Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Gue nengok ke Dani. Gue ragu-ragu apakah Dani boleh mendengar obrolan ini apa nggak. Sigit ikutan melihat ke arah Dani.

“Mbak, saya juga minta maaf, ya.” Kepalanya menunduk ke Dani
“Eh, iya.. eh, Har, aduh, gimana ini...”

Bener kan, Dani gak siap sama pembicaraan ini.

“Eh, kita belum kenalan. Saya Sigit.” Dia menjulurkan tangan
“Hari.” Gue menjulurkan tangan ragu-ragu.
“Dani.”

Koreksi dikit om, itu yang di atas belum kenalan tapi udah disebutin namanya.

:beer:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 14
Namanya Lumut


POV Eda

Malam telah larut dan api unggun udah dimatikan. Kami masuk ke tenda masing-masing. Gue dan anak-anak yang lain masuk ke tenda sendiri-sendiri.

“Buset, lu beneran berdua?” Anwar nyeletuk
“Iya, kan barang-barang gue di sini semua.” Dani beralasan
“Hati-hati aja, ntar ada babi ikutan loh hahaha.” Tika nyamber
“Ntar gue ajakin kok babinya hahaha.” Gue ikutan bercanda
“Edaaa! Ish!” Dani sewot

Gue sekarang udah nutup tenda. Kami menggeser tas lebih ke pojok, lalu masuk sleeping bag masing-masing.

“Kapan?” Bisik gue
“Ntar, nunggu mereka udah gak berisik di dalem tenda sana.” Balas Dani
“Kelamaan.”

Gue menyusupkan tangan ke sleeping bagnya. Gue menjamah payudaranya dari luar baju, meremas, serta mencari-cari posisi putingnya. Kedua tangan Dani keluar dari sleeping bagnya dan langsung memeluk kepala gue.

Dani mengecup bibir gue, menempelkan bibirnya dan menggigit bibir bawah gue.

“Atasan dulu aja ya. Uhh...” Dani melenguh.

Kami memulai pergumulan.

---

POV Anwar

“HAHAHAHAHA!” Kami semua tertawa di dalam sleeping bag masing-masing.
“Aku gak kebayang sih babi ikutan.” Jamet ngakak
“Saya sih udah sering nemenin orang kaya mereka.” Kata Kang Ade
“Ada babi ikutan beneran, Kang?” Tanya Hari
“Impossible lah, Har. Hahaha.” Kata gue

Kami tertawa lama sekali sampai perut gue sakit.

“Asal temennya banyak sih saya tenang.” Cerita Kang Ade
“Ada yang sampe kesurupan gak, Kang?” Tanya Jamet
“Untungnya selama saya nemenin sih gak pernah. Tapi berisiknya itu lho.”
“HAHAHAHA!” Kami tertawa lagi

Hari ketawa paling keras. Padahal gue yakin Hari lebih sering ngeliat kelakuan nyeleneh Eda sama Dani. Tapi kayanya dia gak bisa gak ketawa ngeliat kelakuan temennya yang berulang itu.

“Eh, eh, coba kita diem yuk.” Ajak gue
“Ngapain?” Hari nanya gue.
“Coba aja tanya Kang Ade.”
“Biasanya pasangan kaya gitu mulainya kalo kita udah tidur.” Kang Ade memperjelas

Kami semua berdiam lama, sambil sesekali berbisik sangat pelan. Sakit banget perut rasanya harus nahan ketawa. Tapi, lambat laun kesunyian bisa menyelimuti kami, suara di tenda cewek juga udah gak ada. Tiba-tiba muncul suara gesekan gesekan plastik atau tenda..

“Babi, Kang?” Jamet berbisik
“Dengerin dulu, Met.” Gue balas berbisik

Terdengarlah suara-suara familiar. Dani dan Eda bergantian mendesah dan berteriak kecil.

“HAHAHAHAHA!” Suara tertawa kami membahana lebih besar daripada awal tadi.
“HAHAHAHAHA!” Suara tertawa juga terdengar dari tenda cewek.

---

POV Tika

“HAHAHAHA!” Kami tertawa dengan suara melengking kami
“Kok lu tau sih, Tik?” Jennifer menutup mulutnya
“Tanya Erna tuh.” Aku masih cekikikan
“Kang Ade pernah cerita, biasanya kalo ada yang mau begituan nunggu pada tidur dulu.”

Suara desahan kembali terdengar.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!”
“Sama tuh kaya kelakuan lu.” Jennifer nahan ketawa.
“Kalo gue kan masih di ruangan, yeeee.” Bantahku.
“Sama aja. Mereka juga di dalem ruangan. Dalem tenda.” Erna ikutan ngomong sambil cekikikan.

Kami tertawa sampai capek, lalu satu per satu tertidur pulas.

---

Aku terbangun karena suara Anwar yang menggebuk-gebuk tenda kami.

“Bangun, Beb! Erna! Jeruk! Ngejar sunrise nih!”

Aku melihat jam tangan, sudah jam 4 pagi. Kubangunkan Erna dan Jennifer agar segera bersiap. Setelah itu, aku keluar tenda. Anwar beralih menggebuk tenda Eda.

Eda keluar pertama dari tendanya dengan mata sepet.

“Masih ada tenaga gak buat sunrise?” Anwar ngeledek
“Masih, masih.” Eda masih setengah sadar.

Kami masing-masing bersiap di tengah udara dingin di pagi buta. Semua memakai jaket, kupluk, sarung tangan, dan headlampnya. Kang Ade tetap milih gak ikut, dia bilang mau jaga tenda dan masakin air buat kita nanti.

“Tasnya jangan lupa, beb.” Aku mengingatkan Anwar.

Anwar memimpin jalan, mengantarkan kami ke hutan mati. Di sana, orang-orang udah mulai ramai berkumpul di pinggiran tebing. Semua orang siap siaga dengan kameranya, termasuk Erna.

Kami menunggu dengan sabar hingga fajar mulai terlihat. Satu persatu anak-anak meminta untuk difoto. Erna dengan sigap melayani permintaan. Lalu, tidak lama kemudian ujung matahari mulai tampak berwarna oranye terlapisi kabut.

“Sekarang, beb?” Tanyaku
“Yuk.”
“Semuanya, sini, sini!” Kupanggil mereka yang sedang sibuk foto.

Anwar mengeluarkan isi tasnya. Ada kertas-kertas HVS kosong dan spidol. Tapi bukan itu yang dia ambil. Anwar mengambil sebuah banner kecil yang terlipat-lipat. Erna otomatis nitipin kameranya ke Hari sekaligus berpesan untuk mengambil gambar kami.

“Pencet setengah dulu, Har. Kalo ada kotak ijo, teken lagi.” Erna menjelaskan cara menggunakan kameranya.
“Guys, inget kan kita mau tampil di acara persembahan wisuda?” Anwar mulai cerita kepada Hari dan kawan-kawan.
“Inget, inget. Apaan sih? Bikin penasaran aja.” Tanya Hari.
“Ini dia!”

Kami membuka bannger kecil itu. Anwar menarik bannernya dari sebelah kiri, sementara aku memegang bagian sebelah kanan. Erna dan Jennifer berada di tengah-tengah. Terbentanglah sebuah Banner ukuran 2x1 meter.

---

POV Hari

Hari ini, gue kembali dikejutkan dalam trip ini. Pengumuman non formal disampaikan Anwar dan kawan-kawan. Mereka melaunching band bernama BRYOPHYTE, alias lumut. Gue fokus dengan kameranya Erna untuk memotret mereka dengan berbagai gaya. Setelah itu, kami bergantian berfoto dengan masing-masing personel lengkap dengan bannernya. Kamera pun dioper-oper ke berbagai tangan.

“Lumut?” Tanya gue.
“Yoi.” Tika yang menjawab.

Gue harap gak ada kejutan lagi untuk yang ketiga, setelah kemarin. Semoga Dani gak tiba-tiba ciuman sama Eda sambil difoto Erna, atau Jamet buang air besar di balik salah satu pohon kering di sini.

Kemarin, Sigit langsung pergi setelah memberikan tulisan nomor handphonenya dalam sobekan kertas kecil. Katanya, penjelasan lebih rinci akan dia ceritain setelah gue setuju dan nelpon dia lagi.

Setelah percikan kembang api hilang, Jennifer tiba-tiba dateng nyamperin kami untuk ikutan cuci muka. Tapi, gue yakin sih dia gak sempat lihat Sigit. Setelah itu, Dani langsung ngajak Jennifer melanjutkan ritual cuci muka ala-ala cewek, lalu kembali ke tenda.

“Guys, udah puas kan foto di sini?” Tanya Anwar
“Woi, ditanyain tuh. Ciuman teroos!” Tika sewot

Geblek dah! Dani sama Eda beneran ciuman sambil diem-diem dijepret Erna yang setengah ketawa. Gue langsung nyari Jamet, semoga dia gak beneran berak.

“Mau ke mana lagi, War?” Jamet ternyata lagi ngobrol sama Jennifer.
“Kita naik ke atas lagi. Ke Tegal Alun.” Anwar ngejawab
“Yang katanya ada edelweiss itu ya?” Jennifer nyamber
“Yoi. Kemon!”

Syukur deh, Jamet gak beneran berak.

Kami semua berjalan dua-dua dalam barisan. Hutan mati telah kami tinggalkan. Jalan setapak menyempit dan semakin menanjak. Anwar dan Tika paling depan sebagai penunjuk jalan. Gue dan Jamet tetep paling belakang, seperti ketika perjalanan naik kemarin.

Jam tujuh lebih tertera di handphone. Kami pelan-pelan tiba di Tegal Alun. Meski terutup kabut, gue bisa ngeliat kalau wilayahnya datar dengan padang rumput yang luas. Tapi, yang paling eksotis adalah perdu Edelweiss setinggi dada yang melimpah ruah. Daun-daunnya membentuk lapisan rambut-rambut tebal berwarna putih sehingga terlihat seperti lapisan salju. Bunganya yang masih kuncup berukuran kecil berwarna putih. Mekar sedikit, maka ada warna kekuningan di bagian dalamnya.

Erna jelas akan kesurupan dengan pemandangan kaya gini, gak peduli faktanya kalau dia udah ke sini empat kali bareng Anwar dan Tika.

“Erna, Bryophyte foto dulu laah.” Tika manggil.
“Bentar.” Erna kalap dengan kameranya.
“Sini duluuu.” Tika narik-narik Erna

Kamera kembali gue yang megang. Formasi foto berubah-ubah. Lalu lanjutlah Anwar membagi-bagikan spidol dan kertas putih ala-ala foto pendaki di instagram.

“Yah, Anwar. Kenapa gak dari tadi dikeluarin pas sunrise.” Dani ngomong diseret-eret
“Lupa, beneran. sorry, sorry.”

Jennifer berfoto pertama dengan tulisan ‘PAPANDAYAN X BRYOPHYTE’. Standar ah menurut gue. Lanjut Erna nulis kata ‘KITA’, dan dibaliknya ada ‘BRYOPHYTE’. Standar juga. Paling ‘kita’ itu buat pacarnya atau siapa kek. Anwar dan Tika sama-sama nulis ‘LOVE BRYOPHYTE’. Standar semua.

“Nulis apa lu met?” Eda nanya

“Udah sana, jangan liat.” Jamet nutupin kertasnya

Eda minta difoto dengan tulisan ‘PERSADANI PUTRI’ dengan tanda love. Dani balas nulis ‘EDA KEPEDEAN’. Jamet akhirnya muncul minta difoto bersama tulisan ‘COBA KAMU IKUT. J.’


“HAHAHA! J!” Gue ngeledek.

“JANIAR, LO DIPANGGIL ZAKARIA!” Eda teriak ke langit.
“Berisik, Da!” Jamet jelas banget malu.
“Itu siapa?” Tika nanya Dani
“Mantannya waktu SMA.” Dani jawab sambil ketawa

Matahari lambat laun semakin tertutup kabut. Pelan-pelan cuaca juga mulai hujan. Kami memutuskan untuk turun kembali ke tenda. Setelah kami tiba, Kang Ade sudah siap dengan air panas. Sebagian besar dari kami masuk ke tenda karena merasa kedinginan. Jamet sendiri kayanya gak berasa kedinginan banget. Dia malah dengan santainya nemenin Kang Ade di teras.

“Met, kok lu gak kedinginan sih dari kemaren?” Gue nanya dari dalem tenda
“Udah biasa, Har. Rumahku deket Bromo, hampir sama dinginnya.”

Oke. Terjelaskan.

Anwar keluar dari tenda dengan pop mie di tangannya. Lalu, dia gabung ke teras deket kompor, disusul Tika, Jennifer, dan Erna dari tenda cewek.

“Itu, Eda sama Dani dicek coba, Har.” Kata Erna.

Gue pelan-pelan buka tenda mereka. Intuisi Erna hebat. Pas gue nengok, Dani lagi meluk Eda, bukan pelukan romantis, tapi pelukan karena Dani kedinginan.

“Gimana, Har?” Anwar nanya
“Dani kedinginan. Menggigil.” Jawab gue.
“Nih teh panas. Bajunya juga ganti atuh biar gak kebasahan.” Kang Ade manggil gue supaya ngambil teh.

Beberapa saat setelah gue balik dari tenda mereka untuk ngasih teh, Dani keluar tenda dengan ekspresi muka yang lebih baik dari tadi. Bajunya didobel, dengan tambahan jaket. Dia menyodorkan satu pop mie ke Kang Ade, meminta diisikan air panas.

---

Setelah hujan agak reda, kami beres-beres tenda. Jam 10 kurang sedikit, kami sudah mulai berangkat turun kembali ke parkiran mobil. Jam setengah 12, kami sampai di parkiran disertai kembalinya hujan. Eda kembali memesan teh panas buat Dani di salah satu warung yang masih buka.

Selama perjalanan di pick up, Dani duduk bareng Eda di samping supir. Semua tas ditumpuk dan ditutup terpal. Sebenernya sih tadi Dani ngaku udah baikan, Cuma pasti Eda protektif lah sama pacarnya sendiri. Padahal, Eda sendiri kelihatan capek karena turun tadi bawa tendanya sendiri.

Kami berpisah dengan Kang Ade dan sopirnya di terminal. Gue melihat Anwar ditemani Tika ngobrol sebentar sebelum Kang Ade pergi. Dia mengeluarkan amplop dan memberikannya kepada Kang Ade. Melihat itu, gue berinisiatif mengumpulkan uang dari Eda, Dani, Jamet, dan gue sendiri tentunya.

“Ssstt, ssstt. Kolekan, kolekan.” Gue berbisik kepada masing-masing dari mereka.

Setelah ngasih duit patungan berempat kepada Anwar, kami semua langsung naik ke bus jurusan Kampung Rambutan. Dua puluh menit kemudian, bus mulai berjalan perlahan meninggalkan Garut. Jamet paling duluan tidur. Pelor.

Hape gue bergetar. Gue baru inget sekarang udah dapet sinyal lagi. Gue buka handphone, ada WA dari nyokap.

“Kemarin ada agen S.H.I.E.L.D. dateng ke rumah. Kirain kamu kenapa-kenapa karena jam tanganmu dilepas.”

Aduh, saking khawatirnya sama Kenia, gue sampe lupa jam tangan gak boleh dilepas. Gue langsung bales pesan WA ke nyokap dengan pertanyaan, “Astaga! Lupa aturannya. Abis itu gimana?”

Sambil menunggu balasan nyokap, banyak pesan lainnya yang gue baca. Kebanyakan adalah info macam-macam dan basa-basi di grup angkatan. Gak lama, nyokap bales pesan gue.

“Gapapa. Kamu disuruh laporan aja nanti. Kenia juga disuruh daftar Sokovia Accord kemarin. Potensi inhuman. Dia dapet jam sendiri juga.”

Oke, masalah kelar. Paling nanti cuma kena omelan dikit. Lagian gue bukan agen aktif. Gue bales pesan ke nyokap dengan laporan bahwa gue udah di jalan pulang ke Jakarta.

Di bangku depan, Jennifer nengok ke gue.

“Muka lu jelek amat ditekuk gitu. Ada masalah?” Kepalanya nongol dari atas senderan kursi.
“Gapapa sih yee.” Gue melet.
“Bosen gue. Nih anak ngelamun mulu dari tadi.” Jennifer nunjuk ke Erna yang duduk di samping jendela.
“Kecapekan kali dia.”

Kami berdua berbincang dengan topik sisa-sisa hari menjadi mahasiswa di kampus dan kehidupan pasca kuliah.

“Kenapa namanya Bryophyte, Jen? Oke lah gue tau kalian anak botani, tapi ada filosofinya gitu gak sih?” Gue nanya
“Bryophyte kan lumut ya, Har. Lumut itu pionir, sama kaya kita mau jadi pionir konservasi. Misalnya abis gunung meletus deh, atau kebakaran hutan. Mustahil lumut gak tumbuh duluan. Walaupun sebenernya ada tumbuhan lain yang tumbuh juga, tapi lumut itu organisme pertama yang bisa jaga kelembaban tanah. So, lumut berperan penting nantinya dalam membentuk hutan yang baru.”

Gue mengacungkan jempol.

“Sangat jelas filosofinya, bu dosen Jennifer.”
“Tengkyu.” Jennifer balas mengacungkan jempol.
“Emang posisi kalian di mana aja sih?”
“Posisi apaan? Alat musiknya? Kata Anwar rahasiain dulu.”
“Anwar pentolannya ya hahaha.”
“Yoi.”

Hape gue bergetar lagi. Obrolan gue sama Jennifer terputus. Dani ngirim pesan WA. Gue nengok dulu orangnya di bangku belakang. Dia diam-diam melotot ke gue sambil menunjuk-nunjuk hapenya, meminta untuk cepat dibalas. Gue nengok ke Eda buat jaga-jaga, ternyata dia udah tidur.

Dani: Bagi nomornya Sigit!
Gue: Mau ngapain?
Dani: Ngapain aja boleeeh.
Gue: Jangan aneh-aneh deh, bukan urusan biasa nih.
Dani: Yaudah, gue cerita ke Eda sama Jamet ya.
Gue: Eh, jangan! Yaudah nih gue kasih.

Gue mengattachment kontak Sigit. Serendah itu harga negosiasinya.

Dani: Sip. Thank youuu
Gue: Inget, jangan aneh-aneh. Lu tanggung jawab gue.
Dani: Oke bos. Lu masih ngutang cerita ya!

Chat ditutup dengan emot bibir dari Dani. Nih anak gila.

Bis sering berjalan perlahan karena terjebak kemacetan. Gue melihat pemandangan kelompok-kelompok bocah di kiri-kanan jalan membawa kertas besar atau kardus bertuliskan ‘OM TELOLET OM’. Ada juga yang memegang hape untuk merekam kejadian. Kadang permintaan mereka dikabulkan pak sopir, kadang nggak.

Di luar perkotaan, ternyata tren telolet bertahan lebih lama.

Gue nengok ke anak-anak. Kebanyakan udah pada tidur. Tinggal Erna yang masih melek, tapi ngelamun, diajak ngobrol pun banyak sela heningnya. Beda banget kelakukannya yang hepi pas di gunung tadi.

Karena gak ada yang bisa diajak ngobrol dan ditambah badan yang capek, gue pelan-pelan tertidur.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Kartika Rahayu



Ernawati



Jennifer

 
Terakhir diubah:
Mantap hu updatenya....btw si persadani putri kok kepo amat sama status inhuman nya Hari? jadi kepo juga...:huh:
 
Episode 15
Gejolak Hormonal


POV Hari

“Kenia daftarnya di sini? Di rumah?” Tanya gue
“Iya.” Nyokap jawab simpel
“Enak banget lu dek.” Gue ngeledek Kenia
“Enak dong! Nih liat jam tanganku dong!” Kenia pamerin jam tangannya
“Tes kesehatannya gimana? Terus latihannya?”
“Belum. Kenia kan belum jadi inhuman.”

Udah lewat sehari sejak gue pulang dari Papandayan. Sekarang hari senin, 9 Januari 2017. Gue lagi duduk lesehan di depan tivi sambil makan malam sama Kenia dan nyokap yang baru pulang kerja. Setelah nyokap menceritakan Kenia, gue menceritakan kabar gue.

Gue menceritakan pertemuan dengan Sigit bersama dengan Dani. Lalu, permintaannya untuk melawan Watchdog. Terakhir, Dani yang terus meneror gue untuk bercerita. Sepulangnya dari terminal Kampung Rambutan, puluhan kali Dani mengirimi gue pesan lewat WA dan instagram, serta belasan kali miss call saat malam hari.

“Hmmmm.” Nyokap mikir.
“Gimana, bu?” Gue nanya
“Kalian berempat udah temenan berapa lama?” Nyokap nanya balik
“Dari maba.”
“Sering banget jalan bareng?”
“Sering banget.”
“Udah pernah hutang piutang?”
“Buset kaya guru ngaji aja, bu, nanyanya.”
“Hahahaha. Intinya, kalo kamu udah percaya, cerita akan lebih baik. Daripada terlambat ntar, kamu ntar kehilangan mereka.”

Sekarang gue yang mikir. Gue pernah dapet cerita, waktu di pelatihan S.H.I.E.L.D. dulu banyak orang-orang yang baru melewati terrigenesis justru dijauhi dan ditakuti sama orang-orang, temen, bahkan ada yang ditinggal istrinya sendiri. Gue masih parno dengan cerita-cerita kaya gitu.

Nyokap pun juga denger cerita begitu selama pelatihan bareng gue. Tapi kayanya nyokap gak terpengaruh cerita-cerita miring itu.

“Ibu udah cerita ke siapa aja?”
“Ke bos sama temen-temen deket di kantor.”
“Terus apa reaksinya?”
“Keren, malah katanya mereka mau lihat terus ibu pake baju zirah.”
“Dasar orang tua kekurangan hiburan.”

Gue membayangkan mereka yang norak sama kekuatan nyokap sebanding dengan emak-emak main bigo setelah suaminya berangkat kerja. Atau versi lainnya, bapak-bapak buka spam bergambar adegan film bokep di facebook. Intinya, mereka kekurangan hiburan.

“Bu, coba saranin ke mereka deh naik ke Papandayan. Gak capek kok. Dijamin lebih seru daripada liatin emak-emak inhuman pake baju perang dari tulang.”

Tiba-tiba hape bergetar lagi. Gue mengeluarkan hape dari kantong. Dani mulai nelepon lagi hari ini.

“Siapa?” Nyokap nanya
“Dani lagi.” Gue nunjukkin namanya di layar hape.
“Angkat.”
“Angkat?”
“Jangan kebanyakan mikir. Angkat.”

Gue pergi ke teras rumah. Telepon Dani gue angkat.

“HARI! KEMANA AJA LU! UTANG YE!”
“Santai dong bos. Iye gue ceritain.”
“Sekarang!”
“Jangan di telepon juga. Besok sore deh, abis gue dari kampus.”
“Oke. Dimana?”
“Di apartemen gue deh. Tapi jangan bawa Eda sama Jamet dulu.”

Gue berpikir cepat. Makin banyak manusia biasa yang tau, makin banyak kepala yang harus gue lindungin. Sementara itu, kekuatan inhuman gue gak bisa dipakai untuk menyerang langsung. Waktu ngelawan Sigit versi robot aja gue kewalahan. Kalo ada apa-apa sama mereka sekaligus, bisa gawat.

“Oke. Besok. Jangan lupa.”
“Iya, udah ya. Bye.”

Gue menutup telepon, lalu kembali ke tempat nyokap dan Kenia.

“Masalah permintaan S.H.I.E.L.D. sama Sigit gimana menurut ibu?”
“Kamu percaya sama omongan Sigit?”
“Dikit doang.”
“Ibu cuma bisa nyaranin, ikutin kata hati kamu aja. Seengggaknya setiap pilihan jangan sampe nyusahin orang lain.”

Sejujurnya, kata-kata nyokap gak memberikan solusi. Tapi mengingat gue udah gede, gue harus bisa membuat pilihan sendiri kan.

“Bang, kalo berantem ajak ajak ya.” Kenia bernada manja
“Ya kali. Kemaren aja kamu nangis-nangis.”
“Ya kalo udah jadi inhuman, janji deh gak nangis.”
“Yee, maunya.”

Kenia masih bocah banget kelakukannya. Efek anak bontot. Padahal, setengah tahun lagi dia bakal lulus SMA. Kalo kelakukannya kaya gitu terus mana bisa gue sama nyokap ngasih minyak ikan.

“Eh, Har? Udah laporan?” Tanya nyokap
"Udah, kemaren malem abis minta balikin jam tangan dari bocah satu ini.” Gue noyor kepala Kenia

Kenia bales nonjok lengan kanan gue. Tapi sebelum kena, gue iseng membuka telapak tangan dan mengarahkankan ke kepalan tinju Kenia. Seketika tangan Kenia lemas dan dia jatuh ke paha gue.

“Iiiih, jahat ihhh!” Kenia ngambek sambil mukul-mukul kaki gue.
“Tuh kan baru digituin doang udah lembek.” Gue makin ngeledek.
“Eh, enggak. Aku kuat! Kuat tuh!” Dia duduk lagi dengan tegap.

Usai makan malam dan mencuci piring, kami masuk ke kamar masing-masing. Gue lanjut memeriksa ulang revisian skripsi yang rencananya mau dicetak hard cover besok di tempat fotokopian deket kampus. Sebosannya ngecek revisian, gue lanjut nonton film sampai ngantuk.

Di tengah-tengah film, gue mendengar suara familiar dari kamar sebelah.

“Engghhh... Enghhhh.... Abanghhh...”

Itu suara Kenia. Gue denger baik-baik sekali lagi.

Abanghhh... Ssshhh.. Ampuuunhhh...”

Gue awalnya mikir dia lagi masturbasi. Tapi karena ada kata 'ampun'nya, gue jadi mikir yang nggak-nggak. Gue langsung lari ke depan kamarnya. Gue dorong pintu, ternyata gak dikunci.

Di dalam sana, dugaan awal gue justru yang bener. Dia lagi masturbasi dengan jari tengah udah amblas di dalam lubangnya.

“Iiiih... Abang, tutup pintunya!! Kunci!!”

Karena panik, gue refleks menutup pintu kamar Kenia dari dalam, lalu langsung mengunci pintunya. Dia berlari menuju pintu, lalu mengambil kunci dari pintu itu dan menyimpannya di dalam laci.

“Abang puasin aku! Gak mau tau!”

---

POV Dani

Gue abis nelepon Hari. Sekarang, gue melamun di kamar hanya dengan handuk yang melilit di badan.

Efek gejolak hormonal yang dikasih tau Lina ternyata gila banget. Gue bisa tiba-tiba sange begitu aja. Turn on begitu digerepe Eda di tenda. Terus, gue langsung nyamber bibir Eda pas sunrise. Adrenalin juga terpengaruh. Waktu kedinginan pas mau pulang, badan gue tiba-tiba anget gitu aja. Cuma, capeknya berasa pas dapet istirahat di bus.

Begitu sampai apartemen dan tidur selama 3 jam, permainan gue sama Eda malah makin gila. Kami bergumul lagi sampai loyo. Lebih gilanya, gue malah sempat bermimpi bermain-main sama penis Hari gara-gara cuma gak sengaja kelihatan kemarin.

“Dani! Masa Edanya ditinggal sendirian sih tuh!” Kak Rivin Teriak dari dapur
“Iya, kak! Bentar mau ganti baju dulu!”

Gue buru-buru ganti baju, lalu bergegas ke ruang tengah. Eda lagi nonton tivi sambil senderan di sofa.

“Lagian disuruh masuk ke kamar aja gak mau.” Gue duduk di samping Eda
“Gak enak itu Kak Rivin lagi masakin buat kita. Masa aku tinggal ke kamar kamu.”
“Eh, Sesil ke mana? Tadi ada.”
“Lagi ke luar beli minuman.”

Kepala Kak Rivin keluar dari dapur.

“Bentar lagi ya. Hehehe.” Dia cengar-cengir
“Asik deh yang abis gajian.” Eda ngeledek
“Iya nih, tumbenan kak.” Gue ikutan ngeledek

---

POV Kak Rivin

Aku keluarkan rice cooker berisi nasi yang baru matang terlebih dulu ke ruang tamu, berbarengan dengan Sesil yang baru datang membawa beberapa botol besar Fanta dan Sprite. Dia masuk ke dapur untuk mengambil gelas.

“Aku bantuin, kak.” Kata Dani.
“Ssshh. Gak usah, temenin Eda aja di sini. Jangan ditinggal-tinggal.” Entah kenapa aku berkata begitu.

Apa aku cemburu? Gak juga. Yang jelas, harga diriku lebih mendominasi. Cap seorang senior telah mendarah daging sehingga aku harus tampak mengayomi. Kalau pun berusaha centil, pastinya harus terselubung dan elegan.

Seperti kali ini, traktiran makanan dengan alasan habis gajian dan dapet bonus sebenernya lebih kepada sebuah upaya menahan Eda jangan pulang buru-buru. Aku jarang melihat Eda, dan sekali-kalinya bertemu Eda, dia selalu terikat dengan Dani.

Setelah menaruh rice cooker, aku kembali ke dapur untuk mengambil cap cay, ayam goreng, dan tempe goreng.

“Eh, kak Rivin.” Sesil kaget ketika aku masuk ke dapur.
“Ngapain, Sil? Ngambil gelas lama amat?”
“Aku nyicipin dulu sih hehe.”
“Iseng banget deh. Yuk, bantuin bawain nih.”

Makanan kini telah tersedia semua di ruang tamu. Semoga masakanku cukup untuk kami berempat.

“Sayang banget yang lain lagi gak pada di sini ya.” Dani ngomong sambil makan.
“Ditelen dulu napa, Dan.” Kata Eda
“Ya namanya juga lagi libur semester. Pada pulang.” Jawabku
“Lah nih Sesil gak pulang ke rumah.” Dani nunjuk Sesil di seberang posisinya
“Telen dulu, Dan!” Eda ngomel pelan
“Hahaha. Lu kaya gak tau gue aja. Bete lah gue di rumah sendiri.” Sesil ikut obrolan

Duh, Eda. Sebegitu perhatiannya sih sama Dani.

Kami semua makan sambil bersenda gurau malam ini. Televisi dibiarkan menyala tanpa ditonton, malah sebaliknya, televisi yang menonton kami bersenang-senang malam ini. Aku senang melihat Eda. Aku senang memperhatikan wajahnya yang tampan, matanya yang terus melototin Dani, giginya yang menggigit potongan tempe goreng, dan jempolnya yang mengais nasi dari piring. Apapun dalam dirinya jelas aku suka. Tapi sekarang Eda gak suka sama aku, dia sukanya sama Dani.

Kalau boleh bernostalgia, Eda tuh pernah deket sama aku, pakai banget. Tapi nostalgia gak ada artinya lagi sekarang. Eda pun juga pernah bilang gak suka nostalgia.

“Kenyaaang.” Dani sendawa.
“Cuci piring sendiri, ya.” Eda mengingatkan.
“Eh, gak usah. Aku aja. Kan, aku yang traktir.”
“Gak usah, kak. Biar anak ini mau gerak abis makan.” Eda menunjuk-nunjuk Dani

Duh, Eda. Aku jadi Dani mau deh.

Usai makan, Sesil mengambil kartu dari kamarnya dan mengajak kami main poker. Taruhannya, bagi yang kalah harus ngocok kartu dan jongkok selama permainan selanjutnya. Karena gak pakai duit, aku setuju ikut main walaupun sebenernya gak ngerti-ngerti amat.

Lima kali main, lima-limanya aku kalah. Sesil cengar-cengir doang.

“Ahahaha! Kak Rivin kalah lagi!!” Dani ketawa lepas.
“Kapan lagi senior kita bully hahaha.” Sesil ikut ngeledek.
“Ah, udahan ah. Aku gak bisa main.” Aku ngambek.
“Yeee, gak boleh. Gak ada yang gantiin.” Dani ketawa
“Iya nih, kita cuma berempat. Jongkok lah kaaak, hahaha.” Eda ikut bawel

Siap grak, Eda!

Di tengah permainan sesi ketujuh, rasa-rasanya aku makin gelisah. Bukan gelisah karena kalah terus. Badanku rasanya panas, jantungku berdebar, dan selangkanganku gatal. Aku lihat Dani malah lebih gelisah lagi, pahanya terus-menerus bergantian dilipat. Dani juga lebih sering menyender dan mencium bahu Eda yang ada di sebelahnya.

Eda juga mukanya makin merah. Tangannya ditekan-tekan terus menahan tonjolan di pangkal pahanya. Aku lihat dia berbisik sesuatu ke Dani, lalu mengusulkan permainan disudahi. Dani langsung menuntun Eda ke kamarnya.

Aku pasrah. Mereka pasti akan ML di kamar Dani, jelas suaranya akan kedengeran jelas sampai kamarku yang tepat disebelahnya. Dalam lamunan panasku, tiba-tiba Sesil menarikku untuk ikut membuntuti mereka dari belakang.

“Eda bagian kakak dulu. Aku beresin Dani.” Bisik Sesil.

Sesil bikin rencana apaan ini? Tapi selangkanganku terlalu gatal untuk bisa berpikir. Tepat sebelum pintu kamar Dani ditutup, Sesil menerobos masuk bersamaku. Dia langsung mengunci kamar dari dalam.

---

POV Hari

“Jangan berisik, nanti abang udahan nih.” Gue mengancam.
“Ssshh.. Iyaaaa... Ahhhh!!” Kenia malah makin mendesah gak karuan.

Terpaksa kusumpal mulutnya dengan mulutku agar gak kedengeran nyokap.

Kenia meminta dipuaskan sambil merengek-rengek. Dia mengancam akan teriak sampai nyokap datang. Sebenernya gue sih gak takut, karena bisa gue jelaskan dengan mudah kenapa kejadiannya bisa begini.

Gue lebih menakutkan keadaan Kenia yang gak stabil. Kalau gak terpuaskan, dia bisa sampai pagi gak tidur, atau bisa-bisa merusuh sama sembarang orang nanti. Gue memikirkan gejolak hormon anak remaja, ditambah pengaruh waktu itu, yang jelas berbahaya kalau gak terkendali.

Gue gak cuma berbicara soal seks. Suatu waktu dia bisa aja ketawa riang gembira, terus tiba-tiba nangis ngejer kaya lagi PMS, atau ngajakin gurunya di sekolah berantem jambak-jambakan. Itu juga alasannya gue bertanggung jawab sama Dani, walaupun harusnya dia lebih bisa mengendalikan diri.

Sekarang, jari tengah gue sedang mengocok-ngocok klitorisnya yang sudah becek. Gue tebak Kenia belum pernah main sama siapa-siapa, kecuali bareng Dani waktu itu.

“Abang kasih yang lebih enak. Tapi janji jangan berisik.” Bisik gue di telinganya
“He-eh.” Dia menangguk.

Gue menjilat belakang telinga kanannya. Kenia merespon dengan mendesah, tapi buru-buru dia menutup mulut dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memelukku erat, meminta untuk bermain di telinga dan lehernya lebih lama.

Gue beranjak menindih tubuhnya. Kenia sudah telanjang, tapi pakaian gue masih utuh untuk menghindari kejadian yang nggak-nggak. Padahal, aslinya gue udah sange banget. Cowok mana yang gak penisnya gak tegang disajikan tubuh telanjang perempuan.

Gue berkali-kali menjilati leher dan telinganya kiri dan kanan. Lalu, menghisap dan menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Tanganku beralih dari klitorisnya ke payudaranya agar bisa kuremas-remas.

“Abaaanghh.. terusshh..” dia berbisik mendesah.
“Enak, dek?” Aku menggodanya.
“He-eh.”

Ketika lidahku masuk ke mulutnya, Kenia memelukku erat. Selangkanganya ditekan ke atas menyentuh penisku.

“Baaang, puasin aku.. sshhh.. Cepeeett...”

Kenia serta-merta memaksa menarik kaus gue ke atas hingga terlepas. Gue terkejut, tapi permainan harus berlanjut supaya Kenia terpuaskan. Mulut gue perlahan turun ke payudaranya sebentar, lalu lanjut ke vaginanya.

Gue jilati klitorisnya dengan cepat agar mengantarkan Kenia menuju orgasme secepat-cepatnya. Kujilati naik, turun, dan memutar. Jari gue bermain di pintu masuk lubang senggamanya. Keadaan tersebut membuat Kenia menggelinjang dengan cepat. Matanya terpejam lama, lalu terbuka kembali dengan sebuah hembusan nafas yang panjang.

“Udah puas?” Gue bertanya.

Kenia mengangguk. Tapi dengan cepat dia membalik badan dan memelorotkan celana gue. Penis gue menjulang tegak di hadapan Kenia. Matanya terbelalak melihat penis beneran.

“Kaya gini ya penis beneran.” Dia memegang penis gue malu-malu.

Biasanya kalo sama Puri, penis gue udah dilahapnya bulat-bulat. Jadi, gue tebak lagi kalo Kenia gak tau harus ngapain. Tapi, diluar dugaan, dia langsung menduduki penis gue, lalu menempelkan ke pintu vaginanya.

“Heh! Mau ngapain?!” Gue berusaha mendorongnya menjauh.
“Mau masukin.” Dia ngomong gak karuan.
“Heh!”
“Kalo nggak boleh, aku teriak nih!”
“Yaudah, abang kasih tau yang enak, tapi jangan dimasukin dulu.”
“Gimana itu?”
“Janji jangan teriak.”

Gue suruh dia menduduki penis gue. Klitoris dan lubangnya segaris dengan penis gue yang diluruskan ke arah pusar. Gue ajarkan dia menggesek-gesek penis gue sampai puas. Kalau perlu sampai pagi. Asalkan gak masuk.

Oke, ini bukan panutan yang baik buat seorang kakak ke adiknya. Tapi, dalam keadaan darurat begini buat gue gak ada pilihan lain lagi yang terlintas di kepala. Tujuan gue sekarang harus memuaskan Kenia tanpa harus penetrasi.

“Abaaaangghh... Enaaakhhh...” Kenia mendesah
“Inget jangan berisik.”

Dia menutup mulut dengan satu tangannya, sementara tangannya yang lain bertumpu pada dada gue. Goyangannya semakin liar dan cepat. Gue gak memungkiri ikut menikmati ini.

“Ssshhh... keluarrrhhh!! Lagiiihh!!” Kenia ambruk di atas badan gue.

Guenya yang sekarang nanggung.

“Dek, bantuin abang mau?” Kata-kata itu terlontar gitu aja.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Kak Rivin



Cecilia Dyna Pelengkahu



Kenia Dwi Lasya

 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd