Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
Siasat Suami Birahi


"Wah coba saya ingat-ingat dulu ya"

"Boleh, silakan"

"Ibu memang tidak ada cerita ke bapak, ya?", tanya bu Aminah yang baru saja membuka warungnya. Ia keluar-masuk rumahnya, menenteng barang jualan, seperti sayur mayur, beberapa ekor ayam, dan bumbu rempah-rempah untuk dijajakan. Aku memaklumi dirinya yang sedang bersiap seraya berusaha mengingat. Lagipula aku berangkat kerja lebih pagi dari biasanya demi mengetahui cerita yang mungkin masih disembunyikan oleh istriku, Mirna.

"Cerita? Ada. Saya bertanya sekedar ingin tahu, mungkin ada bagian yang terlewat"

"Hehe, bapaknya cemburu? Tidak usah dikhawatirkan berlebihan, Pak Yanto itu memang begitu, suka gombal. Namanya juga laki jauh dari istri. Cari perhatian"

"Suka gombal? Jadi Mirna digombali?"

"Bukan Mirna saja, tetapi hampir sebagian perempuan yang belanja di sini digombali olehnya. Saya pun terkadang juga"

"Tetap saja Bu, namanya suami mana ada yang terima bininya digoda laki-laki lain", ucapku menunjukkan harga martabat dan harga diri. Padahal, aku semakin penasaran gombalan macam apa yang dihaturkan oleh Pak Yanto ke Mirna.

"Jangan terlalu dianggap serius. Pusing sendiri nanti. Lagipula ibu juga santai menyikapinya, kan pak?"

"Malah ia tak cerita bagian ini"

"Ibu mungkin tak cerita takut bapak yang tak bisa santai, hehe"

"Oh ya bisa diceritakan gombalannya seperti apa?"

"Enghh... seperti gombalan biasanya. Dipuji cantik, terlihat masih muda, pintar merawat diri, jago masak, ayu..."

"Mmmm..apa ada yang berbau mesum-mesum kah bu?"

"Heh?! Mesum?! Enggak, enggak ada yang mesum, hanya otak Yanto yang mungkin loh ya rada mesum, tetapi setahu saya enggak pernah dia mengucap apalagi melecehkan perempuan di sini. Kalau ada, bisa jelek imbasnya bagi tempat dagang ini. Sudah saya omeli dan usir dari sini"

"Baiklah, kalo hanya itu yang terjadi. Kalau ada info-info tolong beri tahu, bu. Oh ya jangan sampai Mirna tahu saya kemari", aku mulai menaikki motor dan menyetelnya.

"Hehehe, iya pasti saya sampaikan. Jangan khawatir, Mirna tidak akan tahu kalau bapak ke sini"

"Saya pamit dulu, bu aminah. Semoga laris jualannya!"

"Aaamiiin, hati-hati!"

Sejujurnya aku ingin mendengar lebih dari itu. Aku berharap Bu Aminah berceritanya bahwa Mirna digoda oleh Pak Yanto. Godaan yang merujuk mesum, ngeres, merangsang birahi istriku. Namun, faktanya tidak. Justru aku yang terlampau jauh mesumnya.

Ketika tiba di kantor, tepatnya jam istirahat, aku berusaha menghubungi Mirna di rumah. Aku menanyakan apakah ada kontak Pak Yanto untuk dihubungi, terkait lowongan pekerjaan yang barangkali bisa laki-laki itu penuhi. Bagi sisi lainku, dengan mencarikan Pak Yanto pekerjaan itu berarti aku menghentikan langkah gombalnya untuk tiap kali mampir ke warung bu Aminah, menggoda perempuan bersuami.

"Aku mana punya paaah, apa aku mintain saja ke rumahnya sekarang?"

"Enggak, enggak usah. Nanti aku saja yang menghubungi Pak Yanto. Sepertinya di grup warga perumahan ada"

"Bagus deh, ngomong-ngomong pekerjaan apa untuk dia?"

"Kalau tenaganya masih kuat, papa arahkan ke bagian gudang untuk bantu angkat-angkat. Kalau tidak, ya administrasi bagian antar berkas"

"Semoga keterima ya"

"Ya, aku juga berharap begitu, ya namanya nolong orang kan, hehehe"

"Papa pulang jam berapa nanti?", tanya Mirna tak biasanya menanyakan kepulanganku.

"Kayak biasa sih, mengapa?"

"Ooh, aku mau yoga di rumah"

"Tumben? Dengan siapa?"

"Sendiri dong, supaya badan mama gak melar, hehehe"

"Alhamdulillah, aku ikut seneng deh, hehehe"

"Iya dong kan untuk papa juga, supaya makin betah di rumah"

"Tapi jangan kurus-kurus ya, aku tetep lebih seneng kamu montok, gak rela aku tete kamu mengecil, maaah"

"Iyyyaaaa, aku cuman pengeb jangan diriku ini jadi gendut kayak emak-emak banget"

"Oke deh, papa tutup teleponnya, jangan lupa makan siang"

"Kamu juga"

Setelah menelepon Mirna, aku mencari kontak Pak Yanto di grup WA warga perumahan. Aku selidik dari profile picture masing-masing yang mana kiranya terdapat wajah Pak Yanto. Ketemu! Kudapati ia sedang berpose sendiri duduk ongkang kaki dengan bertelanjang dada di depan rumahnya. Pria berwajah agak sangar dan bengal ini ditumbuhi kumis tipis di bawah hidung peseknya. Bagian rambut sudah menipis, tersisa kening yang perlahan mengerut. Kendati saat ini pengangguran, tak tercermin dalam bentuk tubuhnya yang cukup kekar, meski bagian perut tampak tambun. Kedua lengan berotot menjalar guratan urat, pertanda bahwa ia cocok di bagian angkat barang. Senyumnya nakal seraya mengasap. Aku pelan terbayang seandai Mirna digoda mesum, atau bahkan ditiduri laki-laki ini. Kala bibir gelap Pak Yanto menghisap lahap puting susu istriku. Wwwuuhhhh NGACENG BURUNGKU! Apakah tetap aku biarkan saja ia menggoda-goda Mirna? Ah benar benar sudah gila diriku ini.

Tak lama-lama, kemudian aku mengirim pesan WA ke Pak Yanto. Menyapa salam, tak lama aku masuk ke inti pembicaraan.

"Ya pekerjaan apa saja pasti saya terima, asalkan jangan menghitung-hitung"

"Hahahaa, siap pak yanto. Ini ada pekerjaan bagian gudang, ya bantu angkat-angkat barang masuk ke kontainer, masih kuat tenaganya kan, Pak Yanto?"

"Jelas masih! Justru saya seneng pekerjaan yang sifatnya fisik"

"Wah kayaknya berjodoh ya"

"Hehehe, Aaamiiin, ini saya sudah pasti diterima apa belum?"

"Untuk diterimanya atau enggaknya, saya coba hubungi bagian personalia dulu. Kalau boleh tahu pendidikan terakhir bapak, apa ya?"

"SMA"

"Baik, nanti malam, bapak bisa mampir ke rumah saya kan ya? Tolong bawa fotokopi ktp, ijazah, dan pas foto"

"Beres, saya mesti siapkan dulu itu"

"Oke, sampai jumpa nanti malam, kalau menurut saya, pak yanto bakal keterima, karena kita lagi perlu beberapa orang untuk menyokong barang ekspor"

"Aaamiiin, terima kasih banyak Pak Riko sebelumnya"

"Iya sama sama pak"

Saat menghubungi Pak Yanto, mendadak isi otak kotorku melintas lewat. Aku akan menfaatkan momen ketika Pak Yanto berkunjung malam nanti ke rumahku. Ah tak sabar aku menanti malam tiba. Tak jadi rencanaku untuk lembur. Aku memutuskan mau membuktikan sekaligus mengecek apakah betul sanjungan atau gombalan yang dilontarkan Pak Yanto ke Mirna hanya gombalan biasa seperti yang diutarakan Bu Aminah? Aku ingin waktu berputar cepat karena begitu tak sabarnya.

=Y=​

"Katanya pulang malam..."

"Enggak jadi, aku lebih memilih kamu malam ini?"

"Hah? Maksudnya?"

"Ini pegang...", seusai melucuti celana dalam, aku menuntun tangan Mirna memegang penisku yang tegak berdiri. "Lagi kepengen peluk kamu. Hehehe"

"Iihh papa, kan kemarin udah, sangean mulu ih"

"Memang gak boleh sangean sama kamu? Hihihi"

"Ya boleh, tapi masa hampir tiap hari begini"
"Biasanya kan enggak"

"Bagaimana enggak tiap hari, makin lama bodi kamu makin menggiurkan maah"
"Makin demen aku"

"Yaudah mandi dulu gih sana, aku mau siapin makan malam"

"Kamu sendiri belum mandi kan?", tanyaku memerhatikan Mirna yang masih mengenakan tanktop krem dan baluta celana legging yang serupa. Itulah penyebab mengapa penis ini berdiri setibanya di rumah.

"Iya, mama belum sempet mandi habis yoga tadi, kan dikira papa pulang malam"

"Seksi banget sih kamu, sayang", aku lekas memeluk tubuh Mirna dari belakang, serta menggapai bagian kedua bukit kembarnya.
"Mandii bareng yukk"

"Enggak mau, aku mau siapin makan dulu, kalau udah diapa-apain jadi cape duluan"

"Memang di kamar mandi mau aku apakan kamu?"

"Pura-pura tanya lagi kamu, ih" Mirna menyingkap kedua tanganku. Ia mendesak diriku masuk ke kamar mandi sembari memberikan handuk yang tergantung di belakang pintu kamar kami. "Buru, sana mandi!"

"Siaaap Nyonya!"

Ketika akan beranjak, aku mengamati jendela kamar yang menghadap ke arah teras rumah. Suasana luar tampak mendung kelabu nan gelap, aku berkenan Pak Yanto datang segera. Di depan jendela kamar ini, terdapat sepasang bangku kayu yang di tengahi meja. Aku biasa menerima tamu di situ jika memang mereka bertandang sebentar, seperti keamanan meminta iuran atau Ketua RT menyebarkan pamflet pemberitahuan kerja bakti. Mereka juga bisa ngopi santai di sini berlama-lama apabila hujan turun seraya menunggu waktu berteduh. Kemudian aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan agar Pak Yanto datang sekarang, keburu disalip oleh hujan yang sepertinya akan turun deras.

Setelah mengirimkan pesan itu, barulah aku masuk menuju kamar mandi yang terletak di dekat gudang belakang rumah, sebentar kutatap Mirna yang mulai mengeluarkan bahan pangan untuk dimasak. Lekas aku masuk kamar mandi dan mulai menyiram air. Aku tergolong orang yang mandi butuh waktu lama karena kadang-kadang terbawa melamun atau bisa sekalian buang air besar. Selebihnya sengaja menunda-nunda untuk keperluan tertentu seperti Mirna yang masih lama memasak, sedangkan aku sudah lapar, bahkan saat sedang malas ke kantor karena pekerjaan banyak.

"Paaa! papah! Ada Pak Yanto cariin kamu tuh!"

"Apa?!"

"Ada pak yanto kemari! Katanya papa yang nyuruh dia ke sini?!

"Iya! Dia mau anter berkas lamaran yang diperlukan. Kamu temenin dulu sana, Maa! Aku masih belum selesai!"

"Jangan lama-lama!"

"Iyaaa!"

Aku sengaja mengirim pesan, meminta Pak Yanto untuk datang lebih awal ketika aku memanfaatkan waktu mandi. Aku ingin mengetahui secara diam-diam obrolan apa yang terjadi apabila istriku bertemu berdua dengannya. Apalagi Mirna sedang memakai pakaian yang cukup erotis dipandang seorang laki-laki. Kalau Pak Yanto adalah pria normal semustinya ia birahi dengan penampilan Mirna yang belum berganti baju. Sembari menunda waktu, aku pura-pura sesekali menguyur air ke lubang tempat buang air besar, supaya Mirna bisa lebih lama berbicara dengan Pak Yanto. Lalu aku menguping dari dalam kamar.

Setelah 10 menit, aku melangkah pelan keluar kamar mandi. Pandangan clingak-clinguk mengamati kondisi dapur agar diriku tidak ketahuan sudah selesai membersihkan badan. Aku dapati di dapur kosong, hanya sekotak teh baru dikeluarkan dari dalam lemari tergeletak di dekat kompor. Kemudian aku tergesa-gesa masuk ke kamar dengan handuk membalut pinggang, tak sabar menyimak obrolan istriku dengan Pak Yanto di depan kamar.

"Wuuiiihhh, manis betul teh manisnya, semanis yang buat!"
"Hehehe"

"Jangan bilang begitu, enggak enak kalau didengar Mas Riko"

"Ah bukannya memang betul kamu manis? seharusnya kan dia senang istrinya dipuji, loh malah kamu yang takut suamimu kenapa-kenapa"

"Bukannya takut, tetapi tidak nyaman"

"Suami pencemburu?"

"Enggak"

"Terus? Bukannya selama ini kamu nyaman-nyaman saja kan saya puji kalau di warung Bu Aminah?"

"Ya beda, ini kan di rumahku"

"Hooooalaaaah"

Berdiri mengamati di balik tembok, aku berharap Mirna belum akan balik ke kamar. Sementara aku mulai mencium bau asap rokok. Pak Yanto menyulut sebatang rokoknya ditemani secangkir teh hangat yang disuguhi oleh Mirna. Walau mendengar percakapan mereka, aku tidak dapat melihat pergerakan mereka di luar sana.

"pinter betul kamu menyenangi suami, ya?"

"Heh? Maksudnya?"

"Susumu itu loh, bikin gemes saya, hehehe"

"Wussshh pak yanto, ngomongnya!"

"Kenapa lagi? Saya kan berkata sesuai dengan yang aku lihat, enggak bohong juga kan?"

"Iya, tapi...."

"Tetapi apa? Ooo ya terima kasih, berkat kamu sepertinya saya bakal diterima bekerja di tempat suami kamu"

"Enggak apa apa, yang penting bapak bisa sesekali kirim uang untuk keluarga di kampung, enggak sering nganggur ngelamun. Dengan uang itu juga kan nanti bisa ajak anak dan istri untuk tinggal di sini"

"Anak-anak sudah bekerja di sana, istri saja yang masih kerasan di kampung minta nafkah"

"Bukankah seharusnya bapak mulai mempertimbangkan tinggal bersama istri, supaya tidak merasa kesepian lagi"

"Sulit, semenjak melihat kamu, saya berat meninggalkan jakarta rasanya, hehehe"

"Apaan sih, bercandanya gak lucu"

"Hehehehe. Besok, jadi mau ditemani ke pasar untuk belanja?"

"Enggak, aku sudah titip ke Bu Aminah untuk beberapa bahan yang dia gak jual"

"Kalau begitu, besok kamu mau temani aku belanja?"

"Belanja apa?"

"Untuk istri dikirim ke kampung"

"Ajak saja siapa yang lain, pak. Jangan aku"

"Baiklah"
"Enggghh, andai dirimu bisa membelah diri jadi dua..."

"Loh kenapa? Mulai lagi deh"

"Hehehe, saya ingin dirimu yang satunya menemani saya di rumah, bonekanya pun tak apa apa"

"Ngaco kan... mana mungkin aku jadi dua"

"Ya kamu tetap satu, kalau dua tidak istimewa lagi"
"Kamu ini bener bener bikin gerah, Mirna, duh"

"Kumat? Masuk kulkas sana"

"Iyaa, hehehe"
"Awas! Awas! Ada binatang di situ", aku sontak sedikit panik, tetapi berusaha mengendalikan diri.

"Hiyaaa apaa?!"

"Oh hanya serangga"
"Plak plak plak"

"Sengaja banget ih, curi kesempatan pukul-pukul pantat aku"
"Sana-sana...."

"Memang betul kan ada serangga? Loh jangan ngambek"

"Duh mana sih Mas Riko, lama banget mandinya, aku mau ngecek dulu"

Mengetahui Mirna hendak mencariku, aku segera berpakaian dan pura-pura memilah-milah baju di lemari supaya ia tidak curiga bahwa daritadi aku menyimak obrolannya dengan Pak Yanto. Sampai di kamar, Mirna menyuruhku untuk segera menemui Pak Yanto karena dia ingin mandi, serta lekas memasak untuk makan malam. Aku mengamini ucapannya, lalu buru-buru mengenakan kaos dan celana pendek. Setelah menyisir rambut, barulah aku menjumpai calon karyawan baru di perusahaan tempatku bekerja.

Saling berjabat tangan, Pak Yanto membuka pembicaraan dengan menanyakan kepulanganku di sore hari. Ia juga bertanya seandai ia jadi bekerja di tempatku apakah jam pulangnya akan sama. Aku menjawabnya tak menentu karena bisa jadi aku lebih lama atau sebaliknya dia yang lebih lama. Hal itu hanya dapat ditentukan oleh kondisi di lapangan. Namun pada dasarnya kami mempunyai jatah jam kerja serupa. Kemudian Pak Yanto menyerahkan berkas yang kuminta, sembari aku membuka, kutanya apa saja pengalamannya. Yang jelas pasti dia sudah memenuhi klasifikasi. Aku yang tak suka basa-basi lantas mengucapkan kalau ia telah diterima bekerja sebagai karyawan gudang. Bukan main senangnya Pak Yanto sambil menyalamiku berkali-kali usai mendengar jawaban itu.

"Kapan saya boleh mulai bekerja, pak?"

"Senin besok ya..."

"Beres, boss!"

"Hahaha jangan panggil aku bos, aku bukan atasanmu, pak"

"Ya tetap, bapak kan yang membantukan saya mencari kerja hehee"

"Ah biasa itu, oh ya teh untuk saya mana ya" "sebentar, saya mau menengok ke dalam"

"Iya, silakan pak, silakan..."

Aku mengira ketika menyuguhkan secangkir teh, Mirna sudah sekaligus menghidangkannya untukku, ternyata hanya untuk Pak Yanto. Aku terpaksa membuatnya sendiri karena kuyakini Mirna sedang mandi. Sambil menyiapkan teh untuk diriku sendiri. Aku mengoceh keras-keras supaya Mirna mendengarkan bahwa aku bisa-bisanya tidak dihidangkan, seakan dilupakan. Kemudian ia keluar kamar mandi dalam belitan handuk dan menengok ke arahku, lalu meminta maaf. Aku sebetulnya memaklumi santai. Akan tetapi, aku merasa perlu ada balasan dari hal ini. Aku berniat mengusili Mirna.

Ketika Mirna masuk ke kamar, aku mengamati ia masih sibuk memilah milih bajunya dalam belitan handuk biru yang belum dilepas. Segera aku menjaga pintu kamarku agar sedikit terbuka. Teh hangat yang sudah siap diseduh aku tuntun ke depan. Aku perhatikan Pak Yanto sedang mengutak-atik ponselnya.

"Kenapa pak hapenya? Rusak?"

"Bukan, mau rusak mungkin lebih tepatnya"
"Hehehe"

"Ah sama saja itu"
"Maaf pak, apakah bisa bantu saya?"

"Bantu apa?"

"Bapak bilang tadi pernah jadi kuli bangunan ya?"

"Betul"

"Apakah bisa tolong cek pintu kamar mandi saya sebentar?"

"Oh boleh sekali. Di dalam pak, paling belakang dekat gudang dan dapur"

Aku mempersilakan Pak Yanto masuk, namun izin kepadanya untuk meminjam peralatan tukang ke tetangga sebelah. Padahal, sebetulnya aku hanya menunggu diam di luar. Aku berharap Pak Yanto menangkap celah kesempatan yang kuberikan untuknya, yakni mengintip istriku yang sedang berganti pakaian. Semoga ia cerdik dan jeli sehingga tidak ketahuan oleh Mirna. Aku menunggu kurang lebih 10 menit. Barulah ia keluar mencariku, karena mungkin tak kunjung datang aku menyusul. Dengan berpura-pura bingung aku mengatakan kepada Pak Yanto bahwa aku tak mendapati peralatan tukang untuk pekerjaan Pak Yanto membetulkan pintu.

"Pintunya masih bagus-bagus saja, mungkin ya hanya ganti engselnya saja"

"Oh begitu ya, baiklah nanti saya coba ke toko bangunan, tetapi mohon maaf ya Pak, jadi lama menunggu karena saya tak dapat peralatan tukangnya, tadi coba mampir ke tetangga sebelah, ternyata sedang tidak di rumah"

"Enggak apa-apa, santai saja Pak Riko, saya juga tidak kemana-mana, rumah saya masih di posisi yang lama"
"Hehehe"
"Berhubung sudah sore, saya boleh pamit dulu ya?"

"Sebentar-sebentar, saya mau titip sesuatu untuk dibawa pulang"

"Apa itu?"

Aku masuk ke dalam rumah, lalu berjalan menuju ke kamar. Aku lihat Mirna baru saja selesai berganti pakaian sedang rebahan santai di atas tempat tidur kami berdua. Dia bertanya kepadaku mengapa aku mengambil beberapa stel kemeja yang sudah jarang aku pakai. Aku bilang saja kepadanya untuk pakaian Pak Yanto bekerja nanti supaya sedikit rapi. Mirna pun tersenyum dengan kebaikan mulia yang sifatnya terselubung ini, karena setelah keluar kamar aku mencari plastik untuk membungkus pakaian dan celana yang akan kuberikan kepada Pak Yanto. Terselip kemudian tujuanku sesungguhnya, aku mencomot celana dalam dan BH Mirna yang berada di ember kotor. Aku tak peduli jorok atau kotornya. Yang penting pastinya ini akan jauh berharga untuk Pak Yanto.

"Aduh Pak, repot-repot sekali"

"Enggak aapa apa, ini juga baju jarang saya pakai, lebih berguna apabila orang lain memakainya"

"Wah terima kasih banyak Pak Riko sekali lagi, sudah dicarikan pekerjaan, diberikan baju lagi"
"Hehehe"

"Sudah, santai saja"

"Baik, saya pamit dulu kalau begitu"
"Salam untuk Ibu, cantik banget hari ini dia"
"Hehehe"

"Wahahahaha, sama sama, nanti disampaikan"

"Selamat Sore"

..............................................
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd