Episode 49
Pertarungan Terakhir
POV Erna
“Rudalnya jatuh di pulau kecil.” Gue terus melaporkan.
Gue mengamati dari gadget, rudal pertama itu jatuh di desa kecil di kepulauan Bougenville, Papua Nugini. Rudal tersebut gak meledak seperti bom pada umumnya. Sebelum menyentuh tanah, bagian runcing rudal itu terlepas sekaligus mementalkan si Jeepers Creepers. Kemudian, tonggak besi muncul untuk menancap ke tanah.
Ketika tertancap, barulah bagian tubuh rudal tersebut menyemburkan bubuk-bubuk kristal terrigen ke udara.
“Astaga!!” Gue ternganga, lalu menutup mulut gue sendiri dengan tangan.
Puluhan manusia seketika membatu di tempat itu. Sebagian besar batu tersebut langsung hancur menjadi remah-remah, sedangkan sisanya berevolusi.
Gue pernah belajar, bagi yang di dalam dirinya memiliki sekuens DNA inhuman, dia akan seutuhnya menjadi inhuman. Batu-batu tersebut retak layaknya kulit kepompong yang dihancurkan dari dalam. Inhuman akan keluar dari dalam kepompongnya dengan bentuk yang baru. Ada yang masih seperti manusia seperti gue, Hari, Kak Puri, dan Lina. Ada juga yang berubah wujud menjadi seperti si Jeepers Creepers.
Kali ini beda sekali. Kristal terrigen dalam ikan laut atau minyak ikan gak akan mematikan untuk manusia biasa. Sayangnya, ini kristal terrigen buatan Alan. Dia sengaja membuat ini mematikan. Selain itu, inhuman yang muncul semua berbentuk avatar. Mereka seragam dan gak ada unik-uniknya.
“Terrigenesisnya seragam.” Gue melapor lagi.
Inhuman avatar semuanya telah keluar dari kepompong. Mereka langsung berkelahi dengan si Jeepers Creepers. Belasan inhuman melawan satu jelas-jelas bukan perkelahian yang seimbang. Apalagi gue tahu kalau si Creepers sudah tua.
“Inhuman semuanya kaya gitu?” Dani memicingkan mata melihat ke arah gadget.
“Harusnya setiap inhuman itu unik. Yang ini jelas programnya Alan.” Kata gue.
Tiba-tiba kami berdua memperhatikan dengan seksama portal terbuka di dekat perkelahian si Jeepers Creepers. Sekelompok penyihir datang serta merta untuk membantu si Jeepers Creepers. Gue pernah mengenal salah satu dari mereka. Itu Master Hamir.
“Master Hamir is there!” Gue berbicara ke Osas.
“Oooh, thanks God!” Osas bersyukur.
Setelah berbicara begitu, Osas kena pukul si bayangan raksasa lagi.
---
POV Hari
Osas masih mengalihkan perhatian si bayangan raksasa. Ssementara itu, Puri semakin lemah. Wajahnya lebih pucat daripada saat gue menemukannya di Menara Saidah. Dani dan Erna juga belum bisa meretas program rudal.
“Puri sayang, bertahan.”
Gue merangkul Puri. Dia bersandar di dinding gua dengan kantong matanya yang besar. Gue juga terus memanggil Puri agar dia gak jatuh pingsan.
“Sayang, aku minta maaf.” Puri melenguh lemah.
“Gak perlu minta maaf lagi.” Bantah gue.
“Alan terlalu kuat.”
Puri sudah mulai meracau. Gue gak boleh membiarkan ini berlanjut lebih parah, tapi gue gak tau harus pergi ke mana. Semuanya sedang sibuk masing-masing.
Puri bercerita bagaimana dia mengeksplorasi gua ini beberapa jam lalu. Ketika menemukan gua ini, empat agennya langsung dibantai Alan. Hamid ditarik pergi menjauh dari sisinya untuk diajak berduel satu lawan satu. Puri sendiri dikepung belasan inhuman avatar.
Lima bayangan Puri gak sepenuhnya sanggup melawan seluruh lawannya. Puri kalah dan pingsan. Ketika terbangun, Puri telah dipasangkan jaket kendali. Di depannya ada Alan yang menjelaskan tentang kemampuan tersembunyi Puri.
Dia gak mengerti seacara keseluruhan apa yang diceritakan Alan. Tapi, dia tahu intinya kalau kemampuan inhuman Puri telah ditunggu-tunggu setelah Kree pergi dari bumi. Ada sebuah nubuat dari buku kuno kalau inhuman berkepribadian ganda akan muncul memimpin komunitas inhuman melakukan sesuatu yang tidak bisa diprediksi.
“Jangan bilang...” Gue memotong.
“Iya.. itu aku.” Balas Puri.
Makhluk itu, Puri menunjuk si bayangan besar, gak akan pernah bisa kalah. Alan memaksa keluar makhluk itu dengan rapalan mantranya. Hanya dengan membunuh tubuh aslinya lah makhluk itu bisa dikalahkan.
“Gak, kamu gak boleh...” Gue tersentak dan putus asa.
“Kamu harus!” Bentak Puri.
Gue hanya mengeleng. Air mata gue pelan-pelan mengalir menuju batang hidung, menetes ke lantai gua dalam keheningan, masih kalah suaranya dengan semangat Osas dan laporan-laporan langsung Erna.
“Hari sayang, kamu harus denger.” Puri mengayunkan tangannya.
Puri menyuruh gue mendekatkan telinga ke mulutnya. Gue mendengarkan dengan teliti setiap kata yang Puri bisikkan.
“Dani!”
Gue langsung memanggil Dani dengan terburu-buru. Gue menunjuk ke dinding gua paling ujung, menyuruh dia untuk membongkarnya. Ada sesuatu di sana yang dibisikkan Puri, yang mungkin bisa mencegah bencana besar hari ini.
Dani menaruh laptop. Dia langsung membawa alat-alatnya ke dinding gua tersebut.
“Sekarang kamu harus bunuh aku...” Puri memanggil gue lagi.
“Nggak.. Nggak..”
“Bencana, sayang. Bencana...” Puri memberikan nalar kepada gue lagi.
Gue teringat dengan apa yang dikatakan Sigit ketika latihan singkat sebelum ekspedisi. Sigit menjelaskan secara gamblang kemampuan gue, namun hanya sebatas teori. Gue belum pernah melakukannya, dan gak berani melakukannya hingga batas itu.
Tiba-tiba Osas ambruk gak sadarkan diri. Si bayangan besar menghantam kepalanya berkali-kali hingga banyak darah yang keluar. Kemudian, si bayangan melangkah cepat ke arah Dani yang sedang membongkar dinding gua.
“Dani! Awas!” Gue hanya bisa berteriak dari jauh.
Tapi tiba-tiba si bayangan besar melempar batu yang tepat mengenai kening gue. Pandangan gue menjadi remang-remang, lalu menjadi gelap.
---
POV Sigit
Aku terbang ke sana ke mari dalam ruangan. Dua orang melawan Alan sepertinya kurang berpengaruh buatnya. Dia dengan mudah menghalau setiap seranganku dan Eva meski dilakukan bersama-sama.
“YOU WEAK! HAHAHA!” Alan tertawa dengan bangganya.
“YOU COWARD!” Aku memaki balik.
"Can’t you see? you can’t beat me even with your relic.” Alan menunjuk kerisku.
Kemudian badan Alan berpendar biru. Awalnya gak terlalu terang, namun lama-lama menyilaukan. Seiring dengan itu, mesin di singgasana Alan berdengung nyaring. Aku pun gak bisa mendekati Alan untuk melakukan serangan jarak dekat padanya. Padahal, tanganku sudah gatal untuk menghunus perutnya lagi.
“Bahaya, Sigit! Balik ke tubuh kita!” Eva menarikku.
Seketika badan Alan mehamburkan percikan listrik ke setiap sudut-sudut ruangan. Tepat sebelum listrik itu mengenai kami berdua, kami sudah berhasil masuk ke tubuh kami masing-masing. Percikan listrik tadi untungnya tidak sampai menyebrang ke dimensi dunia ini.
Koin kembali bergulir dan jatuh ke lantai gua.
Alan terbangun sambil tertawa. Dia mengapresiasi kesigapan Eva untuk lari sebelum serangan tiba. Alan pun berjanji serangan selanjutnya pasti akan mengenai kami sepenuhnya.
“Sigit, ini cara dia ngebunuh Flavus sama Hamid.” Eva menjelaskan.
“Pakai listrik?” Aku memiringkan kepala.
“Energi.” Balas Eva.
Kami kembali ke dimensi astral untuk kali kedua. Kali ini alur waktu kurasakan tidak melambat. Taktik serangan kami juga dirubah leh Eva untuk melawan kemampuan Alan. Eva kini dominan melakukan serangan dari jarak jauh menggunakan senjata sihirnya, sebuah ketapel.
“Ketapel?” Aku menaikkan bahu.
“Terus apa lagi?” Eva tetap fokus menembak.
“Pistol kek, apa gitu.” Aku menyarungkan kerisku.
“Yaudah bikin aja sendiri.”
Keris Kalawijan sudah kusarungkan. Aku merapalkan mantra untuk membuat senjata jarak jauh. Tak sungkan, aku membuat bazooka.
“DIE YOU, ALAN!” Aku mengokang bazookaku dengan percaya diri.
Eva menganga gak percaya dengan benda apa yang kubuat. Seiring senjataku siap ditembakkan, Alan terdiam dan sedikit terlambat dalam membuat alat pertahanan diri. Kesempatan itu kuambil dengan menarik tuas.
Rudal sihir meluncur dengan kecepatan tinggi. BOOM!
Gak sampai sekian detik, rudal mencapai Alan yang tak selesai membuat perisai. Percikan api merah berhamburan dan menghilang perlahan layaknya abu rokok. Alan kini tergeletak dengan mulut mengeluarkan darah.
“Hahaha, I didn’t see that coming.” Alan mengusap darahnya.
“Kok gak mati?” Aku heran.
“Sekali lagi! Dia pakai rune aneh.” Eva ikut bicara.
Rune? Aku pernah mendengarnya, itu batu-batuan ajaib milik dewa-dewi nordik. Kenapa alan bisa punya batu itu?
“Batunya hancur tadi.” Eva kembali bicara.
“You suck, Eva!” Alan mencaci.
Alan baru saja mencaci, artinya dia mulai merasakan keputusasaan. Kemudian, badan Alan kembali berpendar biru. Eva langsung mencegahnya dengan menembakkan bola-bola asap dengan ketapelnya. Bola-bola tersebut menimbulkan ledakan seperti petasan dengan percikan api.
Seenggaknya itu mengganggu Alan dan aku bisa mengokang bazookaku lagi.
“Fuck ya’ll!!” Alan memaki lagi.
Rudal kembali kuluncurkan. Tapi, Alan berhasil menghindar dengan pergi menembus tembok. Padahal, sedikit lagi sudah akan kena. Dia jutsru lari dari arena ini. Terlihat sudah kepengecutan Alan.
Kami berdua mengejarnya. Jarak kami dengan Alan gak terlalu jauh. Eva pun mengganti senjata siihirnya dengan tali jerat. Dia membuat simpul sambil terbang melayang mengejar Alan, sedangkan aku tetap dengan bazookaku. Kami kejar-kejaran hingga sampai di persimpangan tempat berpisah dengan kelompok Hari. Eva berhasil menjerat kaki Alan sehingga kami berhasil menjangkaunya.
"Got you!" Eva terlihat senang.
Kusandang bazooka di belakang, lalu beberapa kali aku dan Alan terlibat baku hantam dari jarak dekat. Aku lebih dominan memukul karena kaki Alan masih dijerat dan ditahan oleh Eva.
Aku ambil kesempatan saat Alan tersangkut untuk memukul kedua telinganya. Lalu, satu pukulan terakhirku membuat Alan terjerembab ke dinding gua. Di bawah Alan, aku melihat Mbak Lina terbaring bersimbah darah.
“Mbak Lina!” Gue kaget karena ada Mbak Lina di sini.
“Sigit, Lina udah...” Eva bernada gak percaya.
"GAAAAAAHHH!!!" Aku gak bisa menahan amarahku lagi.
Aku merasa sangat sangat marah. Aku mengokang bazooka lagi. Kali ini akan kupastikan Alan akan mati. Kutarik tuas dalam diamku, namun gerakanku cukup lambat kali ini. Pasti karena emosi yang melanda setelah baru saja melihat jasad Mbak Lina. Kesempatan itu disempatkan Alan untuk membuat perisai sihir lagi.
BOOM! Tanpa rune, Alan pasti kalah kali ini.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kami para jiwa astral bisa menembus tembok, poin pokoknya adalah kemauan sendiri dan punya tenaga. Alan sudah gak punya keduanya, dengan begitu rudal yang kini menghantam perisai Alan membuatnya terbentur keras ke dinding gua.
“Kali ini kamu pasti mati.” Aku membuka sarung kerisku.
Aku terbang melayang menembus hamburan abu, lalu kuhunus kerisku tepat ke dada Alan yang sudah tidak bisa menghindar lagi. Dia pun memuntahkan banyak darah. Tanpa kata perpisahan, arwah Alan lenyap dalam sekejap.
Eva hanya melihat adegan ini dengan mimik wajah yang gak bisa digambarkan dengan kalimat apapun.
“Kita bantu Mas Hari.” Aku menarik nafas satu kali.
“Kita balik ke tubuh kita dulu.” Eva balik mengajakku.
Di ruangan tempat kami berbaring, Alan sudah teruduk tidak bernyawa dengan mata masih terbuka.
---
POV Hari
Dani dan Erna dicekik si bayangan besar di sudut gua.
“Toloong... khhh... Hari...” Dani sulit bernafas.
“Cepat bunuh aku!” Puri makin memaksa.
Pilihan gue semakin rumit. Kalau gue menyelamatkan Dani dan Erna, gue harus membunuh Puri. Kalau nggak, Erna dan Dani yang terbunuh. Di sisi yang lain, Osas sudah tergeletak gak sadarkan diri.
Mau gak mau gue harus memakai saran Sigit, lalu memasrahkan Puri kalau seandainya muslihat ini gagal.
“Oke, aku akan bunuh kamu.” Gue Menghela nafas.
“Makasih.. I love you.. Goodbye.” Kata Puri.
“I love you too.” Hanya itu yang bisa kusampaikan sekarang.
Sama seperti melawan musuh-musuh sebelumnya, gue menyerap energi Puri hingga dia jatuh pingsan menggunakan satu telapak tangan gue. Kemudian tak sampai di situ, gue terus menyerap energi Puri hingga tanda-tanda kehidupannya melambat. Gue merasakan nadi Puri dengan satu tangan yang lain. Sungguh ini perjudian yang luar biasa.
Gue menyempatkan diri menoleh ke arah Erna dan Dani yang dicekik si bayangan besar. Cara gue tampaknya cukup berhasil, si bayangan melemah dan Erna terjatuh duluan. Dia melawan balik dengan memukul-mukul satu tangan yang masih menyekik Dani.
Beberapa jam sebelum ekspedisi...
Gue teringat lagi momen bersama Sigit waktu itu. Sigit membuatkan sebuah bola energi yang mengambang tepat setinggi dada gue. Gue disuruh untuk menyerap energi itu sebagai metode perhitungan.
“Ini bola energi yang diambil dari semesta yang lain.” Jelas Sigit.
“Seberapa besar energinya?” Tanya gue.
“Hampir gak terbatas, makanya harus dikontrol.”
Gue mengiyakan saja kata Sigit, yang penting ada kalkulasi energi yang bisa gue serap.
Percobaan pertama, gue langsung muntah-muntah saat belum ada satu menit penyerapan. Energi ini sungguh lebih besar dibandingan kebakaran hebat sekali pun. Sigit pun memberi nasehat agar gue jangan terbawa emosi untuk menyerap secepat-cepatnya.
Beberapa jam kemudian, setelah percobaan puluhan kali. Gue bisa merasakan dengan jelas alur energi yang menggeliat masuk ke dalam tubuh gue. Rasanya seperti hembusan angin di sekujur kulit, lalu menghilang seperti hembusan nafas.
Gue istirahat sebentar.
“Mas, inhuman itu hebat lho.” Sigit mulai berbasa-basi.
“Maksudnya?”
“Potensi kemampuannya besar. Cuma langit batasnya.”
Sigit menceritakan kalau inhuman memiliki kemampuan unik yang tak terbatas. Hanya saja, kami para inhuman belum bisa memanfaatkannya. Dalam kepala gue, sungguh hebat kreasi makhluk Kree. Gue membayangkan seperti apa teknologi yang mereka gunakan.
“Bisa jadi, energi macam apapun bisa diserap mas Hari.” Jelas Sigit.
Gue masih belum mengerti. Selama ini, gue hanya bisa menyerap energi kalor, panas, dan apapun yang gue tahu selama pelajaran fisika, kimia, dan biologi. Bahkan, dalam skala kompleks, gue paling mentok bisa menyerap energi besar dari pelepasan ikatan fosfat untuk sumber energi makhluk hidup.
“Mas Hari bisa membunuh makhluk hidup lho.”
Sigit menjabarkan kata-katanya barusan. Rupanya, energi yang gue serap dari makhluk hidup bisa menyebabkan kematian kalau korbannya gak segera ditolong. Prosesnya sama persis seperti orang yang kelaparan.
“Mas, suatu saat kemampuannya harus dipaksa sampe situ."
Gue tersadar dari lamunan. Gue memeriksa lagi denyut nadi Puri, takut-takut terlewat jauh dan Puri benar-benar mati. Niat gue sekarang hanya ingin menurunkan detak jantungnya hingga di bawah jumlah manusia normal.
“Denyutnya hampir gak ada.” Gumam gue.
Gue melihat Dani dan Erna, mereka sudah selamat. Tapi, si bayangan besar masih bisa melawan meskipun susah payah. Dani sekarang mendominasi dengan tembakan-tembakan ICERnya. Tembakan itu tentu gak bisa membuat si bayangan beku, tapi setidaknya bisa memperlambat gerakannya.
Rasanya sudah aman. Gue menghentikan penyerapan energi.
Tiba-tiba si bayangan menjadi kuat lagi. Tembakan ICER langsung tidak berpengaruh. Dia dengan cekatan memukul Erna hingga terpelanting jauh. Kemudian, Dani dicekiknya lagi sampai badannya terangkat. Kaki Dani berayun-ayun karena kehilangan pijakan.
Mau gak mau gue kembali menyerap energi Puri lebih jauh daripada tadi. Puri makin diambang kematian, dan keputusan itu ada ditangan gue.
“Mas Hari!” Sigit dan Eva datang sambil berlarian.
Mereka berdua melihat Dani yang tercekik dan mata yang melotot. Sigit bersiap-siap dengan kerisnya dan Eva dengan rapalan mantranya. Gue gak bisa berkata apa-apa lagi selain memohon.
“Sigit, cepet bunuh bayangannya.” Gue memohon dengan mata sayu.
“Tunggu.. Tungguuu...” Erna menyelak.
Dia berlari ke arah Sigit untuk menghentikan geraknya. Kedua tangannya terbuka untuk menghalang-halangi serangan kedua pasangan itu.
“Kenapa?” Tanya Eva.
“Kalau bayangannya hancur, Kak Puri bisa lebih parah.” Erna menjelaskan.
Oke, benar juga. Sekarang aja Puri udah sekarat. Kalau bayangannya dibunuh secara paksa, hasilnya sama seperti bayangan yang dulu-dulu. Mungkin lebih parah. Pertanyaannya, harus kami apakan?
“Sigit, semua tergantung kamu.” Erna menatap gue.
Mereka bertiga, berdiri, sambil menatap gue yang terduduk bersama Puri. Rasanya sangat mengintimidasi sekali. Tapi, semua yang dikatakan benar. Pilihan ada di gue, harus merelakan atau memperjuangan Puri.
“Sigit, Dani perlu ditolong.” Erna kembali bicara.
Gue melihat Dani yang gak bisa bicara sekarang. Matanya melotot, mulutnya terbatuk-batuk dengan lidah terjulur. Mengerikan. Secepat itu juga gue menyerap energi kehidupan Puri hingga detak jantungnya berhenti. Si bayangan besar pun hancur menjadi cairan hitam seketika.
“Ayo, Dani, bangun. Masih ada tugas.” Erna menghampiri Dani.
Mereka berdua lanjut menjebol dinding gua. Ada cetak biru rudal disana berlabel Roxxon Company dan Hammer tech. Setelah itu, aku meninggalkan mereka berdua untuk menyelsaikan tugasnya. Gue dan Sigit fokus menggotong Puri dengan terburu-buru ke ruangan tempat Alan. Katanya, ada seperangkat alat kejut jantung di sana.
Gue sempat melewati Lina, Alan, dan Hamid yang sudah tidak bernyawa. Tapi, ada hal yang lebih penting sekrang.
"Jalan terus." Nafas gue tersengal.
Satu set alat kejut jantung Eva bawa ke dekat tempat Puri berbaring. Baju Puri pun disobek begitu saja oleh Eva, lalu dioleskannya gel bening. Sigit langsung berpaling muka.
Gue gak yakin Eva bisa menyambi sebagai dokter, tapi bukan masalah.
“200 joule, Siap? Satu.. Dua.. Tiga...” Bimbing Eva.
Gue melepaskan semua sentuhan gue dari tubuh Puri. Alat kejut jantung ditempelkan, lalu Puri kejang sejenak. Eva lanjut melakukan resusitasi dan nafas buatan. Sayangnya, monitor elektrokardiogram masih tampak datar. Upaya pertama gak membuahkan hasil baik. Gue gelisah.
“Lagi, 360 joule, siap? Satu.. Dua.. Tiga...” Bimbing Eva lagi.
Masih belum ada hasil yang baik. Gue makin gelisah. Eva melakukan pernafasan buatan dengan sangat lama. Lalu, akhirnya dia berhenti.
“Barusan yang terakhir.” Eva bicara ke gue.
“Apa??” Gue melotot.
“Barusan... “
“APAAA???”
Gue panik, gue menyingkirkan Eva dan mengambil alat kejut jantung itu dengan tangan gue sendiri.
“Mas! Jangan, gak baik!” Sigit menarik gue menjauh.
“Puri! PURIIIII.....!!!!!!”
Gue tertekan, gak bisa berpikir apa-apa lagi. Perpisahan ini sangat mendadak.
“Lu! Lu yang nyaranin pakai kemampuan gue sampai kelewat batas. Lu, yang nyuruh gue....”
Gue menyalahkan semuanya kepada Sigit. Gue ingin memukulnya, tapi gak bisa. Gue hanya meyakinkan diri sendiri kalo gue bukan pembunuh, gue gak ngebunuh Puri! Semuanya salah, harusnya gak begini. Gue menatap kedua tangan gue sendiri. Sungguh, kemampuan inhuman ini terkutuk.
Gue duduk di pojok dinding gua, gue tutup mata ini supaya gak ada yang bisa ngeliat air mata gue jatuh dengan derasnya. Marah, benci, malu, bercampur jadi satu. Seorang lelaki menangis untuk seorang yang sangat berharga, di depan orang lain. Pantas atau tidak? Gue sama sekali gak bisa berpikir.
“Rudalnya aman...” Erna datang.
“Kenapa ini?” Dani menyusul.
Gue gak tahu kejadian selanjutnya. Yang gue tahu, Dani sudah memeluk gue erat dengan bajunya yang penuh darah. Kami berdua larut dalam tangis kesedihan bercampur dalam kemenangan yang terasa kosong.
BERSAMBUNG