Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 24
Penggerebekan di Malam Hari


POV Hari

Gue bangun pagi, ngecek medsos, abis itu pergi ke kamar Kenia. Bener kan, mereka tidur berdua dan berbalut selimut. Beneran abis mesum kayanya mereka berdua. Gue lanjut turun ke bawah, bikin teh panas, dan bikin roti selai buat sarapan.

Ada pesan dari Jamet di grup wa.

Jamet: Pagi guys, selamat ya udah jadi pengangguran hahaha. So, buat info, kita pergi dua minggu lagi ya. Berangkat hari Senin, nyokap gue nyuruh kalian stay selama satu minggu. Pada bisa kan?

Info dari Jamet membuat gue berpikir-pikir sebelum mengetik.

Anwar: Pageee. Bisa dong. Iya gak, Tik?
Tika: Bisaaaaa. Maklum pengangguran hahaha.
Jamet: wah abis ngapain lu berdua?
Tika: Suudzon aja lu, Met. Lu lah yang abis ngapain sama Jennifer?
Jennifer: Eh, pagi-pagi udah ngomongin orang ya.
Gue: Gue sih oke. Tinggal nunggu kabar yang lain ya.

Dani mengetik...

Dani: Sip lah, kuy.

Eh, Dani udah bangun?

“Dani! Kenia! Woy, sini bangun, turun, udah gue bikinin roti nih!” Gue teriak di dalam rumah.

---

Dua minggu hampir berlalu sejak wisuda. Seminggu terakhir ini, setelah nginep sekian hari di rumah gue, Dani lebih memilih tinggal di penthouse. Gue pun jadi lebih sering ngawasin dia karena udah denger cerita dia sama Eda bubar. Di satu sisi gue kasihan sama Dani, dan sisi lain gue bingung akan kaya apa persahabatan kita berempat nantinya.

Gue juga udah tau kalo obat buat Dani dan Kenia udah dateng waktu gue tidur kecapekan sehabis wisuda. Sekarang, Dani pun rutin minum obat itu. Kenia juga minum sambil tetap diawasin nyokap.

Kegiatan mata-mata terus mengalami kemajuan. Kami terus menerus menemukan antek-antek Watchdog di banyak daerah. Sisanya, markas besarlah yang menyelesaikan tugasnya. Tugas agen lapangan selevel kami memang cukup seperti ini.

Satu per satu info mengenai pembuatan kristal terrigen berkedok sabu juga telah terbongkar. Hari ini, sehari setelah pilkada, pabriknya akan digrebek kepolisian dan anggota S.H.I.E.L.D. secara diam-diam tanpa sepengetahuan media. Lokasinya berada di sebuah gudang berlantai dua di kawasan di Semper Barat, Jakarta Utara.

Ada rumor kalau orang bernama Irfan sedang di sana juga.

“We start in 4 teams. First teams, represent Sigit, Dani, and Erna. You have to stay behind, here. Be eyes for us.” Kata seorang agen S.H.I.E.L.D. yang mukanya tertutup helm.
“Aye-aye.” Kata Erna.

Hening, kami semua nengok ke Erna sebentar. Kemudian, si agen melanjutkan perintahnya...

Katanya, selanjutnya, tim kedua beranggotakan 8 orang bertugas menyusup ke lantai satu. Sesuai laporan kamera lebahnya Dani, di sana merupakan area produksi, penyimpanan, dan server segala macam data deep web Watchdog wilayah Asia Tenggara. Tugas tim kedua adalah menghancurkan semuanya dan menyalin data dari server.

Tim ketiga beranggotakan 9 orang termasuk gue bertugas naik ke lantai dua. Lantai dua ini tidak terlalu besar, hanya setengah luas bangunan. Di sana berisi banyak ruangan, mulai dari pengawasan hingga petinggi. Tim keempat berjaga di luar untuk mengontrol akses keluar masuk pabrik.

Inti rencananya, Dani masuk terlebih dulu menggunakan kamera lebah untuk mengintai dari segala sudut. Kemudian, setelah setiap tim mendapat visual dari kamera, tim kedua masuk melumpuhkan ruang pengawasan. Tim ketiga masuk terakhir, sekaligus menghancurkan produk sabu itu bagimanapun caranya.

Misi pun berjalan. Kamera lebah satu per satu masuk dalam posisi. Visual kami dapatkan. Kami dapat melihat para pekerja terus menjalankan produksi seperti biasa dari gadget yang dipegang Dani dan setiap pimpinan tim.

“Done!” Dani memberi sinyal.
“Ok. Go go go!” Perintah pemimpin tugas.

Kami keluar dari persembunyian beberapa ratus meter dari gudang. Gue berjalan mengikuti tim ketiga di posisi paling belakang, lengkap dengan pakaian seperti densus 88, kecuali tanpa senjata laras panjang.

Gue hanya diberikan pistol. Ya, pistol. Gue megang pistol aja belum pernah, apalagi nembak.

“Mas Hari, fokus ya.” Kata Sigit dari alat komunikasi.

Buset, pikiran gue dibaca.

Tim gue masuk terlebih dulu melalui pintu samping. Pintu itu langsung mengarah ke lantai dua. Kami menyergap satu per satu orang yang lewat tanpa perlawanan. Dengan mudah, pusat kamera pengintai kami lumpuhkan. Tiga orang diperintahkan berjaga di ruangan ini, sedangkan sisa 6 orang lainnya termasuk gue melanjutkan pencarian.

“Semoga kami dapet Irfan disini.” Harap gue.
“Mas, fokus.” Kata Sigit lagi.
“Iya iya.”

Setelah kamera pengintai aman, tim kedua masuk dari pintu depan. Dengan segala peringatan, seluruh pekerja langsung menyerah. Satu persatu orang diikat dan dikumpulkan dipojok.

Tugas malam ini lancar-lancar aja.

“Oke, ini ruangan terakhir. Ruang pimpinan. Laporan dari tim 4, gak ada akses keluar masuk sama sekali. Jadi, siap-siap serangan dadakan.” Kata pimpinan tim 3 yang ternyata orang kepolisian Indonesia.

Setiap anggota bersiap di posisi. Ada yang tepat di depan pintu, ada yang di sebelah kiri, dan ada yang di sebelah kanan. Posisi gue ada di sebelah kanan, bersiap dengan ancang-ancang menahan serangan dadakan. Tangan kanan gue teracung untuk menyerap setiap energi yang datang.

---

POV Sigit

Aku mengawasi aksi dari lokasi persembunyian di sebelah mbak Dani dan mbak Erna. Fokusku adalah mengawasi fokus anggota tim, termasuk Mas Hari.

“Report, our custody didn’t want to talk. We need order.” Kata pimpinan tim dua dari seberang radio.

Tidak ada jawaban sama sekali. Radio hening.

“Report... Re..” Radio mati.
“Halo? Anybody hear?” Mbak Dani berusaha menghubungi tim dua.
“Kenapa, Mbak?” tanyaku.
“Sebentar...”

Mbak Dani mengutak atik alat-alat elektroniknya dengan gelagat panik. Semua bagian keyboard dia coba pencet.

“Aaaaghhh...” Gantian Mbak Erna meringis dan menutup mata serta telinganya rapat-rapat.
“Kenapa, Mbak?”
“Aduh. Alat mati semua!” Kata mbak Dani.
“Kuping gue penging. Mata gue perih!” Mbak Erna jatuh tersungkur.

Aku segera berlari melapor ke tim empat yang ada di luar persembuyian. Kemudian, aku kembali dengan dua orang yang segera membantu. Mbak Erna pun diistirahatkan sehingga kekuatannya tidak dapat digunakan. Sedangkan Mbak Dani dan seorang lagi sedang berusaha mengutak-atik alat-alatnya.

“It’s EMP.” Kata orang itu.
“What is EMP?” Tanya Mbak Dani.
“Electromagnetic Pulse. Something that can disturbing every electronic tools. This is obviously typical watchdog operation.” Jelas tipikal kegiatan watchdog.

Mereka sadar kedatangan kami. Sekarang berarti tinggal aku yang hanya bisa melihat ke dalam gedung. Tunggu dulu.... Semuanya gelap. Aku gak bisa melihat ke dalam gudang juga?

“I neither can see trough the building...” Kataku.
“Now, we’re in blind situation.” Orang itu berkata pasrah.
“Kalo gitu aku harus masuk ke sana.” Aku mengambil inisiatif.
“Hati-hati, Git.” Pesan Mbak Dani.

Aku memilih caraku sendiri. Dengan dilindungi dua orang dari S.H.I.E.L.D., aku berlari kecil menuju pintu depan gudang. Begitu kami berhasil masuk, ternyata tim dua masih dalam kendali normal.

“What’s happen? Radio doesn’t working.” Kata pemimpin tim dua.
“It’s EMP.” Jawab seorang datang yang bersamaku.
“And more odd, cause my magic also don’t working.” Bahasa inggrisku kacau.

Begitu mendengar cerita kendala tim dua, aku mangajukan diri memberi solusi. Aku akan membaca pikiran para sandera untuk mengetahui informasi sebanyak-banyaknya. Kemudian, aku menghampiri salah seorang sandera berbaju merah untuk memegang kepalanya.

Tapi, Tiba-tiba lampu gudang menyala lebih terang. Satu buah pintu terbuka, datanglah orang-orang yang memegang senjata. Mereka didampingi sejumlah orang berjaket, helm dan mesin di punggung yang familiar sebelumnya denganku. Semua mendadak siaga dan mengacungkan senjatanya.

“Be careful. That suits are powerful.” Kataku.

Di saat yang bersamaan, terdengar suara tembakan bertubi-tubi di lantai atas.

Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.....

---

POV Hari

Begitu mau membuka pintu, tiba-tiba tembakan bertubi-tubi menyambar dari dalam ruangan, merobek-robek pintu, dan mengenai si pembuka pintu tanpa henti. Gue refleks menahan semua peluru yang melesat cepat, namun sayang sudah banyak peluru yang menembus badan dua orang terdepan.

Selanjutnya, satu persatu peluru berjatuhan tanpa sempat keluar dari garis ruangan. Tangan gue berkontraksi tanpa beristirahat. Orang-orang yang lain bersembunyi di balik tembok menunggu waktu yang tepat untuk serangan balik. Akibatnya, kami belum sempat melihat si penembak.

“Shoot them now!” Gue meminta pertolongan.

Tangan gue keram. Sebentar lagi pertahanan gue roboh.

Tiga orang berdiri ke samping gue dan mereka mulai menembak membabi buta ke dalam ruangan. Akhirnya tembakan yang mengarah ke kami pun berhenti. Asap mengepul hebat. Setelah dirasa kondusif, kami masuk pelan-pelan untuk mengidentifikasi ruangan. Perlahan pandangan menjadi jelas, ruangan ini kosong!

“How could??!” gue heran
“Look at this.” Pimpinan tim memanggil gue.

Rupanya ada senapan otomatis berdiri dengan dipasang dengan tripod yang menghadap pintu. Sekarang alat itu dengan tripodnya sudah rusak tergeletak di lantai. Tapi, dari sistemnya, benda itu bisa diidentifikasi bahwa memiliki kontrol untuk diaktifkan dari jarak jauh.

Tiba-tiba.. terdengar suara tembakan bersahut-sahutan dari lantai bawah. Kami semua bergegas menuju ke bawah untuk mengetahui yang terjadi. Tiga orang yang menjadi pengawas kamera pun kembali bergabung dalam barisan.

Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.....

Sesampainya di sana, gue melihat banyak tubuh para pekerja bergelimpangan dengan tangan terikat. Dari sudut berdiri ini gue juga melihat baku tembak antara tim kami dan terduga kelompok watchdog.

Di sisi mereka, ada 5 orang yang terus berdiri tegak tanpa goyah. Mereka menerima setiap tembakan. Mereka memakai jaket, helm, dan mesin di punggung, serupa dengan yang pernah gue lihat sebelumnya.

“We shoot them from this angle.” Perintah ketua tim kami.

Selagi kami mengambil ancang-ancang menembak, tiba-tiba dua orang berjaket melihat kami. Selanjutnya mereka berlari ke arah kami.

“I can handle this!” Kata gue.

Satu orang berjaket dengan cekatan berusaha memukul kepala gue dari kiri. Orang kedua menyusul dengan serangan lanjutan dari sebelah kanan. Gue bertahan dengan segala ayunan tangan gue untuk menghentikan energi mereka. Tapi, lambat laun gue tergiring ke arena tembak-menembak.

Dua lawan satu, dan ditambah hujan peluru. Di sisi lain gerakan mereka juga cepat, tapi untungnya gue masih cukup lihai bertahan. Lalu, tiba-tiba seorang dari S.H.I.E.L.D. mencoba memberikan serangan kejutan. Dia berlari memukul menggunakan gagang senapan kepada salah satu orang berjaket di sebelah kanan gue. Sayangnya tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan, dia dipukul balik hingga terpental jauh mengantam tembok.

“Watch out! I can handle this!” Gue meyakinkan mereka.

Karena salah seorang berjaket fokusnya teralihkan, gue mendapat celah mematikan mesin di punggungnya. Gue lemahkan pahanya hingga dia terjatuh, lalu gue serap energi mesin di punggungnya sampai benar-benar mati.

Tapi, saat gue masih berkonsentrasi menyerap energi, si orang berjaket yang lain berusaha menyerang gue dengan keadaan yang sangat terbuka. Gue pasrah akan dihantamnya tepat di muka. Namun, lima orang dari tim gue langsung mengeroyok si pria berjaket hingga saling tindih-menindih.

“C’mon! Finish him!” kata seorang dari mereka.

Gue menahan hujan peluru yang mengarah ke sini sambil secepat mungkin menyelesaikan penyerapan energi. Kemudian, gue buru-buru menyerap energi dari orang berjaket satunya yang ditindih lima orang.

Pertarungan selesai.

“That’s awesome.” Gue tos dengan mereka.

---

POV Sigit.

Tembak menembak di tengah gudang tak terhindarkan. Aku bersembunyi di balik drum besi. Untungnya, tim kami menang jumlah. Lambat laun orang-orang mereka mundur, kecuali tiga orang berjaket yang tetap tidak goyah. Selanjutnya, saat kami hampir menang dalam adu tembak ini, tiga orang berjaket maju.

Gue mengintip sedikit-sedikit.

“Him! Irfan, red shirt!” Kataku menunjuk penembak di barisan lawan paling belakang.

Aku masih mengenali wajah Irfan. Dia lah pemimpin Watchdog wilayah Indonesia. Wajah itulah yang sangat ingin kuhajar, tapi aku tetap mematuhi kata Ancient One untuk terus bersabar dan menahan diri.

Tim dua memulai pertarungan jarak dekat dengan beberapa hujan peluru yang masih terjadi. Beberapa orang kami tumbang. Aku memaksakan diri berinisiatif melakukan eksperimen. Kuputar-putar jariku untuk membuka portal ukuran kecil tepat di depan moncong peluru seorang penembak, lalu memindahkannya ke kakinya sendiri.

Door.. door..

“Aggghhh!!!” orang itu lumpuh seketika. Berhasil! Yeay!

Dengan lebih pede, aku lakukan cara ini satu persatu kepada para penembak watchdog termasuk Irfan. Akhirnya, hujan peluru selesai dengan cepat. Tapi, tim dua sudah kalah dengan cepat juga dari tiga orang berjaket.

“Irfan down!” Aku berteriak.

Karena suaraku yang kecang, tiga orang berjaket kini menghampiriku. Telapak tanganku mengucurkan keringat dingin. Anggaplah latihan dan pertarungan sama Mas Hari di menara Saidah tidak dihitung, maka aku belum pernah berkelahi sebelumnya. Apalagi tiga lawan satu seperti ini.

Begitu satu orang mendekat, aku berlari-lari menjauh. Begitu seterusnya hingga akhirnya Mas Hari berhasil bergabung denganku.

“Mas, aku gak bisa berantem.” Tanganku makin berkeringat.
“Tadi ngalahin penembak itu gimana? Kok bisa?”
“Kan tadi dari jauh, Mas.” Aku merajuk.
“Sama aja. Sekarang senjatanya mereka cuma diganti tangan kosong.”

Aku muncul ide.

“Mas, bantuin saya ya.”
“Ayo. Maju kita.” Ajak mas Hari.

Mas Hari bergerak paling depan. Dia melawan dua orang berjaket terdepan sekaligus. Orang berjaket lainnya bergerak mengincarku. Aku dengan hati-hati memperhatikan waktu yang pas. Begitu pukulan pertama diayunkan, mukaku terkena telak hingga aku terpental jauh.

"Jancuk!”

Setelah aku terpental, anggota tim tiga yang lainnya bersama Mas Hari mengambil alih pertarungan. Mereka pun dengan gampangnya tumbang satu persatu. Begitu kuatnya orang-orang berjaket itu.

“Kayanya coba dari sini aja.” Aku menyeka darah di pelipis.

Sekarang aku coba menargetkan seorang berjaket yang sedang melawan pemimpin tim tiga. Aku ayunkan jari-jariku sambil menentukan waktu yang pas. Satu pukulan terayun, ini dia!

Pukulan si orang berjaket masuk ke dalam portal. Dengan cepat aku buka portal kedua di depan mesin salah satu orang berjaket lain yang sedang melawan Mas Hari. Tepat sasaran! Mesin itu pecah bertubi-tubi, membuat penggunanya tersungkur ke tanah seketika.

“Good job! Lagi!” Mas Hari tampak senang.

Tinggal dua orang berjaket.

Tiba-tiba, sisa satu orang berjaket yang melawan Mas Hari berhenti melawan. Gerakannya tidak lagi seperti robot. Dia menunjukkan gerak gerik manusia normal dan tampaknya melihat ke arahku sejenak. Selanjutnya, dia mundur menjauh, mengayunkan jari-jarinya, lalu muncul portal yang sama dengan sihirku.

Dia masuk ke dalam portal, entah pindah ke mana.

Tapi ini bukan saatnya ambil pusing. Tinju selanjutnya dari seorang berjaket yang tersisa kupindahkan ke mesinnya sendiri. Terbentuk retakan, tapi belum pecah. Aku terus berkonsentrasi memindahkan tinjunya. Beberapa waktu kemudian, dari sekian banyak pukulannya, aku baru bisa memindahkan hingga tiga kali, tapi mesinnya juga belum juga pecah.

Dari jarak dekat, pemimpin tim tiga bekerja sama dengan Mas Hari. Terjadi perkelahian jarak dekat dua lawan satu. Meski pun begitu, muka si pemimpin tim sudah bonyok dan hampir tidak bisa melihat lagi. Mas Hari berkali-kali berhasil menyerap energi dari mesinnya, tapi selalu tak selesai.

“What’s happen with this one?” Tanya pemimpin tim tiga dengan letihnya.
“I don’t know. He is very strong.” Kata Mas Hari.

Aku gak boleh meleset lagi. Tinju selanjutnya harus berhasil!

Aku berusaha fokus memperhatikan gerakannya. Satu ayunan tangan bergerak, ini dia! Aku buka portal sekali lagi. Tangannya berhasil masuk, lalu aku pindahkan tinju itu ke helmnya. Saat itu juga helmnya jadi terbelah dua.

Helm terjatuh, tapi wajah si pemilik jaket belum dapat kulihat. Dia tertunduk, dengan rambut agak gondrong seleher. Begitu dia saling bertatap mata dengan Mas Hari, reaksi Mas Hari justru terpaku dengan wajah penuh ketakutan. Begitu juga dengan pemimpin tim.

Aku tak bisa melihat apa-apa dari jauh.

Sesaat kemudian, mesin di punggung orang itu hancur bersama sobeknya jaket akibat tarikan kedua tangannya sendiri. Bagian jaket yang tersisa hanya dari pinggang hingga mata kaki. Saat itulah aku baru tahu apa yang membuat Mas Hari tercengang. Orang itu bukan manusia!

Dari jauh, aku bisa gambarkan dia mirip monster di film Jeepers Creepers. Kulitnya hitam legam dan kasar. Kulit pipinya lesu seperti kulit pipi orang tua. Tangannya mirip manusia, hanya saja dengan bagian kulit yang melebar hingga melekat dengan kulit badan, membentuk seperi sayap kelelawar.

“GGHAAAAAA!!!” Teriakannya mirip godzilla, tapi kurang menggelegar.

Rupanya yang kulihat tadi bukanlah bagian rambutnya. Itu adalah bagian dari kulit kepala atau sekitaran lehernya yang mirip gelambir. Bagian itu sedang mekar seperti kadal yang melakukan display di musim kawin.

Setelah puas berteriak, dia melihat ke sekitar ruangan ini. Lalu terbang membobol tembok dengan hanya satu kali pukulan. Dia meninggalkan kami dalam suasanya penuh ketakutan. Tubuhku kaku. Kakiku gak bisa digerakin. Badanku merinding.

Monster... Bukan.. Itu.. Inhuman macam apa dia?

---

Beberapa waktu kemudian, situasi kondusif. Aku dipapah keluar gudang dan melihat banyak warga berkumpul di belakang garis polisi. Aku juga mendengar kalau EMP berhasil dinonaktifkan. Kulihat kamera lebah juga telah dikumpulkan lagi oleh Dani. Korban luka, termasuk Irfan, sudah dilarikan ke tempat pemulihan dan penjara rahasia.

Selang dua jam kemudian, kami menonton konferensi pers dari tempat rahasia bahwa kejadian di Semper Barat merupakan salah satu aksi penggerebekan gudang narkoba. Salut buat kepolisian karena sangat baik menutupi kasus ini.

Sayangnya aku dan Mas Hari masih terlampau shock akibat melihat inhuman yang wujudnya menyeramkan seperti tadi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang S.H.I.E.L.D. pun belum ada yang bisa dijawab.

Aku lebih memilih minum obat penenang yang dianjurkan agar bisa tidur.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
pertamax sebelum update

mantep updatenya om... seru n menegangkan ceritanya...
 
Terakhir diubah:
gagal dpet pertamax
pas deh bacaan sbelum tidur ini
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 25 (Mid Season Final)
Yasudahlah


POV Dani

Sekarang malem minggu, 18 Februari 2017. Dua hari lalu misi selesai dilaksanakan meski hasilnya di luar rencana. Sebuah EMP, beberapa alat produksi kristal terrigen dan sabu, jaket buatan hammer tech, dan data-data watchdog berhasil disita. Sayangnya, selain inhuman dalam pakaian jaket yang berhasil kami selamatkan, tidak ada siapa-siapa lagi di sana.

Siang ini kami kumpul berempat lagi di penthouse. Hari dan Sigit baru pulih dari shock setelah konseling seharian penuh. Sepertinya monster yang mereka lihat tepat di depan mata itu menyeramkan sekali.

“Sumpah, itu lebih serem daripada setannya Puri ya.” Kata Hari.
“Dibahas banget nih hari ini?” Kataku
“Banyak banget yang perlu dibahas.”
“Yaudah ntar tunggu Erna dateng dulu.”

Sigit terus menerus diam. Dia fokus membaca buku entah bahasa apa. Dia dari tadi gak bisa sedikit pun diganggu. Agak lama menunggu, akhirnya Erna dateng juga dengan tergesa-gesa.

“Sorry telat, macet banget. Manggungnya jauh banget di Utara.”
“Cieeeee manggung pertama.” Gue memeluk Erna.
“Acara bocah euy.”
“Siapa suruh bikin lirik isinya sayuran semua?” Kata Hari.

Hari berkali-kali ngeledek Bryophyte yang punya banyak lirik tentang tumbuhan hijau dan konservasi alam. Karena koneksi dan promosi yang gencar dilakukan Anwar, band mereka jadi terkenal di kalangan kegiatan serupa, termasuk acara anak-anak.

“Namanya juga kampanye konservasi yeee.” Erna melet.
“Dibawakannya rambutan, pisang, dan sayur mayur segala rupaaa~” Hari terus ngeledek.
“Bodo. Gue haus nih.” Erna kesel juga kahirnya.
“Minum dulu gih di kulkas, Na. Abis itu kita mulai.” Gue nunjuk ke kulkas.

Kami kembali membentuk lingkaran. Laporan pertama disampaikan Hari terlebih dulu.
“Guys, gue dapet laporan dari markas. Irfan bener kita tangkep kemarin...”
“YESS!” Erna nyeletuk.
“Santai dulu napa.” Hari ngedumel.

Hari melanjutkan laporannya. Selain Irfan, kami berhasil membebaskan tiga inhuman yang dimanfaatkan sebagai martir dalam baju baja itu. Pabrik sabu plus terrigen juga sudah dimusnahkan. Lalu, ternyata ada info dari markas kalau watchdog yang ada di eropa juga punya sistem produksi terrigen itu.

Salah satu senator di Amerika yang anti-inhuman juga menjadi korban pembelotan kelompok watchdog. Mereka lebih berhasil membuat kirstal terrigen murni yang gak bahaya buat manusia biasa, tapi langsung berpengaruh buat yang punya gen inhuman.

“Jadi, kayanya cabangnya di Indonesia sama di pusatnya juga ada masalah ya.” Gue berpendapat.
“Yap, dan info baru, pimpinan yang di pusat sana udah kalah. Coba tebak sama siapa?” kata Hari.
“Quake?” Erna nebak.
“Yes.”

Watchdog sepertinya udah kalah sekarang. Kami jadi lebih tenang, dan misi kembali seperti sedia kala. Cukup mencari inhuman yang baru mengalami terrigenesis untuk diamankan. Itu kesimpulan gue.

“Nah, sekarang berita buruknya.” Kata Hari.
“Apaan?”
“Pertama. Markas besar lagi berantakan sekarang.”
“AH MASA??”

Kami semua kaget bersamaan.

“Android lagi?” Tanya Gue.
“Tepatnya LMD. Untungnya Irfan ditahan bukan di markas besar. Ntar gue hubungin Lina deh.”
"Kedua?"
“Kedua. Gini... Buat Erna sama Dani, mungkin kalian gak jelas apa yang terjadi ada di dalam gudang. Tapi, dari lima orang yang diduga inhuman hasil prediksi Sigit. Dua di antaranya di luar dugaan kita.” Hari menjelaskan.

Kata Hari, satu orang inhuman bukan berwujud manusia. Sigit menggambarkan wujudnya mirip makhluk di film Jeepers Creepers. Jelas proses terrigenesisnya sampai merubah bentuk manusianya, tapi Hari sama Sigit bilang dia sangat sangat sangat kuat dari inhuman yang pernah kita lihat. Bahkan, lebih kuat dari ibunya Hari sendiri yang bisa membentuk tulang luar.

Kemudian, seorang lagi bukanlah inhuman, melainkan penyihir seperti Sigit.

“Sigit lebih paham untuk jelasin bagian ini kayanya.” Kata Hari.

Sigit menutup buku bacaanya, lalu menghela nafas sekali.

“Oke, mas, mbak, yang kita hadapi nanti bisa jadi lebih di luar nalar kita. Saya kemarin ke Kamar Taj untuk konsultasi sama Master Hamir. Terus saya dapet info, jadi, penyihir yang kaya saya itu namanya Alan, orang Inggris.”

Gue mendengarkan dengan seksama.

“Alan Walker?” Erna nyeletuk lagi.
“Alan Chandler, Mbak.” Sigit ngejawab.
“Elu kenapa deh, happy banget dari tadi.” Hari kesel sendiri.
“Seneng dong, punya misi ternyata seru.”
“Freak.” Hari ngelempar bantal sofa.
“Biarin.”

Sigit melanjutkan penjelasannya. Namanya Alan Chandler. Alan ini temen seumurannya dia yang juga belajar di Kamar Taj. Setelah Ancient One meninggal, dia termasuk yang mengikuti pahamnya Mordo, tapi Mordo sendiri gak butuh pengikut. Jadi Alan bergerak sendiri dari bawah tanah.

Sigit menjelaskan juga kekuatan Alan melampaui kemampuan inhumannya Erna dan Hari. Jadi, kalau harus bertarung, biar Sigit yang harus berhadapan sama Alan ini katanya.

“Alan ini lebih pinter dari saya. Kemungkinan besar, dia yang nutupin pandangan saya ke dalam gudang kemarin malam.”

Gue sebagai notulen mulai menulis bahwa ada dua potensi ancaman baru. Sebut saja Alan dan si Jeepers Creepers. Kedua orang ini sama sekali gak tau ada di belahan dunia mana. Lalu, terkait potensi ancaman, kedua-duanya juga berbahaya. Masalah lainnya, kami juga lagi gak bisa meminta apapun ke markas karena masalah android di sana belum selesai. Jadi, sekarang tergantung kami berempat.

“Jadi, kita harus mulai dari mana?” Gue nanya.
“Kalo Alan, kita cuma bisa nunggu, Mbak Dani. Apalagi terakhir saya lihat dia bareng watchdog dengan kesadaran penuh. Biar penthouse ini saya barrier aja.”

Gue tulis ulang, Watchdog belum kalah.

“Apa hubungannya watchdog sama Alan?” Kata Gue.
“Nah, itu kayanya kita bisa cari tau deh.” Jawab Hari.
“Caranya?”
“Biar gue ketemu Lina ntar cari buat info dari Irfan.” Jawab Hari.

Laporan selesai dengan info-info tadi. Gue mulai menyimpulkan hasil laporan hari ini.

“Pertama, watchdog udah melemah, Irfan ditangkap. Kedua, lima sandera pemakai jaket udah selamat, tapi dua orang diantaranya diluar ekpektasi kita. Salah satunya inhuman super kuat, dan yang lainnya mengarahkan kita ke perselisihan antar penyihir.” Rangkum gue.

Sebelum ditutup, Erna nyamber.

“Terus PR kita apa?” Kata Erna.
“Hmmm..” gue baru kepikiran.
“Sihir menyihir urusan saya aja, mbak.” Kata Sigit.
“Watchdog sama Irfan urusan gue kalo gitu.” Hari nambahin.

Semua ngangguk.

“Berarti gue coba mantau-mantau aja ya.” Kata Erna.
“Oke.. laporan selesai nih ya.” Kata Hari.
“Lah, terus gue ngapain?” Gue bingung sendiri.
“Lu fokus nyembuhin diri dulu aja, Dan.” Kata Hari Lagi.
“Hemmm.. Sip deh.” Jawab gue.

Kemudian gak ada yang nambahin bicara lagi. Sigit terus-terusan fokus ngebaca bukunya.

“Nah, sekaraaaaang...” Hari membuka tasnya.

Hari mengeluarkan map coklat besar dan tebal dari dalam tasnya. Perlahan dia membuka segel dan menghamburkan isinya begitu saja ke lantai. Ternyata ada empat amplop lagi dengan ukuran lebih kecil. Di segelnya masing-masing ada nama kami berempat.

Hari membuka miliknya duluan. Kami semua ikut mengintip.

“Anjir!” Hari kaget sendiri.
“Wanjir!” Gue ikut kaget.

Erna sama Sigit cukup bisa nahan diri dari ngomong jorok. Rupanya ssi amplop itu adalah duit dengan mata uang rupiah. Jumlahnya banyak sekali.

“Segepok.” Gumam gue.
“Honor nih?” Erna baru bicara.
“Iya, tapi gue kira gak sebanyak ini.” Kata Hari.
“Kenapa gak ditransfer aja?” Gue heran.
”Kata mereka bahaya kalo dari sembarang bank.”

Gue ngangguk-ngangguk.

“Wah gak perlu ngeband lagi lah gue kalo gini.” Erna ngomong lagi.
“Weeeeey enak banget ngomongnya. Kasian tuh Anwar hahaha.”

Erna, sekalinya ngomong terakhir ternyata penuh emosi. Sebagian kecil uang ini akhirnya kami pakai makan-makan malam ini. Beli pizza, minuman soda, roti, martabak, dan air putih pastinya. Sisa uangnya mau dikemanain pikirin besok.

Usai makan, Sigit kembali fokus membaca bukunya sendiri sambil nyender di sofa, sedangkan Hari sama Erna sibuk main PES. Gue terlalu bosan mencoba fitur berbagai alat S.H.I.E.L.D. di penthouse ini, apalagi udah malem, gak baik kerja terus.

Jadinya gue nyoba gangguin Sigit aja.

“Git, tangkep!” Gue ngelempar bantal sofa.

Dia terlalu kaget, jadinya bantal itu dengan telak kena pipi sebelah kirinya. Gue beralih ngambil sepotong pizza terakhir dari satu kotak.

“Aduh, mbak, gangguin aja deh.” Dia bete.
“Yaelah, Git, santai aja kali.”
“Aku harus selesain buku ini dulu mbak.”
“Buku apaan sih? Tulisannya aneh gitu kaya bahasa India.” Gue ikut
“Judulnya proyeksi astral...”
“GOOOOLL!!” Hari teriak sambil ngeledek Erna.
“Berisik woy!” Gue kesel.

Sigit menjelaskan kalau buku adalah untuk mempelajari mengendalikan arwah agar bisa keluar dari tubuh. Sigit menjelaskan segala hal yang akhirnya gak sama sekali gue ngerti.

“Hii, ngeri ya.” Gue merinding.
“Ya gitu, mbak.” Jawaban yang datar.
“Alan itu kuat banget ya?”
“Ya kuat, ya pinter. Lebih semua deh daripada saya.”
“Kalian musuh?”

Sigit menoleh ke gue. Gue ngebuka kotak pizza baru, terus ngambil sepotong lagi.

“Semua orang yang datang ke Kamar Taj itu dalam kondisi sakit, mbak. Termasuk saya, Alan, semuanya lah pokoknya. Kami semua temen, gak boleh ada bullying. Akhirnya, saya kenal Alan. Dia dari awal lebih pinter daripada saya. Dia mau belajar, mau baca.” Sigit mulai cerita.

Gue sibuk ngunyah, sambil nanya “Orang pinter kok gitu?”

“Alan masih muda, sama kaya saya. Dia juga lebih ekspresif, jadi apapun yang dia anggap benar pertama kali, itulah yang bener selamanya.”
“Si Mordo Mordo itu?”

Sigit tampak menimbang-nimbang sebelum lanjut cerita.

“Yah.. kata Master Hamir akhirnya dia ikut pahamnya Mordo. Tapi, kaya yang saya ceritain pas laporan tadi. Mordo gak butuh pengikut. Alan pun juga gak sampai lebih kuat dari para Master, akhirnya dia menghilang. Saya bahkan gak nyangka ketemu dia lagi kemarin.”

Pandangannya Sigit mulai kosong. Dia melamun.

“Terus?”

“Alan itu temen saya. Gak deket banget sih, tapi saya lebih sering makan bareng sama dia daripada temen yang lain.”
“Oke, gue ngerti.”
“Alan sebenernya bisa aja dikalahin sama salah satu master kita. Tapi katanya dia lagi gak di bumi.”
“Anjir! Bisa gitu?”
“Bisa, kayanya dia lagi bantuin Thor. Entahlah, saya gak ngerti.”

Oh my.. bawa-bawa nama Thor segala! Gue aja belum pernah ngeliat Thor secara langsung.

“Udah ya mbak, saya mau baca lagi.”

Sigit tenggelam lagi dalam keseriusan baca bukunya. Gue jadi segan untuk gangguin dia untuk kedua kalinya. Gue kembali memilih lanjut makan.

---

POV Hari

Sekarang jam 12 malam lebih. Sigit barusan pulang ke rumah pake portalnya, sedangkan Erna ketiduran di atas karpet depan Laptop bekas kami main tadi. Dani dan gue bahkan gak sanggup bangunin dia untuk nyuruh pindah ke kamar, kayanya Erna mirip-mirip kebo gitu.

Pizza udah abis, roti sama air putih disisain buat sarapan, malam ini hanya tersisa martabak dan beberapa botol minuman ringan bersoda yang siap sedia untuk dihabiskan. Gue sama Dani duduk di sofa, mencoba menghabiskan sisa martabak yang tersisa ini.

“Sigit bungkus ini juga kan tadi ya?” Tanya Dani.
“Bawa separo kok tadi dia.”
“Tanggung nih, tinggal dikit.” Dani ngunyah lagi.

Kekalapan Dani soal makanan tetep gak berubah meski pun sistem hormonnya udah diacak-acak. Di tengah obrolan kami, ada satu hal yang mau gue tanya. Tapi sampe momen ini gue bingung gimana mulainya.

“Obat lancar, Dan?” Gue mencari celah bertanya.
“Lancar kok.”
“Oh...”

Hening, cuma kedengeran suara kunyahan.

“Enak nih.” Gue nunjuk martabak.
“Udah berapa kali ya lu ngomong gitu, Kenapa sih lu?”
“Nggak, gapapa hahaha.”

Hening... Suara kunyahan lagi.. Gue cuma bisa melihat-lihat ke sekeliling kamar.

“Lu mau nanya soal gue sama Eda? Tanya aja kali.” Dani langsung nembak.
“Ha?”
“Ha ho ha ho. Tanya aja kali, Har.”

Gue mikir sebentar, memikirkan kata-kata yang pas.

“Dan, lu... sama Eda... gimana? Kelanjutannya?”
“It’s over.” Dani jawab simpel.
“How could?”
“Terakhir gue kontak dia ya pas di kos gue itu, pas mau ke rumah lu.”
“Ya ampun, yang wa itu?”

Gue garuk-garuk kepala. Sesepele itu kah Dani menyelesaikan masalah? Lewat wa, teks, kelar. Gak mungkin banget, sangat sangat kontradiksi sama keintiman mereka selama dua tahun .

“Gak coba ngomong langsung gitu?” Gue nanya lagi.
“Nope.” Dani geleng-geleng.
“Terus?”
“Ya dia sempet bales sih besoknya. Langsung gue apus, gak gue baca.”
“Gila lu ye.”
“Apalagi sih yang mesti dijelasin?” Nada bicara Dani meninggi.

Harus banget nih gue jelasin ke Dani pake logika laki-laki.

“Dan, Eda sama Kak Rivin kak sama-sama lagi ada perubahan hormon, jelas kan sama labilnya. Gue abis minta obat lagi sama markas tadi siang. Besok gue mau ke apartemennya Eda ngasih obat juga yang sama kaya lu. Ikut?”

Dani mengangkat bahunya.

“Har, emang bener kata lu hormon kita udah diacak-acak, terus kita jadi lebih labil. Tapi perilaku kita sama sekali natural, Har. Cuma bedanya kita jadi lebih ekspresif gara-gara hormon yang berlebih itu. Searang, lu tau kan sebenernya kelakuan Kak Rivin sama Eda udah kelihatan kaya gimana. So...”

Mata Dani melirik ke arah lain dan mengangguk. Jelas itu kode untuk mengatakan, “ya begini lah jadinya.” Oke, gue menghargai keputusan Dani. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal buat gue.

“Tapi, nanti ke Malang kita apa gak jadi awkward, Dan?” Ini intinya.
“Biarin aja. Ntar gue main sama kalian-kalian aja.”

Yaudahlah. Kami lanjut memakan yang masih sanggup dimakan malam ini.

---

POV Jamet.

Sabtu, 18 Februari 2017, jam 9 malam.

“Udah nih, lek, yang terakhir.”

Aku lagi bicara sama pakle. Dia masih menyusun barang-barangku di dalam box mobil. Kami bertiga baru saja selesai mengurusi barang-barang beratku yang akan dibawa lagi ke Malang. Bertiga. Gue, Pakle, dan Jennifer. Ya, Jennifer bantuin gue packing lagi Hari ini.

“Wis nih, ya?” Tanya pakle.
“Wis. Udah.”
“Yaudah, lek langsung jalan ya.”
“Beneran gak mau jalan besok aja? Nginep dulu.” Tanyaku.
“Ora lah, udah biasa jadi supir malam.”

Tentu saja lek bukan supir malam betulan. Beliau cuma disuruh ibu untuk membawa barang-barangku dari Jakarta lebih awal. Tentunya dengan uang jajan yang menggiurkan, makanya lek setuju.

“Yowis, hati-hati.” Kataku.

Aku dan Jennifer salam dengan lek, lalu beliau masuk ke bangku sopir. Mesin mobil boxnya dinyalakan, lalu perlahan menjauh dari depan kostanku. Setelah mobil box itu menghilang dari pandangan, kami berdua kembali ke kamarku.

Aku memandangi ruangan 6x4 meter yang kini terasa lebih luas. Satu buah lemari, satu buffet, rak buku, dan segala macam isinya sudah dikeluarkan. Di kamar sekarang hanya tersisa 2 buah ransel milikku, satu koper berisi baju yang akan kupakai dua hari kedepan, dan satu tas Jennifer. Selain itu, hanya ada kasur dan meja belajar yang merupakan properti asli dari kost.

“Minum, Je?” Aku menawarkan minum.
“Boleh. Makasih.”

Aku menuangkan dua gelas air putih dari galon yang sudah ditinggal dispensernya. Lalu, menyodorkan salah satu gelas kepada Jennifer.

“Harusnya aku yang bilang makasih udah bantuin.” Kataku.
“Hahaha. Capek gak?” Tanya Jennifer.
“Banget.”
“Sama.”

Aku bengong sendiri memandangi ruangan. Ruangan kamar ini yang akan gue tinggalkan dua hari lagi. Banyak cerita di sini selama 9 semester kuliah. Ramenya Hari dan isengnya Eda sama Dani. Belom lagi anak-anak yang lain kalo lagi mampir ke sini. Pokoknya gak kerasa akan aku tinggalkan ruangan ini sebentar lagi.

“Aku mandi dulu ya, gerah parah.”

Aku mengibaskan baju, lalu berjalan mengambil handuk. Untungnya kamar mandiku ada di dalam, jadi gak sampai ganggu penghuni lain.

“Gantian ya abis itu. Gue sekalian tidur di sini deh. Boleh kan?” Tanya Jennifer
“Ngapain??” Aku kaget.
“Capek, Met. Tega kalo gue kecelakaan ntar?”

Begitu perdebatan kecil selesai di mana akhirnya gue mengalah, Jennifer mengecek mobilnya sebentar. Kemudian, dia menutup dan mengunci pintu kamarku dari dalam. Nyamuk jadi alasannya.

Yaudahlah.

“Tapi jangan macem-macem ya, bu.”
“Harusnya gue yang ngomong gitu kali, Met.”

---

POV Kenia

Minggu, 19 Februari 2017, pagi hari.

Aku sange lagi. Buru-buru aku membuka lemari untuk mengambil dildo dari balik tumpukan baju. Begitu dildo sudah di tangan, sesosok tangan hitam mengambil dildo itu.

Aku menoleh ke arahnya. Kepada sosok bayangan hitam bisu yang dulu pernah menculikku. Bang Hari dan kawan-kawannya sering menyebutnya si Setan. Dia menggoyangkan jari telunjuk tangan kanannya sebagai tanda kepadaku supaya gak boleh main-main sama dildo.

“Kok gak boleh sih?”

Dia lalu mengambil sekotak obat penenang yang serupa dengan punya Kak Dani. Dia menyuruhku untuk meminumnya, lalu menunjuk ke arah kalender. Aku diingatkan hari ini sudah jadwalnya aku minum obat.

“Kak Puri jahat ih, kemarin kemarin kan kakak yang bantuin beli ini.”

Dia bertolak pinggang. Dengan malas aku meminum obat ini. Yasudahlah.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Ernawati



Jennifer



Kenia Dwi Lasya
 
Terakhir diubah:
Eaa heran kan. Saya kasih clue deh. Coba diinget apa yang terjadi di menara saidah episode 10.

Nah, ini pengumumannya:

1. Sesuai judul tambahan di episode 25, ini adalah akhir tengah musim. Ditandai Irfan ketangkep. Tentu dengan ada masalah lain karena cerita belum tamat.

2. Saya hiatus dulu ya om om semua. Cuma seminggu, gak lama. Episode 26 update tanggal 7 Maret. Saya mau semedi nambahin stock tulisan per episode dulu hahaha. Stock tulisan menipis nih, skenario besarnya sampe tamat baru tahap kerangka tulisan tangan.

Sooo, cerita ini udah ada skenario tamatnya kok. Tunggu aja tanggal mainnya. Q&A dipersilahkan di komen, tapi dilarang minta bocoran dan bawa2 isu SARA ya hehehe.

Salam.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd