Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Episode 18
Kita Bantu


POV Hari

Erna terus melanjutkan ceritanya...

“Setelah balik ke jakarta, gue denger ada satu komunikasi yang bikin gue curiga. Gue ikutin suaranya, sampe ketemu seorang cewek yang ternyata agen S.H.I.E.L.D. Lupa gue namanya. Seumuran gitu.” Jelas Erna.

“Lina bukan sih?” Gue nanya.

Dani cuma mendengarkan tanpa ngomong sama sekali dari tadi. Masih shock kali dia, dua temen kampusnya ternyata inhuman.

“Oh, iya. Lina. Akilina. Dia yang bawa gue ke S.H.I.E.L.D. untuk latihan. Cuma dua minggu latihan udah boleh pulang.”

Ah, kampret lah Lina. Gak cerita apapun kalau ada temen gue yang inhuman juga. Gue ngomel sendir dalam hati. Awas aja Lina kalau balik ke Indonesia lagi.

“Terus sekarang lu jadi agen?” Tanya Dani
“Gue belom mau. Denger suara-suara sama warna-warni aja udah pusing.”
“Jadi sebenernya kemampuan lu kaya gimana sih?” Gantian gue nanya.
“Bisa ngelihat warna di luar spektrum cahaya tampak, yang kadang bentuknya tulisan. Gue juga bisa denger suara dari frekuensi mana pun tanpa jadi budeg.”
“Contohnya?” Gue nanya lagi

Erna menjelaskan banyak warna yang belum dapat dijabarkan, yang dia juga gak bisa jelasin. Warna itu wujud dari gelombang suara yang dia denger. Dia nyontohin bisa denger suara telepon orang yang booking cewek panggilan di kamar atas, atau ngebaca teks pesan terkirim dari orang di kamar bawah. Kalau lagi fokus banget, katanya, komunikasi radio pesawat yang lagi terbang 5 ribu meter di atas kami bisa dia dengar.

“Hebat banget! Lu bisa masuk ke komunikasi mereka juga dong?” Gue kembali bertanya.
“Sayangnya gak bisa. Kemampuan gue mirip semacam alat sadap gitu lah.” Jelasnya.
“Ooooh. Jadi, lu tau informasi gue janjian ketemu sama Dani gara-gara itu.”
“Yap, sejak di bis pulang dari Papandayan.”
“Ooooh.”
“Sekarang gue nanya ya. Sigit siapa?” Erna menyelidik.

Oke lah, mau gak mau gue telepon Sigit sekarang. Gue membuka kunci layar telepon, dan mencari kontak Sigit.

“Halo, selamat sore, bisa berbicara dengan Sigit?”
“Iya, saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?” Suara Sigit di seberang telepon.
“Halo, Git. Ini gue Hari. Ke sini sekarang gih.”
“Eh, iya halo, Mas Hari. Sini mana, Mas?”
“Gue ke Papandayan aja lu bisa tau. Masa di sini gak tau.”
“Becanda, Mas. Oke bentar ya.”

Gak sampe satu menit, kamar gue diketuk.

“Mas Hari, Mas?” Suara Sigit mengiringi ketukan pintu.

Gue buru-buru membuka pintu dan mengajak Sigit masuk ke dalam. Penampilannya gak beda waktu pertaman ketemu di Papandayan. Kaos polo, celana bahan, dan sendal jepit. Kali ini ditambah ada tas kecil yang dia bawa.

“Geblek dah. Langsung ke dalem bisa kan? Kalo diliat orang gimana?” Gue ngomel.
“Gak enak kan kamar orang.”
“Sopan amat dah lu.”

Gue mengenalkan Sigit kepada Erna. Mereka berdua bersalaman. Sumpah, deh Sigit ini anak tersopan yang pernah gue temuin.

“Oke, Git. Jadi gini, kita ketambahan temen lagi. Ini Erna, dia Inhuman juga.” Gue menengahi.
“Ooh, oke.” Jawabnya
“Perlu dijelasin dari awal apa gimana?” Gue nanya.
“Gak usah, Mas. Intinya Mbak Erna ini semacam bisa nyadap kan?”
“Nguping ya lu!” Dani nyeletuk.
“Nggak, kok. Saya baru aja tau tadi.”

Sigit membuka kalimat penjelasannya dengan “Jadi, saya bukan, inhuman, Mas, Mbak. Maaf kalo mengecewakan.”

Dia bercerita dua tahun lalu waktu kuliah semester 2 dia diajak teman dan senior-seniornya mendaki Everest. Tentunya persiapan mereka dimulai berbulan-bulan sebelum berangkat. Sayangnya, saat pendakian, badai salju memisahkan Sigit dengan rombongannya.

Sigit ditolong oleh masyarakat lokal. Tapi karena keterbatasan komunikasi, mereka gak bisa menghubungi kedubes Indonesia secepatnya. Dia dibawa menginap di kota kecil di Nepal, dan bertemu seseorang berjuluk Ancient One.

“Saya tinggal di sana sampai sembuh, Mas, Mbak. Di sana saya diajarin hal di luar nalar manusia. Mungkin bisa dibilang penyihir kali ya.”
“Ajarin gue dong. Gue mau jadi kaya Harry Potter.” Dani memelas bercanda.
“Dan.” Gue menyenggol Dani.
“Sayangnya, kalo bukan Master gak boleh ngajarin, Mbak Dani.”
“Yeh, ini anak pake ditanggepin.” Gue tepok jidat.

Sigit menceritakan November kemarin Ancient One meninggal dunia dan murid-muridnya terpecah belah. Ada yang meneruskan kegiatan perguruan bersama seorang bernama Master Hamir, ada yang ikut membelot bersama seorang bernama Mordo, lalu banyak juga yang memilih pulang kampung seperti Sigit.

“Saya pulang pakai cara normal. Saya hubungi kedubes Indonesia, terus pulang naik pesawat. Keluarga saya nangis-nangis waktu tahu saya masih hidup. Tapi entah gimana, baru tiga hari sampai di rumah, saya diculik watchdog.” Kata Sigit.

“Kok gak ngelawan?” Gue nanya.

“Sihir saya gak kuat banget mas. Masih pemula. Cuma bisa fokus bertahan, nyari orang, baca pikiran kalo megang orangnya langsung, dan bikin portal. Bikin portal pun harus pakai cincin ini.”

Dia menunjukkan sebuah cincin kuningan sebesar model untuk batu akik. Dua lubang jari di cincin itu jelas diperuntukkan untuk masuk dua jari. Kata Sigit, cincinnya harus dipakai di tangan kiri terlebih dulu kalau mau bikin portal.

Kami berempat saling bertukar cerita selama beberapa bulan belakangan. Kejadian kami semua saling terhubung, kecuali Erna yang tidak tahu menahu kejadian bulan Desember kemarin.

Pembicaraan berlanjut menuju rencana Sigit memburu watchdog. Sigit dengan info yang telah didapatnya menceritakan bahwa pimpinan tertinggi watchdog ada di Amerika sana. Di Indonesia, hanya ada cabang organisasi tersebut yang dipimpin seorang bernama Irfan Fajar.

“Kaya pernah denger namanya.”
“Dia ini yang suka turun langsung nyulik inhuman. Selain Mbak Puri kemarin, saya terakhir lihat ada 5 inhuman lagi yang masih dia tahan.”
“Banyak juga.” Erna ikut berkomentar.

Gue masih mikir, kayanya pernah denger nama Irfan, tapi di mana ya? Kok lupa sih.

“Thanks infonya, Git. Oke, Dani, Erna, gue mau jelasin sesuatu lagi ya. Jadi, sejak 2 hari ini, gue udah ambil keputusan untuk jadi agen aktif S.H.I.E.L.D. di Indonesia dan ngebantu Sigit. Sebagai gantinya, gue nanti minta tolong markas besar untuk ngobatin Dani sama Kenia.”

“Gue ikut.” Erna langsung nyahut.

Erna pede sekali.

“Nyantai dulu, Na. Nyantai. Katanya tadi gak mau jadi agen?”
“Iya, Har. Tapi Dani kan sakit. Gue mau bantu lah.”
“Ini antara hidup dan mati, lho, Na.”
“Kemarin banget udah izin orang tua.”
"Gila lu ye.”

Dani jadi diam. Dia kayanya berusaha mencerna kata-kata kami.

“Har. Gue ikut bantu juga ya. Maaf jadi ngerepotin.” Tiba-tiba Dani bersuara.
“Santai aja, Dan. Ini kejadian gak keduga, kan.” Kata gue.
“Iya, Mbak Dani. Cepat atau lambat, mereka juga bakal ngebantai inhuman gimana pun caranya.” Sigit ikut menjelaskan.
“Ya, tapi kan masalahnya gara-gara gue.” Kata Dani.
“Gara-gara watchdog, Dan.” Gue ngebantah.

Kami berdebat alot dengan Dani dan Erna yang dua-duanya ngotot mau ikut ngebantu. Jelas gue bisa melarang Dani dengan mudah. Tapi kalau Erna, entah gue bisa beralasan apa. Poinnya adalah yang jelas gue gak boleh melibatkan banyak orang meski pun dia juga inhuman.

“Gue bisa bantu, Har, beneran. Kan gak harus ikut berantem.” Kata Erna.
“Masuk akal sih, Mas.” Sigit kompor.
“Git! Ah gila lu.” Gue stress
“Gue bisa nyadap mereka dari jauh, Har. Info-info penting bisa kita dapetin.” Kata Erna lagi.
“Tuh, Mas, saya gak bisa nyadap tulisan sama radio lho, Mas.” Kata Sigit.
“Terus aja jadi kompor, Git!”

Dani diam lagi.

“Fix, ya. Gue ikut. Jadi gimana selanjutnya?” Erna menyimpulkan
“Ahhh... yaudah, gue mau hubungin S.H.I.E.L.D. dulu.”
“Gue bisa bantu... di lab... gue bisa mikrobiologi.” Dani berkata ragu dan pelan.

Kami bertiga menoleh ke Dani, seolah tak yakin dia berkata itu.

“Kita gak punya lab, Dan. Udah ya, gue mau nelepon dulu nih. Jangan ribut.” Jawab gue.
“Eh, ntar Sigit gimana? Aman gak sama S.H.I.E.L.D.?” Erna nanya
“Aman, Mbak. Thor aja aman kan.” Sigit bercanda garing.

Dani bengong lagi.

---

POV Erna

Hari sekarang menelepon S.H.I.E.L.D. dari jam tangannya. Beberapa menit lagi kami akan dijemput dengan quinjet dari atas. Aku berusaha mengajak ngobrol Dani yang masih bermuka sedih karena tidak bisa turut membantu.

“Gue ngerti kok, Dan. Tapi, dibawa santai aja ya. Kita sama-sama berjuang pake cara masing-masing.”
“Iya, Na. Tapi cara gue apa? Gue bukan inhuman. Gue juga gak bisa berantem.” Dani mulai nangis.
“Aduuh, Dani. Jangan nangis dong. Pasti sekarang hormon lu lagi aktif banget tau.”

Sejujurnya gue gak jago menenangkan orang. Gue bingung harus berbuat apa. Gue menoleh ke arah Hari untuk meminta bantuan, tapi dia lagi sibuk. Satu-satunya harapan bantuan adalah Sigit yang lagi asik baca buku sendirian.

“Git.” Panggilku.
“Iya, Mbak?”
“Sini. Bantuin.”

Sigit mengangguk.

“Mbak, Dani. Mbak.” Panggil Sigit.
“Apaa?!” Dani nyolot.
“Ini, mbak, aku lagi baca novelnya Rick Riordan, bagus deh.”
“Lu mau ngebaik-baikin gue kan. Gak ngaruh.”
“Ih, mbaknya galak. Aku santet ntar jadi suka sama aku loh.”
“Coba aja.”
“Abrakadabra. Mbak Dani suka sama aku! Suka!”

Sigit memutar-mutar bola matanya dan mengayun-ayunkan tangannya seperti gerakan Naruto mengeluarkan jutsu.

“Garing.” Kata Dani.

Garing sih lawakannya Sigit. Tapi karena lawakannya yang garing itu diulang-ulang, aku dan Dani jadi tertawa lepas. Selanjutnya, banyak lawakannya soal gerakan-gerakan sihir yang garing. Salah satunya waktu dia mencoba meniru sihir-sihir ala Harry Potter di Nepal.

Waktu itu, katanya, Sigit melapalkan mantra ‘expecto patronum’ menggunakan sebatang kayu kering ke arah teman seperguruannya. Teman-temannya malah tertawa renyah dan mengatakan itu candaan lawas di sana. Selalu dilakukan oleh pendatang baru ber-IQ jongkok.

Lain waktu, dia nyoba terbang sambil berjalan. Ide itu dia dapatkan setelah menggabungkan pengamatannya kepada Mordo yang bisa berjalan di udara dan film kung fu China. Tapi bukannya berhasil terbang, dia malah jatuh dari lantai tiga tepat ke temannya yang lagi latihan bikin portal. Sigit langsung pindah ke hutan tropis di Kongo, pas di depan gorila punggung perak.

“Terbang itu keren mbak. Tapi sayanya baru dikasih tau kalo ilmu terbang itu tingkat tinggi. Waktu itu untung portalnya masih kebuka, saya bisa lari balik lagi.”

Kami berdua tertawa lepas.

“Guys, ayo ke atas. Quinjetnya udah sampai.” Hari memberikan pengumuman.

Kami semua meninggalkan kamar dan beranjak ke atap gedung. Satu persatu kami naik ke quinjet, termasuk Dani yang kata Hari akan dites kesehatannya.

---

POV Hari

Usai negosiasi dan pengecekan kesehatan Dani. Gue pulang ke Tanah Abang dini hari. Di markas tadi, entah apa yang dibicarakan agen Coulson dengan Sigit. Aku tidak sempat diceritakan.

Sesampainya di rumah, nyokap udah tidur. Hanya Kenia yang dari ketiduran di kamar gue. Dia ngotot minta jatah lagi malem ini. Pesannya memenuhi pemberitahuan di wa gue.

“Ken, geseran, gue mau tidur.” Gue masuk ke selimut.
“Lama amat sih pulangnya, Bang?” Kenia memeluk manja.
“Tadi abang daftar S.H.I.E.L.D., jadi agen aktif.”
“Yes, aku juga mau!”
“Enak aja. Ini juga demi kamu tuh. Biar nafsu kamu gak kelewatan.”

Kenia mengigit bibir bawahnya.

“Hehehe.. Bang, bantuin lagi ya.. sekarang..”

Kenia mendekati gue, lalu menjilat belakang telinga gue. Aduh, ini anak.

---

Gue terbangun keesokan harinya. Nyokap udah berangkat kerja dan Kenia udah berangkat sekolah. Badan gue pegel-pegel semua setelah kegiatan seharian yang melelahkan. Gue baru bisa tidur jam empat setelah meladeni Kenia.

Gue membuka handphone. Ada aplikasi privat baru yang ditambahkan sejak kemarin untuk komunikasi kami berempat, Gue, Erna, Sigit, dan Dani. Ya, Dani akhirnya diizinkan ikut oleh otoritas S.H.I.E.L.D. sebagai operator alat-alat yang akan dikirim.

Erna: Pagi, all.
Sigit: Pagi mbak Erna, pagi semuanya.
Dani: Pagi all. Sopan amat sih, Git. Panggil nama aja kali.
Sigit: Gak enak, mbak. Saya paling muda soalnya hehehe.
Dani: Atur deh, gue mah bisa apa hahaha. Hari mana nih Hari?
Sigit: Mas Hari masih tidur, mbak.
Erna: Sigit gak boleh sering-sering ngintipin orang.
Dani: Paling kecapekan dia abis ngelayanin Kenia.

Chat tadi dimulai jam delapan. Sedangkan sekarang jam 11 siang. Gue membalas sekenanya untuk laporan gue udah bangun. Belum ada rencana apa-apa lagi sebelum beberapa peralatan tambahan selesai dipersiapkan di penthouse lantai atas apartemen yang gue sewa.

Erna: Guys, ngingetin lagi ya, kemarin udah dikasih tau kan kalo markas besar lagi sibuk sama watchdog di sana dan masalah baru sama robot. Jadi, kita persiapan di sini sebaik-baiknya ya.
Gue: Android, Na. Bukan robot.
Erna: Ya pokoknya itu lah.
Sigit: Oke, mbak. Kita mulai sendiri-sendiri dulu aja kali ya. Saya mau keliling lagi cari info.
Erna: Aku sama Hari kalo gitu cari info di sekitaran Jakarta ya.
Dani: Gue latihan alat di penthouse aja ya kalo gitu.
Gue: Sip. Gue sama Erna kalo gitu. Jangan lupa urusin wisuda juga ya, Na. Hahahaha
Sigit: Meeting point kalo ada apa-apa di mana?
Gue: Di apartemen aja.
Sigit: Oke.

Bergerak lah kami sesuai rencana. Di sisi lain, sebuah penthouse di lantai paling atas apartemen yang baru mulai disewa, mulai dirombak menjadi sebuah markas kecil oleh S.H.I.E.L.D.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
di list update udah ada pemberitahuanya,, kok di mari blm ada update tanya y,,

episode 18 kita bantu.

mana hu.....
 
Tinggalin jejak dulu ah. Kayaknya menarik, semoga aja cerita ink gak ngadat kayak sebagian cerita yg lain.
 
Keren ceritanya juragan :beer:
Ane paling demen banget ama pov sigit :jempol: baru kerasa tema ceritanya
 
Episode 19
Dilema


POV Eda

Hari Sabtu, tanggal 28 Januari, gue lagi di Kebun Raya Bogor. Kak Rivin minta ditemenin jalan lagi hari ini. Kali ini udah kali ketiga Kak Rivin minta jalan setelah chat dua mingguan lalu.

“Eda, ntar ke rumah anggrek ya abis makan.” Kata Kak Rivin.
“Iya, bentar ya istirahat dulu. Jalan terus pegel nih.” Gue berangsur duduk di atas rumput samping tukang es krim.
“Ya ampun, baru sebentar tau.”
“Sebentar apaan, udah satu setengah jam ya jalan.”
“Iya deh, iya. Biasain jalan kaki abis ini makanya.”

Kak Rivin mengeluarkan bekal makanannya yang sudah disiapkan untuk porsi kami berdua. Gak bisa dipungkiri, masakan Kak Rivin emang enak banget sih. Gue selalu gak sabar kalo bekal makan udah keluar dari tas. Apapun bahan makanannya, petai sekalipun, semuanya jadi enak kalau dimasak Kak Rivin.

“Suapin?” Katanya
“Gak usaaah. Bisa sendiri.” Gue membela diri.

Gue menyuap sendok pertama ke mulut gue sendiri.

“Sumpah ya, enak banget! Selalu enak.” Respon gue
“Gak usah gombal.”
“Beneran. Chef Juna juga pasti meleleh nih makan masakan kakak.”
“Eh, eh, perjanjiannya apa hayoo.”
“Iya, sorry.”

Perjanjiannya gak boleh manggil pake 'Kak'. Aneh banget ya manggilnya Rivin doang. Dua minggu lalu, katanya, gue gak akan dimaafin kalo sekali-sekali manggil namanya pakai awalan Kak. Dua minggu udah lewat jauh, tapi gue masih sering keceplosan manggil ‘Kak’. Awkwardnya berasa sampe sekarang.


“Ulangin.” Pintanya
“Emm.. Chef Juna juga pasti meleleh nih makan masakan.. Rivin.” Gue bicara canggung.
“Oke lah. Sering dilatih ya.” Rivin menepuk bagian atas dengkul gue.

Sebuah chat masuk. Grup Dadakan ada di posisi paling atas.

Jamet: Hai hai, piye kabar?
Gue: Halo halo.
Jennifer: Hai hai. Baik baik.
Jamet: Absen dooong.
Anwar: Wah, roman-roman ngajak dadakan nih.
Jamet: Hahaha, ketahuan.
Anwar: Ke mana nih?
Jamet: Absen dulu doong.
Gue: Hadir.

Setelah gue, selanjutnya ada Jennifer, Anwar, dan Tika yang absen. Tapi selanjutnya sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Hari, Erna, dan Dani di grup. Last seen mereka bertiga bahkan tidak muncul karena setting privatenya.

Bicara soal Dani, ada apa sih sama dia? Jarang ngasih kabar lagi. Atau, ada apa sama gue? Gue, kenapa Selama dua minggu malah habis waktu sama Kak Rivin.. eh, Rivin. Gue hitung, jalan-jalan udah tiga kali, bahkan makan malam berdua di kosannya udah lima kali. Kelima-limanya tidak satu pun ada kehadiran Dani, atau bahkan Sesil.

Gue memasukkan handphone ke kantong lagi.

“Vin, Rivin.” Panggil gue
“Kenapa, Da?” dia menoleh sambil mengunyah makanannya
“Itu.. Gak pernah liat Dani ya di kosan?”
“Nyariin ya? Bukannya... ehmm.. nginep sama.. kamu?” Raut mukanya berubah.

Garis mata Rivin menunjukkan samar kalau dia kehilangan keceriaannya dengan tiba-tiba. Topik pembicaraan gue kayanya ada yang salah. Masa sih salah kalo gue ngomongin Dani?

“Ehhh, jangan cemberut gitu dong, Vin.” Sial, kenapa gue jadi merayu gini.
“Iya gapapa. Tadi nanya Dani kan?”
“Iya..”
“Jarang balik ke kosan dia. Biasa. Nginep sama temennya yang lain kali ya.”

Ah, opininya Rivin kenapa gitu sih. Kalo Dani gak nginep sama gue, dia nginep sama siapa??

“Eda, Aaaaaak.” Dani melayangkan satu sendok makanan ke arah mulut gue.

---

POV Hari

Selama dua minggu, kami melakukan pergerakan sendiri-sendiri. Setiap tiga hari sekali kami berkumpul di apartemen untuk memberikan progress. Info-info baru lebih banyak didapatkan Sigit dan Erna. Meski begitu, Erna tetap fokus bersama Bryophytenya. Lama-lama Erna juga jadi gak terlalu pendiam lagi sama gue dan Dani.

Hubungan Dani bersama Eda gue perhatikan mulai agak renggang. Mereka jadi jarang berdua karena Dani lebih sering nginep sendirian di penthouse karena sibuk latihan dengan alat-alat barunya. Sekali gue pernah nanya kabar Eda. Katanya, Eda sibuk. Udah. Eda sendiri udah jarang ke kampus menjelang kelulusan. Pernah dia nanya Eda di grup wa yang isinya berempat, katanya, males ke kampus karena udah gak ngapa-ngapain.

Gue sendiri, selain keliling Jabodetabek sama Erna, juga sering berkomunikasi dengan laboran di markas besar soal info obat untuk Dani dan Kenia.

Sekarang, siang ini, kami berempat tengah berkumpul di penthouse untuk memberikan info masing-masing. Dani bertugas sebagai pencatat dengan laptopnya.

“Saya laporan duluan ya. Berita baiknya, saya kemarin baru dari Padang, mereka belum berhasil ketemu Inhuman lagi. Tapi buruknya, mereka juga udah ke mana-mana di Sumatra, walaupun cuma utusan satu atau dua orang.” Terang Sigit.

“Oke, makasih, Git. Lanjut gue ya...” Gue mau laporan.

Gue lebih menceritakan progress obat yang disempurnakan untuk Dani dan Kenia. Kabar mengejutkan dibertahu minggu lalu saat tes darah Dani selesai dianalisis. Kandungan darahnya mengandung kristal terrigen dalam jumlah minor, sedangkan Kenia nggak ada.

“Aneh gak sih?” Gue melempar pertanyaan.
“Gimana, mas? Saya belum paham.” Sigit nanya balik.
“Dani terpapar gas di waktu yang sama kaya Kenia, kan...”
“Iya. Itu ngerti. Terus?”
“Kalo gitu, harusnya Kenia udah terrigenesis waktu itu juga.”

Erna mulai menggaruk-garuk dagunya. Dia mencoba menganalisis dengan gaya detektif labil.

“Bukannya sampel darah Dani baru diambil dua minggu lalu ya?” Tanya Erna
“Terus?” Dani penasaran
“Kata Hari, sampel darah Kenia diambil pas Desember? Waktu di Menara Saidah itu. Ada bias waktu kan. Sekarang gue tanya lu, Dan. Lu ngapain aja abis kejadian itu?”

Dani kelihatan berpikir keras.

“Waduh, banyak lah, sebulan lebih loh jaraknya.” Kata Dani.
“Iya, apa aja?” Erna semangat.
“Nginep empat hari di tempat Eda, tahun baruan rame-rame, sakit perut abis makan sate kambing, sakit perut mau dapet, abis itu....”

Dani nyebutin kejadian yang dia ingat-ingat. Tapi semua jawaban itu gak bikin gue sama Erna puas. Gak ada momen seaneh terrigenesis gue sama Erna, atau pun kejadian munculnya setan alias Puri yang tiba-tiba.

“Udah. Gitu.” Kata Dani.
“Udah?” Tanya Gue dan Erna barengan.
“Iya, udah.”
“Pasti ada yang kelewat ini sih.” Gue masih penasaran.
“Seafood? Biasanya Terrigenesis dimulai setelah makan seafood kan?” Tanya Sigit.
“Wah, seafood udah hampir tiap hari gue makan. Otak-otak diitung kan?” Kata Dani.

Kami semua saling melihat satu sama lain. Seafood bisa jadi jawaban paling logis. Gue, Erna, Puri, dan Lina berubah setelah makan apapun yang mengandung hewan laut.

“Bisa jadi, sih. Dani kan bukan inhuman, kristal terrigennya jadi numpuk di darah.” Kata gue.
“Logis juga.” Erna menambahkan.
“Oke, gue kabarin laborannya abis ini. Lanjut laporan siapa lagi?”
“Gue deh..” Erna angkat tangan.

---

POV Jamet

Chat Grup Dadakan. Dua jam setelah aku nyuruh absen.

Jamet: Ini Hari, Dani, sama Erna ke mana? Muncul dong
Tika: Erna lagi gak sama kita met
Anwar: Iya, di rumah cuma ada gue, Tika, sama Jeruk nih
Jamet: Waduh, Erna gak ngasih tau lu war?
Anwar: Nggak
Jennifer: Kasih tau aja dulu mau jalan ke mana met. Ntar mereka juga pada baca.

Aku pikir-pikir sejenak. Memang gak ada salahnya pengumuman duluan sih.

Jamet: Oke, jadi abis wisuda kan aku mau pulang ke Malang, jadi aku mau ngajak kalian ikut jalan-jalan di Malang, ke kotanya, kulineran, tempat wisatanya, Bromo, Semeru, pokoknya ke mana kalian mau deh. Siapa aja yang bisa?

Anwar mengetik...

Anwar: Weeeh, gue sama Tika jelas ikut
Jennifer: Ikut deh
Eda: Wah, lu gak balik ke Depok lagi met?
Jamet: Iya da. Mau membangun di negeri sendiri hahaha.
Eda: Ikut deh kalo gitu
Jamet: Sip, tapi ini gak dadakan banget ya. Masih pertengahan bulan depan hehehe.
Anwar: Woles met. Atur aja.

Lama tidak ada balasan lagi. Kami semua menunggu jawaban mereka bertiga yang gak ada kabar. Aku kembali beralih ke chat satunya. Chat dengan Janiar sampai lupa waktu.

Tiba-tiba, ada telepon dari Jennifer.

“Halo, Met?” Kata Jennifer dari seberang telepon
“Halo, Je. Ada apa?” Jawab gue
“Lu beneran mau balik permanen ke Malang?”
“Iya, Je? Ada apaan emang?”
“Nggak. Nggak ada apa-apa sih.”
“Ada ‘sih’nya. Berarti sisanya ada apa-apa.”
“Hahaha. Nggak kok, suer.”

Tumben Jennifer bertingkah aneh. Aku berusaha untuk mengakhiri percakapan karena sedang ngechat sama Janiar. Tapi, setiap pertanyaan Jennifer membuatku segan dan harus menanggapinya.

Obrolannya sebenarnya lebih banyak ngalur ngidul. Tidak dapat kutemukan tujuan Jennifer meneleponku yang tak terasa sudah hampir tiga perempat jam. Bahkan, sebagian besar hanya mengulang cerita penelitian gue dan dia seperti saat di GI beberapa minggu lalu.

Terpaksa aku putuskan obrolan ini dengan frontal.

“Eh, Jen, udah hampir sejam nih ngobrolnya. Gue cicil beres-beres barang dulu ya buat pindahan.” Gue bohong.
“Oh lagi beberes ya. sorry deh.”
“Iya, maaf ya, Jen.”
“Gue bantuin beberesnya ya. Boleh kan?”
“Ha?”
“Becanda. Jauh juga kalo gue ke Depok siang-siang begini hahaha.”
“Hahaha. Oke deh, Jen. Bye ya.”
“Oke. Bye.”

Urusan selesai. Janiar kembali kuchat dengan permohonan maaf karena telat membalas. Kemungkinan besar akan lama dibalas karena di sana Janiar sudah sibuk sendiri akibat lama menungguku.

Lama tanpa balasan dari Janiar, aku kembali iseng chat di grup Dadakan. “Hari, Dani, Erna, pada ke mana lu pada? Butuh jawabannya sekarang nih.”

Tidak lama kemudian, handphoneku bergetar. Kukira ada balasan dari Janiar. Tapi, di layar justru tertera nama Jennifer yang mulai resek lagi.

---

POV Dani

Erna menceritakan laporannya dengan detail.

“Gue sampe kemaren bareng Hari fokus ke daerah Jakarta Barat sama Selatan. Berjam-jam gue coba dengerin ribuan frekuensi, telepon, dan baca chat setiap orang. Ada beberapa yang mencurigakan awalnya, tapi setelah diikutin ternyata transaksi narkoba, prostitusi, pokoknya gitu-gitu lah. Bukan kewenangan kita.”

Laporan Erna masih nihil tentang keberadaan watchdog, tapi temuannya gila juga. Di sisi lain, selain fokus gue sambil notulen gue juga lagi menjajal kamera lebah. Gak tanggung-tanggung, gue meyebar seratus kamera lebah untuk mengikuti Eda selama seminggu belakangan.

Bukan tanpa alasan, gue udah dua minggu ini gak sempet ketemu Eda. Pantauan gue lakukan sejak minggu lalu, setelah mahir menggunakan kamera lebah. Ternyata, yang selalu gue lihat adalah Eda yang semakin sering jalan sama Kak Rivin. Mereka bahkan jalan ke Kebun Raya Bogor hari ini.

Ketakutan gue semakin menjadi nyata. Hari ini, ketakutan gue menjadi kemarahan terhadap Eda.

“Oke, ini udah seminggu ya.” Gumam gue.
“Tiga hari, Dan, bukan seminggu.” Hari menyahut gue
“Eh?”
“Ah eh ah eh.” Balasnya

Suara gue ternyata kedengeran.

“Oh iya, tiga hari. Sorry gak fokus, gue minum dulu ya.”
“Kaya iklan aja lu.” Hari ngeledek

Gue pindahkan windows yang menayangkan kamera lebah menjadi microsoft word. Setelah itu, gue menuju kulkas untuk emngmabil air dingin. Sembari gue ambil minum, mereka pun istirahat sejenak sambil ngemil dan ngobrol.

“Mbak Erna, bandnya lancar?” Tanya Sigit.
“Lancar kok. Jadwal latihan juga gak berantakan.”
“Ooh. Kirain keganggu, mbak.”
“Santai aja.”
“Eh, Jamet ngechat nih di grup Dadakan.” Hari memotong.

Gue membuka handphone gue sendiri. Ternyata hampir tiga jam lalu Jamet memanggil kami bertiga. Dia mengajak kami semua ke Malang sebagai jalan-jalan perpisahan.

“Kapan, nih?” Tanya gue sambil minum.
“Gak tau. Anaknya gak ngasih info juga.” Jawab Hari
“Gimana? Pada bisa ikut?” Gue nanya lagi.
“Keganggu gak kerjaan kita?” Erna nanya balik
“Hmmm..” semua jadi mikir.

Dilema juga, di satu sisi teman kami sudah kemungkinan besar gak akan ketemu lagi. Di sisi lain, ada pekerjaan yang harus terlaksana.

“Ikut aja, mas, mbak.” Sigit nyahut tiba-tiba.
“Jauh jarak ke Malang, Git.” Jawab gue.
“Tenang aja.” Sigit memutar-mutar jarinya.
“Oh iya lupa, kan ada pintu ke mana saja.” Hari berguyon.
“HAHAHA.” Kami bertiga tertawa.

Gue beranjak kembali ke posisi duduk tadi dengan segelas air minum.

“Lu sendiri sibuk gak? Ntar repot.” Erna memastikan
“Saya masih kuliah tingkat awal kok. Bisa izin-izin lah.” Jawab Sigit santun

Sigit pernah cerita, dia ngulang kuliah lagi dari awal gara-gara lama menghilang di Nepal itu. Semua data kependudukannya dicatat ulang karena pernah memiliki status meninggal dunia. Lucu juga sih sedikit.

“Gue balesin nih ya.” Kata Hari.
“Jangan dong. Kita bales masing-masing aja lah biar gak ketahuan lagi bareng.” Jawab Erna.
“Oke.”

Kami absen masing-masing di chat tersebut. Lalu dijawab dengan eot-emot bahagia oleh Jamet. Katanya, tanggal berangkat dikasih tau beberapa hari lagi. Habis itu, langsung beli tiket kereta.

Mata gue kembali lagi ke layar laptop. Erna pun kembali dalam cerita laporan kegiatannya. Gue secara diam-diam juga kembali membuka windows kamera lebah.

“Loooh, ilang??!” Gue sedikit teriak.
“Apaan yang ilang, Dan?” Hari mencoba menoleh ke laptop.
“E-eh, ini kirain catatannya hilang, ternyata gue ngeklik new sheet hahaha.”
“Kirain apaan. Lanjut laporannya, Na.” Hari gak jadi ngeliat laptop

Hilang! Dani sama Eda hilang dari pandangan kamera lebah. Kemana mereka pergi? Gue jelajahi Kebun Raya Bogor dengan menyebar kamera lebah. Ada yang pergi masjid, ke taman meksiko, ke kompleks palem, ke toko buku, hingga rumah anggrek. Ternyata mereka berdua ada di rumah anggrek.

Gue makin marah lihat kelakuan mereka berdua. Gue mau nangis begitu mereka saling rangkul dengan mesranya. Mereka gak canggung berfoto wefie dengan koleksi anggrek yang sedang berbunga di sana.

Marah atau sedih ya perasaan ini? Bodo amat. Yang penting, gue putuskan gak mau bareng lagi sama Eda!

Ah elaaaaah.....

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
ada beberapa yg keujer antara Dani sama Rivin
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd