Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

CHAPTER 7
BUNGA YANG MEKAR




Hari itu sedikit mendung. Namun mendung itu tidak terasa sedih. Justru ada ketenangan, udara yang sejuk, dan sedikit meningkatkan semangat. Jalanan tidak terlalu padat seperti biasanya. Orang-orang terlihat lebih gembira dari biasanya.

Hari itu hari pernikahanku.

Pernikahanku dilaksanakan secara sederhana di KUA. Setelah serangkaian konsultasi di sana, akhirnya hari ini kami melangsungkan akad nikah. Kakak laki-laki Wulan datang jauh-jauh dari Frankfurt sebagai wali nikah. Ia satu-satunya keluarga Wulan yang tersisa. Aku memanggilnya Mas Rama. Beliau orang yang sangat menyenangkan, tidak pernah mengomentari pernikahan adiknya dengan seorang pemuda yang jauh lebih muda. Mas Rama hanya berterima kasih sudah mau menerima Wulan sebagai istri dan berpesan agar menjaga adiknya baik-baik.

Mas Rama hanya tinggal selama tiga hari di Sumbawa. Kesibukannya sangat tinggi di Frankfurt, namun ia bersyukur dapat mengosongkan tiga hari untuk adik perempuannya.

Sedang aku sendiri hanya memberi kabar pada kerabatku di Lombok. Mereka yang baru saja kembali ke sana setelah membantu pengurusan tahlilan kemarin, hanya mengirimkan doa dan sukacita terhadap pernikahanku.

Mungkin memang seperti ini lah pernikahan yang paling sempurna. Untukku, setidaknya terasa begitu. Wulan dan aku hanya menikmati hari ini berdua. Merasa lebih dekat dari sebelumnya. Merasa ada kekuatan yang nyata yang menyambungkan ikatan kami.

Hari itu hari pernikahan kami.
Hari di mana aku dan Wulan bersatu.
Hari di mana Wulan membuka dirinya seutuhnya padaku.
Hari di mana ia mekar seutuhnya.
Membuka cerita masa lalunya.
Memberikan hartanya yang paling berharga.

< w >

Wulan melihat laki-laki itu dari jauh. Laki-laki itu tak terlalu populer, namun cukup gagah untuk anak seusianya. Wulan berandai-andai apakah perempuan sepertinya akan pernah punya pacar seperti anak SMA pada umumnya. Apakah laki-laki itu mau menjadi pacarnya?

Wulan mencoba mendekati laki-laki itu. Mengiriminya surat.

Tak pernah ada balasan. Ia bingung, salahnya apa?



Masa SMA berlalu. Masa kuliah menyerang.

Ia menemukan cintanya yang baru. Seorang pria sopan yang selalu membantu dan menyemangatinya saat perkuliahan. Hubungan mereka dekat, dan Wulan merasa nyaman. Namun begitu Wulan menunjukkan perasaan sebenarnya, pria itu menjauh.

Mengapa? Apa salah Wulan?



Sikap itu cukup untuk membuat Wulan tak lagi peduli dengan hubungannya dengan laki-laki. Atau hubungan asmara sekecil apapun itu. Ia mulai menuangkan fokusnya hanya pada kegiatan akademiknya. Belajar, belajar, belajar.

Teman-teman terdekatnya mulai merasa tersekat, jauh dari Wulan. Mereka merasa Wulan menjadi sosok yang lebih sensitif dan pemarah.



Empat tahun berlalu dengan cepat. Wulan lulus dengan predikat memuaskan. Ia bahkan mendapat rekomendasi dari dosen pembimbingnya untuk melanjutkan studi di Jerman. Wulan setuju, terlebih di sana ada kakaknya yang sudah menetap dan berpenghasilan.

Dua tahun berlalu dengan cepat pula. Wulan mendapatkan gelar masternya dan berencana sekalian melanjutkan studi doktoral setelah mendapat kepastian menjadi tenaga pengajar di kampus asalnya dulu.

Wulan mengira hidupnya akan terjebak di sana. Di lingkungan peneliti-akademis, hidup seorang diri, menyibukkan diri dengan semua risetnya untuk kemajuan manusia. Tak ada ruang untuk hubungan asmara. Hingga ia bertemu Arsal.

Arsal seorang mahasiswa jenius, sama-sama berasal dari Indonesia dan diterima di fakultas yang sama dengan Arsal. Meski kesibukan mereka berbeda, akan tetapi takdir sepertinya selalu mempertemukan Arsal dan Wulan.

Wulan masih ingat benar pertemuan pertama mereka. Waktu itu di kantin kampus. Ia sedang makan siang dan mengambil tempat di salah satu sudut kantin. Wulan duduk sendiri di meja bundar untuk berempat itu.

Saat itu seorang pria menghampirinya, bertanya dalam bahasa Jerman apakah Wulan tidak keberatan ditemani makan siang berdua. Karena rupanya kantin sedang dalam keadaan super penuh.

Wulan menatap mata pria itu. Tertegun. Rupanya pria itu pun terdiam saat tatapan mereka terkunci. Sampai beberapa saat, akhirnya mereka tersadar dan saling berkenalan. Kaget kalau mereka berasal dari negara yang sama. Obrolan dua orang asing berbahasa Jerman itu seketika berganti menjadi obrolan dua sahabat lama seperti di warung kopi di Indonesia.

Wulan memperhatikan gerak-gerak Arsal yang begitu baik, begitu ramah. Arsal terlihat lumayan tampan walau wajahnya terlihat sedikit pucat untuk ukuran orang Indonesia asli. Tapi yang jelas pertemuan mereka itu berkembang jauh.

Teman makan siang berubah menjadi teman bicara. Kemudian naik lagi menjadi teman ke bioskop, teman membaca buku, teman berdiskusi. Arsal adalah pria yang menyenangkan, namun Wulan tetap belum mau untuk membuka hatinya.

Suatu malam Arsal mengantarnya pulang ke apartemen Wulan. Dan entah karena situasi atau karena kedekatan mereka, Arsal mencium pipi Wulan.

Wulan terkejut dan langsung masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Arsal dalam keadaan bingung.

Esoknya Arsal berusaha memastikan bahwa ia tidak kurang ajar. Ia menghampiri Wulan yang sedang ada di laboratorium.

“Aku minta maaf soal semalam,” Arsal mengajak Wulan bicara empat mata di lorong. Untungnya tak ada orang lain di sana.

“Buat apa?” Wulan bertanya.

“Soal ciuman tadi malam, kamu kayaknya nggak nyaman, ya?” jawab Arsal.

“Oh…” jawab Wulan pendek.

Arsal tak enak dengan situasi seperti ini. Sesuatu di dalam dadanya mendorongnya untuk mengucapkan kejujuran. “Aku suka sama kamu,” ucap Arsal cepat.

Wulan yang sejak tadi menghindari tatapan Arsal terkaget dan menatap langsung mata Arsal. Mata yang tulus, sama seperti saat pertama kali mereka jumpa.

Di kampus asing, di negeri asing, di tengah dinginnya angin musim gugur, Wulan melepaskan ciuman pertamanya pada Arsal. Menerima cintanya.



Ada alasan tentang kebaikan Arsal pada Wulan, dan sifatnya yang terburu-buru mengatakan cinta pada Wulan. Seminggu kemudian, Arsal meninggal dunia. Rupanya ia menyimpan kanker stadium akhir dan memutuskan menghabiskan sisa hartanya untuk mengejar mimpinya: belajar ke Jerman. Ia tak memiliki keluarga, hanya satu rumah warisan di Sumbawa yang ia jual untuk biaya pendidikannya setahun belakangan.

Dalam surat wasiatnya, Arsal meminta agar ia dikremasi dan abunya ditebar di lautan. Tak ada apa-apa tentang Wulan di surat wasiatnya, mengingat ia tak sempat mengubahnya sebelum ia meninggal. Kenangan itu sangat singkat, namun sangat berharga untuk mereka berdua. Arsal meninggal dengan senyum di wajahnya.

Wulan yakin ia tak akan pernah kembali jatuh cinta. Hingga ia melihat tatapan yang sama pada salah seorang mahasiswanya saat ia sudah kembali ke Indonesia. Bintang.

Matanya.
Parasnya.
Gerak-gerik dan aura yang dipancarkannya.
Tatapan mereka yang sama-sama terkunci saat itu…
Wulang seolah tersihir oleh tatapan itu.

Saat itu Wulan memutuskan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan keduanya.

< b >

Aku dan Wulan memasuki rumah. Tangan kami bergandengan. Rumah masa kecilku yang beberapa hari terakhir diselimuti awan kesedihan perlahan mulai cerah. Aku yang merasa tak ada gunanya lagi hidup, menemukan tujuan itu.

Ia di sini, di sampingku. Wulan dalam baju pengantinnya yang sederhana. Gamis dan jilbab putih berenda. Bajunya tak terlihat seperti baru saja menikah, lebih seperti baru saja berlebaran. Namun senyum dan air wajahnya mengisyaratkan bahwa hari itu adalah hari terbaiknya. Aku setuju. Hari itu pun adalah hari terbaikku.

Wulan berdiri di ambang kamarku. Parasnya yang anggun seolah berkilau diterpa cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela. Ia menatapku lembut.

Aku menghampirinya, memeluknya di pinggang, menciumnya. Ciuman yang telah kami lakukan berulang kali sebelumnya, kini terasa semakin manis. Karena kini tak ada lagi keraguan dalam benakku. Wulan sudah menjadi milikku.

Tak ada yang terburu-buru. Kami berdua menikmati kecup itu dengan perlahan. Merasakan setiap sensasi yang ditimbulkan syaraf di bibir. Merasakan kehangatan tubuh lawan cium kami yang tertempel dalam peluk cinta.

Wulan perlahan melepas kancing bajuku dan membuka celanaku, masih tetap sambil berciuman denganku. Perlahan aku pun meraih punggungnya, mencari risletingnya untuk dilepaskan. Sekejap, kami sudah telanjang.

Aku menghentikan ciuman dan menggendong Wulan masuk ke kamar. Ia tertawa karena perlakukan itu.

Wulan kuletakkan dengan hati-hati di atas kasur. Membaringkannya dengan lembut, lalu mengambil posisi di atasnya. Aku lalu mengincar bibirnya, dan kembali memagutnya dengan lembut.

Permainanku lalu turun ke lehernya. Kukecup dengan lembut di sana, membuat Wulan menggelinjang. Kemudian turun lagi ke payudaranya. Kumainkan sekitar areolanya sebelum akhirnya kukecup dan kuhisap pentilnya. Kiri dan kanan bergantian.

“Uhhhh, sayangggg,” Wulan berdesis. Tangannya meremas rambutku.

Aku turun lagi. Kini berada di depan vaginanya yang sudah agak becek. Aku mengecupnya lembut. Membuat badan Wulan melengkung ke atas dan melenguh. Lidahku kumainkan di lubang kemaluannya sementara tanganku menggosok itilnya yang mulai mengeras.

“Ahhh, enak banget!” Wulan setengah berteriak setengah menggumam.

Aku memutar badan, meposisikan batang kemaluanku yang keras di depan wajah Wulan. Ia mengecup dan menjilatinya dengan semangat sebelum mengulumnya. Disengat sensasi seperti itu, aku membenamkan lidahku semakin dalam ke dalam vagina Wulan.

Lima menit kami bermain dalam posisi itu, sampai akhirnya Wulan bergetar dan menekan vaginanya ke atas. Membanjiri wajahku dengan cairan kewanitaannya.

Kami menghentikan kegiatan sejenak, memberikan Wulan waktu untuk bernapas. Aku tidur di sampingnya, menciuminya agar nafsunya kembali naik. Merangsangnya dengan remasan di payudara dan mencolok-colok vaginanya yang basah dengan jari tengah.

“Masukin, sayang,” pinta Wulan saat napasnya mulai memburu lagi.

Aku bangkit dan memposisikan batangku di depan kemaluannya. Kugesek-gesek dahulu kepala penisku pada bibir kemaluan. Ahhh, betapa nikmatnya rangsangan ini.

“Uhhhh, masukin, sayang… nggak tahan,” Wulan menggerang, meremas-remas sendiri payudaranya.

Aku menekan pinggulku ke bawah, berusaha memasukkan penisku.

“Uhhhh,” aku mengerang. Lubang ini begitu sempit. Menimbulkan sensasi luar biasa pada kepala penisku yang sensitif.

Sampai kemudian aku merasakan ada sedikit kesusahan dalam menerobosnya. Kulihat Wulan meringis. Aku tak tahan melihatnya, jadi kucoba untuk menunduk dan mencium bibirnya. Membisikinya.

“Tahan ya sayang…” ucapku.

Akut terus melumat bibirnya, meremas payudaranya sembari menekan pinggulku ke bawah.

“Ennggggghhhhh,” erang Wulan tersumpal bibirku.

Saat penisku terbenam seluruhnya, kudiamkan di sana sambil terus merangsang Wulan. Membelainya, meraba dan meremasnya.

Kucoba gerakkan pinggulku. Wulan masih mendesis. Aku berusaha sepelan mungkin agar ia terbiasa. Terus menciuminya, memagutnya. Tangan Wulan tersampir di bahuku. Tatapannya sayu. Ia pasrah.

Beberapa saat, Wulan mulai mengerang. Erangan kenikmatan. Ia mulai ikut memacu pinggulnya. Tangannya tak lagi diam, tapi meremas kepalaku dan meraba-raba putingku. Menambah rangsangannya kepadaku. Mulai bisa mengimbangi rangsanganku.

Sedang aku terus memompa, terpacu dengan setiap kenikmatan yang kuraih dari setiap gesekan ke dinding vaginanya. Kepala penisku terasa terjepit dan menimbulkan sengatan luar biasa ke tubuhku. Jauh lebih nikmat dari sekadar menggesek dan dikulum oleh Wulan. Seperti inikah berhubungan badan? Senikmat ini?

Aku terus memompa tubuh Wulan.

“Ahhhh, ahhh, ahh, nggghhhmmfff,” Wulan berteriak kecil di sela-sela ciuman kami. Ia kemudian melepas ciuman dan rabaannya. Mengisyaratkan agar berganti posisi agar ia di atas.

Aku terduduk di pangkal ranjang dan Wulan berada di pangkuanku. Penisku terbenam di vaginanya. Pemandangan yang sangat luar biasa. Wulan bergoyang dan menggerakkan pinggulnya maju-mundur di depanku. Tangannya bertumpu pada bahuku, sementara payudaranya terguncang-guncang. Aku meremasnya tak sabaran.

“Ahhh, enak, enak, enak,” ceracau Wulan di setiap pompaannya. Ia terus menggerakkan pinggulnya semakin cepat. Sepertinya ia akan sampai. Aku juga merasa akan keluar.

Cepat, aku menarik wajah Wulan dan menciumnya. Tangan kami berangkulan erat, namun pinggul kami saling memburu kenikmatan, terus memompa.

“Ngggggghhh!! NGGGHHH!!! MMMFFFFH!” Wulan berteriak menyambut puncak kenikmatan itu. Sementara aku pun menggelinjang hebat, memancurkan spermaku ke dalam rahimnya.

CROTTTT CROTTTT CROT

Air kenikmatanku dan Wulan keluar berbarengan, bercampur dalam kenikmatan hubungan pertama.

Kami tetap berangkulan dan saling melumat untuk beberapa saat sebelum kemudian ambruk di kasur. Tak lama, aku dan Wulan tertidur, saling berangkulan dengan sprei kacau dan ternodai air kenikmatan kami serta sebercak kemerahan. Wulan selalu jujur, ia benar-benar masih perawan.



< ? >

Kemarin Jaelani tak sempat menghampiri keponakannya yang terundung duka itu. Tak tega lebih tepatnya. Memberitahunya sekarang hanya akan menambah beban mentalnya. Ia teringat pada perempuan asing yang membantu Bintang di rumahnya belakangan.

Apakah itu orangnya?

Jika benar, berarti kutukan itu telah usai.

Jika bukan, berarti … Jaleani tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi.

Jaelani tak merasakan distorsi aura apapun di sekitar perempuan itu. Ia merasa aura perempuan itu memiliki frekuensi harmonis dengan keponakannya. Jaelani berharap bahwa tragedi ini berhenti di sini. Distorsi itu melemah. Mungkin memang semuanya sudah usai.

Ia berdoa agar keponakannya hidup bahagia di sisa umurnya. Jika kutukan itu usai, biarlah semua pengetahuan ini mati dengannya. Ia berdoa agar semuanya menjadi baik-baik saja.

Karena doa hanya dapat dilawan dengan doa.


To be continued


Ke Chapter 8
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 7
BUNGA YANG MEKAR




Hari itu sedikit mendung. Namun mendung itu tidak terasa sedih. Justru ada ketenangan, udara yang sejuk, dan sedikit meningkatkan semangat. Jalanan tidak terlalu padat seperti biasanya. Orang-orang terlihat lebih gembira dari biasanya.

Hari itu hari pernikahanku.

Pernikahanku dilaksanakan secara sederhana di KUA. Setelah serangkaian konsultasi di sana, akhirnya hari ini kami melangsungkan akad nikah. Kakak laki-laki Wulan datang jauh-jauh dari Frankfurt sebagai wali nikah. Ia satu-satunya keluarga Wulan yang tersisa. Aku memanggilnya Mas Rama. Beliau orang yang sangat menyenangkan, tidak pernah mengomentari pernikahan adiknya dengan seorang pemuda yang jauh lebih muda. Mas Rama hanya berterima kasih sudah mau menerima Wulan sebagai istri dan berpesan agar menjaga adiknya baik-baik.

Mas Rama hanya tinggal selama tiga hari di Sumbawa. Kesibukannya sangat tinggi di Frankfurt, namun ia bersyukur dapat mengosongkan tiga hari untuk adik perempuannya.

Sedang aku sendiri hanya memberi kabar pada kerabatku di Lombok. Mereka yang baru saja kembali ke sana setelah membantu pengurusan tahlilan kemarin, hanya mengirimkan doa dan sukacita terhadap pernikahanku.

Mungkin memang seperti ini lah pernikahan yang paling sempurna. Untukku, setidaknya terasa begitu. Wulan dan aku hanya menikmati hari ini berdua. Merasa lebih dekat dari sebelumnya. Merasa ada kekuatan yang nyata yang menyambungkan ikatan kami.

Hari itu hari pernikahan kami.
Hari di mana aku dan Wulan bersatu.
Hari di mana Wulan membuka dirinya seutuhnya padaku.
Hari di mana ia mekar seutuhnya.
Membuka cerita masa lalunya.
Memberikan hartanya yang paling berharga.

< w >

Wulan melihat laki-laki itu dari jauh. Laki-laki itu tak terlalu populer, namun cukup gagah untuk anak seusianya. Wulan berandai-andai apakah perempuan sepertinya akan pernah punya pacar seperti anak SMA pada umumnya. Apakah laki-laki itu mau menjadi pacarnya?

Wulan mencoba mendekati laki-laki itu. Mengiriminya surat.

Tak pernah ada balasan. Ia bingung, salahnya apa?



Masa SMA berlalu. Masa kuliah menyerang.

Ia menemukan cintanya yang baru. Seorang pria sopan yang selalu membantu dan menyemangatinya saat perkuliahan. Hubungan mereka dekat, dan Wulan merasa nyaman. Namun begitu Wulan menunjukkan perasaan sebenarnya, pria itu menjauh.

Mengapa? Apa salah Wulan?



Sikap itu cukup untuk membuat Wulan tak lagi peduli dengan hubungannya dengan laki-laki. Atau hubungan asmara sekecil apapun itu. Ia mulai menuangkan fokusnya hanya pada kegiatan akademiknya. Belajar, belajar, belajar.

Teman-teman terdekatnya mulai merasa tersekat, jauh dari Wulan. Mereka merasa Wulan menjadi sosok yang lebih sensitif dan pemarah.



Empat tahun berlalu dengan cepat. Wulan lulus dengan predikat memuaskan. Ia bahkan mendapat rekomendasi dari dosen pembimbingnya untuk melanjutkan studi di Jerman. Wulan setuju, terlebih di sana ada kakaknya yang sudah menetap dan berpenghasilan.

Dua tahun berlalu dengan cepat pula. Wulan mendapatkan gelar masternya dan berencana sekalian melanjutkan studi doktoral setelah mendapat kepastian menjadi tenaga pengajar di kampus asalnya dulu.

Wulan mengira hidupnya akan terjebak di sana. Di lingkungan peneliti-akademis, hidup seorang diri, menyibukkan diri dengan semua risetnya untuk kemajuan manusia. Tak ada ruang untuk hubungan asmara. Hingga ia bertemu Arsal.

Arsal seorang mahasiswa jenius, sama-sama berasal dari Indonesia dan diterima di fakultas yang sama dengan Arsal. Meski kesibukan mereka berbeda, akan tetapi takdir sepertinya selalu mempertemukan Arsal dan Wulan.

Wulan masih ingat benar pertemuan pertama mereka. Waktu itu di kantin kampus. Ia sedang makan siang dan mengambil tempat di salah satu sudut kantin. Wulan duduk sendiri di meja bundar untuk berempat itu.

Saat itu seorang pria menghampirinya, bertanya dalam bahasa Jerman apakah Wulan tidak keberatan ditemani makan siang berdua. Karena rupanya kantin sedang dalam keadaan super penuh.

Wulan menatap mata pria itu. Tertegun. Rupanya pria itu pun terdiam saat tatapan mereka terkunci. Sampai beberapa saat, akhirnya mereka tersadar dan saling berkenalan. Kaget kalau mereka berasal dari negara yang sama. Obrolan dua orang asing berbahasa Jerman itu seketika berganti menjadi obrolan dua sahabat lama seperti di warung kopi di Indonesia.

Wulan memperhatikan gerak-gerak Arsal yang begitu baik, begitu ramah. Arsal terlihat lumayan tampan walau wajahnya terlihat sedikit pucat untuk ukuran orang Indonesia asli. Tapi yang jelas pertemuan mereka itu berkembang jauh.

Teman makan siang berubah menjadi teman bicara. Kemudian naik lagi menjadi teman ke bioskop, teman membaca buku, teman berdiskusi. Arsal adalah pria yang menyenangkan, namun Wulan tetap belum mau untuk membuka hatinya.

Suatu malam Arsal mengantarnya pulang ke apartemen Wulan. Dan entah karena situasi atau karena kedekatan mereka, Arsal mencium pipi Wulan.

Wulan terkejut dan langsung masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Arsal dalam keadaan bingung.

Esoknya Arsal berusaha memastikan bahwa ia tidak kurang ajar. Ia menghampiri Wulan yang sedang ada di laboratorium.

“Aku minta maaf soal semalam,” Arsal mengajak Wulan bicara empat mata di lorong. Untungnya tak ada orang lain di sana.

“Buat apa?” Wulan bertanya.

“Soal ciuman tadi malam, kamu kayaknya nggak nyaman, ya?” jawab Arsal.

“Oh…” jawab Wulan pendek.

Arsal tak enak dengan situasi seperti ini. Sesuatu di dalam dadanya mendorongnya untuk mengucapkan kejujuran. “Aku suka sama kamu,” ucap Arsal cepat.

Wulan yang sejak tadi menghindari tatapan Arsal terkaget dan menatap langsung mata Arsal. Mata yang tulus, sama seperti saat pertama kali mereka jumpa.

Di kampus asing, di negeri asing, di tengah dinginnya angin musim gugur, Wulan melepaskan ciuman pertamanya pada Arsal. Menerima cintanya.



Ada alasan tentang kebaikan Arsal pada Wulan, dan sifatnya yang terburu-buru mengatakan cinta pada Wulan. Seminggu kemudian, Arsal meninggal dunia. Rupanya ia menyimpan kanker stadium akhir dan memutuskan menghabiskan sisa hartanya untuk mengejar mimpinya: belajar ke Jerman. Ia tak memiliki keluarga, hanya satu rumah warisan di Sumbawa yang ia jual untuk biaya pendidikannya setahun belakangan.

Dalam surat wasiatnya, Arsal meminta agar ia dikremasi dan abunya ditebar di lautan. Tak ada apa-apa tentang Wulan di surat wasiatnya, mengingat ia tak sempat mengubahnya sebelum ia meninggal. Kenangan itu sangat singkat, namun sangat berharga untuk mereka berdua. Arsal meninggal dengan senyum di wajahnya.

Wulan yakin ia tak akan pernah kembali jatuh cinta. Hingga ia melihat tatapan yang sama pada salah seorang mahasiswanya saat ia sudah kembali ke Indonesia. Bintang.

Matanya.
Parasnya.
Gerak-gerik dan aura yang dipancarkannya.
Tatapan mereka yang sama-sama terkunci saat itu…
Wulang seolah tersihir oleh tatapan itu.

Saat itu Wulan memutuskan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan keduanya.

< b >

Aku dan Wulan memasuki rumah. Tangan kami bergandengan. Rumah masa kecilku yang beberapa hari terakhir diselimuti awan kesedihan perlahan mulai cerah. Aku yang merasa tak ada gunanya lagi hidup, menemukan tujuan itu.

Ia di sini, di sampingku. Wulan dalam baju pengantinnya yang sederhana. Gamis dan jilbab putih berenda. Bajunya tak terlihat seperti baru saja menikah, lebih seperti baru saja berlebaran. Namun senyum dan air wajahnya mengisyaratkan bahwa hari itu adalah hari terbaiknya. Aku setuju. Hari itu pun adalah hari terbaikku.

Wulan berdiri di ambang kamarku. Parasnya yang anggun seolah berkilau diterpa cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela. Ia menatapku lembut.

Aku menghampirinya, memeluknya di pinggang, menciumnya. Ciuman yang telah kami lakukan berulang kali sebelumnya, kini terasa semakin manis. Karena kini tak ada lagi keraguan dalam benakku. Wulan sudah menjadi milikku.

Tak ada yang terburu-buru. Kami berdua menikmati kecup itu dengan perlahan. Merasakan setiap sensasi yang ditimbulkan syaraf di bibir. Merasakan kehangatan tubuh lawan cium kami yang tertempel dalam peluk cinta.

Wulan perlahan melepas kancing bajuku dan membuka celanaku, masih tetap sambil berciuman denganku. Perlahan aku pun meraih punggungnya, mencari risletingnya untuk dilepaskan. Sekejap, kami sudah telanjang.

Aku menghentikan ciuman dan menggendong Wulan masuk ke kamar. Ia tertawa karena perlakukan itu.

Wulan kuletakkan dengan hati-hati di atas kasur. Membaringkannya dengan lembut, lalu mengambil posisi di atasnya. Aku lalu mengincar bibirnya, dan kembali memagutnya dengan lembut.

Permainanku lalu turun ke lehernya. Kukecup dengan lembut di sana, membuat Wulan menggelinjang. Kemudian turun lagi ke payudaranya. Kumainkan sekitar areolanya sebelum akhirnya kukecup dan kuhisap pentilnya. Kiri dan kanan bergantian.

“Uhhhh, sayangggg,” Wulan berdesis. Tangannya meremas rambutku.

Aku turun lagi. Kini berada di depan vaginanya yang sudah agak becek. Aku mengecupnya lembut. Membuat badan Wulan melengkung ke atas dan melenguh. Lidahku kumainkan di lubang kemaluannya sementara tanganku menggosok itilnya yang mulai mengeras.

“Ahhh, enak banget!” Wulan setengah berteriak setengah menggumam.

Aku memutar badan, meposisikan batang kemaluanku yang keras di depan wajah Wulan. Ia mengecup dan menjilatinya dengan semangat sebelum mengulumnya. Disengat sensasi seperti itu, aku membenamkan lidahku semakin dalam ke dalam vagina Wulan.

Lima menit kami bermain dalam posisi itu, sampai akhirnya Wulan bergetar dan menekan vaginanya ke atas. Membanjiri wajahku dengan cairan kewanitaannya.

Kami menghentikan kegiatan sejenak, memberikan Wulan waktu untuk bernapas. Aku tidur di sampingnya, menciuminya agar nafsunya kembali naik. Merangsangnya dengan remasan di payudara dan mencolok-colok vaginanya yang basah dengan jari tengah.

“Masukin, sayang,” pinta Wulan saat napasnya mulai memburu lagi.

Aku bangkit dan memposisikan batangku di depan kemaluannya. Kugesek-gesek dahulu kepala penisku pada bibir kemaluan. Ahhh, betapa nikmatnya rangsangan ini.

“Uhhhh, masukin, sayang… nggak tahan,” Wulan menggerang, meremas-remas sendiri payudaranya.

Aku menekan pinggulku ke bawah, berusaha memasukkan penisku.

“Uhhhh,” aku mengerang. Lubang ini begitu sempit. Menimbulkan sensasi luar biasa pada kepala penisku yang sensitif.

Sampai kemudian aku merasakan ada sedikit kesusahan dalam menerobosnya. Kulihat Wulan meringis. Aku tak tahan melihatnya, jadi kucoba untuk menunduk dan mencium bibirnya. Membisikinya.

“Tahan ya sayang…” ucapku.

Akut terus melumat bibirnya, meremas payudaranya sembari menekan pinggulku ke bawah.

“Ennggggghhhhh,” erang Wulan tersumpal bibirku.

Saat penisku terbenam seluruhnya, kudiamkan di sana sambil terus merangsang Wulan. Membelainya, meraba dan meremasnya.

Kucoba gerakkan pinggulku. Wulan masih mendesis. Aku berusaha sepelan mungkin agar ia terbiasa. Terus menciuminya, memagutnya. Tangan Wulan tersampir di bahuku. Tatapannya sayu. Ia pasrah.

Beberapa saat, Wulan mulai mengerang. Erangan kenikmatan. Ia mulai ikut memacu pinggulnya. Tangannya tak lagi diam, tapi meremas kepalaku dan meraba-raba putingku. Menambah rangsangannya kepadaku. Mulai bisa mengimbangi rangsanganku.

Sedang aku terus memompa, terpacu dengan setiap kenikmatan yang kuraih dari setiap gesekan ke dinding vaginanya. Kepala penisku terasa terjepit dan menimbulkan sengatan luar biasa ke tubuhku. Jauh lebih nikmat dari sekadar menggesek dan dikulum oleh Wulan. Seperti inikah berhubungan badan? Senikmat ini?

Aku terus memompa tubuh Wulan.

“Ahhhh, ahhh, ahh, nggghhhmmfff,” Wulan berteriak kecil di sela-sela ciuman kami. Ia kemudian melepas ciuman dan rabaannya. Mengisyaratkan agar berganti posisi agar ia di atas.

Aku terduduk di pangkal ranjang dan Wulan berada di pangkuanku. Penisku terbenam di vaginanya. Pemandangan yang sangat luar biasa. Wulan bergoyang dan menggerakkan pinggulnya maju-mundur di depanku. Tangannya bertumpu pada bahuku, sementara payudaranya terguncang-guncang. Aku meremasnya tak sabaran.

“Ahhh, enak, enak, enak,” ceracau Wulan di setiap pompaannya. Ia terus menggerakkan pinggulnya semakin cepat. Sepertinya ia akan sampai. Aku juga merasa akan keluar.

Cepat, aku menarik wajah Wulan dan menciumnya. Tangan kami berangkulan erat, namun pinggul kami saling memburu kenikmatan, terus memompa.

“Ngggggghhh!! NGGGHHH!!! MMMFFFFH!” Wulan berteriak menyambut puncak kenikmatan itu. Sementara aku pun menggelinjang hebat, memancurkan spermaku ke dalam rahimnya.

CROTTTT CROTTTT CROT

Air kenikmatanku dan Wulan keluar berbarengan, bercampur dalam kenikmatan hubungan pertama.

Kami tetap berangkulan dan saling melumat untuk beberapa saat sebelum kemudian ambruk di kasur. Tak lama, aku dan Wulan tertidur, saling berangkulan dengan sprei kacau dan ternodai air kenikmatan kami serta sebercak kemerahan. Wulan selalu jujur, ia benar-benar masih perawan.



< ? >

Kemarin Jaelani tak sempat menghampiri keponakannya yang terundung duka itu. Tak tega lebih tepatnya. Memberitahunya sekarang hanya akan menambah beban mentalnya. Ia teringat pada perempuan asing yang membantu Bintang di rumahnya belakangan.

Apakah itu orangnya?

Jika benar, berarti kutukan itu telah usai.

Jika bukan, berarti … Jaleani tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi.

Jaelani tak merasakan distorsi aura apapun di sekitar perempuan itu. Ia merasa aura perempuan itu memiliki frekuensi harmonis dengan keponakannya. Jaelani berharap bahwa tragedi ini berhenti di sini. Distorsi itu melemah. Mungkin memang semuanya sudah usai.

Ia berdoa agar keponakannya hidup bahagia di sisa umurnya. Jika kutukan itu usai, biarlah semua pengetahuan ini mati dengannya. Ia berdoa agar semuanya menjadi baik-baik saja.

Karena doa hanya dapat dilawan dengan doa.


To be continued
Makasih updatenya hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd