikit merenggang frekuensinya karena diinterupsi kunyahan nasi dan potongan wagyu. Selebihnya, hanya interupsi dan sedikit tawa santai yang membuat kami terus saling menanggapi satu sama lain.
“Enak juga makanannya.” Kata Alis.
“Lebih enak tempat-tempat rekomendasi lu kali.” Kata gue.
“Ya tapi bukan gaya lo kan.”
Alis benar-benar terasa punya usaha besar untuk mendekati gue. Harusnya hal-hal seperti ini wajar dilakukan cowok saat mengejar gebetan. Kali ini berbalik, gue yang dikejar-kejar cewek. Terkahir gue ngaca, masih ada jerawat batu yang nongol di pipi kiri. Jadi harusnya gue gak ganteng-ganteng amat sih buat tipe cowok ideal sekelas Alis.
Itu memberi gue sedikit pertanyaan tentang apa yang Alis sukai dari gue.
Lupakan dulu. Setelah makan, saatnya pebicaraan yang lebih serius. Masuk ke rencana.
“Lis, gue mau nanya serius nih.” Gue membuka topik.
“Kenapa?” Tanya Alis.
“Lu, kenapa bisa suka sama gue?”
Ini pertanyaan wajar dan kebetulan pas sama isi hati gue barusan. Tapi, damn! Gue bener-bener kaya ada di posisi cewek yang digebet dan Alis yang jadi cowoknya. Konyol banget rasanya. Aneh.
Kemudian, seperti cowok kebanyakan, Alis mikir dulu sebelum bisa menjawab pertanyaan gue. Dia melirik ke kanan, kiri, dan ke bawah. Hitam matanya membesar dan mulutnya terbata. Itu benar-benar sama kaya cowok manapun, termasuk gue dahulu.
“Kalo suka harus ada alasannyakah?” Alis justru bertanya balik.
Itu satu respon yang menurut gue salah dalam memulai hubungan. Pasti ada sesuatu alasan seseroang bisa suka dengan partnernya. Rasa suka itu bisa berasal dari hobi, kesamaan visi hidup, fetish, atau sekedar karena ganteng atau cantik. Alasan itu penting untuk menghubungkan dua pikiran dan bertumbuh.
Gue yakin Alis juga punya alasan itu, hanya saja mungkin terlalu konyol untuk dinyatakan. Dalam banyak hubungan, sekedar alasan fisik dianggap banyak orang adalah hal bodoh. Kemudian, pernyataan itu juga diamini oleh pasangannya, lalu terjadilah ketidakcocokan sejak saat itu.
“Pasti ada alasannya lah. Gue ganteng ya?” Gue ngasal.
“Idih kepedean.” Alis meledek.
Yap, mungkin gue ganteng buat dia. Tapi masa bodo. Begitu tau Alis benar-benar suka sama gue, rencana harus berjalan.
“Ini hubungan kita mau di bawa ke mana sih? Secara elu agresif banget.” Gue terus bertanya.
Alis gak menjawab. Dia hanya tertunduk, mungkin malu. Inilah saatnya gue mengutarakan apa yang direncanakan beberapa waktu sebelumnya. Jamet dan Jennifer pasti menagcungkan jempol kalau mereka bisa melihat tindak-tanduk gue sekarang.
Gue menyampaikan bahwa kami berdua bisa menjadi dekat lebih dari sekarang. Tapi hubungan gue dengan Rivin belum selesai. Seandainya Alis mau membantu mempertemukan gue dengan Rivin, maka masalah bisa diselesaikan dan hubungan ini bisa berlanjut.
Gue ngibul dong tentunya.
“Oke, kita lakuin. Kapan?” Alis percaya diri.
Wow, gue pikir ini bakal sulit. Nyatanya, mudah sekali meyakinkan Alis. Pasti dia sangat sangat ingin bersama gue. Tapi santai, gue tetep gak mau sama Alis. Kalaupun kami berdua menjadi kekasih, Alis pasti bakal mencampakkan gue beberapa minggu kemudian. Dia punya banyak cowok kan kata si Tania waktu itu.
Gue berkata kepada Alis kalo kita bisa mulai minggu ini. Tapi Alis lebih yakin lagi dengan menyatakan kesiapannya besok. Alis yang masih pengangguran masih punya banyak waktu luang untuk dimanfaatkan. Ini makin bagus.
“Tapi, gue main ke tempat lu malem ini. Itu syaratnya.” Mata Alis membulat.
“Oke.” Gue menjawab.
Alis sangat-sangat manis kalau dia lagi senang, dan hampir tiap saat dia merasa senang. Dia mungil dan... Ini gak baik. Gue gak seharusnya menatap dia begitu dalam. Gak boleh ada cinta lain lagi dengan cara yang aneh-aneh.
"Oke, ayo berangkat sekarang." Ajaknya.
Kami menyelesaikan makan malam, kembali ke parkiran motor, lalu melaju sedikit lagi hingga sampai apartemen gue. Apartemen yang rasa-rasanya makin mahal sejak udah gak dibayarin bokap dan gak berbagi pengeluaran lagi bareng Rivin. Untungnya kerjaan gue sekarang ngasih take home pay yang lumayan. Sebagai gantinya gue harus kerja keras.
Gue membuka pintu kamar.
“Gue belom pernah masuk sini.” Kata Alis, sambil melihat-lihat isi kamar.
“Sorry berantakan.” Gue menyahut.
Gue beberes sedikit karena banyak barang-barang masih bergeletakan di lantai. Mayoritas benda di lantai adalah sampah bungkus makanan. Gak ada Rivin semakin berasa buat gue karena gak ada yang beresin kamar. Jadi sekarang gue harus membungkuk untuk mengambil sampah-sampah di lantai.
“Hey ganteng.” Alis memanggil.
“Yap?” sahut gue.
Gue masih sibuk ngambilin sampah.
“Tengok sini ganteng.” Panggil Alis lagi.
Gue menoleh. Dan dengan begonya gue melongo. Alis di hadapan gue udah melepas blus dan celana jeansnya. Kini dia makin mungil dalam balutan tanktop hitam dan legging super pendek sepanjang seperempat pahanya aja.
Gue ******. ****** banget. Kenapa bisa-bisanya mau menuruti Alis yang pengen ke sini. Kenapa baru kepikiran sekarang kalau bakal kejadian kaya gini.
“Nggg...” Gue masih cengo.
“Gimana?” Alis mulai menggoda.
Gue terbangun dari lamunan karena suara Alis. Ini bener-bener gak bagus. Gue gak mau nambah masalah lagi karena hal macem begini. Gue ingat masalah pertama dengan Dani dimulai saat kejadian pesta seks bareng Rivin dan Sesil. Kalau gue berbuat aneh-aneh sama Alis, masalah baru pasti bakal muncul.
Jennifer juga gak mengantisipasi ada rencana macem begini. Gue harus telepon dia sekarang.
Tapi, nggak. Nggak akan bisa bener kalo konsul hal begini ke Jennifer. Apalagi ngeliat kelakuannya ke Jamet. Jennifer pasti ngasih solusi untuk nikmatin aja malem ini karena gak ada hati yang bermain. Konyol.
Sekarang gue harus ambil solusi cepat. Begini, gue harus menyuruh dia pulang sekarang. Kalo perlu gue anter. Masalah yang mengekor akibat malam ini bisa gue tanggung besok-besok.
“Alis, alis, ini gak bener ya. Elu pulang sekarang.” Gue membujuk.
“Uh, masa sih gak mau ini?”
Alis memegang dua dadanya yang hampir rata itu. Dasar gila.
“Nggak sekarang ya.” Gue berusaha membela diri.
Gue berusaha dengan bujuk rayu sekuat hati agar Alis mau memakai pakaiannya kembali. Kemudian, gue bisa mengantarnya pulang kalau mau. Yang jelas dia gak boleh lama-lama di kamar gue.
“Eda, temenin gue malem ini. Harus nurut lho.” Alis menyanggah.
Kata-kata Alis tadi kedengeran seperti perintah. Kepala gue mendadak jadi muter-muter. Gue menghentakan kepala beberapa kali hingga akhirnya menyadari bahwa ini gak beres. Bener-bener gak beres secara harfiah. Gue biasanya kena vertigo atau sakit kepala kalo abis kerja berat atau telat makan.
Tapi tadi gue baru makan malem.
Efek macem apa kalo begini. Makanankah? Oh, Alis ngasih apaan di makanan gue tadi. Kok bisa-bisanya efeknya baru terasa sekarang. Alis, lemari gue, jendela, semuanya keliatan jadi ada dua. Rasanya kaya lagi mabok waktu itu.
Dan, Alis mendekat.
BERSAMBUNG