Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Karakter utama mana yang anda favoritkan?

  • Nisa

    Votes: 98 58,7%
  • Bening

    Votes: 63 37,7%
  • Amy

    Votes: 13 7,8%
  • Anya

    Votes: 28 16,8%
  • Ratna

    Votes: 12 7,2%

  • Total voters
    167
  • Poll closed .
BAGIAN 01
SEINDAH LEMBAYUNG SENJA




“Life is a drink, and love's a drug
Oh, now I think I must be miles up
When I was a river, dried up
You came to rain a flood.”
- Coldplay






.:: TIGA MINGGU KEMUDIAN



“Kak Nisaaa!”

“Yaaaa.”

“Kak Nisa!”

“Iyaaaaaaaaaaaaa.”

Siapa sih yang manggil-manggil?

Nisa melongok dari cubicle-nya. Mulutnya masih sibuk komat-kamit mengunyah chocolate chip cookies kesayangannya. Kepalanya yang mungil berputar mengelilingi ruang. Lho? Siapa ya yang barusan memanggilnya? Kok tidak ada siapa-siapa? Ruangan ini masih kosong seperti sebelumnya. Teman-temannya satu unit juga belum pulang dari istirahat makan siang.

Jadi siapa baru saja memanggil-manggil namanya? Hiiiy, jangan-jangan...

Tiba-tiba wajah cantik Anjani Sarasvati muncul dari balik pintu.

“Kak Nisaaa...”

Copot eh copot!!

Yaelaaaa! Duh, kirain siapa.

“Haeh, Nceeees!! Jangan ngaget-ngagetin napa...? Jantungan nih. Ayo sini masuk. Kirain siapa tadi.”

“Hihihihi.”

Sosok wanita cantik berkerudung yang bertubuh semampai itu masuk ke ruangan dan melewati rangkaian beberapa cubicle, wajahnya begitu cantik dan kulitnya sangat putih sampai-sampai ubin aja minder. Omong-omong soal minder, kadang Nisa juga minder jika berada satu ruangan dengan Anya, terlebih tanpa teman-teman mereka yang lain. Dari seksinya kebanting, dari tingginya kebanting, dari cantiknya kebanting... ah... Anya memang sungguh dikaruniai anugerah yang begitu besarnya.

“Kak Nisaaaa...”

Satu-satunya kelemahan gadis itu mungkin adalah suara Anya yang agak cempreng. Di grup WhatsApp mereka ada satu kata wejangan yang sampai saat ini menjadi quotes legend: Di sana Cileunyi, di sini Cibubur. Kalau Anya nyanyi, mendingan kabur.

Nisa cekikikan sendiri, memang tidak ada yang seratus persen sempurna ya di dunia ini, Tuhan Maha Adil. Bahkan wanita seindah Anya punya kelemahan juga.

“Gimana, Mbak Princess? Apa ada yang bisa aku bantu?”

“Kak Nisa lihat Amy ga hari ini? Aku ada perlu sama Amy, nih. Klien yang aku prospek butuh perubahan sparepart. Kayaknya divisi Amy yang bisa menangani yang begituan. Eman kalau sampai lepas. Klien besar ini.”

“Amy? Lhooo... si Ncess ini gimana sih? Amy kan ada workshop keluar kota, udah berangkat dari tadi pagi sama divisinya. Dia ikut flight yang pagi. Kalau tidak salah baru bakal pulang minggu pagi karena senin masuk seperti biasa. Bukannya udah di-share di grup WhatsApp kita?”

“Heh!? Masa sih?”

“He’em. Udah kok.” Nisa mengangguk sementara Anya kebingungan. Nisa menyandarkan dagunya di lengan pada sisi atas cubicle. “Yang lain udah minta oleh-oleh ke dia tuh, tumben kamu ga nitip apa-apa ke Amy.”

“Nitip… apa… ya…? Haahhh!?” Anya menepuk kepalanya sendiri, “Iya yaaa, Kak? Si Amy beneran lagi jalan workshop? Huhuhu. Ketinggalan berita. Ini gara-gara hape-ku barusan di-service, Kak. Huhuhu... jadi kudet nih.”

“Di-service? Kenapa emang?”

“Kecemplung di kolam.”

“Hahhh? Kok bisaaa?”

“Iyaaaa... kemarin lusa kan aku sama si Bedil keasyikan ngobrol di samping kolam ikan di depan rumah dia. Eh... ga sengaja si Bedil nyenggol tangan aku yang lagi pegang hape, walhasil melayanglah itu hape masuk ke kolam. Hiks... padahal hape kesayangan. Udah pake direndem di beras seharian juga ga bisa hidup lagi, Kak.” Anya bersungut-sungut dan memasang muka cemberut. Tapi ya dasarnya spek bidadari, mau cemberut kayak apa pun masih tetap cantik. “Tapi ada untungnya juga sih, Kak. Gara-gara aku diemin seharian akhirnya si Bedil mau tuh benerin hape-nya, dia yang bawa ke tukang service. Kalo memang udah pasti ga bisa, mau dibeliin yang baru. Sebagai tanda penyesalan katanya. Hihihi. Berasa morotin pacar gak sih.”

“Hahaha, nackal kamu. Tapi bisa dibenerin ga?”

“Mudah-mudahan sih ga bisa, kak. Aku pengen iPhone paling anyar.”

“Wuuuu dasar!” Nisa terkekeh geli, kasihan juga pacar Anya itu. Harus beliin hape baru. Terbayang wajah pemuda berkacamata yang sedikit culun itu menggaruk-garuk kepala. Bedil adalah panggilan sayang Anya untuk Abdillah, anak seorang konglomerat tajir ibukota. Tanpa andil Papa-nya pun, si Abdil sudah mampu membiayai dirinya sendiri karena dia memang jago di bidang IT dan punya startup yang masa depannya cerah, jadi ga masalah kalau harus membelikan Anya hape baru.

“Ya udah deh, Kak. Aku balik ke ruangan aku lagi. Si Amy bareng sama unit-nya ya?” kalau Anya tidak salah ingat, di divisi Amy ada sekitar lima sampai enam orang staf plus satu supervisor.

“Iya, serombongan. Sampe Pak Jon aja ikut.”

“Hahaha... Pak Jon mah asal keluar kota pasti ngikut. Seneng banget kalo disuruh jalan-jalan.” Anya pun melangkah keluar ruangan sembari melambaikan tangan yang dibalas oleh Nisa.

Nisa pun kembali duduk. Kembali sendirian di ruangan. Ia memang jarang makan siang keluar kantor. Pertama karena ia selalu rajin menyiapkan bekal makanan untuk dirinya sendiri, anak-anak dan suami, kedua karena pekerjaannya menuntut ia duduk depan komputer cukup lama dan harus teliti sehingga tidak jarang ia harus lembur atau menghabiskan waktu lebih lama di depan komputer, ketiga tentu karena ngirit uang makan. Hehehe. Uang cicilan rumah lumayan juga, Bro.

Nisa pun kembali sibuk menyantap cemilan sembari mengamati deretan angka di layar monitornya ketika kemudian smartphone-nya berbunyi.

Ding!

Ada WhatsApp ya? Nisa melirik ke arah layar ponselnya. Karena kebetulan setting smartphone-nya masih standard, layar lock-screen akan langsung menampilkan pesan WhatsApp tanpa perlu masuk ke aplikasi jadi ibu muda itu bisa melihat pesan yang masuk.

Dari siapa ya...?

Dari… dari dia!?

Mata Nisa terbelalak, ia hampir tersedak saking terkejutnya. Di layar smartphone Nisa tertera nama yang sudah sangat ia kenal. Apa pesannya?

Pesannya singkat.

Hai. Kamu lagi apa, sayang?

Nisa menggelengkan kepala dan menarik nafas panjang. Pesan singkat itu jelas bukan dari sang suami yang lebih pantas memanggilnya sayang. Orang ini... masih saja...

Nisa membuka lock screen, masuk ke WhatsApp dan langsung menghapus pesan yang masuk itu tanpa ingin membalas, ia juga langsung memblok nama tersebut. Tidak akan ia jawab, sampai kapanpun. Tidak akan ia beri kesempatan sedikitpun. Nisa tersenyum pahit.

Setelah meletakkan smartphone, si manis itu menangkupkan jari jemari di wajahnya.

Sembunyi.

Ia ingin sembunyi.





.::..::..::..::.





Suasana jalan yang diguyur hujan memang menyejukkan dan berasa lebih segar. Sebelumnya, kota yang biasa dipenuhi polusi dan kurang penghijauan ini selalu terasa kering dan panas. Mobil-mobil yang biasanya saling tempel pada jarak yang berdekatan, kini juga seperti renggang dan melaju dengan santai. Suasana yang dirindukan oleh Bening. Suasana adem.

Tinggal di kota memang ibarat buah simalakama, semua ada, semua tersedia, namun di sisi lain pesatnya pembangunan pemukiman, gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan sarana transportasi berdampak pada menurunnya vegetasi yang ada di kota. Masih ditambah parah pula dengan intensitas kendaraan yang tinggi dan kemacetan disertai asap yang bersumber dari kawasan industri.

Berkurang yang menyejukkan, bertambah yang bikin terpanggang. Makanya kalau cuaca jadi adem seperti sekarang, rasanya nikmat luar biasa. Mari disyukuri apa yang telah diberikan, bukan mengeluh karena keadaan.

Saat ini Bening berada di sebuah mobil yang berjalan menyusuri jalan tol untuk pulang kembali ke kantor, setelah hampir seharian berkunjung ke klien. Ia tidak sendirian, bersamanya ada Ridwan – kawan sesama staf marketing, dan Pak Eko – supir kantor. Menemani perjalanan mereka, adalah suara lagu dari penyanyi yang sudah almarhum, Chrisye.

“Pak Eko penggemar Chrisye ya?” tanya Bening pada sang supir yang langsung tertawa dan sumringah.

“Penggemar berat, Mbak Be! Apalagi yang Mas Chrisye jaman-jamannya tahun 80an gitu, lagunya masih ceria-ceria. Bagus-bagus banget lagunya. Hahaha, ketauan umurnya, ya Mbak.”

“Hahaha. Iya Pak. Ya... ya... memang lagunya enak-enak sih almarhum om Chrisye, saya juga suka. Dulu Papa yang sering muter lagunya, jadi saya familiar banget sama lagu-lagu beliau.” Kata Bening sambil mengamati suasana hujan di luar. Sekilas dia melihat bayangannya sendiri di kaca mobil dan mendapati kerudung yang ia kenakan ada yang kurang pas.

Bening kemudian merogoh tas jinjingnya dan menarik cermin kecil, lalu menggunakannya untuk memperbaiki kerudung. Ibu muda satu anak itu berwajah ayu dan sangat pandai berdandan, sehingga penampilannya menarik, cantik, dan sudah pasti tidak murahan. Ia juga selalu mengenakan pakaian yang anggun, berwarna lembut tapi juga praktis.

Ridwan mencuri-curi lirik ke arah Bening.

Gimana tidak terpesona kalau duduk bersebelahan dengan wanita yang indahnya seperti ini? Wajah Bening yang bulat dengan alis lancip natural, ditambah bibir penuh berlapis lipstick yang tidak mencolok berpadu dengan kulit halus mulus namun tidak putih pucat. Lalu lihat dada membusung itu, sungguh bikin kaum pria harus menahan diri agar jakunnya tidak naik turun. Gila, ini cewek memang paket komplit super deluxe, cakep, seksi, dan dadanya sempurna. Sayang sudah ada yang punya.

“Heh. Jangan lirik-lirik, Wan. Ntar naksir lho.” Sindir Bening. “Bahaya kalau udah naksir aku, ntar kamu diporotin.”

“Sial. Hahaha.” Ridwan tersipu malu karena ketahuan. “Cakep banget sih kamu, Be. Kampret. Kalau dulu ga buru-buru kawin, udah aku pepet.”

Bening mencibir. “Ogah kalau sama kamu. Mukanya muka-muka penjahat kelamin.”

Ridwan tertawa, “Enak aja. Udah belasan tahun ga pacaran, gimana bisa penjahat kelamin.”

Sekarang Bening yang tertawa, “Gapura aja berduaan, Wan. Masa kamu betah jomblo.”

“Kampret.”

Kembali Bening tertawa. Kali ini Pak Eko pun ikut tertawa.

“Eh tau gak, Be. Kalau hujan begini... enaknya makan ronde.” Kata Ridwan kemudian sembari melirik keluar mobil.

Bening mencibir, “Ya kali bisa nemu tukang ronde di jalan tol, say. Lagian mana ada tukang jual ronde jam segini.” Bening mengernyitkan dahinya, “Eh ada ga sih? Kalau ada aku juga mau kok. Hahaha.”

Ridwan dan Pak Eko kembali tertawa.

Sebagai anggota tim marketing, mereka bertiga sudah sangat sering pergi bersama untuk menemui calon-calon klien demi menawarkan barang yang mereka produksi atau distribusi, atau hanya sekedar melakukan follow up dari hasil pertemuan sebelumnya. Kunjungan tugas semacam ini biasanya dilakukan oleh Bening dan Ridwan berdua sebagai partner ataupun bersama dengan tim mereka yang lain. Hari ini kebetulan anggota tim yang lain banyak yang berhalangan. Untungnya meski hanya berdua saja, Ridwan dan Bening berhasil mendapatkan klien baru sesuai target, sehingga tugas mereka hanya tinggal satu, melaporkannya ke pimpinan.

Setelah beberapa lama mobil mereka berjalan, akhirnya harus masuk ke sebuah kemacetan yang cukup panjang.

“Kok tumben ya si Anya ga ikut. Biasanya dia kemana-mana suka nempel kamu, Be.” kembali Ridwan mengajukan bahan pembicaraan. Pemuda berambut cepak bertubuh atletis itu memainkan gadget-nya sembari menyusuri Google Maps untuk mencari alternatif jalan yang tidak macet. “Gila aja nih, banyak jalan yang macet. Merah-merah semua rutenya.”

“Gara-gara banjir mungkin? Hujannya deres dari tadi.”

“Bisa jadi. Eh, jadi gimana soal si Anya tadi?”

“Oh iya. Kayaknya tadi ada kerjaan gitu deh, ga tau kerjaan apa, tapi tadi udah pamit ke aku sih, kalau dia ga bisa ikut keliling. Harusnya sekarang memang ikut kita kan? Tapi ada pesan dari Pak Roman tadi kalau dia diminta menemani beliau.”

“Oh gitu, sayang sekali ya. Kalau ada dia lumayan rame.”

“Dih! Emang kalo sama aku doang ga rame, Wan?”

“Rame sih, tapi cenderung ngeselin kalau sama kamu, Be. Untung cakep, jadi ga terlalu mengganggu.”

“Asem.” Bening akhirnya menyadari sesuatu. “Eh... bentar... bentar... kok tumben-tumbenan kamu nanyain soal Anya?”

“Lho, kan emang dia biasa ngikut kita, Be.”

“Tapi biasanya kamu bodo amat. Hehehe... makanya aneh nih. Aku mencium sesuatu nih...” Bening menggerakan udara ke hidungnya seperti seakan-akan menghirup aroma asing. Mirip gaya Roy Kiyoshi saat mencium aroma supranatural. “Kayaknya ada seseorang yang naruh rasa ke seseorang nih. Apakah aku mencium aroma-aroma cinta yang tak berbalas?”

“Kampret. Dasar tukang hoax yang...”

“Yang apa? Kan kenyataan. Orang kek kamu mana bisa tahan dicubit dikit sama si Anya.” Bening tertawa terbahak-bahak melihat Ridwan salah tingkah dan bingung mau berbuat apa, Wajahnya memerah seperti tomat mengkilat. Sasaran empuk buat Bening, “Kamu naksir Anya, Wan?”

“Haduuuu, pake ditanya lagi.”

“Eh, BENERAN? Kamu naksir Anya?”

“Siapa yang nggak, Be? SEMUA orang naksir dia. Ceria, cantik, dan baik. Dia… sempurna.” Ridwan menarik nafas dalam-dalam, “tapi yah, aku tahu diri kok. Siapa aku sih berani-beraninya naksir sama Anya. Dia juga ga bakalan mau deket sama aku yang cuma orang biasa ini. Udah jelek, miskin, tidak berprestasi, kurang gizi, bisanya cuma makan nasi teri.”

“Nah itu nyadar.”

“Asem!”

“Gayamu itu lho, Wan.” Bening mencibir. “Penjahat kelamin kok merendah.”

Ridwan tertawa. “Lagi-lagi penjahat kelamin. Nggaklah, Be. Begini-begini aku ini sangat menghargai wanita, aku pemuja wanita, Be.”

“Oh ya? Sudah banyak cerita beredar, Wan. Tidak semudah itu kamu bisa menghindar, Ferguso. Sekali penjahat kelamin ya penjahat kelamin. Sekali PK tetap PK. Hidup PK!”

“Anjir. Serius banyak cerita?”

“Banyak. Ya udah sih, kalau mau nembak Anya, tembak aja. Nanti aku bantu.”

“Asyik. Nah yang begini ini bikin demen. Bantu apa, Be?”

“Bantu lari dari kenyataan. Hahaha...”

“Kampret.”

“Cari cewek yang lain napa dah, Wan. Si Anya kan udah punya cowok. Kalau memang mau maju terus juga silahkan aja, tapi resiko sakit hati ditanggung sendiri. Prinsip jomblo kan asal belum ada janur kuning melengkung semangat terus menggunung. Tapi awas aja kalau cuma main-main. Dia sahabat aku! Kalau sampai membuat Anya kenapa-kenapa, aku hajar kamu!”

“Iya... Iya... tau kok, Be. Makanya yakin banget kalau bertepuk sebelah tangan. Hiks. Mana mau dia sama aku. Cowoknya tajir beud kan? Udah tahu.”

“Kapal tenggelam sebelum berlayar, kapten. Amankan penumpang!”

Terdengar suara musik mengalun, lagu Alan Walker. Bening menghentikan ucapannya dan mengambil smartphone-nya yang sejak tadi diletakkan di dalam tas jinjing. Ada pesan singkat melalui WhatsApp masuk. Sepertinya ada yang mengirimkan foto kepadanya.

“Siapa nih kirim-kirim gambar yang...” mata Bening terbelalak.

Wajahnya yang tadinya cerah ceria berubah menjadi sangat serius. Apa yang dikirimkan padanya membuat ibu muda nan jelita itu tak lagi menunjukkan senyumnya. Bening mengerutkan keningnya saat satu demi satu foto itu ia scroll.

Fo... foto-foto ini...





.::. .::. .::.





“Hujannya gak berhenti-henti ya, Neng?”

Amy yang tengah sibuk mengetik ulang catatan workshop siang tadi ke laptop, melongok ke arah Pak Marjono. Supervisor-nya itu sedang berada di dekat jendela mengamati hujan yang turun deras. Amy sudah biasa dipanggil dengan sebutan neng oleh Pak Jon, pria itu memang memanggil staf-stafnya dengan sebutan Neng dan Nang, tentunya supaya lebih akrab dan menjembatani hubungan antara supervisor dan staf-nya.

Keduanya saat ini berada di ruang tamu yang disulap menjadi tempat kerja di kamar Premium Suite hotel Grand Fams. Kamar ini sebenarnya kamar Pak Jon, namun karena tim mereka butuh tempat untuk membahas banyak hal yang berkaitan dengan workshop, kamar inipun diubah menjadi tempat kerja. Anggota tim yang lain belum selesai bebenah sore, sehingga Amy mendahului mereka bekerja malam ini.

Tempat ini sebenarnya cukup asyik, berada di lantai yang tinggi dan memiliki jendela dengan view apik yang menyajikan pemandangan kota yang masih asri dan hijau. Sangat berbeda dengan ibukota tempat Amy tinggal. Meski hujan deras di luar sana, suasana tetap nyaman. Meski kadang-kadang petir yang menyambar menghantam bumi jadi terasa lebih dekat jika di lantai tingkat tinggi begini.

“Iyaaa ini, Pak. Hujannya gak berhenti-henti dari tadi. Mau pesen Pesan-Food ga jadi deh, ga ada ojek online yang mau ambil orderan kalau deresnya kayak begini.” Keluh Amy yang perutnya sudah keroncongan. Bekerja dengan perut kosong itu memang tidak nyaman.

Pak Marjono manggut-manggut, matanya masih terus menatap pemandangan kota. Ia suka sekali pemandangan seperti ini. Ia berbalik dan menatap Amy. “Ya sudah pesan makanan yang banyak aja biar ordernya diambil, sekalian beli buat teman-teman yang lain. Menu apa aja boleh. Nanti aku yang bayar.”

“Yeeeeey!” Ami tertawa girang, “Wah baiknyaaaa. Makasih, Pak! Nanti aku kabarin kalau sudah pesan ya, Pak. Aku tanya ke temen-temen dulu mau pesan apa.”

Pria yang akrab disapa dengan nama Pak Jon itu pun terkekeh, “Ashiaaap. Oh iya, Neng. Kita setelah ini kan ada meeting buat review kegiatan di workshop tadi ya. Pastikan kalau semua staf unit kita hadir, masih banyak kesalahan yang harus kita benahi. Tadi di workshop kelihatan banget kalau kita masih kurang kompak dan sering miskomunikasi. Itu kan bahaya kalau pas lagi berhadapan dengan klien. Aku nggak mau Pak Bos kasih memo ke aku di akhir acara workshop besok lusa.”

“Siap, Pak.” Amy segera mencatat pesan dari Pak Jon.

Tak lama kemudian pintu diketuk dan setelah dibuka datanglah lima anggota unit Pak Jon yang lain.





.::. .::. .::.





“Hujan, Lih?”

“Iya, Mas.”

“Deres?”

“Banget.”

“Untung kita udah di rumah.”

“Iya, Mas.”

“Pantes aja seharian panasnya ampun-ampun. Ga taunya emang mau ujan ya, Lih.”

“Iya, Mas.”

Agus Darmo melirik ke arah Galih Satria Prasaja yang hanya berbaring di atas kasurnya. Dia sudah seperti ini beberapa hari belakangan, tiduran tanpa ingin melakukan apa-apa. Agus bisa menebak kenapanya.

Dulu pemuda itu sesekali cekakak-cekikik saat melihat smartphone-nya. Akhir-akhir ini jangankan di-charge, dipegang pun jarang sekali. Seakan sedang tidak ingin bersosialisasi. Ponsel produksi Tiongkok itu teronggok di atas meja dan jarang sekali disentuh sejak Galih pulang kerja. Sepertinya hanya sekali-sekali dibuka untuk mengecek pesan di Grup WhatsApp tempat kerjanya.

Agus beringsut dan menelisik meja di kasur samping Galih itu, ia mencari-cari bungkus rokok. Tentu saja ia menemukannya, matanya ibarat radar kalau sudah bicara soal bungkus rokok. Agus membuka bungkus itu dengan harap-harap cemas. Ah, syukurlah masih ada sebatang. Agus menjumputnya, mencari korek dan langsung menyalakannya.

“Satu ya, Lih.” Kebiasaan. Dinyalain dulu baru ijin.

“Ambil aja, Mas.”

Setelah mengambil rokok, Agus kembali duduk di dekat pintu yang mengarah keluar, asbak di samping, rokok di mulut, gelas kopi pekat hangat dalam jangkauan. Suara gemerisik hujan di luar. Hidup ini indah. Nikmat apalagi yang kau dustakan?

Hening sejenak, Agus kembali melirik Galih yang tidak bergeming dari kasurnya. Temannya itu hanya berbaring saja hari-hari ini. Agus menarik nafas panjang.

“Lih...”

“Iya, Mas?”

“Jadinya kalian beneran bubar?” nada suara Agus pelan, seakan tidak ingin mengoles merica di atas luka Galih.

Hening kembali.

Agus tidak ingin memburu-buru Galih untuk menjawab, biarlah ia memberikan jawaban saat dia ingin menjawab atau saat menurutnya waktunya tepat, kalau ia tidak mau menjawab, itu juga sah-sah saja dan Agus tidak akan marah atau menuntut. Mereka berdua sudah bersahabat lama, berkawan sejak lama, dan di saat-saat seperti inilah Galih butuh seorang teman yang akan memberikan keseimbangan dalam hidupnya.

Agus tentu tahu Galih bukan anak kemarin sore, usianya sudah pertengahan 20 dan dia sudah sangat sering mendengar cerita di luar sana bagaimana Galih bisa dengan mudah keluar masuk di hati para wanita yang mengagumi ketampanannya. Ya, Galih memang cukup rupawan, dengan tubuh tegap dan gagah karena sering olahraga, ditambah dengan sifatnya yang memang baik hati dan ramah, Galih bisa dibilang adalah seorang pria idaman.

Yang jadi masalah cuma dua, Galih pilih-pilih pasangan dan dia bukan orang kaya.

Setahu Agus, Galih hanya pernah pacaran sekali, dengan cewek yang sering datang ke sini – yang sepertinya itu cinta sejati Galih, mereka sudah lama sekali pacaran, yang kalau tidak salah Galih pernah bilang sendiri kalau dia sudah mulai berpacaran sejak SMA. Sayang cinta sejati yang ini sepertinya tidak memiliki akhir happy ending. Agus sendiri tidak tahu apa-apa soal asmara si Galih, mau dikorek-korek juga bukan urusannya. Urusannya adalah menjadi teman di saat suka maupun duka.

Galih menghela napas panjang. Meski tidak sampai satu menit, namun butuh waktu beberapa saat bagi Galih untuk menjawab pertanyaan Agus.

“Ga tau, Mas.”

“Kok bisa ga tau?”

“Iya, Mas. Ga tau.” Galih memejamkan mata, berusaha menekan sesak di dada dan pahit di lidah yang ia rasakan tanpa ada obat penawarnya. “Ga ada kata-kata putus.”

“Tapi kalian sudah tidak pernah ketemu lagi?”

“Tidak, Mas.”

WhatsApp?”

“Ga pernah juga, Mas.”

“Oalah.” Agus menebar abu di asbak. “Ya wes kalau begitu, Lih. Hadapi saja kenyataan. Mau gimana lagi? Mungkin itu jalan terbaik.” Agus melirik ke arah Galih, ia menghela napas dan menghembuskan asap rokoknya, “Aku tahu ini bukan anjuran paling manjur, tapi jangan anggap jalan yang sekarang itu satu-satunya jalan untuk kamu menempuh kehidupan. Kita di dunia ini cuma mampir ngombe, hanya mampir minum, sebaiknya digunakan untuk melakukan hal-hal yang memang ditakdirkan untuk orang seperti kita. Apalagi kamu itu cah bagus, Lih. Ngganteng. Keren. Banyak cewek yang mau sama kamu. Jangan sia-siakan aset yang kamu miliki.”

Galih menggelengkan kepala, “Ganteng apaan toh, Mas. Biasa aja. Saya orang yang biasa-biasa saja. Kalau soal keren, Mas Agus juga keren, buktinya udah ada yang pernah mau sama Mas Agus. Prestasi itu, Mas.”

“Hush! Kalau kamu yang bilang keren kok kesannya jadi nggilani. Ya beda to, Lih. Kamu itu kalo bintang film ibarat Nicholas Saputra, Reza Rahadian. Wajah, tongkrongan dan perawakan wes pas banget jadi tokoh utama. Apapun filmnya, pasti kebagian peran utama. Kalo aku ya paling-paling dapat perannya jadi pelayan resto yang cuma keliatan tangan, tukang angkat panci, prajurit yang kena tembak pertama, orang yang baru nongol langsung ditubruk zombie. Peran-peran simpel lah.”

Mau tak mau Galih tersenyum dan terkekeh ringan.

Keduanya sama-sama tertawa sesaat.

Lalu hening.

Lalu Galih mulai bicara, “Aku diusir Bapaknya, Mas.”

Agus mendesah. Ngebul bentar, diam bentar dan akhirnya melanjutkan. “Lih. Aku sih ga akan kasih harapan berlebih atau ngasih petuah belibet. Aku juga bukan orang pinter. Aku ga mau bilang tunggu aja ntar juga ada penggantinya, atau bilang ke kamu nanti ada ganti cewek lain yang lebih baik, nanti ada ganti cewek lain yang lebih cantik, atau apalah. Kamu lebih tahu gimana perasaan kamu sendiri dan gimana memperbaikinya.

“Pasti butuh waktu buat ngeredain semuanya. Yang mesti kamu inget cuma satu, Lih – waktu. Waktu memang akan membantu meringankan beban dan hancurnya hati kamu. Meringankan... bukan menyembuhkan ya, ingat itu baik-baik.

“Tapi waktu yang sama juga terus berjalan dan ga akan menunggu kamu. Hanya tinggal bagaimana kita memanfaatkan waktu untuk menyesal atau untuk memperbaiki diri, Lih. Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.”

“Iya, Mas. Masih agak susah. Mungkin pelan-pelan.”

“Gara-garanya masalah kemarin ya, Lih? Masalah duit?” setiap hembusan nafas Agus berpacu dengan asap rokok. Semakin seru masalah yang dibahas, makin kencang hisapan rokoknya. Sekali lagi abu ia tebarkan di asbak. “jadi kamu udah ketemu sama bokapnya, terus bokapnya nolak habis-habisan, gitu? Kenapa? Bokapnya ga mau dapet mantu kere?”

Galih hanya senyum kali ini.

Agus terkekeh, “Ya habis gimana lagi? Kondisi kita ya apa adanya seperti ini, Lih. Kamu tahu sendiri buat hidup sehari-hari saja kita masih kurang. Bayar listrik kembang kempis, bayar kontrakan kadang masih harus ngutang. Mana bisa kita menghidupi anak orang? Wajar saja kalau bokapnya pengen dia nikah sama yang mapan.”

Galih terdiam. Tapi ia juga paham betul apa yang diucapkan oleh teman sekontrakannya itu memang ada benarnya. Selain lebih tua, Mas Agus Darmo juga lebih bijak dalam menyikapi kehidupan.

“Lagipula, Lih... menikah itu bukan hanya mikir enaknya. Bukan ending dan hidup bahagia selama-lamanya. Habis nikah itu cerita bukannya tamat tapi masih bersambung. Malah lebih njelimet. Yang tadinya apa-apa sendiri akan jadi berdua, dan itu bukan hanya senangnya, tapi juga susahnya akan menjadi dua kali lipat. Apalagi tugas kamu yang selama ini tidak perlu mikir, sekarang bertambah sebagai kepala keluarga. Kamu harus memikirkan mau memberi makan apa ke istrimu, belum lagi kalau punya anak. Itu yang disebut tanggung jawab, Lih. Tidak mudah.”

“Iya, Mas.” Galih tahu pasti kalau Agus punya pengalaman. Teman sekontrakannya itu dulu pernah menikah, namun kandas di tengah jalan. Entah karena apa. Mungkin masalah yang sama, uang. Ia juga tidak pernah membicarakan soal anak semata wayangnya.

“Pernah ada kalimat yang bijak, Lih. Pantaskan dirimu dulu, nanti kamu akan mendapatkan seseorang yang pantas untuk kamu. Itu aja yang kamu jadikan pegangan. Kalau sudah jodoh tidak akan kemana, kalau memang bukan jodohnya ya seperti apapun usaha kamu tidak akan pernah bisa.”

Sakit mendengarnya, tapi itu benar. Galih terdiam kali ini dan rasanya tidak kuat untuk mengiyakan sekali lagi. Mungkin memang harus seperti ini jalannya, mungkin memang ini jalan yang terbaik.

“Iya, Mas. Makasih.”

“Sekarang bangun, mandi, sholat. Kalaupun mau santai-santai, mending kita nyari singkong di warung sayur depan gang trus kita bikin gorengan, gimana?”

“Emang ada minyak, Mas?”

“Weladalah. Ada dong! Kan tadi pagi dibagi sama Mbak sebelah rumah.”

“Oh iya. Ya udah gampang, Mas.”

“Ngomong panjang lebar bikin bibir belepotan, Lih. Ada rokok lagi ga? Yang ini tadi kurang joss.”

“Habis, Mas. Kan tadi Mas Agus yang habisin. Tinggal itu satu-satunya.”

“Ealaaaah, iya, ya? Asem. Tiwas udah aku gecek di asbak.” Agus pun berdiri dan melangkah menuju ruang belakang untuk mengambil sesuatu. Kontrakan Agus dan Galih seperti halnya kontrakan lain yang terdapat di wilayah ini, rumah kontrakan tiga petak yang berdempet-dempet di dalam sebuah jalur gang kecil yang mengular.

Ruangannya standar. Sekat pertama ruang depan, sekat kedua kamar tengah, dan sekat ketiga adalah untuk kamar mandi dan dapur - konsep sederhana dari rumah tiga petak. Kamar tengah disekat menjadi dua bilik kecil yang masing-masing ditempati oleh Agus dan Galih. Keduanya berbagi kontrakan untuk menghemat biaya. Sebelum ini, mereka berdua berkenalan karena pernah menjadi tetangga kost di kawasan yang tidak terlalu jauh. Karena harga kost menanjak terlalu tinggi dibandingkan mengontrak, keduanya memilih untuk mengontrak bersama.

Galih bekerja di kota, sementara Agus bekerja di sebuah bengkel tidak jauh dari kontrakan mereka. Agus itu sebenarnya cerdas, pernah kuliah di salah satu universitas swasta yang juga tidak jauh dari kontrakan ini. Sayang karena terkendala biaya akhirnya ia drop out, setelah gagal melamar pekerjaan kantoran kesana kemari akhirnya memilih kerja di bengkel. Sudah beberapa tahun sekarang Agus menjadi mekanik, dunia yang akhirnya ia tekuni.

“Lih, payungnya mana, ya?”

Pasti Agus mau keluar mencari rokok dan singkong. Kalau sudah urusan perut dan kepengen ngebul, hujan deras kayak apapun tidak akan menghalangi niat pria itu.

“Oh, wes ketemu.” Agus cekikikan sendiri sembari berjalan ke depan rumah, ia geleng-geleng kepala melihat hujan yang teramat deras. “Hujannya gini amat, yo. Ga usah kemana-mana ya, Lih. Aku ke depan bentar. Ga usah dikunci pintunya.”

“Siap, Mas.”





.::. .::. .::.





“I... ini minuman a... apa ya, Pak? Ugh...” Amy mengernyit.

“Ha? Yang ini? Ini jus biasa aja. Tadi beli di depan situ, aku nitip minta beliin ke Elsa. Memang kenapa, Neng?” Pak Marjono menatap Amy dengan pandangan bertanya-tanya.

“Ga kok, Pak. Cuma berasa agak lucu rasanya.” Jawab Amy. Si cantik itu kemudian mengambil botol air putih yang ada di samping jus dan meminumnya untuk menetralisir rasa jus yang baginya agak aneh. Terlalu asam.

“Rasanya lucu gimana dah! Amy mengada-ada nih.” Imam menggelengkan kepala, “ini mah jus melon biasa. Enak lagi! Segeeeer! Kalo yang punya aku sama Emon juga jus semangka, yang punya Dani jus jeruk. Ga tau yang punya Elsa sama Ria.”

“Iya, punya eike jus semangka, huh! Sukanya nyama-nyamain sama eike. Benci akuw!” umpat Emon yang pada dasarnya sedikit melambai. Ia mendorong pundak Imam dengan main-main. “Lain kali belinya jus jengkol aja kamyuuu!”

Tentu saja semua anggota langsung tertawa mendengar ekspresi Emon. Nama pria ini sebenarnya Hasan Aminata, tapi karena sikap dan tutur katanya melambai, ia sering dipanggil dengan sebutan Emon – karakter yang merupakan ikon populer tokoh melambai dari serial Catatan Si Boy. Tentu saja, yang hapal dengan karakter itu sebenarnya Pak Jon, sesuai umur. Yang generasi baru mana kenal siapa itu Boy dan Emon.

“Aneh gimana, Amy? Sini aku cobain...” kata Ria sambil mendekat ke arah Amy.

“Yeeee... jangaaaan... mau aku abisin...”

Aish Si Amy. Tadi bilangnya aneh, tapi tetep aja abis.”

“Hihihi... ya gimana lagi, tetep enak sih. Hahaha...”

Pak Jon ikut tertawa “Oke semuanya, sudah selesai ya? Besok jangan ada lagi miskomunikasi, pelajari semua petunjuk sebelum mengikuti quiz-nya. Pastikan mengasah kemampuan teamwork. Saya tidak mau kita ditegur Pak Bos. Tugas mudah seperti ini aja tidak bisa! Siap semuanya?”

“Siap Pak!”

“Siap!”

Imam, Ria, Elsa, Dani dan Emon lantas mengemas-ngemas barang mereka dan bersiap balik ke kamar masing-masing. Semua kecuali, Amy.

“Lho, kok kamu ga balik siap-siap balik kamar, Neng?” Pak Jon menggaruk-garuk kepala dengan heran melihat Amy malah duduk kembali dan membuka laptop. “Ga ada yang perlu dilembur kan?”

Amy meneguk air putih kemasannya sekali lagi. “Oh, nggak kok, Pak. Ini... ketikannya nanggung, dikit lagi kelar. Supaya besok tidak perlu buru-buru beresin pagi-pagi. Saya pengen sarapan dengan nikmat, Pak.”

“Ooooh gitu. Ya udah. Aku ke kamar dulu ya. Kamu nanti langsung keluar aja kalo sudah kelar. Tidak perlu pamitan. Kali-kali aja aku udah molor. Ngantuk berat aku, Neng. Hehehe.”

Amy cekikikan kecil. “Siap, Pak.”

Di pintu, rekan-rekan yang lain sudah siap kembali ke kamar masing-masing.

“Dah Ammmyyy!!”

“Daaaaaah.”

Imam, Emon, Ria dan Elsa melambaikan tangan pada Amy dan melangkah keluar ruang membawa berkas dan laptop mereka. Pak Jon masuk ke kamarnya, tak lama kemudian terdengar bunyi kunci diputar pertanda pintu dikunci dari dalam, mungkin beliau hendak beristirahat setelah lelah seharian bekerja.

Hanya tinggal Amy dan Dani saja saat ini.

Dani termasuk orang yang jarang bicara, kalau ngomong juga seperlunya saja. mungkin karena memang orangnya tergolong introvert. Dia tidak pernah paham jika membicarakan gosip terbaru atau hal-hal yang trendy. Tapi kalau sudah membicarakan tentang idol dari JKT49? Dia jagonya.

Dani berperawakan tinggi, kurus, pipi tirus, kacamata tebal, dan rambut acak-acakan tanpa kenal sisir. Penampilan khas seorang programmer. Kulitnya yang pucat mungkin hanya bisa disaingi oleh Om Dracula saking pucatnya. Sama juga seperti om Dracula, Dani irit ngomong. Hari ini saja Amy tidak mendengar sepatah katapun keluar dari mulut Dani, mungkin harus dia dulu yang memulai.

“Nggak balik ke kamar, Dan?” tanya Amy.

“I... ini mau balik.” Tergagap Dani menjawab. “Eh... emm.. A... Am. A... aku besok pengen ngomong bentar boleh? Ber... berdua saja, ta... tapi be... besok... saja...”

Oh iya, Dani ini kalau berbicara agak stuttering atau gagap, mungkin itu salah satu penyebab kenapa dia minder dan jadi seorang pemalu. Tapi kalau otaknya encer banget. Mungkin yang paling cerdas di unit-nya Pak Jon. Dia programmer utama yang selalu bisa diandalkan.

“Mau ngomong apa emang, Dan?”

Amy mengernyitkan dahi. Ia menghentikan ketikannya dan menatap Dani yang entah kenapa jadi salah tingkah saat Amy menatapnya dengan pandangan mata tajam. Dani malah jadi terburu-buru mengemas laptopnya dan bangkit dari tempat duduknya.

“Err... ti... tidak apa-apa, Am. Cuma... ma... mau ngobrol a... aja. A... ada sesuatu... yang… yang… ma-maksudku…” Dani mengeluarkan sesuatu dari kantongnya jaketnya yang lebar dan meletakkan barang itu di meja tempat Amy bekerja. “I... ini buat kamu... ta-tadi beli di Alfa depan.”

“Haaah!? Waaah, makasih yaaaa.” Amy sumringah. “Lumayan nih, bisa buat cemilan.”

Dani menunduk malu dan buru-buru berjalan menuju pintu. Wajahnya memerah.

Duk!

Aduh, tuh kan kena pinggiran meja! Kaki Dani cenat-cenut dan matanya terkejap saking sakitnya. “Ti... tidak apa-apa... tidak apa... a... apa...” katanya kemudian, entah bicara dengan siapa. Setengah berlari, Dani pun membuka pintu dan keluar dengan terburu-buru. Tidak menengok lagi ke belakang.

Amy cukup surprise dengan sikap Dani ini. Tumben-tumbenan si Dani yang super pendiam itu baik banget sama dia. Ada apa ya? Apa yang mau diomongin? Ah, ga baik berandai-andai, mending rampungin kerjaan terus balik ke kamar. Kalau memang beneran ada yang diobrolin ya itu buat besok saja.

Saat ini, di meja Amy terletak sebungkus coklat batangan SQ Chunky Bar yang diikat dengan pita berwarna pink.





.::. .::. .::.





Terdengar ketukan dari pintu depan kontrakan Galih.

Sudah pasti yang datang itu tamu dan bukan Agus. Kalau itu Agus, dia tidak akan mengetuk pintu dan akan langsung masuk. Dengan malas Galih bangkit dari pembaringannya dan melangkah gontai menuju cermin, memastikan dirinya pantas menemui siapapun yang datang. Pakaiannya sudah rapi, rambutnya juga tidak acak-acakan.

Terdengar ketukan sekali lagi.

“Ya bentaaar. Baru jalan.” Kata Galih sedikit bersungut. Siapa sih ini hujan-hujan malah bertamu? Orang ini sepertinya tidak tahu konsep menikmati hujan di rumah. Hujan itu merupakan suasana ternyaman untuk tiduran sambil meluk guling dan mendengarkan lagu lembut pengantar tidur, nonton Youtube atau main game di smartphone. Bukannya malah bertamu ke rumah orang.

Ketukan terdengar lagi. Sedikit lebih keras.

“Yaaaa.”

Beneran deh, ini siapa? Ngotot bener bertamunya. Pak RT mungut iuran bulanan? Kayaknya udah bayar minggu kemarin. Panitia tujuhbelasan? Bukannya masih jauh ya? Atau jangan-jangan Agus ngutang ketoprak lagi lima piring belum dibayar-bayar dan si Abang Ketoprak mau nagih?

Galih membuka pintu.

Betapa terkejutnya ia saat mendapati sesosok wanita berdiri basah kuyup sambil menangis sesunggukan di bawah hujan deras.

“Ratna!?”

Sontak Galih segera menarik handuk yang kebetulan ada jemuran di dekat pintu dan mengalungkannya ke tubuh Ratna. Dengan khawatir ia menarik wanita yang selama ini bertahta di hatinya itu supaya masuk ke dalam agar lebih hangat.

“Ayo, masuk! Kamu ngapain ke sini? Kok hujan-hujanan? Hujannya kan deres banget?! Kamu bisa sakit, tau?!”

Ratna memeluk Galih, pemuda itu merasakan getaran yang hebat dari tubuh Ratna. Getaran yang berbeda yang belum pernah ia dapatkan dari gadis ini sebelumnya. Saat mereka bertatapan, mata gadis itu berkaca-kaca. Antara takut, sedih dan kedinginan. Ratna mengucapkan kata-kata di sela-sela tangis sesunggukannya.

Kata-kata yang tidak akan pernah dilupakan seumur hidup oleh pemuda itu.

“Tolong, Mas. Hamilin aku, Mas.”





.::. .::. .::.





Suasana kamar tengah Premium Suite itu masih terang benderang dan terdengar suara erangan, sehingga Pak Jon yang terbangun melangkah keluar kamar untuk mencari sumber suara. Sepertinya ia kenal suara itu.

“Neng?” Pak Jon mengerutkan kening, “Neng? Apa kamu masih di sini?”

Amy tidak menjawab, tapi ia masih ada di sana. Berdiri di samping meja.

Pak Jon melangkah menuju Amy yang berdiri dengan kondisi limbung seperti orang mabuk. Ada yang tidak beres dengan gadis itu. Pandangan matanya kosong, ia kini terlihat sangat lunglai, lemas sekali tanpa daya dengan mata setengah terpejam. Gelas Jus-nya terletak di meja, sudah habis diminum, demikian pula dengan botol air mineralnya yang tergeletak kosong di lantai.

“I... ini minuman a... apa sih, Pak.... beneran deh... hgghh... rasanya aneh.” pandangan mata Amy berkunang-kunang. Kaki wanita cantik itu seakan tak bisa diseimbangkan, susah sekali berdiri dengan tegak, tubuhnya bergoyang-goyang bagai pohon kelapa tertiup angin. Kepala gadis itu juga pusing sekali, jelas ada yang salah dengan tubuhnya. Tapi kenapa ini? Apa yang terjadi? Kenapa semuanya seperti berputar?

“Lho? Gimana sih? Kan tadi udah bilang, Itu jus biasa. Kenapa kamu, Neng? Duduk dulu, istirahat! Duh, kenapa lagi ini...” Pak Jon berlari kecil ke arah Amy, untuk membimbingnya.

Sebelum Pak Jon sampai di tempatnya berdiri, Amy sudah berjalan sambil meraba-raba tepian meja untuk mencari tempat bersandar, gadis itu bergerak perlahan menuju tempat yang lebih nyaman untuk duduk. Saat menemukan lokasi sofa panjang, Amy berusaha untuk tetap sadar dan membuka mata. Namun usahanya itu sia-sia. Dalam beberapa langkah saja, si cantik itu akhirnya ambruk dengan mata terpejam. Beruntung ia jatuh tepat di sofa panjang yang ada didepannya.

Pak Jon datang terlambat karena gagal menangkap tubuh gadis itu sebelum pingsan. Tubuh Amy sudah terlanjur ambruk di sofa.

“Neng? Neeeeng!? Huaduh.” Pak Jon pun mencoba membangunkan Amy tapi tak ada jawaban, “Neng? Neng? Kamu tidak apa-apa, Neng? Walah gimana ini…”

Tapi sejenak kemudian, bukannya panik, pria tua itu justru menyeringai.

“Hehehe. Duh aduh. Si Neng malah pules. Jadi itu tadi jus biasa, Neng. Sumpah ga ada apa-apanya. Ga percaya bener sih?” Pak Marjono tersenyum sembari mengambil botol yang jatuh di lantai dan meletakkannya di atas meja, “Yang ada apa-apanya itu ini. Air putih kemasan yang ada di meja kamu sejak awal ini sudah aku taburin bubuk ajaib yang slow burning. Efeknya pelan tapi pasti ya... Heheheh... cukup manjur kan? Selamat berkenalan dengan XTC.”

Pak Marjono memang bukan seorang pria yang baik. Di balik semua kebaikan yang ia jadikan façade, seorang Marjono adalah seekor serigala buas yang selalu mencari mangsa.

Melihat Amy tidak dapat membuka mata dan lemas tak berdaya di hadapannya, sang serigala buas pun bagaikan melihat seekor domba yang sudah pasrah dalam jebakan dan tak dapat lagi bergerak. Amy yang cantik dan bertubuh indah di balik kerudung dan pakaian sopannya adalah domba yang menggairahkan, jebakan ini mungkin bakal jadi satu-satunya peluang emas yang mungkin tidak pernah dia dapatkan lagi. Harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Kapan lagi dia bisa mendapatkan Amy dalam posisi seperti ini?

Rahmi Nur Aisyah.

Amy adalah seorang gadis cantik berhijab yang baru saja bertunangan dan akan segera menikah dalam beberapa bulan ke depan. Gadis yang kini sedang tergolek tak berdaya di depan matanya, dengan rok yang tersingkap sampai-sampai memamerkan betis indahnya!

“Maafkan aku harus melakukan ini, Amy. Salah sendiri kenapa kamu cantik banget,” Pak Marjono tersenyum lebar dan mengelus selangkangannya dengan penuh suka cita.

Jemari laki-laki tua bertubuh tambun itu mulai bergerak untuk melucuti blazer yang dikenakan oleh sang gadis yang malang. Setelah terlepas, tangan Pak Marjono beralih ke bagian depan dada Amy, dan satu demi satu kancing baju putih gadis berhijab itu dilepaskan.

Beha berwarna pastel terkuak, menampilkan buah dada sempurna yang menggiurkan mata semua pria.

Pak Jon tersenyum, “saatnya berpesta.”





BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Damn....
What a plot....
Awesome....
Thanks for the update, bro...

You're welcome. Bro.

Update yg Istimewa dari Suhu Pujangga Binal....
Kenapa ga pake Username Pujangga Binal atau Jason Vorhees hu?

Makasih udah baca.
Karena dulu pernah daftar, tapi lupa akun & passwordnya. Hahaha.
Gpp sementara ini. Itung-itung refresh.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd