Robbie Reyes
Guru Semprot
- Daftar
- 16 Feb 2016
- Post
- 629
- Like diterima
- 611
Episode 47
Ribut-Ribut
POV Purnawarman
Gue pernah melihat makhluk Kronan, Chitauri, planet penuh bebek yang bisa bicara, sampai orang-orang Xandar yang warna kulit mereka itu warna-warni. Gue pernah melihat kemampuan aneh-aneh yang dimiliki makhluk dari sembilan dunia, meski pada nyatanya mereka mahkluk kosmik biasa. Raksasa Frost Giant spesiesnya Loki pun lebih pernah gue lihat, kan beberapa waktu lalu kami menangkap Sherly.
Di Midgard, gue sering melihat sulap, hipnotis, sampai gendam. Juga semua kegiatan yang baik melalui metode hipnoterapi pernah gue lihat cara kerjanya. Juga hal-hal ghaib yang dikerjakan paranormal.
“HAAH!” Si botak mencoba memukul gue lagi.
Tapi baru kali ini gue melihat yang seperti ini. Manusia, tanpa aba-aba atau apapun, menyuruh orang lain dan mereka mau menurut begitu aja. Semua orang menurut apa yang dikatakan si cewek itu, kecuali gue.
Ini lumayan mengejutkan pada awalnya, tapi akhirnya biasa aja.
Gue bukan manusia sendiri di sini, sepertinya. Jadi, gue bisa berasumsi bahwa ilmu sakti si cewek cuma berpengaruh pada spesies yang sama. Artinya, gue lah yang hanya bisa menghentikan dia.
“MATI LO!” Kali ini vas bunga coba dilempar ke kepala gue.
Serangan dari tiga arah terus gue terima dari ketiga musuh. Mereka lah lawan gue yang diperintah cewek itu.
Mereka beringas. gak ada keraguan dari pancaran mata mereka untuk membunuh gue. Tekad mereka jelas sekali udah bulat untuk menyelesaikan kericuhan ini. Jadi, gue gak perlu banyak mikir lagi.
Si botak menyerang gue lagi dari depan sambil berlari. Gue memilih menunduk, lalu mengangkat dia dan membantingnya ke belakang. Lemparan gue tepat mengenai satu lagi rekan mereka sehingga tertiban. Gak ada ruang yang lebar di basement ini, maka melempar mereka ke rekannya supaya menghalangi jalan itu ide bagus.
Seorang lain, yang paling besar dari mereka, yang bermata sipit itu, mengambil kesempatan untuk menggebuk gue menggunakan balok kayu. Kepala belakang gue terhantam, tapi balok kayu itu putus menjadi dua.
Sebenarnya itu lumayan sakit. Boleh juga kekuatan ayunan lengan si mata sipit.
Gue menyingkir satu hingga dua langkah. Memakai baju zirah dalam keadaan yang kalah jumlah begini jelas efektif. Hanya aja, gue gak munculkan helm tadi karena meremehkan.
Si muka arab bangkit. Lalu dia meraih lengan gue untuk ditarik. Sayangnya, di gagal karena tenaga gue lebih kuat. Gue balik menarik dia untuk menghantam hidungnya berkali-kali.
Seru menonjok hidung yang mancung, tepat di bagian tulangnya. Darah bisa cepat keluar dan korban pasti langsung terasa pusing. Apalagi, semakin lucu ngeliat hidungnya yang mendadak belok itu.
“Ngaah..” Si arab sulit bersuara.
Maka, gue pukul dia tepat di ulu hati hingga pingsan. Lalu gue lempar ke si mata sipit sampai dia terjatuh juga.
“Girls! Kita ritual sekarang! Cepet!” Itu suara si cewek hipnotis.
“Tapi cowok-co...” Balas rekannya.
“Mereka bisa selamat kalau ritual selesai.” Balas cewek hipnotis lagi.
Gue menoleh. Si cewek hipnotis dan teman-temannya terburu-buru memakai kimono berwarna merah. Gue akui itu pakaian yang seksi dibalik badan telanjang mereka. Tapi, gue gak bisa lama-lama sibuk melihat adegan itu.
Kini gue satu lawan satu melawan si botak. Dia gak belajar dari temannya yang terus menerus jatuh. Itu tentunya akibat perintah bunuh-membunuh si cewek hipnotis. Si botak terus menantang gue bersama kepalan tinjunya.
“Kalo lo laki, lepas cosplay lo, hah!” Tantang si botak.
“Ide bagus.”
Gue menghentikan serangan agar dia berhenti juga. Adil buat dia untuk berhenti saling pukul ketika lawan gak siap. Tapi, sayangnya, setiap pertarungan itu gak ada kata adil dan gak adil. Apalagi gue dari awal sendirian.
Gue gak jadi menghilangkan baju zirah gue. Gue lebih memilih melempar benang gue ke leher si botak, selayaknya tali laso. Dia pun tertarik ke arah gue sambil tercekik. Kemudian, dengan sekali hantam di bagian belakang leher, dia gak sadarkan diri seketika.
Si sipit telat menghadapi gue. Tinggal dia sendiri karena dua temannya udah tumbang. Tapi, berita bagusnya mereka gak mati. Gue bukan pembunuh.
Kali ini gue mendengar komat-kamit para cewek. Laki-laki yang mau ditolong temannya Hari itu udah berbaring di dalam peti mati. Satu belati dipegang si cewek hipnotis dan sepertinya siap untuk ditancapkan.
Sedang apa mereka itu.
“Tania sama Dwi bantu Samuel. Dari sini gue bisa sendiri.” Si cewek hipnotis bertitah lagi.
Berita bagusnya, gue akhirnya tau si mata sipit itu namanya Samuel. Berita buruknya, gue kembali menghadapi tiga orang. Sial lah.
Lalu, tiba-tiba beberapa orang mencoba turun ke basement sini. Sayangnya, mereka terhalang dua teman Hari yang cowok-cewek itu karena mereka berdiam tepat di anak tangga. Selain itu, makin banyak suara terdengar dari atas sana. Sepertinya banyak warga yang mulai masuk ke dalam rumah.
“Ngerepotin, anjing.” Kata si cewek hipnotis.
Dia lalu berjalan ke arah tangga. Terdengarlah teriakan parau yang berisikan perintah supaya mereka yang di atas gak boleh turun ke bawah. Sekali pun ada yang mecoba turun, harus sebisa mungkin ditahan oleh orang yang lainnya dengan cara apapun.
Orang gila.
---
POV Hari
Orang macam apa gue ini sampai mau nurut sama orang asing. Tapi gue sangat ingin! Apalagi barusan ada teriakan perintah lain. Pasti dari cewek itu, karena semua kegiatan orang-orang mendadak terhenti di depan tangga.
“Akmal udah aku telepon. Dia polisi ya?” Tanya Kak Rivin.
Dani cuma mengangguk. Dani baru aja menembak ke arah yang kosong sampai amunisinya habis. Itu supaya semua orang bisa lewat dengan aman ke arah depan Dani.
“Ini kalian gimana? Mau digotong aja apa?” Tanya bapak-bapak.
“Ambil pisau saya, Pak.” Kata gue.
Kemudian, beberapa orang menolong melepas pisau gue dari genggaman tangan. Itu sekaligus memberi rasa aman Jenggo dari maut. Tapi, darah dari kakinya masih terus mengalir. Jenggo pun gak bisa dievakuasi karena gue masih ada di atas badannya.
“Nghhh... nghhh...” Suara nafas Jenggo.
Gue melihat Jenggo dengan penuh dendam, amarah, tapi sekaligus mengiba. Anaknya sendiri mengabaikan dia. Masalah keluarga panjang sepertinya.
“Itu.. Virus.. hhh...” Suara Jenggo.
Gue tergoda untuk bertanya.
“Virus apa?” Gue akhirnya bertanya.
“Kami impor obat ilegal... stimulan.. eksperimen manusia super.. Lalu sampailah satu sampel.. nghh...”
Gue menyimak Jenggo di setiap kata-katanyanya.
“Sampel virus... dari luar sana.. Mereka bilang dapat dari... nghhh.... ini sakit...” Jenggo meringis atas kakinya yang sakit.
Jelas itu sakit. Bagian yang gue tusuk tadi pastilah tendonnya. Mungkin sampai ke bagian sendi dan juga tergesek di tulang. Gue pernah dengar dari satu kuliah, kalau kejadian retak atau patah tulang rasanya bisa menyebabkan sesak nafas. Mungkin itu yang dialami Jenggo.
“Anak saya... nghh... selalu keras kepala. Susah diatur dari kecil, apalagi sejak ibunya meninggal...”
Oh, gue gak butuh curhatan bapak-bapak. Udah cukup sama cerita anak-orang tuanya. Gue terlalu banyak mendengar itu, dari kawan, orang asing, buku, film, bahkan seminar motivasi. Cerita berulang bukan lagi membuat gue mengiba atau menangis. Itu justru membuat gue kehilangan simpati.
Bahkan untuk diri gue sendiri yang ditinggal orang tua dengan cara tragis.
Gue butuh informasi siapa dan apa yang dialami anak Jenggo ini. Jelas sekali ini potensi tindak kejahatan yang berbahaya kalau semakin diteruskan. Apalagi sekarang ada keterlibatannya sama temen-temen gue.
“Fokus sama virusnya.” Gue memotong Jenggo.
“Virus itu.. Hah... dari mayat Kilgrave...”
Kilgrave. Gue kayanya pernah tau nama itu. Entah di mana, mungkin berita di tivi, youtube, atau instagram. Seorang bernama siapa tadi itu, dibunuh sama pahlawan jalanan di New York. Rumor di mana-mana.
Perdagangan obat-obatan ilegal semakin bahaya sekarang ini. Gue memahami itu dari Jenggo. Bahkan dia juga jual-beli obat dengan perusahaan luar. Masalahnya, ini berbahaya karena adiktif, tapi dengan cara berbeda dibanding narkoba.
Obat-obatan manusia super ini gak disetujui undang-undang atau pun ikatan dokter dari negara manapun. Tapi pasiennya semakin banyak karena keinginan mereka sendiri atau janji-janji manis. Mereka melihat Iron Man yang bisa terbang serta para pembasmi kejahatan lain yang namanya menjadi besar. Mereka ingin seperti itu.
Atau karena butuh uang. Atau sebagai pelarian, kaya cerita adiknya Akmal.
“Sekarang anak lo mau apa?” Tanya gue lagi.
“Namanya Alicia.” Kata Jenggo.
“Alicia.” Gue mengulangi.
Jenggo mengaku bahwa dia gak tau menahu. Bagian yang dia tau adalah indikasi dari virus miliknya itu. Katanya, virus itu bisa memberikan kemampuan menyebar semacam feromon inangnya ke udara, atau apalah. Dampaknya bisa dilihat, kami semua punya hasrat untuk menuruti keinginan Alicia.
Selain dari itu, ada resiko. Inang yang gak cocok akan rusak dalam jangka waktu panjang. Maka, kalau sebenarnya Alicia gak cocok dengan virus yang menggerogoti tubuhnya itu, dia bisa mati pada waktunya nanti.
Jenggo bukan ilmuwan. Cuma itu yang dia tau soal obat yang dia dagangkan. Selebihnya, dia melempar ke bodyguard cewek yang selalu bareng sama dia. Tapi bodyguard itu gak ada di sini sekarang.
---
POV Dani
“Aku harus gimana lagi sekarang?” Tanya Kak Rivin.
“Kak Rivin sekarang keluar, cari tempat aman. Jaga mobilnya Jennifer.” Suruh gue.
Kami, maksudnya gue, Hari, dan Si Jenggo ini masih diam di tempat. Pada akhirnya, warga gak sanggup lagi menolong kami untuk keluar karena selalu berontak. Di samping itu, gue gak fokus sama apa yang diceritakan Jenggo kepada Hari. Gue lebih fokus sama beberapa mas-mas yang nyoba gotong gue, tapi lebih kaya ngegerepe.
“Mas, kalo ngegerepe lagi nanti saya bunuh juga ya!” Gue mengancam.
“Bisa pergi aja gak dari sini?!” Kak Rivin menambahkan.
Kondisi rumah ini jadi semakin berisik ketika makin banyak warga yang masuk. Sebenarnya orang-orang gak sebanyak itu, karena ini perumahannya orang kaya. Tapi tetap aja kondisi ini berubah drastis dibanding saat sepi waktu kami masih mengintai sore tadi.
Lucunya, mereka gak bisa turun ke bawah di mana keributan lainnya terjadi. Itu berkat teriakan berupa perintah tadi yang dilontarkan si cewek. Jadinya, kami hanya bisa menunggu Akmal dan satuannya datang menolong.
“Jadi, sejak kapan?” Kak Rivin bertanya.
“Kapan apanya?” Gue bertanya balik.
“Semuanya, kenal sama cosplayer, bisa bela diri, punya pistol...”
“No comment.” Gue cepat-cepat memotong.
Kak Rivin beralih bertolak pinggang. Nafasnya memendek, dan matanya menyorot tajam kepada gue. Itu jelas gestur untuk orang yang gak puas dengan jawaban barusan.
“Banyak orang di sini.” Gue klarifikasi.
“So, apa yang bisa dikasih tau sekarang?” Tanya Kak Rivin.
“Sekarang kita mau nolong Eda.”
Kak Rivin menganga. Nah, dia baru ingat apa yang harusnya kami lakukan disini. Lalu, dia bertanya apa yang harusnya ditanyakan dari awal. Di manakah keberadaan Eda?
Eda harusnya ada di basement, karena semua orang turun ke bawah dari tadi. Itu termasuk Jamet dan Jennifer. Coba dengar juga samar-samar keributan di bawah itu. Pasti keadaan Eda lebih bahaya daripada kami di sini sekarang.
Terdengarlah raungan sirine polisi di luar, di jalanan.
“Polisi udah datang, sekarang jagain mobil Jennifer aja kak.” Suruh gue.
Kak Rivin akhirnya pergi ke luar.
Beberapa saat kemudian, segerombolan polisi datang. Mereka melihat kami bertiga yang diam di tempat dan terheran. Apa yang dilakukan warga tadi, dilakukan lagi oleh para polisi untuk memindahkan kami. Apa-apaan mereka mau memindahkan gue dari sini!
“Nggak! Nggak boleh! Gue harus di sini!” Itu Hari yang teriak-teriak.
“NGGAK BOLEH!” Suara gue lebih keras lagi.
Cuma Jenggo yang mau berontak, tapi udah lemas.
Perbedaannya sekarang adalah, para polisi lebih kuat untuk mengangkat kami. Satu per satu, termasuk Jenggo, berhasil diangkut keluar. Khusus Jenggo, dia dibawa menggunakan ambulans. Senjata gue disita untuk barang bukti di TKP.
“APAAN NIH?!! NGGAK BISA?!” Gue makin histeris begitu mereka berhasil membawa gue keluar rumah.
Susah payah mereka membawa gue. Harusnya gue masih di dalam rumah sana, diam di tempat. Sekarang gue malah diborgol pula di dalam mobil polisi.
“WOOO!!” Tiba-tiba para warga berteriak dari dalam rumah.
Keributan lainnya terjadi lagi. Pasti akibat perintah si cewek untuk menghindari siapapun turun ke basement. Para polisi didorong keluar rumah oleh semua warga yang berkerumun. Alhasil, ini waktu yang sangat pas. Poilsi sibuk dengan urusan ribut-ribut warga. Jadi, gue buru-buru pecahkan kaca mobil polisi ini, lalu mengambil kesempatan berlari ke dalam rumah.
Tiba-tiba badan gue ditahan seseorang dari belakang. Gue coba gigit tangannya.
Sebuah tusukan menekan sisi kiri leher gue...
Gue melemas... Ngantuk...
“Sorry, Dan.” Itu suara Akmal.
---
POV Akmal
Aku terpaksa membius Dani. Dia berontak terlalu liar, sama halnya dengan Hari di mobil yang lain.
“Ada yang luka, laki-laki paruh baya, empat puluh tahunan...” Suara di walky talky.
Aku mendengarkan informasi itu sampai selesai. Dari situ aku mengetahui bahwa Jenggo lah yang terluka. Jenggo, dia yang bertanggung jawab dengan adikku yang hilang.
Oh, aku benar-benar ingin memukul Jenggo, lalu menginterogasi dia supaya adikku diketahui keberadaannya. Sayangnya, aku sedang berseragam. Itu artinya tugas menjadi nomor satu. Apalagi sekarang ada ribut-ribut akibat bntrokan kami dengan warga.
Mereka dan anggota kami saling dorong tepat di depan pagar. Para warga sebenarnya punya jumlah gak seberapa, tapi sangat anarkis untuk memukul mundur kami. Sebaliknya, kami ditugaskan gak boleh agresif terhadap warga sipil. Ini merepotkan.
“Repot ya?” Laras datang dari pintu ajaibnya.
Dia merujuk pada keributan di depan mata.
BERSAMBUNG
Ribut-Ribut
POV Purnawarman
Gue pernah melihat makhluk Kronan, Chitauri, planet penuh bebek yang bisa bicara, sampai orang-orang Xandar yang warna kulit mereka itu warna-warni. Gue pernah melihat kemampuan aneh-aneh yang dimiliki makhluk dari sembilan dunia, meski pada nyatanya mereka mahkluk kosmik biasa. Raksasa Frost Giant spesiesnya Loki pun lebih pernah gue lihat, kan beberapa waktu lalu kami menangkap Sherly.
Di Midgard, gue sering melihat sulap, hipnotis, sampai gendam. Juga semua kegiatan yang baik melalui metode hipnoterapi pernah gue lihat cara kerjanya. Juga hal-hal ghaib yang dikerjakan paranormal.
“HAAH!” Si botak mencoba memukul gue lagi.
Tapi baru kali ini gue melihat yang seperti ini. Manusia, tanpa aba-aba atau apapun, menyuruh orang lain dan mereka mau menurut begitu aja. Semua orang menurut apa yang dikatakan si cewek itu, kecuali gue.
Ini lumayan mengejutkan pada awalnya, tapi akhirnya biasa aja.
Gue bukan manusia sendiri di sini, sepertinya. Jadi, gue bisa berasumsi bahwa ilmu sakti si cewek cuma berpengaruh pada spesies yang sama. Artinya, gue lah yang hanya bisa menghentikan dia.
“MATI LO!” Kali ini vas bunga coba dilempar ke kepala gue.
Serangan dari tiga arah terus gue terima dari ketiga musuh. Mereka lah lawan gue yang diperintah cewek itu.
Mereka beringas. gak ada keraguan dari pancaran mata mereka untuk membunuh gue. Tekad mereka jelas sekali udah bulat untuk menyelesaikan kericuhan ini. Jadi, gue gak perlu banyak mikir lagi.
Si botak menyerang gue lagi dari depan sambil berlari. Gue memilih menunduk, lalu mengangkat dia dan membantingnya ke belakang. Lemparan gue tepat mengenai satu lagi rekan mereka sehingga tertiban. Gak ada ruang yang lebar di basement ini, maka melempar mereka ke rekannya supaya menghalangi jalan itu ide bagus.
Seorang lain, yang paling besar dari mereka, yang bermata sipit itu, mengambil kesempatan untuk menggebuk gue menggunakan balok kayu. Kepala belakang gue terhantam, tapi balok kayu itu putus menjadi dua.
Sebenarnya itu lumayan sakit. Boleh juga kekuatan ayunan lengan si mata sipit.
Gue menyingkir satu hingga dua langkah. Memakai baju zirah dalam keadaan yang kalah jumlah begini jelas efektif. Hanya aja, gue gak munculkan helm tadi karena meremehkan.
Si muka arab bangkit. Lalu dia meraih lengan gue untuk ditarik. Sayangnya, di gagal karena tenaga gue lebih kuat. Gue balik menarik dia untuk menghantam hidungnya berkali-kali.
Seru menonjok hidung yang mancung, tepat di bagian tulangnya. Darah bisa cepat keluar dan korban pasti langsung terasa pusing. Apalagi, semakin lucu ngeliat hidungnya yang mendadak belok itu.
“Ngaah..” Si arab sulit bersuara.
Maka, gue pukul dia tepat di ulu hati hingga pingsan. Lalu gue lempar ke si mata sipit sampai dia terjatuh juga.
“Girls! Kita ritual sekarang! Cepet!” Itu suara si cewek hipnotis.
“Tapi cowok-co...” Balas rekannya.
“Mereka bisa selamat kalau ritual selesai.” Balas cewek hipnotis lagi.
Gue menoleh. Si cewek hipnotis dan teman-temannya terburu-buru memakai kimono berwarna merah. Gue akui itu pakaian yang seksi dibalik badan telanjang mereka. Tapi, gue gak bisa lama-lama sibuk melihat adegan itu.
Kini gue satu lawan satu melawan si botak. Dia gak belajar dari temannya yang terus menerus jatuh. Itu tentunya akibat perintah bunuh-membunuh si cewek hipnotis. Si botak terus menantang gue bersama kepalan tinjunya.
“Kalo lo laki, lepas cosplay lo, hah!” Tantang si botak.
“Ide bagus.”
Gue menghentikan serangan agar dia berhenti juga. Adil buat dia untuk berhenti saling pukul ketika lawan gak siap. Tapi, sayangnya, setiap pertarungan itu gak ada kata adil dan gak adil. Apalagi gue dari awal sendirian.
Gue gak jadi menghilangkan baju zirah gue. Gue lebih memilih melempar benang gue ke leher si botak, selayaknya tali laso. Dia pun tertarik ke arah gue sambil tercekik. Kemudian, dengan sekali hantam di bagian belakang leher, dia gak sadarkan diri seketika.
Si sipit telat menghadapi gue. Tinggal dia sendiri karena dua temannya udah tumbang. Tapi, berita bagusnya mereka gak mati. Gue bukan pembunuh.
Kali ini gue mendengar komat-kamit para cewek. Laki-laki yang mau ditolong temannya Hari itu udah berbaring di dalam peti mati. Satu belati dipegang si cewek hipnotis dan sepertinya siap untuk ditancapkan.
Sedang apa mereka itu.
“Tania sama Dwi bantu Samuel. Dari sini gue bisa sendiri.” Si cewek hipnotis bertitah lagi.
Berita bagusnya, gue akhirnya tau si mata sipit itu namanya Samuel. Berita buruknya, gue kembali menghadapi tiga orang. Sial lah.
Lalu, tiba-tiba beberapa orang mencoba turun ke basement sini. Sayangnya, mereka terhalang dua teman Hari yang cowok-cewek itu karena mereka berdiam tepat di anak tangga. Selain itu, makin banyak suara terdengar dari atas sana. Sepertinya banyak warga yang mulai masuk ke dalam rumah.
“Ngerepotin, anjing.” Kata si cewek hipnotis.
Dia lalu berjalan ke arah tangga. Terdengarlah teriakan parau yang berisikan perintah supaya mereka yang di atas gak boleh turun ke bawah. Sekali pun ada yang mecoba turun, harus sebisa mungkin ditahan oleh orang yang lainnya dengan cara apapun.
Orang gila.
---
POV Hari
Orang macam apa gue ini sampai mau nurut sama orang asing. Tapi gue sangat ingin! Apalagi barusan ada teriakan perintah lain. Pasti dari cewek itu, karena semua kegiatan orang-orang mendadak terhenti di depan tangga.
“Akmal udah aku telepon. Dia polisi ya?” Tanya Kak Rivin.
Dani cuma mengangguk. Dani baru aja menembak ke arah yang kosong sampai amunisinya habis. Itu supaya semua orang bisa lewat dengan aman ke arah depan Dani.
“Ini kalian gimana? Mau digotong aja apa?” Tanya bapak-bapak.
“Ambil pisau saya, Pak.” Kata gue.
Kemudian, beberapa orang menolong melepas pisau gue dari genggaman tangan. Itu sekaligus memberi rasa aman Jenggo dari maut. Tapi, darah dari kakinya masih terus mengalir. Jenggo pun gak bisa dievakuasi karena gue masih ada di atas badannya.
“Nghhh... nghhh...” Suara nafas Jenggo.
Gue melihat Jenggo dengan penuh dendam, amarah, tapi sekaligus mengiba. Anaknya sendiri mengabaikan dia. Masalah keluarga panjang sepertinya.
“Itu.. Virus.. hhh...” Suara Jenggo.
Gue tergoda untuk bertanya.
“Virus apa?” Gue akhirnya bertanya.
“Kami impor obat ilegal... stimulan.. eksperimen manusia super.. Lalu sampailah satu sampel.. nghh...”
Gue menyimak Jenggo di setiap kata-katanyanya.
“Sampel virus... dari luar sana.. Mereka bilang dapat dari... nghhh.... ini sakit...” Jenggo meringis atas kakinya yang sakit.
Jelas itu sakit. Bagian yang gue tusuk tadi pastilah tendonnya. Mungkin sampai ke bagian sendi dan juga tergesek di tulang. Gue pernah dengar dari satu kuliah, kalau kejadian retak atau patah tulang rasanya bisa menyebabkan sesak nafas. Mungkin itu yang dialami Jenggo.
“Anak saya... nghh... selalu keras kepala. Susah diatur dari kecil, apalagi sejak ibunya meninggal...”
Oh, gue gak butuh curhatan bapak-bapak. Udah cukup sama cerita anak-orang tuanya. Gue terlalu banyak mendengar itu, dari kawan, orang asing, buku, film, bahkan seminar motivasi. Cerita berulang bukan lagi membuat gue mengiba atau menangis. Itu justru membuat gue kehilangan simpati.
Bahkan untuk diri gue sendiri yang ditinggal orang tua dengan cara tragis.
Gue butuh informasi siapa dan apa yang dialami anak Jenggo ini. Jelas sekali ini potensi tindak kejahatan yang berbahaya kalau semakin diteruskan. Apalagi sekarang ada keterlibatannya sama temen-temen gue.
“Fokus sama virusnya.” Gue memotong Jenggo.
“Virus itu.. Hah... dari mayat Kilgrave...”
Kilgrave. Gue kayanya pernah tau nama itu. Entah di mana, mungkin berita di tivi, youtube, atau instagram. Seorang bernama siapa tadi itu, dibunuh sama pahlawan jalanan di New York. Rumor di mana-mana.
Perdagangan obat-obatan ilegal semakin bahaya sekarang ini. Gue memahami itu dari Jenggo. Bahkan dia juga jual-beli obat dengan perusahaan luar. Masalahnya, ini berbahaya karena adiktif, tapi dengan cara berbeda dibanding narkoba.
Obat-obatan manusia super ini gak disetujui undang-undang atau pun ikatan dokter dari negara manapun. Tapi pasiennya semakin banyak karena keinginan mereka sendiri atau janji-janji manis. Mereka melihat Iron Man yang bisa terbang serta para pembasmi kejahatan lain yang namanya menjadi besar. Mereka ingin seperti itu.
Atau karena butuh uang. Atau sebagai pelarian, kaya cerita adiknya Akmal.
“Sekarang anak lo mau apa?” Tanya gue lagi.
“Namanya Alicia.” Kata Jenggo.
“Alicia.” Gue mengulangi.
Jenggo mengaku bahwa dia gak tau menahu. Bagian yang dia tau adalah indikasi dari virus miliknya itu. Katanya, virus itu bisa memberikan kemampuan menyebar semacam feromon inangnya ke udara, atau apalah. Dampaknya bisa dilihat, kami semua punya hasrat untuk menuruti keinginan Alicia.
Selain dari itu, ada resiko. Inang yang gak cocok akan rusak dalam jangka waktu panjang. Maka, kalau sebenarnya Alicia gak cocok dengan virus yang menggerogoti tubuhnya itu, dia bisa mati pada waktunya nanti.
Jenggo bukan ilmuwan. Cuma itu yang dia tau soal obat yang dia dagangkan. Selebihnya, dia melempar ke bodyguard cewek yang selalu bareng sama dia. Tapi bodyguard itu gak ada di sini sekarang.
---
POV Dani
“Aku harus gimana lagi sekarang?” Tanya Kak Rivin.
“Kak Rivin sekarang keluar, cari tempat aman. Jaga mobilnya Jennifer.” Suruh gue.
Kami, maksudnya gue, Hari, dan Si Jenggo ini masih diam di tempat. Pada akhirnya, warga gak sanggup lagi menolong kami untuk keluar karena selalu berontak. Di samping itu, gue gak fokus sama apa yang diceritakan Jenggo kepada Hari. Gue lebih fokus sama beberapa mas-mas yang nyoba gotong gue, tapi lebih kaya ngegerepe.
“Mas, kalo ngegerepe lagi nanti saya bunuh juga ya!” Gue mengancam.
“Bisa pergi aja gak dari sini?!” Kak Rivin menambahkan.
Kondisi rumah ini jadi semakin berisik ketika makin banyak warga yang masuk. Sebenarnya orang-orang gak sebanyak itu, karena ini perumahannya orang kaya. Tapi tetap aja kondisi ini berubah drastis dibanding saat sepi waktu kami masih mengintai sore tadi.
Lucunya, mereka gak bisa turun ke bawah di mana keributan lainnya terjadi. Itu berkat teriakan berupa perintah tadi yang dilontarkan si cewek. Jadinya, kami hanya bisa menunggu Akmal dan satuannya datang menolong.
“Jadi, sejak kapan?” Kak Rivin bertanya.
“Kapan apanya?” Gue bertanya balik.
“Semuanya, kenal sama cosplayer, bisa bela diri, punya pistol...”
“No comment.” Gue cepat-cepat memotong.
Kak Rivin beralih bertolak pinggang. Nafasnya memendek, dan matanya menyorot tajam kepada gue. Itu jelas gestur untuk orang yang gak puas dengan jawaban barusan.
“Banyak orang di sini.” Gue klarifikasi.
“So, apa yang bisa dikasih tau sekarang?” Tanya Kak Rivin.
“Sekarang kita mau nolong Eda.”
Kak Rivin menganga. Nah, dia baru ingat apa yang harusnya kami lakukan disini. Lalu, dia bertanya apa yang harusnya ditanyakan dari awal. Di manakah keberadaan Eda?
Eda harusnya ada di basement, karena semua orang turun ke bawah dari tadi. Itu termasuk Jamet dan Jennifer. Coba dengar juga samar-samar keributan di bawah itu. Pasti keadaan Eda lebih bahaya daripada kami di sini sekarang.
Terdengarlah raungan sirine polisi di luar, di jalanan.
“Polisi udah datang, sekarang jagain mobil Jennifer aja kak.” Suruh gue.
Kak Rivin akhirnya pergi ke luar.
Beberapa saat kemudian, segerombolan polisi datang. Mereka melihat kami bertiga yang diam di tempat dan terheran. Apa yang dilakukan warga tadi, dilakukan lagi oleh para polisi untuk memindahkan kami. Apa-apaan mereka mau memindahkan gue dari sini!
“Nggak! Nggak boleh! Gue harus di sini!” Itu Hari yang teriak-teriak.
“NGGAK BOLEH!” Suara gue lebih keras lagi.
Cuma Jenggo yang mau berontak, tapi udah lemas.
Perbedaannya sekarang adalah, para polisi lebih kuat untuk mengangkat kami. Satu per satu, termasuk Jenggo, berhasil diangkut keluar. Khusus Jenggo, dia dibawa menggunakan ambulans. Senjata gue disita untuk barang bukti di TKP.
“APAAN NIH?!! NGGAK BISA?!” Gue makin histeris begitu mereka berhasil membawa gue keluar rumah.
Susah payah mereka membawa gue. Harusnya gue masih di dalam rumah sana, diam di tempat. Sekarang gue malah diborgol pula di dalam mobil polisi.
“WOOO!!” Tiba-tiba para warga berteriak dari dalam rumah.
Keributan lainnya terjadi lagi. Pasti akibat perintah si cewek untuk menghindari siapapun turun ke basement. Para polisi didorong keluar rumah oleh semua warga yang berkerumun. Alhasil, ini waktu yang sangat pas. Poilsi sibuk dengan urusan ribut-ribut warga. Jadi, gue buru-buru pecahkan kaca mobil polisi ini, lalu mengambil kesempatan berlari ke dalam rumah.
Tiba-tiba badan gue ditahan seseorang dari belakang. Gue coba gigit tangannya.
Sebuah tusukan menekan sisi kiri leher gue...
Gue melemas... Ngantuk...
“Sorry, Dan.” Itu suara Akmal.
---
POV Akmal
Aku terpaksa membius Dani. Dia berontak terlalu liar, sama halnya dengan Hari di mobil yang lain.
“Ada yang luka, laki-laki paruh baya, empat puluh tahunan...” Suara di walky talky.
Aku mendengarkan informasi itu sampai selesai. Dari situ aku mengetahui bahwa Jenggo lah yang terluka. Jenggo, dia yang bertanggung jawab dengan adikku yang hilang.
Oh, aku benar-benar ingin memukul Jenggo, lalu menginterogasi dia supaya adikku diketahui keberadaannya. Sayangnya, aku sedang berseragam. Itu artinya tugas menjadi nomor satu. Apalagi sekarang ada ribut-ribut akibat bntrokan kami dengan warga.
Mereka dan anggota kami saling dorong tepat di depan pagar. Para warga sebenarnya punya jumlah gak seberapa, tapi sangat anarkis untuk memukul mundur kami. Sebaliknya, kami ditugaskan gak boleh agresif terhadap warga sipil. Ini merepotkan.
“Repot ya?” Laras datang dari pintu ajaibnya.
Dia merujuk pada keributan di depan mata.
BERSAMBUNG
Terakhir diubah: