Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

terlalu cepat sih antara bintang dan bu wulan,
greget sebenernya klo diantara mereka di ceritakan memendam rasa yg bergejolak
diantara maju atau mundur

tp saya meninggalkan jejak disini
krn saya suka gaya bahasa nya

ditunggu updatenya suhu

salam.
 
CHAPTER 6
RUMAH




Ban pesawat menyentuh tanah dengan mulus. Suara pramugari mengumumkan kedatangan dan beberapa peringatan biasa. Jangan berdiri sebelum pesawat berhenti, jangan menyalakan hp sebelum tiba di terminal, dan lainnya. Peraturan yang tak pernah dipatuhi karena semua orang sepertinya sangat terburu-buru.

Tapi tidak denganku. Aku menikmati setiap detik perjalanan ini. Karena ia duduk di sebelahku. Kutatap matanya yang polos. Kuperhatikan parasnya yang anggun. Rambutnya yang terikat, menunjukkan jenjang leher yang sangat menarik hati. Kemeja abu-abu dengan lengan tergulung, mendeskripsikan karakternya yang kuat dan persisten. Roknya yang sedikit di bawah lutut, memberi kesan sopan namun tetap mempesona.

Yang tersayang.
Yang kucinta.
Belahan hatiku.
Wulan.
Ingin rasanya kudekap dia sepanjang perjalanan.

Di sini tak ada sandiwara yang harus kami paksa ketika di kampus. Harus memanggil ‘Bu’ di depan kawan-kawan. Harus menjaga diri ketika berpapasan. Harus menahan gejolak. Kini, jauh dari orang-orang yang memandang sinis, kami bisa bebas berduaan.

Walau akhirnya ketika sampai di kota nanti kami harus kembali membuat jarak. Aku memiliki kenalan yang luas di sini.

“Nanti udah tau mau naik apa?” tanyaku memastikan.

Wulan mengangguk. “Tenang, sayang. Nanti sesuai rencana aku pake travel ke hotel. Keluargamu gimana? Jadi jemput?”

“Iya, bapak yang jemput. Ibu masih ada urusan penting di kantor,” ujarku.

Kami termasuk bagian orang-orang yang terakhir keluar dari pesawat. Dengan santai kami menuju tempat pengambilan bagasi. Tempat kami akan berpisah.

“Hati-hati, ya,” Wulan mengecup pipiku untuk terakhir kali sebelum kami bertemu lagi besok.

Tindakan itu mengundang sorot mata beberapa orang, tapi kami tidak peduli. Aku menggenggam tangannya. Memang berat rasanya setelah beberapa bulan selalu tidur satu ranjang.

“Kamu juga jaga diri, sayang. Tunggu aku, ya…” aku berbisik sebelum melepasnya pergi.

Di balik gerbang kedatangan, Abi sudah menungguku. Ia menyambut dengan senyum khasnya, menampilkan sederet gigi yang menguning akibat kopi dan rokok bertahun-tahun. Tangannya terbuka lebar, menampilkan perut yang tambun. Menyambutku.

“MasyaAllah, anak Abi keliatan gagah. Udah cocok jadi sarjana,” bapak menyambut dengan tawanya yang renyah. Aku mencium tangannya, menyundul sederetan batu giok yang terpasang pada cincin jarinya.

“Iya, Bi. Bintang pulang.”

< b >

Meskipun aku tinggal di Taliwang, sebuah kota yang tak bisa terbilang kecil, namun udara di sini jauh lebih baik daripada di Surabaya. Panasnya juga tidak pengap akan polusi. Sepoi anginnya menyegarkan. Bila aku berjalan sedikit lebih jauh, pantai sepanjang mata memandang akan menghiasi cakrawala. Tak ada gedung tinggi, tak ada pencakar langit.

Sesampai di rumah dan sedikit berbenah, aku izin ke Abi. Kukatakan bahwa aku sudah ada janji dengan teman, yang mana sebenarnya aku pergi menemui Wulan. Ia menyewa sebuah penginapan sederhana di pinggir kota, tak terlalu jauh dari rumahku. Kami berencana pergi hari ini. Abi mengizinkan dan berpesan untuk pulang sebelum larut malam. Abi juga berencana akan menjemput Ummi yang sedang ikut pengajian di kota sebelah.

Aku sampai di penginapan. Mendapati Wulan yang ke luar dari penginapan dengan pakaian santai. Ia mengenakan baju pantai longgar berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Rambutnya dibarkan tergerai tertiup angin. Sedang kakinya hanya berhias sandal sederhana. Sungguh tak akan ada yang percaya ia berusia empat puluh tahun dan berprofesi sebagai dosen.

Ia mengecup pipiku sebelum naik ke boncengan motor. Jika kupikir-pikir, ini pertama kalinya kami naik motor bersama. Sebelumnya kami hanya menggunakan mobil Wulan.

“Mau ke mana kita?” Wulan bertanya sembari aku mengendalikan motor keluar penginapan.

“Kamu lihat aja nanti,” sahutku.

“Oke, aku percaya kamu kok,” Wulan menjawab sambil melingkarkan tangannya di perutku. Dadanya menempel di punggungku dengan ketat, seolah tak ingin lepas. Membuatku agak grogi dan salah tingkah. Karenanya aku membawa motor dengan perlahan, takut konsentrasiku yang rendah ini akan membahayakan kami.

Lima belas menit, udara pantai yang asin menerpa wajah kami. Pertanda destinasi kami sudah dekat.

Aku membawa Wulan ke bagian pantai yang tak terlalu dikenal orang banyak. Di sini hanya terlihat beberapa mobil parkir berjauhan. Ditambah, libur idul adha masih dua hari lagi. Belum masuk puncak keramaian.

Turun dari motor, Wulan berlari kecil di pantai. Menikmati pasir putihnya, deburan ombak yang teratur, dan membiarkan rambutnya tertiup angin. Ia menari-nari di depanku, tertawa lepas.

Ia memang masih remaja, setidaknya jiwanya masih.

“Ihhh, asik banget ya, sayang,” Wulan membenamkan kakinya ke ombak yang menjulur. Ia menenteng sandalnya di satu tangan.

“Nggak mau foto-foto?” tanyaku dari daerah yang lebih atas, tak terjangkau air.

Ia menatapku, menggeleng. “Ngapain? Kita nikmatin aja berdua,” ia menjawab sambil menggandeng tanganku, memaksaku turun. Aku buru-buru menaikkan celana jinsku agar tak terkena air. Tentu saja agak terlambat dan beberapa percikan air tetap mengenainya. Wulan tertawa lepas dan mencium pipiku.

Aku ikut tertawa dan menendang air, berusaha menyipratkan air ke arahnya. Wulan kabur sambil tertawa-tawa. Aku mengejarnya. Ke kiri, kanan, ia berkelit, namun tanganku berhasil menggapainya. Momentum tubuhku mendorongnya ke pasir atas yang kering, membuat kami berdua terjatuh bersisian.

Wajahnya berada tepat di hadapanku. Kami bertukar tatap lagi. Untuk kesekian ratus kalinya. Dan aku masih tenggelam dalam pesonanya. Lalu seperti saat-saat lalu, mata kami terpejam, bibir kami bersentuhan tanpa ada yang tahu siapa yang memulai.

Empuk, lembut, dan lumatan penuh cinta itu tak pernah berubah. Sesaat, kami berdua tak merasakan apa-apa. Hanya ada aku dan Wulan. Berdua di tengah kekosongan, hanya memiliki satu sama lain. Hingga perlahan suara debur ombak mengembalikan kesadaran kami.

Aku membuka mata bersamaan dengan Wulan. Aku tersenyum, ia pun begitu. Senyum yang membuatku meleleh.

Punggung kutegakkan dan aku membantu Wulan duduk. “Udah, ah, sayang. Malu ada keluarga orang ngeliatin tuh,” aku berbisik sambil memberi isyarat mata.

Wulan menggigit bibirnya, gelagat yang menunjukkan ia ingin lebih. “Sekarang aja, gimana?”

Aku tertawa. “Sekarang, dimana? Di semak-semak? Nanti aja pas balik ke kamarmu, ya, sayang?”

Ia terlihat akan merajuk, namun akhirnya kami duduk bersisian dengan wajar. Tak terlalu menampilkan afeksi romantis yang berlebihan. Hanya duduk berdua beralas pasir, beratap daun kelapa, memandangi lautan. Membicarakan banyak hal: apa yang kami kagumi dari masing-masing pasangan, pengharapan masa depan, dan betapa beruntungnya kami berdua.

Aku menatap Wulan dari samping.
Menampilkan garis setengah wajah,
Perempuan yang sangat kucintai.
Inilah rumah.
DIA lah rumah.
Tempat di mana hatiku berada.
Tempat yang selalu kurindukan.
Tempatku kembali.
Wulan.
Wulanku.

Terbersit dalam benakku bahwa inilah satu-satunya hal yang berarti. Ketika tak ada lagi bangunan fisik rumahku di Taliwang nanti, ketika semua orang pergi dariku. Ia masih ada untukku, dan aku untuknya. Cukup begitu.

Sebuah pikrian yang sepintas terlihat polos dan tulus. Namun ada rasa bersalah yang hinggap ketika itu benar-benar terjadi.

< y >

Yoga menatap layar hp dengan lesu. Berharap balasan Farah yang tak kunjung datang. Jika sudah begini, ia harus chat ulang agar Farah membalasnya.

Hingga beberapa menit kemudian satu chat masuk. Dari Sisi.

Eh, Farah minta tolong buat nganterin barangnya di kosku, nih.

Tanpa berpikir dua kali, Yoga langsung bersiap dan meluncur ke kos Sisi. Sesampainya di sana, ia malah disergap dan dikunci pintunya.

“Yah, kirain beneran, taunya kamu lagi pengen aja, ya?” Yoga menghela napas.

“Nggak, kok. Emang ada barang Farah yang pengin kukembaliin,” Sisi berkilah. Ia terlihat sudah begitu bernafsu.

“Tapiii… nggak harus sekarang juga ngembalinnya…” sebuah suara menimpali. Itu Hana. Yoga tak memperhatikannya sudah berbaring di atas kasur dengan menumpu pada satu angan. Telanjang bulat.

“Hana?—” Yoga tak sempat bereaksi saat mulutnya dikulum oleh Sisi. Lumatannya yang ganas langsung membangkitkan gairah Yoga.

Hana tak tinggal diam, ia bangkit dari kasur dan langsung menurunkan celana Yoga. Mengulum batang kejantanannya. Yoga mengerang keenakan. Bajunya dibuka dengan paksa oleh Sisi, yang kemudian memainkan puting Yoga.

“Ohhhh kalian kompak banget… udah sering ya?” Yoga berseru. Namun kedua perempuan di hadapannya tetap asyik melakukan kegiatan masing-masing. Yoga menganggap jawaban itu sebagai ‘iya’.

Hana dengan buah dada yang besar, dan paras yang cantik sangat lihai mengulum batang kemaluan, kemaluannya juga tak melar seperti Sisi. Sedang Sisi dengan tubuh yang lebih ramping namun lebih seksi, memiliki ciuman dan rabaan yang ganas. Perpaduan yang pas.

Yang membuat Yoga tercengang kemudian ketika Sisi mengangkat dagu Hana dan berciuman. Tangan Sisi masih meraba-raba dada dan pentil Yoga, sedang tangan Hana mengocok kemaluan Yoga. Ughhh, pemandangan di depannya justru membuatnya semakin terangsang.

Sisi kemudian mendorong Yoga ke kasur, merebahkannya. Kemudian membenamkan wajah Yoga dalam vaginanya. Memaksa mulut dan lidah Yoga bermain di sana. Sedang Hana berusaha menduduki batang kejantanan Yoga. Agak sedikit seret, namun beberapa saat kemudian Hana sudah bergoyang dengan liar.

Hana memompa dengan cepat, namun tak seliar Sisi. Yoga berusaha memberi rangsangan pada Hana dengan memelintir putingnya. Ia terpaksa meraba-raba dulu karena wajahnya masih terjepit paha Sisi.

Tak lama, Hana bergetar-getar dan mengejang. Tanda ia sudah sampai pada klimaksnya. Sisi yang melihat itu menyudahi kegiatannya di mulut Yoga dan mulai memasukkan batang kejantanan Yoga ke liang senggamanya. Hana terkapar di samping, tak berdaya.

Sisi bergoyang-goyang liar, jari-jemarinya terjalin dengan Yoga untuk menjaga keseimbangan. Ia terus berusaha meraih klimaks dengan cepat. Suara paha yang beradu, dipadu dengan lenguhan keras Sisi memenuhi seisi ruangan. Hingga tak lama kemudian Sisi pun mengejang dan mencapai puncak kenikmatan.

Ini terlalu cepat bagi Yoga. Ia hampir kebingungan sampai ketika Sisi naik ke atas Hana. Mereka berdua berciuman dengan ganas, mengeluarkan erangan-erangan erotis.

“Gila kalian,” Yoga berdesis.

Sisi menggesek tubuhnya yang penuh keringat di atas badan Hana. Puting mereka saling bersentuhan, vagina mereka juga bergesekkan.

“Masukkin!” Sisi mengerang.

Yoga kebingungan. “Ke mana?”

“Ke sela-selanya! Ayo cepet ahhh!” Sisi tak sabar.

Yoga memposisikan penisnya di hadapan vagina yang saling bergesek itu. Ia menyelipkan penisnya di antara dua vagina yang sedang bergesek.

“Ahhhh!” ketiganya mengerang bersamaan. Penis besar Yoga menyentuh kedua klitoris dua wanita di hadapannya.

Yoga menggerakkan pinggulnya. Sisi juga ikut bergesek-gesek. Menimbulkan sensasi ngilu-enak pada kepala penis Yoga. Hana juga terlihat keenakan, raungannya mulai bersaing dengan Sisi.

“Oh, yeah! Baby! Dorong terus Baby! Gesek terus!” Sisi meracau.

Hana hanya berteriak tak karuan, “Uhhhh, ahhhhhh, yaaaaa, enaaaaak, di situuu.”

Mereka bergumul, bergoyang, bergesek. Terus memacu birahi mereka dengan tak sabar. Sisi yang paling liar, ia menggesek-gesek badannya dengan cepat. Keringatnya semakin banyak, membuat semua gerakan semakin licin, semakin membuat nikmat.

Hingga Hana dan Sisi bergetar dan mengejang bersamaan. “Ngggggghhhh!” Sisi mencium Hana dan mengunci bibirnya pada saat-saat klimaks.

Yoga pun tak mau kalah, beberapa saat kemudian ia sampai. Menyemburkan spermanya di antara kedua wanita cantik di hadapannya. Ia menekan pantatnya dengan dalam, sedang cengkraman kedua vagina juga semakin sempit, menambah puncak kenikmatan.

“Ohhhh!” Yoga mengerang. Mereka bertiga ambruk, dengan Yoga tertidur di tengah. Puas. Melayang dalam surga dunia.

“Kalian lesbi?” Yoga bertanya beberapa saat kemudian.

“Biseks, Yog. Makanya main agak jauh dikit,” Sisi menjawab sambil cekikikan. “Ohiya, kamu tahu barang apa yang mau kukembaliin ke Farah?”

Tanpa menunggu jawaban Yoga, Sisi mengambil kardus di atas lemari. Kemudian mengeluarkan sebuah barang yang ia tak menyangka adalah milik Farah.

“Gila. Nggak mungkin lah!” Yoga berseru melihat vibrator di hadapannya.

Sisi tergelak. “Jangan khawatir. Dia masih perawan kok. Cewek juga butuh pemuas nafsu kan.”

“Kok bisa kamu bawa? Bohong nih, ya?” Yoga mendebat.

“Kuamanin dari himpunan soalnya kemarin ketinggalan. Hampir aja ngerusak citra Farah nih, hihihi,” Sisi menjawab mantap.

“Dan kamu tahu artinya apa?” giliran Hana bertanya retorika. “Kamu bisa buat ngancem dia. Blackmail supaya mau main sama kamu.”

Seketika Yoga menjawab, “Nggak mungkin lah. Aku sayang sama dia. Bukan sekadar mau nikmatin tubuhnya aja. Awas aja ya kalo kalian sampe nyebarin ini.”

Sisi dan Hana sepertinya kaget mendengar jawaban itu. Mereka tertawa. Sisi lalu memberikan uang dua puluh ribu rupiah pada Hana.

“Apa kubilang, kan? Yoga pasti nggak setuju,” kata Hana menerima uang dari Sisi. Uang taruhan.

“Yaudah, kita cari jalan lain buat Yoga biar bisa jadian sama Farah,” Sisi berkata.

“Bener nih? Kalian emang temen terbaik,” Yoga berseru senang.

“Temen sex terbaik,” Sisi meralat, mencubit penis Yoga.

< b >

Kabar itu datang bagai petir menyambar. Begitu cepat. Begitu tiba-tiba. Aku bahkan tak sempat melihat Ummi hingga ia sudah terbungkus kain kafan di samping Abi. Malam itu aku kehilangan kedua orang tuaku dalam kecelakaan tragis.

Saat ditelepon dan dikabari oleh salah seorang tetangga, jantungku serasa berhenti berdetak. Sekujur badanku terasa dingin. Aku tak bisa berkata apa-apa, sampai menangis pun rasanya tak bisa.

Tuhan, apakah ini hukuman atas hambamu yang hilang dan tersesat?

Wulan saat mendengar kabar itu berusaha menenangkan dan menghiburku. Ia memaksa agar ia bisa ikut membantuku di rumah, menolong hal apapun itu. Tapi tidak, aku menurunkannya di penginapan. Aku butuh waktu sendiri. Bahkan seluruh rasa cintaku pada Wulan harus berhenti untuk sesaat.

Sesampainya aku di rumah, sudah ramai berkumpul para tetanggaku. Aku tak memiliki saudara. Keluarga Abi dan Ummi berada di pulau seberang, mereka perantauan di sini. Syukurnya Abi cepat bergaul sehingga kami akrab dengan para tetangga. Mereka lah yang mengurusi jenazah Abi dan Ummi.

Aku bersimpuh di sebelah kedua jasad orang tuaku yang sudah kaku. Menangis sejadi-jadinya.

< b >

Aku masih bimbang tentang hubunganku dengan Wulan. Merasa bahwa semua ini terjadi karena maksiatku. Karena aku yang telah berani melanggar larangan agama.

Wulan datang membantu untuk persiapan tahlilan, bergabung dengan ibu-ibu tetangga serta bibi dan pamanku yang langsung datang dari Lombok. Ia datang tanpa seijinku. Dengan cepat ia berbaur. Pakaiannya juga mengikuti situasi kami saat itu. Ia menggunakan jilbab dan baju tertutup. Wulan sangat cantik, tapi sisi lain perasaanku masih merasa penuh dosa.

Aku sangat menghargai sikap Wulan yang pengertian. Ia tak mendekatiku seperti biasanya, memberikanku ruang untuk berduka dan merenungi semua ini. Membuatku semakin bimbang tentangnya. Ia begitu baik. Begitu sempurna. Begitu cocok dan pas untukku. Tapi bukankah semua ini pertanda agar aku menjauh darinya?

Aku takut. Sangat takut.

Pikiranku tetap berada dalam kekacauan hingga pada akhir malam kesembilan. Saat itu, kami beramai-ramai sedang membersihkan sisa tahlilan malam terakhir. Wulan dapat membuat alibi untuk pulang paling belakang. Aku tahu ia ingin berbicara berdua denganku. Cepat atau lambat harus terjadi.

Wulan menghampiriku yang sedang duduk di kursi ruang tengah.

“Hai,” ucapnya. Membuyarkan lamunanku.

“Hai,” jawabku kaku.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya. Mengambil posisi di sampingku.

Aku menatapnya. Ia sungguh cantik dengan pakaian muslimah begini. Matanya terlihat semakin kontras dan menarikku semakin dalam tenggelam pada pesonanya.

Aku mencintainya. Sungguh. Tapi aku takut. Benar-benar takut.

Tanpa sadar, air mataku mulai menetes. Aku menangis. Tak sanggup mengambil keputusan apa-apa. Aku tak sanggup berpisah dengannya. Tapi bagaimana jika hubunganku dengan Wulan lah yang menimpakan bencana seperi ini terhadapku?

Wulan merangkul kepalaku. Membimbingnya untuk beristirahat di pundaknya. Aku meraung, merengek seperti anak kecil. Semuanya kutimpakan pada pundak Wulan. Ia hanya diam. Mengelus kepalaku. Mengecup pelipisku. Berusaha menenangkanku.

Hingga akhirnya ia berbisik sesuatu. Kata-katanya seolah bisa membaca semua kebimbanganku. Kata-kata yang menjadi jalan keluar terhadap ketakutanku.

Seberkas cahaya di tengah lorong yang gelap.

“Ayo kita nikah sayang...” katanya sambil mengecup pelan pipiku. Kecupan yang mengembalikan semua keyakinanku padanya.




to be continued


Ke Chapter 7
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 6
RUMAH




Ban pesawat menyentuh tanah dengan mulus. Suara pramugari mengumumkan kedatangan dan beberapa peringatan biasa. Jangan berdiri sebelum pesawat berhenti, jangan menyalakan hp sebelum tiba di terminal, dan lainnya. Peraturan yang tak pernah dipatuhi karena semua orang sepertinya sangat terburu-buru.

Tapi tidak denganku. Aku menikmati setiap detik perjalanan ini. Karena ia duduk di sebelahku. Kutatap matanya yang polos. Kuperhatikan parasnya yang anggun. Rambutnya yang terikat, menunjukkan jenjang leher yang sangat menarik hati. Kemeja abu-abu dengan lengan tergulung, mendeskripsikan karakternya yang kuat dan persisten. Roknya yang sedikit di bawah lutut, memberi kesan sopan namun tetap mempesona.

Yang tersayang.
Yang kucinta.
Belahan hatiku.
Wulan.
Ingin rasanya kudekap dia sepanjang perjalanan.

Di sini tak ada sandiwara yang harus kami paksa ketika di kampus. Harus memanggil ‘Bu’ di depan kawan-kawan. Harus menjaga diri ketika berpapasan. Harus menahan gejolak. Kini, jauh dari orang-orang yang memandang sinis, kami bisa bebas berduaan.

Walau akhirnya ketika sampai di kota nanti kami harus kembali membuat jarak. Aku memiliki kenalan yang luas di sini.

“Nanti udah tau mau naik apa?” tanyaku memastikan.

Wulan mengangguk. “Tenang, sayang. Nanti sesuai rencana aku pake travel ke hotel. Keluargamu gimana? Jadi jemput?”

“Iya, bapak yang jemput. Ibu masih ada urusan penting di kantor,” ujarku.

Kami termasuk bagian orang-orang yang terakhir keluar dari pesawat. Dengan santai kami menuju tempat pengambilan bagasi. Tempat kami akan berpisah.

“Hati-hati, ya,” Wulan mengecup pipiku untuk terakhir kali sebelum kami bertemu lagi besok.

Tindakan itu mengundang sorot mata beberapa orang, tapi kami tidak peduli. Aku menggenggam tangannya. Memang berat rasanya setelah beberapa bulan selalu tidur satu ranjang.

“Kamu juga jaga diri, sayang. Tunggu aku, ya…” aku berbisik sebelum melepasnya pergi.

Di balik gerbang kedatangan, Abi sudah menungguku. Ia menyambut dengan senyum khasnya, menampilkan sederet gigi yang menguning akibat kopi dan rokok bertahun-tahun. Tangannya terbuka lebar, menampilkan perut yang tambun. Menyambutku.

“MasyaAllah, anak Abi keliatan gagah. Udah cocok jadi sarjana,” bapak menyambut dengan tawanya yang renyah. Aku mencium tangannya, menyundul sederetan batu giok yang terpasang pada cincin jarinya.

“Iya, Bi. Bintang pulang.”

< b >

Meskipun aku tinggal di Taliwang, sebuah kota yang tak bisa terbilang kecil, namun udara di sini jauh lebih baik daripada di Surabaya. Panasnya juga tidak pengap akan polusi. Sepoi anginnya menyegarkan. Bila aku berjalan sedikit lebih jauh, pantai sepanjang mata memandang akan menghiasi cakrawala. Tak ada gedung tinggi, tak ada pencakar langit.

Sesampai di rumah dan sedikit berbenah, aku izin ke Abi. Kukatakan bahwa aku sudah ada janji dengan teman, yang mana sebenarnya aku pergi menemui Wulan. Ia menyewa sebuah penginapan sederhana di pinggir kota, tak terlalu jauh dari rumahku. Kami berencana pergi hari ini. Abi mengizinkan dan berpesan untuk pulang sebelum larut malam. Abi juga berencana akan menjemput Ummi yang sedang ikut pengajian di kota sebelah.

Aku sampai di penginapan. Mendapati Wulan yang ke luar dari penginapan dengan pakaian santai. Ia mengenakan baju pantai longgar berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Rambutnya dibarkan tergerai tertiup angin. Sedang kakinya hanya berhias sandal sederhana. Sungguh tak akan ada yang percaya ia berusia empat puluh tahun dan berprofesi sebagai dosen.

Ia mengecup pipiku sebelum naik ke boncengan motor. Jika kupikir-pikir, ini pertama kalinya kami naik motor bersama. Sebelumnya kami hanya menggunakan mobil Wulan.

“Mau ke mana kita?” Wulan bertanya sembari aku mengendalikan motor keluar penginapan.

“Kamu lihat aja nanti,” sahutku.

“Oke, aku percaya kamu kok,” Wulan menjawab sambil melingkarkan tangannya di perutku. Dadanya menempel di punggungku dengan ketat, seolah tak ingin lepas. Membuatku agak grogi dan salah tingkah. Karenanya aku membawa motor dengan perlahan, takut konsentrasiku yang rendah ini akan membahayakan kami.

Lima belas menit, udara pantai yang asin menerpa wajah kami. Pertanda destinasi kami sudah dekat.

Aku membawa Wulan ke bagian pantai yang tak terlalu dikenal orang banyak. Di sini hanya terlihat beberapa mobil parkir berjauhan. Ditambah, libur idul adha masih dua hari lagi. Belum masuk puncak keramaian.

Turun dari motor, Wulan berlari kecil di pantai. Menikmati pasir putihnya, deburan ombak yang teratur, dan membiarkan rambutnya tertiup angin. Ia menari-nari di depanku, tertawa lepas.

Ia memang masih remaja, setidaknya jiwanya masih.

“Ihhh, asik banget ya, sayang,” Wulan membenamkan kakinya ke ombak yang menjulur. Ia menenteng sandalnya di satu tangan.

“Nggak mau foto-foto?” tanyaku dari daerah yang lebih atas, tak terjangkau air.

Ia menatapku, menggeleng. “Ngapain? Kita nikmatin aja berdua,” ia menjawab sambil menggandeng tanganku, memaksaku turun. Aku buru-buru menaikkan celana jinsku agar tak terkena air. Tentu saja agak terlambat dan beberapa percikan air tetap mengenainya. Wulan tertawa lepas dan mencium pipiku.

Aku ikut tertawa dan menendang air, berusaha menyipratkan air ke arahnya. Wulan kabur sambil tertawa-tawa. Aku mengejarnya. Ke kiri, kanan, ia berkelit, namun tanganku berhasil menggapainya. Momentum tubuhku mendorongnya ke pasir atas yang kering, membuat kami berdua terjatuh bersisian.

Wajahnya berada tepat di hadapanku. Kami bertukar tatap lagi. Untuk kesekian ratus kalinya. Dan aku masih tenggelam dalam pesonanya. Lalu seperti saat-saat lalu, mata kami terpejam, bibir kami bersentuhan tanpa ada yang tahu siapa yang memulai.

Empuk, lembut, dan lumatan penuh cinta itu tak pernah berubah. Sesaat, kami berdua tak merasakan apa-apa. Hanya ada aku dan Wulan. Berdua di tengah kekosongan, hanya memiliki satu sama lain. Hingga perlahan suara debur ombak mengembalikan kesadaran kami.

Aku membuka mata bersamaan dengan Wulan. Aku tersenyum, ia pun begitu. Senyum yang membuatku meleleh.

Punggung kutegakkan dan aku membantu Wulan duduk. “Udah, ah, sayang. Malu ada keluarga orang ngeliatin tuh,” aku berbisik sambil memberi isyarat mata.

Wulan menggigit bibirnya, gelagat yang menunjukkan ia ingin lebih. “Sekarang aja, gimana?”

Aku tertawa. “Sekarang, dimana? Di semak-semak? Nanti aja pas balik ke kamarmu, ya, sayang?”

Ia terlihat akan merajuk, namun akhirnya kami duduk bersisian dengan wajar. Tak terlalu menampilkan afeksi romantis yang berlebihan. Hanya duduk berdua beralas pasir, beratap daun kelapa, memandangi lautan. Membicarakan banyak hal: apa yang kami kagumi dari masing-masing pasangan, pengharapan masa depan, dan betapa beruntungnya kami berdua.

Aku menatap Wulan dari samping.
Menampilkan garis setengah wajah,
Perempuan yang sangat kucintai.
Inilah rumah.
DIA lah rumah.
Tempat di mana hatiku berada.
Tempat yang selalu kurindukan.
Tempatku kembali.
Wulan.
Wulanku.

Terbersit dalam benakku bahwa inilah satu-satunya hal yang berarti. Ketika tak ada lagi bangunan fisik rumahku di Taliwang nanti, ketika semua orang pergi dariku. Ia masih ada untukku, dan aku untuknya. Cukup begitu.

Sebuah pikrian yang sepintas terlihat polos dan tulus. Namun ada rasa bersalah yang hinggap ketika itu benar-benar terjadi.

< y >

Yoga menatap layar hp dengan lesu. Berharap balasan Farah yang tak kunjung datang. Jika sudah begini, ia harus chat ulang agar Farah membalasnya.

Hingga beberapa menit kemudian satu chat masuk. Dari Sisi.

Eh, Farah minta tolong buat nganterin barangnya di kosku, nih.

Tanpa berpikir dua kali, Yoga langsung bersiap dan meluncur ke kos Sisi. Sesampainya di sana, ia malah disergap dan dikunci pintunya.

“Yah, kirain beneran, taunya kamu lagi pengen aja, ya?” Yoga menghela napas.

“Nggak, kok. Emang ada barang Farah yang pengin kukembaliin,” Sisi berkilah. Ia terlihat sudah begitu bernafsu.

“Tapiii… nggak harus sekarang juga ngembalinnya…” sebuah suara menimpali. Itu Hana. Yoga tak memperhatikannya sudah berbaring di atas kasur dengan menumpu pada satu angan. Telanjang bulat.

“Hana?—” Yoga tak sempat bereaksi saat mulutnya dikulum oleh Sisi. Lumatannya yang ganas langsung membangkitkan gairah Yoga.

Hana tak tinggal diam, ia bangkit dari kasur dan langsung menurunkan celana Yoga. Mengulum batang kejantanannya. Yoga mengerang keenakan. Bajunya dibuka dengan paksa oleh Sisi, yang kemudian memainkan puting Yoga.

“Ohhhh kalian kompak banget… udah sering ya?” Yoga berseru. Namun kedua perempuan di hadapannya tetap asyik melakukan kegiatan masing-masing. Yoga menganggap jawaban itu sebagai ‘iya’.

Hana dengan buah dada yang besar, dan paras yang cantik sangat lihai mengulum batang kemaluan, kemaluannya juga tak melar seperti Sisi. Sedang Sisi dengan tubuh yang lebih ramping namun lebih seksi, memiliki ciuman dan rabaan yang ganas. Perpaduan yang pas.

Yang membuat Yoga tercengang kemudian ketika Sisi mengangkat dagu Hana dan berciuman. Tangan Sisi masih meraba-raba dada dan pentil Yoga, sedang tangan Hana mengocok kemaluan Yoga. Ughhh, pemandangan di depannya justru membuatnya semakin terangsang.

Sisi kemudian mendorong Yoga ke kasur, merebahkannya. Kemudian membenamkan wajah Yoga dalam vaginanya. Memaksa mulut dan lidah Yoga bermain di sana. Sedang Hana berusaha menduduki batang kejantanan Yoga. Agak sedikit seret, namun beberapa saat kemudian Hana sudah bergoyang dengan liar.

Hana memompa dengan cepat, namun tak seliar Sisi. Yoga berusaha memberi rangsangan pada Hana dengan memelintir putingnya. Ia terpaksa meraba-raba dulu karena wajahnya masih terjepit paha Sisi.

Tak lama, Hana bergetar-getar dan mengejang. Tanda ia sudah sampai pada klimaksnya. Sisi yang melihat itu menyudahi kegiatannya di mulut Yoga dan mulai memasukkan batang kejantanan Yoga ke liang senggamanya. Hana terkapar di samping, tak berdaya.

Sisi bergoyang-goyang liar, jari-jemarinya terjalin dengan Yoga untuk menjaga keseimbangan. Ia terus berusaha meraih klimaks dengan cepat. Suara paha yang beradu, dipadu dengan lenguhan keras Sisi memenuhi seisi ruangan. Hingga tak lama kemudian Sisi pun mengejang dan mencapai puncak kenikmatan.

Ini terlalu cepat bagi Yoga. Ia hampir kebingungan sampai ketika Sisi naik ke atas Hana. Mereka berdua berciuman dengan ganas, mengeluarkan erangan-erangan erotis.

“Gila kalian,” Yoga berdesis.

Sisi menggesek tubuhnya yang penuh keringat di atas badan Hana. Puting mereka saling bersentuhan, vagina mereka juga bergesekkan.

“Masukkin!” Sisi mengerang.

Yoga kebingungan. “Ke mana?”

“Ke sela-selanya! Ayo cepet ahhh!” Sisi tak sabar.

Yoga memposisikan penisnya di hadapan vagina yang saling bergesek itu. Ia menyelipkan penisnya di antara dua vagina yang sedang bergesek.

“Ahhhh!” ketiganya mengerang bersamaan. Penis besar Yoga menyentuh kedua klitoris dua wanita di hadapannya.

Yoga menggerakkan pinggulnya. Sisi juga ikut bergesek-gesek. Menimbulkan sensasi ngilu-enak pada kepala penis Yoga. Hana juga terlihat keenakan, raungannya mulai bersaing dengan Sisi.

“Oh, yeah! Baby! Dorong terus Baby! Gesek terus!” Sisi meracau.

Hana hanya berteriak tak karuan, “Uhhhh, ahhhhhh, yaaaaa, enaaaaak, di situuu.”

Mereka bergumul, bergoyang, bergesek. Terus memacu birahi mereka dengan tak sabar. Sisi yang paling liar, ia menggesek-gesek badannya dengan cepat. Keringatnya semakin banyak, membuat semua gerakan semakin licin, semakin membuat nikmat.

Hingga Hana dan Sisi bergetar dan mengejang bersamaan. “Ngggggghhhh!” Sisi mencium Hana dan mengunci bibirnya pada saat-saat klimaks.

Yoga pun tak mau kalah, beberapa saat kemudian ia sampai. Menyemburkan spermanya di antara kedua wanita cantik di hadapannya. Ia menekan pantatnya dengan dalam, sedang cengkraman kedua vagina juga semakin sempit, menambah puncak kenikmatan.

“Ohhhh!” Yoga mengerang. Mereka bertiga ambruk, dengan Yoga tertidur di tengah. Puas. Melayang dalam surga dunia.

“Kalian lesbi?” Yoga bertanya beberapa saat kemudian.

“Biseks, Yog. Makanya main agak jauh dikit,” Sisi menjawab sambil cekikikan. “Ohiya, kamu tahu barang apa yang mau kukembaliin ke Farah?”

Tanpa menunggu jawaban Yoga, Sisi mengambil kardus di atas lemari. Kemudian mengeluarkan sebuah barang yang ia tak menyangka adalah milik Farah.

“Gila. Nggak mungkin lah!” Yoga berseru melihat vibrator di hadapannya.

Sisi tergelak. “Jangan khawatir. Dia masih perawan kok. Cewek juga butuh pemuas nafsu kan.”

“Kok bisa kamu bawa? Bohong nih, ya?” Yoga mendebat.

“Kuamanin dari himpunan soalnya kemarin ketinggalan. Hampir aja ngerusak citra Farah nih, hihihi,” Sisi menjawab mantap.

“Dan kamu tahu artinya apa?” giliran Hana bertanya retorika. “Kamu bisa buat ngancem dia. Blackmail supaya mau main sama kamu.”

Seketika Yoga menjawab, “Nggak mungkin lah. Aku sayang sama dia. Bukan sekadar mau nikmatin tubuhnya aja. Awas aja ya kalo kalian sampe nyebarin ini.”

Sisi dan Hana sepertinya kaget mendengar jawaban itu. Mereka tertawa. Sisi lalu memberikan uang dua puluh ribu rupiah pada Hana.

“Apa kubilang, kan? Yoga pasti nggak setuju,” kata Hana menerima uang dari Sisi. Uang taruhan.

“Yaudah, kita cari jalan lain buat Yoga biar bisa jadian sama Farah,” Sisi berkata.

“Bener nih? Kalian emang temen terbaik,” Yoga berseru senang.

“Temen sex terbaik,” Sisi meralat, mencubit penis Yoga.

< b >

Kabar itu datang bagai petir menyambar. Begitu cepat. Begitu tiba-tiba. Aku bahkan tak sempat melihat Ummi hingga ia sudah terbungkus kain kafan di samping Abi. Malam itu aku kehilangan kedua orang tuaku dalam kecelakaan tragis.

Saat ditelepon dan dikabari oleh salah seorang tetangga, jantungku serasa berhenti berdetak. Sekujur badanku terasa dingin. Aku tak bisa berkata apa-apa, sampai menangis pun rasanya tak bisa.

Tuhan, apakah ini hukuman atas hambamu yang hilang dan tersesat?

Wulan saat mendengar kabar itu berusaha menenangkan dan menghiburku. Ia memaksa agar ia bisa ikut membantuku di rumah, menolong hal apapun itu. Tapi tidak, aku menurunkannya di penginapan. Aku butuh waktu sendiri. Bahkan seluruh rasa cintaku pada Wulan harus berhenti untuk sesaat.

Sesampainya aku di rumah, sudah ramai berkumpul para tetanggaku. Aku tak memiliki saudara. Keluarga Abi dan Ummi berada di pulau seberang, mereka perantauan di sini. Syukurnya Abi cepat bergaul sehingga kami akrab dengan para tetangga. Mereka lah yang mengurusi jenazah Abi dan Ummi.

Aku bersimpuh di sebelah kedua jasad orang tuaku yang sudah kaku. Menangis sejadi-jadinya.

< b >

Aku masih bimbang tentang hubunganku dengan Wulan. Merasa bahwa semua ini terjadi karena maksiatku. Karena aku yang telah berani melanggar larangan agama.

Wulan datang membantu untuk persiapan tahlilan, bergabung dengan ibu-ibu tetangga serta bibi dan pamanku yang langsung datang dari Lombok. Ia datang tanpa seijinku. Dengan cepat ia berbaur. Pakaiannya juga mengikuti situasi kami saat itu. Ia menggunakan jilbab dan baju tertutup. Wulan sangat cantik, tapi sisi lain perasaanku masih merasa penuh dosa.

Aku sangat menghargai sikap Wulan yang pengertian. Ia tak mendekatiku seperti biasanya, memberikanku ruang untuk berduka dan merenungi semua ini. Membuatku semakin bimbang tentangnya. Ia begitu baik. Begitu sempurna. Begitu cocok dan pas untukku. Tapi bukankah semua ini pertanda agar aku menjauh darinya?

Aku takut. Sangat takut.

Pikiranku tetap berada dalam kekacauan hingga pada akhir malam kesembilan. Saat itu, kami beramai-ramai sedang membersihkan sisa tahlilan malam terakhir. Wulan dapat membuat alibi untuk pulang paling belakang. Aku tahu ia ingin berbicara berdua denganku. Cepat atau lambat harus terjadi.

Wulan menghampiriku yang sedang duduk di kursi ruang tengah.

“Hai,” ucapnya. Membuyarkan lamunanku.

“Hai,” jawabku kaku.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya. Mengambil posisi di sampingku.

Aku menatapnya. Ia sungguh cantik dengan pakaian muslimah begini. Matanya terlihat semakin kontras dan menarikku semakin dalam tenggelam pada pesonanya.

Aku mencintainya. Sungguh. Tapi aku takut. Benar-benar takut.

Tanpa sadar, air mataku mulai menetes. Aku menangis. Tak sanggup mengambil keputusan apa-apa. Aku tak sanggup berpisah dengannya. Tapi bagaimana jika hubunganku dengan Wulan lah yang menimpakan bencana seperi ini terhadapku?

Wulan merangkul kepalaku. Membimbingnya untuk beristirahat di pundaknya. Aku meraung, merengek seperti anak kecil. Semuanya kutimpakan pada pundak Wulan. Ia hanya diam. Mengelus kepalaku. Mengecup pelipisku. Berusaha menenangkanku.

Hingga akhirnya ia berbisik sesuatu. Kata-katanya seolah bisa membaca semua kebimbanganku. Kata-kata yang menjadi jalan keluar terhadap ketakutanku.

Seberkas cahaya di tengah lorong yang gelap.

“Ayo kita nikah sayang...” katanya sambil mengcup pelan pipiku. Kecupan yang mengembalikan semua keyakinanku padanya.




to be continued
Makasi suhu updatenya..

Jawaban binta gimana ya seudah diajak nikah, dan gimana juga dengan farah
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd