Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Bimabet
Lanjutkan suhu.. cerita cerita marvel versi org kita..
Konfliks nya anak muda..
Cuma nanti siapa lagi nih yang jadi musuh nya?
Ngapain Jamet ama Jeruk?
 
om @Robbie Reyes udh pernah ke museum angkut ?
koq bumble bee ga dimasukin ya :bingung:
biasanya bumble bee salah satu hal wajib yg diveritain klo ke musem angkut
zona holywood jg biasanya yg jd tmpat singgah palding lama buat foti

Oh iya lupa maksudnya hollywood hahaha, bukan eropa. Thanks udah ngingetin om, maklum cuma turis. Bumble beenya jadi cameo episode berikutnya wkwkwk.

For all, thanks support positifnya lhoo.
 
Oh iya lupa maksudnya hollywood hahaha, bukan eropa. Thanks udah ngingetin om, maklum cuma turis. Bumble beenya jadi cameo episode berikutnya wkwkwk.

For all, thanks support positifnya lhoo.
jgn bilang bumble bee jdi idup di next episode :takut:
 
Wih ini nih cerita favorit ane genre fantasy tema superhero
Lanjutin suhu sampe tamat :beer:
 
Episode 30
Gatal Sekali


POV Hari

“Alay bet.” Ledek Anwar dengan logat khas betawi.
“Biarin sih.” Tika terus bergaya dengan berbagai mimik muka yang dibuat lucu.

Erna sabar sekali melayani Tika yang banyak bergaya bersama bumble bee. Setelah puas, dia pamit, pergi menghilang berkeliling bersama Anwar, Erna sebagai tukang fotonya, dan Eda.

Eda dan Dani gue yakin sekarang ada dalam fase saling menghindari satu sama lain. Terbukti karena dia lebih baik menghindar dari Eda ketika punya pilihan. Sepintas gue jadi teringat dengan kelakukan gue yang selalu menghindar dari hadapan Puri. Ternyata seperti itu kalau dilihat dari sudut pandang lain.

Gue dan Dani melanjutkan berjalan hanya berdua, menikmati liburan bersama mobil-mobil unik di sini. Sesekali kami saling melempar tanya tentang info apa yang dimiliki Sigit. Padahal, tidak ada yang tahu di antara kami.

Jam lima sore lebih sedikit, kami beralih menuju ke Pasar Apung Nusantara. Kami terpaksa masuk duluan karena Jamet dan Jennifer gak kunjung muncul. Berfoto-foto ria tetap menjadi agenda wajib. Entah sudah berapa foto yang diupload masing-masing dari kami ke instagram. Dasar norak, termasuk gue.

Dani dengan ciri khas makannya yang kalap, mencoba banyak jajanan yang baru kali ini dia lihat. Baru setengah jam di sini, dia udah nyoba Srabi Solo, Sego tiwul, sampai Pangsit. Dia seakan-akan punya kapasitas perut yang tak terhingga.

Semoga aja Jennifer baca pesan wa sama sms dari Tika dan cepet muncul ke sini.

“Belom ada balesan, Tik?” Tanya gue.
“Baru aja diread nih tadi sama doi.” Jawab Tika.
“Udah ngasih tau kita lagi di mana?”
“Udah kok, gue bilang deket abang pangsit.”

Info yang sangat tidak berguna dari Tika. Tapi untungnya Jamet dan Jennifer berhasil menunjukkan batang hidungnya selang lima belas menit kemudian.

“Tuh dia bocah.” Tunjuk Tika.
“Buset deh, cuma bilang deket tukang pangsit doang.” Jamet sewot.
“Iya, susah tau nyarinya.” sambung Jennifer.
“Eh, itu tangannya biasa aja dong~” ledek Anwar.

Jamet buru-buru ngelepas rangkulan tangan Jennifer di lengannya dengan kagok.

“Tunggu dulu ya, aku bisa...” Jamet membela diri.
“Jamet yaaa~” Eda mulai ngeledek.
“Ih, Tadi tuh rame tau. Gue kan ngeri ilang.” Jennifer ikut ngebela.
“Hilang dari hatinya Jamet ya.” Gantian Anwar ngeledek.

Tika langsung nyubit pipi Anwar, menyuruh dia diam. Kayanya sebentar lagi akan banyak pertanyaan yang dicecar kepada Jamet dan Jennifer. Gue juga gak sabar nanyain nih anak satu. Tinggal nunggu waktu aja.

Erna dengan kamera DSLRnya sesekali memotret kami dalam keadaan candid. Dia tampak lebih ceria meskipun dalam keramaian. Beda sekali dari Papandayan kemarin.

“Abis ini ke mana kita?” Tanya Tika.
“Main aja dulu di sini sampai malam. Abis itu kita pulang.” Jelas Jamet.
“Jangan ilang lagi lu.” Gue menekankan.
“Iya, Abang Hari.” Jamet menirukan suara Kenia.

Gue jadi inget Kenia. Sembari kami berjalan kembali menyusuri spot-spot cantik di Pasar Apung, gue membuka wa, lalu mengirimkan beberapa gambar foto kami untuk dilihat Kenia. Gue juga sekaligus menanyakan kabarnya.

Gue: Dek, gimana kabar?
Kenia: Baik bang. Seru banget sih foto-fotonya. Salam ya buat yang lain.
Gue: Sip. Ibu baik-baik juga kan.
Kenia: Baik juga kok. Oleh-oleh ya baaang.

Gue membalas lagi hanya dengan emot jempol. Lalu di bawah foto avatarnya, muncul tulisan Kenia yang sedang mengetik cukup lama.

Kenia: Bang, aku mau cerita. Di sekolah ada yang isengin temen aku. Resek banget.
Gue: Gak usah ditanggepin lah.
Kenia: Udah. Tapi gak ngaruh.
Gue: Terus gimana?
Kenia: Udah kena batunya dia kemarin.
Gue: Kok bisa?
Kenia: Ada deh, ntar kalo udah saatnya aku kasih tau.

Setelah itu, gue jadi penasaran. Kenia pun hanya membalas singkat dengan emot nyengir. Setelah itu tak ada lagi balasan. Gue langsung mikir macem-macem. Masa sih Kenia udah jadi inhuman.

Gue beralih nanyain nyokap. Hasilnya, nyokap akan nanyain Kenia sesampainya dia di rumah nanti. Dengan begini gue berasa lebih aman. Adek gue belom boleh jadi inhuman.

Selepas maghrib, suasa Pasar Apung jadi lebih gelap. Tapi jauh jadi lebih romantis dengan adanya gemerlap lampu-lampu gantung serta pantulannya di permukaan air. Cocok sekali untuk orang pacaran. Apalagi sekarang weekdays, gak banyak orang yang datang berkunjung.

“Pulang kita?” tanya Jamet.
“Bentar, setengah jam lagi ya. Lagi seru nih.” Tanya Erna.
“Asik sendiri dah dia.” Anwar nyeletuk.

Erna akhirnya bisa melampiaskan nafsunya. Dia udah lama gak hunting foto, dan tadi siang sibuk dimintain foto sama Tika dan Dani. Begitu ada momen mantap, keluar juga jiwa seni fotografinya itu.

Kami akhirnya bisa pulang dengan damai setelah lewat Isya. Sesampainya di rumah Jamet, kami semua bergiliran mandi. Selanjutnya, orang tua Jamet kembali menyuguhkan makan malam.

Janiar datang lagi malam ini di rumah Jamet. Gue jadi makin penasaran kenapa bisa Janiar nginep di rumah Jamet. Izin macam apa yang dikatakan Jamet dan Janiar sama orang tuanya masing-masing.

Sebelum tidur, nyokap ngewhatsapp gue. Katanya Kenia cuma mendramatisir cerita. Mereka cuma ngelakuin keisengan biasa supaya orang yang resek itu kapok. Nyokap juga bilang kalo Kenia rajin minum obatnya, jadi gak perlu dikhawatirkan Kenia berubah jadi inhuman.

Ngomong-ngomong obat, gue jadi inget Eda sama Rivin. Harusnya hari Rabu jadwal minum obatnya mereka.

“Da, lu minum obatnya lancar kan?” bisik gue.
“Lancar kok, tadi abis minum lagi. Kenapa?” jawabnya dengan berbisik juga.
“Kak Rivin juga kan?”
“Rivin juga kayanya. Bentar gue tanyain.”

---

POV Rivin

Beberapa jam lalu, saat jam pulang kerja.

Sekarang baru hari Rabu, tapi aku udah kangen banget sama Eda. Sedangkan Eda sama temen-temennya baru kembali ke Depok lagi hari Selasa depan. Aku gak bisa menahan rindu ini lama-lama.

“Duh.. gatel nih..” gumamku pelan.

Lama-lama rasa rinduku ini berubah jadi rangsangan yang dahsyat. Selangkanganku sangat gatal. Aku harus cepat pulang untuk menyelesaikan ini.

“Gatel apaan, Vin?” seorang disebelahku bertanya.
“Nggak, Put. Gapapa.” Jawabku.

Putra, rekan kerjaku sedivisi rupanya mendengar gumamanku tadi. Banyak temen-temenku yang lain bilang Putra ini naksir sama aku. Banyak juga yang mempromosikan putra yang ganteng, berhidung mancung, dan sudah berpenghasilan cukup untuk mulai berkeluarga. Mereka juga bilang dia bahkan udah siap melamarku kalau aku mau.

Tapi aku rasa bukan orang seperti Putra yang aku cari. Tidak pernah ada Putra di dalam kepalaku. Aku menganggap dia cukup sebagai rekan kerja.

“Pulang gak? udah jam setengah 5 ini lho.” Tanyanya lagi.
“Duluan aja, Put, aku mau ke gudang sebentar.”

Aku harus pergi ke gudang sebentar untuk mengecek nomor sampel yang lupa aku catat. Sungguh hari ini aku nggak fokus bekerja. Nggak kaya biasanya.

Setelah beberes memasukkan barang-barang pribadiku ke dalam tas ransel. Aku pergi ke gudang penyimpanan produk untuk mencatat semua nomor produksi dan tanggalnya. Sebuah papan jalan dan pensil 2B menjadi kawanku sore ini.

Sesampainya di gudang, aku mencari barisan box kardus tumpukan yang baru masuk siang ini. Agak jauh aku berjalan masuk ke dalam. Suasana makin sunyi, lalu kudengar samar sebuah tapak kaki mengikutiku dan dia semakin mendekat.

“Vin.” Suara seseorang dari belakang.
“Waaa!” aku kaget dan menjatuhkan papan jalanku.
“Hahaha kaget.” Ternyata Putra.

Putra sudah berpenampilan untuk pulang dengan motornya. Jaket kulit, sarung tangan, tas ransel, dan buff terpasang di badannya dengan sempurna. Tapi dia justru memilih mengikutiku ke dalam gudang .

“Ngapain, Put?” Aku sambil mengambil papan jalan yang jatuh
“Nggak, Cuma khawatir aja sama lu.”
“Khawatir?”
“Seharian gak fokus gitu. Ntar pingsan di gudang gak ada yang liat.”

Akhirnya kami berdua berjalan menyusuri lorong gudang. Aroma keringatnya sesekali terhirup masuk ke dalam hidung dan kepalaku. Meski dia telah seharian bekerja, namun bukan bau tidak sedap yang aku hirup dari tubuh Putra. Selama itu pula tubuhku merespon baunya dengan cara yang tidak wajar.

Berjalan hanya berdua dengan seorang lawan jenis dalam keadaan terangsang memberikanku pengaruh yang hebat. Selama itu, birahi dalam tubuhku semakin naik. Badanku terasa makin menghangat, dan itu disadari Putra.

“Tuh kan mulai lagi. Sakit, Vin?” tanyanya.
“Nggak tau..” nafasku mulai menderu cepat.
“Minum dulu nih.”

Putra mengambil air mineral dari kantong samping tasnya. Saat memberikan air mineral, tangannya bersentuhan dengan tanganku. Kemudian, badanku seketika merinding dan ambruk ke arah tubuh Putra.

“Ahhh..” aku mendesah.

Aku mulai menggesekkan selangkanganku ke paha Putra. Sungguh memalukan, tapi rasanya enak sekali. Kurasa Putra juga sadar apa yang sebenarnya terjadi. Itu dibuktikan dengan dia yang menuntunku ke lorong gudang di sudut yang tersembunyi dan remang-remang.

Dia melepaskan seluruh perlengkapan bermotornya. Usai melepaskan jaket motornya, aroma tubuh Putra makin tercium dan membuatku seolah mabuk. Aku tidak melawan dan justru menurut saat papan jalan dan tas ranselku dilepaskan Putra. Diletakkannya perlengkapan kami di lantai.

“Jadi ini yang kamu mau dari tadi?” Dia mulai meraba selangkanganku dari luar jeans.
“Please, stop.. aaahh.. Putraa...” tanganku menahan lengannya.

Putra menekan selangkanganku makin kuat.

“Kita bisa cari hotel deket sini.” Ajaknya.
“Ahh.. stop. Udaah..” pintaku lemah.
“Gapapa, Vin. Kita udah sama-sama dewasa.”

Tanganku berusaha menolak rabaan tangannya di selangkanganku. Tapi tubuhku meminta hal yang sangat kontradiksi dengan pikiranku. Di samping itu, Putra mulai membimbing tanganku yang lain untuk meraba penisnya.

Sekarang kami saling meraba satu sama lain. Aku, yang terlalu malu, jadi bersandar ke tubuh Putra. Tubuhku makin merinding saat payudaraku bersentuhan dengan tubuhnya. Rasa geli yang sangat nikmat melanda sekujur tubuhku.

Oh, Eda, aku minta maaf. Sekali ini saja.

“Cepet uhh, kita.. lakuin di sini aja..” aku meminta.

Putra membuka resleting celana dan menurunkannya dalam sekejap. Penisnya terlihat menonjol di balik celana dalam. Aku berinisiatif sendiri menurunkan celana dalamnya. Kemudian, kumainkan penis Putra yang sudah mengacung tegak.

Hal serupa dilakukan Putra yang menurunkan seluruh penutup tubuh bawahku. Kini dia menggesekkan jari-jarinya ke celah selangkanganku. Sungguh, nikmatnya tak terhingga. Rasanya seperti pelampiasan yang aku temukan setelah menahan dahaga seharian.

“Basah banget, Vin.” bisiknya
“Terusin.. ahhh..”

Permainan jari Putra semakin menbuat hasratku menggebu-gebu. Kuhargai permainan Putra dengan lumatan di bibirnya dengan sangat liar. Rasa-rasanya aku sudah tidak bisa menahan orgasmeku.

“Putra.. ahh... aku mau keluaaar..” desahku tak karuan.

Saat aku ingin merasakan puncak sensasi itu, Putra justru berhenti dan melepaskan tangannya.

“Kamu tau yang lebih enak.” Kata Putra.

Aku tau maksud Putra. Ada yang menunggu untuk dipuaskan terlebih dulu. Aku berjongkok dan mengamati bentuk batang penisnya. Kumainkan sebentar dengan tanganku. Putra mulai mendesah.

Kujilati bagian pangkal hingga ke kepala penis Putra secara perlahan. Lalu kulumat bagian kepalanya dengan cepat. Kukulum dan kumakinkan bagian lubang kencingnya dengan lidahku. Selang beberapa lama, kudorong mulutku kuat-kuat hingga seluruh batang penis Putra masuk dalam mulutku.

Putra beberapa kali mengarahkan jepretan blitz kamera mengarah padaku. Aku tak menghiraukannya.

“Aaaaghh...” Putra mendesah kuat.

Kuulangi beberapa kali langkah permainanku itu. Rambutku pun dijambak Putra. Dia terlarut dalam kenikmatan yang aku berikan. Terakhir, kugerakkan mulut maju mundur dengan sangat cepat. Tak boleh ada waktu buat Putra menarik nafas.

“Stop, stop. Mau keluar, Vin... agghhh..”

Inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Kuhentikan aktifitasku. Aku beralih menungging dengan tangan yang bertunpu pada salah satu barisan rak box. Kemudian, dengan cepat Putra menghujamkankan penisnya ke dalam vaginaku.

Hujaman demi hujaman dengan tempo cepat diberikan Putra. Kuberikan pula perlawanan dengan menggoyang pinggulku naik turun. Kami terbuai dalam kenikmatan persenggamaan di tempat tidak biasa ini. Jepretan Blitz kamera Putra kembali terlihat mengkilat di tengah remang-remangnya lorong ini.

Tiba-tiba alarm jam tanganku berbunyi pertanda sudah tepat jam lima sore. Sebuah distraksi yang cukup menganggu kami berdua.

“Cepetan, Put.. ahh.. udah jam 5.”
“Sebentar.. agghh... gila enak banget memek lu, Vin.”
“Ayoo.. nanti ada orang masuk ke sini...”

Putra mempercepat gerakannya. Aku kembali dibuat melayang. Sensasi orgasme yang tadi dilewatkan Putra dengan jari-jarinya padaku muncul kembali. Dengan sangat cepat aku merasakan puncak kenikmatan itu datang melanda.

“Puut.. aku keluaar, ssshh...” badanku ambruk.

Dengan sigap Putra mengarahkan penisnya ke wajahku. Refleks aku memasukkan penisnya ke dalam mulutku. Muncratan demi muncratan sperma menyembur di dalam mulutku.

“AGGHHH.. RIVINN...!!” Putra menggeram.

Setelah tak ada lagi yang keluar, kulepaskan penisnya. Kutelan sperma Putra karena tak kulihat ada wastafel di sini. Kemudian, kami kembali memakai penutup tubuh bawah kami.

Setelah sensasi kenikmatan padaku mereda, muncullah rasa bersalah terhadap Eda. Rasa bersalah merasuki tubuhku dengan sangat cepat. Putra mengajakku berbincang, tapi tak kutanggapi. Aku keluar dari gudang tanpa menyelesaikan tugasku.

Aku diam seribu bahasa selama naik angkot.

Sesampainya di kamar kost, aku menangisi keadaanku berjam-jam. Sprei kasur sudah tak ada bentuknya lagi. Aku terus berpikir bahwa aku telah mengkhianati Eda. Aku sungguh mencintai Eda, bahkan aku berani merebut Eda dari Dani. Tapi sekarang....

Sebuah pesan whatsapp tiba-tiba masuk.

Putra: Besok lagi ya, I love you.

Pesan itu disertai emot cium dengan hati, serta foto-foto kami yang sedang bercinta tadi. Pikiranku bertambah kalut. Ancaman macam apa ini. Bagaimana kalau aku menolak permintaannya. Apakah foto itu akan disebar?

“Aku bukan pelacur. Eda, tolong aku...”

Sesaat kemudian, satu panggilan telepon masuk atas nama Eda. Seolah dia mendengar doaku.

“Halo, Sayang.” Sapanya.
“Halo sayaaang..” aku menyapanya sambil terisak.
“Kamu nangis?”
“Nggak kok, aku lagi pilek dari kemarin.”
“Ya ampun, kasian. Minum air putih dong.”

Kami mengobrol cukup lama, layaknya sepasang kekasih dimabuk rindu. Di salah satu obrolan, Eda bertanya apakah aku meminum obat pemberian Hari dengan lancar.

“Obat dari Hari?” Tanyaku.
“Iya, kita dikasih waktu hari Minggu kemarin.”

Sejujurnya aku gak mengerti itu obat apa. Eda hanya menceritakan soal inhuman bla bla bla.. Aku gak fokus mendengar karena saat itu sedang sibuk membuat video presentasi untuk kantor. Tapi rasa-rasanya mungkin itu bisa jadi solusi ketidakfokusanku hari ini.

Usai bertelepon, aku mengambil obat itu. Kuminum dua buah sebagai bentuk kekesalanku hari ini. Aku terlelap tidur tidak lama kemudian.

---

POV Hari

“Anjir lah udah sayang-sayangan segala.” Ledekku.
“Biarin sih.” Jawab Eda.
“Apa katanya?”
“Lancar kok.”

Setelah obrolan dengan Eda, aku menunggu semuanya tertidur. Sekitar jam satu malam, aku mengendap-endap keluar kamar. Sudah ada Dani dan Erna yang menunggu di ruang tengah lantai dua rumah Jamet.

Sepi. Portal pun terbuka, lalu kami bertiga masuk ke dalam sana, berpindah dari Surabaya ke Depok dalam waktu singkat. Tanpa basa-basi, Sigit memulai laporannya soal inhuman.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Ernawati


Kartika Rahayu



Jennifer



Kak Rivin

 
Terakhir diubah:
pertomax dulu ah
koq berasa pendek bgt ya updatenya akhir2 ini
 
Terakhir diubah:
Dani malang sekali nasibmu :sayonara:
Sampai saat ini calon pasangan hari belum muncul ya, apa bakal balik ke lobang yang sama :pandaketawa:
 
Episode 31
Seharian di Rumah


POV Eda

Kamis siang ini kami hanya main dan ngobrol di rumah Jamet. Selain waktunya istirahat, mobil elfnya Pakle juga lagi ada yang sewa. So, kita gak bisa ke mana-mana.

Dari sekian banyak obrolan sama Jamet, akhirnya kami tau kehidupan sehari-hari keluarganya Jamet. Paklenya Jamet yang setia nganterin kami sejak hari pertama namanya adalah Sutrisno. Beliau tinggal gak jauh dari sini dan menjalankan usaha rental mobil.

Kedua orang tua Jamet juga pengusaha. Mereka menjalankan usaha ternak Lele di pinggiran kota Malang yang lain. Pergi pagi dan pulang sore, hanya untuk mengawasi, ikut memberi pakan, dan panen. Dari situ gue bisa memahami kenapa Jamet mau berkecimpung di riset penelitian alga. Dia ingin mempelajari untung rugi populasi alga untuk pengembangan usaha lelenya.

Sekarang kami sedang di ruang tamu lantai dua. Kami para cowok dan beberapa cewek yang ngerti main PES, lagi main dalam format cup di depan layar laptop. Sisanya, Cuma tidur-tiduran, makan cemilan yang disediain, sambil nonton tivi. Kecuali Jennifer, siang ini dia jadi kebo di kamar.

“GOOOOOLL!!!” Teriak gue.
“Baru 1-0 doang.” Balas Erna.
“Tapi injury time hahaha.”
“Berisik woy!” Tika ngomel.

Kali ini yang lagi tanding adalah gue versus Erna. Juventus versus Barcelona. Pertandingan pun selesai tidak lama kemudian dengan kemenangan gue 1-0. Pertandingan kedua dilanjutkan Anwar versus Hari.

“Tunggu di leg 2 ntar.” Ancam Erna.
“Gue tunggu dah.”

Gue bergeser posisi duduk, bersender ke tembok deket tivi. Sambil nonton, gue mencoba mengambil satu snack kipang kacang dari kaleng. Tiba-tiba tangan gue bersentuhan dengan Dani yang juga mau mengambil kipang. Kecanggungan kami terjadi lagi. Kami sama-sama menarik tangan sehingga tidak ada yang jadi mengambil kipang kacang.

Sebagai gantinya, gue berbisik ke Tika yang ada di sebelah gue.

“Tik, tolong ambilin kipang kacang dong.”

Jamet melihat gue dan dia cuma menggelengkan kepala. Gue membalasnya dengan ikut geleng-geleng kepala. Gue melirik sebentar ke Dani. Dia kembali asik nonton tivi setelah berhasil mengambil kipang kacang pada percobaan selanjutnya. Gue bete sendiri.

“Met, gue mau jalan-jalan ya keluar. Aman kan ya?” Gue nanya.
“Aku ikut. Sebentar.” Jamet pergi ke dapur.
“Enak aje, ini cup selesaiin dulu.” Anwar nyeletuk sambil matanya fokus ke laptop.

Gue garuk-garuk kepala.

“Save dulu aja deh.” Gue pusing.
“Yakali.” Balas Anwar lagi.

Tika ngelempar bungkus dodol ke Anwar, menyebabkan Anwar ngepause gamenya. Dia menoleh ke Tika dengan muka kesal. Alisnya nekuk ke arah pangkal batang hidungnya. Tika pun gak kalah galak, dia mendengus, lalu melirikkan matanya ke arah gue dan Dani satu per satu.

Anwar berantem sama Tika gara-gara gue. Tika mengisyaratkan kalau gue dan Dani lagi ada masalah. Tapi apa boleh buat, mungkin itu jalan yang terbaik agar gue bisa keluar rumah. Keluar secepatnya dari situasi ini dan mencari angin segar di luar.

“Gue digantiin lu aja deh, War. Lumayan tuh bisa ngalahin Erna lagi ntar.” Tawar gue.
“Yaudah gampang ntar.” Jawab Anwar, gak mau cari masalah baru.

Jam tangan gue menunjukkan pukul setengah satu. Jamet sudah siap sedia, lalu gue berjalan secepatnya keluar dari rumah Jamet. Gue berdua dengan Jamet pergi main keluar rumah di tengah teriknya matahari. Terserah ke mana Jamet ngajak gue jalan.

“Kita beli es krim dulu ke depan.” Ajak Jamet
“Bebas.” Jawab gue asal.
“Biar dinginin kepala kamu dulu tuh.”
“Ya boleh boleh.”

Gue paling males cerita. Tapi unek-unek ini rasanya butuh dikeluarin secepatnya.

“Met, lu tau caranya nyelesaiin salah paham gak sih?”
“Salah paham?” herannya.
“Jadi gini, Met, pas wisuda waktu itu...”

Gue menceritakan kejadian saat wisuda kemarin dari perspektif gue. Diawali tentang bagaimana saat itu Rivin terus menerus mengekor saat wisuda jurusan. Bagaimana kejadian itu menuntun ke arah salah paham yang dilakukan orang tua gue. Akhirnya, menuntun kesalahpahaman dengan Dani.

“Itu sih bukan salah paham.” Kata Jamet.
“Bukan gimana?”

Jamet tampak mikir, mencari kata-kata sepertinya.

"Jujur ya, ada porsi di mana kamu yang salah karena gak tegas sama Rivin. Kamu juga gak berani berpendapat sama orang tua kamu, dan gak sanggup bicara sama Dani buat ngelurusin kejadian. Berapa salahnya tuh? tiga ya.” Jamet kini berpendapat.

Oke, ada benarnya kata-kata Jamet. Tapi jelas ada salahnya Dani juga yang telah gue pendam sejak dulu. Salah Dani adalah gak pernah berkata kalau dia mencintai gue. Terlalu banyak kode dan alasan yang lama-lama gak bisa gue terima lagi. Terlalu sering gue nembak Dani yang dengan mudah dimentahkan tanpa jawaban jelas.

“Sekarang kamu gimana?” tanya Jamet.
“Gimana apanya?”
“Hubungan kamu.”
“Bubar dengan gak baik-baik.” Jawab gue.

Jamet memasang mimik muka ‘sumpeh lu.’

“Terus? Sama Rivin?” tanyanya lagi.
“Ya gitu.”
“Gitu gimana?”
“Yaaa.. gitu.”
“Ah, gila. Kamu jadian sama Rivin?”

Gue mengangguk dengan tawa yang mati-matian ditahan karena Jamet memaksa tertawa. Rasanya seperti jatuh cinta zaman SMP. Hubungan yang gue rasakan sama Rivin dimulai dengan deklarasi yang jelas. Ini yang gue cari cari dulu, dan gak ada di Dani. Mungkin kekanak-kanakan. Tetapi buat gue, status memang harus jelas kalau ingin menjalani hubungan. Setidaknya itu prinsip yang gue pegang teguh sejak dulu.

“Dulu, Met. Dulu banget waktu SMA. Gue pernah punya hubungan tanpa status sama cewek. Lima bulan status kita berdua gak jelas waktu itu. Akhirnya, gue malah mergokin dia nonton sama temen cowok di kelasnya. Berdua doang, dan mereka pegangan tangan. Apa coba namanya kalo bukan selingkuh.”

Gue terus bercerita tentang prinsip gue tentang pentingnya memiliki status. Berpacaran ya haruslah jelas status berpacaran. Bukan teman tapi mesra, bukan sahabat, apalagi friends with benefit. Pokoknya bukan model seperti itu.

Prinsip itu runtuh saat gue bareng Dani.

"Kamu ngasih contoh waktu SMA. Cinta monyet." Jamet membantah.
"Gak ada bedanya."
“Oke. Aku belum pernah denger lho kamu cerita panjang gini.” Balas Jamet lagi.
“Nah sekarang gue udahan.”
“Udah?”

Setelah bercerita sedikit lagi, gue benar-benar menyudahi cerita gue. Panjang, tapi tetap to the point ke masalah gue yang sekarang ini.

“Sekarang kamu udah bahagia sama Rivin?” Jamet mencoba mengonfirmasi lagi.
“Bahagia. Semoga.” Harap gue.

Kami terus berjalan di pinggir jalan aspal.

“Kalo gitu ya selesaiin baik-baik masalah kamu sama Dani. Gak enak kan kita berempat main bareng dari maba, tapi sekarang malah diem-dieman.” Solusi dari Jamet.

Gue sebenarnya setuju sama Jamet. Memang harus secepatnya diselesaikan. Dani pernah mencoba menyelesaikan hubungan kami lewat whatsapp. Tapi, jelas itu bukanlah hal yang pantas bagi kami yang telah cukup dewasa. Dewasa untuk menyelesaikan masalah lewat bicara empat mata dengan kepala dingin.

Masalahnya seakarang adalah Dani terus menghindar. Sebulan tidak bertemu, ternyata perjumpaan di Stasiun Senen malah secanggung itu. Kejadian terus berlanjut di kereta, Pasar Apung, sampai hari ini.

“Yaudah, ntar aku bikin skenario biar kamu bisa ngobrol sama Dani.”
“Thanks, Met.”
“Besok sore sampai minggu kita nginep ke rumah mbahku.”

Seiring perjalanan dan banyaknya obrolan, kami pun sampai di sebuah kios yang menyediakan lemari es krim. Aku mengambil satu es krim corn. Di sisi lain, Jamet tampak kalap dengan membeli sejumlah snack.

Setelah membayar jajajan, kami kembali menyusuri jalan di daerah perumahan pinggir kota Malang ini. Banyak obrolan kami yang kali ini gak ada faedahnya. Salah satunya ngobrolin Hari.

“Hari fix itu jadi agen S.H.I.E.L.D permanen ya?.” Tanya gue
“Eh, fix emang?” Tanya balik Jamet.
“Yeh, gue nanya."

Rasa-rasanya perjalanan kami semakin jauh dari rumah Jamet. Telah banyak tikungan dan menit yang berlalu, namun gue yakin Jamet gak ngajakin muter-muter. Dia tampak berjalan dengan pasti dan memiliki tujuan jelas. Sejenak gue pikir-pikir belanjaannya tumben banyak. Jangan-jangan ada hubungannya.

“Met, kita ke mana sih?” gue penasaran
“Liat aja, bentar lagi juga sampe.”

Kami berjalan lurus sedikit. Kemudian, Jamet tampak berjalan mendekat ke sebuah rumah bercat abu-abu. Rumahnya tidak terlalu besar, standar untuk sebuah rumah keluarga. Kemudian, Jamet dengan santainya membuka pagar besi kecil tanpa salam.

Bahkan, Jamet langsung mendorong engsel pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Salamnya dilakukan belakangan. Gue malu-malu mengikuti Jamet sambil menunggu apa yang terjadi. Selanjutnya, seorang anak kecil muncul menyalami tangan Jamet yang sedikit berpeluh. Mukanya mirip wanita yang baru gue kenal sejak dua hari kemarin.

“Rumahnya Janiar kayanya nih.” Gumam gue.

Sial. Gue bakal jadi nyamuk.

---

POV Hari

Pertandingan melawan Anwar selesai dengan kemenangan tipis gue, 1-0.

“Hoki aja lu.” Alasan Anwar.
“Terusin gak nih?” Tanya gue
“Males ah, Eda sama Jametnya pergi.”

Anwar bangkit dari duduknya menuju kamar mandi. Sementara itu, gue beralih duduk ke samping Dani. Dia terus makanin kipang kacang tanpa henti. Matanyanya serius nontonin acara tivi.

“Huy.” Sahut gue.
“Hmm.”
“Tadi kenapa?”
“Gapapa.”

Dani kalo udah kaya gini artinya lagi bete. Sulit deh diajak ngomong.

Di sisi lain, Anwar telah selesai menuntaskan urusannya di kamar mandi. Dia berjalan menuju colokan untuk menyabut handphone yang tercolok di sana. Kemudian, dia turun ke bawah mengajak Tika. Erna juga diajak, tapi dia terlampau malas bergerak.

“Ke mana, bro?” Tanya gue.
“Ke teras doang, liatin pohon. Siapa tau spesies baru.” Jawabnya.
“Baru liat.” Celetuk Erna.
“Jangan jauh-jauh, ntar ilang berabe.” Sambung gue.

Sekarang di rumah hanya ada kami bertiga. Erna sedang terlalu malas bicara, sedangkan Dani pasti lagi gak mood bicara. Kalau gue bicara duluan, pasti gak ada yang menanggapi. Jadi, untuk sesaat sebaiknya gue turun ke bawah untuk membiarkan mereka asik dengan dunianya sendiri-sendiri.

Gue meminta izin Jamet lewat wa untuk mengambil sirup di dalam kulkas. Satu teko besar sirup sirsak dengan balok-balok es gue sediakan sendirian. Mungkin saja bisa meredakan betenya Dani yang mendadak datang. Nanti, gue bisa bujuk dia untuk meminum obatnya biar gak makin baper.

“Sirup sirsaknya buruan dong!” teriak Erna dari lantai atas.

Erna pasti nyadap wa gue ke Jamet tadi. Kampret.

Gue berjalan menaiki tangga sambil membawa seteko besar sirup sirsak. Untungnya, gelas-gelas masih lengkap ada di antara gerombolan toples makanan. Jadi, gak menambah kerjaan gue untuk melayani dua wanita alfa yang lagi mager.

“Ini esnya nona nona, perlu dituangin juga gak?” ledek gue.
“Boleh deh. Tolong ya budakku.” Erna balik ngeledek.
"Hahahaha." Dani tertawa lepas.

Biar sajalah gue dibully. Seenggaknya Dani gak bad mood lagi. Mungkin setelah ini gue bisa menemukan solusi antara dia dan Eda.

Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, satu pesan wa berikutnya masuk dari Jamet. Dia memberitahu lewat grup Dadakan bahwa mulai besok sore kita akan menginap di tempat mbahnya. Lokasinya gak jauh dari Kebuh Raya Purwodadi. Selain itu, ada juga japri Jamet ke gue yang ngasih tau kalau momen itu disediakan untuk penyelesaian masalah Dani dan Eda.

“Udah baca grup belom? Akhir pekan kita ke Kebun Raya Purwodadi.” Kata gue.
“Ah masa?” Dani penasaran.
“Udah tau.” Jawab Erna yang antusias.
“Ya lu gak buka hape juga udah tau.” Dani nyeletuk.

Kalau Erna udah tau soal nginep ini, maka pasti Erna juga udah tau soal alasan kenapa kita ke sana. Dugaan gue rasanya tepat setelah melihat kedipan mata genitnya Erna.

Kami bertiga larut dalam suasana sepi siang menjelang sore khas Malang. Cuaca panas diluar mulai berganti mendung. Jennifer baru mengumpulkan nyawa setelah menyelesaikan hibernasinya. Anwar dan Tika udah tidak tampak batang hidungnya di teras. Jamet atau Eda sama sekali tidak ada yang memberi kabar terbaru. Kebosanan kami seharian di rumah untungnya tidak semakin memuncak. Empat orang yang tersisa di rumah ini memutuskan bermain truth or dare menggunakan putaran pulpen.

Permainan ini sangat gue banget. Gue bisa banyak menggunakan kekuatan penyerapan energi untuk menghentikan putaran pulpen sesuai keinginan. Artinya, gue bebas menentukan siapa yang ingin dikorek informasinya. Oh, tentu Jennifer lah yang jadi sasaran pertama gue.

Pulpen tepat mengarah ke Jennifer.

“T lah.” Kata Jennifer.

Gue terenyum licik. Giliran pertama ini adalah gue yang bertanya.

“Seserius apa lu sama Jamet?” tembak gue.
“Ah gak ada pertanyaan yang lain apa?”
“Bebas dong, kan perjanjiannya no rules.”

Hening sebentar.

“Gue udah kenal Jamet hampir lima tahun, dan gue sadar kalo ternyata gue suka sama dia. So.. everything for him.” Tegas Jennifer.
“Everything banget?” Gue menanggapi.
“Eh itu dua pertanyaan sialan.”
“Menanggapi boleh dong.”

Dalam hati, gue tertawa keras atas dominasi permainan ini.

“Ya, everything. You know lah. Kalo bisa sampe nikah sekalian.” Jennifer ngejawab pelan.
“Oke. Next.” Sudah cukup untuk kali ini.

Putaran demi putaran pulpen berjalan kembali. Beberapa kali gue melepas kendali atas putaran pulpen. Tapi nyatanya sama sekali gak ada yang perlu dikorek dari jawaban Dani atau pun Erna. Mereka sudah pernah cerita tentang hidup mereka masing-masing selama kumpul di penthouse.

Sekarang giliran Jennifer memutar pulpen. Gue menunggu momen setelah ini untuk bertanya lagi ke Jennifer. Pertanyaan atas alasan balas budi sudah cukup untuk membuat jennifer bicara lagi nanti. Artinya, gue akan memanipulasi supaya pulpen mengarah ke gue terlebih dulu. Lalu, gue harus siap menerima tantangannya.

Ini dia...

“T.” Gue berkata tegas.
“Ah gak seru nih. D dong.” Jennifer sewot sendiri.
“Suka suka gue.”
“Yaudah deh. Pertanyaan gue yaaa... Apa kabar Kak Puri sekarang?”

Gue diam sebentar.. Jujur, bohong, jujur... Bohong aja deh. Dani di sebelah kiri gue tampak menunggu jawaban yang keluar dengan antusias. Dia udah tau hal yang sebenarnya, dan semoga dia bisa diem.

“Mana gue tau, udah gak pernah ketemu lagi.” Jawab gue.
“Bohoooong!!” Teriak Dani dengan senangnya.
“Hah, bohong?” Jennifer bingung.
“Akhir tahun kemaren ketemu tuh.”

Gue melotot ke Dani yang mendadak jadi orang ngeselin.

“Eh, yang jujur kampret.” Jennifer sewot lagi.
“Yaudah, Yaudah. Akhir tahun lalu gue ketemu doi, di... di... di GI. Sekedar say hello aja sih."

Jelas lah gue bohong. Mana mungkin gue cerita kalo gue ketemu Puri di menara Saidah lantai atas. Gue bareng S.H.I.E.L.D. ngelawan organisasi radikal. Gue sempet berantem melawan penyihir dan ternyata gue mengetahui Puri itu inhuman super kuat!

Untungnya gak ada tanggapan dari Jennifer dan Dani gak nyeletuk kedua kalinya. Mungkin jawaban gue sudah cukup memuaskan. Sekarang, giliran gue memutar pulpen dan memanipulasinya hingga mengarah ke Jennifer. Pertanyaan gue adalah...

“How about Janiar?”

Dani dan Erna mendadak membenarkan posisi duduknya. Kami semua penasaran.

“Gue bikin pusing dia, liat aja hahaha.” Jawab Jennifer tanpa menarik nafas dulu.

Kami bertiga, dari yang tadinya penasaran, menjadi saling lihat-lihatan. Jawaban Jennifer di luar ekspektasi. Tawanya sangat lepas seperti nenek sihir. Awan hitam seakan berkeliling di atas kepalanya.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Ernawati



Kartika Rahayu


Jennifer

 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd