Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Sketsa

Selamat siang,
terima kasih buat yang sudah rela nungguin kelanjutan cerita ini, walaupun updatenya cuma seminggu sekali.
terima kasih jg buat yg bilang ceritanya bosenin, muter² kelamaan. bahwa saya cm sekedar share cerita mungkin memang ga sebagus cerita yang lain disini, berharap memberi variasi, syukur² kalau ada yg suka.
semoga semua nya sehat² selalu.. :Peace:
cuekin aja yg suka nyinyir suhu...
tetep semangatt... :semangat: :semangat:
 
saya mewakili konco-konco mesum, justru sangat berterima kasih atas kehadiran suhu @Gentile dan suhu-suhu lainnya di forum ini, dimana para suhu bisa menyisihkan waktu untuk membagikan suguhan cerita-cerita menarik untuk kami baca di waktu luang, baik itu mini-updet ataupun mega-updet, sangat berarti bagi kami semua, sekali lagi terima kasih dan semoga suhu dalam keadaan sehat dan berbahagia :ampun::ampun::ampun:
setuju bangett Wak...
 
CHAPTER.21
HONEYMOON SUITE


“Saatnya buka botol anggurnya, Mir.” Aku ga tahu apakah alkohol adalah penyelamat yang tepat dari situasi canggung ini, tapi Mira ikut melompat bangkit dan mengambil alih botol anggur dari tanganku, mencari sesuatu di meja minibar dan berhasil menemukan pembuka botol berulir yang segera tertancap ke tutup botol. Di meja juga ada beberapa gelas dan Mira menuangkan anggur untuk kami berdua, menyerahkan satu gelas padaku lalu mengangkat gelasnya sendiri dan menempelkan ke gelasku.

"Bersulang untuk hari bahagia di keluarga kita, dan juga seminggu buat kita sebagai pasangan," katanya, matanya berbinar saat berbicara.

"Hebat. Kapan malam pertama kita?"

"Hati-hati dengan ucapanmu, bisa saja itu malam ini" Dia meneguk anggurnya, bilang, "Anggur bagus," lalu bilang, "Sekarang aku mau coba bathtub itu."

Aku duduk lagi di tempat tidur, melepas dasi dan ikat pinggangku. Aku memandangi saat dia melewati pintu masuk ke kamar mandi dan mulai membuka keran air di bathtub. Dia keluar lagi dan duduk di sampingku, meneggok dari bahunya dan bilang, "Bantu buka ritsletingku, Yo?"

Untuk kedua kalinya hari itu aku membuka ritsleting gaun seorang wanita cantik.

Mira bangkit, melepas gaunnya dan dengan hati-hati menggantungnya di lemari, berdiri cuek di depanku hanya memakai push up bra, garter belt, dan stocking krem. Celana dalamnya yang kecil berpotongan rendah di bagian depan, di bagian pantat juga tinggi tidak mampu menutupi kedua bongkah pantatnya, bahkan bahannya yang berenda menunjukkan semua bagian yang seharusnya tertutup kain.

"Kelihatan jelas?" dia bertanya.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Jelas dan juga sangat indah," aku menjawab.

"Dasar babi mesum."

"Aku duduk di sini masih berpakaian lengkap. Kamu yang pamer stoking dan celana dalam, kenapa jadi aku yang mesum?"

"Tapi mereka bagus, kan?" katanya, meletakkan tangannya di perutnya dan menatap dirinya sendiri. "Bikin aku merasa seksi."

"Bikin kamu kelihatan seksi juga," kataku.

“Wah, terima kasih, Tuan," dia membungkuk, mengedipkan matanya yang indah.

Wow, pikirku, sadar dan mengerti suasana hati Mira yang seperti ini, berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya, berpikir apa lagi yang akan dia lepaskan, tapi aku kecewa karena dia berbalik dan berjalan masuk ke kamar mandi. Lalu dia memanggil lagi, "Tambahin anggurku lagi, Yo, dan bawa kesini, ok?"

"Oke," sahutku.

Aku turun dari tempat tidur dan mengisi gelasnya juga gelasku, lalu membawanya masuk ke kamar mandi tepat saat Mira meluncur masuk ke bathtub besar. Dia sudah menuangkan garam mandi dan lotion sebanyak yang bisa dia temukan dan air wangi berbusa menutupi tubuhnya dari pandangan. Dia tenggelam sampai cuma wajahnya yang terlihat di atas air.

"Penyelamat hidup," katanya, duduk lebih tegak dan meraih anggur dari tanganku. Dia menelan satu tegukan besar dan menghela nafas.

"Gimana?" Aku bertanya.

"Anggur atau bathtubnya?"

"Dua-duanya."

"Anggurnya oke. Ga buruk. Bathtub nya luar biasa!" Dia menelan seteguk besar berikutnya, meletakkan gelasnya di bagian samping bathtub dan menarik tangannya yang lain sambil memegang spons besar dan meremasnya membuat air mengalir di lehernya dan melintas turun ke bagian atas payudaranya.

"Kamu mau masuk dan bergabung di sini?" Dia bilang.

"Di sana?"

"Ya, di sini."

"Kamu yakin?"

"Aku ga akan nanya kalau aku ga yakin, udah buruan."

"Apa itu ide yang bagus?" Aku bertanya.

"Emang kenapa, apa kamu mau ngelakuin sesuatu yang ga pantas?"

"Selain mandi dengan sepupu?"

"Ya, selain itu."

"Ga ada sih," kataku.

"Sayang sekali," Mira menyeringai. "Tapi kamu masih boleh gabung kalau mau."

Aku ga perlu mikir terlalu lama. Aku meletakkan gelasku di ujung bak mandi, lalu balik ke kamar tidur dan melepas pakaianku. Penisku ga terlalu keras, mungkin masih bahagia dan puas setelah bercinta dengan ibuku. Saat aku balik, Mira duduk untuk memberiku ruang di bathtub. Aku melangkah masuk dari ujung lain bak mandi, air panas menyentuh kakiku, lalu aku meluncur turun hingga air dan busa mencapai dadaku.

Sekarang aku sedang berbaring, dan ga yakin ke mana harus mengarahkan kakiku. Aku bisa merasakan kaki Mira menyentuh pahaku saat dia juga mencari tempat untuk meletakkan kakinya. kami saling memandang dan tiba-tiba tertawa.

"Sepertinya ini ide yang bagus tadi," kataku.

"Rasanya ini masih ide yang bagus," kata Mira.

"Hei, hati-hati," aku memperingatkannya saat jari kakinya menyentuh bola testisku.

"Oh, wow, ada mainan bak mandi," katanya, masih menyeringai, dan membiarkan kakinya tetap disitu sejenak. Lalu dia duduk tegak, berputar dan menyodorkan punggungnya yang mulus dan ramping padaku.

"Bisa bantu basuh pungungku, Yo?" katanya, menoleh ke belakang.

Aku mengambil spons yang mengapung di bak, mengoleskan sabun dan mulai membasuhkan ke kulitnya, meratakannya, bergerak kebawah ke arah pinggangnya lalu kembali ke atas.

Setelah beberapa saat, Mira mulai bergerak mundur dan aku membuka kakiku untuk membiarkannya duduk di antara pahaku. Tak lama kemudian dia sudah menempel rapat padaku dan aku hampir ga punya ruang untuk mengerakkan spons di punggungnya.

"Angkat aku sedikit, Yo," katanya.

Aku mendorong kedua kakiku lurus kedepan, masih setengah berbaring di bathtub lalu aku memegang pinggangnya dan menariknya ke belakang. Dia meluncur di atas pahaku, punggungnya yang basah dan licin mengesek sepanjang penisku, yang sekarang sudah sangat keras. Dia terus mundur sampai kepalanya bersandar di pundakku, rambutnya yang panjang dan basah menetes ke leherku. Dia menggeliat, mengangkat pantatnya sedikit, dan menempatkan penisku yang kaku sekarang berbaring datar terselip di antara kedua pantatnya. Sekarang tubuhku setengah berbaring tertindih oleh tubuh Mira, menjepit penisku diantara kami, sedikit mengeliat mencoba membebaskan diri.

"Mm, sambutan yang ramah," katanya.

"Sangat ramah."

"Tapi aku ga bisa membasuh punggungmu kalau seperti ini, Mir."

"Kurasa memang ga bisa."

"Terus kamu maunya gimana?"

"Aku ada ide ... Yo?"

"Ide apa, Mir?"

"Aku merasa sangat terangsang."

"Mm-hmm?"

"Apa kamu mau ngelakuin sesuatu untuk bantu aku soal itu?"

"Aku?"

"Ya kamu."

"Tapi aku kan cowok."

"Aku tahu. Aneh, kan? Tapi kamu Yohan. Kamu saudara sekaligus sahabatku. Buat apa punya sahabat kalau mereka ga bisa saling bantu sesekali?"

"Aku mau bantu. Tapi apa kamu yakin, Mir?"

Kepalanya mengangguk ke leherku, "Yakin banget."

"Apa yang kamu mau?" Aku bertanya.

"Aku mau kamu bikin aku orgasme, Yo."

"Caranya...?"

Dia bergerak dengan lembut ke belakang, penisku tergesek celah pantatnya tiap kali dia bergerak.

"Terserah kamu," bisiknya.

Aku memindahkan tanganku dari pinggangnya, menyelipkannya ke depan keperutnya, kulitnya licin dan halus, menggesernya ke bawah sampai jari-jariku hampir menyentuh vaginanya.

"Seperti ini?" Kataku pelan.

"Mm-hm," gumamnya.

"Dan ini?" Aku bilang, menyelipkan tanganku makin kebawah, menyentuh klitorisnya yang menonjol. Aku memutar-mutar jari-jariku disana dan merasakan Mira mendorong kepalanya ke dadaku.

"Mm-hm," gumamnya lagi.

"Kalau ini?" Aku menyelipkan tangan ke bawah di antara kedua kakinya, menemukan celah tertutup di antara labia-nya dan menyapukan jari, menekan sampai dia membuka, membiarkan jariku ke dalam.

"Mmm," katanya.

Dia mengangkat dirinya mundur ke arahku, meluncur lalu duduk di atas perutku. Penisku bergeser menuruni celah pantatnya sebelum terbebas dari himpitan punggungnya dan muncul diantara kedua paha Mira. Aku merasakan jari-jari Mira mengenggamnya. Dia mengusapku dengan lembut, dua kali, lalu menarik penisku dan menempatkan kepala penisku didepan vaginanya.

"Kalau ini?" dia berbisik menirukan pertanyaanku sebelumnya. "Apa kamu mau yang ini, Yo?"

Aku mencium lehernya. "Aku mau yang ini, Mir. Tapi itu bukan ide yang bagus."

Aku bisa merasakan kepala penisku bersandar di vaginanya, membelahnya sedikit tapi belum sampai masuk.

"Aku ga keberatan," katanya.

"Tapi..."

"Kamu bisa menyetubuhiku, Yo."

"Itu akan mengubah banyak hal," kataku. "Aku ga mau itu terjadi."

"Apa menurutmu begitu?" dia bilang. Dia mengangkat tangannya dan membelai payudaranya. Aku bisa melihat mereka dari balik bahu Mira, tepat di depanku, putingnya lebih panjang dan lebih keras dibanding yang pernah kulihat.

"Aku ga mau ambil risiko itu, Mir," kataku.

Aku merasakan dia mengangguk. "Kamu pria yang baik, Yohan Wahyudi." Dan dia mengangkat pinggulnya dan penisku terlepas dari bibir vaginanya. Dia bergerak ke bawah lagi sampai tenggelam, penisku terjebak lagi di celah pantatnya. Dia bergerak lagi, dengan sengaja, menempatkan kemaluanku, sekarang bersandar pada lubang anusnya.

"Kalau ini?" dia bertanya lagi, dengan lembut.

"Mir...," bisikku.

"Kamu suka kan ngelakuin itu...?"

"Ga... Ya... tapi ga..."

"Kenapa ga?"

"Alasan yang sama," kataku.

"Ada apa denganmu, Yo?" katanya dengan sangat pelan. "Aku benar-benar ga tertarik pada pria, sama sekali. Belum pernah. Tapi aku suka kamu, Yo. Kamu tahu aku suka, kan? Apa kamu suka aku?"

"Ga terlalu," kataku, dan dia tertawa dan menampar dengan lembut di pahaku.

"Aku ga tahu kenapa, tapi rasanya begitu nyaman saat kita bersama. Dan aku tahu itu ga adil untukmu, Yo, aku tahu aku menggodamu seperti ini dan itu pasti terasa seperti neraka bagimu-"

"Seperti neraka," potongku, dan dia menamparku lagi.

"Tapi itu menyenangkan, Yo. Aku suka ngelakuin segala hal sama kamu. Bahkan hal-hal yang kotor. Apa kita sekarang ngelakuin hal kotor?"

"Menurutku kita sudah bersih,kan kita lagi mandi," kataku.

"Kamu bisa bersihin bagian dalam pantatku kalau kamu mau, Yo. Kamu bisa masukin sesuatu ke dalam sana dan bersihin aku." Ada nada tawa di suaranya.

"Kamu memang jago godain cowok," kataku.

Dia menggeliat, bergerak dan penisku menekan anusnya. Aku merasakan tekanan darinya pada penisku, merasakan lubang anusnya sedikit membuka sebelum aku menarik mundur penisku.

"Seperti itu?" dia terkikik.

"Persis seperti itu," kataku.

"Ini menyenangkan," katanya. "Aku suka ngelakuin ini ke kamu, Yo."

"Karena aku aman, karena kamu tahu aku akan selalu menjaga agar kita ga melewati batas?"

Dia bergerak lagi, memberi tekanan lebih kuat, membuka sedikit lubang anusnya dan kali ini aku ga menarik diri.

"Oh," bisiknya. Ujung penisku telah membuka pantatnya, ga sampai masuk, tapi sudah membuka bibir ketat di mana penisku menempel.

"Apa itu terasa aman?" Aku bertanya.

Dia menggelengkan kepalanya. "Ga aman, Yo ... Tapi terasa nikmat. Aku selalu penasaran. Kamu tahu kan aku suka pantatku disentuh. Kamu tahu itu."

"Tapi ini beda," kataku. "Ini bisa terasa sakit." Dan saat aku mengatakannya, aku berpikir apa aku benar-benar akan ngelakuin itu.

"Aku tahu. Tapi aku penasaran. Apa itu salah?"

"Seingetku kamu pernah bilang, bahwa ga ada yang salah kalau keduanya menikmati."

"Atau bahkan ketiganya," katanya.

"Atau tiga," aku setuju.

"Mm," gumamnya. "Terasa sangat enak seperti ini. Terasa kotor. Terasa... Kamu masih mau bantu aku orgasme kan, Yo?"

Tanganku masih berada di samping vaginanya.

"Seperti ini?"

Dia mengangguk. "Silahkan."

Aku menyelipkan jari-jariku ke bawah, membuka vaginanya, basah dan penuh air, mendorong jari ke dalam dirinya, jempolku menekan klitorisnya.

"Nnn," gerutunya.

"Seperti ini?" Aku bertanya.

"Mmm," katanya.

Aku meningkatkan gerakan jari-jariku, mencelupkan lebih dalam, dan dia mulai bergoyang sendiri. Rasanya aneh dan luar biasa disaat yang sama. Setiap kali dia bergerak penisku terlepas dari bibir anusnya, dan saat dia balik penisku menekannya terbuka lagi, belum masuk, tapi terus menerus membuka bibir anusnya, melebarkannya.

"Oh Yo," Mira terkesiap. "Aku ga akan bertahan lama kalau kamu ngelakuin itu."

"Bagus," kataku ke telinganya, dan mencium lehernya.

Dia mulai bergerak lebih cepat saat jari-jariku mengusap vaginanya yang basah, pantatnya yang menggoda menekan penisku, dan aku mulai berpikir apa aku akan orgasme juga, dan kalau iya, apa aku akan ejakulasi di pantatnya?

Mira mulai bergetar, lalu pinggulnya bergoyang lebih kencang. Untuk sesaat dia menekan keras ke arahku dan aku merasakan pantatnya terbuka dan setengah kepala penisku menyelinap ke dalam, mungkin dua atau tiga centi. Seolah-olah inilah yang ditunggu-tunggu Mira sebelum dia mengejang dan berteriak. Kakinya mendorong tubuhnya melenting keatas dan penisku terlepas, dan aku terus menahan tanganku di vaginanya, terus menggosoknya saat dia berteriak lagi dan menggigil di atasku.

Setelah tenang dia bangkit dan keluar dari bathtub, mengeringkan tubuhnya lalu keluar, aku mengikuti apa yang dilakukannya, ga yakin apa yang terjadi. Kulihat Mira masih telanjang berbaring telungkup di ranjang besar, dan menatapku saat aku keluar.

"Yo ... Aku masih horny banget. Kamu masih mau bantu aku lagi? Bikin aku orgasme lagi?"

Penisku masih ereksi penuh, hampir terasa sakit, menuntut dipuaskan, tapi aku memilih menurutinya.

"Tentu," kataku. "Berapa kali?"

Mira menyeringai. "Setidaknya lima kali, mungkin."

"Cuma lima?"

"Oke, lebih dari lima. Tapi kamu harus janji bakal berhenti kalau aku sampai pingsan."

"Mungkin," kataku. "Tapi begitu kamu pingsan aku bisa ngelakuin apapun yang aku mau padamu."

Mira bergeser dan mengangkat pinggulnya, tapi sepertinya kurang nyaman. Dia mengambil beberapa bantal dan menyelipkannya di bawah tubuhnya, mengangkat pantatnya yang indah kearahku.

"Kamu tahu apa yang kusuka, Yo," katanya.

Aku berlutut di sisi bawah tempat tidur, memegang pergelangan kakinya, menariknya sedikit, lalu mendorong pahanya terbuka lebih lebar.

"Mm," katanya. "Aku janji setelah itu kamu juga bisa ejakulasi."

"Aku? Aku ga perlu ejakulasi," kataku.

Dia menoleh ke arah penisku yang sekeras batu. "Oh, ga perlu ya, kelihatannya sih memang ga perlu. Ya sudah kalau gitu."

Aku menyelipkan tanganku di antara kakinya, merasakan kehalusan kulitnya. Mira menghela napas dan menundukkan kepalanya, rambutnya yang masih basah terurai di pundaknya, pinggulnya yang ramping terangkat karena bantal-bantal di bawahnya.

Tanganku menjelajah ke paha belakangnya, mencapai bulatan pantatnya dan meluncur ke tengah. Jariku menelusuri lubang anusnya yang terbuka, berkerut dan merah muda, bagai terpahat sempurna di kulitnya, dan dia menggigil.

"Rasanya kamu suka yang seperti itu," kataku.

"Mm-hm."

Aku mendorong jariku sampai melewati celahnya pantatnya ke punggung, lalu turun lagi. Dia bergerak-gerak saat jariku melewati anusnya lagi.

"Jangan menggoda, Yo," gumamnya.

"Siapa yang menggoda?" Tapi saat ujung jemariku sampai disana lagi, aku membiarkannya sedikit lama, menelusuri bagian luar lubangnya yang halus, dan Mira menghela napas dalam-dalam.

"Aku ga tahu apa yang kamu lakuin barusan, tapi aku ga akan pernah merasa cukup."

"Oh, bagus," kataku.

Mira terkikik. "Apa itu berarti aku cuma perempuan binal yang horny?"

"Semoga begitu."

Aku menyentuhnya lagi, lalu membasahi jariku dengan ludah, meratakan ke lubangnya, membasahi jariku lagi, kali ini untuk membasahi bagian dalam lubangnya.

"Bagus," katanya.

"Mir?"

"Mm?"

"Boleh pakai lidahku?"

Aku merasakan ujung jariku dijepit oleh cincin luar bibir anusnya, seperti kaget karena permintaanku, lalu dia mengangguk dan bilang, "Aku mau... kalau menurutmu itu ga kotor ..."

"Ga kotor kok."

"Yakin?" dia bilang.

Aku membiarkan jariku tetap menempel di anusnya, naik ke atas tempat tidur, berlutut di antara kedua kakinya yang terbuka, lalu membungkuk dan mencium kedua bongkah pantatnya yang padat, tanganku yang lain mengusap punggungnya, turun ke celahnya, lalu menganti jariku dengan lidahku.

Aku menyentuh ringan lubang anusnya, masih tersisa aroma sabun dan garam mandi. Mira terlonjak dan mengelinjang. Aku menjilatnya lagi dan dia mengerang.

Penisku berdenyut. Aku tahu aku juga butuh pelepasan, tapi aku menahan diri.

"Ya Tuhan, kamu yakin mau ngelakuin itu ...?" Mira terkesiap, tapi tampaknya ada sedikit keraguan dalam suaranya.

"Rasanya luar biasa," kataku.

"Yo ...," katanya.

"Mm?"

"Kamu mau lakuin sesuatu buatku?"

"Apa pun."

"Ha," katanya, lalu, "Taruh penismu di sana, sebentar saja...?"

"Di pantatmu?"

Dia mengangguk. "Aku mohon."

"Aku ga mau menyetubuhimu, Mir," kataku.

Dia mengangguk lagi. "Aku tahu. Aku tahu. Tapi aku bisa gila, aku cuma mau ngerasainnya di sana. Tolong, Yo, sebentar saja?"

Aku bergerak menegakkan tubuhku ke atas. Aku memegang penisku dan menempelkannya di celah pantatnya, sedikit menyentuh lubang anusnya. Mira mendorong pinggulnya ke belakang, meminta lebih. Aku menurunkan diriku dan menyaksikan ujung penisku yang kaku di pintu masuk anusnya yang licin, basah karena ludahku.

"Mmmm," keluh Mira, mendorong kepalanya ke selimut di bawahnya.

"Kamu suka itu?" Aku berbisik.

Dia mengangguk cepat. "Suka banget. Goda aku, Yo, godain aku dengan penismu."

"Aku ga akan menyetubuhimu," kataku, dan aku bersungguh-sungguh.

Dia menggelengkan kepalanya. "Aku juga ga mau, Yo. Aku suka cewek, kamu tahu itu. Tapi itu panas banget... Aku ga akan pernah bisa minta orang lain untuk ngelakuin itu, ga pernah mau orang lain ngelakuin itu... cuma pura-pura, Yo, pura-puralah menyetubuhiku sedikit..."

Ruangan itu terasa sangat panas. Aku mengenggam penisku dan menempelkan ke anusnya lagi, membuat dia mendengus ke selimut.

Aku membungkuk di atasnya, meludahi kepala penisku sedikit lalu mendorongnya.

"Aku berubah pikiran," kata Mira. Dia mengulurkan tangannya ke bawah di antara pahanya dan mulai menggosok kemaluannya sendiri.

"Oke," kataku, dan menarik diriku mundur.

"Jangan," Mira menggelengkan kepalanya, "Bukan itu maksudku. Aku mau kamu ngelakuinnya, Yo... Aku mau kamu setubuhi pantatku..."

"Mir," aku mengerang.

"Aku mau kamu, Yo."

Aku mendorong kemaluanku lagi sampai menyentuhnya, merasakan otot cincin pantatnya di ujung penisku. Aku bisa menyelinap masuk kalau aku menekan sedikit saja. Aku menekan. Kulihat pantatnya terbuka sedikit, melihatnya terbulah dan dilebarkan oleh penisku.

"Oh Yo ... itu terasa luar biasa ..."

"Mir," kataku. Seluruh tubuhku gemetaran seperti demam. Kepalaku pusing seperti mau pingsan.

Lalu aku mundur lagi.

"Yo..." kata Mira.

"Aku ga bisa," kataku.

"Kamu ga bisa?" Dia setengah berguling dan menatapku. "Kamu ga bisa?"

"Mir..." Aku menundukkan kepalaku, meletakkan tanganku di punggungnya. "Itu akan merusak segalanya," kataku.

Dia menatapku lama, lalu mengangguk kecil.

"Ya Tuhan, kenapa kamu harus selalu berbuat benar, Yo? Aku mau kamu ngelakuin itu. Aku mau kamu masukin penismu ke pantatku!"

"Aku tahu."

"Dan kamu memang benar, itulah yang bikin keadaan lebih buruk. Aku salah dan kamu benar."

"Aku ga mau," kataku.

Dia menghela nafas, menggelengkan kepalanya. "Itu mungkin satu-satunya kesempatanmu, kamu tahu itu?"

Aku mengangguk.

"Kamu bisa terima itu?"

Aku mengangguk lagi.

"Semua laki-laki memang sialan," gerutunya, dan berbaring telungkup. "Oke kalau gitu, buat saja aku orgasme enam atau tujuh kali. Kalau itu gapapa kan?"

"Tentu," kataku, dan menurunkan tanganku dari pinggangnya dan menyentuh lubang anusnya lagi, lalu tanpa ragu mendorong jariku masuk, semua jalan masuk. Dia terlonjak dan merintih kaget.

"Brengsek Yo, bilang dulu kek."

"Kamu akan lompat lebih dari itu seandainya itu penisku," kataku.

"Ya ya ya," katanya, pantatnya bergerak meremas jariku, meminta perhatian.

Aku berlutut dan menyelipkan tanganku yang lain di bawah perutnya, mendorong tangannya menyingkir dan menyentuh vaginanya. Dia luar biasa becek. Jariku menyelinap masuk tanpa perlawanan, jempolku menemukan klitorisnya, dan aku mengerjainya dari dua arah, satu jari di lubang depan, yang lain lewat lubang belakang.

"Oh, sial," erangnya, dan mulai bergetar. Dia sampai, hampir seketika dia sampai, dan setelah dia berhenti mengejang aku bergerak lagi, lebih cepat dan mendengar napasnya lebih cepat.

"Mau berapa kali, Mir?" Kataku, membungkuk dan berbisik di telinganya.

"Nn," gerutunya.

"Enam atau tujuh?" Aku bertanya.

"Oh, fuck fuck fuck," gumamnya ke selimut dan mengejang lagi.

"Kurang Lima lagi," kataku, dan mencium bahunya. Penisku bersandar di belakang pahanya, panjang dan keras, dan aku bergeser sehingga kepala penisku menyentuh bagian luar vaginanya.

Mira menjerit dan orgasme lagi.

"Jangan," katanya. "Jangan menggodaku kalau kamu ga sungguh-sungguh, Yo."

Aku tersenyum dan mendorong penisku, mengeluarkan jariku dan mengantinya dengan ujung penisku menempel pada vaginanya yang cantik. Untuk sesaat aku membebaskan diriku dari segala norma, membiarkan penisku menekan dan menyelinap ke dalam, cuma masuk beberapa centi dan dia mengangkat pinggulnya meminta lebih, lalu aku menarik mundur dan keluar.

"Aku ga akan menggoda," kataku.

"Pembohong sialan."

Aku mengangkat pinggulnya lebih tinggi lagi, mengambil dua bantal lagi dan menambahkan di bawah, bergeser lagi, menggeser penisku sepanjang celah pantatnya, bersandar di lubang anusnya, menekan sedikit lalu mundur lagi. Lalu aku menunduk, menjilati dan mencium punggungnya saat aku bergerak ke bawah, menjilat lubang anusnya, menariknya ke atas dan mendorong lidahku ke bawah di antara kedua kakinya, mencicipi manisnya cairan vaginanya. Cairannya mengalir seperti mata air dan aku menjilatnya, menjentikkan lidahku di sepanjang celahnya, mendorong bibir vaginanya dan menerobos ke dalam. Dia mengerang dan menggeliat dan aku mendorong lebih dalam.

Aku mengangkat kepalaku untuk bicara. "Apa rasanya sama dengan dijilat cewek lain, Mir?"

Dia menggelengkan kepalanya, rambutnya yang mengering terbang. "Ga," dia terkesiap.

Aku turun lagi, menjulurkan lidahku dan menemukan klitorisnya. Membengkak dan menonjol dari bawah tudungnya dan aku menjilatnya lalu menggigitnya dengan gigiku dan terakhir kuhisap dengan bibirku. Aku menghisapnya keluar masuk, menghisapnya seperti penis kecil, terus menghisap sampai aku merasa Mira mulai berkedut, lalu aku menahan bibirku yang menghisap klitorisnya saat dia bergetar dan menggigil di bawahku.

Saat dia ambruk ke bawah, tangannya terulur kebelakang dan menjambak rambutku lalu dia menariknya kencang, menyakitiku.

"Cukup," dia bilang.

Aku membiarkannya menarikku keatas lalu rebah miring di sampingnya.

"Aku hitung baru empat kali atau lima?," kataku.

"Sudah lima kali. Sialan. Sudah cukup"

Aku berbaring di sebelahnya, Mira tengkurap, kepala menoleh padaku. Dia mengelus-elus dadaku, bergerak ke perutku, terus kebawah ke pusar dan sedikit lebih rendah. Dia berguling miring menghadapku, memamerkan payudaranya. Aku meraih dan memegang payudara kanannya, memegangnya sebentar, menangkupnya, menimbang beratnya di tanganku, meraba bentuknya yang sempurna.

Lalu tangan Mira meluncur ke bawah dan meraih penisku.

"Kalau gitu, gimana dengan dia?" dia bertanya dengan lembut. "Rasanya sekarang gilirannya untuk sedikit diperhatiin."

"Aku gapapa," kataku, berusaha terdengar cuek.

"Aku ga mau kamu gapapa, Yo. Aku mau selesaiin ini buatmu."

"Oh ya?"

"Ya," katanya, menatap penisku, memegangnya dan membelainya.

"Mungkin," kataku.

"Boleh?"

"Mungkin," aku mengulangi.

Mira menyeringai. "Fuck you, Yohan Wahyudi," katanya. "Ga cuma kamu yang bisa menggoda."

Dia melepas gengamannya di penisku, menarik bahuku. Aku ga tahu apa yang dia mau dan melawan tarikannya.

"Telungkup," katanya, pindah kebelakangku lalu mendorong bahuku lebih kencang. Dia turun, menarik kakiku dan memaksaku menurutinya.

Saat akhirnya aku telungkup, aku merasakan dia merangkak lalu berbaring di atasku, payudaranya menempel di punggungku, vaginanya yang terasa panas menempel di pantatku. Dia mendorong, sengaja mengesekkan vaginanya di pantatku.

"Kamu ga mau menyetubuhiku, kan, tapi gimana kalau aku yang menyetubuhimu, eh, gimana kalau aku menyetubuhi pantatmu?"

"Emangnya kamu punya peralatannya, Mir?"

Dia duduk dan menampar pantatku. "Persetan peralatannya. Lebarin kakimu, bangsat. Kamu sekarang budakku. Lebarin." Dia menyelipkan tangannya di antara pahaku, mendorong mereka terbuka. Jari-jarinya menemukan kantung testisku dan memegangnya, menggulirkan bolaku di telapak tangannya.

"Bola besar," bisiknya. "Bola besar yang indah."

Lalu dia menarik pinggulku, mengangkatku dan saat aku bangkit dia mengambil bantal dan mendorongnya ke bawah.

"Mm, nah gitu" katanya, dan saat dia bicara aku bisa merasakan napasnya, hangat, di pantatku. "Pantat yang bagus, untuk seorang pria. Bagus dan mungil. Agak berbulu, tapi kita bisa beresin nanti."

Aku mendengarnya meludah dan merasakan basah di lubang anusku, lalu jarinya, menyelidik. Dia ga repot-repot dengan foreplay, cuma meratakan ludahnya di sekitar lubang berkerutku sebelum mendorong dengan ujung jarinya dan aku merasa dia langsung meluncur ke dalam. Dia menarik jarinya, meludah lagi, memasukkan jarinya lagi.

Dia mengangkangi paha kiriku dan aku bisa merasakan vaginanya yang basah menyentuh bagian belakang kakiku, merasakannya mengesek vaginanya di sana.

Dia membungkuk dan menjilat punggungku, berbisik, "Seperti apa rasanya, Yo? Kamu suka itu?"

"Mm," kataku, memikirkan apa aku suka atau ga.

"Suka kalau jariku di dalam pantatmu?"

Dia menggoyangkannya, mendorongnya masuk, lalu mengeluarkannya. Lebih lebar, lebih dalam.

"Bilang, Yo, kamu suka?"

Aku mengangguk. "Ya, Mir, aku suka."

"Mm ... aku juga. Aku suka jariku di pantatmu, Yo. Aku melihatnya menghilang di dalam sana, sampai ke pangkal. Aku sudah masukin sepanjang jariku di pantatmu, Yo. Kamu sekarang adalah budakku. "

Dia bergoyang lebih cepat ke pahaku, vaginanya menekan pahaku, cairannya mengalir di sekitar kakiku.

"Mm," gerutunya, dan tiba-tiba menarik jarinya, mendorong telapak kakinya di bawah paha kananku, kakinya yang lain pindah ke samping pinggangku dan aku merasakan vaginanya yang basah menyentuh pantatku, merasakannya mendorong ke bawah dan lalu menempel di anusku.

"Aku akan setubuhi pantatmu, Yo," katanya. "Kamu pengecut, ga mau ngelakuin ke aku, jadi aku yang akan ngelakuin ke kamu. Kamu mau itu?"

"Ya," kataku.

Mira memompaku, membuat anusku basah karena cairan vaginanya. Aku bisa mendengar suara basah saat dia bergerak di atasku, menarik dan mendorong. Vaginanya menempel rata di pantatku.

"Aku akan setubuhi pantatmu, Yo," gerutunya, lalu menjerit dan mulai bergetar diatasku. "Fuck You, Yohan Wahyudi, fuck you... OHH!" dia menjerit lagi dan pantatku bertambah basah saat dia sampai lagi. Dia diam perlahan, masih dengan lembut memompa, lalu meletakkan tangannya di punggungku.

"Enam," bisiknya. "Kamu bajingan."

"Apa kamu suka itu, Mir? Suka menyetubuhiku?"

"Seandainya aku punya penis," katanya. "Kuharap aku punya penis besarmu dan aku akan masukin semua kesana."

"Aku senang kamu ga punya," kataku. "Aku ga suka cowok."

"Tapi kalau itu aku, Yo? Kamu akan biarin, kan?"

"Tapi itu ga mungkin, kan, Mir."

"Brengsek," katanya. "Gimana kalau aku punya dildo. Dildo yang ujungnya dua. Gimana kalau aku masukin salah satu ujungnya di vaginaku dan satunya lagi di pantatmu. Apa kamu mau seperti itu, Yo?" Dia berbisik, bibirnya mencium punggungku.

Aku ga menjawab, dan dia menarikku sehingga aku berguling telentang, mengangkangiku dan mencium bibirku lalu dengan wajahnya yang dekat denganku, menatap langsung ke mataku. Dia mengamatiku untuk beberapa waktu, menciumku lagi dan bilang, "Apa kamu akan biarin aku menyetubuhimu seperti itu, Yo?"

Wajahnya serius, dan aku sadar dia benar-benar serius. Gagasan itu sepertinya merangsang gairahnya.

Aku mengangguk. "Ya, kalau kamu mau."

"Ya apa, Yo?" Ada senyuman yang menghiasi bibirnya.

"Kamu bisa menyetubuhiku, Mir. Tapi kamu ga punya dildo... ya kan?"

Dia tertawa. "Ga. Sekarang belum punya." Dia berbaring di atas aku, payudaranya menekan dadaku, penisku keras mencuat di antara pahanya. "Tapi aku akan dapetin itu."

Aku memandangnya, tahu dia bersungguh-sungguh. Apa aku benar-benar akan biarin dia ngelakuin itu padaku?

"Kalau kamu bisa dapetin, Mir, aku mau ngelakuin itu."

Dia meletakkan tangannya di wajahku, menciumku. "Beneran?"

Aku mengangguk, tahu bahwa aku akan membiarkannya. Menemukan bahwa ide itu, mungkin akan lebih baik untuk memuaskan penasarannya, dibanding aku yang harus menyetubuhinya dengan penisku.

Dia menyeringai, wajahnya dekat denganku. "Janji?" Tangannya mencengkeram wajahku, jadi aku harus memandangnya.

Aku mengangguk, atau mencoba mengangguk. "Ya," kataku. "Janji."

Dia tiba-tiba menunduk dan menciumku. Bibirnya terbuka, terasa hangat di bibirku, dan lidahnya menjelajah lincah di antara gigiku, mengisi mulutku. Tiba-tiba dia melepas ciumannya.

Dia meluncur ke bawahku, tubuhnya basah dan berkeringat, kepalanya bersandar di perutku, tangannya memegang penisku . "Ya Tuhan, Yo, gimana mungkin kamu belum ejakulasi?"

Aku tertawa pelan. "Aku juga ga tahu."

"Kamu siap sekarang?" dia bilang.

"Aku sudah siap dari tadi."

"Tapi sekarang? Apa aku bisa bikin kamu ejakulasi sekarang?"

"Apa itu yang kamu mau?"

Mira tertawa lembut. "Setelah apa yang kita lakukan, kamu masih harus tanya lagi?"

"Kalau gitu ya, bikin aku ejakulasi," kataku, dan rebah lagi di tempat tidur.

Mira membelai bagian bawah penisku, membelai bolaku, melingkarkan jari tangan lainnya di sekitar kepala penisku. Wajahnya menunduk, semakin dekat.

"Penis yang cantik, Yo. Ini kamu. Pasti karena ini kamu. Aku sama sekali ga punya ketertarikan pada penis, ga sedikit pun. Tapi punyamu, itu beda." Aku merasakan hangat napasnya meniup pinggangku, lalu kepalanya bergerak mencium ujung penisku dan aku mengejang.

"Hampir?" Mira bertanya.

"Hampir," kataku.

"Kamu suka itu?" katanya, menciumnya lagi, memberikan ciuman kecil yang basah di sepanjang bagian bawah penisku, dari pangkal naik ke ujung, ciuman kecil di kepala penisku, lalu ciuman kecil tepat di ujung dan lidahnya menyentuh lubang kencingku.

"Ya Tuhan," erangku.

"Hmmm ... jadi apa lagi yang bisa kulakukan ..."

Dia menjilatku lagi, mencium sisi penisku, balik keujung. Mencium bagian atas. Membuka mulutnya dan lalu mengatup bibirnya setelah memasukkan kepala penisku ke dalam mulutnya.

"Mir!" Aku mendengus. "Awas!"

Dia mengangkat kembali. "Dekat?" dia berbisik.

"Sangat."

"Mmm, bagus," dan dia mengulang, mengatup bibirnya di sekeliling penisku lagi.

Aku duduk, menarik bantal ke belakang punggungku, ingin menonton, dan Mira bergeser ke samping, tahu apa yang aku inginkan dan menunjukkan penisku di dalam bibirnya yang penuh. Dia mengangguk, penisku menyelinap keluar masuk, masih hanya kepalanya saja, tapi rasa yang ditimbulkannya luar biasa.

Dia mengangkat kepalanya. "Apa aku ngelakuin ini sudah benar, Yo? Kamu tahu aku ga pernah latihan."

"Sudah bagus," kataku.

"Rasanya enak..." katanya. "Asin, dan sedikit manis." dia menggosok penisku saat dia bicara, mengesek penisku sepanjang bibir bawahnya, menggosokkannya ke wajahnya.

"Mir," gerutuku. "Aku akan sampai sebentar lagi."

Dia melirik sekilas ke arahku, lalu kembali ke penisku.

"Aku sedang coba nentuin," katanya. Dia menggosokku lagi dan aku merasakan bolaku mengencang.

"Nentuin apa," kataku.

"Seandainya aku mau kamu ejakulasi di mulutku ..."

"Ya Tuhan, Mir."

"Rasanya gitu," katanya. "Aku mau biarin kamu ejakulasi di mulutku. Tapi... yah, aku belum pernah ngelakuin hal seperti ini sebelumnya, dan aku ga yakin ..." Dia membuka mulutnya dan mendorongku lebih dalam lagi, menjilatku seperti permen lolipop, menarikku keluar lagi. "Gimana menurutmu, Yo, haruskah aku biarin kamu ejakulasi dimulutku?"

"Terserah kamu," gerutuku.

"Apa kamu mau? Apa kamu mau ejakulasi di mulutku?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Bukan terserah aku, Mir. Lakuin apa yang kamu mau ..."

"Aku mau," katanya. "Tapi aku ga yakin."

"Kalau gitu jangan," kataku, "Tapi demi Tuhan, Mir, mau cara apa saja, tolong bikin aku ejakulasi sekarang."

Aku melihat dia tersenyum, dan tahu dia sedang menggodaku. Mira menundukkan kepalanya lagi, menjilat kepala penisku, menarikku ke dalam mulutnya.

"Mir," bisikku.

Dia membuka mulutnya dan menelan penisku lebih dalam, dan aku bisa merasakan lidahnya bergerak di bawah penisku, merasakan kepala penisku menyentuh gigi belakangnya.

"Aku mau sampai sekarang, Mir," kataku. "Saatnya bikin keputusan, sayangku."

"Mmm," katanya, mulutnya masih melingkariku.

Aku mencoba bertahan beberapa saat lagi, untuk memberinya waktu, tapi itu ga berhasil. Gelobang pertama orgasme meledak di dalamku dan aku merasakan itu mengalir naik sepanjang penisku.

"Mir! Oh sial, Mir!" Aku berteriak.

Aku melepaskan aliran air mani, menyembur kencang, dan Mira merasakan ledakan rasa asin pertama di mulutnya dan menarik penisku keluar. Aku menyaksikan saat mulutnya terbuka, penisku masih di dalam, dan semburan keduaku menyembur lagi di dalam, ke lidahnya, lalu dia menggosokku kencang, penisku menunjuk wajahnya dan semburan berikutnya menyiram pipinya, memercik keras karena aku ejakulasi lebih hebat dari yang pernah kurasakan dalam hidupku. Dia membuka mulutnya dan mengarahkan penisku lagi ke mulutnya. Aku melihat dia memutar lidahnya, melihatnya mencicipi maniku, lalu dia membuat keputusan dan memasukkan lagi penisku saat aku menyembur lagi di dalam mulutnya, bibirnya tertutup, dan aku merasakannya menelan.

Akhirnya aku berhenti. Aku ga tahu berapa kali aku menembak ke mulutnya, berapa kali dia menelan. Aku merosot di tempat tidur, merasakan penisku melunak, masih di dalam mulutnya, dan saat penisku melunak dia menghisapnya, sampai penisku menyusut di dalam mulutnya. Dia mengangkat matanya dan menatapku, tersenyum di dekat penisku, lalu perlahan-lahan melepaskan penisku dan duduk lagi, menyeka mulutnya dengan tangannya.

"Suka rasanya?" Aku bertanya.

Dia menampar pahaku.

"Jadi ... apa aku sudah merubahmu jadi heteroseksual, Mir?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Masih suka perempuan," katanya. "Masih merasa gadis-gadis lebih baik ... kecuali kamu."

"Wow," kataku.

Dia meletakkan tangannya di mulutnya dan menyeka beberapa tetas air maniku dengan jari-jarinya, melihatnya sebentar lalu memasukkan jarinya ke dalam mulutnya dan menjilatnya bersih. "Semua penis akan terasa seperti itu, kan?" dia bilang.

"Mungkin ga, beda-beda."

"Aku ga mau menghisap penis lain, Yo, oke? Cuma punyamu."

Aku memandangnya, mengerti maksudnya.

"Rasanya ini semakin ga terkontrol, Mir," kataku.

Dia mengangguk. "Di luar kendali," katanya, "Tapi di dalam mulut."

Aku tersenyum. "Kamu tahu apa maksudku."

Dia mengangguk lagi. "Kamu mau itu berhenti?"

Aku menggelengkan kepala. "Tapi gimana kamu? Ini ga adil buatmu."

"Aku? Kalau ada yang rugi di sini, Yo, itu kamu. Aku dapat bagianku. Enam kali! Kamu cuma ejakulasi sekali-"

"Tapi di mulutmu," kataku.

Dia mengangkat bahu. "Ya, oke, di mulutku. Tapi ..." Dia berhenti, sadar mustahil dia mencoba menjelaskan, dan mulai tertawa. Aku ikut tertawa dengannya, dan dia menjatuhkan diri di atas, tertawa sambil bersandar di dadaku.

Perlahan-lahan kami berhenti, dan dia mengangkat kepalanya dan menciumku.

"Suatu hari, Yo," katanya.

"Suatu hari apa, Mir?"

"Suatu hari aku akan memintamu untuk benar-benar menyetubuhiku. Dan seandainya saat itu tiba, apa kamu akan bilang ya?"

"Kalau suatu saat kamu minta seperti itu, maka aku pasti akan bilang ya."

Dia menatapku untuk waktu yang lama, wajahnya serius, lalu mengangguk. "Bagus. Dan supaya kamu tahu, aku pegang kata-katamu."



Bersambung... Chapter.22
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd