Episode 25 (Mid Season Final)
Yasudahlah
POV Dani
Sekarang malem minggu, 18 Februari 2017. Dua hari lalu misi selesai dilaksanakan meski hasilnya di luar rencana. Sebuah EMP, beberapa alat produksi kristal terrigen dan sabu, jaket buatan hammer tech, dan data-data watchdog berhasil disita. Sayangnya, selain inhuman dalam pakaian jaket yang berhasil kami selamatkan, tidak ada siapa-siapa lagi di sana.
Siang ini kami kumpul berempat lagi di penthouse. Hari dan Sigit baru pulih dari shock setelah konseling seharian penuh. Sepertinya monster yang mereka lihat tepat di depan mata itu menyeramkan sekali.
“Sumpah, itu lebih serem daripada setannya Puri ya.” Kata Hari.
“Dibahas banget nih hari ini?” Kataku
“Banyak banget yang perlu dibahas.”
“Yaudah ntar tunggu Erna dateng dulu.”
Sigit terus menerus diam. Dia fokus membaca buku entah bahasa apa. Dia dari tadi gak bisa sedikit pun diganggu. Agak lama menunggu, akhirnya Erna dateng juga dengan tergesa-gesa.
“Sorry telat, macet banget. Manggungnya jauh banget di Utara.”
“Cieeeee manggung pertama.” Gue memeluk Erna.
“Acara bocah euy.”
“Siapa suruh bikin lirik isinya sayuran semua?” Kata Hari.
Hari berkali-kali ngeledek Bryophyte yang punya banyak lirik tentang tumbuhan hijau dan konservasi alam. Karena koneksi dan promosi yang gencar dilakukan Anwar, band mereka jadi terkenal di kalangan kegiatan serupa, termasuk acara anak-anak.
“Namanya juga kampanye konservasi yeee.” Erna melet.
“Dibawakannya rambutan, pisang, dan sayur mayur segala rupaaa~” Hari terus ngeledek.
“Bodo. Gue haus nih.” Erna kesel juga kahirnya.
“Minum dulu gih di kulkas, Na. Abis itu kita mulai.” Gue nunjuk ke kulkas.
Kami kembali membentuk lingkaran. Laporan pertama disampaikan Hari terlebih dulu.
“Guys, gue dapet laporan dari markas. Irfan bener kita tangkep kemarin...”
“YESS!” Erna nyeletuk.
“Santai dulu napa.” Hari ngedumel.
Hari melanjutkan laporannya. Selain Irfan, kami berhasil membebaskan tiga inhuman yang dimanfaatkan sebagai martir dalam baju baja itu. Pabrik sabu plus terrigen juga sudah dimusnahkan. Lalu, ternyata ada info dari markas kalau watchdog yang ada di eropa juga punya sistem produksi terrigen itu.
Salah satu senator di Amerika yang anti-inhuman juga menjadi korban pembelotan kelompok watchdog. Mereka lebih berhasil membuat kirstal terrigen murni yang gak bahaya buat manusia biasa, tapi langsung berpengaruh buat yang punya gen inhuman.
“Jadi, kayanya cabangnya di Indonesia sama di pusatnya juga ada masalah ya.” Gue berpendapat.
“Yap, dan info baru, pimpinan yang di pusat sana udah kalah. Coba tebak sama siapa?” kata Hari.
“Quake?” Erna nebak.
“Yes.”
Watchdog sepertinya udah kalah sekarang. Kami jadi lebih tenang, dan misi kembali seperti sedia kala. Cukup mencari inhuman yang baru mengalami terrigenesis untuk diamankan. Itu kesimpulan gue.
“Nah, sekarang berita buruknya.” Kata Hari.
“Apaan?”
“Pertama. Markas besar lagi berantakan sekarang.”
“AH MASA??”
Kami semua kaget bersamaan.
“Android lagi?” Tanya Gue.
“Tepatnya LMD. Untungnya Irfan ditahan bukan di markas besar. Ntar gue hubungin Lina deh.”
"Kedua?"
“Kedua. Gini... Buat Erna sama Dani, mungkin kalian gak jelas apa yang terjadi ada di dalam gudang. Tapi, dari lima orang yang diduga inhuman hasil prediksi Sigit. Dua di antaranya di luar dugaan kita.” Hari menjelaskan.
Kata Hari, satu orang inhuman bukan berwujud manusia. Sigit menggambarkan wujudnya mirip makhluk di film Jeepers Creepers. Jelas proses terrigenesisnya sampai merubah bentuk manusianya, tapi Hari sama Sigit bilang dia sangat sangat sangat kuat dari inhuman yang pernah kita lihat. Bahkan, lebih kuat dari ibunya Hari sendiri yang bisa membentuk tulang luar.
Kemudian, seorang lagi bukanlah inhuman, melainkan penyihir seperti Sigit.
“Sigit lebih paham untuk jelasin bagian ini kayanya.” Kata Hari.
Sigit menutup buku bacaanya, lalu menghela nafas sekali.
“Oke, mas, mbak, yang kita hadapi nanti bisa jadi lebih di luar nalar kita. Saya kemarin ke Kamar Taj untuk konsultasi sama Master Hamir. Terus saya dapet info, jadi, penyihir yang kaya saya itu namanya Alan, orang Inggris.”
Gue mendengarkan dengan seksama.
“Alan Walker?” Erna nyeletuk lagi.
“Alan Chandler, Mbak.” Sigit ngejawab.
“Elu kenapa deh, happy banget dari tadi.” Hari kesel sendiri.
“Seneng dong, punya misi ternyata seru.”
“Freak.” Hari ngelempar bantal sofa.
“Biarin.”
Sigit melanjutkan penjelasannya. Namanya Alan Chandler. Alan ini temen seumurannya dia yang juga belajar di Kamar Taj. Setelah Ancient One meninggal, dia termasuk yang mengikuti pahamnya Mordo, tapi Mordo sendiri gak butuh pengikut. Jadi Alan bergerak sendiri dari bawah tanah.
Sigit menjelaskan juga kekuatan Alan melampaui kemampuan inhumannya Erna dan Hari. Jadi, kalau harus bertarung, biar Sigit yang harus berhadapan sama Alan ini katanya.
“Alan ini lebih pinter dari saya. Kemungkinan besar, dia yang nutupin pandangan saya ke dalam gudang kemarin malam.”
Gue sebagai notulen mulai menulis bahwa ada dua potensi ancaman baru. Sebut saja Alan dan si Jeepers Creepers. Kedua orang ini sama sekali gak tau ada di belahan dunia mana. Lalu, terkait potensi ancaman, kedua-duanya juga berbahaya. Masalah lainnya, kami juga lagi gak bisa meminta apapun ke markas karena masalah android di sana belum selesai. Jadi, sekarang tergantung kami berempat.
“Jadi, kita harus mulai dari mana?” Gue nanya.
“Kalo Alan, kita cuma bisa nunggu, Mbak Dani. Apalagi terakhir saya lihat dia bareng watchdog dengan kesadaran penuh. Biar penthouse ini saya barrier aja.”
Gue tulis ulang, Watchdog belum kalah.
“Apa hubungannya watchdog sama Alan?” Kata Gue.
“Nah, itu kayanya kita bisa cari tau deh.” Jawab Hari.
“Caranya?”
“Biar gue ketemu Lina ntar cari buat info dari Irfan.” Jawab Hari.
Laporan selesai dengan info-info tadi. Gue mulai menyimpulkan hasil laporan hari ini.
“Pertama, watchdog udah melemah, Irfan ditangkap. Kedua, lima sandera pemakai jaket udah selamat, tapi dua orang diantaranya diluar ekpektasi kita. Salah satunya inhuman super kuat, dan yang lainnya mengarahkan kita ke perselisihan antar penyihir.” Rangkum gue.
Sebelum ditutup, Erna nyamber.
“Terus PR kita apa?” Kata Erna.
“Hmmm..” gue baru kepikiran.
“Sihir menyihir urusan saya aja, mbak.” Kata Sigit.
“Watchdog sama Irfan urusan gue kalo gitu.” Hari nambahin.
Semua ngangguk.
“Berarti gue coba mantau-mantau aja ya.” Kata Erna.
“Oke.. laporan selesai nih ya.” Kata Hari.
“Lah, terus gue ngapain?” Gue bingung sendiri.
“Lu fokus nyembuhin diri dulu aja, Dan.” Kata Hari Lagi.
“Hemmm.. Sip deh.” Jawab gue.
Kemudian gak ada yang nambahin bicara lagi. Sigit terus-terusan fokus ngebaca bukunya.
“Nah, sekaraaaaang...” Hari membuka tasnya.
Hari mengeluarkan map coklat besar dan tebal dari dalam tasnya. Perlahan dia membuka segel dan menghamburkan isinya begitu saja ke lantai. Ternyata ada empat amplop lagi dengan ukuran lebih kecil. Di segelnya masing-masing ada nama kami berempat.
Hari membuka miliknya duluan. Kami semua ikut mengintip.
“Anjir!” Hari kaget sendiri.
“Wanjir!” Gue ikut kaget.
Erna sama Sigit cukup bisa nahan diri dari ngomong jorok. Rupanya ssi amplop itu adalah duit dengan mata uang rupiah. Jumlahnya banyak sekali.
“Segepok.” Gumam gue.
“Honor nih?” Erna baru bicara.
“Iya, tapi gue kira gak sebanyak ini.” Kata Hari.
“Kenapa gak ditransfer aja?” Gue heran.
”Kata mereka bahaya kalo dari sembarang bank.”
Gue ngangguk-ngangguk.
“Wah gak perlu ngeband lagi lah gue kalo gini.” Erna ngomong lagi.
“Weeeeey enak banget ngomongnya. Kasian tuh Anwar hahaha.”
Erna, sekalinya ngomong terakhir ternyata penuh emosi. Sebagian kecil uang ini akhirnya kami pakai makan-makan malam ini. Beli pizza, minuman soda, roti, martabak, dan air putih pastinya. Sisa uangnya mau dikemanain pikirin besok.
Usai makan, Sigit kembali fokus membaca bukunya sendiri sambil nyender di sofa, sedangkan Hari sama Erna sibuk main PES. Gue terlalu bosan mencoba fitur berbagai alat S.H.I.E.L.D. di penthouse ini, apalagi udah malem, gak baik kerja terus.
Jadinya gue nyoba gangguin Sigit aja.
“Git, tangkep!” Gue ngelempar bantal sofa.
Dia terlalu kaget, jadinya bantal itu dengan telak kena pipi sebelah kirinya. Gue beralih ngambil sepotong pizza terakhir dari satu kotak.
“Aduh, mbak, gangguin aja deh.” Dia bete.
“Yaelah, Git, santai aja kali.”
“Aku harus selesain buku ini dulu mbak.”
“Buku apaan sih? Tulisannya aneh gitu kaya bahasa India.” Gue ikut
“Judulnya proyeksi astral...”
“GOOOOLL!!” Hari teriak sambil ngeledek Erna.
“Berisik woy!” Gue kesel.
Sigit menjelaskan kalau buku adalah untuk mempelajari mengendalikan arwah agar bisa keluar dari tubuh. Sigit menjelaskan segala hal yang akhirnya gak sama sekali gue ngerti.
“Hii, ngeri ya.” Gue merinding.
“Ya gitu, mbak.” Jawaban yang datar.
“Alan itu kuat banget ya?”
“Ya kuat, ya pinter. Lebih semua deh daripada saya.”
“Kalian musuh?”
Sigit menoleh ke gue. Gue ngebuka kotak pizza baru, terus ngambil sepotong lagi.
“Semua orang yang datang ke Kamar Taj itu dalam kondisi sakit, mbak. Termasuk saya, Alan, semuanya lah pokoknya. Kami semua temen, gak boleh ada bullying. Akhirnya, saya kenal Alan. Dia dari awal lebih pinter daripada saya. Dia mau belajar, mau baca.” Sigit mulai cerita.
Gue sibuk ngunyah, sambil nanya “Orang pinter kok gitu?”
“Alan masih muda, sama kaya saya. Dia juga lebih ekspresif, jadi apapun yang dia anggap benar pertama kali, itulah yang bener selamanya.”
“Si Mordo Mordo itu?”
Sigit tampak menimbang-nimbang sebelum lanjut cerita.
“Yah.. kata Master Hamir akhirnya dia ikut pahamnya Mordo. Tapi, kaya yang saya ceritain pas laporan tadi. Mordo gak butuh pengikut. Alan pun juga gak sampai lebih kuat dari para Master, akhirnya dia menghilang. Saya bahkan gak nyangka ketemu dia lagi kemarin.”
Pandangannya Sigit mulai kosong. Dia melamun.
“Terus?”
“Alan itu temen saya. Gak deket banget sih, tapi saya lebih sering makan bareng sama dia daripada temen yang lain.”
“Oke, gue ngerti.”
“Alan sebenernya bisa aja dikalahin sama salah satu master kita. Tapi katanya dia lagi gak di bumi.”
“Anjir! Bisa gitu?”
“Bisa, kayanya dia lagi bantuin Thor. Entahlah, saya gak ngerti.”
Oh my.. bawa-bawa nama Thor segala! Gue aja belum pernah ngeliat Thor secara langsung.
“Udah ya mbak, saya mau baca lagi.”
Sigit tenggelam lagi dalam keseriusan baca bukunya. Gue jadi segan untuk gangguin dia untuk kedua kalinya. Gue kembali memilih lanjut makan.
---
POV Hari
Sekarang jam 12 malam lebih. Sigit barusan pulang ke rumah pake portalnya, sedangkan Erna ketiduran di atas karpet depan Laptop bekas kami main tadi. Dani dan gue bahkan gak sanggup bangunin dia untuk nyuruh pindah ke kamar, kayanya Erna mirip-mirip kebo gitu.
Pizza udah abis, roti sama air putih disisain buat sarapan, malam ini hanya tersisa martabak dan beberapa botol minuman ringan bersoda yang siap sedia untuk dihabiskan. Gue sama Dani duduk di sofa, mencoba menghabiskan sisa martabak yang tersisa ini.
“Sigit bungkus ini juga kan tadi ya?” Tanya Dani.
“Bawa separo kok tadi dia.”
“Tanggung nih, tinggal dikit.” Dani ngunyah lagi.
Kekalapan Dani soal makanan tetep gak berubah meski pun sistem hormonnya udah diacak-acak. Di tengah obrolan kami, ada satu hal yang mau gue tanya. Tapi sampe momen ini gue bingung gimana mulainya.
“Obat lancar, Dan?” Gue mencari celah bertanya.
“Lancar kok.”
“Oh...”
Hening, cuma kedengeran suara kunyahan.
“Enak nih.” Gue nunjuk martabak.
“Udah berapa kali ya lu ngomong gitu, Kenapa sih lu?”
“Nggak, gapapa hahaha.”
Hening... Suara kunyahan lagi.. Gue cuma bisa melihat-lihat ke sekeliling kamar.
“Lu mau nanya soal gue sama Eda? Tanya aja kali.” Dani langsung nembak.
“Ha?”
“Ha ho ha ho. Tanya aja kali, Har.”
Gue mikir sebentar, memikirkan kata-kata yang pas.
“Dan, lu... sama Eda... gimana? Kelanjutannya?”
“It’s over.” Dani jawab simpel.
“How could?”
“Terakhir gue kontak dia ya pas di kos gue itu, pas mau ke rumah lu.”
“Ya ampun, yang wa itu?”
Gue garuk-garuk kepala. Sesepele itu kah Dani menyelesaikan masalah? Lewat wa, teks, kelar. Gak mungkin banget, sangat sangat kontradiksi sama keintiman mereka selama dua tahun .
“Gak coba ngomong langsung gitu?” Gue nanya lagi.
“Nope.” Dani geleng-geleng.
“Terus?”
“Ya dia sempet bales sih besoknya. Langsung gue apus, gak gue baca.”
“Gila lu ye.”
“Apalagi sih yang mesti dijelasin?” Nada bicara Dani meninggi.
Harus banget nih gue jelasin ke Dani pake logika laki-laki.
“Dan, Eda sama Kak Rivin kak sama-sama lagi ada perubahan hormon, jelas kan sama labilnya. Gue abis minta obat lagi sama markas tadi siang. Besok gue mau ke apartemennya Eda ngasih obat juga yang sama kaya lu. Ikut?”
Dani mengangkat bahunya.
“Har, emang bener kata lu hormon kita udah diacak-acak, terus kita jadi lebih labil. Tapi perilaku kita sama sekali natural, Har. Cuma bedanya kita jadi lebih ekspresif gara-gara hormon yang berlebih itu. Searang, lu tau kan sebenernya kelakuan Kak Rivin sama Eda udah kelihatan kaya gimana. So...”
Mata Dani melirik ke arah lain dan mengangguk. Jelas itu kode untuk mengatakan, “ya begini lah jadinya.” Oke, gue menghargai keputusan Dani. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal buat gue.
“Tapi, nanti ke Malang kita apa gak jadi awkward, Dan?” Ini intinya.
“Biarin aja. Ntar gue main sama kalian-kalian aja.”
Yaudahlah. Kami lanjut memakan yang masih sanggup dimakan malam ini.
---
POV Jamet.
Sabtu, 18 Februari 2017, jam 9 malam.
“Udah nih, lek, yang terakhir.”
Aku lagi bicara sama pakle. Dia masih menyusun barang-barangku di dalam box mobil. Kami bertiga baru saja selesai mengurusi barang-barang beratku yang akan dibawa lagi ke Malang. Bertiga. Gue, Pakle, dan Jennifer. Ya, Jennifer bantuin gue packing lagi Hari ini.
“Wis nih, ya?” Tanya pakle.
“Wis. Udah.”
“Yaudah, lek langsung jalan ya.”
“Beneran gak mau jalan besok aja? Nginep dulu.” Tanyaku.
“Ora lah, udah biasa jadi supir malam.”
Tentu saja lek bukan supir malam betulan. Beliau cuma disuruh ibu untuk membawa barang-barangku dari Jakarta lebih awal. Tentunya dengan uang jajan yang menggiurkan, makanya lek setuju.
“Yowis, hati-hati.” Kataku.
Aku dan Jennifer salam dengan lek, lalu beliau masuk ke bangku sopir. Mesin mobil boxnya dinyalakan, lalu perlahan menjauh dari depan kostanku. Setelah mobil box itu menghilang dari pandangan, kami berdua kembali ke kamarku.
Aku memandangi ruangan 6x4 meter yang kini terasa lebih luas. Satu buah lemari, satu buffet, rak buku, dan segala macam isinya sudah dikeluarkan. Di kamar sekarang hanya tersisa 2 buah ransel milikku, satu koper berisi baju yang akan kupakai dua hari kedepan, dan satu tas Jennifer. Selain itu, hanya ada kasur dan meja belajar yang merupakan properti asli dari kost.
“Minum, Je?” Aku menawarkan minum.
“Boleh. Makasih.”
Aku menuangkan dua gelas air putih dari galon yang sudah ditinggal dispensernya. Lalu, menyodorkan salah satu gelas kepada Jennifer.
“Harusnya aku yang bilang makasih udah bantuin.” Kataku.
“Hahaha. Capek gak?” Tanya Jennifer.
“Banget.”
“Sama.”
Aku bengong sendiri memandangi ruangan. Ruangan kamar ini yang akan gue tinggalkan dua hari lagi. Banyak cerita di sini selama 9 semester kuliah. Ramenya Hari dan isengnya Eda sama Dani. Belom lagi anak-anak yang lain kalo lagi mampir ke sini. Pokoknya gak kerasa akan aku tinggalkan ruangan ini sebentar lagi.
“Aku mandi dulu ya, gerah parah.”
Aku mengibaskan baju, lalu berjalan mengambil handuk. Untungnya kamar mandiku ada di dalam, jadi gak sampai ganggu penghuni lain.
“Gantian ya abis itu. Gue sekalian tidur di sini deh. Boleh kan?” Tanya Jennifer
“Ngapain??” Aku kaget.
“Capek, Met. Tega kalo gue kecelakaan ntar?”
Begitu perdebatan kecil selesai di mana akhirnya gue mengalah, Jennifer mengecek mobilnya sebentar. Kemudian, dia menutup dan mengunci pintu kamarku dari dalam. Nyamuk jadi alasannya.
Yaudahlah.
“Tapi jangan macem-macem ya, bu.”
“Harusnya gue yang ngomong gitu kali, Met.”
---
POV Kenia
Minggu, 19 Februari 2017, pagi hari.
Aku sange lagi. Buru-buru aku membuka lemari untuk mengambil dildo dari balik tumpukan baju. Begitu dildo sudah di tangan, sesosok tangan hitam mengambil dildo itu.
Aku menoleh ke arahnya. Kepada sosok bayangan hitam bisu yang dulu pernah menculikku. Bang Hari dan kawan-kawannya sering menyebutnya si Setan. Dia menggoyangkan jari telunjuk tangan kanannya sebagai tanda kepadaku supaya gak boleh main-main sama dildo.
“Kok gak boleh sih?”
Dia lalu mengambil sekotak obat penenang yang serupa dengan punya Kak Dani. Dia menyuruhku untuk meminumnya, lalu menunjuk ke arah kalender. Aku diingatkan hari ini sudah jadwalnya aku minum obat.
“Kak Puri jahat ih, kemarin kemarin kan kakak yang bantuin beli ini.”
Dia bertolak pinggang. Dengan malas aku meminum obat ini. Yasudahlah.
BERSAMBUNG