PART 20 (S2)
POV Ricky
"
Morning, Bebeb sayang."
Aku mulai membuka mataku perlahan. CUP! Sebuah ciuman dari bibir Hanna mendarat tepat di pipiku ini. Ia tersenyum, sebelum ia melumat bibirku ini. SLURP! Kami bercumbu selama beberapa menit hingga Hanna melepaskan bibirnya dariku.
"Yuk, bangun dong, Beb."
Aku mengucek mataku sekilas. Aku bangkit dan memandangi Hanna. Hmm begitu seksinya ia saat ini. Ia hanya mengenakan hoodienya dan celana dalam berwarna biru strip putih. Sebetulnya, celana dalam tersebut adalah miliknya Kak Kimi.
Ya, semalam kami kembali melakukan 'permainan cinta' kami. Sebelum itu, Hanna mencuci seluruh pakaian yang dikenakannya semalam. Alhasil aku menawarkannya untuk mengenakan pakaian Kak Kimi, yang tentu saja kuakui kalau itu milik orang lain yang menjadi kekasihku. Hanya saja ia menolak untuk mengenakan bra dan kaos milik Kak Kimi dengan alasan kalau tidak pas dengan ukuran tubuhnya. Hal tersebutlah yang membuatku tidak mampu mengendalikan nafsuku dan semuanya terjadi begitu saja. Kini, ia tak mengenakan apa-apa lagi selain celana dalam tersebut di balik hoodienya.
"Beb, kayaknya baju gue yang kemarin udah kering deh. Jadi nanti gue bisa pake lagi."
"Hmm, nanti habis mandi kamu pakai ya."
"Lu takut
horny lagi ya kalau gue pakai ini terus? Hihi…."
Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan walau aku mengakui itu yang terjadi padaku. Hanna hanya tersenyum saja. Kemudian, ia melepaskan hoodie dan celana dalamnya tersebut di depan mataku. Dengan tubuh yang sudah polos seutuhnya, ia juga menarik lepas celana boxer yang kukenakan ini hingga aku juga ikut telanjang seperti dirinya.
"Beb, mandi bareng yuk!"
Maka aku menerima ajakannya dan mulailah kami mandi bareng. Pertama semua berjalan dengan baik. Namun tubuh seksi Hanna di depan mataku terus menggoda diriku. Aku berusaha mengalihkan semua itu, namun… aku tetap laki-laki normal. Aku tak bisa menahan diriku melihat tubuh sepupu blasteran yang seksi ini.
Aku mendekati dirinya dan memeluk tubuhnya yang basah karena air. Kemudian aku mencium pipinya. Ia tak kaget dengan perlakuanku. Malahan ia membalikkan tubuhnya dan mencium bibirku. SLURP! Kami bercumbu di bawah guyuran air dari shower ini.
Selama pergumulan bibir kami, tanganku mulai bergerak menjamah tubuhnya yang indah. Aku meremas-remas payudaranya yang tidak terlalu besar tapi montok. Kemudian, tanganku merayap turun secara perlahan. Kuraba perutnya yang rata dan akhirnya telapak tanganku kini menempel di bibir vaginanya tersebut. Kuraba-raba dengan bulu pubis tipisnya yang menggelitik telapak tanganku ini.
Aku mulai memasukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke dalam liangnya. Hanna melenguh namun suaranya tertahan oleh ciuman kami. Aku terus menelusup makin dalam, hingga akhirnya aku berhasil menemukan bagian klitorisnya. Kumainkan benda kecil di vaginanya itu hingga suara lenguhan tertahannya semakin keras.
Aku melepaskan ciumanku dengan tujuan agar bisa mendengar suara desahannya yang seksi. Ahh! Suara desahan Hanna yang lembut masuk ke dalam gendang telingaku. Agar aku bisa terus mendengar desahannya yang lembut tersebut, aku terus mengocok klitoris Hanna.
"Ahh, Ricky! Gue keluar!"
Crot! Crot! Crot!
Aku hanya memainkan klitorisnya tersebut selama beberapa menit. Setelah itu, tubuh Hanna langsung bergetar dan ia agak menurunkan tubuhnya. Kulihat cairan vaginanya meluber keluar dan langsung terguyur pergi oleh air. Punggung Hanna menempel di dinding kamar mandi karena ia menahan kenikmatan dari orgasme tadi.
"Hanna,
can I?" tanyaku sambil mendekati dirinya.
Ia mengangguk dan memberi lampu hijau padaku. Lalu, ia juga turut menangkat kakinya agar vaginanya bisa dimasuki oleh diriku. Aku langsung memegang penisku dan memasukkannya ke vagina Hanna. BLES! Vagina Hanna langsung tertancapi oleh batang kemaluanku. Aku mulai menggenjot vagina basahnya.
"Ahh, Ricky!"
Kutahan kaki Hanna yang diangkat dengan tangan kananku. Aku juga terus menggenjot liang kemaluan Hanna. Kuremas-remas pula payudaranya yang tak terlalu besar. Sesekali, kucubit pula putingnya yang berwarna pink itu. Tak lama, ia mulai melingkarkan lengannya di leherku agar memperkuat keseimbangannya.
"Oh, Ricky!
I like it, ahh!"
Aku terus menggenjot dirinya selama belasan menit. Kulihat wajah Hanna mulai merem melek saat ini. Desahannya semakin kuat dan ia mulai menggigit bibir bawahnya. Lengannya juga semakin melingkar erat di leherku.
Wajah blasterannya begitu seksi bila dalam keadaan seperti ini. Ia memejamkan matanya dan menengadahkan kepalanya. Bibir bawahnya yang digigitnya semakin menambah sensualitas sepupuku ini.
Air terus mengguyuri diri kami. Sensasi dingin yang diciptakan oleh air dan udara pagi beradu dengan panasnya adegan bercinta kami. Pertemuan aura dingin dan panas tersebut membuat gairahku semakin meledak.
Aku terus meremas bokong Hanna yang lembut. Ia juga terus mendesah sepanjang detik. Untung saja tidak ada yang mendengar kami di sini sehingga aku juga bisa merasakan desahan dan erangan dari Hanna. Beberapa menit kemudian, kurasakan bila tubuhnya sudah bergetar.
"Ahhh, Ricky! Gue mau keluar!"
"Aku juga, Hanna! Hmmfffh…."
CROT! CROT! CROT!
Aku dah Hanna mengeluarkan cairan orgasme kami secara bersamaan. Kurasakan hangat yang menjalari penisku yang diimbangi dengan segarnya air yang mengguyuri tubuh kami sedari tadi. Perlahan setelah penisku menciut, aku mulai mencabutnya dari liang kemaluan Hanna. Hanna mengambil nafasnya yang terkuras saat orgasme tadi.
"Enak banget ah!" ujarnya sembari tersenyum padaku.
"Yuk dah kita lanjut mandinya."
"Ricky, lu… keluarin di dalem?" tanya Hanna padaku.
Aku hanya bisa tersenyum kikuk saja. Dalam batinku, aku begitu khawatir mengenai nasib spermaku yang akan menuju ke rahimnya. Aku takut, bilamana nanti sepupuku ini hamil oleh perbuatanku.
"
It's ok, Ricky. I will be fine," ucap Hanna untuk menenangkan diriku ini.
Kemudian ia mendekatkan wajahnya padaku. Ia melumat bibirku ini dan aku membalasnya. Kulupakan semua kekhawatiran dalam diriku. Beberapa detik kemudian, Hanna melepaskan bibirnya padaku dan tersenyum manis kepadaku.
Selanjutnya, kami mandi seperti biasanya. Hanna membersihkan sisa-sisa sperma dari liangnya. Aku juga membersihkan seluruh anggota tubuhku menggunakan sabun. Agar tidak kedinginan, kami melakukan mandi dengan efisien dan langsung menyudahinya begitu kami rasa sudah cukup.
Selesai mandi, kami sama-sama mengeringkan badanku. Kemudian aku berpakaian dengan rapi sekarang dan begitupun dengan Hanna. Aku mengenakan kaos polos berwarna merah dan celana selutut berwarna abu-abu. Sedangkan Hanna mengenakan pakaian yang ia kenakan kemarin, yaitu kaos ketatnya yang berwarna hitam dan celana
training longgar berwarna putih.
"Beb, jalan yuk. Minggu pagi gini enak loh nyari udara seger," ajak Hanna sambil menarik-narik tanganku.
"Hmm aku agak males, Hanna."
"Yuk ah. Masak kita pacaran tapi gak jalan bareng sih?" tuturnya dengan wajah yang cemberut.
"Ya udah kalau begitu. Kita jalan di
jogging track dekat apartemenku aja."
"Hmm boleh deh. Yuk, Beb."
Hanna mulai mengenakan hoodienya tersebut. Kemudian saat kami telah keluar dari kamar, Hanna langsung menggandeng lenganku ini. Selayaknya pasangan baru pada umumnya, Hanna tersenyum sepanjang kami berjalan. Kuperhatikan sekilas senyuman Hanna ini. Cukup manis bagiku.
"Bro, apa kabar?" sapa Arwen, lelaki berusia 30 tahun yang menjadi tetangga apartemenku.
"Eh, udah lama gak ketemu. Lancar kerjaannya?"
"Aman. Makin meningkat penjualan gue hahaha…."
Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Arwen. Sekilas tentang dia, ia memiliki sebuah perusahaan pengolahan karet di Kalimantan sana. Hasilnya ialah ban-ban yang dipakai di kendaraan. Bisnisnya sangat subur, bahkan ia sudah melayani ekspor ke negara-negara luar seperti India, Vietnam, Arab Saudi, dan lainnya.
"
Anyway, cantik banget cewek nih. Cewek lu apa kekepan doang nih?" tanyanya sembari tersenyum kepada Hanna.
Aku menatap Hanna yang tersenyum balik pada Arwen. Kemudian kuelus kepalanya perlahan. Lalu aku kembali menatap Arwen.
"Dia cewekku, Bro."
Hanna tersenyum lebar mendengar perkataanku. Pelukan di lenganku menjadi semakin erat. Aku turut tersenyum dan tak lupa mengelus perlahan rambut kecoklatan Hanna yang halus ini.
"Hebat banget lu, Bro. Bisa dapetin cewek bule kayak dia," pujinya sambil memandangi wajah Hanna.
"Semua cuma karena keberuntungan aja kok."
"Waduh, iri gue sama lu. Kapan-kapan gue bakal berguru nih sama lu."
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Arwen. Kemudian kami menyudahi percakapan ini dikarenakan Arwen yang pamit untuk menuju ke kamarnya. Maka kini aku dan Hanna sudah berada di dalam lift untuk menuju ke lantai bawah.
"Makasih, Ricky. Lu udah ngakuin gue," ucapnya dengan senyum lebar yang belum tanggal dari wajahnya.
"Kan kamu emang cewekku sampai nanti malam."
"Hmm iya sih."
Sekeluarnya kami dari lift, Hanna kembali memeluk diriku. Sepanjang perjalanan, banyak lelaki baik yang tua maupun muda melihat ke arah kami. Mungkin mereka tak biasa melihat seorang gadis bule yang cantik jelita di lingkungan ini.
"Kamu risih gak diperhatiin mulu?" tanyaku pada Hanna yang tetap berjalan mengikuti irama kakiku.
"Hmm agak gak nyaman sih, tapi gue gak masalah kok," jawabnya dengan senyum kecil yang manis.
"Maklum aja, Hanna. Mereka gak pernah liat bule secantik kamu di sini."
"Hehe… emang gue secantik itu ya?" tanyanya menatap diriku.
"Kamu gak pernah nyadar ya, Hanna?" tanyaku balik.
"Nyadar kok, hehe…. Gue cuma pengen mancing lu aja buat muji gue lagi."
"Dasar kamu, Hanna," ujarku sambil menjitak kepala Hanna pelan.
"Ihh, Bebeb. Jangan jitakin kepala gue sembarangan dong!" protes Hanna yang langsung memukul lenganku.
"Hahaha…."
~~~~~
POV Kimi
Kini aku sedang berada di suatu tempat yang pernah membawa kenangan manis untukku.
Jogging track apartemennya Ricky. Aku masih ingat saat itu, saat aku
jogging bersamanya sewaktu menginap di sini. Jujur saja, aku juga masih merasa kangen bisa berjalan bersama Ricky.
Kuhirup udara segar yang menghembus di tempat ini. Hatiku sudah mulai terasa adem saat ini. Walau aku masih sakit hati terhadap perlakuan Ricky, aku sudah sangat kangen padanya. Aku rindu, aku ingin menemuinya. Hanya saja, aku juga ragu bila ia mau menemuiku lagi. Semoga saja, aku bisa bertemu dirinya yang kebetulan sedang
jogging di sini.
DUGH!
Mataku menangkap sesuatu yang sangat janggal. Aku takut bila aku salah melihat. Maka aku berjalan sedikit mendekat agar bisa melihat lebih jelas.
DUGH!
Gak, aku gak salah lihat kan? Aku gak percaya! Itu… itu Ricky? Ia sedang berjalan dengan seorang gadis. Bahkan gadis tersebut memeluk lengan Ricky. Kulihat lagi gadis tersebut tertawa dengan riangnya bersama Ricky. Dan gadis tersebut adalah… Hanna! Dia kan sepupu kami berdua. Apa gara-gara kejadian siang kemarin, Ricky dan Hanna menjadi semakin dekat?
Perlahan air mataku mulai menetes. Aku menjauh dari tempat ini. Aku langsung pergi menuju ke mobilku. Huhuhu… kutumpahkan semua air mataku begitu aku sampai di dalam mobil. Aku menangis terisak-isak. Air mataku terus tumpah dalam debit yang besar.
"Huhuhu… Ricky…. Kenapa kamu sejahat itu sama Kakak? Huhuhu…."
Aku terus menangis sambil menutup wajahku. Air mataku terus mengalir seperti air terjun. Setelah diriku mulai lelah untuk menghasilkan air mata, kutatap diriku di kaca mobilku. Tampak wajahku yang sembab dan merah. Aku mulai menghela nafas pelan dan menutup wajahku.
Aku menyalakan mesin mobilku ini. Dengan wajah yang masih sembab, aku meninggalkan tempat ini. Selama perjalanan, aku masih terbayang dengan Ricky yang bermesraan dengan wanita lain. Aku sudah lama gak melihat Ricky melakukan hal itu sejak 5 tahun yang lalu, semenjak mendiang Maria masih hidup.
Aku masuk ke dalam rumahku begitu aku tiba. Begitu aku keluar dari mobilku, aku berpapasan dengan Samuel. Yang terlihat berbeda kali ini adalah wajahnya yang babak belur. Luka-lukanya ditempel perban. Bahkan ia harus menggunakan tongkat sebagai alat bantunya untuk berjalan karena kaki kanannya yang terbungkus oleh gips.
Yang lebih anehnya, ia bahkan tak menyapaku lagi seperti biasanya. Ia hanya berjalan menghindariku. Wajahnya juga tampak sangat muram. Siapa ya kira-kira yang membuat Samuel seperti ini? Apakah Ricky? Ah, anak itu kurasa gak bisa ngalahin Samuel deh.
Aku masuk ke dalam kamarku. BLAM! Pintu kamarku kubanting sangat keras. Kubuka kembali galeriku yang berisi foto kebersamaanku bersama Ricky. Tanpa kusadari, air mataku kembali menetes perlahan. Kugeser foto-foto tersebut menggunakan jari telunjukku.
Namun belum selesai aku melihat semua foto, jariku berhenti di foto yang menampilkan Ricky yang sedang mengenakan bandoku. Foto tersebut terasa jenaka pada awalnya, namun kini foto tersebut malah membawa lara yang dalam. Aku jadi sangat merindukan keisengan yang dilakukan Ricky selama kami masih bersama.
Aku menghentikan aktivitasku. Kutaruh ponselku di dada. Huhuhu... Aku kembali mengucurkan air mata karena sadar bahwa kenangan indah kami akan sulit terulang lagi. Semua yang ada di foto-foto ini hanya akan menjadi gambaran masa lalu. Aku sangat ingin mengulangi satu saja kenangan indah kami. Dengan keinginan yang muncul di pikiranku, semakin jadilah rasa rinduku padanya.
Entah kenapa walau Ricky sudah jelas-jelas menyakiti hatiku di depan mataku, aku tak bisa benar-benar melepas adikku itu. Ia... adalah segalanya bagiku. Ia pembawa kebahagiaanku, juga kesedihanku. Ia yang memberikan tawa dan senyum, ia juga sumber air mataku. Karena itu, aku selalu akan ingat tentangnya. Aku selalu rindu padanya walau baru berpisah satu hari saja.
Layaknya narkotika, aku sudah kecanduan dengan dirinya.