PART 8 (S2)
POV Ricky
"Hihi… pasti kamu udah keringatan duluan tuh," kata Kak Kimi terkikik menanggapi ceritaku.
"Ya beneran, Kak. Kukirain Papa kembali mencium ada aroma di antara kita, ternyata dia cuma suruh aku buat ngelakuin evaluasi sama anak buahku," ceritaku sebelum aku menyesap teh hangatku.
"Ya udah, nanti kamu lakuin deh apa yang disuruh oleh Papa."
"Pasti dong, Kak. Kan itu udah tugasku."
"Bangga deh, cowokku yang masih bau ingusan udah ngerti soal dunia kerja." Selain menyatakan kalimat pujian tersebut, ia juga mengelus kepalaku layaknya seorang ibu yang bangga dengan anaknya.
"Kan dah kubilang, Kak. Pengalaman kerja di Amerika tuh gak bisa ngebohongi," ujarku dengan jemawa.
"Bosan tahu aku dengarnya. Mau di Amerika kek, mau di China kek, yang namanya kerja itu sama aja ah."
"Iya deh iya. Kakak paling benar kok."
"Awas kamu ya. Nanti aku ngajuin surat rekomendasi pemberhentian ke Papa, mampus kamu," ancam Kak Kimi sambil meremas tanganku.
"Coba aja. Mana mau Papa mecat aset terbaiknya saat ini."
"Idih…. Sok banget kamu jadi anak baru."
Kami kembali menyesap minuman kami. Setelah meminum 3 teguk dari teh hangatku, aku memandang ke wajah Kak Kimi yang duduk di hadapanku. Kak Kimi yang turut memandangku lalu menarik tanganku di atas meja. Digenggamnya erat-erat tanganku ini seolah tanganku adalah emasnya yang paling berharga.
"Besok kan hari Sabtu nih, Sayang. Boleh gak aku nginep di apartemen kamu malam ini?" tanyanya sembari mengelus punggung tanganku.
"Gak ketahuan nanti?" tanyaku sambil menatap skeptis.
"Tenang aja ah. Aku tinggal bilang aja ke Papa-Mama kalau aku nginap di rumah teman dekatku."
"Kakak udah pinter bohong nih sekarang."
"Gak apa ah, Sayang. Sekali-kali gitu," kilahnya.
"Pasti keterusan nih."
"
Please, kali ini aja ya. Aku masih kangen berat sama kamu," pinta Kak Kimi dengan matanya yang berbinar.
"Ya deh."
"Huaa… makasih, Sayang!" Ia menepuk-nepuk tanganku dengan riang dan sangat antusias.
"Kakak udah jadi kepala HRD masih aja kayak anak kecil tingkahnya."
"Ihh, Sayang! Pulang dari Amrik malah makin gak romantis."
"Artinya aku lebih dewasa dari Kakak sekarang."
"Huh… aku ngambek nih." Ia menarik tangannya dari meja dan langsung membuang mukanya ke arah lain. Duh… Kak Kimi kayaknya bisa bikin aku mimisan kalau dia terus bertingkah imut kayak gini.
"Tuh kan baru dibilang. Makin kayak anak kecil aja."
"Ricky! Aku ngambek tuh dipeluk kek, dihibur kek. Bukan diledekin tahu!" omel Kak Kimi padaku.
"Au ah, kakakku makin gak jelas aja. Aku pulang aja," kataku sembari beranjak dari tempat dudukku.
"Ihhhh, jangan! Kamu jahat ah sama aku," ujarnya sembari menahan tanganku agar aku tak pergi.
"Ya kita lanjutin aja ngobrolnya di apartemenku. Aku mau cepat mandi, Kak. Badanku udah lengket nih."
"Cemen kamu ah. Aku gatel-gatel seharian aja tahan kok."
"Iya-iya. Aku mau pulang pokoknya."
"Ya udah deh. Aku ambil baju ganti dulu ya di rumahku."
"Ok deh. Bye Kakak manis."
"Bye adikku yang paling handsome."
"Aku yang bayar ya. Kakak langsung pulang aja."
"Ih baik deh. Makasih ya, Sayang." Ia turut berdiri pula. Kemudian ia menuju ke arahku dan mencium pipiku. Hmm... harum rambutnya tetap tertangkap oleh hidungku walau sudah seharian bekerja.
"Ya udah, pulang dulu ya."
"Iya, Ricky Sayang. Love you."
"Love you juga, Kak."
Setelah membayar minumanku dan Kak Kimi, aku melajukan mobilku untuk pulang ke apartemen. Sebelum sampai ke apartemenku, aku singgah sebentar untuk membeli setangkai bunga mawar plastik untuk Kak Kimi. Demi menyambut kedatangan Kak Kimi, aku mandi sebersih-bersihnya. Kusemprotkan pengharum ruangan ke seluruh sudut kamar apartemenku. Lalu kutata ruanganku agar lebih rapi karena aku terlalu sibuk di pagi hari sehingga tidak sempat merapikan seluruh isi apartemenku.
TING… TONG!
Aku membuka pintu apartemenku untuk melihat siapa yang datang. Benar saja, Kak Kimi kini sudah berdiri di hadapanku. Ia mengenakan pakaian sederhana yaitu kaos lengan pendek berwarna biru dongker dan juga
hotpants berwarna putih. Wajahnya tersenyum lebar, menampakkan giginya yang putih berkilau. Tangannya menenteng sebuah
goodie bag yang berisi pakaian gantinya. Kupersilakan dirinya untuk masuk ke dalam kamar apartemenku.
"Perasaan kemarin gak seharum ini deh hihi…." komentarnya pertama kali saat masuk ke dalam kamarku.
"Kan biar Kakak nyaman malam ini."
Aku menuju ke dapur dan mengambil setangkai bunga mawar tadi. Aku berjalan ke dirinya yang sedang duduk di sofaku. Kemudian, ia sangat terkejut melihat diriku yang sudah berlutut saja di hadapannya. Aku menyerahkan bunga mawar tersebut, yang diterima Kak Kimi dengan rasa bahagia.
"Sayang, romantis banget kamu. Makasih banyak deh."
"Gak gratis loh mawarnya, Kak."
"Terus kamu mau aku bayar gitu? Pemerasan ah," protesnya dengan wajah cemberut. Imutnya tiada tara hehe….
"Bayarnya pakai cium aja, Kak. Ayo cium pipiku lagi dong."
Ia langsung memeluk diriku. Aku mengelus bagian belakang rambutnya tersebut. Ia terlihat nyaman sekali di dalam pelukanku sehingga tanpa ia sadari jika kami sudah berpelukan hampir 1 menitan. Selesai berpelukan, Kak Kimi langsung mencium pipiku dengan bibirnya yang lembut. Aku membalasnya dengan sebuah kecupan kasih sayangku ke keningnya.
"Sayang, lihat. Aku masih ngejaga kalungmu loh." Ia mengeluarkan kalung tersebut dari balik kaos biru dongkernya. Kalung berlambang hati berwarna merah dengan nama Kimi Marcella yang adalah hadiah ulang tahunnya ke 20.
"Hmm cincinnya kemana?" tanyaku melihat jari manisnya yang polos.
"Masih aku sembunyikan, Sayang. Maaf." Ia menunduk dengan wajah bersalah.
"Gak apa. Yang penting masih Kakak simpan."
"Nanti pas kita ketemuan kayak gini lagi, aku bakal pakai kok."
"Iya. Aku juga gak bakal marah kok kalau gak pakai."
Aku menatap Kak Kimi dengan penuh rasa cinta. Perlahan segala cinta dan kenangan yang pernah ingin kubuang jauh-jauh kembali timbul dalam diriku. Aku mendekatkan wajahku ke wajah Kak Kimi dan kemudian aku mencium bibirnya yang agak kemerah mudaan.
2 menit sudah kami berciuman. Aku melepaskan ciumanku dan kembali menatap Kak Kimi. Aku mengelus rambutnya yang berwarna hitam dan mencium kepalanya itu. Lalu aku meminta
virtual assistant yang kuboyong dari Amerika untuk memutar musik romantis dan mendayu. Saat lagu tersebut sudah mengalun, aku mengalungkan kedua lenganku ke leher Kak Kimi.
"Dansa yuk, Kak."
"Aku gak tahu caranya dansa, Sayang."
"Ikuti aja gerak badanku, Kak."
Kak Kimi melingkarkan lengannya ke leherku. Aku mulai menggerakan badanku perlahan ke depan dan ke samping. Kak Kimi awalnya sedikit kesulitan mengikuti gerakanku. Namun secara perlahan, Kak Kimi sudah bisa mengikuti gerakan dansaku yang sederhana ini
"Sayang…." panggil Kak Kimi lirih.
"Kenapa, Kak?"
Ia mulai meneteskan air matanya perlahan namun tetap melanjutkan dansanya. Aku ingin menghentikan dansaku, namun Kak Kimi yang terus bergerak kakinya mengisyaratkan bila ia tak ingin berhenti sedetikpun. Maka aku hanya bisa menatapnya bingung.
"Hiks… aku terharu, Sayang. Kamu masih romantis ya sama aku."
"Kan aku gak lupa dengan janjiku, Kak."
"Makasih, Sayang."
Kami terus menggerakan kaki kami mengikuti irama musik yang mendayu. Kiri ke kanan, depan ke belakang. Kami terlarut dalam suasana romantis ini. Sekitar 1 menit kemudian, musik pun berhenti pertanda jika musiknya sudah habis. Aku menghentikan dansaku dan mencium kening Kak Kimi.
"Kakak dah makan belum?" tanyaku begitu mendengar suara kruyukkk… dari perut Kak Kimi.
"Belum, Sayang."
"Mau aku masakin spageti gak nih?"
"Terserah deh. Asal kamu yang masak, aku pasti makan kok."
"Kalau gitu, kita masak bareng aja gimana?"
"Boleh banget tuh."
Aku menuju ke dapurku sembari menggandeng tangan Kak Kimi. Di dapur, aku memberikan apron putihku pada Kak Kimi agar bajunya tidak kotor saat memasak. Saat aku sedang mendidihkan air di panci, Kak Kimi langsung memelukku dari belakang.
"Aku kangen banget dimasakin sama kamu."
"Kakak, makin manja aja sekarang."
"Iya, habis kamu tinggalin aku lama sekali. Aku pengen manja-manjaan dengan kamu biar aku gak kangen lagi," curhatnya dengan nada manja seperti anak kecil.
"Padahal kata anak buahku, Bu Kimi terkenal jutek dan tegas loh. Tapi kelakuan pas di luar kantor malah gini."
"Ihh kan itu namanya profesionalitas. Lagian kamu kan sayangku, bukan bawahanku."
"Gak ada yang ganteng ya emang bawahannya Kakak?" tanyaku iseng.
"Ada sih, tapi gak seganteng kamu."
"Dasar, adik sendiri ditaksir mati-matian."
"Ihh kamu mah. Macam kamu gak naksir sama aku aja."
"Aku mah terpaksa pacaran sama Kakak. Aku masih punya pacar tau di Amerika sana."
"RICKY! AKU GAK MAU KAMU BAHAS DIA LAGI TAHU!" serunya sambil mencubut puting dadaku dengan kuat.
"Aduh! Iya deh, Kak. Ampun. Awww!"
Kak Kimi melampiaskan kekesalannya yang tak berujung karena aku membawa-bawa Claire. Untung saja Kak Kimi berhenti saat aku memohon. Selang beberapa saat kemudian, baru aku memasukkan batang spageti yang seperti lidi ke panci dan membiarkannya melunak.
"Maafkan aku deh, Kak. Aku gak bakal bawa-bawa dia lagi kok," ucapku sambil membelai embut tangan Kak Kimi yang putih mulus bagai salju.
"Iya, Sayang. Aku maafin kok," ucapnya dengan nada yang judes.
"Kan keluar deh sifat Kak Kimi di kantor."
"Habis kamu sih mancing-mancing," jawabnya yang masih dongkol.
"Iya-iya. Maaf dong, Kakakku tercinta, tersayang, termanis, tercantik, terseksi, tersemuanya lah."
"Sayang, lebay ah," ucapnya dengan senyuman kecil yang sudah merekah di bivirnya.
"Biar Kakak mau baikan sama aku, hehe…."
"Iya-iya, aku maafin kok, Sayang," katanya kini dengan nada yang sudah hangat.
Sambil menunggu matangnya spageti tersebut, aku mulai membuat bumbu pasta
bolognese yang kupelajari di Amerika. Kak Kimi membantuku dengan memotong tomat, bawang putih, bawang merah, seledri, cabe besar,
oregano, dan daun
rosemary. Aku memanaskan minyak sembari mengawasi spagetinya agar tidak kematangan.
Selesai semuanya dipotong, kami mencampur bahan-bahan untuk bumbu
bolognese tersebut hingga membentuk sebuah saus kental berwarna merah. Aku meniriskan spageti yang sudah matang dan kuangkat, kusajikan ke 2 buah piring yang sudah menunggu bagiannya.
Aku menyantap spageti itu bersama dengan Kak Kimi. Suasana romantis menyelimuti kami sepanjang menit. Setiap suapan dari spageti ini terasa lebih enak dari biasanya. Entah karena malam ini kemampuanku mengolah bumbu menjadi meningkat drastis atau mungkin cuma faktor sugesti dari wajah Kak Kimi yang terus tersenyum menatapku saat makan.
Aku mengambil piring kami dan membawanya ke wastafel untuk dicuci. Selesai membereskan dapur yang sedikit kotor, aku langsung menuju ke kamarku dan mendapati kalau Kak Kimi sudah berbaring memainkan ponselnya dan menguasai seisi ranjangku. Tapi satu yang menarik perhatian mataku. Mulusnya selangkangan dan paha Kak Kimi yang terekspos karena ia mengangkang lebar.
"Enak banget ya bisa rebahan di kasurku," kataku sambil bersandar ke dinding dan menatapnya tajam.
"Hihi… bentar doang kok. Boleh ya?" tanya Kak Kimi dengan mengeluarkan nada manjanya lagi.
"Ya udah.
Enjoy your time," ujarku sembari beranjak keluar dari kamarku.
"Ihhh, Sayang. Kok pergi sih?" tanyanya sambil mencampakkan ponselnya.
"Aku mau beres-beres dulu, Kak. Kan aku kerja, gak ada waktu pas pagi hari."
"Ya udah. Aku bantuin deh," tawarnya sembari bangkit dari kasurku.
"Bagus kalau gitu. Jadi cewek sadar diri gitu," kataku sambil tersenyum.
"Ihh, dasar kamu mah," ucapnya sambil memonyongkan bibir.
Maka sekarang aku membereskan ruang apartemenku bersama dengan Kak Kimi. Ia membersihkan perabotanku dengan kemoceng yang ada. Namun kembali, pemandangan indah penggoda iman tertangkap pandangan mataku. Pantat Kak Kimi yang montok sangat menonjol saat ia menunduk untuk membersihkan bagian bawah lemariku. Tanpa ia sadari, bagian bawah kaosnya itu tersingkap dan celana dalamnya berwarna coklat muda tersembul keluar. Aku berusaha menahan diriku dengan mengalihkan pandanganku dan melanjutkan bersih-bersihku.
45 menit kemudian, selesailah kegiatan bersih-bersih kami. Apartemenku sudah tampak jauh lebih teratur dan kinclong. Aku menatap ke wajah Kak Kimi dan mengangkat telapak tanganku. Ia mengerti maksudku dan langsung menepukkan telapak tangannya ke telapak tanganku.
HOAM! Kak Kimi menguap setelah meletakkan
vacuum cleaner. Aku langsung membawanya ke kamarku dan mempersilakannya untuk tidur di ranjangku. Untung saja Kak Kimi membawa bantalnya sendiri karena aku hanya memiliki satu bantal saja di sini.
"Aku tidur di sofa aja nanti. Tidur yang nyenyak ya, Kak."
"Gimana mau nyenyak, gak ada yang bisa kupeluk nih," kodenya padaku.
"Waduh, aku belum mau tidur, Kak. Kakak bawa si Kiki gak?"
"Gak bawa, Sayang."
"Ya terus mau meluk apa dong?"
"Maunya meluk kamu, Sayang," jawabnya dengan manja.
"Udah, tidur sendiri aja sana. Aku masih belum ngantuk."
"Sayang, kalau kamu gak tidur, aku juga gak mau tidur!" ancamnya padaku.
"Ya gak masalah, kan Kakak yang ngantuk."
"Gak jadi ngantuk deh. Aku pengen tidur bareng kamu."
"Aku masih mau nonton, Kak. Emang Kakak mau ikut?"
"Ayo, siapa yang larang?"
Kak Kimi bangkit dari ranjang dan segera mendekap diriku. Lalu kami bergerak ke luar kamar dan segera menyalakan televisi LED berukuran 32 inci. Beruntungnya aku, Papa sudah menyambungkan televisi ini dengan saluran kabel berbayar. Aku dengan nyaman bisa mengakses puluhan channel dan kemudian menetap begitu melihat film yang kusukai.
Kak Kimi menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku mengelus rambutnya perlahan dan mencium kepalanya yang selalu harum itu. Aku juga menggenggam tangannya yang halus. Kemudian aku melihat ke wajahnya, wajah kakak kandungku yang tetap setia kepadaku walau telah sering kukhianati cintanya.
"Aku janji, aku tak akan menyakiti hati Kakak lagi untuk selama-lamanya," batinku dalam hati.