Episode 35
Keterpurukan
POV Rivin
Aku gak bisa lari lagi dari Putra. Foto-fotoku semakin banyak dikoleksinya. Bahkan, semalam dia menambah sekian banyak videoku yang sedang menikmati persenggamaan kami. Di tengah persenggamaan itu, samar-samar aku masih ingat dia meracau menaruh obat perangsang dalam makan malamku.
Setelah semalam penuh memenuhi birahi Putra, aku menjadi sangat kelelahan di kantor. Aku mengerjakan semua kegiatan dengan sangat ogah-ogahan. Obrolan teman-temanku saja tak fokus kutanggapi. Mereka yang mengira aku sakit menyarankan pulang lebih awal.
Memang aku ingin pulang lebih awal.
Tepat pukul satu, aku meminta izin pulang kepada kepala bagian yang berwenang atas izin sakit datang bulan. Untungnya beliau mengizinkanku. Selama beberes pulang, Putra melirikku dengan senyuman penuh makna. Dia juga memberikan lambaian tangan kepadaku, lalu meletakkan kepalan tangannya di telinga, memintaku mengabari sesampainya di kostan.
Tentunya tidak akan kukabari.
Perjalanan ke kostan terasa seabad. Sesampainya di kamar, aku berguling di kasur, ke sana ke mari. Aku rindu dengan Eda, tapi sekaligus penuh rasa bersalah karena telah berselingkuh dengan orang lain. Tak bisa kupungkiri, meski gak mau, pada saat itu aku turut menikmati kegiatan bercinta semalam suntuk dengan Putra.
Sebagai pengalih, banyak rencana terlintas di kepalaku setelah Eda datang. Aku akan pindah dari kostan ini ke apartemennya, lalu kami hidup bahagia. Tapi rasa-rasanya tidak mungkin semudah itu. Aku tetap masih satu kantor dengan Putra. Dia pasti akan tetap memata-mataiku dan suatu hari akan memanfaatkan foto-fotoku.
“Agghh!! Aku gak mau bubar sama Eda!! Baru juga pacaran seumur jagung!” Batinku bergolak.
Tapi aku tetap rindu sama Eda. Lebih baik kutelepon saja. Kutekan kontaknya, lalu nada sambung mendengung di telingaku.
“Halo, Vin?” Suaranya sangat kurindukan.
“Halo sayangku cintaku. Hari ini jalan-jalan ke mana lagi?” Aku bernada-nada manja.
“Aku lagi di Batu Secret Zoo, nih.”
“Enak bangeeet.”
Kami mengobrol tentang apa saja. Eda bercerita tentang kaburnya Hari dengan Erna yang hanya berdua usai soljum. Eda dan kawan-kawannya curiga akan ada hubungan romantis yang muncul antara Hari dan Erna. Sementara itu, aku bercerita tentang keletihanku hari ini.
“Oh, izin pulang cepet. Pantesan bisa nelepon.” Sahutnya di seberang telepon.
“Sayang, kamu harus tau, ada yang naksir aku di kantor. Namanya Putra.” Kataku.
Kujelaskan dengan sangat hati-hati. Aku menghindari cerita yang menjurus kegiatan bercinta.
“Hmm..”
“Kamu cemburu?”
“Ya, bisa dibilang begitu.”
Eda tiba-tiba selalu menanggapi dengan singkat setiap obrolan. Tak kusangka responnya sesensitif ini. Meski pun aku telah menjelaskan aku tidak menanggapi perasaan Putra, Eda tetap masih cemburu. Astaga, apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku sudah bersetubuh dengan Putra.
Ya, Tuhan, aku gak mau putus. Aku sangat sayang sama Eda dari dulu.
“Halo, Eda? Eda?” kupanggil namanya tanpa ada jawaban.
“Udah dulu ya. Ada gajah keseleo di kandang nih.” Jawab Eda asal.
“Iih, Eda tungg...”
Telepon diputus.
“AAAGGHHH!! KENAPA BEGINI!!” Aku mengacak-acak rambutku.
Kulampiaskan kekesalanku dengan langsung menenggak obat penenang pemberian Hari 3 butir sekaligus. Kuharap aku bisa menghilangkan kepusingan ini segera dan bisa tidur tenang. Beberapa menit kemudian, aku tertidur.
Aku terbangun saat hari telah gelap. Handphoneku yang tergeletak di samping bantal bergetar terus menerus. Mataku terbuka lebar seketika. Aku menangkatnya dengan terburu-buru dengan harapan itu telepon dari Eda.
“Halo, sayang.” Sapaku.
“Halo juga, sayang.” Bukan suara Eda.
Kulihat kontak penelepon, ternyata Putra.
“Sorry, sayang gue bukan buat elu.”
“Whatever, bukain pintunya dong. Gue di ruang depan nih.”
“Hah?!”
Dari mana Putra tau alamat kostku? Ada apa dia datang kemari? Oh, kuharap jangan terjadi lagi. Tak kutanggapi permintaannya. Aku tetap terdiam di kamarku dengan kepanikan tingkat tinggi. Dengan diam begini, kuharap Putra lelah menungguku dan dia pulang.
“Vin, Rivin! Temennya nyariin lho. Katanya, mbak lagi sakit ya?” teman kostku mengetuk kamar.
Sial, Putra memanfaatkan anak kost lain untuk memancingku keluar. Aku tak akan terpancing, aku tetap diam di kamar.
“Vin?” Temanku mengetuk lagi.
“Nggak kok, gue gak sakit.” Sahutku.
“Yang bener?” dia memastikan.
“Iya beneran.”
“Yaudah, buku dulu pintunya dong, gue mau ngecek aja.”
Aku berpikir sejenak.
“Masih ada temen gue gak di situ?”
“Gak ada.”
Kubuka pintu kamarku. Aku terkejut dengan dengan keberadaan Putra di sebelah temanku itu. Licik sekali dia, hadir tanpa bersuara. Dia bahkan bisa-bisanya melambai dan tersenyum padaku.
Setelah berterima kasih pada temanku, Putra langsung menyelak masuk ke kamarku. Dia membuka dua bungkusan nasi dan mengambil piring dari rak piringku. Temanku itu juga langsung pergi meninggalkan kami berdua tanpa sempat aku memarahinya.
“Bilang apa lu saman temen gue?” aku lampiaskan kekesalanku ke Putra sepenuh hati.
“Gue bilang kita pacaran dan lagi berantem.”
"Anjir lah."
Aku menggeleng-gelengkan kepala, sungguh licik cowok satu ini untuk mendapatkanku.
“Ayok makan nih. Pecel lele.” Ajaknya.
“Lu taruh apa lagi di makanan gue?” aku curiga.
“Taruh lele, sambal, sama lalapan.”
“Perangsang?” tembakku.
“Gak ada, yaelah.”
Putra mengelak menaruh obat perangsang lagi dalam makananku. Tapi, karena aku juga sudah lapar dan ternyata jam menunjukkan pukul 9 malam lebih, aku menerima makanan pemberiannya. Untuk menambah kewaspadaan, kucek lagi setiap sudut nasi, lele, sambal, bahkan lalapan di atas bungkusan itu.
Ada sedikit butiran tepung di sekitar nasi. Sudah kuduga hal ini akan terjadi lagi.
“Cuci tangan dulu, Put.” Saranku dengan nada lembut.
“Oke, beb.” Putra terpancing.
Putra keluar dari kamarku untuk menuju wastafel lantai bawah. Sela waktu itu kumanfaatkan untuk kembali menenggak 3 butir obat penenang. Aku berharap reaksi obat perangsang itu akan menjadi tidak berpengaruh padaku. Kemudian, kusembunyikan obat itu di tempat yang tak mungkin ditemukan.
Makanan kami santap dengan lahap hingga habis. Kemudian, Putra terus mengulur waktu dengan berbagai curhatan supaya tidak segera pulang. Satu jam berlalu, dan tidak kurasakan efek obat perangsang itu pada tubuhku.
Berhasil.
Putra nampak semakin gelisah. Kurasa dia tidak sabar menungguku bereaksi seperti yang diharapkannya.
“Lu nunggu gue sange?” Aku menembak.
“Apaan?” Putra mati kutu.
“Gue tau lu naruh obat perangsang kan di pecel lele tadi. Percuma, udah gak mempan. Jadi mending sekarang lu pulang.”
Aku menang hari ini.
“Lu pikir gue bakal pulang tanpa hasil?!” Bentak Putra.
Dia membuka handphonenya. Foto dan videoku berjejer dalam salah satu albumnya. Akhirnya kelemahanku dimanfaatkannya. Putra mengancam menyebarkan foto itu di internet kalau malam ini aku tidak melayaninya. Hebatnya lagi, tidak satu gambar pun yang menunjukkan adanya wajah Putra, sehingga dia bisa leluasa menyebarluaskan aibku.
“Vin, lu harus nurut. Gue punya backupnya di rumah.” Ancam Putra.
Aku dipaksa membuka pakaiannya dan pakaianku sendiri. Aku dipaksa mengulum penisnya. Tidak ada aroma di bagian tubuh Putra manapun yang sama seperti saat di gudang waktu itu. Birahiku tidak naik sama sekali, tapi aku dipaksa tetap harus melakukannya.
Rasanya sungguh tidak nikmat. Ini pelecehan, pemerkosaan, masokisme. Air mataku mengalir membasahi pipiku. Ingin aku teriak, tapi tidak mungkin. Besok bisa saja aibku akan tersebar luas.
Aku menolak untuk berada di posisi atas. Sebagai gantinya, Putra menindihku dengan kasar. Dia menghujam penisnya kuat-kuat, sementara yang kurasakan hanya perih. Hanya sedikit cairan pelumas membasahi dinding-dinding vaginaku.
“Putra, sakit, berhentii..” aku menangis.
“Ahh.. lebih enak gini. Peret banget... aaahh...”
Putra justru lebih menikmati persenggamaan seperti ini. Dia berubah drastis dari seorang yang santun dan ramah, menjadi seorang pemerkosa. Tubuh dan batinku diperkosanya dengan sangat liar malam ini.
Badanku diputarnya hingga menungging. Tanganku bertumpu lemah pada dinding. Sementara itu, penisnya kembali menghujam ke dalam vaginaku dengan liar. Garakannya membuatku berguncang, sedangkan aku sudah sangat lemah.
Selang bebeberapa lama, Putra menarikku untuk mengulumnya penisnya kembali. Dia berdiri, sedangkan aku bersimpuh di depan penisnya. Setelah puas, dia mengocok penisnya kuat-kuat, lalu muncratlah spermanya ke seluruh wajahku. Lengket dan tidak menggairahkan sama sekali.
Setelah puas, Putra dengan sigap memakai bajunya kembali.
“Besok-besok begini aja. Lebih puas gue.” Putra beranjak pulang.
Sungguh, ini adalah pemerkosaan. Aku menangis, tak tahu lagi bagaimana ini akan berakhir di kemudian hari. Aku tak tahu bagaimana akan jujur kepada Eda setelah dia pulang nanti.
---
POV Eda
“Ayo, angkatin barangnya.” Ajak Jamet.
“Sampe juga.” Gue menghela nafas
Mobil elf kami mengambil parkir di sebuah halaman rumah. Kedua Mbahnya Jamet menyambut kami. Kami turun dari mobil, disusul dengan para cowok yang membuat barisan pengangkut barang.
Kami tiba di rumah mbahnya Jamet sekitar jam 11 lewat. Rasa-rasanya kemacetan masa weekend di jalur Malang-Surabaya sudah menyerupai Bogor. Selain itu, kami memang terlalu lama menunggu Hari dan Erna kembali. Mereka datang menemui kami usai maghrib, entah dari mana. Belum lagi kmai harus menjemput Janiar dulu.
“Macet tadi emang gak biasa sih, rame banget.” Jamet berceloteh.
Yah, yang penting kami sudah tiba. Barang-barang diletakkan di dua kamar berbeda. Satu kamar dekat pintu diisi barang-barang milik para cowok. Sedangkan kamar dekat kamar mandi diisi barang-barang milik para cewek.
Setelah selesai mengangkut barang ke dalam rumah, para cewek mengatur jadwal antrian mandi. Tika mengantri pertama untuk mandi, disusul Jennifer, Janiar, Erna, dan terakhir Dani. Sementara itu, para cowok gak terlalu mikirin mandi, kecuali gue. Gue akan mengantri mandi setelah para cewek selesai.
“Kita tidurnya ngemper di depan tivi gapapa ya?” tawar Jamet.
“Gapapa lah, lebih seru begini.” Jawab Anwar.
“Kenapa gak dari kemaren, Met.” sambung gue.
Kedua mbahnya Jamet dan Jamet sendiri berangsur membawakan dua kasur lipat dan banyak bantal untuk kami. Tapi, Pakle Sutrisno lebih memilih pulang ketimbang ikut menginap. Gak mau ganggu urusan anak muda katanya.
Hari dan Erna tidak banyak bicara setelah datang kembali. Mereka sibuk dengan gadgetnya sendiri. Entah apa yang mereka lakukan saat berdua, pasti ada momen yang membuat mereka tampak sangat lelah.
Mungkin mereka sempat masuk ke semak-semak. Mungkin. Itu hanya pikiran liar gue aja.
Tika baru masuk kamar mandi. Dani sibuk sendiri dengan gadgetnya dan gue gak berani membuka pembicaraan dengan dia untuk saat ini. Jennifer sibuk berbincang dengan Janiar, entah membicarakan apa.
Gue memutuskan untuk kangen-kangenan sama Rivin saja. Gue membuka kunci layar handphone dan menekan kontak Rivin.
“Halo, Rivin sayang.” Gue berbicara lembut
“Halo, Eda..” Rivin terdengar terisak-isak.
“Eh, kamu lagi nangis?”
“Iya, lagi sakit bulanan, hehehe..”
Rivin berkata dia nangis karena datang bulan. Aku memang tidak pernah ikut menghitung kalender, tapi sepertinya ini memang harinya Rivin akan datang bulan. Aku lantas menghiburnya dengan harapan Rivin lupa akan sakitnya.
Cukup lama kami berbincang sampai tak terasa sudah giliran Dani yang mandi. Jam juga sudah menunjukkan hampir tengah malam. Akhirnya aku mengakhiri telepon, lalu mengambil perlengkapan mandi.
---
POV Hari
Gue terlalu lelah hari ini. Erna pun juga begitu. Setelah Sigit ditusuk entah dengan benda apa, dia langsung tak sadarkan diri. Di sisi lain, Alan berhasil kabur. Sigit dilarikan ke ruang perawatan intensif. Seseorang yang tampak tua muncul dengan portal, mengenalkan dirinya dengan nama Master Hamir. Dia membuat portal baru untuk kami bisa kembali ke Secret Zoo.
Gue terduduk lemas di teras rumah mbahnya Jamet. Udara malam berhembus sehingga membuat gue mendekap erat jaket yang tak gue resletingkan. Hal itu cukup menjadi pengalih pikiran gue yang jauh mengawang.
Erna datang dan duduk di sebelah gue. Dia mengajak berdiskusi tentang bagaimana langkah berikutnya, namun pikiran gue justru makin gak fokus. Alan hilang lagi, inhuman yang bisa terbang itu juga belum diketahui asal usulnya. Rasanya penyelidikan kami hanya jalan di tempat.
“Capek.” Keluh gue.
“Sama. Tapi jadi agen kan memang begitu etos kerjanya.” Jawab Erna.
Gue menghela nafas.
“Kita mulai dari mana lagi?” Tanya gue.
“Tunggu Sigit sembuh dulu kali ya.” Usul Erna.
Sigit kena tusuk di bagian perut. Mungkin dua minggu lagi dia baru pulih. Bisa saja lebih cepat kalau ada sihir yang membuat lukanya tertutup dalam sekejap. Tapi biarlah itu urusan pak tua Master Hamir.
“Malam ini kita istirahat aja. Besok akan masalahnya Eda sama Dani yang mesti diurus.” Erna menasehati gue.
Besok gue harus membuat dua temen gue baikan lagi. Nggak harus balikan, minimal mereka berdua gak diem-dieman lagi lah.
Kepala gue menoleh ke dalam rumah, mencari keberadaan Dani dan Eda, sayangnya gak terlihat. Hanya tampak Anwar, Tika, Jamet, Jennifer, dan Janiar yang duduk berkumpul di atas kasur lipat. Wajah mereka juga sudah menunjukkan raut kelelahan, tapi enggan untuk tidur.
“War! Dani sama Eda mana?” suara gue lantang memanggil Anwar.
“Eda mandi. Dani ada tuh di kamar lagi ganti baju.” Jawabnya dengan lantang juga.
“Heh, udah malem tereak tereak.” Erna ngomel.
Gak lama berselang, Dani datang menghampiri kami berdua di teras.
“Ada perkembangan kabar Sigit?” tanya Dani.
“Masih kaya yang gue tulis di grup.” Jawab gue.
Dani bertanya bagaimana langkah kami selanjutnya. Persis sama dengan pertanyaan gue ke Erna tadi. Erna pun menjawab lagi kedua kalinya untuk tetap tenang dan jalani liburan terlebih dulu. Erna masih konsisten menyembunyikan rencana soal besok.
Seharian ini penuh gue lalui dengan banyak hal. Mulai dari menghindar bareng Erna dari kejaran temen-temen yang kepo, berkelahi dengan Alan, berbaikan dengan Puri dengan cara yang gak keduga serta pengakuannya tentang adek gue, dan yang terakhir Sigit tertusuk tiba-tiba.
Cukup sudah masalah yang muncul hari ini. Gue pun mengajak Dani dan Erna masuk ke dalam rumah. Di saat yang sama, Eda selesai mandi, lalu Jamet mengajak kami untuk segera tidur berjejer di ruang tamu.
"Malem, gaes." Salam penutup Jamet. Dia tidur duluan.
BERSAMBUNG