CHAPTER 11: NABILAH
Tak terasa sudah 4 bulan Veranda menjalani masa training, namun dia masih juga belum bisa mendekati satu orang pegawai yang membuat Veranda penasaran ingin ngobrol dengannya. Nabilah. Si pendiam yang Veranda ingat ada pada saat perkenalan pertama di ruangan karaoke, bersama Ayana. Namun seingat Veranda, sebelum dia mabuk, sedikitpun dia tidak mendengar suara Nabilah menyanyi.
Belum lagi sikap dan pembawaannya di latihan fisik, sehabis jam makan ataupun di kantor. Pendiam, berbicara seperlunya, dan hampir tidak tersenyum. Veranda berkali-kali mencoba mendekatinya untuk sekedar menyapa dan mengobrol dengan Nabilah. Namun hanya senyum kaku dan tidak ikhlas yang menyambut Veranda, sambil Nabilah menghindar dari Veranda. Di beberapa kesempatan, Veranda memandangi Nabilah lama dari kejauhan, bertanya-tanya kenapa Nabilah bersikap begitu, dan menyadari bahwa penampilan Nabilah yang enak dilihat dan parasnya sangatlah cantik, tidak kalah dengan pegawai terpilih lainnya. Bahkan bisa lebih cantik lagi kalau saja Nabilah lebih banyak senyum, pikirnya.
Veranda mencoba menanyakan hal ini ke pegawai terpilih lain, tapi sungkan karena takutnya dicap terlalu ingin tahu urusan orang, apalagi Veranda masih berstatus anak baru di Valkyrie. Dia menunggu waktu tepat untuk menanyakan hal tersebut ke siapapun yang bisa menjawabnya.
Dan akhirnya momen itu datang. Sore itu saat jam pulang baru saja berlalu, kantor sudah sepi dan ruangan Personalia di lantai 4 hanya ada Veranda yang masih berkutat dengan dokumen bayar dan dua pegawai biasa lainnya di pantry. Sementara Office Boy baru saja masuk untuk membereskan ruangan.
Tak lama Melody datang dan menghampiri Veranda.
“Gimana? Udah kelar dokumen bayarnya?”
“Ini dikit lagi, Mel. Tinggal sortir tanggal dokumennya kok”
“Yaudah aku tunggu disini ya.”
“Oke Mel”
Melody langsung duduk dan merebahkan kepalanya di kursi empuk tersebut.
“Capek banget ya Mel. Yaudah kamu duluan aja ke kamar, nanti aku anterin ke meja kamu”
“Ngga apa apa kok. Cuma hari ini dari pagi aku mesti pergi ke beberapa tempat jadi badan agak pegel. Ntar kalo kamu udah selesai, dokumennya aku bawa ke ruanganku, abis itu kita bareng ke kamar”
“Oh yaudah”
Tiba-tiba Veranda merasa bahwa ini momen yang tepat untuk bertanya tentang Nabilah. Dia merasa berhak tahu kenapa Nabilah seperti menjauhinya dan pegawai terpilih lainnya. Dengan bertanya Veranda jadi tahu dan bisa mencari cara untuk bisa dekat ke Nabilah.
Segera setelah membereskan dokumen bayar, Veranda menatap Melody yang memejamkan mata dan berkata pelan,
“Mel..”
“Oh udah selesai? Yaudah sini aku bawa”
“Udah nih.. Mel, boleh nanya ga?”
“Mau nanya apa? Oh Bos Titan ya? Oh iya ya kamu 4 bulan ini belum pernah ketemu lagi dengan Bos Titan ya. Kangen ya? Hahaha.. Bos Titan sehat kok, tapi sekarang emang lagi sering keluar. Tau lah kamu, Bos banyak urusannya..” Melody mengoceh cepat sambil beranjak dari kursi.
“Bukan itu, Mel.. Ngg, ini.. Nabilah.. Kok aku lihat Nabilah kayak menjauhi aku ya, Mel? Apa emang orangnya pendiam ya?”
Melody yang mau mengambil dokumen langsung terhenti. Alisnya mengeryit.
“Kenapa kamu nanyain itu? Emang kamu diapain sama Nabilah?”
Veranda langsung gelagapan.
“Oh bukan apa-apa kok Mel. Aku cuma penasaran aja soalnya dari semua pegawai terpilih, aku belum pernah ngobrol dengan dia. Di kantor pun dia pendiam banget hampir ga pernah ngomong. Aku coba ajak ngobrol, eh dianya menghindar. Gitu lho Mel..”
Melody entah kenapa menghela nafas lega. Kemudian sambil menatap Veranda Melody menjawab pelan,
“Kamu ga usah dekat-dekat ke dia. Ya bagus sih kalo dia ngehindarin kamu”
Sekarang Veranda yang mengeryitkan dahi, bingung.
“Lho kenapa Mel? Emang dia buat kesalahan ya? Kok kamu bilang begitu Mel?”
Melody yang tidak menjawab pertanyaan Veranda meraih tumpukan dokumen bayar dan bergerak meninggalkan Veranda menuju ruangannya di sudut.
“Udah ayo ke kamar. Aku udah pegel nih. Kamu ga usah nanya-nanya itu lagi, masih anak baru juga”
Veranda yang takut dibilang sok mau tahu dan masih anak baru hanya bisa memendam rasa penasarannya, menyusul Melody.
Jam weker berbentuk kelinci di samping ranjang Nabilah menunjukkan pukul setengah 3 pagi. Nabilah tampak terlelap dan dengkuran halus terdengar menandakan tidurnya sangat nyenyak. Namun tak lama Nabilah mulai menggeliat mencari posisi nyaman. Selimutnya mencuat digeser kakinya yang bergerak menyamping.
“Aku sayang sama kamu, Shan.”
“
Aku juga, Bil. Jangan tinggali aku ya..”
“Iya..”
Nabilah mulai menunjukkan tanda-tanda tidak nyaman. Tangannya mulai mencari-cari titik nyaman di balik bantalnya.
“Inget janjimu ya, Bil, selalu bantu aku dalam kondisi apapun”
“Iya, kamu juga jangan ninggalin aku ya”
“Love you..”
Sepasang bibir berpagutan dengan penuh nafsu. Tangan mulai saling menggerayangi seluruh tubuh, mencoba semakin menaikkan libido di antara dua insan yang kini tanpa busana. Suasana memanas ketika salah seorang mulai meraih dildo dan menancapkan dengan kasar di vagina lawan mainnya. Si lawan mainnya hanya bisa berteriak tertahan mencoba menikmati permainan kekasihnya.
Nabilah mulai memutar cepat badannya menyamping, menggenggam keras bantal guling yang hampir terjatuh dari ranjang. Rekaman ingatan itu berputar semakin jelas di mimpinya.
Nabilah mengisap puting payudara wanita yang kini dipeluknya erat, seakan tidak ingin melepasnya. Wanita yang berbadan lebih besar darinya hanya bisa melenguh menikmati isapan Nabilah sambil tangan kanannya memainkan penis karet di vagina Nabilah. Nikmat sekali. Nabilah menggelinjang menahan rasa geli dari alat bantu sex itu. Ingin membagi rasa nikmatnya, Nabilah beranjak naik meraih pipi wanita itu, memagut kembali bibir merahnya, sambil melepas dildo dari vaginanya. Setalah melepas ciumannya, dildo yang dipegang Nabilah bergerak cepat menuju vagina yang kini basah siap dimasuki penis buatan itu.
Dildo meluncur cepat memasuki lubang vagina. Rasa nikmat menjalar di sekujur tubuh wanita itu sambil mulutnya melenguh menyerocos kata-kata tidak jelas.
“Ngghh aahhh bill ngghh”
Nabilah yang mengocok dildo di dalam lubang vagina kekasihnya, mengejang mendapati jari kekasihnya mulai menusuk dan menggoyang cepat vaginanya.
“Ayukkk Shaaann ngghh.. Kitaa keluarr barenggghh” Otot wajah Nabilah menegang menahan rasa geli yang membelesak cepat di sekujur syarafnya.
Tak lama kemudian rasa nikmat yang ditunggu akhirnya muncul. Orgasme meledak di vagina mereka bersamaan, menghasilkan jerit tertahan dari mulut mereka.
“Ngghhyeahh enakk biilll..”
Mata mereka berdua terpejam, mencoba merasakan sepenuhnya nikmat yang baru saja memuncak dan kemudian mereda. Jantung berdegup kencang, nafas terengah-engah, sebelum kedua wanita itu membetulkan posisi mereka sehingga mereka sekarang sejajar dan menyamping saling berhadapan.
Mereka saling menatap penuh cinta dan nafsu. Tak lama tangan mereka saling meraih tubuh, berpelukan erat. Dengan sedikit kecupan, Nabilah berkata pelan,
“I love you, Shania..”
Nabilah terduduk terbangun. Seperti di mimpi, nafasnya terengah-engah mencari asupan oksigen. Keringat membasahi dahi dan lehernya walaupun AC malam itu dipasang dingin seperti biasa. Nabilah kemudian menoleh ke jam weker kelincinya. Jam 3:02.
Mimpi itu lagi. Sampai kapan mimpi itu datang mengganggunya. Merampas nikmat tidur nyenyaknya.
Perlahan air mata meleleh dalam pejamnya, mengingat perkataan yang masih jelas dalam ingatannya walaupun diucapkan beberapa tahun yang lalu.
“Mimpi itu datang dari rasa bersalah”
Sampai kapan lelapnya diganggu oleh mimpi itu. Sampai kapan tenangnya hilang diambil rasa bersalah itu. Sampai kapan..
Pertanyaan yang tak terjawab itu akhirnya kembali membawa Nabilah ke alam tidurnya. Yang kali ini tanpa mimpi apapun.