Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
hari itu inhuman kekuatannya apa ya..?dsini koq klihatannya lemah n bkn sosok inhuman lagian jstru mlh kyak nyusahin tmn2nya ibaratnya jstru yg lain yg krja kras dia cm lari n sembunyi trus kyak org bego. ibaratnya tu dia jd aktor utama tp kyak kl nggk ada dia nggk ngaruh jg intinya peran hari itu kurang menonjol diteam/dikonflik antar tmnnya, maaf kritikan saya..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
hari itu inhuman kekuatannya apa ya..?dsini koq klihatannya lemah n bkn sosok inhuman lagian jstru mlh kyak nyusahin tmn2nya ibaratnya jstru yg lain yg krja kras dia cm lari n sembunyi trus kyak org bego. ibaratnya tu dia jd aktor utama tp kyak kl nggk ada dia nggk ngaruh jg intinya peran hari itu kurang menonjol diteam/dikonflik antar tmnnya, maaf kritikan saya..

Hari itu sebenernya kuat, walaupun cuma bisa ngelakuin penyerapan energi tanpa bisa ngebalikin. Dia terbukti bisa ngalahin Sigit sama Alan, termasuk si Creepers waktu pertemuan pertama.

Sayangnya pas ketemu si creepers kali kedua ini dia minder duluan. Terlebih Dani yang lagi dapet momen menggebu.

Makanya kaya terasa lemah. Begituh om.
 
maaf ya sya mnilainya dri awal prtma kali mksudnya gni dech peran hari dr awal kyak krang mnonjol dr brpa pov jstru mlh eda yg trlihat mnonjol mksudnya tu mskpun hri pran utama tp justru seolah pmbaca lbih trtarik dgn kisah eda, kl dia inhuman tonjolkan klbihannya jgn kyak lari smbunyi n mnang seolah kyak kbtulan, keadaan biasa dia jg nggk pnya kesan apa2 jstru mlh jamet sm eda yg pnya kisah..maaf ya ni cm skdar kritikan dri org yg msh nubi hehehe
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 41
Interogasi

POV Lina

Interogasi Jeepers Creepers dikawal banyak orang, namun yang berhak masuk ke modul penahanan adalah gue, Kak Puri, dan Erna. Gue gak khawatir karena gak ada cowok, karena udah melewati pelatihan.

“Serem juga.” Gue bergidik melihat si inhuman ini.

Permukaan kulitnya yang berbintil membuat gue geli, begitu pun Puri. Hanya Erna yang lebih tenang, pasti karena dia lebih terbiasa daripada kami berdua. Di sudut lain, si inhuman menundukkan kepalanya sedari tadi, berbalut handuk putih besar melingkari lehernya. Dia hanya mengenakan celana terusan dari jaket kendali yang sobek sana sini.

Microphone gue pasang di atas meja interogasi, terhubung dengan speaker di ruangan kami.

“Sia wa’ang?” Erna mulai bicara, dagunya dianggukkan.

Hening cukup lama, si Jeepers Creepers berkali-kali memindahkan bola matanya antara Erna, gue, dan Puri. Niscaya situasi saat ini akan membuat siapa saja merinding kalau gak kuat mental.

“Kasa bae kayo ngato.” Jawab si Jeepers Creepers.

Erna tempak tercekat. Entah apa arti kata-katanya. Gue belum pernah ikut pelatihan bahasa minang. Jadi, gue tanya langsung aja ke Erna.

“Apa artinya?”
“Itu.. bukan bahasa Minang, itu bahasa orang Solok, Kerinci, atau Tebo. Mirip, tapi....” Erna mengucurkan setetes keringat dari pipinya.
“Artinya, Erna?”
“Katanya, bahasa gue tadi kasar banget.”

Apakah ini artinya si inhuman adalah penguasa bahasa daerah di Sumatra? Apa dia juga bisa bahasa Batak, Aceh, Palembang? Jelas masih terlalu dini untuk disimpulkan, tapi mungkin akan berharga kalau diteruskan. Si Jeepers Creepers juga gak menunjukkan intensi menyerang.

“Terusin aja. Masih bisa kan?” Usul gue.

Erna mengangguk.

Erna banyak berdiskusi dengan si Jeepers Creepers. Setiap si inhuman selesai bicara, Erna menerjemahkannnya ke dalam bahasa Indonesia. Erna menceritakan bahwa si inhuman sangat senang bisa bicara sama orang serumpun. Erna berkali-kali mengucapkannya dengan sebutan ‘urang awak’. Namun, selain itu belum ada info yang penting.

Selama gak ada intensi menyerang, membuat si Jeepers Creepers merasa nyaman adalah pilihan terbaik. Bahkan, ketika dia mengajak Erna bicara sambil duduk bersila, kami menyetujuinya. Info pun sedikit demi sedikit kami dapatkan.

"Bahasanya berubah terus." Kata Erna.

Erna turut menambahkan kalau bahasa daerah yang digunakan si Creepers berubah berkali-kali. Kalau diasumsikan, mungkin inhuman ini memang penguasa daerah sana.

Erna terus menerjemahkan, usia si inhuman mungkin sudah dua ribu tahun lebih. Dia sangat lama telah berkeliling Swarnadwipa di masa jayanya. Dia pernah bertemu dengan raja-raja di Sumatra mengatasnamakan pelindung hutan. Di masa yang lain, dia bersembunyi, gak mau ikut-ikutan dari peperangan Kree di laut timur.

Jauh sebelum itu, Erna kembali menerjemahkan setelah menelan ludah, dia adalah kepala suku orang rimba.

“Tunggu dulu, Swarnadwipa itu apaan?” Puri bersuara.
“Swarnadwipa gak tau?” Erna menaikkan bahunya.
“Nggak.”
“Swarnadwipa, Swarnabhumi, itu nama lain pulau Sumatra.” Jelas Erna.

Pertanyaan Puri memang bagus, tapi terlampau terlambat untuk sebuah respon.

“Awak urang biaso.” Si inhuman terbatuk setelahnya.
“Dulu dia orang biasa, kaya kita.” Erna kembali menerjemahkan.

Gue paham, inhuman jelas dulunya memang orang biasa. Apalagi buat si Jeepers Creepers ini. Eksperimen dan perbudakan Kree yang dirasakannya pasti membuahkan trauma atau semacamnya.

Erna memotong lamunan gue. Dia menerjemahkan cerita panjang si inhuman. Setelah menjadi korban eksperimen Kree, dia awalnya dinomorsatukan oleh sukunya sendiri. Tapi seiring waktu, generasi berganti, sukunya berbalik takut karena dia tak kunjung tutup usia.

Dengan bijak, si inhuman menunjuk seorang penerusnya untuk menjadi kepala suku. Setelah itu, dia sendirian berkelana sepanjang Sumatra, belajar banyak bahasa, dan mengabdikan diri untuk menjaga hutan. Beberapa kali dia juga keluar Sumatra dan bertemu inhuman lain.

“Erna, coba tanya kenapa dia bisa ketangkep Watchdog?” Gue menyuruh Erna.

Erna mengangguk.

“Dek kayo tatangkok?”
“Awak lah tuo.” Si Jeepers Creepers menyeka hidungnya.

Erna hendak menerjemahkan, tapi gue udah tau duluan. Tumben bahasanya ada yang bisa gue mengerti. Artinya yaitu dia udah tua.

Gue bisa mengerti, mengikuti teknologi masa sekarang seperti adanya jaket kendali, inhuman seperti si Jeepers Creepers bisa aja ketangkep. Pun, gue juga akhirnya paham apa hubungannya sama Alan. Inhuman tua dan kuno ini hendak dimanfaatkan Alan.

Pertanyaan penting sekarang tinggal dua. Apakah kekuatannya? Dan kenapa dia mengincar Puri?

Erna kembali berdiskusi sesuai arahan gue. Jawabannya ternyata sederhana, kekuatannya serupa dengan kelelawar, yaitu suara infrasonik yang bisa didengar kembali sebagai direksi terbang. Gelombang itu juga dapat melacak inhuman yang memiliki frekuensi kuat.

“Inhuman tracker lagi.” Gue menyimpulkan.
“Penangkap gelombang? Erna...” Puri memanggil Erna.
“Men! gelombang infrasonik di mana-mana. Kelelawar, codot, tetesan air, gak ada bedanya.” Erna membela diri.

Erna gak mau dituduh gak bisa mencari si Jeepers Creepers duluan.

Pertanyaan kedua, soal mengincar Puri. Gue gaak menyangka si Jeepers Creepers ternyata malah meminta maaf kalau membuat takut. Dia hanya mencari inhuman dengan frekuensi kuat untuk dijaga dari kedatangan Alan. Dia gak mau inhuman lain menjadi incaran. Tapi, akibat usia tuanya, kemampuannya mengendur. Bayangan Puri diduganya sebagai badan inti, dan frekuensinya diterima secara lambat.

“Gue udah pergi, dia baru dateng.” Puri memainkan tangannya sebagai ilustrasi.
“Dan Kenia jadi sasaran yang salah.” Gue menambahkan.

Oke, masalah kelar. Setelah dia berjanji tidak akan merusak lagi, kami bertiga meninggalkannya untuk selanjutnya dirawat. Mungkin dia akan dibebaskan setelah mendaftar Sokovia Accords dan mendapat identitas baru di zaman modern ini.

“Maaf, nama kakek siapa?” Tanya gue, sesaat sebelum keluar.

Si Jeepers Creepers menggeleng. Erna menerjemahkan kata-kata gue, tapi jawabannya tetap sama. Hanya gelengan kepala.

"Gak punya nama?" Tanya gue.
"Entah." Jawab Erna.

---

POV Hari

Tiga gerombolan cewek baru aja keluar dari modul. Hasilnya memuaskan untuk sebuah interogasi tanpa embel-embel ancaman. Musuh sebenarnya setelah ini tinggal Alan seorang. Itu pun kalau dia tidak memiliki aliansi lain.

“Heran gue.” Kata Lina.
“Kenapa, Lin?” Tanya gue
“Dia itu emang gak punya nama atau gimana sih.”
“Gue juga heran.” Tambah Erna.

Lina sama Erna justru mempermasalahkan nama si Jeepers Creepers.

“Dani sama Kenia mana?” Tanya Puri.
“Mereka lagi keluar.”
“Kalo gak salah sekarang udah mau pagi di Jakarta. Kenia gak sekolah?” Tanya Puri lagi.

Soal Kenia sekolah, udah dibicarain sama nyokap tadi malam. Dia boleh gak masuk hari ini sampai masalah selesai. Selain itu, mungkin waktunya gak akan kekejar kembali ke Jakarta hanya dengan quinjet.

Hape gue bergetar. Ada pesan dari Sigit di grup rahasia.

Sigit: Mas, Mbak, aku udah sembuh. Tapi mungkin akan latihan intensif selama seminggu. Belum ditambah saya harus kuliah siangnya. Jadi, mungkin kita gak sempet ketemu. Soal info terbaru tentang Alan akan saya kabarin juga pelan-pelan. Maaf ya mas, mbak, saya gak sempet bikin pintu ke mana saja mulai hari ini. Ya pokoknya gitu deh. Salam buat yang lain ya.

Rupanya memang ancaman dari Alan lebih dari sekedar isapan jempol. Sigit sampai harus diisolasi untuk latihan. Mungkin gue juga harus latihan. Seenggaknya memperkuat kewaspadaan biar gak kecolongan.

“Pulang kapan?” Lina nanya.
“Bentar lagi deh.” Erna yang jawab.
“Lin, S.H.I.E.L.D. punya alat latihan mandiri gitu gak sih?” Gue bertanya balik.

Lina berpikir sebentar.

“Sebenernya sih ada, framework namanya. Simulasi tarung gitu. Tapi sumber masalah markas besar sekarang justru dari framework itu. Tau kan, android.” Lina memberi harapan palsu.

Gue menghembuskan nafas.

“Kalo samsak tinju ada?” Erna menyambung.
“Samsak banyak. Ambil aja di gudang.” Lina malah menyeriuskan jawaban.

---

POV Sigit

“Paham tak?” Tanya salah satu Master yang mengajariku teori.
“Paham.”
“Oke. kita lanjutkan setelah kamu kembali ke sini.”

Master satu ini orangnya kurus, tinggi, dan berkulit sawo matang. Dia orang Malaysia, ras melayu, yang sama lancarnya kalau bicara bahasa Indonesia. Dari berbagai macam orang dengan masing-masing suku dan bangsanya, aku tergolong jarang bertemu dengannya.

Dia adalah mentornya Alan, Kak Zul namanya. Berhasil menjadi Master Penyihir di usia muda. Gak salah kalau kemampuan sihir Alan bisa berkembang pesat. Menurut Kak Zul, merasa sangat bertanggung jawab atas menyelewengnya Alan hingga berakibat aku terluka.

Aku mengambil tasku, lalu membuka portal untuk kembali ke Surabaya.

“Sigit!” Eva tampak berlari dari kejauhan.
“Ya?”
“Mau pulang?”
“Iya, ada kuliah. Udah bolos dari minggu kemarin.”

Eva mengkhawatirkan diriku yang udah gak pulang berhari-hari. Aku memang pernah gak pulang bertahun-tahun. Tapi waktu itu ceritanya orang tuaku sudah yakin aku meninggal di Nepal. Kali ini kasusnya lain, mereka mungkin udah lapor RT atau polisi sejak beberapa hari lalu, seperti kejadian aku menghilang selama seminggu di akhir tahun lalu. Atas alasan itu juga, Eva bersikeras meminta ikut ke Surabaya.

“Kamu gak pulang berapa hari? Mau alasan apa ntar?” Tanya Eva lagi.
“Apa aja lah.”
“Kamu harus jujur.”
“Soal sihir-sihiran ini? Gak mungkin lah, disangkanya aku murtad ntar.”

Gak mungkin aku menjelaskan soal begini ke oang tuaku. Atas dasar agamaku, sihir jelas-jelas dilarang. Bahkan, pasti dengan mudahnya diargumentasikan dalam kegiatan syirik. Padahal, aku tahu kemampuan kami berdasarkan metode sains.

Aku gak paham fisika, tapi singkatnya, kami mengaplikasikan teori mekanika kuantum. Kami mengambil energi dari semesta yang lain untuk dijadikan kekuatan. Tentunya, dengan cara yang benar. Setiap segel punya makna tersendiri. Kalau tidak, maka semesta akan menolak dan terjadi bencana. Suatu waktu bisa terjadi gempa bumi, gelombang pasang, angin topan, atau apapun.

“Aku aja yang jelasin kalo gitu.” Eva berinisiatif.
“Mereka aja gak kenal kamu.”
“Kalo gitu kenalan dulu.”

Jawaban Eva memang simple. Tapi gak akan jadi simple ketika momen terjadi. Selain itu, ada kemungkinan aku akan dibuang dari rumah.

“Percaya, gak akan susah.” Eva meyakinkan.
“Percaya?”
“Dari dulu siapa sih yang selalu bener.”

Eva membuatku mati langkah. Akhirnya kubiarkan dia ikut ke Surabaya.

Kami tiba di depan rumahku setelah subuh. Seperti yang udah diduga, bokap dan nyokap terbengong-bengong dengan kedatangan kami, apalagi setelah mendengar penjelasan Eva. Aku sampai harus membuka baju untuk menunjukkan luka tusuk yang sudah hampir sembuh hanya dalam hitungan hari.

Setelah matahari terbit, untungnya aku diperbolehkan berangkat kuliah.

“Kelar kan.” Eva ngeledek.
“Iya deh.” Aku mengusap kepala belakangku.
“Aku balik ya, jangan lupa kamu jadi punya hutang.”
“Eh??”

Eva memang seperti penyihir. Bukan penyihir seperti tipikalku, tapi penyihir yang bisa memanipulasi persepsi orang. Setelah membantuku, dia bahkan menghitungnya sebagai hutang. Pasti seks lagi sebagai gantinya.

Gapapa lah, aku juga keenakan.

Kuliah berlangsung membosankan. Aku gak begitu kenal dengan teman-teman kuliahku karena kesibukan menjadi penyihir. Ospek pun aku bolos. Sejak awal kuliah, aku lebih berkeliling Indonesia, bertemu Mas Hari dan kawan-kawannya, hingga kembali berurusan dengan penghuni Kamar Taj.

Sore harinya aku kembali ke Kamar Taj. Latihan dengan Kak Zul hari ini adalah penguasaan tubuh astral. Aku diajari terbang secara seimbang, bertahan dalam zona astral selama mungkin, dan merasakan adanya bahaya. Nepal miliki zona waktu +5.45 dari GMT, artinya hanya kurang 75 menit dari WIB. Perbedaan waktu tersebut otomatis gak memberikan banyak pengaruh untuk lama waktu latihan.

Menjelang jam sepuluh malam, aku baru selesai latihan. Aku segera menuju kamarku untuk mandi. Gak gue sangka, latihan di dunia astral ternyata juga bisa menyebabkan keringat mengucur deras dari tubuh yang asli.

Tok. Tok...

“Sigit.” Suara Eva
“Masuk, gak dikunci.”

Eva masuk membawakan senampan makanan berat, ada nasi yang butirnya besar-besar khas india, sayur, dan daging. Padahal, aku sendiri gak kepikiran lagi untuk makan malam. Badanku udah terlampau letih hanya untuk mengambil makan malam di kantin asrama.

Aku baru saja selesai memakai baju kaos longgar berwarna merah marun di depan lemari. Di sisi lain, Eva meletakkan nampan makanan di meja belajarku. Kemudian, dia duduk di atas kasur sambil bersender di bantal yang bertumpu dinding.

“Makan, Git.” Eva membuka sebungkus roti.
“Kamu mau sampai kapan pakai mantra bahasa?” Aku menuju meja.
“Sampai lancar bahasa Indonesia.”
“Penting banget?”

Eva mengangguk. Aku mengambil nampan makananku, lalu mulai memakannya di atas kasur agar bisa terus ngobrol dengan Eva.

“Penting banget.” Eva mengacungkan telunjuk.
“Buat apa?” Aku menggigit potongan daging pertama.
“Temen aku di kamar sekarang kan cuma kamu.”
“Masa? Rupert? Tommy? Pada ke mana mereka?”

Eva dari dulu memang suka gonta ganti cowok hanya untuk memuaskan hasratnya. Perlu digarisbawahi, aku memang salah satu korban Eva akibat tawar menawar. Karenanya juga, berimbas ke diriku yang sekarang jadi baper.

“Termasuk golongan yang pulang kampung.” Eva menggigit rotinya untuk kesekian kali.

Ada senangnya juga aku mendengar jawaban Eva. Meskipun aku bukan yang pertama, atau juga bukan yang dicintainya, aku merasa lega tubuh Eva gak dibagi-bagi ke orang lain lagi. Pokoknya aku baper lah.

“Masih untung gak gabung sama Alan.” Aku gengsi mengutarakan tanggapan sebenarnya.
“Buruan abisin makanannya.” Eva menyuap potongan roti terakhir.

Eva beralih menuju teko air minum. Setelah itu, dia mulai menggodaku dengan meniup belakang kupingku. Kini aku bimbang di antara melanjutkan untuk ‘membayar hutang’ atau istirahat. Otot-ototku udah lelah, tapi otot di selangkanganku baru saja bangkit.

“Eva, aku capek.” Kupegang kepala Eva.
“Gapapa, kamu tiduran aja.” Dia berbisik.

Peri macam apa yang ada di sebelahku ini. Kalau saja bukan peri, mungkin dia adalah setan yang bertugas menggoda iman melalui selangkangan. Eva, dalam keeksotisannya, adalah penggoda iman terbaik yang pernah aku temui melalui tawar menawar.

Nampan makan beserta sisa makananku kini sudah terlempar ke lantai. Eva memberiku seteguk minum, lalu direbahkannya tubuhku. Pakaianku dilucutinya satu per satu. Telapak tangan Eva bergerak halus menyusuri perutku, turun hingga menjelajahi kedua belah paha. Bibirnya bolak-balik berpindah antara puting kiri dan kananku.

Suatu ketika, kepala Eva kembali tegak. Dia menyibak rambutnya ke sebelah kiri. Dia menggenggam penisku kuat-kuat, diarahkannya tegak lurus mengacung, lalu dimasukkanlah penisku ke dalam rongga mulutnya sangat dalam.

Kepalanya bergerak luar biasa cepat daripada biasanya.

“Ahh.. aku.. bisa bisa keluar duluan.” Aku menelan ludah, mengakibatkan jakunku naik turun.
“Kalo gitu kita langsung aja.” Eva melepas kulumannya.

Eva melepas seluruh pakaian dan melemparnya sembarangan. Dia gak menari erotis, tapi imajinasiku memberikan visual seperti itu. Pantatnya yang bulat bergerak memutar-mutar sambil berangsur turun. Penisku ditekannya kuat-kuat hingga seluruh batangnya basah seketika.

Tangan kiri Eva turut andil mengacungkan penisku. Dalam satu hentakkan, masuklah seluruh batang kejantananku itu ke liang surganya.

“Main kilat yahh...” Tatapan Eva tajam menusuk, tanpa eyeliner.
“Ahhhh...”

Aku sungguh-sungguh tak bisa merespon balik setiap kata-kata Eva, setiap godaannya. Sisa-sisa tenagaku terfokus hanya untuk menegakkan tongkat sakti. Oleh karena itu, pita suaraku bukan prioritas.

Hanya tiga menit, aku dan Eva sama-sama mengejang. Di saat ini lah aku justru teringat bahwa kecolongan soal keamaan, namun tak terucap sebagai peringatan. Terserah saja, Eva pasti tau cara menanggulangi ini. Terakhir kali kami bersenggama satu malam penuh, toh dia justru keenakan.

“Eva... Aku keluaar..” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Aku juga... ahhh.” Desahnya, diikuti tubuhnya yang ambruk menimpaku.

Detak jantung Eva terasa jelas menembus dadaku. Selang beberapa detik kemudian, aku baru menyadari Eva sama lelahnya denganku. Laju nafasnya tidak seperti biasa sehabis kami bermain cinta.

“Kamu habis latihan juga?” Tebakku.
“Yap, penaklukkan pusaka.” Eva menutup wajahnya di dadaku.
“Buat apa?”

Eva bukan seorang yang bertugas penuh untuk penguasaan skill bertarung. Dia seorang sejarawan penyihir. Terlebih, penguasaan pusaka butuh waktu dan tenaga penuh sebagais seorang pejuang sihir.

Eva berguling ke sebelah kiri.

“Buat bantu kamu.” Jawabnya sambil menarik selimut.

Please, Eva, jangan buat aku lebih baper lagi.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 42
Cewek-Cewek Beraksi

POV Erna

Selasa, 7 Maret, lima hari udah berlalu setelah interview dengan si Jeepers Creepers. Kami pun kembali dalam rutinitas harian dan hanya menanggapi respon terhadap adanya terrigenesis. Tapi, kami gak bisa bergerak cepat tanpa bantuan portal Sigit. Dengan motorku dan satu motor lagi yang baru dibeli Hari, kami hanya mampu mengcover wilayah Jakarta.

Menyusuri sampai ke Cibodas, Cikampek, atau Serang dalam waktu singkat? Mustahil, apalagi saat hari-hari libur. Untungnya, belum ada insiden terrigenesis atau pun tanda-tanda keberadaan Alan.

Sore ini kami bertiga, gue, Dani, dan Hari hanya kumpul-kumpul di penthouse. Hari sendiri baru aja selesai latihan dengan samsak tinju di ruang sebelah.

“Kapan manggung lagi, Na?” Hari menenggak air mineral, menghampiri kami.
“Hari minggu. Ada acara Kementerian gitu.” Gue sembari mengambil remot tivi.
“Lagu baru?” Dani giliran nanya.
“Ada.”

Anwar memang gila. Baru beberapa hari sejak pulang dari Malang, dia udah bisa bikin lagu. Padahal, Anwar gak jago-jago banget soal musik. Kuliahnya aja bareng gue dan bukan jurusan seni atau musik.

Minat Anwar dalam bidang bermusik beruntung selalu didukung dan ditemani Tika. Mereka memang udah cocok deh. Jennifer pun sebagai frontman juga selalu bisa memberikan interpretasi yang baik atas maunya Anwar.

“Buatan lu?” Dani nanya lagi.
“Anwar.” Gue mengganti channel tivi lagi.
“Ah, pasti ada bantuan elunya.”

Gue sendiri sebenarnya gak terlalu banyak mengacak-ngacak. Bagian gue cukup mendengarkan instruksi Anwar. Gebuk-gebuk drum bahkan gue gak terlalu jago. Tapi, semenjak menjadi inhuman yang mampu mendengar dan melihat macam-macam frekuensi dalam berbagai warna, gue bisa tau mana suara musik yang enak, mana yang nggak.

Musik berasal dari rangkaian frekuensi berbeda dengan tonal, lalu masuk ke telinga. Impuls dari saraf pendengaran yang diteruskan ke lobus temporal itu gak bisa diganggu gugat, kecuali ada gangguan atau penyakit. Hasilnya, otak tau mana yang merdu dan nggak.

Sebuah irama musik biasanya akan dibilang enak kalau udah dua atau tiga kali didengarkan karena otak terhabituasi. Tapi, pasti lebih bagus kalau bisa memberikan kesan baik saat pertama kali didengar. Di situlah porsi gue dalam bandnya Anwar. Gue hanya memberi saran ke Anwar, mana nada yang enak didenger dan mana yang nggak. Atau dalam pengelihatan inhuman gue, mana frekuensi yang berwarna indah dan enggak.

“Minuman abis lagi.” Hari menenggak botol terakhir.
“Sorry sorry.” Dani meminta maaf.
Kalau logistik habis, pasti Dani pelaku utamanya.

“Minta beliin gojek aja lah.” Dani malas-malasan.
“Gue mau sekalian peregangan, jalan kaki. Ikut?” Hari memberi alternatif.

Gue dan Erna menggeleng. Sekarang udah sore, mendung, dan kami memang sedang malas.

“Yaudah.”

Hari pergi keluar. Kami tinggal berdua di penthouse ini. Dani dan gue bergantian mngoceh soal apapun, mulai dari pekerjaan S.H.I.E.L.D., pekerjaan normal, suasana kampus, hingga grup-grup whatsapp.

Gue dan Dani tergabung dalam tiga grup whatsapp yang sama. Grup angkatan, grup UKM jurusan, dan grup Dadakan Lebih Seru. Dari ketiga grup ini, grup Dadakan menjadi paling sepi. Belum ada rencana jalan-jalan lagi setelah dari Malang. Dua grup lainnya penuh dengan info-info lowongan pekerjaan untuk freshgraduate.

Kadang-kadang, Anwar suka ngetroll di grup angkatan dengan mengirim meme lucu. Kelakukannya itu lah yang bisa tiba-tiba membuat grup rame dari sore sampe tengah malam.

“Ngomong-ngomong gambar...” Gue teringat sesuatu yang kemarin terlupa.

Waktu ada di mobilnya Eda, ada sekelebat frekuensi dengan gambar yang melintas di depan mata gue. Frekuensi itu berwarna agak violet, dan ketika gue fokuskan ternyata berupa gambar mesum.

“Gue ngeliat gambar Kak Rivin.. ehmm, telanjang.” Jelas gue kepada Dani.
“Wajar dong. Kak Rivin ngirim ke Eda, ya kan.” Dani terkesan cuek.
“Bukan.”

Arah terkirimnya pesan itu bukan ke arah Eda. Gue masih ingat dengan jelas Eda memegang handphonenya terus, dan tangannya selalu lekat dengan setir atau dashboard. Pesan yang gue lihat itu mengarah ke pintu depan sebelah kiri.

“Ke hapenya Hari maksud lo?” Dani membetulkan posisi duduknya.

Gue berhasil mendapat perhatian Dani.

“Bukan, bukan. Ada hape lain yang geletak di pintu kiri.” Gue menolak hipotesis Dani.
“Gimana? gak ngerti gue.” Dani menggeleng-geleng.

Gue mencoba menganalisis sambil bercerita. Pagi itu Eda bilang menghampiri kami setelah mengantar Kak Rivin ke tempat kerjanya. Karena mereka bukan tipikal hubungan sopir-majikan, maka Kemungkinan besar Kak Rivin duduk di bangku depan.

“Jadi menurut lu itu hapenya Kak Rivin?” Dani mengernyitkan alis.

Gue mengangguk, dan menambahkan satu kalimat yang baru aja gue ingat mengiringi terkirimnya foto itu. Kalimatnya adalah, ‘nanti malam lagi ya, sayang.’

“Eda ngirim ke kak Rivin?” Dani bertanya terus.
“Nah, itu dia. Pengirimnya bukan dari Eda.”

Gue memberi hipotesis baru.

“Eh, lu yang bener? Kak Rivin selingkuh, gitu?”

Gue gak tau gaya hidupnya Kak Rivin seperti apa. Tapi, berdasarkan tingkah laku dan gaya hidupnya semasa kuliah, gue gak yakin Kak Rivin tipikal seperti itu. Asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan.

“Bisa iya, bisa nggak. Tapi lu penasaran gak?” Gue memberi Dani opsi.
“Nggak juga sih.” Jawab Dani.
“Tuh kan lu sendiri ragu-ragu.”

Gue berusaha mencari tahu apakah Dani ingin membantu Eda. Gue tahu Dani tetap ingin memberikan yang terbaik buat Eda. Meskipun mereka bukan sepasang kekasih lagi, seenggaknya orang yang baik akan tetep ngebantu temannya sendiri.

“Boleh lah kita periksa.” Dani akhirnya setuju.
“Kapan?” Tanya gue.
“Lebih cepet lebih baik.”
“Kalo gitu sekarang aja.”

Di depan pintu, Hari baru saja kembali dari minimarket dengan seplastik besar minuman dan makanan. Kami yang memberikan kesan terburu-buru dianggapnya seperti ada sebuah misi dadakan. Untungnya, Dani bisa memberi alasan kalau ini adalah urusan privasi cewek.

Siapa sih yang bisa menolak alasan itu.

Menjelang maghrib, gue dan Dani tiba di depan kantornya Kak Rivin di daerah Jakarta Timur. Sore ini, mengikuti Kak Rivin adalah langkah pertama yang bijak. Gue bisa membaca pesan-pesan yang yang di terimanya asal jaraknya gak terlalu jauh. Sementara itu, Dani secara visual memerhatikan orang per orang yang keluar dari kantor tersebut. Siapa tau salah satunya adalah Kak Rivin.

Kami berdua sekarang sedang berada di trotoar, di antara pedagang kaki lima dan kumpulan ojek online yang menunggu penumpang.

“Itu dia!” Dani menunjuk seseorang yang baru aja keluar.

Kak Rivin keluar sendirian dengan setelan batik, celana bahan, dan sweater. Dari kejauhan, wajahnya tampak lelah atau sedih. Kami sama-sama melihat dia menyebrang jalan, lalu menunggu angkutan umum.

“Ada wa lagi?” Dani bertanya.
“Ada.”
“Siapa yang ngirim?”
“Sebentar.... Kak Rivin ngetik nama Putra... Kenal gak?”

Dani menggeleng gak yakin. Putra adalah nama yang pasaran. Bisa jadi itu adalah teman kuliah, kerja, atau teman sekolahnya. Atau mungkin juga bapaknya. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Oleh karena itu, kami tetap harus memata-matainya.

Kak Rivin menerima telepon.

“Dari siapa tuh? Eda?” Dani bertanya terus.
“Bukan. Tunggu dulu.”

Gue fokus mendengarkan percakapan mereka. Kepala gue tertunduk, sejenak melupakan Dani dan suasana sekitar. Di telinga gue, kini hanya lantang terdengar percakapan dua orang yang berlawanan jenis.

Nada bicara Kak Rivin terdengar seperti orang panik, sedangkan peneleponnya bersuara lelaki, terdengar antusias, dan cenderung mengintimidasi Kak Rivin. Isapan ingus Kak Rivin kerap kali terdengar. Kemudian, dalam satu perdebatan, Kak Rivin dengan jelas melafalkan nama Putra.

“Ini Putra!” Gue melotot melihat Dani.
“Cari, cari!”

Gue dengan cepat segera mencari lokasi penelepon dengan mengikuti arah pita frekuensi dari hape Kak Rivin. Kak Rivin sendiri masih berdiri tegak di seberang jalan. Gue rasa dia gak fokus kalau angkot yang satu tujuan dengannya udah lewat dua kali.

Gue menghilangkan fokus suara-suara. Mata gue menyipit, memastikan pita frekuensi yang kami ikuti benar arahnya. Pita frekuensi yang melintas di langit Jakarta udah gak bisa dihitung dengan jari. Kalau sekali aja gue hilang pandangan, kami bisa menuju orang yang salah.

“Teleponnya masuk ke arah kantor.” Gue menjelaskan ke Dani.
“Masa bodo lah, masuk!” Dani antusias.

Dani menjinjing tasnya, berlari duluan ke arah jalan masuk kantor. Gue menyusul, tertinggal sekitar tiga langkah di belakangnya. Seorang satpam jaga pun gak dapat menghentikan Dani untuk berhenti.

Untungnya, gue bisa meyakinkan dia dengan mengeluarkan identitas S.H.I.E.L.D. serta beralasan ada resiko terrigenesis di kantor ini. Sebelum pak satpam panik dan berlarian gak tentu arah, gue menjanjikan semuanya akan baik-baik aja asal dia gak lapor ke siapapun.

Di ujung lobby, akhirnya Dani berhenti.

“Lewat mana?” Dani ngos-ngosan.
“Elu sih lari duluan.”

Gue kembali mencari pita frekuensi yang warnanya sesuai dengan yang gue lihat tadi. Mata gue melihat ke setiap sudut-sudut udara. Makin dicari, justru makin gak ketemu. Pita frekuensinya udah berbaur dengan frekuensi orang-orang lain yang juga sedang bertelepon.

Mencari kasus terrigenesis ternyata lebih gampang daripada ini. Kalau ada orang yang baru aja mengalami terrigenesis, biasanya orang-orang di sekitar akan panik. Ada yang nelepon polisi, damkar, ambulan, ada juga yang mengambil gambar, lalu diupload ke medsos. Intinya, jika ada kekacauan yang terjadi di setiap frekuensi, maka gue gampang menemukannya.

Frekuensi yang ini gak ada bedanya sama komunikasi orang normal. Susah.

“Hilang. Gak ketemu.” Gue menggeleng pasrah.
“Sorry.” Dani meminta maaf.
“Tapi ini kan udah di kantornya Kak Rivin.”

Gue menghampiri salah satu pegawai yang hendak pulang. Gue bertanya di mana bisa bertemu Bapak Putra, temannya Ibu Rivin. Hanya dengan sedikit penjelasan kalau mereka dari divisi quality control, kami langsung diarahkan ke lokasi yang semestinya.

“Pinter.” Dani memberi dua jempol.
“Makanya, kalem aja.”

Kami terus berjalan mengikuti direksi dari orang-orang yang kami tanyai. Dani menghampiri orang lain lagi untuk ketiga kalinya. Dia bertanya pertanyaan yang sama, ingin bertemu Bapak Putra dari divisi quality xontrol.

“Iya, saya sendiri.” Jawab si laki-laki.

Gue dan Dani saling tatap. Kemudian gue memerhatikan orang yang mengaku dirinya adalah Putra. Perawakannya tinggi tegap dan berwajah agak bulat. Dia menggendong tas ransel tipikal pekerja kantoran yang biasanya hanya berisi laptop dan dokumen.

“Kenal Ibu Rivin ini?” Dani menunjukkan foto profil line Kak Rivin.
“Iya. Ada keperluan apa ya?”

Dani menghampiri gue yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Dia meminta gue segera memanggil Sigit kemari dan diusahakan tanpa sepengetahuan Hari. Setelah itu, Dani dengan tiba-tiba menyeret tubuh seorang bernama Putra itu ke balik pintu tangga darurat.

Suara bantingan pintu terdengar kencang.

“Geblek! Dani!”

Gue memperhatikan kondisi sekitar. Kami beruntung bertemu Putra di lokasi yang sepi dari lalu lalang manusia. Kemudian, gue mengikuti Dani menuju tangga darurat. Di sana, Dani udah menyudutkan Putra ke tembok dan mengacungkan ICER ke dadanya.

“Apa-apaan nih?! Gue bisa teriak!” Putra melawan.
“Lu gak mungkin mau teriak kalo ditodong ginian.”

Dani menekan moncong ICER ke dada Putra.

“Dani, jangan pake itu.” Gue meminta jangan menggunakan alat kerja.

Dani melihat gue sebentar. ICERnya masih menekan kencang dada Putra sehingga makin memojokannya ke tembok. Dani secepat kilat mengambil sebuah pisau dapur dari dalam tas, lalu dengan cepat mengganti ICER dengan sebuah pisau roti yang langsung diacungkan ke leher Putra.

“Sekarang jawab, lu apain Rivin, hah?!” Dani mulai menginterogasi.
“TOLONG!!” Putra berteriak.

Dani langsung menyabet pipi kiri putra dengan pisau dapur hingga tersayat dangkal. Sadis. Gue gak pernah lihat Dani begini. Terakhir kali dia agresif adalah 5 hari lalu saat ingin menghadapi Jeepers Creepers. Tapi dalam aksinya, dia gak pernah menyerang dari jarak dekat seperti ini.

Darah segar mengucur dari pipi kiri Putra.

“Gue bilang jangan teriak, monyet!” Ancam Dani.
“Dani.” Gue menyadarkan Dani supaya dia gak kelewatan.

Panggilan gue dijawabnya dengan gerakan bibir tanpa suara. Gue tahu, maksudnya adalah gue harus menghubungi Sigit sekarang juga. Maka, sekarang gue berbalik badan, mengetik pesan personal kepada Sigit.

Untungnya Sigit membalas dengan cepat.

Sigit: Buat apaan? Gue mau latihan.
Gue: Buat antuin temen. si Eda, Kak Rivin. Tau kan?
Sigit: Gak bisa lama ya. Share location sama foto gih.

Gue langsung share location dan mengambil foto lokasi tangga darurat tempat kami beraksi.

Sembari menunggu Sigit datang, bola mata gue kembali pada Dani. Pisaunya udah gak mengarah ke leher Putra. Sekilas gue heran ke mana Dani mengarahkan pisau itu, namun setelah tahu, gue mendadak bergidik ngeri sekaligus jijik.

Dani mengancam Putra dengan mengarahkan pisau itu tepat ke penis Putra. Secara harfiah benar-benar penisnya. Resleting celana Putra sudah terbuka dengan penis yang menyembul lemas ditarik Dani. Pangkal batangnnya tepat tegak lurus dengan mata pisau. Apabila terpotong, otomatis alat reproduksi Putra hanya akan tersisa 2 cm. Pusat lokasi saraf reseptor pemberi kenikmatan akan terputus seutuhnya.

“Ehmm.. Dani...” Gue kembali berusaha menyadarkannya.
“Lu tau kan hukuman pemerkosa.” Dani berdalih.
“Ya, bukan kita yang ngehukum juga.”

Dani tetap bersikeras. Selama gue ngechat tadi, Dani sepertinya udah mendapat jawaban.

“TOLOOO...” Putra berteriak gak selesai.
“Gue bilang jangan teriak!” Dani terus mengancam.
“Bukan manusia lu semua!! Cuih!!” Putra mengumpat.

Putra terus berontak dengan berbagai gerakan penolakan. Tenaga Dani akhirnya gak sanggup lagi menahan Putra. Genggaman penis Putra terlepas. Hunusan pisau pun gagal mengenai sasaran. Punggung Dani bahkan terbanting ke tembok hingga menekan tasnya.

“AAGGH!” Dani mengerang dan alarm di tasnya berbunyi.

Putra lari ke lantai atas karena gue terlebih dulu menghalangi pintu keluar.

“Ayo, bangun, Dani.” Gue berusaha memapahnya.
“Gue gapapa. Kejar si Putra!”

Belum sempat gue berlari. Putra sudah terlebih dulu berguling jatuh dari lantai atas. Tubuhnya membentur keras tiap anak tangga. Gue yakin laptopnya udah hancur dari tadi dengan gaya jatuh seperti itu.

“Sialan. Gue kira di lantai atas.” Suara perempuan terdengar.

Seorang perempuan melangkah turun dengan terburu-buru. Dia memakai pakaian terusan berbahan satin warna merah. Gaya berbahasanya sangat Indonesia, tapi wajahnya bukan. Kulitnya sawo matang dan rambutnya ikal berwarna pirang tulen.

“Siapa??” Tanya Dani.
“Gue Eva, gantinya Sigit. Udah dibilang dia lagi latihan.”

Kami berdua bengong.

“Sekarang urusannya ini soal apa?” Tanya si perempuan bernama Eva.

Perkenalan kami cukup singkat. Dani langsung menjelaskan duduk persoalan kalau si Putra adalah pemerkosa pacar teman kami. Kemudian, kami ingin memberikan efek jera padanya.

“Terus, kalian butuh sihir di bagian mananya?” Tanya Eva.
“Sihir supaya dia gak bisa ngancem Kak Rivin dengan cara apapun, ada?” Pinta Dani.

Eva terdiam sejenak. Mungkin dia berpikir Dani kelewat gila karena berharap terlalu besar kepada sihir. Mungkin juga dia sedang berpikir sihir mana yang tepat untuk kasus receh begini.

“Tapi ada imbalannya.” Tawar Eva.

Sementara itu, dari tadi fokus gue terbagi antara percakapan ini, Putra yang entah pingsan atau udah mati, dan bunyi alarm dari tas Dani yang gak bisa berhenti. Selanjutnya, gue memutuskan memotong obrolan mereka agar alarm bisa dimatikan terlebih dulu.

"Dan, alarm matiin dulu kenapa." Pinta gue.
“Gue gak bawa alarm.” bantah Dani.
“Terus itu suara apa?”
“Ini... Oh my...”

Dani buru-buru mengeluarkan sumber bunyi-bunyian itu. Ternyata alat itu adalah pemindai kristal terrigen.

“Rusak?” Tanya gue.
“Alat begini gak gampang rusak. Satu-satunya alasan...”

Dani mengambil tindakan yang sama sekali gak gue duga. Pertama, dia mencoba mematikan dan menghidupkan lagi alat itu untuk memastikan kondisi. Lalu dia memindai tubuhnya sendiri, dan hasilnya gak ada perubahan suara.

“Kemaren udah pindai tubuh gue sendiri. Harusnya udah gak bunyi.” Jelas Dani tanpa panik.
“Terus bedanya sekarang apa?”

Dani memindai tubuh Putra, lalu suara alarm terdengar lebih cepat. Suara alarm bahkan lebih cepat lagi saat dipindai melewati tasnya. Gue dan Eva membopong Putra sedemikian rupa agar tasnya terlepas. Alangkah terkejutnya kami, bahwa ada serbuk putih yang tumpah di dalam tas Putra. Di bagian terdalam, gue akhirnya menemukan tiga ziplock kecil pembungkus bubuk putih itu.

“Itu apa?” tanya Eva.
“Hati-hati, ini kristal terrigen!” Gue menjelaskan.
“Pastinya dosis besar. Alarm bahkan bisa ngebaca dari jauh.” Dani menambahkan.

Perlahan Putra terbagun dengan jaketnya yang udah berceplak darah. Gue buru-buru menyingkirkan tas Putra jauh-jauh dari Dani dan Eva. Selanjutnya, kami menginterogasi Putra melebar ke arah informasi dia mendapatkan kristal itu. Kami yakin itu kristal terrigen yang sama dengan kedok produksi narkoba.

Dengan bantuan sihir Eva, Putra terus membuka mulutnya soal berbagai macam informasi.

Putra bersikeras itu bukan narkoba, melainkan obat perangsang untuk membantunya menaklukkan Kak Rivin. Bahkan, Putra buka mulut soal info bagaimana mereka betransaksi. Itu bisa kami gunakan untuk menggerebek pabrik mereka besok-besok.

“Soal Kak Rivin gimana jadinya?” Dani meluruskan kembali tujuan awal kami.
“Gampang.” Jawab Eva.

Eva mengayunkan tangannya, membentuk simbol-simbol aneh berwarna kuning cerah dengan bentuk dominan lingkaran. Gerakan tersebut bukan menghasilkan percikan api seperti yang Sigit lakukan. Warna terebut lebih seperti cahaya bulan di atas permukaan air, bergoyang naik turun tanpa berpindah sedikit pun.

Eva meminta Dani mengucap sumpah yang akan diikuti Putra.

“Denger gue. Saya yang bernama Putra, gak akan mengancam Rivin dalam bentuk apapun. Dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, video, perbuatan, atau semacamnya. Jika saya melanggar, maka saya siap menerima konsekuensinya.” Dani berucap.

Dengan diselingi beberapa kali potongan yang dieja Putra, Dani menyudahi kalimatnya. Bagai kerbau yang dicucuk hidung pula, Putra mengeja setiap kata dengan jelas.

“Begitu cukup?” Dani penasaran.
“Masih terlalu general sih. Tapi cukup lah.” Ucap Eva.

Eva menambahkan kalimat supaya Putra gak akan menyentuh narkoba atau obat perangsang lagi. Kemudian, dia mengayun-ayunkan tangannya sampai segel tersalin menjadi tiga. Satu meresap ke dalam lidah Putra, satu ke tangan sebelah kanan, dan satu lagi ke bagian kelaminnya yang masih menjuntai lemas.

“Sebenernya dua cukup. Tapi gue suka bikin kelamin orang meledak.” Entah Eva bergurau atau serius.

Putra diizinkan pergi, lantas dia menghilang di balik pintu darurat dengan lunglai. Sementara itu, Eva menyusul pamit untuk kembali ke Kamar Taj. Gue dan Dani kembali pulang ke penthouse dengan barang bukti gak terduga.

“Ladies win!” Teriak Dani di atas motor gue.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd