Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Dari kemaren kemaren mau baca ini cerita lupa muluukk..

Padahal kayanya bagus nih cerita..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 39
Menjemput Kenia

POV Eda

Rivin malam ini udah resmi pindah setelah gue jemput di kostnya. Barang-barangnya telah tersusun rapi di dalam lemari, dan sisanya akan dibereskan besok. Malam ini kerinduan kami berdua harus tuntas. Usai mandi, gue berniat akan menjamah Rivin yang telah berpakaian minim. Dia pun juga telah menunggu di tengah ranjang.

Rivin menyambut gue dengan ketelanjangannya di balik selimut. Kami mulai bercumbu dengan perlahan. Gue lakukan satu hingga dua kali kecupan, lalu gue berinsiatif melanjutkan sentuhan bibir kami dengan mejulurkan lidah menyeruak ke dalam rongga mulutnya.

Rivin membalas pelan.

Gue singkap selimut yang membungkusnya. Bra berenda dan g-string berwarna putih senada dengan sprei tempat tidur tak sanggup menahan tongkat sakti ini. Gue beralih duduk di belakang Rivin, mengecup setiap jengkal lehernya dari belakang. Payudaranya yang lembut namun kencang itu tak lepas gue mainkan tanpa rasa puas.

“Kamu seksi.” Goda gue.
“Makasih. Kamu udah gak sabar ya?” Balas Ririn.

Gue buka bra Rivin, berlanjut dengan g-stringnya. Gue jilati Rivin, sesuai keahlian gue sebelum-sebelumnya. Klitorisnya silih berganti gue jilat dan pelintir mengunakan kedua jari telunjuk dan tengah. Lubang kenikmatan Rivin gue lumat sedalam mungkin. Dua jari gue masukkan untuk menambah rangsangan kepadanya.

Rivin sedari tadi hanya menarik nafas terengah, tanpa desahan dan racuan. Ada yang kurang sepertinya dalam permainan gue. Lubang vaginanya hanya mengeluarkan sedikit pelumas.

“Kamu lagi sakit?” Gue tanya dia.
“Gapapa. Ayo masukin, kamu udah kangen kan.” Senyum Rivin mengggugah.

Penis gue masuk membelah ke dalam liang kenikmatan Rivin. Rasanya kering sekali. Gue gak terbiasa dengan vagina yang kering. Sepuluh menit tanpa perubahan, gue meminta Rivin untuk mengulum penis gue terlebih dulu.

Rivin memulai dengan menjilati pangkal penis gue. Beberapa kali dia pindah ke buah zakar, lalu menjilat panjang hingga ke ujung lubang kencing. Permainan Rivin membuat gue merinding, terlebih ketika rongga mulutnya menjepit seluruh batang penis gue hingga tanpa ada rongga. Batang penis gue otomatis berdiri tegak kembali dengan lumuran liur Rivin yang mengalir hingga sela selangkangan.

Akan tetapi, lima menit setelah kembali bermain, rasanya sama saja. Vagina Rivin tetap saja kurang mengeluarkan pelumas meski telah disela dengan kuluman Rivin dan berkali-kali jilatan gue ke vaginanya.

“Mungkin beneran lagi sakit.” Batin gue.

Setengah jam lebih, tidak ada respon baik yang diberikan dari tubuh Rivin. Bahkan desahan dan racauannya sama sekali tidak menaikkan gairah gue. Ada yang aneh, mungkin saja Rivin sakit. Atas izin Rivin, gue meminta menyelesaikan permainan ini cepat-cepat. Sperma gue keluar di wajahnya. Tidak banyak yang tumpah karena memang Rivin tidak mengekskalasi gairah sama sekali. Rasanya seperti hanya bercinta dengan boneka, atau tangan sendiri.

“Gapapa lah. Masih ada besok.”

Tanpa sempat pillow talk, Rivin sudah tertidur pulas. Gue bosan dan belum mengantuk, mungkin membereskan barang Rivin bisa berguna. Segala macam yang baru dibawanya gue susun satu persatu. Kardus, pakaian, kosmetik, hingga handphone. Ada ketertarikan tersendiri untuk melihat isi handphone Rivin, namun gue lupa pola kuncinya.

Saat tangan gue yang masih geratakan di tas Rivin, satu kotak obat penenang pemberian Hari jatuh ke lantai. Utungnya, Rivin gak sampai terbangun karenanya.

“Dari suaranya, kok isinya kaya hampir abis?” Gue bergumam heran.

Gue meninbang-nimbang berat obat itu, lalu membukanya. Gue pun membandingkan jumlah sisa obat milik Rivin dengan milik gue. Memang benar ada perbedaan. Obat milik Rivin berkurang drastis, padahal diberikan Hari di waktu sama dengan milik gue.

Gue mengirim teks wa ke Hari secepat mungkin.

Gue: Har, gue mau cerita. Lu lagi di mana?
Hari: Cerita apa? Gue lagi di apartemen.
Gue; Gue ke sana besok pagi deh. Enakan langsung.

Besoknya, gue meluncur ke apartemen Hari setelah mengantar Rivin bekerja terlebih dulu.

---

POV Hari

Sinar matahari mulai menembus jendela penthouse. Gue, Dani, dan Erna satu pun belum sempat tidur sepanjang malam. Kamera lebah menunjukkan hasil scanning kota Jakarta sebanyak 19 persen. Tapi, bukan itu yang membuat gue sulit tidur. Penyebabnya adalah informasi tentang teori ketertarikan Jeepers Creepers terhadap Kenia atau Puri, telepon dari nyokap soal temennya Kenia, dan curhatan Eda.

Tadi malam, Lina dan Puri di seberang layar komunikasi, menyampaikan teori mereka. Entah Kenia atau Puri, atau keduanya, memang sedang diincar.

Belum lagi Eda yang curhat kalau Kak Rivin punya masalah sama obat penenang dari gue. Gue terlanjur berjanji akan mendengarkan masalahnya pagi ini.

“Har, kita harus jaga Kenia pagi ini.” Kata Dani.
“Tunggu Eda dateng dulu sebentar. Ada urusan.”
“Ya, ampun, urusan apa sih?”

Dani menghembuskan nafas kesal. Sementara Erna sedang mencoba pakaian lapangannya. Sebuah baju seragam dengan lambang S.H.I.E.L.D. di lengan kanan dan kiri.

“Ini lagi anak satu, terlalu mencolok pake itu.” Omel Dani.

Erna menoleh bengong.

“Pake sepatunya aja kaya gue, atau apa kek.” Sahut Dani lagi.

Gue dari semalem bener-bener gak fokus. Semalem, Lina menginstruksikan harus menarik setannya Puri dulu dari sisi Kenia supaya tau siapa sebenernya targetnya si Jeepers Creepers ini. Maka, hari ini kami bertiga harus menjadi pengawal Kenia sampai pulang sekolah, agar kemudian dijemput S.H.I.E.L.D.

“Terserah soal Eda. Kita harus jalan sekarang.” Kata Dani tegas.
“Lu masih baper sama Eda?” Tanya gue.
“Sumpah ya, bukan soal itu. Ini soal adek lu!”

Dani memimpin jalan untuk bergegas turun ke basement. Erna sudah kembali berganti baju yang lebih normal. Di depan pintu lift lantai dasar, ternyata sudah ada Eda.

“Nah, ini anak baru dateng.” Sapa gue.
“Pada mau ke mana?” Eda dengan muka bingungnya.
“Kebetulan. Curhatnya ntar aja, sekarang anterin kita ke sekolahnya Kenia.” Dani memerintah Eda.

Dani lah yang masih paling fokus diantara kami bertiga. Dia dengan mudahnya memaksa Eda jadi supir untuk kami bertiga, menembus kemacetan ala-ala weekdaysnya Depok hingga ke Jakarta Pusat. Erna tertidur duluan di bangku tengah, sementara Dani sibuk dengan barang-barang S.H.I.E.L.D. yang baru mahir dia kuasai beberapa minggu belakangan.

Gue melihat Dani kaya orang yang sibuk mengisi peluru dan mengokang senjata. Dia seperti ada di sebuah scene perencanaan penyerbuan gudang senjata sebuah film action. Galak dan judes.

“Ada yang bisa jelasin gak sih?” Eda penasaran abis.
“Kita mau ke sekolahnya Kenia.” Jawab gue sambil nguap.
“Supaya?”
“Supaya dia gak ditangkep inhuman.”

Eda terdiam menganga sebentar.

“Buset. Lagi?” Tanggapan Eda.

Kata ‘lagi’ yang dimaksud Eda itu mengacu pada kejadian akhir tahun lalu. Dia memberi gambaran ketakutan perihal organisasi radikal yang pernah melibatkannya. Gue pun menjamin Eda bahwa ini udah gak ada hubungannya dengan Watchdog.

Sayangnya, kami akan berhadapan dengan sesuatu yang lebih berbahaya.

“Ada yang bisa jelasin kenapa Dani sama Erna ikut?” Eda terus menyecar.

Gue menengok ke belakang. Dani memberikan gestur 'terserah' kepada gue. Artinya, tergantung gue apakah akan menceritakan semuanya atau nggak. Berkali-kali gue menghela dan menarik nafas dalam-dalam, pilihan manakah yang terbaik.

Eda temen gue, dan sebaiknya kami berteman tanpa ada rahasia. Di sisi lain, semakin sedikit Eda tau, semakin aman dia. Ya, Tuhan, pilihan yang mana yang terbaik?

“Ehm...” Eda berdehem, memecah kekalutan gue.
“Oke. Gue inhuman, Erna inhuman, Dani bukan.” Gue berbicara cepat.
“What the..?!” Eda mengernyitkan dahinya ke gue.
“Mata ke depan, Da.”

Eda meluruskan pandangannya kembali ke jalanan. Gue meluruskan cerita kembali supaya rasa penasaran Eda terpuaskan. Semoga begitu.

“Jelasin.” Pinta Eda
“Apanya?”
“Semuanya.”

Gue mulai menceritakan kalau gue berubah menjadi inhuman dalam kejadian makan malam bersama nyokap. Gue menceritakan Erna menjadi inhuman saat di Halmahera. Gue juga menceritakan Dani sudah tahu rahasia gue sejak tahun baru. Lalu, kami bertiga memutuskan menjadi agen lapangan bersama seorang lagi yang bernama Sigit si penyihir.

Gue menceritakan kalau gak cuma punya kamar di apartemen lantai 15, tapi ada penthouse di lantai paling atas yang disewa sebagai markas kecil S.H.I.E.L.D. Gue menceritakan Puri sudah sembuh dan bekerja di markas lainnya bareng Lina. Gue menceritakan soal penyihir jahat bernama Alan serta inhuman kuno yang kami sebut Jeepers Creepers.

“Jeepers Creepers itu yang jadi urusan hari ini.” Gue menutup cerita panjang.

Mulut Eda terus terbuka tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya terdengar gumaman huruf-huruf vokal yang dia suarakan sambil menyetir. Kaget? Jelas.

“Udah.” Gue selesai.
“Uh... Kalo gue bukan temen lu... gue pasti bilang lu gila kali. Delusional.”
“Pasti.”

Gue meminta izin untuk mencuri tidur, sekaligus supaya Eda punya waktu sendiri untuk mencerna cerita gue tadi.

---

POV Eda

Gue hanya fokus menyetir dan terdiam. Gue mengunyah permen karet supaya mencegah lamunan datang berkuasa akan otak gue. Salah sedikit, bisa terjadi senggolan dan berakhir ribut di jalan. Begitu lah perilaku para pengguna jalan di Jakarta.

Kami baru melewati daerah Pasar Minggu setelah macet panjang di kolong jalan tol Tanjung Barat. Gue agak marah juga, karena Dani merahasiakan menjadi agen S.H.I.E.L.D. semenjak masih memiliki hubungan bersama gue. Tapi, biarlah, udah bukan urusan gue.

Hari dan Erna sudah tertidur pulas. Otomatis hanya Dani yang bisa diajak bicara.

“Dan.” Gue melirik spion tengah.
“Ya?”
“Si Jeepers Creepers ini, sebahaya apa?”
“Belum tau.” Jawab Dani singkat.

Sepertinya pertanyaan yang salah. Gue coba pertanyaan yang lain.

“Dan, lu tau obat yang dikasih Hari?” tanya gue lagi
“Obat penenang?”
“Lu tau efek sampingnya gak?”

Dani tampak cuek dengan gue. Disa sibuk mengutak-atik gadget dan perlengkapan besarnya yang dikeluarkan satu per satu dari dalam tas. Gue rasakan masih ada sedikit tembok antara kami berdua meskipun udah berbaikan.

“Dan, masih marah?” Panggil gue.
“Eda, beneran nanya itu? Gue lagi sibuk di belakang sini.” Dani gak menoleh sedikit pun.
“Sorry, mungkin gue doang yang baper.”
“Nah, itu efeknya kalo lu gak minum obatnya teratur.” Dani jutek.

Gue seperti mendapat hidayah dengan percakapan bertensi agak tinggi ini. Jika diteruskan sedikit lagi, mungkin gue punya petunjuk soal anehnya Rivin sejak semalam.

“Kalo jadi gak responsif gitu ada hubungannya juga?” Gue membenarkan posisi duduk.
“Itu artinya lu kelebihan dosis.”
“Oooooh....”

Kelebihan dosis menyebabkan kurang responsif. Ciri-ciri yang serupa dengan Rivin semalam tadi. Berarti gue harus memastikan lagi dalam beberapa hari ke depan supaya gak cuma menduga-duga doang.

Gue terus berkendara membelah jalanan kota Jakarta. Beberapa puluh menit kemudian sampai lah kami di seberang bangunan sekolahan Kenia di daerah Pasar Baru. Gue parkir beberapa meter lebih jauh agar menghindari tilang polisi. Selanjutnya, gue mambangunkan Hari dan Erna.

“Kenia ada di kelas.” Kata Erna.
“Kok bisa tau?” Tanya gue.
“Gue bisa ngebaca gelombang sinyal.” Jawab Erna.
“Oke..” gue nyengir-nyengir, mencoba terbiasa dengan adanya inhuman di dekat gue.

Di sini lah kami berempat, menunggu hingga sore. Berjaga-jaga apabila ada kejadian aneh di sekolahnya Kenia. Hari, sebagai alumni sekolah itu juga, mengatakan alumni bisa diizinkan masuk ke dalam setelah jam 12. Maka, kami semuanya akan masuk nanti siang.

Menunggu merupakan hal yang membosankan, kecuali kalo saat ini gue terpaksa terlibat lagi dengan kejadian inhuman. Panik? Kaget? Iya. Tapi, pikiran gue juga terbelah antara Rivin dan kegiatan ini.

“Har, Jamet tau?” Tanya gue supaya menghilangkan kebosanan.
“Nggak.” Hari menggeleng, diikuti Erna di kursi belakangnya.
“Ah gila lu semua.”
“Jamet udah jauh di Malang dan gak akan kena sangkut paut sama kita.” Jelas Hari.

Pagi-pagi sudah ditabok dengan hal-hal penuh kerahasiaan. Mood gue jadi agak berantakan, dan rasa-rasanya lebih baik gue ledakkan semuanya. Meledak hari ini lebih baik daripada dipendam dan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

“Lu.. ah, gila.. kita udah temenan lama, Har. Banyak banget rahasia yang lu sembunyiin. Lu kira gue takut sama inhuman? Gue udah gede, Har. Kita udah gede. Lagian lu temen gue, mana mungkin gue ninggalin lu. Lu juga, Dan. Mutusin jadi agen S.H.I.E.L.D. waktu kita masih punya hubungan...”

Gue mengambil nafas lagi.

“Gue gak tau... Apa kita semua baik-baik aja? Gue gak tau, Dan, Har... Gue gak tau.”

Gue gak sanggup mengucapkan kata-kata lagi. Kepala gue banting ke sandaran kursi.

“Eda, kalem, lu lagi labil. Lu minum obatnya gak teratur. Iya, Kan.” Tanggap Dani.
“Apaan?” tanya Hari.
“Tadi waktu lu tidur, Eda nanya masalah obat penenang.” Jelas Dani lagi.
“Yah, mungkin juga. Sorry guys.” Jawab gue.

Seperti itukah efek gak minum obat penenang itu secara teratur? Atau mungkin ini benar-benar dari hati gue? Setelah semua info yang membanjir di dalam kepala gue, segala hal menjadi bias. Gue membuka laci di samping setir, lalu mengambil satu kotak obat penenang. Gue minum satu butir obat itu untuk menenangkan diri.

“Itu obat pengontrol hormon, sekaligus buat ekskresi kristal terrigen dari dalem tubuh lu. Konsumsi yang bener.” Hari menasehati.

Mood gue masih berantakan. Hari mencoba mengoreksi sikapnya dengan berjanji membicarakan soal Jamet setelah ini.

Menjelang sore, kami semua masuk ke dalam sekolah. Kami duduk di kantin sambil terus mengawasi Kenia. Beberapa waktu kemudian, Gadget dari kamera lebah yang dipegang Dani berbunyi. Scanning baru 80%, tapi Jeepers Creepers berhasil terdeteksi. Dimana?

“Ini...” Dani melotot tak percaya.

Kami semua gak percaya.

“Ini... di sini.” Dani menyelesaikan kalimatnya.

Beberapa kamera lebah menargetkan titik pantaunya di salah satu atap sekolah ini. Tapi sama sekali tidak ada bagian tubuh si Jeepers Creepers yang tertangkap kamera. Di pantauan kamera yang lain, Kenia sedang berada di dalam kelas, menjalani jam pelajaran terakhir.

“Guys, Waspada.” Hari memperingatkan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 40
Catch the Creepers


POV Hari

“Kenia harus tau banget?” Gue mengonfirmasi.
“Harus tau lah! Yang diincer kan dia.” Eda menegaskan.

Gue menoleh ke arah Dani dan Erna untuk mencari dukungan. Tapi, gue gue gak percaya sama sekali kalau kedua cewek ini justru ngedukung Eda. Otomatis gue gak ada pembelaan dari mereka berdua.

“Ya, tapi...” gue mencoba membantah.
“Gak ada tapi. Lu mau kaya dulu?” Eda kembali tegas.

Kejadian Kenia diculik adalah di luar dugaan gue, dan itu sebelum gue masuk sebagai agen lapangan. Kedua alasan itu sebenarnya cukup untuk membantah Eda lagi. Sayangnya, pasti saat ini gak ada yang mau dengerin gue. Akhirnya gue mengalah untuk memberi pesan wa ke Kenia kalau gue menunggunya di kantin sekolah.

Keuntungan kami ada di kantin adalah si Jeepers Creepers mungkin kehilangan pengawasan karena sedari tadi posisi kamera lebah tidak berubah mengawasi salah satu atap sekolah. Dani terus sibuk dengan gadgetnya yang terkoneksi dengan kamera lebah.

“Di mana? Di mana?” Dani bergumam sendiri, penasaran.

Kenia datang dengan kedua temen ceweknya gak lama usai bel pulang sekolah berbunyi. Kedatangan Kenia yang membawa kedua temannya benar-benar gak terduga. Alhasil, gue menarik Kenia ke meja lain bersama Dani dan Erna. Gue tinggalkan Eda untuk mengulur waktu bersama kedua teman Kenia menggunakan jurus gantengnya.

Kenia terdiam seribu bahasa setelah gue menjelaskan duduk persoalan.

“Makanya kita harus pergi sebelum malem.” Jelas gue.
“Aduh, aku ada janji ngerjain pe-er bareng lagi.”
“Pe-er gak akan selesai kalau lu mati.”

Dani menempeleng kepala gue. Oke, itu kata-kata yang gak baik buat seorang adek. Tapi bukannya berbahasa kaya begitu udah wajar di kalangan kakak-adek. Gue sama Kenia dari dulu udah sering melempar kata kotor kalo lagi di rumah, misalnya waktu jari kelingking kakinya kepentok meja.

Akhirnya kami sepakat akan pergi jauh-jauh dari sekolah dulu. Kemudian, kami akan dijemput qiunjet menuju markas, sesuai instruksi Lina. Kalau pun si Jeepers Creepers mengikuti, niscaya S.H.I.E.L.D. akan siap dengan segala sumber dayanya kalau bermain di kandang sendiri.

Intinya, kalau diserang di sini, malam ini, kamilah yang belum siap. Gak ada inhuman yang bisa bener-bener bertarung di sini. Terakhir kali gue ngelawan si Jeepers Creepers di Semper, gue hampir kalah dan mau muntah.

“Oke, kita pergi.” Ajak Kenia.

Gue memanggil Eda dan kedua teman Kenia untuk bergabung. Sepanjang jalan di lorong sekolah, Kenia meminta maaf karena gak jadi ngerjain pe-er bareng. Alasannya, abang-abangnya ngajakin main. Alasan yang salah, karena seorang yang bernama Imel malah minta ikut.

“Imel suka sama Eda.” Bisik Dani ke gue.
“Beneran? Cepet gila hahaha.” Gue gak bisa menahan tawa.

Akan tetapi, sesaat sebelum kami keluar dari gerbang sekolah. Anak-anak sekolah teriak-teriak histeris dari arah dalam. Dani mengecek gadgetnya, sementara Erna berlari langsung ke sumber kegaduhan.

“Oh, sial.” Dani berkata lemas.
“Ada di lapangan! Bergerak!” Erna datang kembali.

Gue menekan tombol evakuasi di jam tangan, lalu memilih opsi ‘inhuman’. Eda dan kedua teman Kenia bertanya-tanya kepada kami, ingin mengetahui apa yang terjadi. Gue menjelaskan inhuman target kita tiba-tiba meliar di lapangan. Sementara itu, anak-anak sekolah makin berteriak histeris, berlari ke sana ke mari. Beberapa orang dan guru yang masih berpikir rasional berusaha mengarahkan semua orang menuju ke luar sekolah.

Kepanikan terjadi. Banget.

“Ken, ini yang aku takutin.” Kata Nur.
“Apaan sih?” Imel masih bingung.
“Kita pergi dari sini!” Perintah gue.

Belum sempat rencana dilaksanakan, telepon jam tangan gue berbunyi. Ada panggilan dari markas. Lina sepertinya menjawab panggilan evakuasi gue, tapi dia ternyata menyuruh untuk melakukan perubahan rencana. Rencana barunya adalah... MENANGKAP JEEPERS CREEPERS HIDUP-HIDUP.

Perintah adalah perintah. S.H.I.E.L.D. gak pernah diragukan, maka gue, Dani, dan Erna tetap mengikuti perintah. Quinjet akan datang beberapa belas menit lagi. Kami diminta mengulur waktu selama mungkin agar target gak berhasil membawa Kenia atau kabur dari lokasi.

”Oke, oke, prosedurnya...” Gue berpikir instruksi S.H.I.E.L.D. langkah demi langkah di situasi begini.
“Amanin warga sipil!” Sahut Dani.

Dani memberikan tugas kepada Erna dan Eda untuk memastikan seluruh warga sekolah berhasil keluar. Mereka berdua dibekali senjata penembak bertuliskan ‘ICER’ di gagangnya. Senjata pembeku syaraf yang gak mematikan, mirip kejut listrik. Senjata itu standar buat agen lapangan, tapi mungkin gak umum buat Eda.

Sementara itu, Dani memeriksa setiap kelas dan mengevakuasi siswa yang tersisa. Tugas gue, memancing Jeepers Creepers itu tetap di lingkungan sekolah ini dengan menuntun Kenia lari ke sana ke mari. Sejauh ini trik gue berhasil.

“Bang, dia punya sayap kaya kelelawar, tapi kok gak terbang?” Kenia sempat-sempatnya bertanya.

Itu aneh, tapi nanti aja dipikirin. Kami cuma harus mengulur waktu sampai Quinjet datang. Gue mengajak Kenia bersembunyi di balik pintu toilet perempuan. Mata gue mengintip dari celah pintu. Jeepers Creepers serta merta lewat, namun tepat berhenti beberapa meter di depan pintu tempat kami bersembunyi.

“Kenapa harus toilet cewek sih, Bang?” Kenia komentar lagi.
“Diem!” Gue menempelkan telunjuk di bibir gue sendiri.

Si Jeepers Creepers bertingkah seperti mengendus di udara kosong. Kepalanya menoleh ke kiri, kanan, atas, dan bawah. Kulit lehernya mengembang seperti kadal, tapi gue yakin dia bukan menunjukkannya untuk pamer.

Tiba-tiba monster itu menoleh ke arah pintu tempat kami bersembunyi. Dalam sesaat, gue kira kami ketahuan, tapi rupanya dia malah masuk ke dalam toilet cowok di sebelah. Kesempatan itu gue ambil untuk kabur dari toilet. Sebelum itu, gue ambil sapu terdekat yang bisa gue raih, lalu menyumpalkannya di pintu toilet cowok.

Gue lupa kalau Jeepers Creepers bukanlah anak SMA cupu yang bullyable. Kalau anak SMA cupu dikonciin di dalam WC, niscaya dia akan teriak-teriak minta tolong sampe capek, abis itu pasrah. Begitu sadar kami sedang lari tunggang langgang, dia meluluhlantakan pintu toilet beserta gagang sapunya menjadi remah-remah biskuit.

“Mati kita, Bang!” Kenia histeris.

Si Jeepers Creepers untuk pertama kalinya dapat melihat kami dengan bebas. Dia memotong jalan melewati lapangan untuk mengejar, sementara kami berdua bersusah payah berlari di koridor yang terlampau licin. Dengan mudah si Jeepers Creepers melampaui kami berdua, bahkan sudah menghalangi jalur lari kami.

Gue mendadak ngerem, tapi justru terpeleset akibat lantai licin. Gue refleks melepas genggaman tangan Kenia agar dia gak ikut terjatuh. Gaya jatuh gue lebih mirip sliding tackle dengan dua kaki yang mengacung ke depan sekaligus. Berita bagusnya, si Jeepers Creepers terkena tackle sehingga dia ikut terjatuh menimpa gue.

JEDUGG.

“Aagh!” Kepala gue terbentur lantai.

Si Jeepers Creepers dengan sigap bangun kembali, sementara gue sibuk mengerang kesakitan. Bisa gue lihat dengan mata terbalik, Kenia membalikkan badan dan berlari lagi. Tapi dengan jarak yang sudah sangat dekat, jelas percuma.

Kerah baju Kenia digapai si Jeepers Creepers dengan mudah. Badan Kenia dibalikkan dan diangkatnya tinggi-tinggi. Bau badannya diendus, sekujur tubuhnya dipelototi layaknya pelecehan yang biasa dilakukan pemuda pengangguran di pinggir jalan.

Si Jeepers Creepers bergumam dengan bahasa minang yang gak gue mengerti. Tiba-tiba sebuah tembakan dari senjata ICER mengenai punggung si Jeepers Creepers. Dani datang sambil berlari dari sudut lorong lain, tapi ikut terpeleset akibat lantai licin.

Antiklimaks.

“Sial! Ini sepatu S.H.I.E.L.D. siapa yang bikin sih.” Dani gak mau malu sendiri.

Satu tembakan dari Dani cukup membuat Jeepers Creepers menoleh, tapi gak cukup untuk membuatnya diam membeku. Tubuhnya sama sekali gak membiru seperti efek normal jika terkena ICER. Makhluk itu justru melepaskan Kenia hingga jatuh terduduk, lalu menatap Dani si sumber tembakan.

Gue kira dia akan menyerang Dani, tapi beberapa langkah kemudian dia justru melakukan peregangan pada kedua tangannya.

“Dia mau terbang!” Erna datang bersama Eda.

Tembakan ICER berbunyi silih berganti. Bunyinya gak seperti ledakan pistol biasa yang melontarkan timah panas, namun lebih mirip seperti mesin kap mobil panas yang terkena tetes air. Tembakan ICER dari tiga orang amatiran dari jarak yang gak terlalu jauh ternyata berdampak juga. Lambat laun si Jeepers Creepers membiru dan gerakannya semakin kaku.

Percobaan terbang makhuk itu akhirnya gagal.

“Giring ke tengah lapangan!” Erna memerintah.

Gue gak tau gimana sistemnya, namun rasanya yang memegang perintah dari tadi pagi itu Dani. Tapi setelah insiden kepeleset beberapa detik lalu, sekarang Erna yang justru memerintah. Untungnya mereka berdua gak sampe debat di tengah keributan gini.

Gue berlari memeriksa kondisi Kenia. Sementara itu, si Jeepers Creepers terus berjalan mundur, didesak tiga orang yang sedikit demi sedikit makin berpencar. Gue perlu memberikan dua jempol kepada Eda yang gak ketakutan di waktu pertamanya melihat bentuk Jeepers Creepers.

Tepat di tengah lapangan, Dani langsung melempar alat berupa piringan bermagnet ke antara celah kaki target.

“Sekarang!” Dani berteriak tegas kepada alat komunikasi di telinganya.

Ada satu hal yang nanti akan gue tanyakan ke kedua cewek gila di hadapan gue. Siapakah sebenarnya yang memegang perintah di antara mereka.

Seketika, sebuah kerangka balok seukuran manusia dewasa jatuh berdentum dari langit, memerangkap si Jeepers Creepers. Asap berwarna jingga mengepul memenuhi ruang bagian dalam balok. Lima detik kemudian, asap tersebut berubah menjadi agar-agar beku dengan si inhuman terkurung kaku di dalamnya.

“Matriks gel?” Gue heran.
“Apaan itu, Bang?” Tanya Kenia

Kepala gue menoleh ke langit. Di balik awan di strata tertinggi taksonomi awan, terebentuklah sebuah bayangan quinjet. S.H.I.E.L.D. baru saja datang tepat pada waktunya.

---

POV Eda

Setelah memarkirkan mobil di tempat yang layak inap, gue terpaksa ikut ke dalam pesawat dengan Geng Maha Dahsyatnya Hari. Kenia juga ikut, tapi nggak bersama kedua temannya. Pihak sekolah, gue curi dengar, juga diminta memaklumi dan mendiamkan kejadian ini agar tidak terdengar media.

“Bakalan kesebar gak sih?” GUe berbisik kepada Hari.

Ucapan gue merujuk kepada kegiatan paska kericuhan tadi. Selagi benda yang disebut matriks gel itu diangkut ke pesawat. Beberapa siswa sok penting nyelinap masuk ke TKP dan berselfie ria.

“Liat nih, Bang, kelakukan temen-temenku.” Kenia menyodorkan handphonenya.

Benar saja, udah ada yang mengupload di instagram dalam kurun waktu kurang dari setengah jam. Gue pun bertanya-tanya, bagaimana cara S.H.I.E.L.D. menangani yang kaya begini.

“Liat aja, bentar lagi fotonya ilang. Kalo hackernya lagi iseng, akunnya bisa sampe kena blok.” Hari senyam senyum.

Beberapa detik kemudian Kenia sewot melaporkan kepada kami kalau foto itu udah hilang, beserta akun temannya. Gila juga hackernya S.H.I.E.L.D.

“Ihh, kasian dong temen aku. Foto-fotonya udah 500. Selebgram loh dia.” Kenia sewot sewot manja.
“Bentar lagi data hapenya juga hilang.” Hari terus jadi kompor.

Gue cukup tertawa mendengar candaan adik kakak ini. Di seberang tempat duduk kami, Erna dan Dani tertidur. Mereka jelas menunjukkan kelelahan, apalagi setelah gue tahu mereka kurang tidur dari kemarin.

“Eh, bentar!” Hari sedikit berteriak. “Kamu gimana caranya connect internet?”
“Ada wifi kok.” Jawab Kenia, polos.
“Geblek! Matiin! Bukan wifi sembarangan ini.”

Dasar kelakuan bocah SMA.

Entah jam berapa, dan di mana, Quinjet tiba dan mendarat di markas. Entah gue boleh merasa bangga atau kah takut setelah melihat-lihat markas S.H.I.E.L.D. Kalo di film-film, biasanya orang yang gak punya kepentingan akan ditembak kepalanya setelah tahu banyak rahasia. Baru aja gue mau mengonfirmasi ke Hari, dia udah lebih dulu menjamin keutuhan kepala gue.

Gue bertemu kembali dengan Lina, lalu terlintas sekelebat pengalaman akhir tahun di Jatiasih. Gue juga bertemu Kak Puri, yang disambut dengan tepukan bahu Dani.

“Gak perlu kaget. Udah kebanyakan kaget lu hari ini. ” Ledek Dani.

Untungnya gue gak dilibatkan dalam rapat internal mereka. Kalau iya, mungkin kepala gue bener-bener akan pecah berkeping-keping. Oleh Lina, gue dipersilahkan menempati salah satu kamar tamu untuk menunggu.

---

POV Lina

“Sigit mana?” Tanya Hari.
“Udah dijemput si master master itu.” Jawab gue.

Rapat internal diawali dengan laporan saat kejadian dan paska kejadian tadi sore. Selanjutnya, menyusun rencana akan diapakan makhluk satu ini. Banyak usul-usul liar bermunculan, mulai dari bunuh, bakar, hingga tenggelamkan. Logis sih, mengingat para penghuni markas cabang belum bisa berbuat banyak seperti orang-orang markas pusat.

Tapi usul paling masuk akal sekaligus beresiko lagi-lagi disampaikan Puri.

“Kita cairkan gelnya.” Kata Puri, yang langsung diterjemahkan Lina.
“After that?” Tanya si pimpinan necis.
“We all already know that he’d after me. Let us interogated him.”

Menginterogasinya memang layak dicoba, sekaligus beresiko markas diacak-acak lagi. Tapi, pasti sebanding dengan hasil yang akan didapat. Beberapa hari lalu kami diserang Alan, maka kami harus tau apakah si Jeepers Creepers ini beraliansi dengan Alan atau nggak. Selain itu, kita bisa mengorek asal usulnya, mengingat cerita Sigit bahwa inhuman ini adalah inhuman kuno.

Hari, Dani, dan Erna gak banyak bersuara kali ini. Wajah mereka sangat menjelaskan mimik kelelahan. Kenia, apa yang bisa diharapkan dari gadis tanggung selain makan mie, seperti yang dilakukannya sekarang di pojokan.

“Bangkunya empuk, Bang.” Kata Kenia dengan konyolnya, seperti gak pernah merasa telah melalui kejadian tadi.

Kesepakatan akhirnya bulat, menginterogasi si Jeepers Creepers dengan pengawasan ketat. Erna akan menemani dengan dugaan kuat makhluk ini berbahasa Minang.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd