Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG [BDSM] Chillhood, chillmate

Chapter 2 : Nausea

=====


Aina POV
[Pukul 07:00]

Kalau kemarin aku datang kesiangan, kali ini aku datang kepagian. Ini dikarenakan aku berangkat bersama orangtuaku yang masuk kerja pukul 08:00. Kantor mereka di kawasan Surapati, dan karena aku sekeluarga tinggal di daerah Cibiru, maka kami harus berangkat lebih pagi. Kalau enggak, beuhh ... tau kan jam segini macet terminal Cicaheum nya gimana? Malesin! Berangkat jam 6 pun bahkan kadang percuma karena akan tetap kesiangan ketika dihadang macet di sana.
Padahal, hari ini kelasku baru akan dimulai pukul setengah 9. Sebenarnya, aku sendiri agak malas jika harus datang terlalu pagi. Seperti ku membuang waktuku hanya dengan menunggu. Namun, kebetulan kali ini aku belum sempat sarapan, dikarenakan orangtuaku tadi terburu-buru juga.

Masuk dari gerbang belakang kampus, aku berjalan menuju tukang jual bubur ayam yang ada di dekat tempat printing. Namun, di tengah perjalananku, aku melihat seseorang yang berjalan di depanku. Aku merasa familiar dengan tampak belakang sosok tersebut.

“Kei...?” sapaku, sambil menepuk punggungnya pelan.
Pria itu menoleh sedikit. Akan tetapi, aku tak salah menyapa orang. Itu Kei!

“Na..” sapa Kei, sekenanya. Namun, ku lihat bibirnya pucat dan agak gemetar.

“Keii, mau kemana? Ada kelas,kah?” tanyaku, masih tetap antusias hanya dengan melihat dan berbicara dengannya.

“Nyari sarapan dulu.” Jawabnya, singkat.

“Eh, sama dong! Mau makan bubur, gak? Makan disitu, yuk!” ajakku.
Kei terdiam sejenak, berpikir. Sebelum akhirnya mengiyakan ajakkanku.
Kami berjalan bersama ke tempat tukang bubur. Tentu saja, aku senyum-senyum sendiri.

“Duh,padahal cuma ngajak sarapan bareng.. tapi kenapa aku bisa sesenang ini..? Akhirnya ku dapat berbicara, mendengar suaranya, dan kini ... sarapan bareng! Haha!”

Setibanya di tukang bubur, akupun berinisiatif memesan makanan.

Mang, bubur dua!” pesanku ,sambil tanganku menunjukkan isyarat angka dua.
“Oke siap!” jawab si tukang penjual bubur. “Pake pedes, gak??” tanyanya
“Kei??” tanyaku, yang berarti “apakah Kei mau makan bubur dengam sambal atau tidak”.

Kei hanya mengangguk pelan. Dan bubur ayam pun dibuat.
Aku dan Kei duduk di bangku yang tersedia. Namun, aku belum sempat menanyakan kondisi Kei.

“Eh, Kei kenapa..? Kelihatannya pucat begitu..?” kuberanikan diri bertanya, dan menatap wajahnya.
“Entah..” jawabnya.
“Apa karena kamu belum sarapan?” tanyaku lagi.
“Mungkin...”
“Masuk angin gak tuh? Atau semalam begadang? Pasti semalem main War**frame lagi??” tanyaku, mulai bertingkah sok menegur.
“Hmm.. nggak lah.” Jawab Kei, lalu tersenyum kecil. Namun, setelah itu Kei terbatuk-batuk.

“Uhuk, uhuk!”

“Eh.. Kei? Minum dulu, gih!” Aku berinisiatif mengambilkan minum teh tawar hangat dari termos milik tukang bubur ayam tersebut, lalu menyodorkan segelas teh tawar tersebut pada Kei.

“T-terimakasih...”
Namun, kemudian muncul doronganku untuk mencari tau apa yang terjadi pada Kei, tapi bukan dengan bertanya. Aku memegang salah satu tangannya. Kenapa ku memegang tangannya? Mungkin bisa ketahuan dia sedang baik-baik saja atau tidak---- aku belum berani untuk menyentuh leher ataupun dahinya.

“Kei, tanganmu.. dingin!”
Namun, ternyata perlakuanku malah membuat Kei mendenguskan nafasnya.

“Hmphh....”
Diikuti dengan suara gemeretak gigi. Badannya gemetar. Namun ia tak menatapku. Dan akhirnya ku semakin menangkap kesan jutek dan galak pada wajah Kei. Nampaknya Kei kesal padaku. Maka aku menundukkan wajahku, sembari menjauhkan tanganku dari tangan Kei.

“M-Ma-Maaf..” ujarku, gugup mendadak. Kei hanya diam, dan sedikit membuang wajah.

Neng, buburnya nih!” ujar si tukang bubur ayam kepadaku.

“Oh iya, mang.” Sahutku, lalu berjalan menuju gerobak tukang bubur ayam untuk mengambil sendiri dua buah mangkok bubur ayam tersebut. Lalu aku menyodorkan semangkok bubur lagi untuk Kei.

“Thanks...” ujarnya.

“Oke~”

Lalu kamipun mulai menyantap bubur ayam tersebut. Namun, saat aku memakan buburku, bahkan ku bisa melihat bahwa Kei pun nampaknya terlihat ‘setengah hati’ menyantap bubur ayam tersebut. Maka, aku pun mulai membuka kembali topik;

“Kei...”

“Hmm?”

“Lu penganut bubur setengah diaduk,ya? Tuh lihat...!” ujarku, menunjuk mangkok bubur ayam milik Kei yang mana topingnya dan bumbunya masih dibiarkan utuh sebagian, dan Kei sedari tadi hanya memakan bagian bubur yang hanya tercampur sedikit bumbu dan toping.
Kei hanya tertawa kecil----tapi setidaknya kali ini ia berhasil tertawa
“Hahaha... bacot!” ujarnya. “Bubur tuh buat dimakan, bukan buat didebatin.”
Kali ini aku tertawa, dan tentu saja setuju.

Lalu, kembali kami menghabiskan sarapan masing-masing. Tanpa diselingi dengan berbincang apapun. Setelah itu, kamipun mengambil minum, dan tiba-tiba Kei mengeluarkan dompetnya, lalu menghampiri tukang bubur tersebut dan memberinya selembar Rp.10.000,-.

“Oke, makasih A!”

Mang, mau bayar juga!” ujarku, sembari mengeluarkan uang untuk membayar.

Setelah kami membayar, Kei merogoh saku celana jeansnya sebentar, mengambil HP nya.

“Na, gua ke kosan dulu.”
“Eh, gak jadi ke kelas emang??” tanyaku.
“Dosennya gak ada.”
“Oh..yaudah, hati-hati di jalan!” Aku menepuk pelan pundak Kei, tanda pertemanan.
“Ya..”
“Jangan lupa istirahat, Kei!” ujarku, sembari melihat wajah Kei yang sudah tidak sepucat tadi-namun masih tetap pucat-dan mulai terlihat sedikit bersemangat.
“Ok.”

Kei pun pamit padaku dan beranjak pulang ke kosannya. Tubuhnya membelakangiku, tentu saja dia tidak melihat wajahku yang kini tersenyum senang karena bisa bersamanya walau sejenak.

Kei P.O.V

[Pukul 06:00]

Aku terbangun, dengan keadaan kepala pusing, tubuh menggigil, dan panas dingin. Hmm.. kukira dengan tidurku semalam, keadaanku menjadi lebih baik, tapi tidak begitu! Pagi ini kondisiku sama saja, bahkan sedikit lebih parah.
Apa gara-gara kejadian semalam ya ...? Sehingga ku baru bisa tertidur sangat larut malam. All of those memories in last night make me sick!
Apalagi, pagi ini aku harus menghadiri kelas yang diadakan pukul 08:00. Kelas teori sih sepertinya. Namun, aku memutuskan untuk memaksakan diri berkuliah, karena aku pun merasa bahwa aku masih bisa menguatkan diri untuk sekedar berjalan menempuh kampus.

“Meskipun kamu lagi sakit, tapi kalau kamu masih kuat untuk menempuh dan menimba ilmu, maka lakukanlah! Tidak ada kata berhenti untuk menimba ilmu!” begitulah motto yang kudapat dari cerita orangtuaku dulu dikala mereka sakit namun tetap bersekolah, dan menjadi salah satu motivasiku hingga saat ini. Apalagi.. aku sedang ‘membayar’ apa yang selama ini kutinggalkan selama cuti.
Lagipula, sayang absen. Dan belum tentu teman-temanku mau kutitipkan absen.

Maka, aku memutuskan untuk berangkat jam tujuh pagi, sekalian mencari sarapan. Apalagi, kebetulan pagi itu yang menjaga kosan hanya si pria pemilik kos yang semalem kulihat. Dan tidak tersedia sarapan seperti biasanya.
“Gak ada sarapan, ya? Ngentot terus, sih!!” gerutuku, mengingat apa yang semalam kulihat tentang ‘aktivitas’ pria pemilik kos yang membuatnya kelelahan hingga lupa menyiapkan sarapan. Apalagi, pikiranku semakin kalut melihat celana boxerku yang berlumuran sisa air mani bekas masturbasiku semalam.
“Hiihh..” akupun bergidik jijik. Kemudian bergegas untuk mandi sekaligus membersihkan celana boxerku.

[Pukul 07:00]

Aku sudah menginjakkan kaki di kampus, saat tiba-tiba seseorang menepuk punggungku.
“Kei!”
Ya, dari suaranya pun aku mengenalnya. Suara yang juga biasa kudengar melalui voice chat saat bermain game.
“Na..” sapaku. Namun, kali ini justru ada yang beda dengan diriku sendiri saat berhadapan dengan Aina. Mendadak ku merasa gugup, jantungku berdebar kencang. Apalagi kalau bukan karena...kejadian semalam? Mendadak ku merasa bersalah teramat sangat. Namun, aku memutuskan untuk tetap bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa pada diriku.
Singkat cerita, ia pun sama-sama mencari sarapan, dan akhirnya ia pun mengajakku sarapan bubur ayam. Tentu saja, Aina bertanya-tanya tentang kondisiku, apalagi ia menanyakan wajah dan bibirku yang terlihat pucat. Saat ia bertanya, aku tak tahu harus menjawab apa, karena...

What if i’m sick because of imagining you in nasty way last night?

Jangankan Aina, aku sendiri tak yakin mengapa aku mendadak ‘sakit’. Tak puas dengan jawabanku, Aina memegang tanganku, aku mengerti ia berniat untuk mengecek kondisiku. Namun ...
Saat Aina menggenggam tanganku, seolah listrik mengalir ke tubuhku, membuatku gemetar, lalu lemas. Aku tidak mengerti bagaimana menggambarkan apa yang kurasa saat itu. Apakah jika sedang sakit, semua menjadi terasa sensitif?
Namun, aku masih tetap menahan diri, ku hembuskan nafasku. Namun, akibat dari diriku yang berusaha keras menahan diri dari perasaan ini, tubuhku semakin gemetar, sehingga gigiku gemeretak karenanya. Namun, reaksiku diartikan oleh Aina sebagai penolakanku. Padahal, tidak begitu ..

Ah, am I bad guy for her?

Bahkan, sebenarnya aku tidak masalah jika Aina memegang tanganku, namun .. aku tak terbiasa bahkan untuk menggenggam tangan seorang wanita. Kini, pikiranku semakin saja pusing, namun setidaknya perutku sedikit merasa lebih baik setelah terisi oleh sarapan bubur ayam.
Lagipula, setelah ini aku akan pulang kembali ke kosanku, karena ternyata dosen membatalkan kelasnya. Yah, tidak apa-apa deh, aku juga bisa beristirahat.

(To be continued...)
 
Chapter 3 : Gosip Lelaki di Siang Hari

=====

(Masih di hari yang sama dengan Chapter 2)

Narrator P.O.V
[Pukul 15:30]

“Ehh, Dit! Adit!”
Panggil seorang gadis berambut pendek dengan sweater putih serta rok hitam yang sedang menenteng sebuah kresek. Adit menoleh, sembari membetulkan kacamatanya.
“Eh, Aina!” sapa Adit.
“Yoo, Dit!” Aina menghampiri Adit yang sedang beranjak keluar dari gedung Student Center. Nampaknya ia ingin pulang selepas dari sekre Gekibara.
“Jadi, ada apa, Na?” tanya Adit, setelah Aina terlebih dahulu men-chatnya untuk bertemu.
“Aku boleh minta tolong, gak?” tanya Aina.
“Minta tolong apa, Na?

Bukannya menjawab, Aina malah menyerahkan kresek yang ternyata berisi sekotak donat madu dan beberapa snack kepada Adit.

“Wih, ini buat gua?” tanya Adit, setengah bercanda.
“Enggak.” Jawab Aina, dan seketika raut wajah Adit berubah cemberut.
“Gini, kan kosan lu deket sama Kei, kan?”
“Ya se-kosan, beda lantai doang.. Dia di lantai atas, gua di lantai bawah.”
“Nah, tolong titip ini ke Kei, dong, boleh?” tanya Aina sembari menunjuk sepaket camilan tersebut.
“Etdah, tumben amat lu...” ujar Adit. “Buat gua gak ada,apa?”
“Hahaha... kamu boleh kok ambil sebagian..” ujar Aina. “Kebetulan ak beli snack agak banyak,sih..”
“Candaaa.. eh tapi tumben? Ada apa??” selidik Adit, tidak bisa tidak penasaran dengan tingkah laku Aina.
“Oh itu, tadi kan gua ketemu Kei tuh, tapi dia kayak yang sakit gitu kan .. yaudah kubawa makanan deh biar dia mendingan. Tapi aku juga lagi gak bisa jenguk Kei hari ini, jadi aku titip ke kamu.. Gimana?”

Adit berpikir sejenak. “Oh, Kei sakit? Gua belum ketemu dia sih hari ini..beda kelas sih,ya..”

“Yaudah entar gua anterin dah, sekalian gua jenguk juga.” Jawab Adit.
“Yaudah, makasih ya, Dit~!”
“Ok. Lagian lu juga kayak bucin aja segala beli snack banyak-banyak, haha!” goda Adit, sebelum mengakhirinya dengan pamit.
“H-Heh!”
Dibilang ‘bucin’, wajah Aina sedikit memerah. Ia menonjok lengan Adit, namun tak terlalu keras. Sebelum akhirnya mereka saling berpamitan.
Karena, saat ini hanya Adit yang tau tentang perasaan Aina pada Kei.

[Pukul 15:45]

“Keiii!” panggil Adit, sembari mengetuk pintu kamar kos Kei.
“Ya..” jawab Kei, yang kebetulan saat itu baru terbangun dari tidur siangnya.
“Wih, Kei!” ujar Adit. “Baru bangun, lu??”
“Iye..”
“Wah, sori nih, gua ganggu lu ya?”
“Ah, nggak apa, selow aja..” jawab Kei, sembari membukakan pintu dan mempersilahkan Adit untuk masuk.
“Eh,lu bawa apa tuh Dit?” mata Kei terfokus pada bingkisan snack yang dibawa Adit dengan kresek.
“Oh iya,buat lu, nih!” ujar Adit, sembari menyodorkan bingkisan tersebut.
“E-eh..? Lah,buat gua? Gua kan gak minta lu beliin...” Kei terheran-heran.
“Bukan dari gua. Dari Aina.”
“A-Aina...?” Kei bergumam pelan. Ia menatap bingkisan tersebut sejenak, sebelum ia memutuskan untuk menerimanya. Kemudian melihat isinya sejenak.
Sekotak donat madu ukuran 6 buah donat, dua buah snack keripik kentang, dua buah camilan keripik singkong, serta sebuah camilan manis, yang kalau di daerah Jawa Barat bisa dibilang “kuping gajah”.

“Banyak sekali, Na.” gumam Kei, pelan.
“Iye. Lagian, kata Aina lu sakit?? Sakit apa lu?” ujar Adit, to the point.
“Iya sih, tadi pagi gua gak enak badan. Masuk angin kayaknya.”
“Oh gitu, ngapain lu semalam? Tapi sekarang lu gapapa?” tanya Adit
Pikiran Kei mendadak membuyar sejenak saat Adit menanyakan apa yang ia lakukan semalam.
“Entah, Dit.. mungkin telat tidur..”
“Ealah masa iya? Biasa juga kuat gadang lu, main War**frame aja sampai subuh!” canda Adit, sembari memukul pelan pergelangan tangan Kei.
Kei hanya tertawa kecil. “Ah, lagian sekarang udah mendingan.”
Mulai terasa lapar, Kei mulai merogoh bingkisan pemberian Aina untuknya, lalu mengeluarkan sekotak donat madu terlebih dahulu.
Ternyata donat-donat tersebut, 3 diantara 6 donatnya diberi tulisan “GWS”, yang artinya “Get Well Soon.” Kei hanya tersenyum, sementara Adit mulai menyorakinya.
“Cieeee...baru kali ini gua lihat lu diperhatiin cewek, Keil?” goda Adit.
“Hahaha..” tawa Kei. “Segitunya amat, padahal gua cuma masuk angin..” pikir Kei dalam hati, setelah memperhatikan pemberian Aina padanya.
“Aina.. memang baik, sih.” Ujar Kei.
“Ya, memang.” Adit pun setuju.
“Lagian gua pernah cerita ke dia, kalau gua memang suka nyemil.. mungkin karena ceritaku itu...” ujar Kei, mengingat-ingat, sembari mulai menyuapkan donat rasa cokelat ke mulutnya.
“Oh iya, lu mau? Ambil aja, Dit.” Kei menawarkan donat kepada Adit.
“Wihh, jelas mau, dong!” ujar Adit. Apalagi sebelumnya ia juga sudah diperbolehkan Aina untuk mengambil sedikit bagiannya. Adit mengambil donat rasa mochachino.

((Sfx : Tap...Tap...))

“Eh, ada yang dateng tuh.” Ujar Adit, dikala mengunyah donat. Ia menengok keluar sejenak.
“Oii, Di!” Adit menyapa Hadi, yang juga merupakan teman sejurusan dan seangkatan Adit dan Kei.
“Yoo Dit!”
“Eh, ajak aja si Hadi kesini, lumayan tuh bantu habisin donat, haha..” usul Kei.
“Ok, bentar.” Ujar Adit, lalu memanggil Hadi kembali.

“Hadii! Sini!”
“Apaan??”

Adit bukannya menjawab ,malah menunjukkan donat yang sudah ia gigit.
“Donat, cuy!”
“Asli nih?? Mau atuh, euy!” ujar Hadi, lalu segera menghambur ke kamar Kei.
“Yoo Di.” Sapa Kei. “Sini, ambil donat lu.”

Tak pikir panjang, sosok pria tambun berjaket hitam tersebut langsung mengambil donat rasa alpukat.
“Hmm, wah ada rasa alpukat, nih! Favorit gua!”
“Eh, lu suka rasa alpuket, Di?” tanya Kei.
“Iye, nih!”
“Oh... gua kira yang hijau tadi rasa green tea. Gak terlalu suka rasa alpukat gue.” Ujar Kei.

Lalu, ketiga mahasiswa tersebut menikmati camilan bersama-sama. Sesekali diselingi topik pembicaraan seputar perkuliahan hari ini, lalu berlanjut menjadi candaan, ataupun membicarakan topik game dan anime terbaru. Sehingga, tiba pada topik suatu anime yang hanya mengandalkan fan-service berupa karakter wanita berpayudara jumbo sebagai daya tarik, ditambah dengan adegan yang seduktif. (ecchi).

“Mau lah gua,punya waifu (istri karakter dua dimensi,red) tetek gede kayak gitu!” ujar Adit, semangat, selalu berapi-api apabila membicarakan anime, tetek, dan keduanya.

“Yee, itu kan emang demenan lu!” timpal Kei. “Gua sih, gak terlalu peduli sama ukuran tetek!”

“Masa iya?? Bo’ong amat lu, koleksi hentai lu aja cewek tetek gede terus!” cecar Adit.

Lalu mereka pun tertawa. Diantara mereka, memang Adit termasuk weeabo namun ia extrovert, sangat terbuka dan senang bergaul, jauh dari kesan tertutup sebagaimana penyuka anime pada umumnya. Tidak seperti Kei dan Hadi.
Akan tetapi, tiba-tiba Kei memutuskan untuk memulai pembicaraan.

“Eh, Dit, Di, gua mau nanya..” ujar Kei, memelankan suaranya.

“Apaan?”

“Emang iya... eh lu tau kan cowok yang suka jagain kosan? Yang punya kosan itu loh?” tanya Kei, merujuk pada pria pemilik kos yang ia lihat semalam.
“Iye lah tau, kenapa emang?” tanya Hadi.
“Baik kok si mamangnya.” Begitu Adit menyebutnya.
“Bukan masalah itu..” ujar Kei.
“Terus?”
“Ugh itu... apa iya, dia suka bawa cewek ke kosannya..?”
“Emang kenapa? Itu istrinya.” Jawab Hadi, yang tinggal di kosan ini lebih lama dari Adit dan Kei.
“Istrinya..?” ujar Kei. “Ohh...”
“Tapi Dit, Di..”
“Apaan lagi?”
“K-Kemarin .... gua lihat... tuh cowok ngentot sama dua cewek sekaligus! Gua ga sengaja ngintip dari kamarnya, njir!”

“UHUK! UHUKK!” sontak Adit yang sedang menyantap camilan, terbatuk mendengar perkataan Kei.
Hadi pun terdiam.

“Ohhhh, udah lihat juga dia, Di! Hahahaha!” tawa Adit, tak lama setelah ia menenangkan diri dari tersedak.

Namun, tak lama kemudian....

“Kei, emang gua belum cerita ya, soal tabiat si mamang penjaga kos di sini?” tanya Hadi, yang juga memelankan suaranya.
“Orang yang udah lama ngekos di sini, pasti tau si mamang memang begitu.. biasanya main sama istri dan cewek lain.. gatau dah mungut dimana tuh cewek.” Ujar Adit, menyambung cerita.
“Oh..iyakah?” tanya Kei, sembari berusaha menyerap informasi yang ia terima.
“Nih ya Kei, gua pernah tengah malam kebangun gara-gara denger desahan dari bawah tuh ,dari kamar di mamang! Yaelah!” Adit pun curhat, berhubung kamar ia pun tepat setingkat di atas kamar mamang pemilik kos.
“Njir, pasti lu susah tidur, dah.” Ujar Kei.
“Iye lah, gua kebagian desah doang, tapi gak kebagian ngewenya!” ujar Adit, mulai frontal. Sontak Kei dan Hadi tertawa.
“Oh iya, gua juga pernah sih, ditawarin ...” ujar Hadi.
“Apaan? Ditawarin gituan?” tanya Kei
“Iya, tapi gua tolak. Ogah ah, bini orang. “

Seketika Kei bergidik jijik, karena berpikiran bahwa bersetubuh dengan wanita ‘bekas pakai’ itu hal yang menjijikkan, terlebih setelah mendengar bahwa nampaknya si mamang sengaja ‘mengobral’ salah satu wanita-nya kepada penghuni kos.

“Heleh, memang sih cantik, tetek gede, tapi udah dipakai sana-sini sih, apaan dah.. Dikira gua cowok apaan!” ujar Adit, yang disambut oleh Kei dan Hadi yang setuju.
“Tumben lu ada benernya, Dit.”

[Pukul 20:00]

“Na, makasih ya..”
Sebuah notif muncul dari Facebook Messenger Aina, diikuti dengan kalimat,

“Kei sent an attachment”

Aina membuka aplikasi messenger, dan terlihat chat dari Kei yang juga memfoto snack pemberian Aina, namun dengan kotak donat yang isinya sudah dihabiskan, keripik kentang yang kemasannya masih terbuka, serta beberapa camilan yang masih utuh belum dibuka.
Senyum Aina mengembang. Ia membalas chat Kei.
“Iyaa,sama-sama, Kei. Gimana, enak?”
Tak perlu menunggu lama, muncul balasan chat,
“Iya, enak kok, Na. Duh makasih bangett...” ujar Kei, yang kini menunjukkan sisi ‘lunak’nya.
“Hahaha, anytime. Aku senang kamu menyukainya.”
“Lagian, tau aja lu Na, kalau gua lagi krisis makanan..” ujar Kei.
“Begitu, ya... Oke deh, kapan-kapan aku beliin kamu snack lagi deh, Kei!”
“Wkwkwk, thanks Na..”
Percakapan di messenger pun berakhir, Aina memutuskan untuk memejamkan matanya dan tidur, karena ia kelelahan hari ini. Namun, baru saja Aina hendak merebahkan badannya di kasur, tiba-tiba...

*sfx : zzzzrrtt!*

Ponsel Aina kembali bergetar. Aina mengambil ponselnya, lalu melihat pesan masuk dari Kei.

“Na, gak on War**frame lu?”
“Kagak lah, emang ada apaan? Mau mabar (main bareng,red)?”
“Ada misi alert dari Lolo*tus (non-playable character di game War**frame,red) tuh, lumayan!”
Kemudian Kei mengirimkan foto berisi item-item bagus di War**frame, dan terbilang rare (langka) untuk didapatkan.
“Wah! Tumben nih Lolo*tus ngasih event. Login dah!”
“Ayo, bareng dah sama gua.”

“Ok, gua login dulu.” ujar Aina, yang mulai membuka laptop, kemudian meng-klik ikon game War**frame di laptopnya.
“Checking new content...” begitu tulisan yang tertera di launcher War**frame.
“Wah, masih checking new content, nih. Tungguin ya?” chat Aina pada Kei.
“Ok, sans..”
Sudah hampir seminggu saat Aina tak membuka game War**frame, selain karena sibuk kuliah juga dia ingin mencari kesibukan lain selain main game. Maka dari itu, perlu waktu kembali untuk mengumpulkan data-data dan konten terbaru dari game War**frame.
5 menit kemudian..
Patching telah selesai, Aina langsung meng-klik tulisan “Play” pada launcher War**frame. Tak lama kemudian, ia login dengan memasukkan ID dan passwordnya, dan langsung memasuki mode game.

Baru saja Aina hendak melakukan chat Kei melalui game, ternyata,
“Samlekom..mamank..” begitu isi chat dari Kei yang masuk ke akun Aina.
Aina tertawa, mengetahui bahwa Kei meniru ucapan dari meme/jokes-yang sebenarnya agak porno-yang diucapkan oleh artis dunia maya yang bernama Gxrok Asmxking dan menjadi viral-viral karena memberikan dampak negatif dan akan ditiru anak di bawah umur, tentunya.
“Hahaha,ada-ada saja kau, Kei. Lagian tumben dia chat gue duluan..”
ujar Aina dalam hati, dan akhirnya memutuskan menjawab chat Kei, dengan tak kalah melanturnya, yaitu ‘menyambungnya’ dengan kalimat jokes yang juga dilontarkan oleh Gxrok Asmxking.
“Wkwk kuy bersetubuh mamank” ujar Aina, namun tak lama kemudian..
“Eh”
“HAHAHA” chat Aina lagi untuk ketiga kalinya, sebelum Kei sempat membalas.
“Wkwk, mau mabar kan?” jawab Kei, setelah tiga kali chat Aina.
“Iya, yuk.”
“Invite” ujar Kei, mengisyaratkan agar Aina mengundangnya ke dalam party bersama Aina, dan Aina menjadi host (leader) di game tersebut.
Setelah menginvite Kei ke dalam partynya, mereka pun langsung memilih mission alert yang menjanjikan reward tersebut, lalu bermain bersama, menyelesaikan misi dengan melawan monster-monster jenis Infested dalam mode Survival selama 30 menit itu.
[30 menit kemudian]

“Huft.. bosen juga ya, 30 menit cuma mondar-mandir ngecast skill 4 doang..” ujar Aina, seusai menamatkan misi.
“Wkwk iya, lama sih 30 menit tuh” balas Kei
“Nah, terus sekarang mau ngapain, Kei?”
“Hmm..” Kei berpikir sejenak, sebelum akhirnya ...
“Mau buka relic aja gak, Na?”

Relic adalah salah satu item di War**frame yang jika dibuka setelah melakukan misi, akan mendapatkan lima pilihan rewards berupa part-part senjata ataupun karakter War**frame.
“Boleh, deh.”

Setelah mereka memilih misi untuk membuka relics, mereka pun memulai kembali permainan.
Kali ini, Aina menggunakan karakter Saxryn, yaitu karakter War**frame yang menggunakan elemental persebaran racun yang mematikan. Sedangkan Kei menggunakan karakter Gxxruda, yaitu karakter War**frame yang diadaptasi dari burung Garuda, namun memiliki role sebagai support, yaitu menyuplai Health Point (darah) untuk pemain. Mereka memasuki misi dengan mode Survival.

Namun, baru saja mereka menjalani lima menit survival ...
“Aduh, ngebug lagi nih Gxxruda.” keluh Kei, melalui chat squad
“Eh, ngebug kenapa tuh?” tanya Aina
“Sama kayak dulu, gua pencet skill 2 terus gak bisa diganti dan pakai senjata apapun..”
“Waduhh gimana dong?”
“Entah lah, ngestuck ini, gua cuma bisa jalan-jalan doang.”

Aina tak lagi membalas chat Kei terlebih dahulu, ia kini sibuk menghadang monster-monster yang jumlahnya semakin banyak dan memiliki damage yang semakin tinggi setiap pergantian lima menit. Hingga pada akhirnya..
[Synthwave is down!]
Itu berarti, karakter yang dimainkan Kei mati, meski masih memiliki kesempatan untuk dihidupkan kembali oleh player lain.
“Jangan di revive, Na! Entar ngebug lagi.”
“Eh, iya deh..” ujar Aina

Namun, muncul satu player lain yang malah mendekati Kei.
“Dang, don’t revive me, this is bug! Just let me die.” ujar Kei, kepada pemain lain.
“Okay”
[Synthwave has died]


Kei pun menghidupkan dirinya sendiri dengan sisa nyawa yang tinggal empat kali kesempatan untuk hidup.
Namun, kejadian sama tetap berulang setiap ia mengeluarkan skill 2 Garuda, yaitu tetap terjadi bug. Dan ia kembali harus menunggu ‘maut’ agar bisa menggunakan Garuda kembali.
Akhirnya Kei kesal.

“Ngentod lah, ngebug mulu, kesel gua!” umpatnya di chat squad.
“Eh, Kei...” ujar Aina, terperangah. Namun ia tetap mencoba menetralisir situasi.
“Gimana, mau extract pas udah 10 menit aja?” tanyanya.
“Yaudah. Kesel juga gua anjing.” Umpat Kei sekali lagi.

[Beberapa menit kemudian, setelah mereka extract dari misi relic]

“Anjing lah ngebug terus. Daritadi juga gini,sih.” ujar Kei, melalui private chatnya dengan Aina.
“Hmm...coba tanya-tanya ke forum? Atau,udah minta support ticket buat bug mu itu?” ujar Aina, masih mencoba menenangkan sekaligus mencarikan solusi.
“Apa gara-gara laptop gua kentang ya, jelek. Jadinya ngebug” ujar Kei, masih mencerocos.
“Eh, enggak kok, Kei.. Beneran, itu bukan salah laptopmu.” ujar Aina, masih mencoba berpikir jernih.
Spec laptopmu sih gak ngaruh sama bug Gxxruda-mu. Itu memang pure bug dari gamenya,lagian Gxxruda juga belum lama ini rilis,kan.”

Kei terdiam sejenak di chat.
“Gua tau ini soalnya kasusmu hampir serupa kayak waktu gua pakai Sxryn pas awal kena rework, ehh kena bug pas mau ngeluarin skill 1..” lanjut Aina.
“Iya, semoga aja sih ya. Tadi gua nyoba chat ke server Region, terus ada yang ngejawab kalau itu masalahnya di window blablabla gatau deh, mungkin juga bukan buat gua?” ujar Kei.
“Lah masa iya dari Window? Enggak lah itu, gak ngaruh, kan sama kayak kejadian bug yang gue , padahal gue online di warnet, yang spec nya lebih bagus dibanding laptop gue..” Aina meyakinkan Kei.
“Ahh udahlah, emang dasarnya laptop gue juga cacad, kentang. ******. Dasar miskin!” ” Kei mengumpat dirinya sendiri.

“Kei.. just calm.. yourself.. everything is gonna be okay..” ujar Aina, yang juga mulai merasa tak enak jika melihat Kei terus menerus menyalahkan dirinya.
“Yaudah, gua off dulu, Na. Besok ada kelas pagi juga.”
“Oke, Kei. See ya~”
“Ok”

Synthwave is offline.

Aina pun ikut offline dari game, serta mematikan laptopnya.
 
Chapter 4 : Virgo Sun

===


Aina POV
[Keesokan harinya, pukul 08:30]

“Anjirr lah, telat lagi gue!”
Aku terburu-buru lari menaiki tangga, namun dengan nafas yang ngos-ngosan serta kaki yang pegal dan linu. Iya, linu.
Hari ini aku menghadiri kelas Pemodelan Digital yang seharusnya dimulai pukul 08:00, namun karena aku tidur terlalu larut semalam, aku pun bangun kesiangan. Ditambah, kakiku saat ini terlalu pegal dan linu bahkan untuk menaiki tangga. Tak lupa kepalaku yang pening karena lagi-lagi kurang tidur.
“E-eh--- waaaaa...!!”
Aku pikir aku akan jatuh tersungkur karena salah memijak anak tangga, namun...
*sfx : Hup!*
Seseorang menangkapku. Siapakah itu..?

Pandanganku terhalang sejenak, wajahku ‘menubruk’ sesosok dengan tubuh berbalut kaos hitam dan jaket jeans biru tosca, serta dada yang bidang, dengan aroma khas parfum pria yang tidak menyengat. Perlahan ku beranikan diri mendongakkan kepalaku, melihat siapakah sosok baik hati yang telah menyelamatkanku agar tidak jatuh dari tangga ini.
“K-Kei..?”
“Na, kamu gapapa?” ujar Kei, yang masih ‘memelukku’, dengan maksud untuk menahanku agar tidak terjatuh seperti tadi.
Mengetahui bahwa yang menyelamatkanku adalah Kei, wajahku sontak merah padam, aku menundukkan wajahku yang tak kuasa untuk menatap wajahnya dalam jarak sedekat ini.
“E-eh.. iya, gak apa-apa, Kei...”
“Beneran?” tanya Kei, yang kemudian mengangkat wajahku, dan jari telunjuknya menyentuh bibirku perlahan.
“Pucat, lho.” ujarnya, menunjuk ke arah bibirku.
Kei.. dalam jarak sedekat ini... dan menyentuh bibirku...?

“Hmph!”
Aku reflek mengatupkan bibirku, sebagai reaksi jika ada sesuatu yang menyentuh bibirku (dalam hal ini, jari telunjuk Kei). Namun, reaksiku malah membuat seolah ku mengulum jari telunjuk Kei sekarang.
Akan tetapi, Kei pun tak langsung menarik telunjuknya. Ia malah membiarkan telunjuknya terkulum olehku. Malah, aku merasakan bahwa Kei perlahan memaju-mundurkan jari telunjuknya, yang terkadang mengenai lidahku, dan secara tak sengaja aku menjilati jarinya.
“Mmmphh...mhnn...”
“Heh.”
Baru lah Kei melepaskan jari telunjuknya. Namun, kini tangannya berpindah memegangi pipiku.
“Dah, mau ke kelas, kan? Hati-hati.” ujar Kei, melepaskan pelukannya kemudian berjalan menuruni tangga.
Aku tak sempat mengucapkan sepatah katapun, lidahku kelu seketika. Namun, akhirnya tetap kupaksakan menaiki anak tangga yang tinggal beberapa lagi untuk menuju kelasku, tentu saja dengan keadaan tubuhku gemetar hebat, lutut yang sudah memaksaku untuk ambruk dan lemas.
“Permisi..”
Aku menghampiri ruang kelas, dan ternyata baru diabsen saja oleh dosennya. Aku sedikit lega, maka dari itu aku mengambil bangku untuk duduk. Melemaskan, mengistirahatkan tubuhku yang lemas, lututku yang gemetaran parah, dan berusaha meyakinkan diriku atas apa yang baru saja terjadi.
“P-pak, izin ke toilet..!” ujarku kepada dosen.
“Ya, silahkan. Jangan lama-lama ya..”
Aku pun bergegas ke WC wanita, tak lupa menguncinya erat-erat.
“Argghhh aku gak peduli kalau aku ngompol, aku udah gak kuat!”
Aku duduk di atas tutup jamban WC duduk, menyibakkan rok ku, kemudian memasukkan tangan kiriku ke dalam lubang vaginaku, dan segera mencari titik G-spot kenikmatan di dalamnya.
“Aaahhhnn...” aku mendesah panjang. Sementara tangan kananku mulai memilin-milin klitorisku yang membesar dan mengeras.
“Ohh..f-fuucckk.... mmhhhnnn...” ku memaju-mundurkan jari-jariku pada vaginaku, mengocok vaginaku kencang-kencang, sampai terdengar bunyi yang dapat didengar olehku sendiri.
(sfx : clllkk clkk ckkk cck...)

Tak lama kemudian ku rasakan vaginaku berdenyut lebih kencang, dan tubuhku mulai bergetar.
“Arrgghhh enakk ...fucckkk....” desahku, namun tetap mengatur suaraku agar tak terdengar hingga keluar toilet.
“Urrghh p-pengen k-kontolll... aargghh...ugghhh sssshhh.....” erangku semakin tak terkendali, menyodokkan jari-jariku lebih dalam mencapai titik g-spotku yang semakin menambah nikmat onaniku, serta memilin-milin dan menekan klitorisku semakin intens dengan tangan kananku
“Anjingg lo Kei, aargghhhh... shiitttt... ngentottt... oooughhnnn...”
Membayangkan seandainya Kei menyetubuhiku, membuat vaginaku semakin berdenyut nikmat saja, tak lama lagi akan memuncratkan cairan cintaku.
“Hngghhkknn...oohhhkk...c-cuminggg...ohhkk...ngentott lu Kei ,aaahhkh....ohhhkkk...!!”
Tangan kananku bergantian meremas bagian luar vaginaku kuat-kuat, dan..
(Sfx : crottttssss!! Sreettts.s...sreettttsss..... syrrrrr....!!)

“Aaaaaahkkk......!!!”
Cairan cintaku muncrat tak terkendali, menyembur membasahi celana dalamku. Namun, celana dalamku kini sedikit kuturunkan ke bawah sehingga cairan squirting ku menyemprot juga mengenai pintu kamar mandi.
“Aaaarrghh...uhhhhkkkk!!”
Tubuhku masih kelojotan tak terkendali, terhentak-hentak sehingga pantatku membentur dudukan WC duduk berulang kali.
Orgasme yang kudapatkan pagi ini jauh lebih dahsyat, meski hanya karena jari Kei yang berusaha menggoda bibirku. Padahal, baru saja semalam ku bermasturbasi dengan membayangkan diriku disetubuhi oleh Kei, yang mana membuatku mengawali pagi hari dengan lutut yang pegal dan linu, lalu hampir terjatuh dari tangga... itu pun semua gara-gara kamu, Kei.
[Flash Back : Semalam, setelah bermain War**frame bersama]
“Hmmphh..mhhnn...”
Tak lama setelah ku menutup laptopku seusai bermain War**frame, ku mulai menyibak celana dalamku. Oh iya, kadang di malam hari aku hanya menggunakan celana dalam untuk tidur, karena kurasa itu bikin adem (hehe). Ku mengusap-usap klitorisku, serta sesekali mencolek lubang kemaluanku yang ternyata sudah basah.
Memang, aku kasihan dan tak ingin melihat Kei terus-menerus mengumpat dan merutuki dirinya. Namun, di sisi lain, aku bahkan merasa terpicu, triggered, perkataan kasar yang diucapkan Kei memicu fantasiku, membangkitkan birahiku seketika. Membuatku membayangkan bahwa Kei bersetubuh denganku dan ‘menyiksaku’, serta mengucapkan kata-kata kotor tersebut kepadaku.
Aahh, membayangkannya membuat memekku semakin basah dan berdenyut aja.
Bohong jika selama dua tahun lebih ku menyukai Kei, aku tidak pernah membayangkan dia di dalam fantasi seksualku. Dia selalu menjadi alasan ku bermasturbasi. Kuakui, dia adalah tipe pria yang paling kusuka. Segala yang ada pada dirinya, membuatku belum lagi berminat menatap dan membuka hati dan pikiran untuk lelaki lain. Terlebih, kita punya banyak kesamaan. Seberapa ‘sama’kah diri kita? Aku bahkan seperti melihat sosok diriku di dalam Kei, namun versi lelaki, lebih manly,pendiam, dan... lebih kurus, tinggi --aku sendiri merupakan sosok cewek yang chubby dan pendek.

“Mhhnn....ughh...ufftt...”
Entah apakah kemaluanku menjadi sensitif untuk kali ini, namun hanya dengan menekan klitorisku serta menggeseknya perlahan sudah cukup untuk membuatku menggelinjang kenikmatan. Lantas ku buka bajuku dan menyibakkan bra-ku, kemudian meremas payudaraku kuat-kuat bergantian, membayangkan jika Kei menyetubuhiku dan meremas kasar payudaraku.
“Ahhh...”
Aku berpindah posisi sejenak,menyandarkan punggungku pada sandaran ranjang. Bahkan, kini vaginaku sudah terlalu basah untuk bermain dengan klitorisku, maka dari itu, aku langsung menancapkan kedua jari tangan kiriku ke dalam lubang vaginaku yang sudah ‘menggatal’ itu.
“Ahhhkk...ughhhnn...Ohhh..”
Kedua jariku mencari-cari titik G-spot di dalam vaginaku, yang langsung bertemu dengan cepat. Kupermainkan titik g-spot dalam vaginaku, sembari tangan kananku tetap memijiti klitorisku.
“Ugghh...mhnnn..enakkh astagaa..ahhnnn....” racauku, malam ini.
“Aghnnn...andai memekku dikocok sama Kei...ugghnn....”
Fantasi, racauan, serta kocokkanku pada vaginaku menambah denyutan nikmat, yang membuat vaginaku semakin ‘memijit’ jemariku di dalam. Kukocok dengan kuat vaginaku hingga terdengar bunyi.
(sfx : clerrppss clekkss.. cleeeplss clerrpsss..)

“Errghh... K-Keii...mhnn.... p-pengen dientott kamu Keii...uggghnn...siksa ak-akkuuu...oougghnn..!!”

Merasa belum puas dengan dua jari saja,aku memasukkan dua jari lagi ke dalam vaginaku, dan kini emapt jariku mengocok vaginaku dengan intens, sementara ku tetap memijat klitorisku.
“Aaahhhnn...f-fuccck...pengen ngenttottt...oughhhhnn..”
Titik g-spot dalam vaginaku semakin menggatal, semakin nikmat hingga membuatku menjerit-jerit kecil.
“Hmnhhggh..ouurrghh kkkhh... Ourghhh... Aaahnnnn!!”
Aku mengangkangkan pahaku lebar-lebar, menekan klitorisku kuat-kuat,dan ....

(sfx : Sreeeetttsss croooootssss,cruttsss...crettsss.....!!)
“Aaaaahhh ahhh,ouughhhhh!!! Hnmgghhnn!!!”
Ku mengerang-erang hebat, sembari pinggangku terangkat-angkat dan vaginaku memuncratkan cairan cinta yang cukup banyak hingga membasahi tubuhku, dan sebagian merembes ke kasur.
“Erggh...ouggh...fuckk..munccratt...!!”
Kutepuk-tepuk vaginaku ,menyipratkan cairan cinta orgasme yang keluar dari vaginaku ke segala arah.
“Uhhnn..hhahh...ugghnnn...”

Badanku kelojotan hebat setelah orgasme dan squirting tersebut, menghentak-hentak kasur.
“Aaaghh... m-maafkan aku , Kei, yang terus mengkhayalkanmu...”

Tak lama kemudian,aku tertidur pulas saking kelelahan.

[Flashback End]



[Pukul 11:00]

Setelah mata kuliah berakhir, aku bergegas untuk beristirahat sejenak di sekre Gekibara. Langkahku semakin tergopoh-gopoh, lututku bergetar menahan lemasnya tubuhku.
“Pokoknya, aku mau tidur di sekre sampai jam 1 siang!”
Sebenarnya, aku hanya mengambil satu mata kuliah hari ini, namun pada pukul 1 siang nanti, aku menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Bahan dan Proses I.
Saat kulangkahkan kakiku memasuki pintu sekre, disambut oleh beberapa orang yang ada di dalamnya. Namun, aku menanggapi sambutan itu seadanya ,karena diriku yang sudah ‘kehabisan energi’ dan mengantuk.
Segera ku mencari tempat kosong, lalu meletakkan tas di dekatku. Kuraih bantal yang ada di sekre, dan mulai tertidur.
Ah, sekre ini memang sudah seperti rumahku yang kesekian, dimana aku bisa tidur dan berleha-leha tanpa ragu meski di sekre sedang banyak orang.
Meski, selanjutnya saat ku mulai tertidur, sayup-sayup ku mendengar orang-orang berbicara,
“Wey, lu mau makan gak?”
“Iyalah mau, sekalian jumatan, nih!”
“Yaudah ,yok ikut. Sekre aman dah, ada Aina ini yang lagi tidur!”
Ingin ku merespon, namun terlalu mengantuk untuk itu.
“Na, titip sekre, ya!” ujar salah satu dari mereka, akhirnya.
“Hmm.” Hanya itu sahutku, bahkan tanpa menatap wajah siapa yang berbicara seperti itu.

Kei P.O.V

[Pukul 11:05]

“Eh, lu masih ada kelas lagi gak entar?” tanya Adit.
“Ada, Ilustrasi Terapan.” jawabku, sembari sibuk mengikat tali sepatu, sesaat setelah beranjak dari kantin seusai makan siang bersama teman-teman sepermainanku tadi.
“Wah, bareng dong!” ujar Adit.
“Ayo lah, kelas mana lu? Kelas A juga?”
“Iya, gua A juga kok. Bareng sama Beno.”
“Ohh, emang Arul kagak ngambil apa?” tanyaku
“Arul sih udah lulus matkul dia!” jawab Adit.
Sejenak ku mengernyitkan alisku, heran.
“Ohh, lu ngulang?”
“Iya, nih.”
“Loh, kenapa tuh? Padahal gua lihat gambaran lu bagus-bagus. Kan lu udah pernah upload tugas lu juga.” paparku, yang memang selama cuti,terkadang aku melihat isi sosmed teman-teman kuliahku yang mengupload karyanya sebagai tugas--- kadang hal tersebut membuatku iri.
“Gatau nih, dosennya rese, enggak ngerti.” Keluh Adit.
Lalu, Adit pun menceritakan pengalamannya ketika mengambil mata kuliah Ilustrasi Terapan tahun kemarin, dan penyebab ia tidak diluluskan.
“Dih, ada ya dosen kayak gitu, kok bisa gara-gara itu doang..” ujarku
“Entahlah. Semoga sekarang gak diajar sama dosen yang itu.” ujar Adit, dengan nada yang berubah menjadi ketus dan raut wajah yang kecut.
“Iya..”
Kemudian, Arul datang menghampiri kami. Terlihat ia baru tiba di kampus.
“Eyy wassap ma frend??”
Kami pun tertawa.
“Jiah, dah kayak Yanglek aja, lu.” ujarku, tergelak oleh cara Arul menyapa kami yang bergaya seperti salah seorang youtuber fenomenal.
Rando, kali? Bukan Yanglek?” koreksi Adit, menyebutkan nama salah seorang youtuber lagi.
“Oh iya? Gua kira Yanglek. Ah udahlah ga penting juga.” ujarku.
“Mau kemana lu btw?” tanya Adit kepada Arul
“Ke sekre, cuy!” ujar Arul, tentu saja yang ia maksud adalah sekre Gekibara.
“Wih, ikut lah. Kebetulan gua juga mau kesana, nyimpen tas!” ujar Adit, sembari merogoh HP di sakunya dan mengecek jam, yang menandakan bahwa sebentar lagi mereka akan jumatan.
“Kuy! Ikut kagak lu, Ler?” tanya Arul, sambil menatapku.
“Eanjis apaan Si Dongo ini.” gerutuku.
Memang, sebelum aku cuti, kami kadang saling ledek dan melabeli nama satu sama lain. Misalnya, Arul yang kadang memanggilku dengan sebutan... “Si Peler” .
“Abisnya lu kalau lagi marah atau kesel, pasti aja lu nyebutin ‘peler’ melulu!” begitu alasan Arul memberiku julukan seperti itu. Ya sudah, kubalas menjulukinya dengan “Si Dongo”.
Akhirnya, aku pun mengikuti ajakan mereka untuk mampir ke sekre UKM Gekibara, karena aku pun ingin menyimpan tas di sana serta bersiap-siap untuk jumatan.
[Beberapa menit kemudian, saat mereka sudah tiba di sekre Gekibara]
“Permisi..”
Kami pun mengucapkan salam, dan memasuki sekre.
“Eh, ada Aina, tapi lagi tidur..” ujar Adit, yang sesaat kemudian memelankan suaranya.
Sedangkan aku menyimpan tas di dekat pintu sekre, begitu juga dengan Arul, namun setelah menyimpan tas, ia langsung duduk dan mengeluarkan laptopnya.
“Eh, Kei.”
“Apaan?” sahutku
Adit mendekat padaku sejenak,lalu berbisik..
“Lihat deh, tuh Aina.” tunjuk Adit kepada Aina dengan jempolnya
“Iya tau, lagi tidur dia. Biarin aja.”
“Bukan itu..” ujar Adit. Aku menunggunya menyelesaikan kalimatnya.
“Oppainya lihat deh.. gede,ya.” kali ini Adit berkata tanpa ampun.
*sfx : Plakk!*
Aku refleks menabok pundak Adit.
“****** lu.” ujarku, namun tetap terkekeh karena aku masih menangkap maksud Adit yang hanya bercanda—dan juga mengiyakan bahwa payudara Aina terlihat besar di sini. Terlebih saat itu Aina tidur telentang, namun payudaranya terlihat membusung.
“Hahaha. Eh iya, gua ke Kopma (Koperasi Mahasiswa) dulu,dah. Mau beli minum.” ujar Adit.
“Ok deh.”
“Gak ikut lu?”
“Kagak, dah.”

“Eh, ke Kopma? Ikut dong!” ujar Arul, tiba-tiba.
“Ayok, dah.”
Memang tak ada yang ingin kubeli di Kopma untuk saat ini. Maka dari itu, tinggallah hanya aku dan Aina yang sedang tertidur di sekre.
“Bisa-bisanya deh, Adit ngomong kayak gitu..” pikirku, dalam hati. Sejenak kuperhatikan Aina, yang kalau tak salah, tadi pagi kulihat bibirnya memucat, dan sempoyongan. Aina tampak tertidur pulas saat ini. Namun ...
“Oh, pantas saja...”
Baru kusadari ternyata Aina menggunakan baju yang memperlihatkan bahu, belahan dada dan lehernya—entah apa itu nama bajunya,katanya sih baju style fashion Korea begitu, namun menurutku lebih seperti... kemben dengan lengan?—sehingga jika sedikit saja bagian atas baju tersebut tertarik, payudaranya bisa-bisa terekspos, dan akan membahayakan dirinya.
Bagaimanapun, aku merasa riskan membayangkan hal itu terjadi. Aku berinisiatif membuka jaket jeansku, lalu menyelimuti Aina dengan jaketku secara perlahan, supaya tidak membangunkannya.
Kini, bagian belahan dada,bahu,dan lehernya tertutup sempurna, tidak terekspos seperti tadi.
“Nah, begini lebih baik.” ujarku.
Beberapa menit kemudian, aku merasa bahwa Adit dan Arul belum juga kembali dari Kopma.
“Apa gua susul aja, ya? Sekalian jumatan juga.”
Aku pun menuruni tangga dan menyusuli Adit dan Arul. Kebetulan, sebentar lagi jumatan akan dimulai, dan kami pun pergi ke masjid terdekat di kampus bersama-sama.
Namun, kini sebuah pikiran menggelayutiku selama jumatan—jarang-jarang aku menjadi perhatian, peduli kepada seseorang. Biasanya aku akan masa bodo jika bertemu wanita dengan dandanan begitu. Namun, apa yang tadi kulakukan kepada Aina... Ada apa dengan diriku?

Aina P.O.V
[Pukul 12:30]
“Mhhhnn...”

Aku terbangun oleh terpaan sinar matahari siang yang menyapa wajahku.

“Hoaaahhmm...”

Aku menggeliat, namun kali ini aku merasa jauh lebih baik, dan kebutuhan tidurku tercukupi. Akan tetapi ...
“?!!”

Jaket siapa ini?
Kuperhatikan jaket tersebut dengan seksama, sepertinya aku familiar dengan jaket ini. Aku melihatnya belum lama ini... Tapi, dimana, ya..?
Kuangkat jaket tersebut, yang menutupi leher, bahu, serta dadaku. Ya, hari ini aku berpakaian up-shoulder—silahkan googling.

Masih kuperhatikan jaket itu dengan seksama sembari mengingat-ingat.
Hmm...

Heh?!

“Jangan-jangan..”

Kuciumi bau dari jaket tersebut.
“Kei! Ini jaket punya Kei!” ujarku, dalam hati.
Tapi, apa maksudnya..? Apakah ia melemparkan jaketnya begitu saja tanpa melihat ada aku di pojokan sekre ini...?
Eh tapi, bodo amat, deh. Setidaknya kini aku menggenggam salah satu pakaian Kei, maka dari itu..
“Hmphhnn....”
Ku menghirup aroma dari jaket Kei. Aroma parfum pria yang bercampur dengan bau tubuh.
“Mphhnn..hhmnnn..”
Ugh, hanya dengan mencium aroma tubuhnya, bahkan kewanitaanku mulai kembali tergelitik. Kubekap jaket Kei ke hidungku berkali-kali, mengendusnya kuat. Tak ayal, pikiran mesumku akan Kei semakin menjadi, dan membuat kemaluanku mulai membasah dan berdenyut kembali. Tanganku yang satu lagi mulai turun, meraba-raba kemaluanku.
“Ahhnn.. m-mumpung sekre sepi, gak ada orang..”
Kusingkap kembali rokku, dan memasukkan tanganku ke dalam celana dalam yang kukenakan. Memainkan klitorisku yang mulai mengembang kembali.
“Ugghhn... harus colmek berapa kali sihh biar puass, fuccck....”
Tak hanya memijiti klitorisku, namun juga kupencet-pencet dan kutekan kuat-kuat.
“Ohhhgg...mphhft...mhhpffttt....” desahku, namun membekap mulutku dengan jaket Kei, supaya ku tetap dapat mencium aroma tubuhnya sembari bermasturbasi.
“Ugghh..uffhhtt..ugghhh...”
Sesekali pantatku terhentak-hentak karena kenikmatan yang didapatkan pada vaginaku. Sesekali ku memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang kenikmatanku, dan kembali mengorek dinding vaginaku.
“Shhhtt...ugghh...uffhhttt...mhhnnn....”
Kumasukkan dua jariku ke dalam lubang kemaluanku, sembari tetap mengendus aroma tubuh pada jaket Kei. Kini ku berharap Kei menemuiku sedang bermasturbasi, lalu ...
“Errghnn...mffhtt... w-wanna cumm...ogghhnn..”

Ahh, mengapa setelah orgasme pertama, jadi gampang untuk meraih orgasme selanjutnya, ya? Aku bahkan tak memikirkan harus bagaimana jika seandainya aku malah ‘mengencingi’ karpet sekre akibat masturbasi di sini.
“Oughhnn...hmmffhtt mpphhh... u-ugghhh ... ugghhhhhnnn..”

Pantatku menghentak-hentak, kemudian pinggangku melenting dan bergetar hebat, pertanda akan orgasme,
“mmmhh m-mo k-keluarrrr...aghhnn....ooggh—“

“Na?”
Sebuah suara mengagetkanku ,tepat di saat aku hendak menyemprotkan cairan cinta.
“Kei..?!!”
Aku refleks menutup kembali kemaluanku dengan rok, menarik tanganku dari situ dan menutup wajahku yang memerah karena malu luar biasa.
“Lu ngapain, sih?” ujar Kei, sembari memasuki sekre dan mengambil ranselnya.
Keheningan terjadi selama beberapa detik, dimana Kei sembari berkeliling sejenak di dalam sekre untuk memastikan bahwa barang bawaannya tak ada yang ketinggalan.
“Gak jelas.” sambung Kei, kemudian. Namun, kali ini kurasakan Kei mendekatiku, dan menyingkap kedua tangan yang menutupi wajahku.
Kini, baik kemaluan serta jantungku berdenyut kencang, karena rasa takut ketahuan dan orgasme yang tertunda.
“Hei.” ujar Kei.
“Kei... m-maaf...” ujarku, kini gugup luar biasa, karena takut Kei akan marah besar padaku. Namun, tidak, ia malah tersenyum padaku.
“Kamu ada jaket gak, Na?” tanyanya
“E-enggak, Kei..” lirihku. Namun, kemudian aku bertanya,
“Bentar, ini jaket lu, kan? Kok ada di gue??”
Tertawa kecil, Kei berkata,
“Lu tuh ya, pake baju yang bener, napa?” ujarnya, sembari menunjuk ke bajuku.
“Ke kampus kok pake kemben!” ujarnya lagi. Sembarangan.
“Heh, enak bener lu ngomong! Mana ada kemben, ini baju up-shoulder ala Korea, tauu.. huh!” ujarku ,merengut.
“Meh.” ujarnya lagi, kini bernada meremehkan.
“Lo gak malu apa, tubuh lu dilihatin banyak orang? Bahaya, tau.”
“Tapi kan, udah biasa kali cewek pake yang beginian!”
Kei tersenyum kembali, lalu dengan sabar menjelaskan,
“Na, lo lagi sakit, kan? Bibirmu pucat, tuh. Pakai baju kayak gitu apa gak tambah masuk angin? Apalagi lu gak bawa jaket, kan..”
“Lagian, tadi pas kamu tidur, bagian dadamu hampir kebuka. Kamu pasti tahu kalau udah gitu, apa yang akan terjadi selanjutnya.” sambung Kei lagi. “Gua cuma ngasihtau, ya.”
Kali ini, aku terdiam. Aku terkesima. Sejujurnya, aku meleleh dengan perhatiannya, dengan alasan ia menyelimutiku dengan jaketnya ini.
“M-makasih Kei, maaf ya tadi...”
“Ok. Eh, btw lu sekarang ada kelas lagi, nggak?”

“Enggak, sih, cuma gua ngasdos entar..” jawabku
“Nah, lu entar ke kelas pake jaket gua aja. Sampai pulang juga gapapa. Balikinnya kapan-kapan aja.” ujar Kei, tersenyum ramah, dan tentu saja membuatku semakin meleleh.

“Ok, Kei! Makasih loh...” ujarku, bahagia. Lantas kukenakan jaket jeans milik Kei ke tubuhku.
Kini, aku merasa disayangi, untuk saat ini.
“Nanti pasti akan kucuci dulu sebelum ku kembalikan!” ujarku. Kei hanya tersenyum dan mengangguk.
“Oh iya, kamu ada kelas lagi kah habis ini?” tanyaku kembali.
“Ada, jam 1.” jawabnya, sembari merogoh ponsel dari sakunya. “Wah, bentar lagi nih..”
“Yaudah ,yuk bareng! Kan kita satu gedung??” tanyaku.
“Weeyy.. eh Kei, yuk kelas!” Adit dan Arul muncul tiba-tiba, sebelum Kei sempat menjawab pertanyaanku.
“Ayok.” ujar Kei. “Eh Na, yuk bareng?”
“Ayo!” jawabku.
Kami pun bergantian keluar dari sekre UKM Gekibara menuju gedung FSRD, menuruni tangga di Student Center. Arul dan Adit sesekali menatap ku heran, bertanya-tanya mengapa aku memakai jaket Kei.
Selama perjalanan menuju gedung, aku dan Kei berbicara beberapa hal, namun lebih banyak membicarakan game War***frame, serta...
“Eh iya Kei, project kita mau dilanjutin kapan??” tanyaku pada Kei.
“Hmm...kapan ya..?” Kei malah balik bertanya.
Memang, sudah sejak dua bulan lalu aku dan Kei memutuskan untuk mengikut challenge yang diadakan oleh War***frame, yaitu membuat desain skin terbaru untuk karakter dan senjata di game tersebut.
“Ah, sama-sama sibuk sih... gua juga hari ini bakal sibuk banget!” ujarku.
“Entar deh kalau gua free, gua kabarin. Lu juga.” ujar Kei.
“Ok deh!”
Dan akhirnya kita tiba di gedung FSRD, lalu kami pun berpisah karena kami berada di kelas yang berbeda, tentunya.

[Pukul 13:05]

“Permisi..” ujarku, menghampiri sekelompok mahasiswa yang berkumpul di depan himpunan jurusan.
“Pada ngambil matkul BanPros (Bahan dan Proses) I, kan?”
“Iya, kak.”
“Iya nih, Na. Kelas dimana sih?”
“Dosennya siapa sih Na, tau gak??” ujar salah dua dari kumpulan mahasiswa yang merupakan teman seangkatanku, Yudi dan Arhan, namun mereka mengulang mata kuliah BanPros I. Aku pun menjelaskan letak kelas BanPros serta memberi tahu para mahasiswa bahwa dosen yang bersangkutan sudah datang, dan aku harus mengajak mereka ke kelas.
“Lo ngambil lagi juga, Na?” tanya Arhan.
“Enggak, sih. Gua jadi asdos, nih.”
“Ohhh...”

Lalu, tiba-tiba..
“Kak Ainaa~”
Alisa, adik tingkatku di jurusan yang setahun lebih muda dariku, datang menyambutku.
“Hey, Lis!”
“BanPros kelasnya dimana, sih? Kakak ngambil juga?”
Aku pun menjelaskan ulang perihal kelas dan dosen.
“Oke kak. Eh btw, bagus tuh kakak pake jaket kayak gitu!” ujar Alisa, mengomentari pakaianku.
“Eh,benarkah? Makasih..” balasku, sebisanya.
“Iya, bener kak! Daripada kayak tadi pagi di kelas.. malu dong kelihatan orang-orang ,hihi!” Alisa mulai jahil, menggodaku, meski maksud dia baik.
“Iya tuh bener, mending lu gitu aja pake jaket!” ujar Arhan, tumben-tumbennya ia menimpali.
“Wew... ok deh.”
Ya, tadi pagi memang aku mengambil matkul yang sama dengan Arhan dan Alisa, dan sejujurnya memang kurasakan beberapa orang memandangku dengan pakaian yang terbilang terbuka ini, sebelum ku memakai jaket jeans milik Kei.
Aku pun tersenyum, menghargai pujian mereka.
“Terimakasih..”
Namun, tentu saja aku lebih berterimakasih kepada Kei, because, not only for his jacket, but also.. he made my day!


[Pukul 13:30. saat sesi kelas BanPros sedang melakukan briefing]

Sebenarnya, aku sempat berpikir, bahwa.. bahwa baik Kei, Alisa, Arhan, dan ibuku... mereka memiliki kesamaan. Mereka sama-sama berzodiak Virgo.
Lantas?
Sepengalamanku, zodiak Virgo jika sudah dekat dengan seseorang, mereka akan memberi perhatian penuh kepada orang tersebut. Mereka perfeksionis, mereka menerapkan standar sempurna untuk mereka sendiri, dan orang lain.
Ibuku sebenarnya selalu mengomeli jika ku tertangkap memakai pakaian yang menurutnya “agak seksi/mengundang” ke kampus, dan pasti ia akan menyuruhku untuk mengganti bajuku sebelum berangkat ke kampus. Namun, hari ini aku pergi dengan keadaan tak ada orang di rumah, maka dari itu orang tuaku tak tahu jika aku berpakaian seperti ini ke kampus.
Dan, cara Kei, Alisa, dan Arhan dalam menanggapi caraku berpakaian mengingatkanku kepada ibuku. Mereka semua berzodiak Virgo.
 
Chapter 5 : The More You Know..

======

[Sabtu, pukul 14:00]

Kei P.O.V

“Na, sini!” panggilku
“Wah bentar nih, gua kesana!”

Terlihat gadis itu memainkan karakter War*frame nya, kali ini ia menggunakan karakter healer dengan sniper, segera menghampiri lokasi map-in game tempatku membunuh monster bernama Hydroleyst. Lantas, jari ia pun menekan tuts angka 4, sebagaimana berfungsi untuk mengeluarkan final skillnya, yaitu menyembuhkan serta memberi damage reduce untuk tim nya. Lantas disusul dengan mengirimkan lure untuk menyimpan soul milik Hydroleyst.

*sfx : Uwoooooorgghhhh...!!*

Begitu suara salah satu monster menyebalkan di War*frame ketika menemui ajalnya.
“Hahaha, mampos!” ujar Aina, kegirangan. Aku pun merasa lebih baik setelah melawan monster tersebut, setelah moodku sempat berantakan sejenak sebelumnya.
“Sip, lah.” Ujarku. Kadang, berhasil melawan musuh yang menyebalkan di game selalu menjadi pelampiasan terbaik ketika sedang badmood.
Aina pun tersenyum padaku, mungkin ia juga turut senang melihat moodku kembali membaik.
Memang, sebelumnya moodku memburuk karena hal yang sebenarnya konyol dan tak penting, yaitu soal ayahku yang tiba-tiba mengomeli dan menceramahiku melalui WhatsApp.
“Oh, iya Na. Hampir lupa gua, ada yang mau gua tanyain.” ujarku, melirik Aina yang duduk di sebelahku yang juga bermain di warnet Eternity ini.
“Eh,apa tuh Kei?” ujar Aina, matanya masih fokus memandangi komputer.
Aku terdiam sejenak, menyusun kata-kata. Lalu...
“Na, kemarin lu ngapain di sekre, pas gue dateng?”
Keadaan pun hening. Ekspresi Aina berubah, dan kini ia menundukkan kepalanya, tak berani menatapku. Meski ia masih berusaha menjawab, dan mengelak.
Ngapain gimana maksudnya?”
“Iya, kemarin pas gua udah jumatan terus ke sekre, lu ngapain? Sampai ciumin jaketku segala.”
Akhirnya, aku menanyakan hal ini. Karena, sejujurnya, gerak-gerik Aina kemarin hari itu menurutku tak biasa, aneh. Membuatku terus memikirkannya.
Sebenarnya, saat setelah jumatan dan aku menghampiri sekre, aku melangkah dengan pelan-pelan supaya tak membangunkan Aina. Namun, saat aku tiba di pintu sekre, aku memutuskan untuk diam sejenak dan mengamati apa yang dilakukan oleh Aina yang terbangun.
Dia mencium jaketku. Aku heran, tapi aku memilih untuk memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya.
Dia membekap wajahnya dengan jaketku. Baiklah, tapi apa segitunya ia menyukai jaketku?
Kemudian, dia menyingkapkan roknya dan... sebentar?
Sebentar.
Aku sontak kaget, namun masih dapat menahan diri untuk berteriak.
Mengapa Aina masukkin jari ke vaginanya..?
Bukan hanya itu, aksinya semakin jadi-jadi, ia terus-menerus bermain dengan kelaminnya sementara ia menciumi jaketku.
Oke, ini sudah kelewatan, aku tak bisa menahan diri untuk menegurnya. Dan sejak saat itu, aku terbayang-bayang hingga sekarang.
“Nggak ngapa-ngapain kok, Kei. Kan aku baru bangun, terus pahaku gatal.” ujar Aina, mencoba berbohong.

Aku pun diam sejenak, menatap Aina hingga membuatnya kikuk luar biasa karena mengetahui aku dapat mendeteksi kebohongannya.

Kemudian, aku pun berkata,
“Kamu biasa masturbasi,ya? di sekre juga?”
Aina pun terdiam sejenak, kini raut mukanya berubah, seperti ingin menangis. Lantas ia menunduk.
“Na..?” ujarku, yang masih menatap wajahnya. Aku membutuhkan jawaban.
“Tapi Kei, kamu biasanya gak ingin membicarakan hal itu, kan?”

Memang, Aina pernah beberapa kali menggiringku untuk membahas hentai, namun tentang bagaimana wanita terangsang dan masturbasi. Namun, aku masih ingat bahwa aku pernah menolak membicarakan topik tersebut. Entahlah, aku hanya senang menonton hentai dan bokep lainnya, namun tak tertarik untuk membicarakan hal sampai sedetil itu. Tak jarang omongan tersebut malah membuatku mual.

“Jangan bilang-bilang..Aku..kadang biasa melakukannya jika di sekre sepi..” ujarnya lagi. Aina memang biasa curhat hingga panjang lebar jika denganku. Namun..
“Maaf Kei, jadi gak enak sama kamunya...” ujar Aina, yang raut wajahnya pun mulai terlihat khawatir dan sontak memegangi salah satu tanganku yang kugunakan untuk menutupi wajahku. Mendengarkan pengakuannya, kepalaku menjadi pusing, aku menutupi wajahku, memijit keningku, lalu menarik nafas panjang. Sepertinya Aina pun menyadari apa yang terjadi.

Aku nggak mau munafik, sih. Sebagai lelaki, aku pun terkadang bermasturbasi, dan menikmati aktivitas tersebut. Mungkin aku memang belum terbiasa untuk mengetahui bahwa wanita juga bisa bermasturbasi.
Aku pun mengangguk.
“Eh tapi, Na.. “ ujarku, mendadak ada sesuatu yang ingin kutanyakan kembali.
“Iya?”
“Gua sebenernya pernah agak risih, saat kau membagikan postingan tentang .. apa tuh, cara wanita bermasturbasi, ya?”
“Eh, j-jadi..Kei nggak suka? Maaf, Kei..” Aina terlihat kembali gelagaoan
“Hanya saja, aku selalu berpikiran positif, tujuanmu untuk mengedukasi, kan? Jadi ya, sebenernya..tidak apa-apa...” jawabku lagi, namun tidak terlalu yakin.
“Iya, Kei. Tujuanku sharing kayak gitu murni hanya tujuan edukasi. Dan sedikit hiburan.” tegasnya.

“B-baiklah..” ujarku, namun tetap menghela nafas menahan rasa gugup.
“Hanya saja, Na.”
Kali ini Aina terperangah, aku tiba-tiba menatapnya seserius itu.
“Tolong ya..gue tau lu gak cuma sekali dua-kali meng-share hal berbau seksual atau porno gitu kan? Gue cuma berpesan, tolong kamu agak di-filter.. please.. Dan lagi, tolong lu pun kalau sange, lihat tempat, Na.. “
Aina memperhatikanku dengan seksama, sementara aku melanjutkan,
“Apalagi setelah lu post gituan, ada cowok ‘iseng’ yang komennya menjurus, kan? ”
Aina mengangguk, tetap menatapku.
“Kalau si cowoknya mau, terus kamu yang cewek juga pada akhirnya mau, yang rugi juga kamu, Na.. yang nyesel kamu.. si cowok bakal terus biasa aja seolah gak pernah ngapa-ngapain kamu..”
Aina sedikit tertunduk mendengar perkataanku.
“Na, itu pun kalau lu peduli, ya. Enggak peduli pun terserah lu. Gua pada akhirnya gak akan peduli ini.”
“Kei.. makasih ya.. aku menghargainya. Kamu boleh menegurku jika hal itu terjadi.. Maafkan aku.”
ujar Aina, menatapku dengan yakin.

“Ok, Na. Lagipula, sudah terlanjur membahas seperti ini, kan?” tanyaku
“Hah? Eh..terus, ada apa?” Aina terlihat kebingungan
Untuk kali ini saja, kuizinkan diriku untuk terjun ke dalam topik yang paling kuhindari ini..
“Ada yang ingin kutanyakan, Na.”
“Apa?”
“Emang sih, gua pernah nonton hentai dimana ceweknya pernah bermasturbasi, dan gerakannya kayak lu banget kemarin. Emang kayak gitu, ya?” tanyaku, dengan suara pelan.


“I-Iya, Kei..” ujar Aina, namun kini ia tak terlalu menundukkan kepalanya, bahkan dapat kulihat kini ia tertarik untuk menjawab pertanyaanku.
“Terus, kemarin kan gua lihat lu sampai ngangkat-ngangkat pinggang lu, kan? Itu lu .. orgasme? Eh, bener kan namanya orgasme?” tanyaku dengan nada pelan, namun kali ini terlihat konyol.
“Hampir..” wajah Aina kembali memerah.
“Cewek kalau orgasme gimana, sih?” tanyaku lagi, berusaha agar suaraku hanya terdengar oleh kami berdua.
Aina terdiam sejenak, entah ia sedang berpikir, atau merasa terganggu dengan pertanyaanku. Namun, sejenak kemudian aku mengutuki diriku sendiri, mengapa aku bisa menjadi sekepo ini.

“Maaf Na, lupakan aja.”
“Eh, gapapa kok, Kei.” Ujar Aina. Tak lama kemudian, ia menjelaskan beberapa jenis orgasme yang dialami cewek. Namun, akhirnya ia mengaku padaku...

“Aku sendiri kalau orgasme, squirting Kei, hehe..” ujarnya, sembari melirik ke kiri dan kanan memastikan tak ada yang mendengar selain aku.

S-Squirting? Kayak pipis, gitu?”

“Iya, hehe..”

“Idih.” ujarku, membayangkan betapa ‘jorok’nya kalau mengompol seperti itu. “Lu
ngompol, gitu?”

Aina hanya tersenyum. Aku mendelikkan mata.

“Dasar jorok.”
Aina hanya terkekeh, namun kini ia menantangku.

“Cowok juga kalau muncrat keluar pejuh, kan?? Jorok juga?? Sama aja kek gitu!”
Aku refleks menempelkan jari telunjukku ke bibir Aina, akibat Aina berbicara dengan suara yang mendadak tak terkontrol.

“Heh!”
“?!!” Aina terkejut, dan nampaknya ia segera menyadari kesalahannya. Namun, aku masih memelototinya.
“Sstt..pelanin suaranya, Na.” ujarku, mencolek bibir Aina. Namun...
“Mhhnn...”
Mendadak, jari telunjukku malah dikulum oleh Aina. Dapat kurasakan bibirnya mengemut jariku, lidahnya pun mengenai ujung telunjukku, dan lantas menyapunya. Aku hanya mendiamkan jari telunjukku sejenak, menatap Aina. Aina balas menatapku, sembari tetap mengulum jariku.
“Ngapain, sih?” tanyaku.
Namun, mendadak aku kebelet ingin buang air kecil. Aku melepaskan jemariku dari mulut Aina, dan pergi sejenak tanpa sempat Aina membalas pertanyaanku
“Eh, Na, aku ke WC dulu bentar.”

[di WC]

Saat ku membuka celanaku, ternyata bagian celana dalamku sudah basah berlumuran caira pre-cum, dengan penisku yang menegang. Tak menepis bahwa obrolan kami tadi memang membuatku terangsang, sukses membuat celana jeans yang kupakai ‘menyempit’ sedari tadi. Namun, tak hanya obrolan saja, perlakuan Aina yang (sudah dua kali) mengulum jariku ...
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat, lalu merapikan pakaianku. Setelah itu, aku kembali menemui Aina yang sedang lanjut bermain game. Kami pun bermain bersama, seolah tak pernah terjadi apapun.

Aina POV

[Pukul 17:00]

“Wah Kei, billingnya udah mau habis, nih!” ujarku, melihat angka di komputer yang menunjukkan bahwa sisa billingku tinggal 3 menit lagi

“Ya udah.” ujar Kei, yang juga sisa billingnya sama sepertiku. Ia menutup billingnya, lalu men-shutdown komputernya. Begitu juga denganku.
“Btw, kamu laper, gak?” tanyaku
“Iya, sih.” Ujarnya
“Mau makan?”
“Ayo aja, makan dimana?” tanyanya kembali
“Hmm..dimana ya..”
“Ehh.. elu mah..” gerutu Kei, dengan ‘aksen’ khas Bogor kota campur Sunda. “Bebas-“
“Nggak, aku gak menerima kata ‘bebas’ darimu!” ujarku, namun dengan nada bercanda. Karena kutahu pasti, Kei tipe orang yang penurut, ia selalu mengikuti pilihan orang-orang. Terlebih saat kami bermain bersama di War**frame, yang mana seringkali aku yang membuat keputusan untuk memilih map tempat bermain, atau kegiatan di War***frame lainnya.
Kei tampak sedikit dongkol. “Ya gatau lah, gua ngikut aja!”

“Lu tau, enggak??” tanyaku, dengan nada mengintimidasi
“Apa?” ujar Kei, mulai terlihat ogah-ogahan

“Lu tau enggak sih, kenapa Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi?”
“Ya karena makan buah khuldi, lah. Gimana, sih.” jawab Kei, semakin memperlihatkan kedongkolannya—akibat ia kira aku malah mengajaknya berdiskusi dengan perut keroncongan.
“Nah, keputusan mereka memakan khuldi itu akibat awalnya si cewek tuh, Hawa, mengiyakan ajakan setan dan malah ngajak Adam, kan?? Itu tuh gara-gara si cewek yang ngasih keputusan!”
Kei tersenyum kecut, meski ia pun tertawa juga. “Haha, iya sih.”

“Ah, yaudah lah, mau makan di ... dimana itu tuh..” sambung Kei, sambil mendongakkan kepalanya dari jendela warnet Eternity, lalu menatap ke arah luar. “Tuh banyak stand makanan,ada angkringan juga.. lu mau disitu? Gua sih mau-mau aja.”
“Oke, ayo makan di angkringan! Aku juga ingin sate usus di sana, nih!” ujarku.
“Ngomong daritadiii ... Daritadii Na....” ujar Kei, dengan nada kesal namun memelas—sepertinya karena menahan lapar.
Kami pun tertawa-tawa sekaligus berjalan meninggalkan warnet, dengan tatapan beberapa orang yang memperhatikan kita karena kita terlihat ribut pada awalnya, namun berakhir dengan saling bercanda.

[ di tempat angkringan ]

Akhirnya, hari ini aku menghabiskan waktu lebih banyak dengan Kei, apalagi hari ini aku makan bersama kembali dengannya. Setelah kami memesan menu yang ada pada angkringan, kami pun duduk di bangku yang telah disediakan, namun..
“Na....”
“Iya?”
Kei menatapku sejenak, lalu menengok ke arah piringku, yang memesan sepuluh tusuk lauk bervariasi, serta 2 bungkus nasi kucing.
“Laper, apa doyan? Hahaha” Kei pun tertawa, meskipun menurutku candaannya garing.
Aku tak peduli , aku mulai membuka nasi bungkusku, dan mulai memakannya beserta lauk-laukku.
Namun, sesekali aku menatap Kei, dan... dia hanya memesan satu nasi kucing yang berukuran kecil, serta hanya dua tusuk lauk.
“Beli segitu doang, yakin kenyang??”
Kei tidak menjawab, lanjut memakan lauknya.
“Dikit banget,tau.” ujarku
Kei masih tidak menjawab, sementara kulihat ia terbilang lahap dengan menu yang hanya sedikit itu.
Aku pun berinisiatif memberikan lima tusuk lauk-paukku ke piring Kei.
“Heh?”
“Udah, makan aje..” ujarku, meyakinkan.
“Bener?” tanyanya
Aku mengambilkan satu tusuk untuknya, lalu..
“Aaaa..sini buka mulutnya.”
“Ish !” Kei menolaknya, namun ia beringsut mengambil setusuk lauk itu dari tanganku ,lalu memakannya. Aku mengerti, dan lantas tertawa.
“Oh iya Na, ini apa? Kikil?” tanya Kei, saat ia menunjuk setusuk lauk lainnya.
“Iya, Kei. Kenapa?”
“Gak terlalu suka kikil nih gue, sorry...” ujarnya.
“Oh, yaudah.. sini deh.” Aku mengambilnya kembali, namun Kei malah mengambil setusuk kikil itu, dan kupikir ia yang akan mengembalikannya ke piringku.
“Sini.” Kei menyodorkan setusuk kikil itu, namun ke arah mulutku. Karena aku menganggapnya ia sedang mencoba menyuapiku, maka aku menyambutnya.
“Aaaammm.. hmmm...” aku pun memakan kikil tersebut, dengan wajah yang tersipu. Aku dan Kei pun tertawa bersama, terlebih kini suasana hatiku menjadi membuncah, berbunga-bunga.

Suasana pun mencair, kami lebih banyak bercerita—namun, sebenarnya kali ini aku yang menjadi pendengar untuk Kei, yang menceritakan lebih jauh kehidupan pribadinya, dan apa yang ia lakukan di Bogor selama ia cuti. Inilah yang kuharapkan, sebenarnya. Karena selama ini, akulah yang lebih sering curhat kepada Kei,bahkan ketika sedang bermain War***frame.

Tak hanya itu, sesekali kami pun bercanda, lalu membahas War**frame, kemudian hal-hal general, meskipun telah lama lauk-pauk yang kami beli habis dimakan. Dan, kini Kei pun mau saja jika kusuapi makanan.

Selama kami mengobrol, sejenak aku membandingkan dengan pengalamanku saat bertemu dengan Kei di Bogor, di saat aku sedang Kerja Praktek (KP) di sana. Saat kami bertemu di semester lalu, kami tak terlihat seakrab ini, karena baik aku dan Kei tak saling banyak bicara saat itu.

Tak terasa pula ,waktu sudah menunjukkan pukul 18:00. Waktunya pulang, atau nanti aku akan kesusahan mendapatkan transportasi umum di daerah seperti ini pada jam segini.

“Wah, Kei, udah malam nih, aku pulang dulu,ya?”
“Oh, oke Na. Hati-hati” ujar Kei, tersenyum, lalu menepuk pundakku.
“Iya, kamu juga!” ujarku, menjabat tangannya. Kei membalas dengan hangat sambutan tanganku.
Aku pun pulang, dengan perasaan berbunga-bunga, dan tentu saja berharap hal tersebut akan terulang kembali.
Aku menikmati waktuku saat bermain bersamanya, menikmati makanan yang kupesan, menikmati bagaimana aku dapat membuatnya kenyang, menikmati bagaimana aku dapat terus menatap wajahnya ketika ia bercerita...
We can get our happiness in simple way, right?

[Pukul 20:00]

Muncul satu notif Instagram masuk ke ponselku.
“ace.yuu reacted on your story”
Dan reaksi itu adalah emot “WOW”. Seseorang menanggapi foto selfieku yang ku-upload ke instastory—sebenarnya aku tak terlalu sering selfie, bahkan aku lebih suka mengupload foto selfie lamaku.
“Eh, kenapa, Cep?” tanyaku kepada Asep temanku yang kutemukan pertama kali pada grup Facebook yang membahas tentang psikologi dan sains-humaniora, dan berlanjut dengan bertukar akun sosial media lainnya—aku memang tertarik akan hal seperti itu, dan menemukan beberapa teman yang menarik dari sana. Termasuk temanku ini, Asep. Dia termasuk orang yang peka dan dapat mendeteksi gerak-gerik, raut wajah, atau apapun yang tersirat dari orang yang ia temui—people readers?
Namun, kini chatku bahkan belum di-read. Aku pun memutuskan tidur karena kelelahan.


Kei POV


[Pukul 18:45]
Aina sudah pulang sedari tadi, dan kini aku pun sudah kembali ke kosanku. Ada perasaan lega dan nyaman saat aku bersamanya seharian ini. Aku tak biasanya seperti ini—bahkan mungkin tidak pernah, namun aku merasa jauh lebih baik ketika aku bertukar cerita dan pikiran dengannya. Walaupun aku tak selalu dapat mengikuti semangat dan energinya ketika ia mengutarakan pikirannya, setidaknya akhirnya aku menemukan orang yang dapat kupercaya untuk menceritakan permasalahanku tanpa ragu. Dia memang wanita yang baik.
Aku sedang rebahan di kamarku, ketika..

*sfx : tok tok tok*

“Weii siapa, masuk lah, gak dikunci..” ujarku dengan malas
Pintu terbuka. Adit dan Hadi pun muncul.

“Kei, sibuk kagak lu? Mending ikutan, deh!”
“Kagak sibuk, mau ngapain emang?” tanyaku

“Sini dulu aja, diajakin ngumpul sama bapak kos, nih!”
Mendengar kata ‘bapak kos’, pikiranku sejenak kembali lagi pada adegan ‘berkembang-biak’ beberapa hari silam. Namun, pikiran itu segera kutepis, dan aku pun menuruti ajakannya.
“Loh, tumben aja kok ada acara ngumpul segala? Emang ngumpul apaan?” tanyaku

“Ini deh, kayaknya si bapak kalau gajian suka ngajak-ngajak ngumpul gitu, deh.” ujar Adit
“Iya, biasanya sih ngajak makan-makan.” timpal Hadi
“Gajian? Si bapak kos punya kerjaan lain? Tapi baik juga ya, suka ngajak makan-makan” pikirku.

Akhirnya kami pun menghampiri ruang keluarga berukuran besar, dimana penghuni kos lainnya berkumpul.

“Ehh, sini atuh, A!” ujar seorang pria dewasa yang mengajakku untuk bergabung.
Benar apa perkataan Adit dan Hadi, kami berkumpul dan disajikan dengan berbagai jenis makanan, seperti gorengan, snack, kue basah, bahkan disediakan juga sepiring fried chicken!
“Wihh, ayam krispi!” ujar Adit, kegirangan, dan mengambil nasi serta sepotong fried chicken. Kami pun tertawa, dan mengambil hidangan yang disajikan.
“Uh, makin kenyang sih ini. Tadi juga udah makan sih gua!” ujarku pelan
“Iye lah, hahaha” ujar Hadi.

Selama kita makan malam bersama, bapak kos terus bercerita, sesekali penghuni kos pun menimpali cerita bapak kos yang akrab disapa Pak Abe itu. Apapun dibahas pada pertemuan tersebut, termasuk...

75226379_2784369641573227_4593358628471177216_n.jpg


Berdasarkan informasi yang kudapatkan, ternyata kosan ini ‘hanyalah’ penghasilan sampingan Pak Abe sebagai anggota DRPD Jawa Barat, sekaligus mungkin semacam save house dan basecamp dimana Pak Abe juga mengelola ormas pemuda. Terkadang, jika ia sedang sibuk sehingga tak bisa selalu mengurus kosan ini, anak-anaknya lah yang akan menggantikannya. Pak Abe pun memiliki beberapa kenalan, serta backing aparat. Hal itu lah yang menyebabkan bahwa tetangga sekitar tak ada yang berani menggerebek orang yang dicurigai sedang mesum di kosan campur milik Pak Abe.

Pernah beberapa tetangga mencoba menggerebek kosan Pak Abe, namun backingan aparat milik Pak Abe selalu melawannya, bahkan balik melaporkan mereka dengan tuduhan mengganggu ketenangan, pencemaran nama baik, serta penyelewangan privasi. Bahkan ada backingan yang berhasil membongkar aib busuk si penggerebek. Wew!

“Angin segar buat yang mau ngewe ini mah!” ujarku, dalam hati.
Tapi, apa peduliku, terlepas ternyata kos ini adalah kos esek-esek terselubung, kos ini nyatanya memang terbilang murah, dan secara kualitas pun terbilang baik—kecuali masalah lampu tempo hari saja, mungkin.
Kemudian, di akhir pemaparan dia yang semakin berbau esek-esek, ia menambahkan,
“Jadi yah, akang-akang, orang teh tidak berhak ikutcampur sebenarnya mah terhadap urusan ranjang orang lain. Ngapain atuh, mau jadi polisi moral? Padahal sendirinya juga belum tentu benar!” ujarnya, dengan logat Sunda. Penghuni kos yang ada disitu, termasuk aku, bertepuk tangan. Lebih ke arah bahwa aku salut dengan cara berpikir bapak ini.
“Bayangin atuh ya, ari orang mau ngewe weh diciduk, diontrog (baca : disantroni), terus diarak-arak. Ari pasutri weh kalau ketahuan KDRT nepi ka (sampai) jerit-jerit ceurik (nangis) minta tolong malah diem bae, bilangnya “bukan urusan saya!”. Ah, lalieur! Pusing!
Sebagian tertawa, namun juga setuju.
“Tah, setuju lah jeung si Aa ini!” ujar seorang pemuda penghuni kos, menimpali.
“Ohh enya, maneh (kamu) ya yang suka bawa cewe ka kamar?? Ngaku siah?!” ujar Pak Abe, dengan nada bercanda namun setengah mengintimidasi. Penghuni kos yang ada disitu tertawa, sedangkan pemuda tadi mukanya memerah, namun senyum-senyum malu.
“Ah, atuh kang..
“He’euh, gapapa lah, ya. Asal jangan lupa tanggung jawab aja!” kata Pak Abe. “Kalau ngewe tapi gak mau tanggung jawab, jangan jadi laki, lu!”
Kami pun setuju dan bertepuk tangan, bahkan kini aku bertepuk tangan lebih keras.

“Siap, pak!” ujar pemuda tersebut, berapi-api sembari mengepalkan tangannya.
“Terus yah, kalau misal anjeun-anjeun (kalian) malu untuk membeli kondom, pil KB, ke saya saja! Saya selalu siap sedia!”
“Okesip, mantap!” ujar seorang pemuda lainnya.
“Heh, gimana gak selalu siap sedia tuh bapak-bapak, orang dia ngewe mulu aja sama dua cewe.” pikirku.
Lalu, pak Abe mendekat kepadaku ,yang kebetulan memang berdiri di sebelahku yang sedang duduk bersila. Ia mendekat padaku dan seolah berbisik, namun ia ingin suaranya juga terdengar oleh orang lain.
“Terus yah, A, saya kasihtau aja.”
“Apa tuh, pak?” ujarku
“Kalau Aa pengen bikin cewe sange, terangsang, saya punya obat perangsangnya!” ujar Pak Abe. Tanpa ampun.
“Hahahahaha!”
Pak Abe pun tertawa, tanpa dosa. Diikuti oleh penghuni kos yang lain. Adit dan Hadi pun juga. Seolah tak ada yang peduli bahwa kini mukaku merah padam.

“F*ck.”

Akhirnya, hingga penghujung malam, kami menghabiskan waktu dengan mengikuti ‘perkumpulan bujang’ ini, dan mendengarkan pemaparan ‘dunia lendir’ dari Pak Abe. Tak lupa, di akhir acara, kami dimintai nomer ponsel untuk dimasukkan ke grup WhatsApp yang berisi .... dunia lendir.
 
Chapter 5 : The More You Know..

======

[Sabtu, pukul 14:00]

Kei P.O.V

“Na, sini!” panggilku
“Wah bentar nih, gua kesana!”

Terlihat gadis itu memainkan karakter War*frame nya, kali ini ia menggunakan karakter healer dengan sniper, segera menghampiri lokasi map-in game tempatku membunuh monster bernama Hydroleyst. Lantas, jari ia pun menekan tuts angka 4, sebagaimana berfungsi untuk mengeluarkan final skillnya, yaitu menyembuhkan serta memberi damage reduce untuk tim nya. Lantas disusul dengan mengirimkan lure untuk menyimpan soul milik Hydroleyst.

*sfx : Uwoooooorgghhhh...!!*

Begitu suara salah satu monster menyebalkan di War*frame ketika menemui ajalnya.
“Hahaha, mampos!” ujar Aina, kegirangan. Aku pun merasa lebih baik setelah melawan monster tersebut, setelah moodku sempat berantakan sejenak sebelumnya.
“Sip, lah.” Ujarku. Kadang, berhasil melawan musuh yang menyebalkan di game selalu menjadi pelampiasan terbaik ketika sedang badmood.
Aina pun tersenyum padaku, mungkin ia juga turut senang melihat moodku kembali membaik.
Memang, sebelumnya moodku memburuk karena hal yang sebenarnya konyol dan tak penting, yaitu soal ayahku yang tiba-tiba mengomeli dan menceramahiku melalui WhatsApp.
“Oh, iya Na. Hampir lupa gua, ada yang mau gua tanyain.” ujarku, melirik Aina yang duduk di sebelahku yang juga bermain di warnet Eternity ini.
“Eh,apa tuh Kei?” ujar Aina, matanya masih fokus memandangi komputer.
Aku terdiam sejenak, menyusun kata-kata. Lalu...
“Na, kemarin lu ngapain di sekre, pas gue dateng?”
Keadaan pun hening. Ekspresi Aina berubah, dan kini ia menundukkan kepalanya, tak berani menatapku. Meski ia masih berusaha menjawab, dan mengelak.
Ngapain gimana maksudnya?”
“Iya, kemarin pas gua udah jumatan terus ke sekre, lu ngapain? Sampai ciumin jaketku segala.”
Akhirnya, aku menanyakan hal ini. Karena, sejujurnya, gerak-gerik Aina kemarin hari itu menurutku tak biasa, aneh. Membuatku terus memikirkannya.
Sebenarnya, saat setelah jumatan dan aku menghampiri sekre, aku melangkah dengan pelan-pelan supaya tak membangunkan Aina. Namun, saat aku tiba di pintu sekre, aku memutuskan untuk diam sejenak dan mengamati apa yang dilakukan oleh Aina yang terbangun.
Dia mencium jaketku. Aku heran, tapi aku memilih untuk memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya.
Dia membekap wajahnya dengan jaketku. Baiklah, tapi apa segitunya ia menyukai jaketku?
Kemudian, dia menyingkapkan roknya dan... sebentar?
Sebentar.
Aku sontak kaget, namun masih dapat menahan diri untuk berteriak.
Mengapa Aina masukkin jari ke vaginanya..?
Bukan hanya itu, aksinya semakin jadi-jadi, ia terus-menerus bermain dengan kelaminnya sementara ia menciumi jaketku.
Oke, ini sudah kelewatan, aku tak bisa menahan diri untuk menegurnya. Dan sejak saat itu, aku terbayang-bayang hingga sekarang.
“Nggak ngapa-ngapain kok, Kei. Kan aku baru bangun, terus pahaku gatal.” ujar Aina, mencoba berbohong.

Aku pun diam sejenak, menatap Aina hingga membuatnya kikuk luar biasa karena mengetahui aku dapat mendeteksi kebohongannya.

Kemudian, aku pun berkata,
“Kamu biasa masturbasi,ya? di sekre juga?”
Aina pun terdiam sejenak, kini raut mukanya berubah, seperti ingin menangis. Lantas ia menunduk.
“Na..?” ujarku, yang masih menatap wajahnya. Aku membutuhkan jawaban.
“Tapi Kei, kamu biasanya gak ingin membicarakan hal itu, kan?”

Memang, Aina pernah beberapa kali menggiringku untuk membahas hentai, namun tentang bagaimana wanita terangsang dan masturbasi. Namun, aku masih ingat bahwa aku pernah menolak membicarakan topik tersebut. Entahlah, aku hanya senang menonton hentai dan bokep lainnya, namun tak tertarik untuk membicarakan hal sampai sedetil itu. Tak jarang omongan tersebut malah membuatku mual.

“Jangan bilang-bilang..Aku..kadang biasa melakukannya jika di sekre sepi..” ujarnya lagi. Aina memang biasa curhat hingga panjang lebar jika denganku. Namun..
“Maaf Kei, jadi gak enak sama kamunya...” ujar Aina, yang raut wajahnya pun mulai terlihat khawatir dan sontak memegangi salah satu tanganku yang kugunakan untuk menutupi wajahku. Mendengarkan pengakuannya, kepalaku menjadi pusing, aku menutupi wajahku, memijit keningku, lalu menarik nafas panjang. Sepertinya Aina pun menyadari apa yang terjadi.

Aku nggak mau munafik, sih. Sebagai lelaki, aku pun terkadang bermasturbasi, dan menikmati aktivitas tersebut. Mungkin aku memang belum terbiasa untuk mengetahui bahwa wanita juga bisa bermasturbasi.
Aku pun mengangguk.
“Eh tapi, Na.. “ ujarku, mendadak ada sesuatu yang ingin kutanyakan kembali.
“Iya?”
“Gua sebenernya pernah agak risih, saat kau membagikan postingan tentang .. apa tuh, cara wanita bermasturbasi, ya?”
“Eh, j-jadi..Kei nggak suka? Maaf, Kei..” Aina terlihat kembali gelagaoan
“Hanya saja, aku selalu berpikiran positif, tujuanmu untuk mengedukasi, kan? Jadi ya, sebenernya..tidak apa-apa...” jawabku lagi, namun tidak terlalu yakin.
“Iya, Kei. Tujuanku sharing kayak gitu murni hanya tujuan edukasi. Dan sedikit hiburan.” tegasnya.

“B-baiklah..” ujarku, namun tetap menghela nafas menahan rasa gugup.
“Hanya saja, Na.”
Kali ini Aina terperangah, aku tiba-tiba menatapnya seserius itu.
“Tolong ya..gue tau lu gak cuma sekali dua-kali meng-share hal berbau seksual atau porno gitu kan? Gue cuma berpesan, tolong kamu agak di-filter.. please.. Dan lagi, tolong lu pun kalau sange, lihat tempat, Na.. “
Aina memperhatikanku dengan seksama, sementara aku melanjutkan,
“Apalagi setelah lu post gituan, ada cowok ‘iseng’ yang komennya menjurus, kan? ”
Aina mengangguk, tetap menatapku.
“Kalau si cowoknya mau, terus kamu yang cewek juga pada akhirnya mau, yang rugi juga kamu, Na.. yang nyesel kamu.. si cowok bakal terus biasa aja seolah gak pernah ngapa-ngapain kamu..”
Aina sedikit tertunduk mendengar perkataanku.
“Na, itu pun kalau lu peduli, ya. Enggak peduli pun terserah lu. Gua pada akhirnya gak akan peduli ini.”
“Kei.. makasih ya.. aku menghargainya. Kamu boleh menegurku jika hal itu terjadi.. Maafkan aku.”
ujar Aina, menatapku dengan yakin.

“Ok, Na. Lagipula, sudah terlanjur membahas seperti ini, kan?” tanyaku
“Hah? Eh..terus, ada apa?” Aina terlihat kebingungan
Untuk kali ini saja, kuizinkan diriku untuk terjun ke dalam topik yang paling kuhindari ini..
“Ada yang ingin kutanyakan, Na.”
“Apa?”
“Emang sih, gua pernah nonton hentai dimana ceweknya pernah bermasturbasi, dan gerakannya kayak lu banget kemarin. Emang kayak gitu, ya?” tanyaku, dengan suara pelan.


“I-Iya, Kei..” ujar Aina, namun kini ia tak terlalu menundukkan kepalanya, bahkan dapat kulihat kini ia tertarik untuk menjawab pertanyaanku.
“Terus, kemarin kan gua lihat lu sampai ngangkat-ngangkat pinggang lu, kan? Itu lu .. orgasme? Eh, bener kan namanya orgasme?” tanyaku dengan nada pelan, namun kali ini terlihat konyol.
“Hampir..” wajah Aina kembali memerah.
“Cewek kalau orgasme gimana, sih?” tanyaku lagi, berusaha agar suaraku hanya terdengar oleh kami berdua.
Aina terdiam sejenak, entah ia sedang berpikir, atau merasa terganggu dengan pertanyaanku. Namun, sejenak kemudian aku mengutuki diriku sendiri, mengapa aku bisa menjadi sekepo ini.

“Maaf Na, lupakan aja.”
“Eh, gapapa kok, Kei.” Ujar Aina. Tak lama kemudian, ia menjelaskan beberapa jenis orgasme yang dialami cewek. Namun, akhirnya ia mengaku padaku...

“Aku sendiri kalau orgasme, squirting Kei, hehe..” ujarnya, sembari melirik ke kiri dan kanan memastikan tak ada yang mendengar selain aku.

S-Squirting? Kayak pipis, gitu?”

“Iya, hehe..”

“Idih.” ujarku, membayangkan betapa ‘jorok’nya kalau mengompol seperti itu. “Lu
ngompol, gitu?”

Aina hanya tersenyum. Aku mendelikkan mata.

“Dasar jorok.”
Aina hanya terkekeh, namun kini ia menantangku.

“Cowok juga kalau muncrat keluar pejuh, kan?? Jorok juga?? Sama aja kek gitu!”
Aku refleks menempelkan jari telunjukku ke bibir Aina, akibat Aina berbicara dengan suara yang mendadak tak terkontrol.

“Heh!”
“?!!” Aina terkejut, dan nampaknya ia segera menyadari kesalahannya. Namun, aku masih memelototinya.
“Sstt..pelanin suaranya, Na.” ujarku, mencolek bibir Aina. Namun...
“Mhhnn...”
Mendadak, jari telunjukku malah dikulum oleh Aina. Dapat kurasakan bibirnya mengemut jariku, lidahnya pun mengenai ujung telunjukku, dan lantas menyapunya. Aku hanya mendiamkan jari telunjukku sejenak, menatap Aina. Aina balas menatapku, sembari tetap mengulum jariku.
“Ngapain, sih?” tanyaku.
Namun, mendadak aku kebelet ingin buang air kecil. Aku melepaskan jemariku dari mulut Aina, dan pergi sejenak tanpa sempat Aina membalas pertanyaanku
“Eh, Na, aku ke WC dulu bentar.”

[di WC]

Saat ku membuka celanaku, ternyata bagian celana dalamku sudah basah berlumuran caira pre-cum, dengan penisku yang menegang. Tak menepis bahwa obrolan kami tadi memang membuatku terangsang, sukses membuat celana jeans yang kupakai ‘menyempit’ sedari tadi. Namun, tak hanya obrolan saja, perlakuan Aina yang (sudah dua kali) mengulum jariku ...
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat, lalu merapikan pakaianku. Setelah itu, aku kembali menemui Aina yang sedang lanjut bermain game. Kami pun bermain bersama, seolah tak pernah terjadi apapun.

Aina POV

[Pukul 17:00]

“Wah Kei, billingnya udah mau habis, nih!” ujarku, melihat angka di komputer yang menunjukkan bahwa sisa billingku tinggal 3 menit lagi

“Ya udah.” ujar Kei, yang juga sisa billingnya sama sepertiku. Ia menutup billingnya, lalu men-shutdown komputernya. Begitu juga denganku.
“Btw, kamu laper, gak?” tanyaku
“Iya, sih.” Ujarnya
“Mau makan?”
“Ayo aja, makan dimana?” tanyanya kembali
“Hmm..dimana ya..”
“Ehh.. elu mah..” gerutu Kei, dengan ‘aksen’ khas Bogor kota campur Sunda. “Bebas-“
“Nggak, aku gak menerima kata ‘bebas’ darimu!” ujarku, namun dengan nada bercanda. Karena kutahu pasti, Kei tipe orang yang penurut, ia selalu mengikuti pilihan orang-orang. Terlebih saat kami bermain bersama di War**frame, yang mana seringkali aku yang membuat keputusan untuk memilih map tempat bermain, atau kegiatan di War***frame lainnya.
Kei tampak sedikit dongkol. “Ya gatau lah, gua ngikut aja!”

“Lu tau, enggak??” tanyaku, dengan nada mengintimidasi
“Apa?” ujar Kei, mulai terlihat ogah-ogahan

“Lu tau enggak sih, kenapa Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi?”
“Ya karena makan buah khuldi, lah. Gimana, sih.” jawab Kei, semakin memperlihatkan kedongkolannya—akibat ia kira aku malah mengajaknya berdiskusi dengan perut keroncongan.
“Nah, keputusan mereka memakan khuldi itu akibat awalnya si cewek tuh, Hawa, mengiyakan ajakan setan dan malah ngajak Adam, kan?? Itu tuh gara-gara si cewek yang ngasih keputusan!”
Kei tersenyum kecut, meski ia pun tertawa juga. “Haha, iya sih.”

“Ah, yaudah lah, mau makan di ... dimana itu tuh..” sambung Kei, sambil mendongakkan kepalanya dari jendela warnet Eternity, lalu menatap ke arah luar. “Tuh banyak stand makanan,ada angkringan juga.. lu mau disitu? Gua sih mau-mau aja.”
“Oke, ayo makan di angkringan! Aku juga ingin sate usus di sana, nih!” ujarku.
“Ngomong daritadiii ... Daritadii Na....” ujar Kei, dengan nada kesal namun memelas—sepertinya karena menahan lapar.
Kami pun tertawa-tawa sekaligus berjalan meninggalkan warnet, dengan tatapan beberapa orang yang memperhatikan kita karena kita terlihat ribut pada awalnya, namun berakhir dengan saling bercanda.

[ di tempat angkringan ]

Akhirnya, hari ini aku menghabiskan waktu lebih banyak dengan Kei, apalagi hari ini aku makan bersama kembali dengannya. Setelah kami memesan menu yang ada pada angkringan, kami pun duduk di bangku yang telah disediakan, namun..
“Na....”
“Iya?”
Kei menatapku sejenak, lalu menengok ke arah piringku, yang memesan sepuluh tusuk lauk bervariasi, serta 2 bungkus nasi kucing.
“Laper, apa doyan? Hahaha” Kei pun tertawa, meskipun menurutku candaannya garing.
Aku tak peduli , aku mulai membuka nasi bungkusku, dan mulai memakannya beserta lauk-laukku.
Namun, sesekali aku menatap Kei, dan... dia hanya memesan satu nasi kucing yang berukuran kecil, serta hanya dua tusuk lauk.
“Beli segitu doang, yakin kenyang??”
Kei tidak menjawab, lanjut memakan lauknya.
“Dikit banget,tau.” ujarku
Kei masih tidak menjawab, sementara kulihat ia terbilang lahap dengan menu yang hanya sedikit itu.
Aku pun berinisiatif memberikan lima tusuk lauk-paukku ke piring Kei.
“Heh?”
“Udah, makan aje..” ujarku, meyakinkan.
“Bener?” tanyanya
Aku mengambilkan satu tusuk untuknya, lalu..
“Aaaa..sini buka mulutnya.”
“Ish !” Kei menolaknya, namun ia beringsut mengambil setusuk lauk itu dari tanganku ,lalu memakannya. Aku mengerti, dan lantas tertawa.
“Oh iya Na, ini apa? Kikil?” tanya Kei, saat ia menunjuk setusuk lauk lainnya.
“Iya, Kei. Kenapa?”
“Gak terlalu suka kikil nih gue, sorry...” ujarnya.
“Oh, yaudah.. sini deh.” Aku mengambilnya kembali, namun Kei malah mengambil setusuk kikil itu, dan kupikir ia yang akan mengembalikannya ke piringku.
“Sini.” Kei menyodorkan setusuk kikil itu, namun ke arah mulutku. Karena aku menganggapnya ia sedang mencoba menyuapiku, maka aku menyambutnya.
“Aaaammm.. hmmm...” aku pun memakan kikil tersebut, dengan wajah yang tersipu. Aku dan Kei pun tertawa bersama, terlebih kini suasana hatiku menjadi membuncah, berbunga-bunga.

Suasana pun mencair, kami lebih banyak bercerita—namun, sebenarnya kali ini aku yang menjadi pendengar untuk Kei, yang menceritakan lebih jauh kehidupan pribadinya, dan apa yang ia lakukan di Bogor selama ia cuti. Inilah yang kuharapkan, sebenarnya. Karena selama ini, akulah yang lebih sering curhat kepada Kei,bahkan ketika sedang bermain War***frame.

Tak hanya itu, sesekali kami pun bercanda, lalu membahas War**frame, kemudian hal-hal general, meskipun telah lama lauk-pauk yang kami beli habis dimakan. Dan, kini Kei pun mau saja jika kusuapi makanan.

Selama kami mengobrol, sejenak aku membandingkan dengan pengalamanku saat bertemu dengan Kei di Bogor, di saat aku sedang Kerja Praktek (KP) di sana. Saat kami bertemu di semester lalu, kami tak terlihat seakrab ini, karena baik aku dan Kei tak saling banyak bicara saat itu.

Tak terasa pula ,waktu sudah menunjukkan pukul 18:00. Waktunya pulang, atau nanti aku akan kesusahan mendapatkan transportasi umum di daerah seperti ini pada jam segini.

“Wah, Kei, udah malam nih, aku pulang dulu,ya?”
“Oh, oke Na. Hati-hati” ujar Kei, tersenyum, lalu menepuk pundakku.
“Iya, kamu juga!” ujarku, menjabat tangannya. Kei membalas dengan hangat sambutan tanganku.
Aku pun pulang, dengan perasaan berbunga-bunga, dan tentu saja berharap hal tersebut akan terulang kembali.
Aku menikmati waktuku saat bermain bersamanya, menikmati makanan yang kupesan, menikmati bagaimana aku dapat membuatnya kenyang, menikmati bagaimana aku dapat terus menatap wajahnya ketika ia bercerita...
We can get our happiness in simple way, right?

[Pukul 20:00]

Muncul satu notif Instagram masuk ke ponselku.
“ace.yuu reacted on your story”
Dan reaksi itu adalah emot “WOW”. Seseorang menanggapi foto selfieku yang ku-upload ke instastory—sebenarnya aku tak terlalu sering selfie, bahkan aku lebih suka mengupload foto selfie lamaku.
“Eh, kenapa, Cep?” tanyaku kepada Asep temanku yang kutemukan pertama kali pada grup Facebook yang membahas tentang psikologi dan sains-humaniora, dan berlanjut dengan bertukar akun sosial media lainnya—aku memang tertarik akan hal seperti itu, dan menemukan beberapa teman yang menarik dari sana. Termasuk temanku ini, Asep. Dia termasuk orang yang peka dan dapat mendeteksi gerak-gerik, raut wajah, atau apapun yang tersirat dari orang yang ia temui—people readers?
Namun, kini chatku bahkan belum di-read. Aku pun memutuskan tidur karena kelelahan.


Kei POV


[Pukul 18:45]
Aina sudah pulang sedari tadi, dan kini aku pun sudah kembali ke kosanku. Ada perasaan lega dan nyaman saat aku bersamanya seharian ini. Aku tak biasanya seperti ini—bahkan mungkin tidak pernah, namun aku merasa jauh lebih baik ketika aku bertukar cerita dan pikiran dengannya. Walaupun aku tak selalu dapat mengikuti semangat dan energinya ketika ia mengutarakan pikirannya, setidaknya akhirnya aku menemukan orang yang dapat kupercaya untuk menceritakan permasalahanku tanpa ragu. Dia memang wanita yang baik.
Aku sedang rebahan di kamarku, ketika..

*sfx : tok tok tok*

“Weii siapa, masuk lah, gak dikunci..” ujarku dengan malas
Pintu terbuka. Adit dan Hadi pun muncul.

“Kei, sibuk kagak lu? Mending ikutan, deh!”
“Kagak sibuk, mau ngapain emang?” tanyaku

“Sini dulu aja, diajakin ngumpul sama bapak kos, nih!”
Mendengar kata ‘bapak kos’, pikiranku sejenak kembali lagi pada adegan ‘berkembang-biak’ beberapa hari silam. Namun, pikiran itu segera kutepis, dan aku pun menuruti ajakannya.
“Loh, tumben aja kok ada acara ngumpul segala? Emang ngumpul apaan?” tanyaku

“Ini deh, kayaknya si bapak kalau gajian suka ngajak-ngajak ngumpul gitu, deh.” ujar Adit
“Iya, biasanya sih ngajak makan-makan.” timpal Hadi
“Gajian? Si bapak kos punya kerjaan lain? Tapi baik juga ya, suka ngajak makan-makan” pikirku.

Akhirnya kami pun menghampiri ruang keluarga berukuran besar, dimana penghuni kos lainnya berkumpul.

“Ehh, sini atuh, A!” ujar seorang pria dewasa yang mengajakku untuk bergabung.
Benar apa perkataan Adit dan Hadi, kami berkumpul dan disajikan dengan berbagai jenis makanan, seperti gorengan, snack, kue basah, bahkan disediakan juga sepiring fried chicken!
“Wihh, ayam krispi!” ujar Adit, kegirangan, dan mengambil nasi serta sepotong fried chicken. Kami pun tertawa, dan mengambil hidangan yang disajikan.
“Uh, makin kenyang sih ini. Tadi juga udah makan sih gua!” ujarku pelan
“Iye lah, hahaha” ujar Hadi.

Selama kita makan malam bersama, bapak kos terus bercerita, sesekali penghuni kos pun menimpali cerita bapak kos yang akrab disapa Pak Abe itu. Apapun dibahas pada pertemuan tersebut, termasuk...

75226379_2784369641573227_4593358628471177216_n.jpg


Berdasarkan informasi yang kudapatkan, ternyata kosan ini ‘hanyalah’ penghasilan sampingan Pak Abe sebagai anggota DRPD Jawa Barat, sekaligus mungkin semacam save house dan basecamp dimana Pak Abe juga mengelola ormas pemuda. Terkadang, jika ia sedang sibuk sehingga tak bisa selalu mengurus kosan ini, anak-anaknya lah yang akan menggantikannya. Pak Abe pun memiliki beberapa kenalan, serta backing aparat. Hal itu lah yang menyebabkan bahwa tetangga sekitar tak ada yang berani menggerebek orang yang dicurigai sedang mesum di kosan campur milik Pak Abe.

Pernah beberapa tetangga mencoba menggerebek kosan Pak Abe, namun backingan aparat milik Pak Abe selalu melawannya, bahkan balik melaporkan mereka dengan tuduhan mengganggu ketenangan, pencemaran nama baik, serta penyelewangan privasi. Bahkan ada backingan yang berhasil membongkar aib busuk si penggerebek. Wew!

“Angin segar buat yang mau ngewe ini mah!” ujarku, dalam hati.
Tapi, apa peduliku, terlepas ternyata kos ini adalah kos esek-esek terselubung, kos ini nyatanya memang terbilang murah, dan secara kualitas pun terbilang baik—kecuali masalah lampu tempo hari saja, mungkin.
Kemudian, di akhir pemaparan dia yang semakin berbau esek-esek, ia menambahkan,
“Jadi yah, akang-akang, orang teh tidak berhak ikutcampur sebenarnya mah terhadap urusan ranjang orang lain. Ngapain atuh, mau jadi polisi moral? Padahal sendirinya juga belum tentu benar!” ujarnya, dengan logat Sunda. Penghuni kos yang ada disitu, termasuk aku, bertepuk tangan. Lebih ke arah bahwa aku salut dengan cara berpikir bapak ini.
“Bayangin atuh ya, ari orang mau ngewe weh diciduk, diontrog (baca : disantroni), terus diarak-arak. Ari pasutri weh kalau ketahuan KDRT nepi ka (sampai) jerit-jerit ceurik (nangis) minta tolong malah diem bae, bilangnya “bukan urusan saya!”. Ah, lalieur! Pusing!
Sebagian tertawa, namun juga setuju.
“Tah, setuju lah jeung si Aa ini!” ujar seorang pemuda penghuni kos, menimpali.
“Ohh enya, maneh (kamu) ya yang suka bawa cewe ka kamar?? Ngaku siah?!” ujar Pak Abe, dengan nada bercanda namun setengah mengintimidasi. Penghuni kos yang ada disitu tertawa, sedangkan pemuda tadi mukanya memerah, namun senyum-senyum malu.
“Ah, atuh kang..
“He’euh, gapapa lah, ya. Asal jangan lupa tanggung jawab aja!” kata Pak Abe. “Kalau ngewe tapi gak mau tanggung jawab, jangan jadi laki, lu!”
Kami pun setuju dan bertepuk tangan, bahkan kini aku bertepuk tangan lebih keras.

“Siap, pak!” ujar pemuda tersebut, berapi-api sembari mengepalkan tangannya.
“Terus yah, kalau misal anjeun-anjeun (kalian) malu untuk membeli kondom, pil KB, ke saya saja! Saya selalu siap sedia!”
“Okesip, mantap!” ujar seorang pemuda lainnya.
“Heh, gimana gak selalu siap sedia tuh bapak-bapak, orang dia ngewe mulu aja sama dua cewe.” pikirku.
Lalu, pak Abe mendekat kepadaku ,yang kebetulan memang berdiri di sebelahku yang sedang duduk bersila. Ia mendekat padaku dan seolah berbisik, namun ia ingin suaranya juga terdengar oleh orang lain.
“Terus yah, A, saya kasihtau aja.”
“Apa tuh, pak?” ujarku
“Kalau Aa pengen bikin cewe sange, terangsang, saya punya obat perangsangnya!” ujar Pak Abe. Tanpa ampun.
“Hahahahaha!”
Pak Abe pun tertawa, tanpa dosa. Diikuti oleh penghuni kos yang lain. Adit dan Hadi pun juga. Seolah tak ada yang peduli bahwa kini mukaku merah padam.

“F*ck.”

Akhirnya, hingga penghujung malam, kami menghabiskan waktu dengan mengikuti ‘perkumpulan bujang’ ini, dan mendengarkan pemaparan ‘dunia lendir’ dari Pak Abe. Tak lupa, di akhir acara, kami dimintai nomer ponsel untuk dimasukkan ke grup WhatsApp yang berisi .... dunia lendir.
Saya tetap mantengin yang hijab hihihihi
 
Haloo agan aganwati seper-semprotan ~

Saya kembali lagi ke forum ini, setelah sekian lama hiatus.
Sebenarnya saya sudah pernah membuat cerita di forum ini, namun saya memutuskan untuk menguncinya karena cerita tidak bisa dilanjutkan, terkendala file (ugh...)

Maka dari itu, izinkan saya membuat cerita baru, namun genrenya benar2 serupa dengan yg sudah2 :nulis:

=====

Judul : Chillhood, Chillmate
Genre : BDSM, Slice of Life, Psychology, Drama
Sinopsis :
Kisah platonik yang tak akan berkembang antara seorang mahasiswi dengan mahasiswa adik tingkatnya yang kebetulan bertemu karena minat yang sama.
Hanya bertemu dalam hitungan bulan, selebihnya interaksi dilakukan melalui sosial media, ataupun game online.

Akankah tetap menjadi hubungan platonik, ketika mahasiswa tersebut kembali muncul di hadapan si mahasiswi di tahun-tahun akhir perkuliahannya?

[ WARNING : gaje, tl;dr, more than 3k words per-chapter, NSFW konten, badwords, vulgar, sensitive issue, censored everywere, etc, did I tell you this is lot of badwords and SENSITIVE ISSUE?]


[btw, this is also uploaded on my Wattpad; follow me @lewdsuika_ , dengan judul yang sama)

74534327_2769825026361022_4207464458399776768_n.jpg

========= Barisan Para Tokoh dan M U L U S T R A S I ====================

Aina Farhayani (Aina)

75135945_2769812806362244_8739306145736294400_n.jpg
76720748_2769814079695450_1689028603917893632_n.jpg


TB : 150
BB : Rahasia .. yg pasti curvy
Usia : 22

Khairul Ruchyanto (Kei, saat berambut pendek dan panjang)

75247495_2769816916361833_24635876575281152_n.jpg
74214521_2769818409695017_9064556150682288128_n.jpg


TB : 170 cm
BB : maybe.. 42 kg?
Usia : 21

Aditya Widjaja (Adit)

72762461_2769829783027213_6797446990494957568_n.jpg


Ruben Oktavian (Beno)

75196277_2769832246360300_333090875766734848_n.jpg

Maruli Hasibuan (Arul)
74153046_2769832536360271_8502312354308947968_n.jpg


Hadi Agustian

74878876_2769833109693547_4777617617437327360_n.jpg


Rachma Hardiyanti (Rachma, adiknya Kei)
75241131_2769838019693056_2942985331512705024_n.jpg


Sri Maryati (Sri, ibunya Kei)
73537344_2769838679692990_413297190996279296_n.jpg


Sudarsono (Sudar, ayahnya Kei)
75006107_2769838999692958_7979271494700105728_n.jpg


Satriyawan (Satriya, ayahnya Aina)

74601269_2769842456359279_735184000326303744_n.jpg


Karuniawati (Wati, ibunya Aina)
74209109_2769842906359234_3853245122380562432_n.jpg


Kirana Atmajaya (Kiran, adiknya Aina)
(tidak, jangan harap ia akan ada adegan esek2nya, karena akan melanggar peraturan grup ini.)

76172182_2769845986358926_3735493951101075456_n.jpg


Pak Abe (pemilik kosan Kei, sekaligus anggota DPRD)
76601307_2769847783025413_2957689856425197568_n.jpg


Karina ( Rina, 'istri muda' pak Abe, penjaga kantin kosan )
74692458_2769849563025235_6485234968661327872_n.jpg


Estiningsih (Esti, istri tua Pak Abe)

73458791_2769853383024853_4159498594350530560_n.jpg


Athalia Yukia (Liyu, tetangga belakang rumah Aina)

76184072_2769861199690738_8058519460991991808_n.jpg


Asep Solihin (Asep, teman diskusi Aina)

73409235_2769864256357099_5893959207706689536_n.jpg

===== D A F T A R ♦ I S I ====


Enjoy! Jangan lupa tinggalkan krisar setelah membaca, supaya TS bersemangat menamatkan ceritanya:asyik::asyik:
banyak banget pemeranya. muda mudahan mantul....
 
Asiikkk... Mengenalkan dunia politik ke mahasiswi. Trus mengatur perpolitikan lwt mahasiswi. Joss Boss
 
Wooohhhh maapin ewok teh
:ampun:
yha,tidak apa2 kok..
tapi itu berati bahwa nickname + foto profilku blm menjelaskan jenis kelamin asliku, itu saja wkwkwk


Asiikkk... Mengenalkan dunia politik ke mahasiswi. Trus mengatur perpolitikan lwt mahasiswi. Joss Boss
wkwkw... anggota DPRD idaman gak tuh//?
ah, lihat saja nanti~mungkin lebih dari 'politik', lol
 
[Special Chapter : Discussion; Kei's Personality by. Aina and Asep]
====================

dari author :
Ini adalah chapter spesial, untuk memperjelas jalan cerita dan detail antar tokoh.
Jika ingin langsung membaca adegan esek-esek tanpa ingin terlalu lama membaca chapter ini, silahkan di-skip, karena sebenarnya dengan tidak membaca episode ini pun tidak terlalu berpengaruh ke jalan cerita. Tapi, tetap, akan ada pengaruh dengan semua chapter di story ini.

Sesuai judul chapter-nya, ini menceritakan bagaimana Aina dan Asep membaca kepribadian Kei dan kemungkinan yang 'akan terjadi'.
Masih ingin membaca? Baiklah, sila membuka tab spoiler di bawah ini.

[Minggu, pukul 10:00]

Aina P.O.V

Aku sedang mengerjakan tugas presentasiku tentang studio, saat notif Instagram menghampiri ponselku.

“ace.yuu replied: Lucuu tau kak...”


“Lucu? Apanya yang lucu...?”
pikirku sejenak. Kemudian ku membuka Instagram, dan melihat DM dari Asep.

“Ohh..yang kemarin..”

Ternyata, itu adalah balasan ketika ku mempertanyakan maksud dari react yang diberikan Asep pada instastoryku.

“Wah,iyakah? Orang-orang bilang begitu,sih. Tapi aku tidak terlalu yakin akan diriku sendiri secara penampilan. Tapi, makasih ya.. ^^” balasku kepada Asep

Bukannya merendah untuk meroket, apalagi self-deprecating, tapi memang aku bukan tipe orang yang selalu percaya diri akan penampilanku, walaupun orang-orang mengatakan bahwa aku adalah sosok yang lucu.

“Your welcome ^^” balas Asep

“Tapi..” ternyata Asep masih ingin mengutarakan opininya.

“Mata kakak terlalu tajam kalau gak senyum, loh..“

Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu, dan kebetulan aku sedang chat dengan orang yang mungkin membantuku.

“Eh, matanya tajam? Hmm, sebentar, ada yang ingin kutanyakan.” Balasku

“Nanya apa, kak?”

Aku membalasnya dengan mengirimkan foto Kei ketika berlibur dengan ibu dan adik perempuannya—foto tersebut tentu saja kuambil ketika men-stalk akun Facebook ibunya.

“Itu, soal foto seseorang, aku ingin tahu pendapatmu.”

“Menurutmu, yang cowok itu (Kei) tatapan matanya terkesan tajam, gak?” balasku, dua kalimat.

Tak perlu menunggu waktu lama untuk menunggu, Asep pun membalas chatku,

“Ah, itu..” ujarnya, namun kali ini dengan emot tertawa, lalu ia melanjutkan,

“Gak ada tajam-tajamnya, deh. Malah terkesan lembut dan lucu.”

“Lembut? Lucu? Lantas, mengapa terkadang aku merasa terintimidasi ketika bertatap mata dengannya?”

Aku tertegun sejenak, namun aku masih menunggu balasan dari Asep yang nampaknya masih “mengetik..”

“Tapi pandangannya jauh ke depan, seakan menerawang. Sepertinya dia type intuitif, kak. Dan type perceiver.

Hampir tepat.

Aku pun membalas,

“Hahaha, ya emang masih lebih tajam tatapan mataku, kan? Hmm begitu, Sep.” ujarku, kemudian terdiam sejenak, lalu melanjutkan,

“Tapi, jujur ya, entah mengapa aku menangkap kesan bahwa.. terkadang tatapannya mengintimidasiku. Padahal, aslinya dia memang tak jauh beda dari yang kau deskripsikan sih, Sep.” ujarku, mengakui.

“Dan lagi, memang sih, dia type perceiver. IxFP? Antara INFP dan ISFP.” ujarku kembali, menyebutkan salah dua dari 16 jenis kepribadian berdasarkan MBTI—silahkkan googling apa itu MBTI. Kebetulan pun kami berdua memang menyenangi teori MBTI dan memperdalamnya, bahkan kami mengikut beberapa grup MBTI di Facebook.

Aku pribadi sebenarnya men-typing Kei sebagai ISFP, karena meskipun ia memang terlihat menggunakan intuisi, tapi cara ia berintuisi agak berbeda dengan INFP—pun ia lebih terlihat pendiam dan pengamat dibanding teman-teman INFP yang kukenal. Pun tak seperti INFP, Kei terlihat kurang tertarik jika membahas topik kepribadian seperti ini.



“Oh, iyakah? Memang sih, aku mendapatkan sedikit kesan initimidasi dari wajahnya. Akan tetapi, ia adalah orang yang menilai sesuatu secara halus.”

Tepat

“Jadi, tau-tau eh, dia sudah menilai kita ini dan itu, blablabla, wah harus diwaspadai, kak.” lanjut Asep.

Sebenarnya, aku pun berpikir demikian akan isi kepala Kei selama ini. Namun, Kei terlihat selalu menutupinya.

Dan lagi, masih ada notif yang masuk dari Asep Yusuf di Instagram. Ia melanjutkan balasannya,

“Tapi, kak, aku lebih enggak suka dengan bibirnya. Itu berarti bibir si laki-laki tersebut (Kei) kalau moodnya sedang tak bagus, ia suka meremehkan orang lain.”

Can’t disagree.

Terkadang aku mendengarkan Kei menggerutu saat bermain game bersama.

Jujur, aku terkesima. Aku mengapresiasi pemaparannya.

“Wah, kamu selalu bisa menilai orang lebih baik dari aku. Good.

“Aku hanya membaca pesan tersirat dari wajah dan tubuh orang, kak. Karena, tubuh orang lain seperti buku yang dapat kita baca, hanya saja secara tersirat.” balas Asep.

Aku setuju, dan sedang melatih hal tersebut.

“But yeah, dammit, fuckin’ true, really. Padahal, kamu sendiri tidak mengenal orang tersebut, tapi apa yang kau jelaskan itu.. sangat related dengan apa yang kudapat selama mengenal dia.”

“Oh, begitu kah? Aku juga suka ‘membaca orang’, sih. Tapi, mungkin tidak seakurat dirimu, dan itupun kulakukan hanya jika ku mau. Karena aku memang tidak terlalu people-oriented sih, Sep.” sambungku.

“Yah, sebenarnya aku sendiri terkadang letih dengan kemampuan ini, namun, karena sudah terbiasa, orang lewat pun aku seakan dapat ‘membaca’nya secara otomatis, kak.” ujar Asep. “Dan akupun tak menyarankan kakak untuk bisa membaca orang,kak..” sambungnya

Aku tahu Asep berkata seperti itu dengan tidak serius, akupun hanya mengiyakan dan tertawa kecil. Namun, kemudian....

“Oh iya kak, satu hal lagi..”

“Apa tuh, Sep?” tanyaku, penasaran

“Kalau.. kalau orang tersebut mengenal kakak dan membalas perasaanmu, orang itu akan sayaaanngg banget, sama kakak! ))” ujar Asep.

Thanks. I hope so.

Aku merasa lebih baik dan terhibur dengan diskusi hari ini. Aku pun mengucapkan terimakasih kepada Asep yang mau meluangkan waktunya untuk diriku yang kepo akan hal ini. Dan kami pun melanjutkan sesi chat dengan saling menceritakan kehidupan masing-masing, seperti biasa.
 
Terakhir diubah:
Chapter 6 : Serangan Mendadak

===========================


Narrator P.O.V


[Senin, pukul 15:00]

Aina sedang berjalan menuju gedung FSRD melalui jalan di parkiran basement, saat...

Heh, dek naon siah gobl*g??!” (mau apa kamu di sini??!, red)

Terdengar suara yang familiar dengannya, namun dengan nada marah.

*sfx : Buggg!! Prangg!*

Disusul oleh nada seperti pukulan, serta suara batangan paralon yang jatuh. Aina menoleh ke asal suara yang ada di belakangnya. Ia terngaga.

“Gausah ikut campul!” kata orang yang dipukulnya tersebut, lalu mengayunkan batang paralon tersebut ke si pemukul, namun..

“Hup!” si pemukul tersebut dengan tangkas menepis pukulan batang paralon tersebut, lalu menguncinya, lantas menendang lawannya hingga terjatuh.

*sfx: Gedebugg!!*

Karena tidak siap menerima serangan,orang itu pun terjatuh. Batang paralonnya terjatuh, dan ditendang oleh si pemukul.

Hal yang membuat Aina lebih terkejut, ia mengenali keduanya, baik si pemukul dan orang yang dipukulinya.

“Lu mau ngapain sama dia, hah??! Lo punya masalah??” ujar si pemukul tersebut, menginjak salah satu tangan si pemukul.

“K-Kei...?” Aina mendekati Kei yang sedang menginjak tangan lawannya perlahan. Memastikan, bahwa yang sedang Kei lawan adalah... Sato??

“Lo punya masalah apa sama dia??!” tanya Kei, sekali lagi.

Sato terdiam. Aina terperangah.

“B-Bukan ulusanlu!” jawab Sato, namun dengan nada yang memang cadel. Tak tertolong, Kei malah menertawakan gaya bicara orang tersebut.

“Halah, sosoan pengen mukul cewek. Benerin dulu omongan lu, ******!”

Sato yang masih menyimpan marah dan dendam, berusaha bangun, namun..

*sfx : Buggg!*

Kei menginjak wajah Sato dengan tangkas.

“Kei, udah Kei..! Jangan gitu!” ujar Aina

“Okay.” ujar Kei, yang juga mantap meninggalkan Sato dalam keadaan tak berdaya. “Lagian, ternyata segitu aja kemampuannya.”

Aina pun mencari tempat sepi, hendak mengajak Kei berbicara, menanyakan apa yang terjadi, namun...

“Na, emangnya lu kenapa, kok lu tadi bisa sampai mau digebuk sama orang itu?” tanya Kei, mendahului Aina.

“Hah..? Aku..? Tadi tuh, aku mau digebuk...?” ujar Aina, heran. Ia pun teringat bahwa tadi Sato membawa batang paralon yang cukup keras.

Kei mengangguk.

“Kamu akan tau kelakuannya kalau kau sering berkunjung ke sekre. Sepertinya dia dendam karena aku menegurnya dengan keras atas tingkah lakunya yang kelewatan...”

Kei terdiam, menyimak. Ia ragu, apakah ia harus bertanya untuk memuaskan keingintahuannya? Namun, di sisi lain ia pun tidak ingin ikut campur.

“Terserah kamu sih Na, kalau mau cerita. Enggak pun juga tak apa.” ujar Kei, lalu mengajak Aina untuk memasuki gedung FSRD bersama-sama.

“Eh, lagian, kamu masih ada kelas jam segini? tanya Aina

“Kelas pengganti, sih. Inget kan,yang waktu kapan hari, pagi-pagi kita sarapan bareng? Itu kan gua pulang lagi gara-gara dosennya gak ngajar..”

“Oh gitu, Kei..”

“Eh, tapi..” ujar Kei kembali.

“Ya?”

“Gua kok kayaknya pernah lihat tuh muka orang mau gebukin lu ya...” ujar Kei. Aina menyimak.

“Itu, kok kayak muka kakak tingkat yang waktu gua ngumpul Gekibara, dia nyamperin gua, Adit, dan lainnya, ya?”

Aina mengiyakan. Ia masih mengingat kejadian tahun silam, saat Kei ikut kumpul perdana angkatan baru di UKM Gekibara.

“Iya, emang itu orangnya.”

“Iya sih, kasihan sih gua sama dia waktu itu, lu tau kan.. cara ngomongnya gimana?” ujar Kei, yang juga sedikit memperlihatkan raut penyesalan karena telah mengatai orang tersebut.

“Ya.. kita semua tahu..”

“Tapi Na, dia itu waktu itu kayak yang maksa kita untuk mendengarkan lagu kesukaannya,sih. Gua kan nolak ,tapi dia maksa..duh gimana ya, maaf, tapi risih juga guanya..”

“Ohhh.?” mulut Aina membulat, namun ia sudah menduganya.

“Hmm.. Kei, itu juga alasan aku menegurnya. Ia suka memaksa orang, dan memanfaatkan kelemahannya untuk memperalat orang lain agar mau melakukan sesuatu untuknya.”

Kei terdiam sejenak.

“Maaf, aku juga menyesal kalau kamu mengetahui ini.” ujar Aina, diikuti dengan helaan nafas. “Tapi, dia memang batu, susah dikasihtau. Dengan cara terhalus hingga cara keras sekalipun, sangat susah baginya untuk berhenti---“

“Memang sih, Na, siapa yang gak kasihan dengan orang ‘berkekurangan’ kayak gitu?” sela Kei.

“Namun, aku juga sebenarnya setuju, wajar kalau kamu menegurnya.. Gak seharusnya ia seperti itu dengan orang lain. Apalagi sampai seperti tadi, mencoba ngebales lu dengan fisik...”

Mata Aina sedikit membelalak. Padahal, yang mereka bicarakan adalah kasus hampir sebulan silam, namun juga tak sedikit orang yang masih membela dan membenarkan perilaku Sato dengan alasan “kasihan”, dan berakhir menyalahkan Aina yang dianggap ‘terlalu kasar’ dalam menegur Sato.

“Makasih, Kei...” ujar Aina.

“Eh, makasih? Untuk apa?” tanya Kei

“Makasih..sudah mau melindungiku tadi.. Namun, aku malah khawatir,kalau nantinya malah kamu yang terkena masalah---“

“Kalau dia macam-macam lagi denganmu, takkan ku biarkan.” ujar Kei, yang kini berdiri di hadapan Aina, menatap mata Aina lekat-lekat, sehingga Aina salah tingkah.

“K-Kei...” kini wajah Aina merah merona.

“Kamu...” ujar Kei, yang entah mengapa kini ia melunakkan dan memelankan suaranya. Ia memegang pipi Aina.

“Gak seharusnya ada yang mau menyakitimu..” ujar Kei

“Kei.. kenapa..?” Aina masih berusaha untuk berpikir jernih, meski kini air mata menggenang di matanya, karena terharu.

Kei tidak menjawab, melainkan memajukan wajahnya, dan menarik wajah Aina dengan tangannya yang menempel pada pipi Aina. Tatapannya pun semakin tajam, seolah menelanjangi penglihatan Aina bulat-bulat.

Aina sudah lemas terlebih dahulu dengan posisi seperti ini, ditambah ia pun semakin salting, tak bisa menatap wajah Kei terlalu lama. Sedikit beruntung, ia bersender pada dinding basement.

“Kei...” kini, Aina hanya bisa memanggil dengan lemah nama Kei, dengan bulir airmata yang sudah jatuh karena merasa terharu, sekaligus gugup dan takut luar biasa. Tubuhnya gemetar hebat, jantungnya berdegup kencang. Namun, Kei menyeka air mata Aina dengan tangan satunya.

“Kenapa? Jangan nangis, Na..”

Kei memajukan wajahnya perlahan, bibirnya mengecup lembut bibir Aina.

“Mhhhnnhnn....”

“Hmpphhhnn??!!”

Aina terkejut. Namun, ia pun membalas kecupan bibir Kei dengan mengulumnya. Nafas Aina mendadak berat.

“Mhhnnnhnn..slrrpss...mphhnn...”

Bibir dan lidah mereka pun berpagutan mesra, saling beradu. Kei dan Aina kini berpelukan, dan mempereratnya. Kemudian Kei mengulum lembut bibir dan lidah Aina.

“Slrrpsshh....mmccchh...slpprss ckkss... hmphhnn...”

Aina membalasnya dengan menggigit-gigit kecil bibir Kei, lalu mengulum lidah Kei, sesekali menyedotnya pelan.

“Mpphnnn..slrrpsss.... hhhhh...hmphhnnn...”

Mereka pun saling mendekapkan kepala, memperdalam ciuman mereka, hanyut dalam pergulatan lidah serta decak air liur mereka. Kini mereka pun mendesah pelan dikala berciuman tersebut. Namun, tak cukup sampai disitu, tiba-tiba tangan Kei berpindah, menjamah kedua payudara Aina dari luar kemeja yang ia kenakan.

“Ohhnn..mphhnn...sshhmmm...mmphhnn...” Aina mendesah tertahan, dengan mulut terkunci oleh emutan Kei pada lidahnya. Aina membalasnya dengan menempelkan lidahnya pada Kei, melumatnya serta dengan bibir Kei.

“Mmmcch...mpphhn..slerrpsss...”

Namun, Kei tak lama bermain dengan payudara Aina. Ia malah memilih untuk memindahkan tangan kirinya ke area genital Aina, langsung menyibak rok Aina yang menutupi vaginanya yang hanya berbalut CD.

“K-Kei!” ujar Aina, dengan suara tercekat.

Kei melepaskan ciumannya, lalu menatap Aina. Sementara tangannya kini mengelus vagina Aina yang sudah basah kuyup.

“Wah, bener ya apa katamu.. Cewek sange memeknya basah..” ujar Kei, tanpa ampun.

“H-Hwahhh..K-Kei...ugghnn..” Aina menggeliat, tubuhnya menggelinjang saat Kei mempermainkan klitorisnya.

“Duh, ini apa yang keras, ya? Kayak daging kecil..” bisik Kei lagi, seolah tanpa dosa.

“K-Kei! U-udahh...aaahnn...!!”

Meskipun Aina terangsang, ia masih sempat panik jika seseorang datang ke basement gedung FSRD dan memergoki mereka.

“Hmhhnnn...uhhmmm...”

Jemari Kei pun berpindah, menembus lubang vagina Aina yang licin dan becek.

“Na, basah banget nih.. uhhnn..” goda Kei, berbisik kepada Aina.

“K-Kei..ugghhnn..oougghh....” Aina semakin menggeliat, pahanya gemetaran hebat. Ia tak ingin orang-orang memergokinya, namun di sisi lain ia tak ingin Kei berhenti mempermainkan vaginanya. Aina pun tak mau tinggal diam, tangan kirinya mencoba mengelus selangkangan Kei dari luar celana jeansnya. Namun..

“Diam, Na!” ujar Kei, menepis tangan Aina dari selangkangannya dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya kini mengocok lubang kemaluan Aina perlahan.

“Owwrrgghh..K-Kei...Oggghhnnn....” erang Aina, namun Kei langsung mengunci mulutnya dengan telapak tangan kanannya.

“Hmm, bener juga ya katamu, entar kepergok orang-orang.. Apalagi kamu mendesah kayak tadi, ewh..” ujar Kei, seolah memperlihatkan raut jijik, dan melepaskan tangannya dari vagina Aina.

Muncul sedikit perasaan kecewa, namun juga lega pada Aina. Kecewa, karena sebenarnya ia ingin Kei menjamah vaginanya lebih lama, serta perasaan lega dikarenakan mereka tak akan menjadi bahan bulan-bulanan orang-orang yang memergoki aksi mesum mereka. Namun, tak lama kemudian, Kei menyodori jemarinya yang tadi ia gunakan untuk mengelus vagina basah Aina.

“Nih, bersihin dulu, Na.” ujar Kei, menyodorkan jemarinya pada mulut Aina.

Mulanya Aina menatap Kei dengan perasaan ragu sejenak. Namun, tak lama kemudian...

“Mpphnn..ssllrrps...mhhnnmm...gullphh...”

Kei memperhatikan seksama bagaimana Aina menjiati jemarinya. Baginya, Aina menjilati jemarinya saja masih membuatnya terangsang, namun sedari tadi ia menahan nyeri dan sesak dibalik celana jeans yang ia kenakan.

“Udah, Na. Cukup.”

Kei melepaskan jemarinya, sembari membelai sejenak rambut Aina.

“Yuk, mau ke gedung kan? Bareng, dah.” ajak Kei dengan nada lembut, yang seolah tak pernah terjadi apapun, kepada Aina yang masih mematung bisu berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

“Na, ayo.” Ajak Kei, sekali lagi, kali ini sambil menggenggam tangan Aina, dan menariknya dengan lembut sebagai maksud untuk masuk ke dalam gedung bersama-sama. Tanpa menjawab, Aina mengikuti ajakan Kei, memasuki gedung, dan menaiki tangga.

Aina masih terdiam untuk beberapa saat, bahkan ia pun tak sadar jika beberapa pasang mata—termasuk kawan-kawan studionya-menatapi Aina dan Kei dengan heran, bahkan beberapa dari mereka berbisik pelan,

“Eh, kok tumben Aina pegangan tangan sama cowok?”

Namun, baik Aina dan Kei tidak menanggapi hal tersebut, hingga beberapa saat kemudian...

“Kei..” ujar Aina, saat mereka sedang menaiki tangga.

“Hmm?”

“K-Kenapa kamu tiba-tiba gitu sama aku..?”

Kei diam, tak menjawab. Hingga mereka tiba di lantai satu.

“Oh ya, lu studionya di sini kan? Gua ke atas dulu dah, kelas gua di atas soalnya.”

Aina hanya bisa menatap Kei, sekali lagi dengan perasan kecewa. Namun, Kei pergi meninggalkan Aina, seolah tak peduli. Hanya lambaian tangan yang Kei sampaikan kepada Aina.



Aina kini berjalan gontai, berusaha memahami dan meyakinkan dirinya, apakah hari ini ia bermimpi atau tidak. Aina hampir gila dibuatnya.

Tiba-tiba...

((sfx : Bletak!!))

“Adek!! Ehhh, jadi kena orang!!” omel seorang ibu kepada anaknya, yang menendang bolanya dan tak sengaja mengenai kepala Aina.

“Tapi, rasanya nyata... Sedikit sakit... Berarti..”

Aina lanjut berjalan menuju kelas studionya, saat seorang ibu masih terus mengomeli anaknya.

“Tuh ya, dibilangin, jangan main bola di daerah sini, sempit! Jadi weh, kena orang!”

Kemudian, ibu tersebut hendak menyusul Aina, hendak meminta maaf, namun Aina terlanjur memasuki ruangan studio dan menutup pintunya.

“Berarti...bukan mimpi..?”

Aina menghampiri mejanya, menelungkupkan wajahnya ke permukaan meja, menenggelamkan wajahnya dibalik dekapan kedua tangannya. Berusaha supaya tak ada yang menyadari air matanya tumpah.

============================


[Pukul 17:15]

Teh... bangun teh...”

Sebuah suara serta tepukan pada bahu membangunkan Aina yang tertidur di meja studionya.

“Hmm..?” ujar Aina, memberikan dirinya waktu sejenak untuk menyadari bahwa ia tertidur di kelas studio, dan yang membangunnya adalah seorang ibu penjaga gedung studio.

“Ruangannya mau dikunci, teh..”

“E-eh.. iya iya, bu. Maaf..” ujar Aina, dengan kikuk, dan segera membereskan barang-barangnya.

“Oh iya teh, maaf tadi anak saya bolanya kena kepala teteh..” ujar ibu tersebut.

“Bola?” ujar Aina, berpikir sejenak. Namun..

“Ohhh! Eh gak apa-apa atuh bu, nggak sakit kok!” sambungnya.

“Iya nih, anak saya lagi bandel-bandelnya tadi, dikasihtau jangan main bola di sini teh ya, malah main aja..” curhat ibu penjaga gedung tersebut. Aina hanya tertawa kecil mendengarkan. “Ah,gapapa, ibu..”

“Ini deh, buat teteh..” ibu tersebut menyodorkan snack kue basah.

“Ehh, apa ini bu? Kok buat saya?” tanya Aina

“Iyah, sebagai permintaan maaf ibu tadi... buat teteh aja, mangga..”

“Eh.. bu...?”

Aina terheran, namun juga tak enak untuk menolaknya.

“Oke deh, makasih bu...Saya pamit pulang dulu..” ujar Aina, mengambil snack, bersalaman dengan ibu penjaga gedung, serta meninggalkan ruang studio.

“Iyaa neng, mangga, hati-hati..”
=====================================

Kei P.O.V

[Pukul 20:00]

“Kei, kamu kenapa sih hari ini..?? Kenapa kamu jadi gini??”

“Enggak biasanya kamu jadi mesum gini, Kei?? Aku gak nyangka!”

Adalah dua pesan masuk dari Aina yang mampir pada Facebook Messengerku, dan hanya ku read sejak dua jam lalu. Aku tidak membalasnya, melainkan malah kutinggal bermain game.

Nanti akan kubalas, saat aku menemukan kata-kata yang tepat.

Saat ini, jangankan memikirkan kata-kata yang tepat untuk membalas pesan Aina, aku pun sebenarnya sedang mempertanyakan diriku, prinsipku, pendirianku saat ini.

Bohong, jika sejak aku melihat kembali foto ‘salah kirim’ Aina kepadaku, aku tidak mulai berfantasi tentang tubuhnya. Bohong, jika sejak perbincangan seksual antara aku dan Aina yang terjadi di warnet Eternity tersebut tidak membuatku terangsang hingga celana dalamku menyempit. Sejak saat itu, aku terus memikirkannya, memimpikannya. Kini aku selalu gagal untuk tidak memfantasikan Aina secara seksual, minimal.. penasaran bagaimana jika ia telanjang di hadapanku.

Namun, suka kah aku pada Aina? Apakah nantinya aku akan dapat membalas perasaannya padaku? Hatiku masih berpegang teguh pada prinsip bahwa aku takkan kurangajar pada wanita. Aku tak mau nantinya malah menyakiti Aina karena berpikir bahwa aku sama seperti lelaki kebanyakan—tak jarang mengincar seks semata ketimbang mencintainya secara keseluruhan.

Namun, sejak hari Jum’at lalu, dan kejadian tadi sore... tentu saja dapat dibilang aku telah melanggar prinsipku. Aku kalah dengan rasa ingintahu dan nafsu seksualku akan wanita. Apalagi, Aina suka padaku—biasanya wanita yang menaruh hati pada orang yang disuka, akan lebih mudah untuk diarahkan mengikuti keinginan kita, dibuat untuk menyenangkan orang yang disukainya. Kisah teman-temanku yang dulu kuanggap ‘cerita tak bermutu’ yang diutakan saat berkumpul bersama, kini terbukti juga padaku. Aina saja tidak melawan tindakanku, kan? Terlebih di beberapa waktu, Aina mencuri kesempatan untuk dirty talk denganku, dan selama ini pun aku menolaknya. Dan jujur, aku belum mau mencintai wanita manapun lagi—meski dapat kuakui, sejak mengenal Aina, kepercayaan diriku perlahan bangkit, dan perlahan membuka hati dan pikiranku ke arah yang lebih baik, menurutku. Mungkin, mentalku belum siap untuk menerima kembali apa yang dinamakan ‘pacaran’.

Kini, Aina mempertanyakan “kenapa” atas tindakanku. Bagaimana caraku menjawabnya tanpa melukai perasaannya, ya? Karena saat ini pun aku tak lagi memahami diriku sendiri.

==================================

[Pukul 01:40]

Aku sudah usai bermain game sejak setengah jam yang lalu, dan kini aku sedang melatih skill menggambar digitalku kembali.

“Ah, lumayan nih, suka nih coloring yang begini..” ujarku, merasa puas dengan hasil latihanku yaitu coloring sketsa yang kubuat. Selama ini, aku selalu stuck di pewarnaan,meskipun memang banyak yang mengakui bahwa gambaranku memang bagus, terlebih di sketsa dan lining. Namun, begitu masuk sesi coloring, ewh.. aku bisa dibilang langganan dikritik tentang pewarnaan, entah apakah warna yang kupilih kurang enak dipandang, dan sebagainya. Tak jarang, sebenarnya aku merasa iri dengan orang yang memiliki konsep serta coloring yang bagus dan enak dipandang.

Diam-diam, terkadang aku iri dengan Aina, yang walaupun style gambarnya lebih sederhana dariku, namun ia cerdas dalam memainkan pilihan warna, sehingga karya-karyanya enak dipandang.

Namun, itulah alasanku mengajak Aina untuk mengikuti challenge project berupa desain kostum serta senjata untuk karakter di War*frame, yaitu dengan harapan ia dapat membantuku dalam memilih warna,kesan, dan hal lainnya. Ditambah, baru-baru ini ia menguasai pemodelan 3D.

Ah,soal challenge project... setelah ku menatap tanggal di laptopku, deadlinenya adalah.... dua minggu lagi??

Aku harus menghubungi Aina secepatnya! Jangan sampai usaha kami selama hampir 2 bulan terbengkalai begitu saja!

Aku pun sontak membuka FB ku, dan hendak chatting dengan Aina, namun...

“Kei, kamu kenapa sih hari ini..?? Kenapa kamu jadi gini??”

“Enggak biasanya kamu jadi mesum gini, Kei?? Aku gak nyangka!”

Ah, aku lupa bahwa tadi Aina mengirimkan chat ini.
Kini, aku tak tau bagaimana harus memulai.

Aku masih tak tahu harus membalas apa.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd