Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Episode 34
Rohku Melayang


POV Hari

Gue, Lina, dan Erna sedang bersama Puri di kamarnya. Keadaan Puri sudah lebih baik daripada tadi. Terkena tembakan, namun sebenarnya tidak. Gue gak bisa membayangkan bagamana rasanya.

Lina mengecek kondisi fisik Puri secara berkala. Sebuah infus terpasang lagi di tubuh Puri, namun gak separah kondisi saat gue menemukannya di Menara Saidah. Pipinya gak tirus dan matanya gak berkantong. Badannya juga sudah lebih berisi dibanding akhir tahun lalu itu.

“Kamu bener udah mendingan?” Tanya Lina.
“Udah kok, aku cuma shock aja.” Jawab Puri.
“Ya memang cuma shock. Tapi tenaga kamu langsung habis.”
“Dan rasanya sakit hahaha.” Canda Puri dipaksakan.

Puri tetap mayakinkan Lina kalau sekarang dia udah gak apa-apa. Kemudian, hening terjadi. Gue tetap dalam posisi duduk di satu kursi. Erna bersender di dinding dekat pintu, dan Lina tetap duduk di samping tempat tidur Puri.

Sepintas gue melihat kode lirikan dari Puri. Tampaknya Lina disuruh pergi.

“Oke, gue mau ke tempat Sigit dulu.” Lina pamit.
“Gue ikut.” Pinta gue.
“Lu di sini, jagain Puri sebentar.”
“Ck.” Gue mengecap lidah.

Untungnya masih ada Erna.

“Erna, lu mau minum apa? Ikut gue yuk.” Lina mengajak Erna keluar.
“Eh.” Gue gak berkutik.

Lina melotot. Galak. Konspirasi cewek-cewek sialan. Momen dua-duan seperti ini akhirnya terjadi juga. Padahal, gue sama sekali gak mau berbicara basa basi lagi sama dia. Meskipun akhir tahun lalu pernah terjadi perbincangan di Menara Saidah. Itu pengecualian, karena Puri sedang membahayakan nyawa kami.

“Apa kabar, Har?” Puri membuka obrolan.
“Hm...” sahut gue.
“Ham hem ham hem.” Ledeknya.

Gue gak membalas ledekannya. Mata gue melirik ke arah lain sambil mengusap-usap hidung. Gue menekankan kepada diri sendiri bahwa tugas gue di sini adalah menjaga Puri sampai Lina balik lagi. Menjaga bukan berarti mengobrol.

“Pengen ketawa kan tuh hahaha.” Ledeknya lagi.

Puri beberapa kali meledek untuk mendapatkan perhatian gue. Tawanya sungguh khas, mengingatkan pada masa pacaran kami dulu. Tapi itu dulu, dan dulu itu bukan sekarang. Please...

“Har, ngaku aja deh. Pengen ke sini kan??” Dia menepuk kasur tidurnya.

Please, jangan diterusin lagi. Nada suaranya bikin gue semakin rindu masa-masa kebersamaan itu. Sebentar aja dia meneruskan suaranya masuk ke telinga, gue pasti akan luluh lantak.

“Aduh aduh.. Har, tolongin gue. Infus gue ketarik.” Tiba-tiba Puri meringis.
“...” Gue hanya diam.
“Hari, tolong.” Pintanya lagi
“Bohong.” Gue berucap singkat.
“Aagghh! Serius, ini sakit!”

Puri makin meringis.

Akhirnya gue menurunkan pertahan gue. Gue pikir Puri memang kesakitan. Salahnya sendiri banyak tingkah sewaktu ngeledek. Tak apa lah membantu dia sedikit, mungkin menekan tombol komunikasi di pinggir kasur supaya Lina cepat datang bukan masalah.

Gue melangkah mendekati kasur Puri. Dia masih meringis kesakitan, wajahnya ditekuk dan matanya terpejam erat. Wajah itu... sumpah gue rindu.

“Sebelah mana tombolnya? Kok gak ada?” Gue kebingungan.
“ini, deket kepalaku.”

Batin gue bergolak. Please, stop godaan ini. Panggilan 'aku' sudah cukup hanya saat berpacaran. Gue gak sanggup lagi. Begitu gue mendekat ke kepala Puri, tiba-tiba... Tangan gue diraihnya hingga gue jatuh terduduk di kasur, disambarnya mulut gue dengan cepat hingga menyentuh bibirnya. Sebuah momentum hening terjadi dalam diri gue, dan Puri memanfaatkannya untuk mencium gue.

Gue bersusah payah mendorong kepalanya menjauh. Akhirnya lumatan bibir Puri yang sebentar tapi terasa seabad itu terlepas. Mata kami bertatapan. Jiwa gue seperti masuk ke dalam celah bola matanya yang berbinar, dan secepat itu juga gue hancur. Bingung harus berbuat apa. Gue antara marah dan rindu. Manakah yang gue harus tunjukkan, rasa marah gue atau rindu? Ego ataukah harga diri?

“Apa-apaan...” belum sempat gue marah.
“Hari...” Puri menangis memeluk gue.

Tubuh dan dekapan ini sangat familiar. Tubuhnya hangat layaknya makhluk berdarah panas. Tidak sedikitpun dingin AC membekukan dirinya. Justru badan gue yang menggigil akibat kombinasi AC yang terlalu dingin dan rasa panik. Haruskah gue dorong lagi badannya agar menjauh, atau balas memeluknya.

“Hari... hiks...” Puri mkain sesenggukan.

Gue relakan harga diri gue jatuh. Terserah saja apa yang terjadi nanti. Gue balas memeluknya erat. Seorang junior, Hari Fiddi Lasya, yang pernah dipacari Puri selama dua tahun, yang telah menjadi mantan sejak 9 bulan lalu, kini kembali dalam pelukannya. Gue kembali dalam pelukannya, dan entah kenapa gue pun merasakan kelegaan.

Puri puas berlama-lama dalam pelukan, begitu juga gue. Mata kami kembali bertemu dan diteruskan dengan sentuhan bibir terniat untuk kali pertama di tahun ini. Lumatan demi lumatan terjadi silih berganti. Gue menghirup karbondioksida yang berhembus dari hidungnya dalam-dalam. Untuk sekarang, gas itu lah nafas segar yang telah lama tak gue hirup.

Kecupan indah kami lama-lama naik menjadi nafsu. Tangan gue mulai menggerayangi kaosnya. Begitu pun Puri yang menggerayangi tubuh atas gue. Payudaranya yang indah itu sangat familiar di telapak tangan gue. Tubuh Puri seakan berbisik bahwa dia untuk dijamah.

Gue mendorong tubuh Puri untuk rebahan. Kemudian, gue angkat kaosnya hingga terlepas, dan begitu pula perlakuan Puri terhadap gue. Kami saling meraba sekujur tubuh sang lawan main. Beberapa kali kami mengisi celah waktu dengan kecupan singkat.

Begitu kami akan melepas celana, tiba-tiba kami dikagetkan dengan pintu yang terbuka...

“Hari, ini udah sor...” Erna muncul dari balik pintu.

Gue dan Puri saling terpaku menatap Erna.

“Iyuuhh.” Erna melipat mukanya.
“Kenapa, Na?” Lina datang belakangan.

Lina melihat kami. Dua orang sekarang melihat kami akan berbuat mesum tanpa mengunci pintu. Situasi mendadak canggung.

“Erna, kayanya ada yang harus dicek lagi di kulkas. Yuk.” Lina mengajak pergi lagi.
“Eh?” Erna bingung.

Pintu ditutup Lina dari luar. Jelas sekali Erna bingung karena memang itu hanya alasan Lina saja. Sekarang kami kembali berdua, dan tertawa terbahak-bahak.

“Nyaris aja.” Kata gue.
“Kalau Erna datengnya lebih lambat dua menit dari tadi, wah..” Balas Puri.

Situasi mencair. Gue sudah melunak untuk diajak berbicara dengan Puri. Adegan kami tadi tidak lagi diteruskan mengingat apa yang akan dikatakan Erna, sudah sore waktu Indonesia Bagian Barat, artinya waktunya kembali ke Malang. Selain itu, nafsu kami sudah terlanjur turun. Mungkin lain waktu kami punya waktu yang lebih panjang untuk melakukan itu.

Puri bercerita kalau dia tahu apa yang terjadi antara gue dan Lina selama seminggu di akhir tahun, termasuk kegiatan ranjangnya. Dia cemburu sedikit, tapi apa boleh buat, dia sekarang sudah menjadi bagian dalam tim. Cerita lainnya, Puri belum berbuat kegiatan ranjang apapun dengan Irfan, yang mana itu berita bagus buat gue.

Kesel juga kalo orang yang disayang ternyata pernah diobok-obok orang lain. Meskipun pada masanya itu Puri bukan lah milik gue. Pokoknya gitu.

Cerita selain masalah selangkangan adalah penguasaan kekuatan Puri.

“Aku udah bisa ngendaliin ini.” Puri menunjuk dirinya sendiri.
“Bagus dong. Kaya gimana kekuatannya?” Balas gue.
“Ya, jadi semacam roh gitu. Ada lima.”

Roh berarti arwah. Jadi kekuatan Puri memang benar-benar setan dalam istilah kasar gue. Setan dari dalam diri sendiri. Para setan itu gak sepenuhnya hancur saat kalah seperti saat kena tembak tadi. Mereka Cuma menghilang beberapa waktu, lalu nanti bisa muncul lagi. Jumlahnya akan selalu lima.

“Tapi aku beda sama Ghost Rider.” Jelasnya.
“Ghost Rider?”
“Setan yang pernah berurusan sama S.H.I.E.L.D. beberapa bulan lalu.”
“Oh..” mungkin itu setan yang pernah dibilang Coulson.

Puri berbeda dengan Ghost Rider. Puri adalah inhuman dan dia gak pernah bersepakat dengan setan untuk mendapatkan kekuatan. Dan yang lebih beda, Puri lima punya lima bayangan, atau gue pribadi lebih senang bilang mereka sebagai setan.

“Har, aku perlu ngomong sesuatu lagi.” Kata Puri.
“Apa lagi tuh?”
“Masih ingat tayangan CCTV waktu aku ngelawan Alan? Dua bayanganku kan datang terlambat.”

Gue mengingat-ngingat lagi. Sepertinya waktu itu Puri hanya bersama tiga setannya. Tapi, memang saat hampir kalah dua setan lainnya muncul membantu.

“Dua bayanganku itu ngejaga Kenia di Jakarta sana.”
“Oke?” alis gue mengernyit heran.
“Dan di sini bukan Indonesia, jadi lumayan jauh.”
“Terus?”
“Terus waktu bayanganku datang lagi ke sana...”

Puri bercerita bahwa Kenia hampir saja diperkosa teman sekolahnya. Untungnya, Puri sempat menolong dari kejadian keparat itu. Puri mengatakan kalau Kenia berniat mau menolong temannya, bla bla bla.. Gue gak peduli. Fakta bahwa Kenia sangat ceroboh dan hampir membahayakan diri sendiri sudah cukup bikin gue marah.

“Har, please kamu jangan marah sama Kenia.”
“Oh jelas aku marah!”
“Omongin baik-baik, Har. Aku akan jagain dia terus. Janji.”

Puri berusaha meyakinkan gue tanpa henti untuk gak marah sama Kenia.

“Tapi tetep aku mau nasehatin dia. Supaya dia tahu abangnya selalu ngawasin dia.” Kata gue.
“Oke. Tapi gak pake bentak bentak.” Jawab Puri.

Erna mendadak datang lagi dengan lebih sopan. Dia mengetuk pintu terlebih dulu. Selanjutnya, kami berkumpul di lorong depan kamar Puri. Gue dan Erna pamit untuk kembali menuju Secret Zoo. Sigit pun datang membukakan portal untuk kami, tangannya berputar-putar membuka celah antar ruang.

Saat portal terbuka, tiba-tiba dari kejauhan lorong gue melihat Alan berlari. Dia datang ke arah kami dengan heningnya. Alan bertelanjang dada dengan beberapa kabel perawatan masih menempel di tubuhnya.

“Awas!!” gue berteriak.

Gue berteriak memberikan sinyal bahaya. Puri berbalik badan seiring kedatangan Alan. Dengan sekali hantam telak di tulang hidung, Puri seketika berhasil merobohkan Alan secepat kilat. Alan pingsan dan mimisan.

---

POV Sigit

Alan pingsan, tapi hawa lorong ini rasanya berubah. Ada yang gak beres. Sepertinya...

Aku menghentakkan tubuhku sendiri dalam satu hembusan nafas, lalu arwahku seketika terlepas dari badan. Sekarang aku melayang-layang sekitar satu meter dari lantai. Aku memperhatikan sekitar, cahaya lebih remang-remang dari sudut pandang ini.

Tubuh asliku tampak masih terlonjak setengah mengangkang dan tidak bergerak. Mbak Lina, Mbak Puri, Mbak Erna, dan Mas Hari juga tidak bergerak. Secara harfiah tubuh mereka, termasuk tubuhku, memang tidak bergerak seperti saat permainan mannequin challenge. Portal menuju Secret Zoo masih terbuka, percikan apinya juga tidak bergerak sama sekali.

“Jadi ini rasanya.”

Aku berusaha agar tidak panik dengan tingkat gravitasi yang baru ini. Sambil mencoba beradaptasi, aku mencari Alan. Aku yakin dia sudah tidak berada dalam tubuhnya.

Kualihkan pandanganku ke sudut lorong yang jauh, tempat datangnya Alan tadi. Rupanya Alan memang ada di sudut sana, mengelus hidungnya. Kurasa dia juga baru saja terlepas dari tubuh aslinya.

Rambut Alan sudah acak-acakan. Dia tidak lagi seperti Alan yang aku kenal. Alan yang biasa akan berpenampilan rapi dengan pipinya yang tirus khas orang inggris. Rambut pirangnya selalu disisir ke samping. Wajahnya bersih meski ada beberapa bintik merah di kedua pipinya. Sekarang dia membiarkan brewoknya tumbuh sedikit demi sedikit seperti orang tak terurus.

“Alan!” teriakku.
“Oh, There you are, Sigit. Finally you can control your astral body.” Jawabnya.
“Ya ya.” Jawab gue.
“You still can’t speak English properly, can you?”

Aku tidak bisa membantahnya. Alan 99% benar.

“How ‘bout this.” Dia merapalkan mantra bahasa seperti Eva.

Tapi, alih-alih menelannya sendiri, Alan langsung menerkamku dengan kecepatan tinggi hingga aku tidak bisa bergerak. Dia menyumpalkan mantranya ke dalam mulutku sampai mau tak mau harus tertelan.

“That’s awesome, right?” Puasnya.
“What do you want, Alan?!” Teriakku.
“I want to escape from this stinky place. Do you mind?” jawab Alan dengan senyumnya.

Alan sudah tidak bisa kabur sendiri karena cincinnya sudah kupegang. Dia juga tidak bisa membuka portal meski pun segel sihir di markas ini sudah kulepas. Jadi, Alan mau kabur dari markas menggunakan portal yang kubuat untuk Mas Hari.

“What did you do to inhumans?”
“You wanna talk? Let’s talk. Our time is unlimited. Just look at them.. not moving, like mannequin in the clothes store....or stone dwarf.”

Alan sangat banyak bicara. Setelah puas memaki semua orang, akhirnya dia mulai bicara jelas tentang prinsip dan tujuannya. Alan mengatakan telah membaca buku inhuman. Dia merasa inhuman memiliki arti lebih penting dari sekedar kemunculannya yang acak. Katanya, inhuman cukup kuat untuk dijadikan sebagai pelindung dari makhluk lain yang ingin menyerbu bumi.

“Ancient One is dead! We are not alone in this world!” Marahnya.
“What is your objective?” Tanyaku lagi.
“Inhumans are same as humans, there’s good and bad. War will happens again if they not in control....”

Aku mengerti maksud Alan. Dia ingin mengumpulkan inhuman terkuat untuk melindungi bumi sebagai pengganti Ancient One yang telah tiada, semacam membentuk avengers versi inhumans. Tapi alih-alih menjadi pemimpin, dia justru ingin mengendalikan inhuman dengan kekuatannya.

Watchdog adalah inang bagi Alan untuk membantu mencari inhuman. Terlebih, Irfan adalah pimpinan watchdog cabang Indonesia yang gampang untuk dipengaruhi. Oleh karena itu, Alan memulai pencarian dari Indonesia. Begitu watchdog hancur, dia kehilangan inangnya dan harus bergerak sembunyi sembunyi lagi.

“Didn’t you see her? She is extraordinary.” Alan terus bicara.
“Who?” Tanyaku.
“The woman who hit me. She even can push me out from my body.”

Alan bicara soal Mbak Puri. Aku akhirnya mengerti kenapa dia nekad menyusup ke sini dan pertama kali menemui Mbak Puri. Aku memang belum mengenalnya lama, tapi sepertinya Mbak Puri memang kuat.

“Join me, Sigit, we can save the world like Ancient One did before.” Tawar Alan.
“No way! you have to come back to Kamar-Taj.” Sanggahku.

Alan menghela nafas.

“Whatever, I’m not expert to affect people.”

Alan tiba-tiba menyerangku, memukulku dua kali tepat di ulu hati, lalu melemparku jauh menembus ke ruangan sebelah. Kemudian, dia terbang mendekati tubuhnya lagi. Aku segera bangkit untuk mencegahnya kabur.

“You can’t beat me, Sigit! This is your first time in this dimension.” Teriak Alan.

Aku harus menunjukkan kepadanya bahwa aku sudah belajar banyak. Aku bukan pemalas seperti dulu. Oleh sebab itu, aku dengan cepat terbang mendekat dan menarik kaki Alan. Kulempar dia menjauh lagi dari tubuhnya. Baku hantam terjadi. Kami saling pukul dan saling lempar hingga terbang ke ruangan lain.

Di satu ruangan perapian tanpa ada orang, kami kembali saling pukul. Arwah kami terbang ke sana ke mari mencari kemenangan dalam perkelahian ini. Wajahku rasanya bonyok, tapi tidak meninggalkan bekas atau tetesan darah sedikit pun dalam wujud astral ini. Aku yakin tubuh aslikulah yang menerima dampaknya.

“Do you know magic thing from the fire, Sigit? It’s full of heat reaction!”

Alan memunculkan belati sihirnya yang berwarna merah. Dia memasukkan belati itu ke perapian hingga memunculkan bara berwarna merah menyala. Alan kembali menyerangku dengan membabi buta. Aku menjadi takut karena Alan menggunakan senjata, sementara aku belum bisa membuat senjataku sendiri.

Mungkin inilah selisih kemampuan yang bisa diukur antara aku dan Alan.

Alan berhasil menusukku dengan belatinya. Aku langsung memegangi perutku, rasanya perih sekali. Arwahku melayang-layang tak seimbang. Seiring dengan itu, Alan pergi menjauh menuju tubuhnya tanpa bisa kucegah.

Aku berusaha mati-matian melayang menuju tubuhku, sementara Alan sudah masuk kembali ke tubuhnya. Dia mengambil cincinnya dalam kantong bajuku, lalu kabur dengan membuat portalnya sendiri entah ke belahan bumi yang mana.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Akilina Soemita


Puri Ananda Mawardi



Ernawati

 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 35
Keterpurukan


POV Rivin

Aku gak bisa lari lagi dari Putra. Foto-fotoku semakin banyak dikoleksinya. Bahkan, semalam dia menambah sekian banyak videoku yang sedang menikmati persenggamaan kami. Di tengah persenggamaan itu, samar-samar aku masih ingat dia meracau menaruh obat perangsang dalam makan malamku.

Setelah semalam penuh memenuhi birahi Putra, aku menjadi sangat kelelahan di kantor. Aku mengerjakan semua kegiatan dengan sangat ogah-ogahan. Obrolan teman-temanku saja tak fokus kutanggapi. Mereka yang mengira aku sakit menyarankan pulang lebih awal.

Memang aku ingin pulang lebih awal.

Tepat pukul satu, aku meminta izin pulang kepada kepala bagian yang berwenang atas izin sakit datang bulan. Untungnya beliau mengizinkanku. Selama beberes pulang, Putra melirikku dengan senyuman penuh makna. Dia juga memberikan lambaian tangan kepadaku, lalu meletakkan kepalan tangannya di telinga, memintaku mengabari sesampainya di kostan.

Tentunya tidak akan kukabari.

Perjalanan ke kostan terasa seabad. Sesampainya di kamar, aku berguling di kasur, ke sana ke mari. Aku rindu dengan Eda, tapi sekaligus penuh rasa bersalah karena telah berselingkuh dengan orang lain. Tak bisa kupungkiri, meski gak mau, pada saat itu aku turut menikmati kegiatan bercinta semalam suntuk dengan Putra.

Sebagai pengalih, banyak rencana terlintas di kepalaku setelah Eda datang. Aku akan pindah dari kostan ini ke apartemennya, lalu kami hidup bahagia. Tapi rasa-rasanya tidak mungkin semudah itu. Aku tetap masih satu kantor dengan Putra. Dia pasti akan tetap memata-mataiku dan suatu hari akan memanfaatkan foto-fotoku.

“Agghh!! Aku gak mau bubar sama Eda!! Baru juga pacaran seumur jagung!” Batinku bergolak.

Tapi aku tetap rindu sama Eda. Lebih baik kutelepon saja. Kutekan kontaknya, lalu nada sambung mendengung di telingaku.

“Halo, Vin?” Suaranya sangat kurindukan.
“Halo sayangku cintaku. Hari ini jalan-jalan ke mana lagi?” Aku bernada-nada manja.
“Aku lagi di Batu Secret Zoo, nih.”
“Enak bangeeet.”

Kami mengobrol tentang apa saja. Eda bercerita tentang kaburnya Hari dengan Erna yang hanya berdua usai soljum. Eda dan kawan-kawannya curiga akan ada hubungan romantis yang muncul antara Hari dan Erna. Sementara itu, aku bercerita tentang keletihanku hari ini.

“Oh, izin pulang cepet. Pantesan bisa nelepon.” Sahutnya di seberang telepon.
“Sayang, kamu harus tau, ada yang naksir aku di kantor. Namanya Putra.” Kataku.

Kujelaskan dengan sangat hati-hati. Aku menghindari cerita yang menjurus kegiatan bercinta.

“Hmm..”
“Kamu cemburu?”
“Ya, bisa dibilang begitu.”

Eda tiba-tiba selalu menanggapi dengan singkat setiap obrolan. Tak kusangka responnya sesensitif ini. Meski pun aku telah menjelaskan aku tidak menanggapi perasaan Putra, Eda tetap masih cemburu. Astaga, apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku sudah bersetubuh dengan Putra.

Ya, Tuhan, aku gak mau putus. Aku sangat sayang sama Eda dari dulu.

“Halo, Eda? Eda?” kupanggil namanya tanpa ada jawaban.
“Udah dulu ya. Ada gajah keseleo di kandang nih.” Jawab Eda asal.
“Iih, Eda tungg...”

Telepon diputus.

“AAAGGHHH!! KENAPA BEGINI!!” Aku mengacak-acak rambutku.

Kulampiaskan kekesalanku dengan langsung menenggak obat penenang pemberian Hari 3 butir sekaligus. Kuharap aku bisa menghilangkan kepusingan ini segera dan bisa tidur tenang. Beberapa menit kemudian, aku tertidur.

Aku terbangun saat hari telah gelap. Handphoneku yang tergeletak di samping bantal bergetar terus menerus. Mataku terbuka lebar seketika. Aku menangkatnya dengan terburu-buru dengan harapan itu telepon dari Eda.

“Halo, sayang.” Sapaku.
“Halo juga, sayang.” Bukan suara Eda.

Kulihat kontak penelepon, ternyata Putra.

“Sorry, sayang gue bukan buat elu.”
“Whatever, bukain pintunya dong. Gue di ruang depan nih.”
“Hah?!”

Dari mana Putra tau alamat kostku? Ada apa dia datang kemari? Oh, kuharap jangan terjadi lagi. Tak kutanggapi permintaannya. Aku tetap terdiam di kamarku dengan kepanikan tingkat tinggi. Dengan diam begini, kuharap Putra lelah menungguku dan dia pulang.

“Vin, Rivin! Temennya nyariin lho. Katanya, mbak lagi sakit ya?” teman kostku mengetuk kamar.

Sial, Putra memanfaatkan anak kost lain untuk memancingku keluar. Aku tak akan terpancing, aku tetap diam di kamar.

“Vin?” Temanku mengetuk lagi.
“Nggak kok, gue gak sakit.” Sahutku.
“Yang bener?” dia memastikan.
“Iya beneran.”
“Yaudah, buku dulu pintunya dong, gue mau ngecek aja.”

Aku berpikir sejenak.

“Masih ada temen gue gak di situ?”
“Gak ada.”

Kubuka pintu kamarku. Aku terkejut dengan dengan keberadaan Putra di sebelah temanku itu. Licik sekali dia, hadir tanpa bersuara. Dia bahkan bisa-bisanya melambai dan tersenyum padaku.

Setelah berterima kasih pada temanku, Putra langsung menyelak masuk ke kamarku. Dia membuka dua bungkusan nasi dan mengambil piring dari rak piringku. Temanku itu juga langsung pergi meninggalkan kami berdua tanpa sempat aku memarahinya.

“Bilang apa lu saman temen gue?” aku lampiaskan kekesalanku ke Putra sepenuh hati.
“Gue bilang kita pacaran dan lagi berantem.”
"Anjir lah."

Aku menggeleng-gelengkan kepala, sungguh licik cowok satu ini untuk mendapatkanku.

“Ayok makan nih. Pecel lele.” Ajaknya.
“Lu taruh apa lagi di makanan gue?” aku curiga.
“Taruh lele, sambal, sama lalapan.”
“Perangsang?” tembakku.
“Gak ada, yaelah.”

Putra mengelak menaruh obat perangsang lagi dalam makananku. Tapi, karena aku juga sudah lapar dan ternyata jam menunjukkan pukul 9 malam lebih, aku menerima makanan pemberiannya. Untuk menambah kewaspadaan, kucek lagi setiap sudut nasi, lele, sambal, bahkan lalapan di atas bungkusan itu.

Ada sedikit butiran tepung di sekitar nasi. Sudah kuduga hal ini akan terjadi lagi.

“Cuci tangan dulu, Put.” Saranku dengan nada lembut.
“Oke, beb.” Putra terpancing.

Putra keluar dari kamarku untuk menuju wastafel lantai bawah. Sela waktu itu kumanfaatkan untuk kembali menenggak 3 butir obat penenang. Aku berharap reaksi obat perangsang itu akan menjadi tidak berpengaruh padaku. Kemudian, kusembunyikan obat itu di tempat yang tak mungkin ditemukan.

Makanan kami santap dengan lahap hingga habis. Kemudian, Putra terus mengulur waktu dengan berbagai curhatan supaya tidak segera pulang. Satu jam berlalu, dan tidak kurasakan efek obat perangsang itu pada tubuhku.

Berhasil.

Putra nampak semakin gelisah. Kurasa dia tidak sabar menungguku bereaksi seperti yang diharapkannya.

“Lu nunggu gue sange?” Aku menembak.
“Apaan?” Putra mati kutu.
“Gue tau lu naruh obat perangsang kan di pecel lele tadi. Percuma, udah gak mempan. Jadi mending sekarang lu pulang.”

Aku menang hari ini.

“Lu pikir gue bakal pulang tanpa hasil?!” Bentak Putra.

Dia membuka handphonenya. Foto dan videoku berjejer dalam salah satu albumnya. Akhirnya kelemahanku dimanfaatkannya. Putra mengancam menyebarkan foto itu di internet kalau malam ini aku tidak melayaninya. Hebatnya lagi, tidak satu gambar pun yang menunjukkan adanya wajah Putra, sehingga dia bisa leluasa menyebarluaskan aibku.

“Vin, lu harus nurut. Gue punya backupnya di rumah.” Ancam Putra.

Aku dipaksa membuka pakaiannya dan pakaianku sendiri. Aku dipaksa mengulum penisnya. Tidak ada aroma di bagian tubuh Putra manapun yang sama seperti saat di gudang waktu itu. Birahiku tidak naik sama sekali, tapi aku dipaksa tetap harus melakukannya.

Rasanya sungguh tidak nikmat. Ini pelecehan, pemerkosaan, masokisme. Air mataku mengalir membasahi pipiku. Ingin aku teriak, tapi tidak mungkin. Besok bisa saja aibku akan tersebar luas.

Aku menolak untuk berada di posisi atas. Sebagai gantinya, Putra menindihku dengan kasar. Dia menghujam penisnya kuat-kuat, sementara yang kurasakan hanya perih. Hanya sedikit cairan pelumas membasahi dinding-dinding vaginaku.

“Putra, sakit, berhentii..” aku menangis.
“Ahh.. lebih enak gini. Peret banget... aaahh...”

Putra justru lebih menikmati persenggamaan seperti ini. Dia berubah drastis dari seorang yang santun dan ramah, menjadi seorang pemerkosa. Tubuh dan batinku diperkosanya dengan sangat liar malam ini.

Badanku diputarnya hingga menungging. Tanganku bertumpu lemah pada dinding. Sementara itu, penisnya kembali menghujam ke dalam vaginaku dengan liar. Garakannya membuatku berguncang, sedangkan aku sudah sangat lemah.

Selang bebeberapa lama, Putra menarikku untuk mengulumnya penisnya kembali. Dia berdiri, sedangkan aku bersimpuh di depan penisnya. Setelah puas, dia mengocok penisnya kuat-kuat, lalu muncratlah spermanya ke seluruh wajahku. Lengket dan tidak menggairahkan sama sekali.

Setelah puas, Putra dengan sigap memakai bajunya kembali.

“Besok-besok begini aja. Lebih puas gue.” Putra beranjak pulang.

Sungguh, ini adalah pemerkosaan. Aku menangis, tak tahu lagi bagaimana ini akan berakhir di kemudian hari. Aku tak tahu bagaimana akan jujur kepada Eda setelah dia pulang nanti.

---

POV Eda

“Ayo, angkatin barangnya.” Ajak Jamet.
“Sampe juga.” Gue menghela nafas

Mobil elf kami mengambil parkir di sebuah halaman rumah. Kedua Mbahnya Jamet menyambut kami. Kami turun dari mobil, disusul dengan para cowok yang membuat barisan pengangkut barang.

Kami tiba di rumah mbahnya Jamet sekitar jam 11 lewat. Rasa-rasanya kemacetan masa weekend di jalur Malang-Surabaya sudah menyerupai Bogor. Selain itu, kami memang terlalu lama menunggu Hari dan Erna kembali. Mereka datang menemui kami usai maghrib, entah dari mana. Belum lagi kmai harus menjemput Janiar dulu.

“Macet tadi emang gak biasa sih, rame banget.” Jamet berceloteh.

Yah, yang penting kami sudah tiba. Barang-barang diletakkan di dua kamar berbeda. Satu kamar dekat pintu diisi barang-barang milik para cowok. Sedangkan kamar dekat kamar mandi diisi barang-barang milik para cewek.

Setelah selesai mengangkut barang ke dalam rumah, para cewek mengatur jadwal antrian mandi. Tika mengantri pertama untuk mandi, disusul Jennifer, Janiar, Erna, dan terakhir Dani. Sementara itu, para cowok gak terlalu mikirin mandi, kecuali gue. Gue akan mengantri mandi setelah para cewek selesai.

“Kita tidurnya ngemper di depan tivi gapapa ya?” tawar Jamet.
“Gapapa lah, lebih seru begini.” Jawab Anwar.
“Kenapa gak dari kemaren, Met.” sambung gue.

Kedua mbahnya Jamet dan Jamet sendiri berangsur membawakan dua kasur lipat dan banyak bantal untuk kami. Tapi, Pakle Sutrisno lebih memilih pulang ketimbang ikut menginap. Gak mau ganggu urusan anak muda katanya.

Hari dan Erna tidak banyak bicara setelah datang kembali. Mereka sibuk dengan gadgetnya sendiri. Entah apa yang mereka lakukan saat berdua, pasti ada momen yang membuat mereka tampak sangat lelah.

Mungkin mereka sempat masuk ke semak-semak. Mungkin. Itu hanya pikiran liar gue aja.

Tika baru masuk kamar mandi. Dani sibuk sendiri dengan gadgetnya dan gue gak berani membuka pembicaraan dengan dia untuk saat ini. Jennifer sibuk berbincang dengan Janiar, entah membicarakan apa.

Gue memutuskan untuk kangen-kangenan sama Rivin saja. Gue membuka kunci layar handphone dan menekan kontak Rivin.

“Halo, Rivin sayang.” Gue berbicara lembut
“Halo, Eda..” Rivin terdengar terisak-isak.
“Eh, kamu lagi nangis?”
“Iya, lagi sakit bulanan, hehehe..”

Rivin berkata dia nangis karena datang bulan. Aku memang tidak pernah ikut menghitung kalender, tapi sepertinya ini memang harinya Rivin akan datang bulan. Aku lantas menghiburnya dengan harapan Rivin lupa akan sakitnya.

Cukup lama kami berbincang sampai tak terasa sudah giliran Dani yang mandi. Jam juga sudah menunjukkan hampir tengah malam. Akhirnya aku mengakhiri telepon, lalu mengambil perlengkapan mandi.

---

POV Hari

Gue terlalu lelah hari ini. Erna pun juga begitu. Setelah Sigit ditusuk entah dengan benda apa, dia langsung tak sadarkan diri. Di sisi lain, Alan berhasil kabur. Sigit dilarikan ke ruang perawatan intensif. Seseorang yang tampak tua muncul dengan portal, mengenalkan dirinya dengan nama Master Hamir. Dia membuat portal baru untuk kami bisa kembali ke Secret Zoo.

Gue terduduk lemas di teras rumah mbahnya Jamet. Udara malam berhembus sehingga membuat gue mendekap erat jaket yang tak gue resletingkan. Hal itu cukup menjadi pengalih pikiran gue yang jauh mengawang.

Erna datang dan duduk di sebelah gue. Dia mengajak berdiskusi tentang bagaimana langkah berikutnya, namun pikiran gue justru makin gak fokus. Alan hilang lagi, inhuman yang bisa terbang itu juga belum diketahui asal usulnya. Rasanya penyelidikan kami hanya jalan di tempat.

“Capek.” Keluh gue.
“Sama. Tapi jadi agen kan memang begitu etos kerjanya.” Jawab Erna.

Gue menghela nafas.

“Kita mulai dari mana lagi?” Tanya gue.
“Tunggu Sigit sembuh dulu kali ya.” Usul Erna.

Sigit kena tusuk di bagian perut. Mungkin dua minggu lagi dia baru pulih. Bisa saja lebih cepat kalau ada sihir yang membuat lukanya tertutup dalam sekejap. Tapi biarlah itu urusan pak tua Master Hamir.

“Malam ini kita istirahat aja. Besok akan masalahnya Eda sama Dani yang mesti diurus.” Erna menasehati gue.

Besok gue harus membuat dua temen gue baikan lagi. Nggak harus balikan, minimal mereka berdua gak diem-dieman lagi lah.

Kepala gue menoleh ke dalam rumah, mencari keberadaan Dani dan Eda, sayangnya gak terlihat. Hanya tampak Anwar, Tika, Jamet, Jennifer, dan Janiar yang duduk berkumpul di atas kasur lipat. Wajah mereka juga sudah menunjukkan raut kelelahan, tapi enggan untuk tidur.

“War! Dani sama Eda mana?” suara gue lantang memanggil Anwar.
“Eda mandi. Dani ada tuh di kamar lagi ganti baju.” Jawabnya dengan lantang juga.
“Heh, udah malem tereak tereak.” Erna ngomel.

Gak lama berselang, Dani datang menghampiri kami berdua di teras.

“Ada perkembangan kabar Sigit?” tanya Dani.
“Masih kaya yang gue tulis di grup.” Jawab gue.

Dani bertanya bagaimana langkah kami selanjutnya. Persis sama dengan pertanyaan gue ke Erna tadi. Erna pun menjawab lagi kedua kalinya untuk tetap tenang dan jalani liburan terlebih dulu. Erna masih konsisten menyembunyikan rencana soal besok.

Seharian ini penuh gue lalui dengan banyak hal. Mulai dari menghindar bareng Erna dari kejaran temen-temen yang kepo, berkelahi dengan Alan, berbaikan dengan Puri dengan cara yang gak keduga serta pengakuannya tentang adek gue, dan yang terakhir Sigit tertusuk tiba-tiba.

Cukup sudah masalah yang muncul hari ini. Gue pun mengajak Dani dan Erna masuk ke dalam rumah. Di saat yang sama, Eda selesai mandi, lalu Jamet mengajak kami untuk segera tidur berjejer di ruang tamu.

"Malem, gaes." Salam penutup Jamet. Dia tidur duluan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Rivin itu ibarat pagar makan tanaman, trus gentian pagarnya (pagar dikampung mah taneman juga) dimakan Embek. Wkwkwk kasian kasian.




:pandaketawa:
 
om, nanya dong
dri dlu penasaran sama ava nya si jeruk itu
siapa sih itu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd