Episode 46
Negeri di Tengah Pasifik
POV Sigit
Inilah satu negara kepulauan di tengah Samudera Pasifik. Negara dengan bentuk kerajaan yang memiliki luas daratan hanya sekitar 2 kali kota Surabaya. Negara dengan keamanan terendah, namun damai. Negara tempat di mana Eva Tuahine dilahirkan.
Aku melihat Eva, rupanya dia tidak terlalu senang pulang kampung.
“Ada yang dipikirin?” Tanyaku ke Eva.
“Nggak kok. Yuk jalan.” Balas Eva.
Kami berjalan menjauh dari bibir pantai. Wilayah ini gak sepenuhnya hutan. Ada jalanan aspal kecil yang sesuai kalau disebut sebagai jalanan kampung. Agak jauh menengok ke barat dan timur, ada banyak perkampungan semi-modern atau mungkin resort untuk pariwisata.
Eva menjelaskan kepada yang lain kalau Hamid paling handal untuk merasakan bahaya. Oleh karena itu, tempat kemunculan mereka saat tiba beberapa waktu lalu tidak bisa diprediksi. Eva hanya bisa merasakan paling dekat kalau mereka ada di sini, di gugus kepulauan Vava’u.
“Jadi, kita mencar?” tanya Mbak Erna.
“Jangan. Malah bikin masalah baru.” Mas Hari menjawab.
“Setuju.” Eva menguatkan.
Eva mengarahkan kami menuju sebuah gunung kecil bernama Gunung Talau.
“Eva?!!” Terdengar suara perempuan memanggil Eva.
Eva menoleh, dengan sigap dia menghampiri perempuan tersebut sebelum sampai ke arah kami. Si perempuan itu menunggangi skuter matic. Perawakannya hitam, berambut ikal, dan gendut. Kutaksir dia berusia sudah lebih dari 40an.
Setelah berbincang cukup lama dengan perempuan penunggang skuter matic itu, Eva kembali menghampiri kami.
“Flavus, you take the lead.” Kata Eva ke Flavus.
“Kamu mau ke mana?” Tanyaku.
Eva terdiam sejenak. Matanya berputar-putar memandang wajah semua orang yang ada di sini. Si perempuan paruh baya kembali memanggil Eva beberapa kali. Kemudian, Eva menarik tangan gue untuk ikut dengannya.
“Pinjam Sigitnya dulu. Nanti kami susul. Ini penting.” Eva berkata terputus-putus.
Mas Hari, Mbak Erna, Mbak Lina, Flavus, dan Osas melanjutkan perjalanan mereka. Satu persatu mereka menghilang di balik lebatnya hutan. Sementara itu, aku mengikuti Eva melanjutkan pembicaraan yang sama sekali gak aku mengerti.
Aku ingin memotong untuk bertanya, namun rasanya kurang etis. Apalagi bahasa Inggrisku masih jelek.
Beberapa waktu kemudian, si perempuan paruh baya itu pergi. Aku pikir ini udah selesai, tapi ternyata Eva mengajakku untuk bertandang ke rumah perempuan tadi. Eva memaksaku untuk mengikuti aturan mainnya sebelum kembali kepada misi.
“Ayo, sebentar aja.” Ajak Eva
“Perempuan tadi siapa sih?” Aku bertanya.
“Dia tanteku. Tadi aku nego...”
Nah, ini dia, Eva sudah memulai tawar-menawar. Kemungkinan memang masalah serius.
Sambil berjalan kaki, Eva mulai banyak bercerita. Beberapa belas tahun lalu dia kabur dari rumah setelah bapaknya meninggal. Bapaknya Eva selalu bekerja keras dalam mengelola pariwisata, tapi keluarga dari pihak ibunya Eva selalu menuntut lebih. Akibatnya, bapaknya jatuh sakit dan kesehatannya terus menurun akibat sedikit beristirahat.
Hal itulah yang membimbing Eva lari dari Vava’u ke pulau utama Tongatapu. Lalu dia menyelinap ke kapal kargo hingga sampai ke India. Terakhir, sampailah dia ke Kamar Taj dalam keadaan kelaparan dan kedinginan. Suatu keajaiban di usia yang masih kecil dia berhasil bertahan hidup bepergian sejauh itu.
Gue kagum, kecerian Eva saat menjelaskan sejarah Pasifik untuk mengajarkan orang-orang dan trauma menginjakkan kaki ke tanah kelahiran adalah hal yang bisa dibedakan. Sama bedanya seperti momen bekerja dan liburan. Aku makin jatuh cinta kepada Eva.
“Kita ke sana dulu untuk jamuan. Abis itu kita pegi, oke?” Tawar Eva.
“Oke.” Aku hanya bisa setuju.
Dua puluh menit kami berjalan, sampailah kami di rumah tantenya Eva. Rumahnya sudah modern dengan cat tembok yang terkesan baru dan interior kekinian. Kami pun disuguhkan hidangan makanan yang beraroma nikmat sekali.
Sembari makan, Tantenya Eva mulai bercerita. Tentu gue bisa mengerti setelah ditranslate Eva.
Rupanya, tantenya Eva ini adalah dari pihak bapaknya Eva. Beliau tinggal sendirian di rumah karena tidak pernah menikah. Meski begitu, rumahnya tetap tampak rapi dan bersih, tidak seperti orang yang cuek meski pun tidak memiliki keluarga.
Beliau menjelaskan bahwa sejak Eva menghilang, keluarga dari pihak ayah dan ibu Eva mengalami perselisihan. Ibu Eva selalu dituduh sebagai biang kerok hancurnya keluarga kecil tersebut. Akibatnya, mereka sudah tidak saling berkomunikasi. Kabar terakhir, Ibu Eva telah menjadi imigran ke Australia untuk mencari kehidupan yang lebih layak.
“Kamu gapapa?” Tanyaku.
“Gapapa. Aku udah gede kan.” Eva tersenyum.
Mereka kembali berbincang. Sepertinya bahan obrolan telah berpindah. Banyak tawa dan senyum malu-malu yang kini tergurat dari bibir hingga pinggir pipi Eva.
“Ngomongin apa sih?” Gue penasaran.
“Pengen tau?” Eva bertanya balik.
Gue menangguk.
“Makanya, pake sihir bahasanya dong.” Eva meledek.
“Kentut.” Gue kesel.
“Hahaha. Ntar aku ceritain.”
Usai banyak berbincang, yang selebihnya gue gak diikutsertakan, tante Eva pergi ke dapur untuk menyuci piring-piring bekas makanan kami. Beliau mengizinkan kami untuk melihat-lihat seisi rumah.
“Ini papaku.” Eva menunjuk sebuah foto di dinding.
Aku memerhatikan foto wajah close up yang ditunjuk Eva dengan teliti. Wajah papa Eva tampak seperti orang yang sangat lelah. Disamping kerutan-kerutan di dahi dan pipi, kantong mata Bapaknya Eva sudah berlipat dua.
Aku membayangkan sekeras apa kerja dari bapaknya Eva.
“Kelihatan ya, orang yang berbakti sama keluarga.” Kataku.
Eva membalas dengan sedikit cerita. Bapaknya Eva selalu bekerja siang dan malam sebagai pebisnis pariwisata. Setiap selesai dengan satu kelompok turis, beliau terus melanjutkan kerja dengan turis yang baru. Kalau sedang sepi, nelayan adalah pekerjaan sampingannya.
“Papaku hebat banget, megang satu turis aja paling sebentar 3 hari.” Cerita Eva.
“Kalo waktu jadi nelayan?” Aku mencoba mengulik.
“Sekali melaut bisa satu mingguan.” Jawabnya.
Berat sekali ternyata. Sama sekali tidak ada waktu yang disediakan untuk libur. Kata Eva, libur berarti tidak ada pemasukan. Keluarga jadi konsekuensinya, itu jargon si bapak.
Tidak lama kemudian, Tantenya Eva keluar dari dapur. Mereka berdiskusi sejenak.
“Kita ke makam bapakku dulu. Abis itu kita pergi.” Eva mentranslate.
“Oke.”
---
POV Hari
“Itu tadi siapa ya?” Gumam gue.
“Gak tau.” Jawab Lina.
“Coba tanya orang-orang ini aja.” Erna menunjuk ke para penyihir.
Erna berbicara dengan Flavus. Lalu, Flavus dengan lantang mengatakan bahwa perempuan tadi bisa jadi adalah salah satu keluarga dari Eva.
Eva, seharusnya sejak awal bisa mengantar Puri ke Tonga. Tapi karena satu dan lain hal, Eva tidak pernah mau kembali ke Tonga. Oleh karena itu, dia meminta bertukar posisi dengan Hamid yang kini tidak ada kabarnya bersama Puri.
“Oh.” Jawab gue.
“Itu aja responnya?” Erna sewot.
“Ya abis apa lagi?”
“Ya apa kek... Ah, yaudah lah.” Erna ngalah.
Kami sudah menjelajahi hutan selama hampir dua jam. Akan tetapi, belum ada satu pun mulut gua yang dapat kami temukan. Pencarian gua menggunakan sihir pun tidak berguna. Kami sudah kelelahan dan lupa membawa air minum. Solusinya, Osas akan pergi sebentar ke markas untuk mengambil perbekalan.
Gak ada diantara Osas dan Flavus yang bisa menciptakan air minum satu pun. Gue sedikit meldek kalau sihir mereka payah kalo gak bisa bikin air.
"Transfer molecules from another dimension is hard, dude." Flavus menanggapi serius.
Kami duduk, beristirahat di bagian hutan yang landai di tanah yang agak lapang dan bersih dari tetumbuhan. Keheningan melanda karena kami kehabisan bahan obrolan.
“Denger sesuatu?” Erna tiba-tiba bermimik serius.
“Nggak.” Gue membalas.
“Did you hear something?” Erna bertanya ke Flavus.
“Yeah. Be careful.” Flavus berdiri.
Lina menjadi orang kedua yang berdiri. Mata celepuknya menyipit untuk memerhatikan lokasi sekitar.
“Ada yang dateng.” Kata Lina.
“Siapa?” Erna berdiri.
“Nggak tau, yang pasti bukan manusia.” Jawab Lina.
Gue menjadi orang terakhir yang berdiri dan paling gak tahu apa-apa.
Tiba-tiba kami diserang sekelompok sosok berwujud avatar berpakaian jaket kendali lagi, tapi kali ini gak terlalu banyak. Jumlahnya pas dengan jumlah kami sekarang. Empat lawan empat. Flavus menjadi orang pertama yang memenangkan perkelahian. Dia melempar satu avatar ke dimensi lain. Kemudian, dia membantu Erna yang terpojok di salah satu pohon berbatang besar. Erna baru saja tersandung akar dan dalam keadaan tercekik lawannya.
Gue cukup lelah dengan pertarungan di gua. Gerakan gue gak cukup cepat untuk mengimbangi kecepatan si avatar. Gue terkena tonjok banyak sekali di bagian tulang hidung, pipi, pelipis, dan ulu hati. Belum lagi cakaran yang sudah menggores pipi kiri dan lengan kanan gue.
“Gue gak kuat lagi, bantuin gue!” Gue teriak.
Lina pun sudah kepayahan. Dia berkelahi dengan kecepatan tinggi dengan satu inhuman, Akibat berbagai macam gerakan yang lincah itu, mereka berdua terguling ke jurang. Setelahnya, gue gak bisa melihat mereka lagi karena masih sibuk sendiri.
Suara Lina menghilang perlahan.
Gue terpojok ke arah satu pohon besar. Serangan si avatar makin membabi buta. Dengan kekuatan orang kepepet, gue bisa menyerap energi dari beberapa upaya hantaman dan cakaran si avatar ini. Dalam satu kesempatan, gue mengambil gerakan memutar melalui celah ketiak si avatar untuk membelakangi si avatar.
Gue tendang punggung si avatar hingga terbentur batang pohon. Kemudian, gue tahan badan si avatar menggunakan kedua tangan agar dia tetap terpojok di batang pohon tersebut. Gue fokuskan kekuatan di telapak tangan agar bisa menyerap banyak energi secepat-cepatnya dari jaket kendalinya.
Kuhitung, sekitar 20 detik kemudian akhirnya si avatar pingsan.
Flavus juga sudah selesai menolong Erna dengan melempar si avatar ke dimensi lain. Avatar yang kalah dari gue juga dilempar ke dimensi lain.
“Kenapa dibuang? Mereka manusia juga!” Gue kesel.
Flavus hanya mengangkat kedua tangan bersama bahunya. Dia gak mengerti bahasa gue.
“Why? They’re human too!” Gue meralat bahasa gue.
“What do you expect?” Kata Flavus.
“We should keep them alive.”
“Not on my watch.” Jawabnya sinis.
Gue baru ingat. Ketika Flavus datang dengan portalnya saat kami di gua, dia juga membunuh salah satu manusia super. Mungkin orang ini memang kejam kalau berkelahi. Kalau begitu jangan sampai gue berkelahi dengan dia.
“WATCH OUT!!!” Flavus berteriak sekencang-kencangnya.
Ada yang datang secara tiba-tiba...
---
POV Eva
Gue berdoa di depan makam papa gue.
Tante gue sejak tadi menggoda gue, lalu berhenti karena gue berdoa. Dia meledek adanya Sigit yang gue katakan sebagai teman. Katanya, ada yang beda. Tante gue merasakan ada yang berbeda dari hubungan gue dan Sigit, dan itu gak cukup kalau digambarkan sebagai teman.
Gue tetap gak mengerti.
Kami memang sex friend, tapi hanya sebatas itu.
Gue juga berkali-kali meminta maaf bahwa gak bisa tinggal lagi di pulau ini. Ada kewajiban yang lebih besar yang harus gue tanggung. Akan tetapi, gue gak bisa menceritakan hal itu terang-terangan.
Ironi. gue pernah menasehati Sigit untuk menceritakan terus terang tentang takdir dia kepada kedua orang tuanya. Bahkan, gue membantu dia sepenuhnya agar gak terjadi hal-hal yang gak diinginkan. Sekarang, gue malah mati kutu ketika dihadapkan pilihan untuk bercerita terus terang kepada keluarga sendiri.
Sigit gak mengerti bahasa kami. Biarkan saja begitu supaya dia tetap fokus untuk melawan Alan. Kelengahan bisa berarti mati, dan mengantarkan pada bencana dunia.
Gue selesai berdoa.
“Kita pergi sekarang.” Gue mengajak Sigit.
“Oke.” Sigit gak banyak bicara saat ini.
Tante gue mencoba lagi untuk mengajak gue tetap tinggal. Tapi, gue tetap menjawab gak bisa. Banyak rahasia yang gue simpan, dan berbahaya juga kalau gue tinggal di sini. Hal yang bisa gue lakukan hanyalah memeluk tante erat-erat sebagai tanda pamit gue.
Air mata gie akhirnya mengalir juga dari tepian ini.
Gue melepas pelukan erat kami, lalu mengusap air mata sebentar. Sigit lanjut berpamitan dengan ciri khasnya. Cium tangan.
“Harus ya?” Gue sedikit terhibur dengan kelakukan Sigit.
“Gapapa kan?” Sigit bengong.
“Bebas deh.”
Tiba-tiba kami bertiga melihat melihat suar merah melayang tegak lurus ke udara dari punggung Gunung Talau. Gue tau kalau itu sinyal bahaya dari teman-teman yang lain. Mungkin ini peluang untuk gue menjelaskan kepada tante.
“Mereka di sana!” Sigit menunjuk ke arah suar tersebut.
“Yes, dan lagi bahaya.” Timpal gue
Gue melihat tante gue, lalu gue berkata kalau inilah alasan gue gak bisa tinggal lagi di pulau ini. Gue sudah menjadi bagian lain dari semesta yang luas. Gue membuka portal untuk cara praktis sampai ke sana. Gue beruntung sudah tahu lokasi mereka dari tembakan suarnya.
Sebelum gue dan Sigit menyeberang ke sisi lain portal, gue memeluk tante sekali lagi dan meminta maaf. Untungnya tante gue orangnya kuat dan gak sampai pingsan karena gabungan sedih dan kaget setengah mati.
"Ayo." Gue mengajak Sigit pergi.
Sesampainya di sisi lain portal, sesuatu yang di luar dugaan kami terjadi. Arwah Alan terbang dengan gagahnya tepat di depan Hari dan Erna yang tampak kelelahan. Flavus tergeletak tak bernyawa dengan kepala berasap. Baru saja arwahnya hangus dibakar oleh Alan.
Alan sangat tak terduga. Dia sengaja menunjukkan ilmu pengendalian astral di depan manusia awam. Terlebih, membunuh Flavus dengan cepat.
Sigit dengan kecepatan tinggi menekan nadi di lengan kirinya. Dalam percikan kembang api yang membara, munculah senjata berupa sebilah belati unik yang menyala-nyala. Ukurannya tidak terlalu besar, bagian gagangnya melengkung dan terdapat ukiran indah. Bilahnya meliuk-liuk seperti ular, berwarna putih mengilat. Ujungnya runcing dan terlihat sangat tajam.
Gue baru pertama kali lihat, tapi Sigit pernah sekali menyebutnya sebagai Keris Kalawijan Putih.
“ALAAAN!!!” Sigit berteriak sekeras-kerasnya.
Sigit menghentakkan badannya dan seketika arwahnya keluar. Sigit dengan cepat menyerang Alan dengan menghunuskan kerisnya sebanyak yang dia bisa. Alan hanya bisa menhindari tiga kali, lalu menangkis dengan belati sihirnya satu kali sebelum belati itu lenyap. Satu hunusan selanjutnya tepat menusuk perut Alan, membuat celah merah menyala dari arwah Alan.
Gue menyaksikan semua itu sambil menahan tubuh asli Sigit agar tidak langsung jatuh ke tanah. Sementara itu, Hari dan Erna terpaku dan tidak bisa berkata apa-apa. Gue juga gak melihat Lina di sekitar sini.
Tepat sebelum arwahnya lenyap, Alan seperti terhempas jauh ditarik sesuatu, menembus tebing, dan menghilang.
“DEMI KERIS KALAWIJAN PUTIH! PENGECUT KAMU, ALAN!!” Sigit berteriak lagi.
Caciannya panjang sekali.
Sigit mencoba mengejar Alan, tapi gue mencegahnya. Ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan di sini. Selanjutnya, Sigit kembali ke tubuh aslinya. Kami langsung menyelamatkan Lina dari jurang dengan beberapa luka memar yang dideritanya. Selebihnya, Lina menang melawan musuhnya.
Sepertinya akan banyak hal yang diperdebatkan.
BERSAMBUNG