Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans

Setujukah bikin sequel?

  • Gak setuju

    Votes: 2 3,6%
  • Setuju, di thread ini

    Votes: 17 30,4%
  • Setuju, di thread baru

    Votes: 37 66,1%

  • Total voters
    56
  • Poll closed .
Bimabet
Wah, si pengacau yg selalu minta cerita rape, d thread² yg laen jg sama, maksa², buat klonengan, pm ts nya..

Bagus dah di dor duluan...

Nice story suhu, sampai bs membuat reader membayangkan kejadian nya...
 
Episode 46
Negeri di Tengah Pasifik


POV Sigit

Inilah satu negara kepulauan di tengah Samudera Pasifik. Negara dengan bentuk kerajaan yang memiliki luas daratan hanya sekitar 2 kali kota Surabaya. Negara dengan keamanan terendah, namun damai. Negara tempat di mana Eva Tuahine dilahirkan.

Aku melihat Eva, rupanya dia tidak terlalu senang pulang kampung.

“Ada yang dipikirin?” Tanyaku ke Eva.
“Nggak kok. Yuk jalan.” Balas Eva.

Kami berjalan menjauh dari bibir pantai. Wilayah ini gak sepenuhnya hutan. Ada jalanan aspal kecil yang sesuai kalau disebut sebagai jalanan kampung. Agak jauh menengok ke barat dan timur, ada banyak perkampungan semi-modern atau mungkin resort untuk pariwisata.

Eva menjelaskan kepada yang lain kalau Hamid paling handal untuk merasakan bahaya. Oleh karena itu, tempat kemunculan mereka saat tiba beberapa waktu lalu tidak bisa diprediksi. Eva hanya bisa merasakan paling dekat kalau mereka ada di sini, di gugus kepulauan Vava’u.

“Jadi, kita mencar?” tanya Mbak Erna.
“Jangan. Malah bikin masalah baru.” Mas Hari menjawab.
“Setuju.” Eva menguatkan.

Eva mengarahkan kami menuju sebuah gunung kecil bernama Gunung Talau.

“Eva?!!” Terdengar suara perempuan memanggil Eva.

Eva menoleh, dengan sigap dia menghampiri perempuan tersebut sebelum sampai ke arah kami. Si perempuan itu menunggangi skuter matic. Perawakannya hitam, berambut ikal, dan gendut. Kutaksir dia berusia sudah lebih dari 40an.

Setelah berbincang cukup lama dengan perempuan penunggang skuter matic itu, Eva kembali menghampiri kami.

“Flavus, you take the lead.” Kata Eva ke Flavus.
“Kamu mau ke mana?” Tanyaku.

Eva terdiam sejenak. Matanya berputar-putar memandang wajah semua orang yang ada di sini. Si perempuan paruh baya kembali memanggil Eva beberapa kali. Kemudian, Eva menarik tangan gue untuk ikut dengannya.

“Pinjam Sigitnya dulu. Nanti kami susul. Ini penting.” Eva berkata terputus-putus.

Mas Hari, Mbak Erna, Mbak Lina, Flavus, dan Osas melanjutkan perjalanan mereka. Satu persatu mereka menghilang di balik lebatnya hutan. Sementara itu, aku mengikuti Eva melanjutkan pembicaraan yang sama sekali gak aku mengerti.

Aku ingin memotong untuk bertanya, namun rasanya kurang etis. Apalagi bahasa Inggrisku masih jelek.

Beberapa waktu kemudian, si perempuan paruh baya itu pergi. Aku pikir ini udah selesai, tapi ternyata Eva mengajakku untuk bertandang ke rumah perempuan tadi. Eva memaksaku untuk mengikuti aturan mainnya sebelum kembali kepada misi.

“Ayo, sebentar aja.” Ajak Eva
“Perempuan tadi siapa sih?” Aku bertanya.
“Dia tanteku. Tadi aku nego...”

Nah, ini dia, Eva sudah memulai tawar-menawar. Kemungkinan memang masalah serius.

Sambil berjalan kaki, Eva mulai banyak bercerita. Beberapa belas tahun lalu dia kabur dari rumah setelah bapaknya meninggal. Bapaknya Eva selalu bekerja keras dalam mengelola pariwisata, tapi keluarga dari pihak ibunya Eva selalu menuntut lebih. Akibatnya, bapaknya jatuh sakit dan kesehatannya terus menurun akibat sedikit beristirahat.

Hal itulah yang membimbing Eva lari dari Vava’u ke pulau utama Tongatapu. Lalu dia menyelinap ke kapal kargo hingga sampai ke India. Terakhir, sampailah dia ke Kamar Taj dalam keadaan kelaparan dan kedinginan. Suatu keajaiban di usia yang masih kecil dia berhasil bertahan hidup bepergian sejauh itu.

Gue kagum, kecerian Eva saat menjelaskan sejarah Pasifik untuk mengajarkan orang-orang dan trauma menginjakkan kaki ke tanah kelahiran adalah hal yang bisa dibedakan. Sama bedanya seperti momen bekerja dan liburan. Aku makin jatuh cinta kepada Eva.

“Kita ke sana dulu untuk jamuan. Abis itu kita pegi, oke?” Tawar Eva.
“Oke.” Aku hanya bisa setuju.

Dua puluh menit kami berjalan, sampailah kami di rumah tantenya Eva. Rumahnya sudah modern dengan cat tembok yang terkesan baru dan interior kekinian. Kami pun disuguhkan hidangan makanan yang beraroma nikmat sekali.

Sembari makan, Tantenya Eva mulai bercerita. Tentu gue bisa mengerti setelah ditranslate Eva.

Rupanya, tantenya Eva ini adalah dari pihak bapaknya Eva. Beliau tinggal sendirian di rumah karena tidak pernah menikah. Meski begitu, rumahnya tetap tampak rapi dan bersih, tidak seperti orang yang cuek meski pun tidak memiliki keluarga.

Beliau menjelaskan bahwa sejak Eva menghilang, keluarga dari pihak ayah dan ibu Eva mengalami perselisihan. Ibu Eva selalu dituduh sebagai biang kerok hancurnya keluarga kecil tersebut. Akibatnya, mereka sudah tidak saling berkomunikasi. Kabar terakhir, Ibu Eva telah menjadi imigran ke Australia untuk mencari kehidupan yang lebih layak.

“Kamu gapapa?” Tanyaku.
“Gapapa. Aku udah gede kan.” Eva tersenyum.

Mereka kembali berbincang. Sepertinya bahan obrolan telah berpindah. Banyak tawa dan senyum malu-malu yang kini tergurat dari bibir hingga pinggir pipi Eva.

“Ngomongin apa sih?” Gue penasaran.
“Pengen tau?” Eva bertanya balik.

Gue menangguk.

“Makanya, pake sihir bahasanya dong.” Eva meledek.
“Kentut.” Gue kesel.
“Hahaha. Ntar aku ceritain.”

Usai banyak berbincang, yang selebihnya gue gak diikutsertakan, tante Eva pergi ke dapur untuk menyuci piring-piring bekas makanan kami. Beliau mengizinkan kami untuk melihat-lihat seisi rumah.

“Ini papaku.” Eva menunjuk sebuah foto di dinding.

Aku memerhatikan foto wajah close up yang ditunjuk Eva dengan teliti. Wajah papa Eva tampak seperti orang yang sangat lelah. Disamping kerutan-kerutan di dahi dan pipi, kantong mata Bapaknya Eva sudah berlipat dua.

Aku membayangkan sekeras apa kerja dari bapaknya Eva.

“Kelihatan ya, orang yang berbakti sama keluarga.” Kataku.

Eva membalas dengan sedikit cerita. Bapaknya Eva selalu bekerja siang dan malam sebagai pebisnis pariwisata. Setiap selesai dengan satu kelompok turis, beliau terus melanjutkan kerja dengan turis yang baru. Kalau sedang sepi, nelayan adalah pekerjaan sampingannya.

“Papaku hebat banget, megang satu turis aja paling sebentar 3 hari.” Cerita Eva.
“Kalo waktu jadi nelayan?” Aku mencoba mengulik.
“Sekali melaut bisa satu mingguan.” Jawabnya.

Berat sekali ternyata. Sama sekali tidak ada waktu yang disediakan untuk libur. Kata Eva, libur berarti tidak ada pemasukan. Keluarga jadi konsekuensinya, itu jargon si bapak.

Tidak lama kemudian, Tantenya Eva keluar dari dapur. Mereka berdiskusi sejenak.

“Kita ke makam bapakku dulu. Abis itu kita pergi.” Eva mentranslate.
“Oke.”

---

POV Hari

“Itu tadi siapa ya?” Gumam gue.
“Gak tau.” Jawab Lina.
“Coba tanya orang-orang ini aja.” Erna menunjuk ke para penyihir.

Erna berbicara dengan Flavus. Lalu, Flavus dengan lantang mengatakan bahwa perempuan tadi bisa jadi adalah salah satu keluarga dari Eva.

Eva, seharusnya sejak awal bisa mengantar Puri ke Tonga. Tapi karena satu dan lain hal, Eva tidak pernah mau kembali ke Tonga. Oleh karena itu, dia meminta bertukar posisi dengan Hamid yang kini tidak ada kabarnya bersama Puri.

“Oh.” Jawab gue.
“Itu aja responnya?” Erna sewot.
“Ya abis apa lagi?”
“Ya apa kek... Ah, yaudah lah.” Erna ngalah.

Kami sudah menjelajahi hutan selama hampir dua jam. Akan tetapi, belum ada satu pun mulut gua yang dapat kami temukan. Pencarian gua menggunakan sihir pun tidak berguna. Kami sudah kelelahan dan lupa membawa air minum. Solusinya, Osas akan pergi sebentar ke markas untuk mengambil perbekalan.

Gak ada diantara Osas dan Flavus yang bisa menciptakan air minum satu pun. Gue sedikit meldek kalau sihir mereka payah kalo gak bisa bikin air.

"Transfer molecules from another dimension is hard, dude." Flavus menanggapi serius.

Kami duduk, beristirahat di bagian hutan yang landai di tanah yang agak lapang dan bersih dari tetumbuhan. Keheningan melanda karena kami kehabisan bahan obrolan.

“Denger sesuatu?” Erna tiba-tiba bermimik serius.
“Nggak.” Gue membalas.
“Did you hear something?” Erna bertanya ke Flavus.
“Yeah. Be careful.” Flavus berdiri.

Lina menjadi orang kedua yang berdiri. Mata celepuknya menyipit untuk memerhatikan lokasi sekitar.

“Ada yang dateng.” Kata Lina.
“Siapa?” Erna berdiri.
“Nggak tau, yang pasti bukan manusia.” Jawab Lina.

Gue menjadi orang terakhir yang berdiri dan paling gak tahu apa-apa.

Tiba-tiba kami diserang sekelompok sosok berwujud avatar berpakaian jaket kendali lagi, tapi kali ini gak terlalu banyak. Jumlahnya pas dengan jumlah kami sekarang. Empat lawan empat. Flavus menjadi orang pertama yang memenangkan perkelahian. Dia melempar satu avatar ke dimensi lain. Kemudian, dia membantu Erna yang terpojok di salah satu pohon berbatang besar. Erna baru saja tersandung akar dan dalam keadaan tercekik lawannya.

Gue cukup lelah dengan pertarungan di gua. Gerakan gue gak cukup cepat untuk mengimbangi kecepatan si avatar. Gue terkena tonjok banyak sekali di bagian tulang hidung, pipi, pelipis, dan ulu hati. Belum lagi cakaran yang sudah menggores pipi kiri dan lengan kanan gue.

“Gue gak kuat lagi, bantuin gue!” Gue teriak.

Lina pun sudah kepayahan. Dia berkelahi dengan kecepatan tinggi dengan satu inhuman, Akibat berbagai macam gerakan yang lincah itu, mereka berdua terguling ke jurang. Setelahnya, gue gak bisa melihat mereka lagi karena masih sibuk sendiri.

Suara Lina menghilang perlahan.

Gue terpojok ke arah satu pohon besar. Serangan si avatar makin membabi buta. Dengan kekuatan orang kepepet, gue bisa menyerap energi dari beberapa upaya hantaman dan cakaran si avatar ini. Dalam satu kesempatan, gue mengambil gerakan memutar melalui celah ketiak si avatar untuk membelakangi si avatar.

Gue tendang punggung si avatar hingga terbentur batang pohon. Kemudian, gue tahan badan si avatar menggunakan kedua tangan agar dia tetap terpojok di batang pohon tersebut. Gue fokuskan kekuatan di telapak tangan agar bisa menyerap banyak energi secepat-cepatnya dari jaket kendalinya.

Kuhitung, sekitar 20 detik kemudian akhirnya si avatar pingsan.

Flavus juga sudah selesai menolong Erna dengan melempar si avatar ke dimensi lain. Avatar yang kalah dari gue juga dilempar ke dimensi lain.

“Kenapa dibuang? Mereka manusia juga!” Gue kesel.

Flavus hanya mengangkat kedua tangan bersama bahunya. Dia gak mengerti bahasa gue.

“Why? They’re human too!” Gue meralat bahasa gue.
“What do you expect?” Kata Flavus.
“We should keep them alive.”
“Not on my watch.” Jawabnya sinis.

Gue baru ingat. Ketika Flavus datang dengan portalnya saat kami di gua, dia juga membunuh salah satu manusia super. Mungkin orang ini memang kejam kalau berkelahi. Kalau begitu jangan sampai gue berkelahi dengan dia.

“WATCH OUT!!!” Flavus berteriak sekencang-kencangnya.

Ada yang datang secara tiba-tiba...

---

POV Eva

Gue berdoa di depan makam papa gue.

Tante gue sejak tadi menggoda gue, lalu berhenti karena gue berdoa. Dia meledek adanya Sigit yang gue katakan sebagai teman. Katanya, ada yang beda. Tante gue merasakan ada yang berbeda dari hubungan gue dan Sigit, dan itu gak cukup kalau digambarkan sebagai teman.

Gue tetap gak mengerti.

Kami memang sex friend, tapi hanya sebatas itu.

Gue juga berkali-kali meminta maaf bahwa gak bisa tinggal lagi di pulau ini. Ada kewajiban yang lebih besar yang harus gue tanggung. Akan tetapi, gue gak bisa menceritakan hal itu terang-terangan.

Ironi. gue pernah menasehati Sigit untuk menceritakan terus terang tentang takdir dia kepada kedua orang tuanya. Bahkan, gue membantu dia sepenuhnya agar gak terjadi hal-hal yang gak diinginkan. Sekarang, gue malah mati kutu ketika dihadapkan pilihan untuk bercerita terus terang kepada keluarga sendiri.

Sigit gak mengerti bahasa kami. Biarkan saja begitu supaya dia tetap fokus untuk melawan Alan. Kelengahan bisa berarti mati, dan mengantarkan pada bencana dunia.

Gue selesai berdoa.

“Kita pergi sekarang.” Gue mengajak Sigit.
“Oke.” Sigit gak banyak bicara saat ini.

Tante gue mencoba lagi untuk mengajak gue tetap tinggal. Tapi, gue tetap menjawab gak bisa. Banyak rahasia yang gue simpan, dan berbahaya juga kalau gue tinggal di sini. Hal yang bisa gue lakukan hanyalah memeluk tante erat-erat sebagai tanda pamit gue.

Air mata gie akhirnya mengalir juga dari tepian ini.

Gue melepas pelukan erat kami, lalu mengusap air mata sebentar. Sigit lanjut berpamitan dengan ciri khasnya. Cium tangan.

“Harus ya?” Gue sedikit terhibur dengan kelakukan Sigit.
“Gapapa kan?” Sigit bengong.
“Bebas deh.”

Tiba-tiba kami bertiga melihat melihat suar merah melayang tegak lurus ke udara dari punggung Gunung Talau. Gue tau kalau itu sinyal bahaya dari teman-teman yang lain. Mungkin ini peluang untuk gue menjelaskan kepada tante.

“Mereka di sana!” Sigit menunjuk ke arah suar tersebut.
“Yes, dan lagi bahaya.” Timpal gue

Gue melihat tante gue, lalu gue berkata kalau inilah alasan gue gak bisa tinggal lagi di pulau ini. Gue sudah menjadi bagian lain dari semesta yang luas. Gue membuka portal untuk cara praktis sampai ke sana. Gue beruntung sudah tahu lokasi mereka dari tembakan suarnya.

Sebelum gue dan Sigit menyeberang ke sisi lain portal, gue memeluk tante sekali lagi dan meminta maaf. Untungnya tante gue orangnya kuat dan gak sampai pingsan karena gabungan sedih dan kaget setengah mati.

"Ayo." Gue mengajak Sigit pergi.

Sesampainya di sisi lain portal, sesuatu yang di luar dugaan kami terjadi. Arwah Alan terbang dengan gagahnya tepat di depan Hari dan Erna yang tampak kelelahan. Flavus tergeletak tak bernyawa dengan kepala berasap. Baru saja arwahnya hangus dibakar oleh Alan.

Alan sangat tak terduga. Dia sengaja menunjukkan ilmu pengendalian astral di depan manusia awam. Terlebih, membunuh Flavus dengan cepat.

Sigit dengan kecepatan tinggi menekan nadi di lengan kirinya. Dalam percikan kembang api yang membara, munculah senjata berupa sebilah belati unik yang menyala-nyala. Ukurannya tidak terlalu besar, bagian gagangnya melengkung dan terdapat ukiran indah. Bilahnya meliuk-liuk seperti ular, berwarna putih mengilat. Ujungnya runcing dan terlihat sangat tajam.

Gue baru pertama kali lihat, tapi Sigit pernah sekali menyebutnya sebagai Keris Kalawijan Putih.

“ALAAAN!!!” Sigit berteriak sekeras-kerasnya.

Sigit menghentakkan badannya dan seketika arwahnya keluar. Sigit dengan cepat menyerang Alan dengan menghunuskan kerisnya sebanyak yang dia bisa. Alan hanya bisa menhindari tiga kali, lalu menangkis dengan belati sihirnya satu kali sebelum belati itu lenyap. Satu hunusan selanjutnya tepat menusuk perut Alan, membuat celah merah menyala dari arwah Alan.

Gue menyaksikan semua itu sambil menahan tubuh asli Sigit agar tidak langsung jatuh ke tanah. Sementara itu, Hari dan Erna terpaku dan tidak bisa berkata apa-apa. Gue juga gak melihat Lina di sekitar sini.

Tepat sebelum arwahnya lenyap, Alan seperti terhempas jauh ditarik sesuatu, menembus tebing, dan menghilang.

“DEMI KERIS KALAWIJAN PUTIH! PENGECUT KAMU, ALAN!!” Sigit berteriak lagi.

Caciannya panjang sekali.

Sigit mencoba mengejar Alan, tapi gue mencegahnya. Ada hal yang lebih penting untuk dikerjakan di sini. Selanjutnya, Sigit kembali ke tubuh aslinya. Kami langsung menyelamatkan Lina dari jurang dengan beberapa luka memar yang dideritanya. Selebihnya, Lina menang melawan musuhnya.

Sepertinya akan banyak hal yang diperdebatkan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 47
Kekacauan di Markas Lagi


POV Dani

Gue kembali ke markas membawa cetak biru, sedangkan mereka yang lain melanjutkan perjalanan ke Tonga. Dibantu dengan agen-agen S.H.I.E.L.D, Kumpulan inhuman dan manusia super yang telah kami lawan satu persatu dikarantina di modul penahanan berukuran besar.

Usai mengurung mereka, gue melewati modul penahanan yang dihuni inhuman kuno tak bernama. Kami bertatap-tapan, lalu gue memberi salam dengan sedikit menundukkan kepala.

Gue terus berlalu menuju laboratorium.

“Okey, what we have here?” Kata gue sambil membuka pintu.

Gue kira mereka sudah bekerja. Tapi nyatanya di lab hanya tersisa dua orang berlawanan jenis yang kepergok berciuman. Mereka terlihat agak panik setelah gue masuk sambil membenarkan baju yang kancingnya sudah terbuka sebagian.

“Where’s everyone??” Gue bernada interogasi.
“They’re having breakfast... in the pantry.” Kata si cowok dengan kagoknya.

Kami bertiga langsung melanjutkan menyelidiki cetak biru karena berkejaran dengan waktu. Selain mesum, rupanya pasangan ini dapat diandalkan. Atau bisa jadi gue yang memang gak tau apa-apa.

“By the way, is android’s problem not over yet?” Gue mengelap keringat dengan tangan.
“Yeah, android, ultron, they are insane.” Gumam si peneliti cewek.
“We really need Mr. Fitz here.” Kata gue.
“You shouldn’t depent on him, Girl.” Si cowok menasehati gue.

S.H.I.E.L.D. memiliki banyak masalah belakangan ini. Setelah selesai dengan setan berkepala api, muncul masalah dengan android. Gue pernah mendengar kalau mereka menamainya Aida. Setelah nguping kiri dan kanan, ternyata nama itu adalah akronim dari Artifical Intellegence Digital Assistant.

“Everything comes from the darkhold.” Si peneliti cewek memberitahu gue.
“That book makes you crazy.” Si cowok menambahkan.

Darkhold.

Gue juga pernah dengar kalau semua masalah ini bersumber dari buku aneh bernama darkhold. Gue rasa buku itu harusnya disimpan aja di perpustakan di Kamar Taj. Biar Sigit dan teman-temannya saja yang boleh membaca. Atau dimusnahkan sekalian.

Ngomong-ngomong, Kedua peneliti ini bekerja cukup cepat untuk ukuran anak muda. Padahal mereka berdua lumayan bawel juga. Akhirnya, kami mengetahui bahwa ternyata cetak biru tersebut menyimpan informasi tentang pembuatan kristal terrigen. Kristal terrigen tersebut berbeda dengan kandungan yang ada di minyak ikan selama ini. Kristal ini mematikan untuk manusia seperti bentuk kristal aslinya.

“For Odin’s crow! this project should make a bunch of strong inhuman.” Kata si peneliti cewek.
“They won't have humanity anymore!” Si cowok menambahkan.
“What do you mean by that??!” Gue bertanya lagi.

Gue pun kaget dengan reaksi mereka yang berlebihan.

Si pasangan peneliti mesum ini menyimpulkan kalau Alan sedang membuat inhuman kuat yang berefek samping hilangnya jiwa manusia. Prinsip terrigenesisnya sama, hanya merubah pewaris gen Kree. Akan tetapi, Alan memodifikasi kristal tersebut sehingga inhuman yang terbentuk dapat disesuaikan dengan keinginannya.

Mereka menjelaskan dengan serinci-rincinya soal informasi dari cetak biru. Gue pun mencatat di buku kecil supaya gak ada yang terlewat.

“Wait a minute...” Gue baru sadar.
“The inhumans you bring...” si cewek memotong kata-kata gue.

Bagaimana dengan kondisi inhuman dan manusia super yang kami karantina?

Baru saja gue berpikir seperti itu, alarm berbunyi dan lampu sirine menyala. Para agen berlarian melewati pintu depan ruangan lab. Mereka berlari menuju ke arah ruang modul penahanan. Gue pun bergegas ke depan pintu untuk bertanya apa yang terjadi.

“What’s going on?” Tanya gue.
“Inhumans we brought earlier are in rampage.”

Sial. Inhuman yang kami bawa dari gua Jepang sudah mulai mengamuk. Kabarnya, mereka sudah berhasil menjebol modul penahanan. Markas ini berpotensi diacak-acak lagi!

Gak lama kemudian, sebuah portal terbuka. Osas datang sendirian.

---

POV Lina

Gue rasa rusuk gue ada yang patah. Sisanya, gue baik-baik saja. Eva membantu memulihkan luka gue semampunya.

Lain hal dengan Hari, Erna, dan Sigit. Hari dan Erna tampak mengalami kejadian luar biasa hingga mereka hanya memberikan tatapan kosong, sedangkan Sigit terus memaki sambil menetuk-ngetuk tebing tempat Alan menghilang tadi.

“Sigit! Tenang! Marah gak akan bikin masalah selesai!” Gue berdiri.
“Sigit, Hari dan Erna butuh terapi sekarang.” Eva membantu.
“Ng-Nggak kok, kita gapapa, ya kan, Na?” Kata Hari.

Erna dengan linglungnya hanya sanggup mengangguk satu kali untuk mengamini kata-kata Hari. Kemudian, mereka berdua menggedikkan kepalanya untuk menyadarkan diri. Gue yakin mereka masih pusing atau semacamnya, namun disembunyikan.

“Kita cuma kaget aja, pertama kali liat arwah melayang.” Barulah Erna bicara.
“Yakin gapapa?” Gue menginterogasi.
“Yakin.”

Sigit terus mengetuk dinding tebing di depan kami.

“Ini dinding palsu.” Katanya.

Sigit mengayun-ayunkan tangannya. Dia membentuk sebuah perisai besar seukuran manusia. Kemudian, dia mebenturkan perisai sihir yang dibuatnya dengan dinding tebing. Akibatnya dinding tebing tersebut seketika menghilang, digantikan dengan sebuah mulut gua yang melingkar dan terbentuk dengan rapi. Jelas sudah ada gua buatan di dalamnya.

“Ayo, kita jangan buang waktu!” Sigit mengajak kami bergegas masuk.
“SIGIT!!” Eva membentak.

Yap, mereka akan berantem.

“Tenangin diri kamu! Ada yang perlu dibantu di sini!” Eva memukul dada Sigit dengan punggung tangannya.
“Tapi Alan di dalam sana.” Sigit menjawab.
“Kamu lihat wajah mereka! Lina luka! Flavus mati! Erna...”
“Kami gapapa.” Erna melambaikan tangan.

Gue menoleh ke Erna dengan mata melotot. Gue berkedip untuk memberi kode kepadanya agar diam.

“Erna gapapa katanya.” Sigit menunjuk Erna.
“Kamu gak paham intinya!” Eva menaikkan nada.
“....”

Gue hanya menyimak.

“Ini pertama kalinya mereka liat wujud proyeksi astral, apalagi pake insiden pembunuhan. Kamu juga langsung naik tensi! Tenang! Kamu harus meditasi. Kalau kamu marah-marah terus, kamu gak akan menang lawan Alan nanti.” Eva terus menasehati.

Sigit kelihatannya mulai tenang setelah argumentasi Eva. Auranya yang tadi berapi-api kini mulai surut, gue bisa merasakannya dengan mata celepuk ini. Setelah itu, Eva memutuskan untuk membawa jasad Flavus ke Kamar-Taj terlebih dulu. Sementara itu, kami duduk di sini sambil beristirahat.

Sigit bermeditasi untuk mendinginkan kepalanya.

“Kita ambil nafas dulu.” Gue duduk di sebelah Hari dan Erna.
“Beneran kok kami gapapa.” Erna berbisik.
“Udeh diem.” Gue membalas.
“Yah, sebenernya gue haus banget sih.” Hari menjulurkan lidah.

Sepertinya Eva mendengar percakapan kami. Selanjutnya, dia membuka portal ke markas untuk menjemput Osas. Osas lama sekali untuk sekedar ambil air minum.

“Gue cek Osas dulu.” Katanya sembari membuka portal.

Perlahan portal terbuka dengan percikan apinya yang berputar-putar. Sontak kami terkejut karena di depan kami muncul Osas yang sedang berkelahi dengan salah satu inhuman berwujud avatar. Itu adalah inhuman yang dilawan timnya Hari saat mereka berada di gua.

Osas dengan mudahnya menghabisi satu inhuman tersebut. Tapi inhuman lainnya dengan cepat menyerang kembali.

“Close the portal!!” Teriak Osas.
“WHAAT??!!” Eva balas berteriak.
“WE CAN HANDLE IT! JUST CLOSE THE PORTAL!!”

Tiba-tiba, dua inhuman melompat dari seberang portal untuk menyerang Eva.

“TUTUP PORTALNYA!! KALIAN CEPET CARI ALAN DAN BUNUH DIA!!” Suara Dani terdengar dari kejauhan.

Eva langsung menutup portalnya sembari merespon atas dua inhuman yang berhasil melompat dari seberang portal. Dengan sisa tenaga, gue, Hari, dan Erna mencoba menarik salah satu inhuman yang memeluk erat tubuh Eva.

“Sigit!” Hari memanggil.

Sigit membuka matanya dan langsung membantu kami. Setelah itu, gue biarkan perkelahian jadi milik Eva dan Sigit. Kejadian ini cukup aneh, karena kedua inhuman ini nggak memakai jaket kendali seperti sebelumnya. Mereka bergerak atas kehendak mereka sendiri.

“Kita harus gimana?!” Eva minta solusi.
“Lempar ke dimensi lain!” Hari memberi ide.

Ide yang lumayan bagus. Gue tau Hari memberi ide berdasarkan apa yang dilakukan Flavus tadi. Atas ide itu, mereka berdua bergerak dengan lincah untuk melempar lawan-lawannya ke dimensi lain.

Lenyap. Selesai. Situasi kembali tenang.

Gue membuka obrolan tentang analisis kejadian barusan. Osas dan Dani berteriak agar kami gak datang ke sana, menutup portalnya, dan harus membunuh Alan secepatnya. Gue rasa, peneyerangan inhuman barusan memiliki arti penting. Apalagi, inhuman tadi bergerak atas kemauan sendiri.

“Gimana bisa?” Hari bertanya.
“Kita gak tahu, tapi yang penting kita memang harus kejar Alan.” Gue memberi solusi.

Sigit juga menambahkan kalau kami gak perlu takut Alan bisa menyusup ke markas lagi. Dia yakin segel tembok Osas lebih kuat daripada yang dilakukan Sigit waktu ditusuk itu. Sigit hanya takut kalau Alan sudah menghilang lagi kalau kami terlambat menyusulnya ke dalam gua.

Maka, kami memutuskan untuk segera masuk ke dalam gua meski Hari masih kehausan.

---

POV Dani

Bahaya!

Untung saja mereka langsung menutup portalnya. Kalau nggak, semua inhuman akan melompat ke seberang sana untuk menyukseskan rencana besar Alan. Semoga saja dua inhuman yang berhasil melompat tadi telah dikalahkan.

“How many?” Tanya Osas.
“6 left.” Jawab gue.

Inhuman yang dibawa dari Jepang berjumlah 9 orang. Dengan berkurangnya dua inhuman yang melompat ke seberang portal dan satu yang dibunuh Osas, maka sekarang tinggal 6. Kini, mereka semua berpencar dan bersembunyi di seluruh penjuru markas. Untuk keamanan, seluruh akses masuk-keluar dikunci.

“Let’s see what we can do for help.” Si peneliti cowok nimbrung.

Si peneliti cewek datang menyusul dengan membawa sepasang ICER untuk mereka berdua. Gue sendiri memiliki beberapa alat yang sudah gue persiapkan. Semuanya tersedia di tas ransel yang gue bawa ke mana-mana.

“Please, just don’t die.” Osas bergurau.

Dalam beberapa pekan terakhir, usai kejadian seks gila di kamar kos, gue banyak belajar untuk menjadi agen. Seenggaknya, gue udah cukup mahir tembak-menembak meski cuma latihan secara virtual di penthouse. ICER di genggaman ini jadi modal dasar gue.

Setelah alarm berhenti, si pimpinan necis datang. Kami pun berjalan menyusuri lorong markas cabang ini untuk menemukan para inhuman berwujud avatar tersebut.

“How many?” tanyanya.
“6, sir.” Jawab peneliti cewek.
"We lucky, the superhumans all dead." Jelasnya.

Disamping omongan dari si pimpinan, gue cukup tertarik dengan semangat dua anak muda di samping gue ini. Mereka bule sekaligus peneliti. Nanti gue harus kenalan sama pasangan peneliti ini kayanya biar tau nama mereka.

“We have not been acquainted yet. I’m Lar... Larsson.” Kata si cewek sambil mengulurkan tangan.
“Dani. Nice to meet you.” Alis gue mengernyit sambil mengulurkan tangan.

Rasa-rasanya dia bisa baca pikiran gue. Gue pun mengingat-ingat lagi, kayanya tadi pas gue ngelamun soal masalah android, dia juga nyahut soal darkhold. Mungkinkah... Tapi mungkin cuma perasaan gue aja kali ya.

“Watch out!” Osas teriak.

Kami diserang dua inhuman lagi. Kedua inhuman tersebut menyerang dari belakang. Posisi gue bersama kedua peneliti mesum yang berjalan di barisan belakang menjadi sasaran empuk. Sudah pasti mereka jadi target pertama.

ICER yang ditembakkan kurang ampuh. Tapi mereka berdua gak terlihat panik saat berkelahi dari jarak dekat. Kemampuan bela diri mereka juga gak kalah hebat. Sepertinya memang ada yang lebih dari mereka berdua. Mungkin inhuman juga.

Dari sudut lorong yang jauh terlihat sekelebat bayangan biru berlari.

“Did you see that?” Gue berkata ke pimpinan necis.
“Yes, they are looking for the way out.” Jawabnya.
“Chase them! We can handle here.” Kata si peneliti cowok.

Fix dua anak muda ini inhuman juga.

Osas dan pimpinan berlari terlebih dulu, lalu berbelok ke sebuah lorong yang lain. Gue pun ikut berlari agar gak ketinggalan, tapi gue menyempatkan diri menoleh ke belakang setelah berbelok ke lorong lain.

Terdengar obrolan.

“Laras, kita lakuin di sini banget?” Kata si cowok.
“Emangnya mau gimana lagi?” Jawab si cewek.
“Gue matiin CCTVnya dulu kalo gitu.”

Kemudian terpancar cahaya kuning. Gue gak berani ngintip, takut berubah jadi batu.

Gue lanjut berlari dengan banyak pertanyaan. Jadi namanya Laras atau Larsson? Kenapa bisa bahasa Indonesia? Cahaya kuning apa tadi? Begitu banyaknya pikiran, sampai-sampai gue berlari tak tentu arah sekaligus ketinggalan dari Osas dan si pimpinan.

BUGG! Suara dentuman kaca tebal mengagetkan gue. Rupanya gue sudah ada di depan modul penahanan si inhuman kuno, alias si Jeepers Creepers.

Di saat yang sama, dua inhuman muncul dari arah depan dan belakang. Gue terkepung dan panik. Beberapa kali ICER yang gue tembakkan gak berpngaruh apa-apa, sementara itu mereka semakin mendekat. Satu-satunya jalan menyelamatkan diri adalah membuka pintu modul penahanan si inhuman kuno ini.

BUGG! BUGG!!

Si Creepers menggedor lagi sambil berkata sesuatu. Tangannya melambai seperti mengajak gue masuk ke dalam modul. Gue sejenak bimbang, tapi karena mepetnya waktu, gue memutuskan untuk membuka pintu modul dengan kode darurat.

Gue bermaksud untuk bersembunyi di modul tersebut, tapi si Creepers malah keluar. Dia berdiri tegap menghadapi dua inhuman avatar yang sekarang jaraknya masing-masing cuma satu meter. Satu cekikan menyambar avatar pertama, lalu dilemparnya ke avatar kedua. Selanjutnya, dengan beberapa kali pukulan dan injakan, kedua inhuman tersebut sudah gak bernyawa di tangan si Creepers.

"Wow." Cuma itu reaksi gue.

Si Creepers menghampiri gue dan dia berbicara dengan macam-macam bahasa Sumatra. Gue gak gue mengerti sama sekali. Akibatnya, beberapa kali kami saling menyahut dalam bahasa yang gak dimengerti satu sama lain.

“Oh Ernaaa.. gue butuh elu di sini.” Gue mengacak-acak rambut.
“Dani!” Osas datang bersama si pimpinan.

Osas mengatakan bahwa dia sudah melumpuhkan satu inhuman lain. Kini, tinggal satu inhuman lagi yang menghilang. Di sisi lain, si Creepers tak hentinya mengoceh yang satu pun gue gak mengerti. Osas dan pimpinan pun nggak ngerti.

Si Creepers tepok jidat sambil berupaya mengingat-ingat sesuatu.

“Teman... Mana...” Katanya.
“Naaaaah, gitu kek dari tadi.” Gue gembira.

Gue menerjemahkan kata tersebut dalam bahasa Inggris agar dipahami Osas dan pimpinan. Kemudian gue menjawab singkat kepada si Creepers.

“Tonga.” Kata gue.
“...” Si creepers bengong.
“Use old term, babe. Tenggara.” Osas mengoreksi.

Si Creepers membungkuk untuk memberi hormat kepada Osas. Kemudian, Creepers menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah atas. Gue paham, artinya dia ingin terbang menuju Tonga. Gue menjelaskan dengan beberapa gerakan jari kalau kita belum boleh pergi dari sini sekarang. Masih ada satu inhuman avatar lagi yang belum kami temukan.

Tiba-tiba, bunyi alarm terdengar nyaring untuk kedua kalinya. Lampu sirine berwarna merah menyala di setiap langit-langit lorong. Pintu keluar terbuka dengan sendirinya. Kami semua berlari ke arah tersebut untuk mengetahui apa yang terjadi.

Rupanya, satu inhuman avatar berhasil keluar. Kami pun berlari ke pintu darurat yang dibuka secara paksa. Banyak agen yang tumbang di sini.

Makhluk itu berlari di udara dengan kecepatan tinggi. Si Creepers dengan sigapnya mengejar, lalu terjadilah perkelahian di langit. Gue hanya bisa melihatnya berupa titik hitam dan biru terbang seperti layangan yang diadu. Mereka terbang ke sana kemari. Perkelahian mereka pun cukup lama tak selesai.

Lima belas menit kemudian, akhirnya inhuman avatar kalah. Si Creepers pun langsung terbang pergi menjauh dari markas, pasti menuju Tonga.

“All right, you two can go. Help your friends.” Kata si pimpinan.

Si pimpinan necis bilang bahwa orang-orangnya bisa beberes markas ini sendiri nanti. Alan lebih penting untuk dikejar. Ini cara kerja S.H.I.E.L.D katanya.

“I am sorry, sir. I want to advised you to recheck your young scientist from earlier.” Kata gue.

Gue menyarankan kepada si pimpinan necis untuk memeriksa ulang dua peneliti muda yang tadi bersama kami. Mungkin mereka bisa berkontribusi lebih untuk S.H.I.E.L.D. sekarang atau nanti. Selebihnya, bukan kepentingan gue.

Osas membuat portal untuk kami berdua setelah membawa banyak air minum. Akhirnya, kami menyusul ke Tonga dengan info darurat. Sayang sekali si Creepers gak nebeng, padahal bisa lebih cepat.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Wah koq ada yg kena banned lg? Cia you...

Wow... Pertamax rupanya...
 
Terakhir diubah:
cpet amat atas ane komengnya
jd susah skrg dpet pertamax
 
biasa lah itu, yang kena band orangnya yang selalu minta Natasha Wilona.

:fiuh:

Parah itu orang ga kapok²...
Kaya di thread tetangga jg sama minta ada yg diperkosa...

Apakah org yg sama atau berbeda, only god knows...

Oya suhu ada ralat kayanya ada kalimat yg kurang ya di update suhu...

Kini, mereka semua berpencar dan bersembunyi di seluruh penjuru markas. Untuk keamanan, seluruh akses masuk-keluar.

Itu ky nya kurang komplit ya suhu...

Matur nuhun sebelumnya kalau ada yg salah dr nubi..
:ampun::ampun::ampun::ampun:
 
Mantap suhu, terima kasih updete nya..
Cerita berkembang terus, banyak tokoh baru..
Jd nya yg buat hubungan pribadi nya siapa ini hu..
Klo semua agen, urusan jomblo terus nih..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd