Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

Bimabet
CHAPTER 8
DAYS GONE BY




Aku semakin cinta dengan Wulan.

Bagaimana tidak? Ternyata selama ini Wulan yang mengurusi perijinanku untuk tidak masuk kuliah karena urusan keluarga. Ia pun juga mau tak mau harus menggeser jadwal kuliahnya, berusaha mengganti jadwal dengan dosen lain. Semuanya ia lakukan tanpa mengeluh.

Ia juga kini berpakaian lebih alim dan sopan. Tak hanya sekadar membangunkanku untuk sholat subuh, ia pun menjadi makmumku. Pakaiannya ke kampus jauh lebih longgar dan tak lagi menunjukkan lekuk tubuhnya.

Mungkin ia merasa bahwa ia sudah menjadi milikku seorang. Dan aku sangat menghargai perubahannya itu.

“Tang, udah lama gak mentoring?” ternyata itu temanku satu LDK, Faris. Ia memang senang mampir ke kantin jurusanku tempatku berada sekarang.

“Eh, iya, Ris. Maaf ya, aku ada musibah belakangan. Ini juga baru masuk kuliah lagi,” jawabku sopan. Berusaha tersenyum.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Yang tabah, ya, Tang…” Faris terlihat sungguh ikut berduka. Ia terlihat tak nyaman.

“Gak apa-apa, Ris. Salam sama Bang Rifki ya, aku kayanya bakal berenti dulu dari kegiatan LDK,” jawabku. Berusaha memberi nada lebih ceria.

“Iya, Tang. Nggak apa-apa. Kita bakal tetep dukung kamu, kok. Apapun jalannya, yang penting kan kita berbuat baik dan berdakwah di masing-masing kegiatan kita. Ya kan?”

Aku mengangguk-angguk mendengarnya. Kami masih berbincang beberapa saat sampai aku pamit untuk mengikuti kuliah berikutnya.

< f >

Apa? Bintang berhenti dari LDK?

Farah frustrasi saat melihat kabar di grup mentoringnya. Ia tak habis pikir ada apa gerangan dengan Bintang. Setelah tak kuliah selama beberapa saat, kini ia memutuskan berhenti LDK. Apa? Mengapa? Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya.

Ia tak mungkin bertanya langsung pada Bintang. Ia terlalu takut. Terlalu… malu. Hingga ia teringat sosok Yoga yang cukup mengenal Bintang. Farah mencoba melakukan chat dengannya.

Yoga: Oh, Bintang? Iya kasian banget dia. Bapak sama ibunya baru meninggal dalam kecelakaan.
Farah: Innalillahi.
Yoga: Tapi kemarin kulihat ia sudah agak baikan sih… Aku pernah ngeliat dia pergi sama Bu Wulan. Kayaknya Bu Wulan itu tantenya yang sekarang ngurusin dia setelah orang tuanya nggak ada.


Tante? Bu Wulan? Farah bergidik mendengar nama itu disebut. Pengalamannya bertemu Bu Wulan menimbulkan trauma atas sikapnya yang galak. Jika ia berharap menikah dengan Bintang, mungkin ia harus belajar meluluhkan sikap Bu Wulan?



< y >

“Oh! Dia mulai berani ngechat kamu duluan?” Sisi bertanya saat melihat Yoga sibuk dengan hp nya.

“Iya.” Yoga mengangguk. Masih sibuk dengan hp nya. “Walaupun nanya soal Bintang sih…”

Mereka berdua telanjang, tidur berdampingan di kamar Sisi. Terlihat lelah setelah bermain siang ini.

“Coba deh, kamu lebih agresif,” Sisi menyarankan. Ia meletakkan dagunya di atas dada Yoga yang bidang. Tangannya meraba-raba dada Yoga.

“Beresiko, tau,” Yoga menjawab.

Sisi tersenyum. “Emang kamu itu terlalu baik, Yog. Coba deh ajak dia keluar kapan-kapan.”

Wajah Yoga terlihat masam. Ia tak yakin. “Ya deh, kucoba ya.”



< b >

Karena aku tak banyak berkontribusi dalam hubungan ini, aku mencoba mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Menyapu, mengurusi laundry baju, sampai memasak. Aku sebenarnya cukup senang memasak, walaupun Wulan juga terlihat lumayan pandai. Tapi hari ini aku akan mencoba memasak sesuatu untuknya, sebelum ia pulang dari rapat dosen.

Berbeda dengan Wulan yang biasanya memasak makanan barat yang simpel, aku akan memasak makanan-makanan khas Indonesia. Malam ini sepertinya akan sempurna jika aku membuat semur daging. Lantas sepanjang sore itu aku menyiapkan untuk makan malam kami.

Pukul enam lewat, terdengar pintu depan terbuka. Wulan masuk dengan wajah yang agak lelah. Namun begitu menghirup aroma kuah semur yang semerbak, ia terlihat bersemangat.

“Sayang? Tumben masak,” Wulan memelukku dari belakang. Sedang aku masih mengaduk makanan di panci. Ia mengecup pipiku lembut.

“Gak apa-apa. Aku kepingin aja. Kasian kamu kalau kamu tiap hari harus masak sepulang kerja,” jawabku.

Ia mencium pipiku sekali lagi. Berkata, “I love you…”

Aku menoleh sedikit. Cukup hingga bibir kami bisa bertemu. Kemudian kami melumat bibir satu sama lain. “I love you, too.”

“Aku mandi dulu, ya…” kata Wulan sembari melepaskan pelukannya di pinggangku.

Sepuluh menit kemudian kami sudah duduk di meja makan. Menyantap semur buatanku yang masih mengepulkan asap. Wulan terlihat sangat senang.

“Enak?” aku bertanya.

“Mau jawaban jujur atau nyenengin?” Wulan tersenyum genit.

“Jujur aja, biar kalo gak enak kan bisa bikin yang lebih enak besok,” aku menggenggam tangannya di atas meja.

Ia mendekatkan kepalanya padaku. Berbisik, “Enak banget sayang.”

Aku yang tegang menunggu jawabannya menjadi tersipu. “Makasih,” jawabku kaku. Saat itu wajahku pasti merah seperti udang rebus.

Setelah aku membereskan piring dan mencucinya, aku menghampiri Wulan yang sedang duduk di sofa. Sofa kami, saksi perjalanan cinta yang begitu cepat ini.

Kami duduk berhadapan, membuat suara TV yang menyala hanya menjadi suara latar. Kembali tenggelam dalam pesona masing-masing.

Aku menatap matanya, membelai rambutnya, pipinya. Ia menyambut tanganku itu, menggenggamnya erat. Mengecupinya.

“Aku sayang kamu,” Wulan berbisik lembut, wajahnya bergerak mendekat.

“Aku juga sayang kamu,” jawabku. Di saat yang bersamaan, bibir kami bertemu.

Wulan lalu naik ke pangkuanku. Posisi favorit kami. Kami bercumbu dengan ganas. Seolah berusaha melahap satu sama lain. Ingin menyatu seutuhnya. Kami memejamkan mata di tengah cumbuan itu. Membiarkan tubuh kami mencari sensasinya.

Wulan menarik diri sejenak untuk melepas bajunya. Aku pun ikut melepas baju. Sepertinya kami lebih lama bertelanjang diri dibanding memakai baju selama di apartemen.

Tiba-tiba Wulan menarikku berdiri dan mendorongku ke dinding. Kembali menciumku. Tangannya seperti biasa tak pernah diam. Ia merangsang putingku dan mulai mengocok batang kemaluanku. Aku melengeuh nikmat. Tanganku masih belum aktif, aku hanya membelai kepala dan punggungnya. Membiarkan Wulan memegang kendali untuk sementara.

Setelah beberapa saat, aku membalik keadaan. Wulan kudorong ke dinding dan aku berlutut, berada tepat di tengah liang kewanitaannya. Ganas, aku melahapnya balik. Membuat Wulan menggelinjang nikmat.

“Auhhhhhh, sayang!” Wulan menjerit kecil. Ia menaikkan sebelah kakinya agar vaginanya terbuka lebih lebar. Aku menahannya dengan tanganku. Sedang tanganku yang bebas membantu mulutku merangsang vaginanya. Menggosok-gosok areal klitorisnya.

“Ahhh, ah!” Wulan mendesah-desah nikmat setiap lidahku menyentuh bagian dalam lubang vaginanya. Menyetrumnya dan membuatnya tergila-gila. Tak lama, punggungnya melengkung dan tangannya menekan wajahku lebih dalam. “Sayang!” ucap Wulan sambil berdesir nikmat. Vaginanya banjir oleh cairan kewanitaan yang asin. Kuhirup dan jilat dalam-dalam cairan itu dengan senang hati.

Wulan yang lemas meletakkan tangannya di atas bahuku. Ia lemas dan akan terjatuh bila aku tak menangkapnya dan menggondangnya dengan mesra ke atas kasur.

Aku menidurkannya dengan lembut, mengecup bibirnya, dan menyiapkan penisku di hadapan lubang vaginanya. Masih agak sempit, perlu beberapa usaha untuk masuk. Wulan sejak tadi masih melingkarkan tangannya di leherku.

Saat penisku masuk seutuhnya, aku membiarkan perasaan itu kembali menyerang.

Perasaan nyaman dan hangat.
Basah dan licin.
Mulut rahim yang mencium ujung penisku dengan pas.
Seolah diciptakan hanya untukku.

Aku kembali menciumnya lama. Menciumnya mesra.

Sampai kemudian, Wulan yang lemas kembali bersemangat. Ia menggoyangkan pinggulnya tak sabaran. Aku melepaskan ciuman, menatapnya sambil tersenyum.

“Ayo genjot, sayang,” rengeknya. Wajahnya begitu manis di saat seperti ini.

Aku pun mulai menggerakkan pinggulku. Kecepatannya sedang saja. Tak cepat, juga terlalu lambat. Bunyi pertemuan selangkangan kami begitu merdu menggema.

Wulan semakin tak sabar, ia bangkit dan membalikkan tubuhnya. Menungging. Menampakkan bongkahan pantatnya yang bulat sempurna. Kenyal dan begitu empuk. Bergoyang-goyang seksi setiap Wulan melakukan gerakan.

Aku mempercepat gerakan pinggulku. Wulan juga menyambut gerakanku, bergerak semakin liar. Tanganku kuletakkan pada pinggul Wulan, membuat gerakannya jadi lebih keras, lebih menghentak.

“AH! AH! AH!” Wulan berteriak setiap penisku mentok masuk hingga mencium dinding rahimnya. Payudara dan bokongnya memantul-mantul, membuatku semakin terangsang. Membuatku ingin mencampai puncak.

Wulan rupanya merasakan hal yang sama, ia menggerakkan tubuhnya semakin cepat. Kemudian pada puncak kenikmatan, Wulan mengangkat tubuhnya. Punggungnya lengket dengan dadaku, sementara ia masih bergoyang maju mundur. Tanganku meremas payudaranya.

Kepala Wulan menoleh, mencari-cari wajahku. Aku langsung menyongosrkan bibirku dan melumat bibirnya.

Goyangan kami semakin parah tak menentu hingga akhirnya kami melenguh bersamaan.

“Ahhhhnnngggggggggmmmmmmf!” kami berseru bersamaan meraih puncak kenikmatan. Spermaku menyembur berkali-kali ke dalam dinding rahimnya.

Kemudian kami ambruk ke samping. Penisku masih tertancap di vaginanya. Kami membiarkan tubuh kami begitu untuk sementara. Berkedut nikmat pada setiap denyutnya. Merasakan kehangatan satu sama lain.

Saat penisku mengecil, Wulan melepaskannya dari vaginanya dan berbalik arah menghadapku.

“I love you,” bisiknya, kelelahan. Namun pandangan matanya terlihat sangat bahagia.

“Love you, too, sayang,” balasku tak kalah mesra.

Kami bercumbu untuk beberapa lama sebelum kemudian sama-sama tertidur, masih meneguk sisa kenikmatan.



< y >

Entah apa yang membuat Farah setuju diajak jalan dengan Yoga malam ini. Yang jelas kesempatan itu dimanfaatkan Yoga dengan baik. Mereka mengambil tempat di satu sudut kafe yang sepi. Yoga yang biasa senang berdialog dan berdebat dengan siapa saja kali ini diam. Ia tak tahu harus berbicara apa.

“Kamu suka sama aku, ya?” Farah bertanya tanpa tedeng aling-aling.

“Eh? Ha? Eng-enggak kok,” Yoga tak menduga akan diserang begini. Kompetensinya berdebat di forum kampus langsung menguap tak tersisa.

Farah tertawa hambar. “Gak apa-apa kok. Aku menghargai kamu. Tapi aku tergila-gila sama orang lain. Kamu tau kan?”

“Bintang ya?” Yoga bertanya, ada nada pahit di sana.

Farah mengangguk sambil menyeruput es kopi yang dipesan. Ia lanjut bercerita mengenai prosesnya mendekati Bintang yang tak begitu mengalami banyak kemajuan.

“Aku pernah lihat dia sama Bu Wulan waktu jalan-jalan di mall,” Farah berkata, teringat satu saat beberapa hari lalu. “Mungkin Bu Wulan sebagai tantenya sekarang jadi keluarganya yang paling dekat ya? Gak heran kalau dia jadi dekat begitu setelah orang tuanya meninggal.”

“Iya, aku juga pernah ketemu,” Yoga mengaku. “Nggak bisa kubayangin sedihnya kayak apa kalau aku jadi Bintang.”

Pembicaraan hari itu memang didominasi oleh Bintang. Namun Yoga tetap optimis bahwa ini bisa menjadi jalannya untuk semakin dekat dengan Farah. Yoga jelas menikmati momen-momen itu, sedang Farah juga tampak cukup bahagia bisa mencurahkan isi hatinya pada seseorang.

Sepulang mengantar Farah, Yoga pulang ke rumah. Setidaknya begitu rencananya. Sampai ia dikirimi foto Sisi dan Hana yang berbaring telanjang menunggunya. Yoga membelokkan motornya ke arah kos Sisi.



Waktu berlari cepat. Bintang dan Wulan menjalani hidup mereka berdua. Bahagia dalam dunia mereka. Sedang Farah dan Yoga masing-masing mengejar cinta mereka.

Empat tahun berlalu begitu saja.



To be continued.


Ke Chapter 9
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd