Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

CHAPTER 9
TOGA DAN MAHKOTA




“Happy anniversary ke-4, sayang,” Wulan menghampiriku di ambang pintu. Ia membawa satu nampan berisi berbagai macam kue yang biasa kami santap saat bersantai. Aku tak suka acara meniup lilin, Wulan sangat paham dan tak pernah menggunakannya.

Ia mengecup pipiku singkat lalu berkata, “Dan selamat atas sidang skripsi kamu.”

“Makasih sayang,” jawabku tersipu dan membalas ciumannya.

Sebenarnya tanggal hari jadi kami sudah lewat beberapa hari. Tapi kami berdua memutuskan untuk menunda perayaan sampai aku sidang skripsi hari ini.

“Kalau aku dosen pengujinya, kamu bakal selesai lebih cepat, sayang,” Wulan berkata.

“Ah, Prof Bambang juga lumayan baik. Aku juga lebih lega kalau bisa lulus karena usaha sendiri,” sahutku sambil mengambil satu kue di nampan.

Wulan tersenyum manis. “Aku bangga sama kamu.”

Kue-kue itu akhirnya hanya tergeletak di meja. Aku menyosor bibir Wulan dan membopongnya ke kasur. Dia selalu senang ketika kugendong ke kasur.

Wulan tergeletak pasrah di atas kasur, tangannya terangkat, memudahkanku membuka baju dan BH-nya. Setelah kami sama-sama telanjang, aku mendekapnya erat dari atas. Menciuminya penuh cinta. Menyusuri setiap celah mulutnya. Lidahku masuk ke mulutnya, saling bergulat dengan lidahnya. Begitu basah, begitu nikmat. Tak pernah terasa sedikitpun bosan selama empat tahun ini.

Setelah bercinta penuh gairah seperti biasa, aku kembali menanyakan kesiapannya terkait hal yang akan kami lakukan.

“Kamu yakin, sayang? Gak apa-apa kalau belum siap,” aku bertanya.

Wulan mengangguk. “Aku cinta kamu, dan aku nggak mau sembunyi terus dari orang-orang.”



< f >

Udara kota memang membuat gerah. Apalagi konvoi arak-arakan wisuda berlangsung dengan lambat, membuat Farah merasa terpanggang. Namun semua itu tak dirisaukannya. Ia lebih gugup karena ia akan menyatakan cintanya pada Bintang hari ini.

Hari terakhir masa kuliah mereka.
Perayaan dengan mengenakan toga.
Perayaan wisuda.
Bukankah momen paling indah untuk menyatakan cinta?

Bintang naik ke mobil pickup yang sama dengan Farah. Luapan kebahagiaan terpancar sejak awal kendaraan berjalan. Ada banyak teman satu angkatan di atas mobil itu, tapi pandangan Farah hanya tertuju pada Bintang.

Empat tahun belakangan memang tak berjalan begitu mulus untuk Farah. Bintang tetap meladeni chat-chatnya dengan dingin, tapi tak mengapa. Farah tak pernah mendengar kabar perempuan lain mendekati Bintang. Itu membuatnya tenang dan optimis bisa bersama Bintang. Terlebih, Farah merasa bahwa Bintang sebenarnya peduli dengannya.

Yoga tetap berusaha mendekatinya. Kadang Farah merasa kasihan dengannya. Karena itu Farah membiarkan Yoga tetap berusaha. Mungkin Farah melihatnya sebagai pengganti bila Bintang menolaknya. Atau mungkin, jauh di dalam lubuk hati Farah, ia melihat dirinya di dalam Yoga. Seorang yang mengejar dan memperjuangkan cinta tanpa pernah lelah.

Ia cukup mengenal Yoga. Sikapnya selalu sopan dan tak pernah kurang ajar. Meski Farah sering mendengar kabar miring tentangnya, tak mengapa. Bukankah memang kabar-kabar seperti itu wajar menerpa mahasiswa aktivis seperti Yoga? Terlebih Yoga pernah menjabat sebagai wakil ketua BEM. Tentu saja ada pihak oposisi yang akan berusaha menjatuhkannya.

Intinya, Yoga bukanlah pilihan buruk jika rencananya nanti tak berjalan lancar.

Arak-arakan wisuda akhirnya sampai ke fakultas. Satu per satu, wisudawan disambut seolah pahlawan yang telah pulang dari medan perang. Ada jeda beberapa saat sebelum tetek-bengek acara dimulai. Jeda ini biasanya digunakan untuk berfoto, bercengkrama dengan keluarga yang hadir wisuda, dan saling memberi selamat satu sama lain.

Setelah menemui orang tuanya, Farah mengalihkan pandangan, mencari Bintang. Di satu sudut terlihat Yoga sibuk diberikan hadiah wisuda oleh teman-teman BEM dan rekan aktivisnya. Sedang Bintang tak terlihat. Ke mana ia gerangan? Farah meminta izin sebentar kepada orang tuanya untuk menemui Bintang. Tak lupa ia membawa sebuah amplop berisi surat pernyataan cintanya.

Di satu sudut terlihat ada suara agak ramai.

“Bintang? Aku gak percaya,” suara satu orang.

“Iya eh. Katanya udah lama juga,” bisik yang lain.

“Aku gak nyangka Bu Wulan bisa takluk itu lho,” suara lain menanggapi.

Bintang? Bu Wulan? Ada apa?

Kasak-kusuk itu memunculkan sebuah ide dalam benak Farah. Tidak, itu tak mungkin. Farah berusaha meyakinkan dirinya. Terlalu absurd. Terlalu aneh.

Sampai saat ia berhasil menerobos keramaian, Farah mendapati pemandangan yang membuat jantungnya serasa terperosok. Tangan dan kakinya gemetar lemas, sampai membuat surat yang susah payah ditulisnya terjatuh. Ia merasakan air matanya akan jatuh, tapi berusaha ia tahan.

Farah langsung berbalik arah, berlari kembali ke orang tuanya sebelum tangisnya pecah. Meninggalkan Bintang dan Bu Wulan yang terlihat sebagai sepasang suami istri di belakangnya, sedang berciuman mesra.



< y >

“Tolong, ‘nak. Kami nggak tahu ada apa, mungkin kamu bisa bantu Farah.” Suara parau Bapak Farah membuat Yoga iba.

Yoga sempat melihat Farah berlari menjauh dari kerumunan tempat Bintang mengumumkan bahwa ia telah menikah dengan Bu Wulan. Yoga lantas menyusul Farah. Mendapati kedua orang tua Farah kebingungan saat hendak masuk ke mobil.

Farah meraung di dalam mobil, menangis sejadi-jadinya. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Permisi, ya, Pak,” Yoga membuka pintu mobil dan masuk. Bapak dan Ibu Farah menunggu di luar mobil.

Yoga mengambil tempat di samping Farah. Ia menggenggam tangan Farah, sesuatu yang tak berani ia lakukan selama ini. “Far…” panggil Yoga.

Tangis Farah mereda menjadi sesenggukan ketika ia sadar ada Yoga di sana. Yoga mendekapnya, dan Farah menjatuhkan kepalanya ke dada Yoga. Tangisnya kembali mengencang. Yoga tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Farah menangis. Yoga mengisyaratkan pada Bapak Ibu Farah agar langsung membawa mereka ke penginapan.

Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai. Farah juga sudah berhenti menangis namun matanya masih merah dan ia belum bisa diganggu.

Bapak dan Ibu Farah mengucap terima kasih pada Yoga, berpikir bahwa pemuda di hadapan mereka itu adalah pacar Farah. Mereka mengantar Yoga sampai ke gerbang penginapan.

Setelah Bapak dan Ibu Farah kembali masuk ke penginapan, Yoga sudah bersiap memesan ojek online untuk pulang. Namun urung ia laksanakan karena mendapat chat dari Farah.

Jangan pulang. Temenin aku.



< y >

Yoga menghampiri Farah di kamar penginapannya. Ia mengetuk pintu pelan, takut orang tua di kamar sebelah mendengarnya.

Farah membuka pintu kemudian menarik Yoga masuk ke kamar dan langsung menguncinya. Yoga menatap Farah lekat, ia tak mengenakan jilbabnya. Jika Farah tak sedang sembab akibat menangis, parasnya pasti sangat cantik.

Yoga tak sempat bereaksi ketika Farah tiba-tiba memeluknya dan menciumnya. Farah meraba selangkangan Yoga, meremas-remasnya dari luar. Yoga balas mendekapnya. Mengelus rambut Farah yang acak-acakan.

Ini adalah hal yang selalu diinginkan Yoga. Namun mengapa semuanya merasa serba salah? Mengapa ciuman ini tak membuatnya bahagia? Bukankah ia mencintai Farah?

Namun tak ayal, rangsangan Farah di selangkangan Yoga membuat batang kejantanannya itu berdiri juga. Farah menurunkan celana Yoga dan mulai mengocok-ngocok penis Yoga. Sedang Yoga yang mulai bergairah membuka baju Farah.

Sekejap, Farah sudah telanjang. Badannya begitu mulus, putih, dan terawat. Payudaranya yang sekal, tak besar namun tak kecil. Kencang mengacung. Yoga meraba vagina Farah, agak kering namun mulai basah. Tangan Yoga mulai memberi rangsangan pada bibir vagina dan payudara Farah.

Mereka masih berciuman sambil berdiri sampai Farah menarik Yoga ke atas kasur. Ia berbaring tak berdaya.

“Masukin Yog,” rengek Farah, menahan suaranya yang parau akibat lama menangis.

Yoga ragu. Ia hanya menggesek penisnya di depan vagina Farah. Membuatnya bertambah basah pada setiap gesekan.

Farah menggelinjang, ia menutupi matanya dengan lengan. Berbisik, “Masukiiin, Yog…”

Yoga meletakkan ujung penisnya pada lubang vagina Farah. Ia menundukkan kepalanya, berbisik di depan wajah Farah, “Kamu yakin, Far?”

Tanpa menjawab, kaki Farah menekan pantat Yoga. Memaksanya memasukkan penis ke dalam liang senggama.

Yoga merasakan sensasi luar biasa. Ini pertama kalinya ia memerawani seseorang. Rangsangan di ujung penisnya begitu nikmat, terjepit oleh dinding vagina yang hangat dan licin. Yoga sempat terhenti saat penisnya semakin sulit masuk, seolah terbentur dinding. Namun Farah malah mendorong penis itu masuk, membuatnya berteriak kecil.

Yoga mendiamkan penisnya. Ia berusaha melihat wajah Farah, namun matanya terhalang oleh lengan Farah. Tetes air mata terlihat mengalir ke samping wajah Farah.

Setelah beberapa lama, Yoga mulai menggerakkan pinggulnya. Pelan saja, agar Farah terbiasa. Beberapa saat kemudian, Farah mulai mendesis dan melenguh kenikmatan, namun wajahnya masih tersembunyi di balik lengannya.

Yoga menggenjot semakin cepat, napasnya memburu. Tangannya meremas-remas payudara Farah yang sekal. Membuat Farah semakin sering melenguh nikmat, tetap dengan suara rendah agar tak terdengar kamar sebelah.

Farah akhirnya ikut menggerakkan pinggulnya dan melepaskan lengan dari wajahnya. Napasnya memburu kencang, hanyut dalam nafsu.

“Nggghhhh, mmmmmm,” Farah melenguh dengan nada rendah.

Pemandangan yang begitu seksi membuat Yoga tak bisa berlama-lama. Ia mempercepat genjotan. Farah juga semakin liar mengikuti goyangan Yoga. Sampai akhirnya Yoga ingin mencapai klimaks, ia meraih bibir Farah berusaha menciumnya. Sedang Farah tetap melenguh nikmat, tak membalas ciuman itu.

Goyangan mereka semakin kencang saat Yoga mengencangkan ciumannya. Badan Farah ikut melengkung meraih klimaks pada saat yang bersamaan, menyambut sperma Yoga ke dalam rahimnya.

CROTTTT CROTTT CROT CROT CROT

Entah berapa kali Yoga muncrat sebelum ia ambruk di sebelah Farah. Sedang Farah yang masih berada di tengah badai kenikmatan membalikkan badan, memunggungi Yoga.

“Yoga…” Farah berkata parau. “Ka-kamu mau tanggung jawab kalo aku hamil, kan… mau nikah sama aku?’

Yoga mendekap Farah dari belakang. Ia mengecup tengkuk Farah. “Iya, Far. Aku mau nikah sama kamu. Aku… cinta sama kamu.”

Ini adalah semua yang diharapkan oleh Yoga. Menikahi Farah, wanita yang dikejarnya tanpa lelah selama empat tahun. Namun mengapa hatinya tak puas? Mengapa Yoga merasa ia telah memperkosa Farah walaupun Farah yang memintanya?

Isak tangis Farah setelah mereka bercinta menusuk hati Yoga.



< b >

“Kamu khawatir sama Farah?” Wulan memergoki Bintang melamun sepulang dari wisuda hari itu.

Jujur, aku tak enak melihat Farah meninggalkanku saat wisuda. Melihatnya menangis menimbulkan sensasi aneh dalam hatiku.

“Yah, aku udah tanya Yoga katanya dia udah nggak apa-apa,” jawabku seadanya.

“Selalu lewat Yoga, nih? Kamu selalu takut konfrontasi langsung ya,” Wulan memelukku mesra dari samping. Kami sedang menikmati udara segar di beranda kecil apartemen kami.

“Buat apa? Aku udah punya kamu, sayang,” ucapku. Kukecup tangannya yang sedari tadi kugenggam.

Wulan tertawa kecil. “Entahlah. Aku ngerasa kalo kamu bakal cocok sama Farah. Waktu ngajar dia, kuperhatiin gerak-geriknya kayaknya cocok sama kamu. Mungkin kalo nggak sama aku, kamu bakal nikah sama dia, ya?”

Aku menatap mata Wulan tajam. “Jangan berandai-andai, sayang. Aku udah bahagia sama kamu.”

“Itu…” Wulan menunjuk hidungku, “yang buat aku makin cinta sama kamu.” Wulan kemudian mencumbuku.

Kami bercium, bercumbu, saling meraba. Tak peduli jika ada orang melihat dari kamar lain. Kami sudah resmi memproklamirkan diri sebagai sepasang suami istri setelah empat tahun menyembunyikannya.

Wulan naik ke pangkuanku dan kembali mencumbuiku dengan panas. Posisi faovorit kami. Ia melumat bibirku dengan ganas, sedang aku meraba-raba dadanya dari luar baju. Wulan pun dengan tak sabar menggesek-gesek vagina yang masih ditutupi celananya di atas penisku. Seperti pertama kali aku datang ke apartemennya.

Setelah tak tahan, Wulan membuka resleting celanaku dan menurunku sedikit celananya. Langsung menjebloskan penisku ke dalam vaginanya.

Ughhh. Sensasi bercinta di luar ini, resiko terlihat orang, membuat kami semakin bergairah.

Wulan menggenjot dengan liar di atas pangkuanku. Pandangannya mendongak, kedua tangannya bertumpu pada lututku. Membuat dadanya dengan bebas untuk kumainkan. Aku hanya membuka kancing depan dan menurunkan BH milik Wulan, tak membuka bajunya.

Aku bergantian memainkan payudaranya. Meremas, meraba, memelintir putingnya. Melumat dan mencupang di sekitar payudaranya yang selalu membuatku gemas dan ingin membenamkan kepalaku. Wulan menangkap isyarat itu dan mendekap kepalaku ke dadanya. Menekannya dengan erat sampai aku sesak napas, sambil terus bergoyang.

“Engggggh! Nggggh!” Wulan melenguh saat aku bermain di payudaranya. Tangannya meremas rambut dan punggungku.

Sepuluh menit kami bermain, Wulan bergerak semakin liar. Tanda bahwa ia akan mencapai klimaks. Aku pun meraih bibirnya dan meletekkan tanganku di pinggulnya. Goyangan kami semakin tak terkendali sampai akhirnya kami klimaks.

“Ohhhhhhnnggggmmfff!” kami melenguh bersamaan di tengah ciuman.

CROTT CROT CROT.

Aku menyemburkan sperma ke dalam rahim Wulan. Sedang Wulan bergetar pula mencapai klimaks. Vaginanya berkedut, memijit batang kemaluanku, membuat rangsangan yang sangat nikmat ke ujung penisku. Rasa yang tak tertandingkan.

Kami berpelukan merenggut sisa-sisa kenikmatan.

Beberapa saat kemudian, Wulan ambruk di sampingku. Memeluk mesra lengan kiriku.

“Kamu udah konfirmasi soal lamaran kerja kemarin?” tanya Wulan.

Aku mengangguk. Sebelum wisuda aku sudah mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan swasta. Wulan yang merekomendasikan karena ia pernah mengerjakan beberapa riset kerjasama dari perusahaan itu.

Wulan mengecup bahuku. “Aku bahagia sayang. Makasih udah ada hadir untukku.”

Aku menatapnya, menyingkap rambutnya ke belakang telinga. “Aku juga bahagia, sayang. Karena kamu juga.”

“Kamu mau punya anak?” Wulan bertanya penuh harap. Selama ini kami memang menunggu saat kami berani keluar dan tak lagi berhubungan secara rahasia untuk punya anak.

“Itu akan membuat kita semakin bahagia,” aku mencium bibirnya mesra.



< ? >



“Mama gak curiga sama Farah nangis-nangis? Jangan-jangan omongan nenek dulu benar.”

“Ah, Papa masih percaya aja sama dongeng itu. Biasa kali drama di masa muda. Kayak nggak pernah muda aja.”

“Tapi, Ma. Papa khawatir. Firasat Papa gak enak.”

“Dulu Papa gak pernah drama cinta-cintaan? Ya anak kita lagi dalam fase itu aja, simpel.”

“Semoga aja Mama bener, deh. Papa takut kalo ternyata ini benar, kehidupan Farah nggak akan bahagia.”

“Udah deh, Pa. Jangan stres gitu, sini main sama Mama aja,” Mama berkata sambil membuka kancing bajunya. Mata Papa langsung melotot melihat payudara istrinya yang masih kencang itu. Ia lalu bersiap menerkamnya.



to be continued

Ke Chapter 10
 
Terakhir diubah:
Terima kasih atas dukungan dan jawaban-jawaban dari suhu sekalian. Ane terharu bacanya xixixi :((

Syukur, laporan proyek berjalan lancar. Walau masih ada beberapa bulan pengerjaan lagi, seenggaknya urusan ini sementara kelar.

Untuk cerita, dengan dilewatinya timeskip 4 tahun, berarti memasuki babak akhir cerita. Kebenaran akan terungkap, klimaks akan mendekat. Semoga nantinya agan-agan dan suhu-suhu sekalian bisa puas membaca sampai akhir. Cheers! :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd