The Second Lover
Prologue
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami.
Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.
Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat.
Karena itulah kami naik gunung.”
― Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.
----------------------------------
Quote Sang Demonstran di atas mungkin sedikit dapat mewakili salahsatu alasanku..
mengapa aku begitu mencintai gunung Dempo dan kuanggap sebagai ’The Second Lover’ atau kekasih kedua-ku.
Jangan dulu tanya siapa atau apa yang menjadi My First Lover, ya..! Hehe..
Itu masih rahasia. Belum tiba saatku untuk menceritakannya.
So, Dempo seperti gunung cinta di tengah belantara tropis.
Banyak pendaki yang jatuh hati dengan ’kedua puncak kembarnya’.
Puncak Dempo di ketinggian 3159 meter di atas permukaan laut dan puncak Merapi di 3167 mdpl, mengapit hamparan plateau..
sebuah padang rumput luas di tengah kedua puncak yang disebut Lembah Panjang Umur.
Kalangan pecinta alam, khususnya para pendaki gunung.. menilai Dempo adalah gunung betina..
Karena.. dua puncaknya berbentuk melengkung seperti busur.
Berbeda konturnya dengan peak performance gunung Rinjani di Lombok – 3726 mdpl..– misalnya..
yang melentik ke atas, selain terkesan lebih tinggi juga tampak jantan.
Secara geografis gunung Dempo merupakan mata rantai Bukit Barisan, kawasan dataran tinggi di sepanjang sisi barat pulau Sumatera.
Tepatnya terletak antara kecamatan Jarai dan kota Pagaralam di provinsi Sumatera Selatan.
Meski sekarang.. sejak Provinsi Sumatera Selatan menjadi tuan rumah PON tahun 2004.. telah terdapat 2 ’Pintu Rimba’ sebagai titik awal pendakian atau jalur pendakian.. akan tetapi para pendaki yang akan mendaki ke puncak gunung Dempo umumnya lebih sering melakukan XPDC-nya melalui areal perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara VII Pagaralam.
Sedangkan rute bukit timur di Jarai, Lahat.. kebanyakan dilalui pendaki tradisional mencari sarang burung atau berburu dan berladang di kaki gunung.
Pintu Rimba pertama –yang jalurnya dibuka sejak tahun 1972..– terletak pada ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut..
berada di sebelah Barat Afdeling IV.. atau lebih dikenal dengan sebutan Kampung IV.. setelah dibangunnya perumahan sederhana di sana.
Perumahan itu sendiri dibangun bertahap.. dari tahun 1994.
Sebenarnya diperuntukkan bagi karyawan.. atau lebih tepatnya pemetik teh yang telah berkeluarga.
Sedangkan pintu rimba kedua – jalurnya dibuka sejak 1996, diresmikan pada 2004.. bersamaan dengan pelaksanaan PON..–
berada di ketinggian 1800 mdpl.
Lebih dikenal dengan sebutan ’Puncak Rimau’.
Sebenarnya masih ada beberapa lagi ’jalur siluman’ yang dapat dilalui sebagai alternatif menuju puncak gunung bidadari itu.
Yups. Jika Kaka aku juluki Bidadari Gunung, maka.. Dempo aku beri julukan Gunung Bidadari.
Tidak bermaksud membandingkan atau menyaingi ’Gunung Putri’ di Jawa Barat. Hehe..
Ke gunung Dempo itu juga akhirnya aku pergi –lagi..–
Kali ini bersama 2 pasang.. eh, 4 rekanku. 2 Laki-laki dan 2 Perempuan.
Ya, kami berlima melanjutkan XPDC Bodreks, setelah 3 hari –yang pada planning seharusnya hanya 2 hari..–
ber-climbing-ria di Bukit Serelo Lahat.
Kami ’three mustiker’ bisa dikatakan yang telah berpengalaman mendaki gunung.. terutama Dempo, tentu saja.
Sementara Mpi dan Kaka –meski mereka pernah mendaki gunung semasa SMA-nya..–
sedang menjalankan ’tugas kepecinta-alaman’.. alias melengkapi persyaratan untuk menjadi anggota Mapala kampus kami.
Sebagai putra asli kelahiran Sumatera Selatan.. bagaimana bisa aku tak mencintai apapun yang menjadi bagian dari tanah kelahiran..
kampung halamanku, kan..?
So, jika aku biasanya berangkat pukul lima sore dari Palembang.. menempuh jarak sejauh lebih kurang 200 kilometer ke Tenggara menuju Pagaralam.. akan memakan waktu sekira 7 – 8 jam perjalanan darat..
Kali ini ’hanya’ memakan waktu sekira 2 – 3 jam saja dari Kota Lahat ke Pagaralam.
Terkantuk-kantuk dan bersesakan di dalam bus AKDP.
Kaca samping jendela yang buram dan kemudian malam kelam.. mengingatkan dua baris kata dalam cerpen Tempat yang Terindah untuk Mati –Seno Gumira Ajidarma, 2000..–
“Sampai di manakah suatu perjalanan berakhir? Apakah mungkin suatu perjalanan berakhir..?”
Siuman dari kantuk, ternyata bus sudah hampir tiba di ujung perjalanan. Kami mencium sengak bau terbakar.
Terbakarnya hutan hujan tropis Sumatera sebagai salahsatu kawasan vital paru-paru dunia dan habitat phantera tigris sumatrae..
sejenis harimau yang populasinya telah langka.. tak kurang mengundang lembaga Uni Eropa mendirikan Fire Forest Prevention and Control Project.. demi menanggulangi bahaya kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun.
Bus memasuki Pagaralam pada sekira pukul sepuluh malam-an.
– Sekarang kota ini telah terpisah dari wilayah administratif pemerintah kabupaten Lahat sejalan dengan berlakunya Otonomi Daerah dan menjadi Kota..–
Kota kecil yang lengang.. dilihat dari penerangan remang-remang lampu jalan.
Pukul sepuluh malam adalah jam tidur.. –tahun 1998..– dan kota mati.
Pagaralam masih tampak alami dan sederhana. Banyak lingkungan perkampungan dengan dikelilingi rumah-rumah panggung.
Saking tua umur kayunya.. performa arsitektur rumah-rumah tradisional yang berkonstruksi tingkat itu..
berwarna hitam, seolah-olah menyiratkan misteri kuno.
Dan bus berkeliling kota, mengantarkan satu per satu penumpangnya di tempat tujuan. Sungguh suatu pelayanan transportasi yang istimewa.
Setelah para penumpang turun, tinggal rombongan kami. Belum sempat ditanya sopir, seseorang berseru.. “Ke Gunung..!”
Bus melaju meninggalkan jantung bumi Besemah. Kami berhenti duakali lagi.
Di pos Satpam gerbang PTPN VII Pagaralam.. Agun sebagai ketua tim segera mengurus izin.
Seluruh kompleks BUMN itu kental dengan nuansa kolonial.
Pada dinding di kantor pusat administrasi tertera angka berdirinya bangunan, tahun 1920.
Perkebunan teh pertamakali dibuka Belanda melalui land reform dan sistem tanam paksa.
Produksi teh hitam merek Gunung Dempo.. dewasa ini mencapai 40 ton per hari.
Lalu terakhir, di depan loket wisata.. seluruh peralatan ekspedisi dan logistik diangkut turun ke bahu jalan.
Bus segera berbelok meninggalkan kami. Tengah malam itu kami singgah di housing Kampung 1.
Tuan rumahnya, kang Leman.. menyambut kami dengan suguhan teh sebagai teman mengobrol.
”Ini kang.. kenalkan, Mpi. Dan yang ini Kaka..”
Agun memperkenalkan 2 bidadari tomboy pada kang Leman dan istrinya.. setiba di ruang tamu merangkap ’kamar tamu’ rumah tersebut.
Setelah perkenalan singkat dengan Kang Leman, yang nama aslinya Sulaiman.. serta istrinya Yuk Tina..
kedua ’bidadari tomboy’.. Mpi dan Kaka dipersilakan mengaso bersama Yuk Tina di kamar.
Sementara itu kami, anggota ’three mustiker’ berkelakar riuh.. melepas rindu dengan Kang Leman..
menunggu kantuk datang bersama kepulan asap rokok dan masing-masing segelas kopi panas khas Pagaralam.
Setelah beberapa waktu asyik ngobrol dan berkelakar.. maka dinginpun datang, mulailah kantuk menyerang.
”Hoaamm..” Toton beberapakali terlepas menguap.
”Haha.. tidurlah Ton, kalo sudah ngantuk..” saran Kang Leman dalam bahasa Besemah, bahasa ibu penduduk lokal.
”Iya, kang..” jawab Toton.. tanpa sungkan merebahkan tubuh bongsornya.
Melingker ’gaya pistol’ di lantai kayu rumah kang Leman.
”Hei.. Ton, pake sleeping bag. Ambil tuh di carrier..!” Agun menepuk kaki Toton, menyarankan.
”Nggak, ah. Malas..!” Jawab Toton tanpa membuka mata.. meneruskan perjuangan untuk tidurnya.
Kang Leman ketawa, lepas
Agun menggelengkan kepala, gondok.
Aku cuma senyum.
Tak sampai belasan menit kemudian satu per satu kami dikalahkan kantuk.
Ikut rebah bersesakan di ruang tamu rumah kayunya.. lantas terkapar lelap.
Suhu 15 derajat celcius mengelus kaki-kaki telanjang kami. Dingin terasa menggetarkan.
Akhirnya terdengar orkes dengkur, gigil, igau, diiringi melodi deru angin.
Tiba-tiba ada mimpi tentang ukulele yang dipetik mengalunkan lagu tua God Bless, Huma di atas Bukit.. –Sjumandjaja, 1975..–
“Seribu rambutmu yang hitam terurai/Seribu cemara halus berderai..
Di sana kutemukan bukit yang terbuka/Sebatang sungai membelah huma yang cerah.”
--------------------
Cold Dating
: aih..
pastinya ‘ngkau lebih indah daripada pagi kapanpun
apalagi pagi berkabut ini – selalu mempesona, maksudku..–
sungguh
meninggalkanku setiap hari
lalu alihrupa sebagai senja yang juga selalu berbeda
sedangkan ‘ngkau.. yang selalu hadiri imaji
kerap mengobrak abrik logika
menyodorkan harap hingga ke mimpi
‘ngkau yang selalu riang bermain menari nyanyi
lantunkan tembang asmara pada riuh qalbu
serupa adiktif
njelmakan candu rindu tiap kedatanganmu
setiap kehadiran dan sedetik dari pergimu
ahh, bagaimana mungkin kutak merindumu
dengan tak lebih rindu pada pagi
yang sebentar lagi pergi.. ke pelukan terik siang..?
------------------
Pagi-pagi kami bangun.. menatap lanskap kota yang tersaput tipis kabut dan awan. Jauh di bawah.
Sementara di punggung bukit di kaki gunung, di tengah hamparan kebun teh.. berdiri kompleks vila peristirahatan milik pemerintah daerah setempat, yang disewakan untuk umum.
Jalan aspal hot mix sesekali dilalui truk bak terbuka mengangkut para pemetik teh.
Sebenarnya bisa saja ikut menumpang truk pengangkut pemetik teh yang searah jatah kaplingan petiknya.. menuju ke Kampung 4.
Tapi.. secara tidak tertulis, di antara kami ’three mustiker’ sepakat untuk sekalian mengisi materi ’Orienteering’.. atau biasa disingkat Ormed –orientasi medan..– dan navigasi darat.
Maka jadilah..
Setelah mandi, sarapan dan berkemas-kemas.. kami pamit pada kang Leman menuju Pintu Rimba di Kampung 4.
Sregg..! ”Hupp..! Mpi.. Ka, kalian bareng dengan kak Toton. Sekalian Ormed. Kami duluan..!”
Instruksi Agun singkat pada mereka bertiga.. sambil mengenakan carrier dengan cara mengangkat ke atas kepalanya..
dan lalu menjebloskan kedua belt penahan carrier ke bahunya.
Hehe.. pamer kemachoan, die..!
”Iya, kak..!” Mpi singkat menjawab. Penuh semangat.
”Oke..!” Satu kata saja.. seperti biasa, Kaka mengangguk ringan.
Sekilas.. bagai sayatan mata silet.. aku menangkap tatap dari Kaka.. sang bidadari gunung.
Nyess..!
Seketika saja.. hatiku seperti bara tersiram air dingin. Nikmat yang aneh.
Sekilas, memang. Indah.. sungguh. Tapi sinar mata itu, ahh.. tak mampu kutebak apa maknanya.
Apa yang tersirat..?
-----------
Aku dan Agun bersicepat menelusuri jalur trekking basah kebun teh.. di antara batang-batangnya yang menghampar menghijau.
Menerabas.. menerobosi juntaian pucuk pohon teh dengan kilau sisa embun di ujung daunnya..
dari yang setinggi pinggang hingga yang melebihi tinggi kami.
Sesekali kami berhenti.. menekuk pinggang meluruskan lutut.. seperti sikap rukuk pada shalat.
Mengatur nafas yang memburu.. menenangkan degup jantung.
Setelah menerobos jalur yang sebenarnya lebih sering digunakan oleh penduduk Kampung 4 itu..
sekitar 1.5 jam-an sampailah kami di Afdeling IV, atau Kampung 4.
Disambut gonggongan anjing-anjing kampung, kami lantas beristirahat sejenak.. mengendurkan segala yang tegang di rumah ketua RT. Hehe..
-----------
Setelah ngobrol dan izin –sebenarnya sih hanya ’ngasih tau kalo rombongan kami akan mendaki..– dengan bu RT, kami langsung menuju base camp, titik awal pendakian.. sekitar 10 – 15 menit ke arah Barat.. jalan kaki.
Lokasi berada di dekat air terjun. Hmm..
Beberapa meter mendekati lokasi base camp.. terdengar sayup teriakan-teriakan dan cekikikan riang.
Nyaring. Merdu. Menggelitik telingaku. Entah telinga Agun. Aku ga tau. Ya, itu suara merdu perempuan.
Benar saja.. di lokasi base camp pendakian tersebut terlihat 4 buah tenda dome.
Berbaris lumayan rapi.. berhadapan dua-dua tenda. Sepertinya dibuat terpisah jarak sekitar 2 meter-an.
Di depan salahsatu tenda dome itu terlihat 3 orang gadis sedang bercanda sambil memegang gelas plastik atau melamin yang mengepulkan uap.
”Hai..! Mau muncak ya, bang..!?” Tegur ramah salah seorang gadis.
”Hupp..! Eh, iya nih. Rencananya ntar malam. Nunggu temen-temen yang dari bawah datang.."
balas Agun sembari menurunkan carrier di dekat sebuah batu besar.
Aku cuma senyum sambil menganggukkan kepala 3 kali. Masing-masing sekali ke arah mereka.
Deg..! Plass..! Jantungku seketika berdenyut.. seperti ditonjok atau terbentur benda tajam.. whatever..
ketika mataku bersirobok tatap dengan salah seorang dari 3 gadis itu.
Mata itu..
Wajah itu..
Senyum itu..
Seperti pernah kubaca dan kutangkap.. sinarnya.
Seperti pernah mematri, melukisi menghiasi batinku.. parasnya.
Seperti pernah kucecap-kukecup lembut.. bibirnya..
Tapi.. ahh..!
Aku yakin.. wajahku saat itu pasti pias.. pucat.. dengan bibir yang tiba-tiba mengering dan ludah yang terasa pahit ketika diteguk.
Sangat yakin.
Terhumbalanglah hati, jiwa dan qalbuku.. serasa tercemplung dalam sebuah blackhole. Teramat palung.
Kaku terdiam.
Shit.. apa mungkin, dia..!?
Hatiku riuh melontari tanya.
Ah, ga mungkin..! Ga akan mungkin, men..!
Otakku menjawab skeptis.
Beberapa detik..
Semua yang yang ter-zoom dan langsung terekam secara otomatis di retina mataku saat itu.. benar-benar menjadikan aku seperti orang bego.
Bengong sesaat.. Hampir sama seperti kalo ga merokok sehabis makan.
Seketika.. ingatanku tercerabut keluar.. meluber.. dalam kilasan-kilasan memoar. Kenangan.. pada seseorang dari masalaluku.
Muncul tiba-tiba, bagai reflektor.. sebuah cermin dengan bayang-pantulan wajah yang pernah sangat aku kenal.. tetapi lebih dewasa.
Sedikit lebih matang.
: baiklah, tak perlu sangsi
terimakasih atas semua kenangan
– 'tuk pernah menjadi bagian prosesi hidupku –
akan terkunci di file batin
maka, jangan pula ragu
sampaikan
biar cuma – seayat lagi – biasan cinta
karena
semuanya indah di sebalik rahasia
yang kelak bukan lagi rahasia
tinggal..
yang mana mendahului
sujud
atau
berbungakah hatimu..!
----------------
”Ayo Bar.. Ntar keburu hujan, nih..!” Tepukan ringan Agun di pundak membawaku kembali menjejak bumi.
”Oh, eh.. Oke..!” Terbata aku.
Belum kulepas luncip sudut matanya sampai kutaruh carrier di dekat batu di mana tadi Agun menaruh carriernya.
Lalu berusaha bersikap sewajar mungkin yang mampu kuaktingkan.
Bersigegas membongkar isi carrier..
Sembari menunggu kedatangan Toton, Mpi dan Kaka.. aku dan Agun mendirikan tenda.
Agar tak diburu-buru rinai dan hujan menderai.
Beberapa waktu berlalu dalam kesibukan kecil..
2 dome berdiri berhadapan, berjarak sekira 5 – 6 meter dari tenda ketiga gadis tadi..
Matras telah dibentang.. peralatan dirapikan.. logistik dikeluarkan dari carrier.. isi tenda telah diatur rapi..
selanjutnya adalah.. masak..!
Tak lama berselang.. Kami telah duduk di depan tenda.. sembari menyantap makan siang untuk menghimpun tenaga.
Agun memulai aksi SKSD, dengan pura-puranya menawarkan makan siang yang tadi dia masak.
”Mari.. makan..!” Setengah teriak Agun menawarkan. Basa-basi, sih.
"Iseng-iseng berhadiah..," katanya.. setengah berbisik padaku yang sedang menyuap mie instan.
”Yo’i..!”
”Lanjut..!”
”Silakan, kak..!
Balas ketiga gadis di tenda depan.. sambil yang satu tersenyum.
Satunya menganggukkan kepala.
Dan satunya mengangkat jempol.. mempersilakan.
Kurasa.. itu juga basa-basi. Hehe..
-------------------------------
Tablo Rinai Gerimis
senja di kaki gunung
: aku ini hari
tak mencari cinta
di antara kaleng, handphone, pada cuaca
kabut serta awan gunung, rimba tiada berangin
mengisap diri
dalam mempercaya mau berpaut*
(* sekalimat cuplikan senja di pelabuhan kecil - Chairil Anwar)
-----------------
Usai dahar dan memasakkan beberapa keping ikan asin untuk tim Toton siang itu..
kami, aku dan Agun mulai mencoba mengakrabkan diri pada 3 gadis di tenda depan.
Ternyata benar ungkapan bahwa.. kesamaan tujuan mampu membuat siapapun, dari kelas sosial manapun..
jenis kelamin dan usia berapapun menjadi cepat akrab.. merasa senasib sepenanggungan. Entahlah..
Tak sampai 1 jam saja kami sudah ngobrol asyik ngalor-ngidul. Membicarakan tentang apa saja.
Dari tema A hingga Z. Lalu ke B dan H.. hingga C-D-X. Bahkan mulai menjurus ke XXX. Hehe..
Tak sampai 2 jam-an sudah.. malah telah ada yang berani main cubit. Mulanya siih.. mencubit punggung telapak kaki. Lalu mencubit lengan.
Semakin ‘merasa akrab’ dan lepas.. mulain mencubit pinggang. Kian akrab.. tercubitlah paha.. ha.. ha..!
Apalagi akhirnya ‘cuaca membantu niat’ menolong kami, terutama aku.. untuk jauh lebih dekat dan mengenal mereka.
Senja yang menggelap. Hujan datang merintik demi rintik.
Desau angin.. pelan menggumam.. ditingkahi kabut tipis yang menderai.. ‘memaksa’ kami berteduh.. masuk ke tenda mereka..!
Aha..!
-----------
Di dalam tenda.. Baru saja 3 gadis itu mengatur-atur ruang dalam berdimensi 220 X 250 X 150 cm tersebut..
hujan yang tadinya merintik mulai menggerimis.
Derap jatuhnya bergemericik kian deras di atap tenda. Mencipta lagu alami pada senja yang tak menyelesaikan tarian sinarnya.
“Woii.. Gun..! Bara...! Di mana kalian..!?” Teriakan Toton terdengar tiba di sela-sela riuh derai gerimis.. dari luar tenda.
“Eh.. aku ke sana dulu, ya..?” Agun semerta pamit. Lebih kepadaku ketimbang pada ketiga gadis itu.
Mengenakan sepatu dan memasang kupluk yang berlipat di leher jaketnya.. dia keluar tenda.
“Eh..Gun.. bilang ke mereka.. aku masih betah di sini..! Ada 3 bidadari, nih..!” Ujarku setengah canda.
Aku yakin ketiga gadis itu senang dibilang bidadari.
Perempuan mana sih, yang tidak suka disebut cantik.. manis, apalagi seperti bidadari.. ya kan..? Hehe..
Srett..! Kutarik ritsleting menutup pintu tenda. Kami berempat sekarang. Berusaha menggali persahabatan.. kehangatan pada dingin cuaca.
Bincang yang tadi sempat terputus melanjut.
O, iya.. aku tadi belum sempat mengenalkan.. siapa-siapa saja 3 gadis yang satu diantaranya begitu menarik perhatianku.
Yang mengingatkan aku pada ‘seseorang dari masalalu’.
Hehe.. kalo saja waktu itu album ‘Lain Dunia’ PADI udah release..!
Eh, jangan-jangan si Piyu terinspirasi dari situ, ya.. untuk menggubah lagu ‘Seperti Kekasihku..!?’
Errgghh..!
----------
Mereka sebenarnya berangkat XPDC ke gunung Dempo berenam. Tiga lagi anggota tim-nya ada laki-laki.. di tenda sebelah.
Gadis yang pertamakali menyapa kami setiba di base camp pendakian ini bernama Reviva Andriani.
Biasa disapa Iva. Berusia sekitar 20 tahun. Periang dan sedikit ‘berani’.. itu kesan yang pertama aku tangkap dari karakter Iva.
Gadis kedua bernama Jovinda Bethanica –dengan nama panggilan Joe..– peranakan Jawa-Tionghoa.
Usia sebaya. Lebih tua beberapa bulan saja dari Iva.
Di antara mereka bertiga.. Joe yang paling cuek dengan penampilannya.
Dalam percakapan kami.. aku mendapati, Joe sangat terbuka.. blak-blakan.
Kuharap.. semoga dia juga terbuka dalam urusan seks. Hehe..
Gadis ketiga.. Eris Meiputri –paling tenang dan dewasa di antara mereka..–
Ternyata.. di sebalik wajah yang terkesan tenang dan dewasa, ia berusia termuda di antara mereka bertiga.
Usianya baru beberapa bulan saja melewati 19 tahun.
Sementara.. di tenda sebelah, yang dikhususkan untuk para batangan.. terdiri dari tiga laki-laki sepantaran mereka juga.
Jody, yang ternyata kembaran si Joe.. yang merencanakan XPDC pendakian. Lalu kedua temannya.. Tomi dan Andre.
Semua berenam adalah anggota-anggota muda Mapatri –Mapala Universitas Tridinanti..–
Sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup ‘bonafid’ di Palembang. Baru dilantik.
XPDC tersebut merupakan tugas praktikal pertama sebagai AM –Anggota Muda–
Melakukan XPDC di gunung ‘milik sendiri’. Gunung Dempo. Sumatera Selatan.
Mereka berbeda Fakultas. Para betina dari Fakultas Ekonomi. Pejantan-pejantan dari Hukum.
Kebonafidan Unanti pada saat itu -1998- ‘terdongkrak’ karena..
putra dan putri orang nomor satu yang berkuasa di Sumsel zaman itu 'kebetulan' berkuliah di sana.
Nanti, pada saatnya.. akan sampai pada sedikit kisahku dengan putri orang nomor satu di Sumsel pada masa itu.
------------
Ternyata.. tak mudah untuk masuk.. dan lalu keluar dari kehidupan seseorang.
Ya.. mungkin ungkapan tersebut paling cocok untukku saat itu.
Bagaimana bisa..?
Begini alasannya sodara-sodara.. pembaca sekalian..
Tapi.. sebelumnya aku tanya dulu, nih.. –ga usah dijawab, kog.. hehe..–
Ada yang bilang bahwa:
"Menghapus masa lalu hanyalah semudah menghapus ribuan SMS yang tersimpan dalam sebuah telepon genggam..!"
– Sekali KLIK, lenyap-hilanglah semua –
Tetapi.. apakah rasa nyeri atau bahagia yang pernah dirasakan pada masa lalu itu juga akan lenyap-hilang..!?
Ah.. sepertinya tidak.. Ia akan mengendap dalam diam jauh di sudut otak kecil.. seringkali muncul hanya dengan satu pemicu kecil.
Cukup satu saja..!
Entah itu melalui aroma parfum..
alun nada lagu..
corak baju..
simpang jalan..
perayaan-perayaan
atau
tanpa tanda samasekali.
Hingga malam tak habis-habis dicengkeram rindu.. mensiuli rembulan hampir penuh..
Cerita luapannyapun makin berlanjut hingga embun datang.. menyerukan bening pada tiap helai daun hati.
Ah, kalau saja.. batinku terusik.
Tapi, silakan.. Pilih saja salahsatu.
Tak perlu malu..!
Siapa pun pasti pernah mengalami, kan..?
Betul nggak.. siih..!? Hayoo..! Hehe..
-------------------------------
Third POV
// aku dan (bayang)mu //
: cuma terpisah sepelupuk mata
lalu
berlalu
..terlindap cahaya
duhai
bayang
pergilah
tolong enyah
agar ku tak tergoda
tersepi, tersapih
dari riuh
---------------
Senja itu.. setelah ’berhujan-hujanan’ di jalur kebun teh.
Setelah ’dihajar’ Toton materi orienteering.. orientasi medan –Ormed..– dan navigasi darat..
dua bidadari tomboy yang jadi ’bersahabat dalam tugas’ langsung mandi dan membersihkan diri di sumber air terjun.
Berjarak sekira 50 meter-an dari base camp.. melewati kali kecil berbatu-batu besar.
Batu batu gunung.. sisa erupsi gunung Dempo yang terlontar dari perut bumi.. berabad silam.
O, ya.. di Pagaralam juga terdapat situs megalit.. yang tersebar di beberapa tempat.
Yang paling luas dan banyak.. terdapat di daerah Rimba Candi.
Ini sedikit informasi mengenai situs megalit di bumi Basemah.
Megalit.. batu besar (neologi dari bahasa Yunani: μέγας (megas) berarti besar dan λίθος (lithos) berarti batu) yang digunakan untuk membangun struktur atau monumen.
Megalit menjadi tanda utama keberadaan tradisi megalitik.. tradisi yang muncul di beberapa tempat di bumi.
Batu yang digunakan dapat berupa satu batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar maupun kecil, atau susunan batu yang diatur dalam bentuk tertentu.
Megalit seringkali dipotong atau dipahat terlebih dahulu.. dan dibuat terkait dengan ritual religius atau upacara-upacara tertentu, seperti kematian atau masa tanam.
Bentuk-bentuk megalit yang umum ditemukan di berbagai tempat adalah menhir
(tugu batu, dapat ditatah atau diukir membentuk figur tertentu), dolmen (meja batu), kubur batu dan sarkofagus (peti mati dari batu).
Dalam tradisi megalit Indonesia, berkembang bentuk-bentuk khas, seperti waruga, arca mayat dan batu kenong.
Di Eropa dibuat pula monumen megalit struktural seperti henge.
Tradisi megalit tidak hanya terkait dengan benda-benda batu besar.. tetapi juga struktur ruang..
semacam batu lingkar (batu kandang), punden berundak, kubur lorong, marae dan bukitan (seperti Hügelgraber).
Selain itu, ritual/upacara dan kepercayaan terhadap suatu kekuatan tertentu menjadi bagian tak wujud dari tradisi megalit, sehingga bersama temuan megalit sering pula terdapat benda-benda logam, kayu, maupun gerabah
(misalnya tempayan) terkait upacara dan ritual kepercayaan.
Situs megalith banyak ditemukan di Bumi Besemah, Pagaralam.
Keberadaan situs ini tentu merupakan cagar budaya yang harus dirawat untuk memperkaya budaya daerah.
Benda-benda megalith yang masih saja terus ‘digali keberadaannya’ ini.. tersebar di banyak tempat di sana.
Rasanya tak berlebihan juga jika Pagaralam disebut sebagai Kota Megalith.
Peninggalan benda bersejarah tersebut ada di semua kecamatan di Pagaralam.
Seperti Dempo Selatan, Dempo Tengah, Dempo Utara, Pagaralam Selatan dan Pagaralam Utara.
Tak pelak.. peninggalan sejarah berupa megalitik yang terdapat di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan itu.. telah resmi terdaftar di Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada tahun 2012.
---------------
Gerimis tak lagi menderai.. hanya menyisakan rerintiknya pada bumi dan gerinyai kabut tipis..
Melanjutkan tugas ke-pecinta-alam-an-nya.. Mpi dan Kaka telah sampai di lokasi air terjun.
Sementara beraklimatisasi.. mereka lantas duduk di atas batu hitam sambil menggoyang-goyangkan kaki-kaki mungilnya..
hingga menimbulkan kecipak di antara gemercik air.
Riak-riaknya segera lenyap ditelan arus air yang sangat bergemericik berbuih.
Mereka tidak lebih bagaikan kembang sepasang.. yang sedang mekar.
Setelah melepas BH yang basah dan menyimpannya di dalam kantung plastik, mereka segera bersiap melakukan ritual purba.. mandi.
Membersihkan tubuh indah.. kaki-kaki mulus yang tercoreng becekan.. cipratan tanah.. hasil penggojlokan sepagi hingga sorean tadi.
Ketika memasukkan bungkus plastik berisi BH-nya, terbenturlah ujung mata Kaka pada sembulan Hape.
Muncul dari bodybag yang dia bawa.
Ia buka plastik yang membungkus hape. Menghidupkannya. Dan muncullah.. pesan itu. Pesan rindu dari yang jauh di sana.
Kaka menyimak pesan singkat yang tertera pada layar handphone.
Ia mengerenyitkan kening sedikit memanyunkan bibir.. lalu tersenyum, tipis.
Meluncurlah ’suara mahalnya’ tanpa ia sadari.. lirih membaca kata demi kata di layar hapenya.
: Just Dream
dengan seutas mimpi aku gapai kamu
biarlah
mungkin
karena dengan mimpi
kamu bisa punguti rinduku.
semoga..
Bidadari itu tersenyum makin lebar.. memamerkan giginya yang berderet putih bagai mutiara.
"Hihi.. romantis euy..! Indah banget syairnya, Ka..!"
Mpi berkomentar dari belakangnya.. ketika tak sengaja ikutan 'terbaca' pesan di hape Rieka. –awalan 'ter' menyatakan ketidaksengajaan..–
Gelagapan.. Kaka. Terkejut komentar Mpi yang tiba-tiba. "Oh, eh.. itu ..” ujar terbata.
Kaka langsung mematikan hape. Menyimpannya ke bodybag setelah ia bungkus rapat dengan plastik.
"Udah kamu balas..?" Mpi seperti menggoda.
"Ngg.. Belum. Low batt.." Rieka terpatah menjawab. Singkat. Padat. Seperti biasa.
Hehe.. sedikit informasi.. bahwa pada zaman itu -1998..- baru segelintir orang yang punya HaPe.
Yang paling populer pada masa itu adalah Ericsson R2250s Pro. Terutama di kalangan pegiat alam bebas.
Hape ini terkenal kuat.. dengan besarnya kapasitas baterai yang mencapai 1200 mAh.
"Eh, masih lancar kontak-kontakan dengan yang di Yogya, kan..?” Mpi kembali iseng bertanya.
"Ah.. biarin dulu deh, Mpi. Aku masih sakit hati.." Rieka menukas. Tegas. Tapi lirih, seperti biasa.
"Hm.. ga takut burung gagak berpaling pada daging lain yang lebih empuk dan lezat, Ka..?
Hihihi.. jangan jadi tinggi hati, Ka. Ada pepatah mengatakan.. bahwa perempuan itu seperti berdiri di antara dua bibir sumur.
Jika dia bertahan, tak mau menundukkan wajah.. dia tak bakal melihat air.
Tapi.. kalau dia terus-menerus menundukkan wajah.. dia bisa terjerumus ke dalam sumur itu.
Nah, maksudku.. jadilah cewek yang bijaksana. Jangan tinggi hati, tapi juga jangan terlalu merendah di depan laki-laki..!"
Mpi menjulurkan kaki ke sebatas permukaan air.. lalu perlahan turun ke aliran kali yang terbentuk dari terjangan air terjun itu.
Pelan Ia menceburkan tubuhnya yang kini berbalut kaos berwarna terang.. sampai sebatas bongkah dadanya yang mungil.
Beberapa saat ia berendam dalam air sambil memandang ’sahabatnya’ yang tengah duduk termangu pada ceperan batu gunung di tepi kali.
Gemericik air, kecipak tangan dan kaki meningkahi deru air terjun.
Sesekali biasan miopi tercipta dari sisa cahaya matahari senja.. meluncur dari sela-sela dedaunan.
Kaka ’terhening’ dalam langut lamunnya.
Masih terpekur seperti lara.. menggantung dagu.. bertelekan punggung telapak tangan.
Diam tengah menyapanya.
Betapa Indah. Mempesona. Bagai manekin pada etelase butik mode.. Ahh.. bukan.
Ia saat itu lebih menyerupai patung dewi.. Ya.. Venus yang terdampar di tepian kali berair bening. Hehe..
Jika saja saat itu kamera DLSR sudah kumiliki.. Akan aku abadikan momen dengan pose indah Kaka itu. Sungguh deh..
”Sudahlah. Mandi yook..! Bentar lagi gelap nih..!” Mpi menggugah lamun Kaka. Menarik tangannya untuk bergabung dengannya.
Maka menceburlah tubuh indah berbalut kaus tipis dan celana dalam tipis itu.. menyusul sahabatnya.
Seketika angin sejuk.. buncahan dingin air menyapa permukaan kulit mereka hingga merinding.
Keduanya mengangkat bahu sambil menggosok-gosokkan tangannya pada tubuh yang padat berisi.
”Hmm.. Dadamu kecil ya..?” Kaka terlepas
Mpi tersenyum sembari memandang bagian atas baju Kaka. Pada dadanya yang menggembung montok.
”Ah, jangan ngintip dong. Kan malu..”
Kaka buru-buru mengangkat tepian atas kaosnya, pada lingkaran leher.. merapikan..
agar pentil yang ’sedikit tercetak’ pada kaosnya lenyap dari pandang Mpi.
”Jangan, bandingin sama punyaku, ya..” tetapi Kaka malah membusungkan dadanya. Menggoda.
Mpi cemberut mengaku kalah. Diantara mereka berdua, jelas memang payudara milik Kaka lebih besar.
”Biarin.. biar kecil.. tapi banyak yang suka..” kilah Mpi itu penuh percaya diri.
Sebagai balasan, dengan jahil Mpi meremas dada Kaka yang membusung di depannya.
”Hei..! Apa-apaan sih..? Kan sakit..!?” Kaka terpekik kaget sambil berusaha menarik kembali buah dadanya.
Namun Mpi tidak mau kalah, ia terus meremas-remasnya gemas.. bahkan kini sambil mengangkat-tarik-naik kaos Kaka..
Membuat gundukan payudara Kaka yang langsat dan kencang jadi terpampang jelas.. terlihat begitu montok dan sekal.
Kaka hendak membalas.. tapi dengan gesit Mpi menghindar.
Kaka melotot, sementara Mpi hanya mencibirkan bibirnya.. tanda sudah menang.
Pada senja yang dingin itu, terdengarlah suara tawa canda mereka berdua..
seperti menandingi deru-riuh terjunan air.. memecah ’keheningan’.
”Mandi telanjang yuk..?” Ajak Mpi sambil melepas kaos.. lalu melorotkan celana dalam tipisnya.
Ia lempar baju kaos dan celana dalamnya ke tepi kali.. ke arah batu dekat kumpulan baju ganti.
Selanjutnya.. dengan tubuh telanjang, ia kembali masuk ke dalam air. Menemui dinginnya.
Kaka dengan agak ragu mengikuti. Namun.. dengan perlahan ia lepaskan juga kaos tipisnya..
setelah sebelumnya ia memperhatikan keadaan sekeliling. Seperti khawatir jika nanti ada yang memperhatikan.. menyaksikan ketelanjangannya.
Wajah oval.. cantik.. rambut indah sepinggang.. tubuh yang halus dan mulus..
Lengkung pinggang bak cello.. dengan perut yang rata.. serta.. dua bongkahan daging di dadanya yang meski tidak cukup besar..
namun terlihat sangat kencang dan sekal.
Semuanya membuat Kaka jadi begitu sempurna. Kecuali satu; ke-tomboy-annya. Haha..
Sebentar kemudian gadis itupun menghela nafas.. menenangkan diri.
”Hhhh...” sambil pura-pura tersenyum, ia mendekati Mpi yang tengah berbasah di kali.
”Napa, Ka..?” Tanya Mpi dengan sebelah tangan menyilang di depan dada..
seperti melindungi gundukan payudara kecilnya yang terpantul-pantul indah di dalam air.
”Nggak. Ga ada apa-apa.. kok..” Kaka mengibaskan rambutnya yang panjang terurai.
”Eh.. aku yakin, meski punyaku tidak sebesar punyamu, ’kakakku’ tetap suka kok..”
bisik Mpi sambil membusungkan dadanya ke depan, sedangkan kedua tangannya terentang ke atas.
”Iihh, Mpii.. apaan sih..!? Ntar diliat orang..!”
Pekik Kaka begitu melihat tonjolan buah dada Mpi yang seolah-olah sedang mengeksposnya keluar dari dalam air.
Mpi melangkah.. tersenyum sembari melingkarkan tangannya ke pinggang Kaka. Memeluknya.
”Ka.. bantuin aku dong, biar dadaku tidak kecil lagi.. please..”
Dengan muka bersemu merah, Kaka tidak menjawab.
Ia hanya tersenyum malu ketika Mpi mulai meremas-remas tonjolan buah dadanya.
”Ahh..!”
Gadis itu meringis, terutama saat salahsatu tangan Mpi juga mulai merayap ke bawah untuk mengusap-usap kulit pahanya yang putih mulus.
”..Ahh.. jangan.. Mpi..!!” Kaka menggeliat.. berusaha merapatkan kedua pahanya.
”Santai aja.. Ka. Nikmati saja ya..” bisik Mpi dengan tubuh semakin merapat.
Kaka yang pada awalannya kikuk.. akhirnya mulai berani merenggangkan pahanya.. sedikit.
Melihat hal itu.. Mpi tersenyum, kemudian kembali tangannya mengelus-ngelus bagian dalam paha gadis cantik itu.
Perbuatan Mpi pada tubuhnya.. dengan cepat membuat nafas Kaka jadi sedikit sesak. Nafasnya kian memburu.
Bahkan ia tersentak.. ketika tangan Mpi menyusup semakin dalam ke celah selangkangannya.
”Mpii.. mmhm.. hmmp..!” Sambil tetap berpelukan, pelan Mpi mulai memagut dan mengulum lembut bibir tipis Kaka.
Bidadari itu jadi tidak bisa menolak..
Kaka hanya bisa menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan untuk menghindari mulut Mpi yang semakin lama semakin kuat mengisap bibirnya.
Ia juga berusaha untuk sedikit memberontak saat sudah merasa kehabisan nafas..
namun tangan Mpi yang membelit kuat pinggangnya.. membuat usahanya tersebut jadi sia-sia belaka.
Yang ada.. malah Mpi telah menyumpal bibirnya semakin kuat.
”S-sudah, haah! Uffh... ampun..!” sengal Kaka kehabisan nafas.
Namun Mpi terus memegangi kedua pipinya untuk menyumpal bibir tipis Kaka.
”Emmhh Mhff..!?” Kembali ia menjadi bulan-bulanan Mpi.. sang bidadari tomboy cantik itu.
Dengan rakus Mpi terus mengulum dan melumat bibir Kaka..
sambil tangannya tak henti merayap dan mengelus-ngelus bongkahan buah dadanya yang membusung..
terhiasi puting susu kecokelatan yang kini telah pula sedikit mengeras.
”Ahh..!” Kaka menelan ludah.. ketika merasakan jari telunjuk Mpi melingkari puting susunya.
Seketika rasa geli yang aneh.. membuatnya menggeliat resah sambil meringis-ringis.
Ia berusaha merendahkan suara.. agar jeritannya tidak terdengar terlalu keras ketika Mpi mulai mengisap-isap kuat puncak payudaranya.
Dan bukan sekedar mengisap..
karena sambil mencucup, Mpi juga menggerak-gerakkan lidahnya untuk menggelitiki puting susu Kaka.
”Sudah.. Mpiii..!” Kaka memanggil nama gadis tomboy itu sambil mendekap kepalanya yang terus asyik menyusu di puncak payudaranya.
”Auwhh..!” Ia tersentak kaget saat tiba-tiba Mpi berlutut di hadapannya.. dan mulai mengecup-ngecup bibir vaginanya dengan penuh nafsu.
”Auh.. Jangann.. Mpii..!” Rintih Kaka dengan nafas semakin tersendat-sendat.
Di bawah, Mpi ternyata tidak cuma mencium.
Sekarang gadis itu menusuk-nusuk belahan mungil milik Kaka dengan menggunakan jari telunjuknya.
Akibatnya.. lendir-lendir nakal semakin banyak keluar membanjiri belahan selangkangan bidadari itu.
”Ughh..!” Kedua lutut Kaka serasa tergoyah.. ketika jemari tangan Mpi menekan pinggiran bibir vaginanya agar sedikit merekah..
Sementara itu.. jilatan lidah gadis itu dengan kasar terus menggelitik klitorisnya. Sesekali Mpi juga mengemutnya kuat-kuat.
”Mpii..! Udahh.. Sshhh.. ahh..!” Kaka langsung menjerit penuh nikmat dibuatnya..
Tangannya menggapai-gapai.. berusaha mencari pegangan saat denyutan-denyutan aneh menerpa bagian tubuhnya yang sangat sensitif.
Tanpa bisa ia cegah, akhirnya.. ”Hah.. hhh.. auw..! Auwhh..!” Ia mengejang-ngejang.. mengejat-kejat..
dengan tangan berpegangan erat pada bahu mulus Mpi yang masih asyik jongkok di depan bibir kemaluannya..
mengisap setiap cairan bening miliknya yang menghambur keluar dari lepitan nikmatnya.
Kaka terhumbalang dalam nikmat aneh yang mencungkupinya. Dari sesama perempuan..!
”Enak kan, Ka..?” tanya Mpi sambil menyeka cairan bening milik Kaka yang tercecer di sudut mulutnya.
Tanpa menunggu jawab. Gadis tomboy itu berdiri dan kembali merayapi buah dada Kaka dari arah belakang..
Sesekali tangannya menjepit dan memilin-milin puting payudara Kaka yang mungil..
sambil tak lupa menggenggam dan meremas-remas bulatannya yang indah menggoda.
”Aku tahu apa yang kamu pikirkan..!’ bisik Mpi sambil terus mengelus-elus ujung puting susu Kaka.
”Ngghh.. Apa..?”
”Kamu sudah tidak perawan lagi..!?”
Jderr..! Seketika Kaka terdiam. Tidak tau harus berkata.
Ia hanya bisa menangis dalam pelukan Mpi. Entah sesal.. entah malu.. menggumpal. Entahlah.
Keduanya beranjak ke tepian kali itu, dengan tubuh masih sama-sama telanjang..
Dengan malu-malu dan wajah memerah.. meskipun dingin air kali mencubiti kulit mulusnya..
Tersendat-sendat.. Kaka menceritakan semuanya.
Sementara.. Mpi berusaha mendengarkan dengan tatapan mata Mupeng.
Terlalu excited.. mendebarkan. Begitu menggairahkan. Cerita yang ia dengar tersendat dari mulut Kaka itu.
Sama sekali tidak menyangka kalau ’sahabat seperjuangannya’ ini telah bercinta dengan penuh gairah..
ketika terjebak situasi gawat darurat di tebing bukit Serelo.
”Itulah sebabnya Mpi.. kenapa aku belum membalas SMS kak Aswin tadi. Aku jadi ragu, Mpi. Ragu pada hatiku sendiri..” Rieka tertunduk.
“Hmm.. terus.. mo kamu lepas, gitu..!?” Bisik Mpi sembari mengajak Kaka keluar dari dingin air kali.
”Heh.. belum tau, deh. Liat aja nanti..” Desah Kaka berat. Seperti terbeban.
Beberapa jenak.. keduanya lantas menghening dalam kesibukan kecil.
Bersalin pakaian ganti. Berkemas.
Setelah merasa ’lengkap’ keduanya melangkah pelan di antara bebatuan kali bening.
Meninggalkan sisa kenangan yang tercipta di kali kecil dekat air terjun itu.
Meninggalkan gemericik dan deru terjunan air.
Dalam diam yang memeluk.
Senja pulang ke peraduan malam.
Menjeda kelam untuk bertahta.. setelah terang usai menunaikan tugasnya hari itu.
-------------------------------