Bab I. Pilot
Chapter 1. Nasib Buruk
Matahari bersinar indah menunjukan kemegahannya, gunung berseri menampakan keangkuhannya, perpaduan hijau dan biru tengah menguasai alam semesta.
Tiba2, pasukan awan gelap berbaris dengan gagah berani menghampiri langit. Mendung akan berperang dengan langit. Tabuan genderang guntur bersahutan tanpa henti. Para penghuni buana bergegas kembali ke kandangnya, menantikan tetesan hujan, dampak kekalahan awan gelap itu.
Tapi tidak di sebuah kampung. Sebuah kampung yang dikelilingi pegunungan di sisi utara, timur dan selatannya, dibuai lautan di sebelah barat, tempat para penduduknya menggantungkan nasibnya, untuk mendapatkan slevian untuk membeli segala kebutuhan di ibukota serta makan pokok mereka. Ya makanan pokok mereka adalah ikan.
Kampung itu bernama kampung "Nanjao D'mato" Dengan berjumlah penduduk hanya 517 orang saja, namun mereka termasuk dalam suku terbesar di negara itu. Ya, suku Hanxsar, merupakan suku dengan persentase 64,25 persen dari total penduduk. Berbola mata biru laut, berhidung mancung, berbibir sedikit teba
Siang itu, sebagian penduduk kampung itu, terutama para pengejar gosip, berkumpul di salah satu rumah pahlawan kampung. Ada sebuah berita heboh setelah sekian lama, berita heboh terakhir dimana para pemberontak berhasil distrik pis'au.
Terlihat seorang perempuan dengan pakaian lusuh, auratnya mengintip dibalik pakaiannya yang rusak. Kecantikan perempuan itu tak pudar meski penampilannya ternodai debu dan kotoran tanah dari halaman rumah itu. Namun, raut kesedihan dan keputusasaan terbesit seiring airmata tak terbendungkan.
Seorang pria berumur 30 tahunan, menunjukkan kekuasaannya dibelakang perempuan tersebut. Tampak raut emosi dari pria tersebut. Pria tersebut bernama K'kuasaan S'mena, sang kepala kampung tersebut.
"Maafkan K'mana, ayah. Maafkan K'mana" tangis sang perempuan, ketika bersimpuh di kaki lelaki tua dengan kharisma luar biasa yang sedang menahan emosi. Ya lelaki tua itu adalah K'stria, K'stria T'ak B'guna. Seorang pahlawan kampung yang sangat dihormati kampung tersebut. Dibelakangnya perempuan 40 tahunan, sang istri, K'stiaan M'nanti. Ibunda menangis dipeluk sang adik bungsu dari K'mana, yang akan mengijakkan usia dewasa.
Adalah suatu aib di kampung itu, kampung "Nanjao D'mato" apabila seorang perempuan diceraikan suaminya. Itu merupakan simbol ke tidak mampuan seorang istri untuk suaminya. Celakanya alasan perceraian tersebut adalah ketidakmampuan istri memberikan keturunan. Parahnya sang suami berasal dari golongan hanxhar notabene golongan terbesar, penguasa hampir 65 persen negeri ini. Golongan paling berpengaruh di negara "M'na Brungmu"
Pupuslah harapan K'stria untuk menduduki jabatan sebagai panitera kampung, untuk memberikan angin perubahan bagi kampungnya, untuk menindas ketidakadilan yang terjadi selama ini di kampungnya.
"Putrimu, sungguh tak berguna, 6 bulan aku menikahinya dan dia tak menunjukan memberikan keturunan bagiku" ucap si kepala kampung dengan lantang.
"tak sudi aku memelihara binatang tak berguna ini" perginya melewati kerumunan penduduk kampung ini.
K'satria tampak terpukul, ia menggenggam tongkatnya dengan keras dan berkata kepada K'mana
"kumpulkan barang2 mu dan bawalah pergi, sebab mulai hari ini, aku tidak mempunyai anak bernama K'mana Ku'cari" Duarrrrr, suara halilintar selesai perkataan sang ayah seperti suara ketukan hakim setelah membacakan vonis, sedetik kemudian hujan lebat pun membubarkan para penduduk yang berkumpul.
Tlah tercampur air hujan dengan air mata, tak bisa dibedakan lagi lebat air matanya dengan air hujan. Perlahan, terhuyun dilangkahkan kaki untuk melaksanakan perintah ayahnya untuk terakhir kali.
Tak terlihat K'satria di ruang tamu, ibunda segera menghampirinya dan menyelimuti dirinya dengan wajah yang sedu. Dipeluknya dengan segala kasih, dilimpahkan segala duka dan haru dalam pelukan kepada putri sulungnya itu. Memang kasih ibu sepanjang masa.
"Pergilah ke ibukota, carilah seseorang dari suku bilawa bernama R0345. Katakan bahwa kau adalah anak dari K'stiaan M'nanti, cucu dari P'natian T'npaakhir. Katakan jasamu tak mungkin keluarga kami balas" bisik ibunda kepada ananda dalam keadaan terisak.
Kamar itu menjadi saksi kasih kakak beradik yang akan berpisah. Adik, dengan menahan tangisnya, membantu kakaknya mengemas kebutuhan sandang untuk waktu yang tidak dapat ia perkirakan.
Kakak memilah-milah apakah barang tersebut harus dibawa ataukah diberikan kepada adik tercinta.
"kakak ini tabunganku, mungkin berguna untuk kakak" ujar adik memberikan 500.000 slevian kepadanya
"Jangan adinda, uang ini kan engkau simpan untuk merantau di Ibukota nanti" kata K'mana menolaknya
"Tidak kakakku, engkau lebih membutuhkan dari padaku, aku tahu engkau tak menyimpan sepeserpun" bantah K'mari.
K'Mari K'tunggu nama sang adik yang kecantikannya tidak kalah dengan sang kakak. K'Mana menyadari apa yang dikatakan itu benar. Selama 6 bulan pernikahannya, tak pernah sekalipun memberikan nafkah fisik kepadanya. Oleh karenanya, ia tidak berani menolaknya lagi.
"dan ini... " K'mari meletakan sebuah benda berbentuk segi empat berukuran 1,5 cm x 1,5 cm berwarna hitam di telapak tangan K'mana.
" apa ini? " " ini benda ciptaanku, benda ini dapat menghubungkan gelombang pikiran kita, cukup kakak letakan benda ini ke kening, pikirkankan aku dan sebut namaku, maka aku akan menyambungkan dengan alat yang sama padaku ini. " jawabnya sambil memperlihatkan benda yang sama di tangannya
" Bawalah selalu kak, engkau akan mendengarkan suaraku bila aku hendak bicara denganmu. Cara ini kita tetap berhubungan, bagaimanapun kakak adalah pengayomku, pelindungku. Dengan ini, aku bisa mengobati kerinduanku dengan kakak" air matanya mengalir tak terbendung, selesai ia mengatakan demikian.
K'mari memang ahli masalah teknologi, ia diberkati oleh takdir dengan kemampuannya ini. Masih teringat pertama kali ia membuat golok dengan teknologi laser, sehingga dapat membela besi sekeras apappun, di usia 3 tahun. Dengan senjata ini, para pahlawan, yang dipimpin K'satria, mampu mengusir pemberontak yang akan menyerang kampung 'Nanjao D' mato'.
Lalu, ia membuat pendorong kapal perang kami diumur 4 tahun, sehingga ibukota terselamatkan berkat kapal perang kami dari gempuran aliansi negara asing. Pelukan dan tangisan perpisahan kakak-beradik mengundang langit menangis malam itu.
Malam itu, si resmikan oleh mereka berdua menjadi malam penuh kesedihan. K'mana dengan langkah yang berat hendak melangkahkan kaki keluar dari rumah yang penuh kenangan itu.
Di ruang tamu, duduk seorang perempuan dengan mata sembab, tampak sedikit raut penuaan diwajahnya. Namun, tak menghilangkan kecantikan yang ia turunkan ke dua anaknya. Mata bulat yang berwarna Hijau laut, hidung mancung, dan bibir tebal menambah eksotisme Bukan wajah khas perempuan dari suhu asli hanxhar.
"Hari sudah gelap, nak. Tidurlah disini dahulu, besok barulah kau memulai pengembaraanmu." ujar sang ibu sambil memeluk putri yang bernasib tak beruntung.
"Tapi bunda... Bagaimana dengan.... " belum selesai K'mana berkata sang ibu berkata" biar ibu yang berbicara dengan ayahmu, tidurlah siapkan dirimu, menghadapi ketidakpastian nasibmu.
" K'mana hanya mengangguk menerima saran ibunya tercinta. K'mana tidak bisa tidur, memikirkan nasibnya belakangan ini. Mimpi indah seakan menjauh darinya, hanya mimpi buruk dan nasib buruk yang setia menemaninya. Keberuntungan seolah tak berteman lagi dengan dirinya.
"Kakak sudah tidur? " ujar K'mari, adiknya, mengetuk pintu kamar K'mana.
" ada apa adinda? " tanya sang kakak.
K'mari melangkah masuk langsung memeluk kakaknya, langsung merebahkan kepalanya didada kakaknya. Memang tingginya hanya setinggi dagu kakaknya.
" Malam ini, aku tidur dengan kakak. "
Bersambung