Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Nah kan php lagi. Dah 3x nih 🤣 ane dh prnh kritik loh hu jgn menjanjikan kpn updatenya jd ada yg emosi tuh kan krn korban php. Hrs dipahami jg hu anda sebagai penulis butuh pembaca disini jg kan? klo ga butuh pembaca buat apa ente post disini. Atau php itu adalah strategi biar byk yg komen hu😂😂
semoga ga kena warning om momod @rockmantic 🙏
 
Nah kan php lagi. Dah 3x nih 🤣 ane dh prnh kritik loh hu jgn menjanjikan kpn updatenya jd ada yg emosi tuh kan krn korban php. Hrs dipahami jg hu anda sebagai penulis butuh pembaca disini jg kan? klo ga butuh pembaca buat apa ente post disini. Atau php itu adalah strategi biar byk yg komen hu😂😂
semoga ga kena warning om momod @rockmantic 🙏
Baru absen 2 hari dah buset. Penulis kan juga punya kegiatan di real life. Buat nulis di free platform kayak gini bisa seminggu update 2 kali aja udah bagus banget.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
waduh2 update telat aja ada yg emosi. udah tinggal baca aja lho, tunggu yg sabar update'an dari ts. jd pembaca kan tinggal duduk manis atau tiduran, ga' perlu mikir bikin cerita. kalo abis baca sange tinggal kocok2 crot keluar :Peace::bacol:
 
Nah kan php lagi. Dah 3x nih 🤣 ane dh prnh kritik loh hu jgn menjanjikan kpn updatenya jd ada yg emosi tuh kan krn korban php. Hrs dipahami jg hu anda sebagai penulis butuh pembaca disini jg kan? klo ga butuh pembaca buat apa ente post disini. Atau php itu adalah strategi biar byk yg komen hu😂😂
semoga ga kena warning om momod @rockmantic 🙏
Suhu berbicara 🔥🔥🔥
 
MELEPAS BIRAHI

"Yang satu lagi belum..."

"Udah, enggak usah, ishhh", gerutu Mirna, berdiri menyingkir dari sofa, mengeataskan tali BH berikut tali dasternya. Pak Yanto mendongak, wajahnya dikelumuni birahi dengan nafas masih mencungap.

"Lalu aku gimana?"

"Enggak gimana-gimana"

"Tolong kocokin seperti di rumah sakit", ujar Pak Yanto memegang tangan istriku, tetapi langsung dielak.

"Enggak, udah! cukup!"

"Tolonglah, gak enak banget begini"

"Selesain sendiri, gak mau tahu!"

"Mirna, tolonglah, keras banget inih..", ereksi batang penis Pak Yanto menyembul dari balik celana panjang bahan yang dikenakannya. Kemudian resleting celana hendak ditarik, "Ini kamu lihat..."

"Enggak, udah!", sahut Mirna memalingkan badan sekaligus meninggalkan Pak Yanto yang lekas menggugurkan niat memperlihatkan penisnya yang sedang ereksi.

Aku mematung, menutup rapat-rapat pintu secara pelan, selesai mengintip yang dilakukan Pak Yanto terhadap Istriku, Mirna. Apakah reaksi yang harus kumunculkan usai keluar dari sini? Apakah harus mempertentangkan Pak Yanto? Berkelahi? Apakah aku harus pura-pura tidak tahu? Atau jangan-jangan Mirna sedang berupaya mengujiku lagi. Ah, tidak mungkin Mirna mengujiku lagi. Kalau iya, pasti ia membiarkan lanjut Pak Yanto menjamahnya. Lagipula kesepakatan kami berdua adalah siapa yang melanggar janji. Aku merasa tak melanggar apapun. Yang kutahu sedang menerima telepon.

Kalau Mirna, jelas iya! Aku meyakini Pak Yanto yang berkeinginan lebih setelah Mirna beberapa kali mengerjainya, ditambah Mirna beberapa hari yang lalu membantunya klimaks di hadapanku yang masih tergila-gila dengan fantasi istri disetubuhi pria lain. Bagi Mirna, mungkin sederhananya masalahku sudah selesai. Namun bagi Pak Yanto yang telah dilibatkan, rumitnya adalah dia mempunyai harapan lain yang harus dibereskan. Itu adalah bola panas yang digulirkan oleh istriku sendiri, kini menggelinding balik ke arahnya. Haruskah aku tolong?

Fokus perhatianku kepada Jajang dan Rani benar-benar menyamarkan fantasi selama ini. Aku sudah tidak terbersit sama sekali tentang Mirna disetubuhi oleh pria lain. Itu sangat membantu. Aku justru penasaran sejauh mana hubungan Jajang dan Rani terjalin sembunyi-sembunyi, bahkan Jajang rela menelepon malam-malam hanya sekedar memanas-manasi kendati aku tetap meladeni. Pasti Jajang bukan sekedar bermaksud tinggal kos di tempat yang sama dengan Rani. Dia memiliki tujuan lain.

Hanya saja, Aku semakin tidak mengerti dengan diriku sendiri. Kemaluanku mengeras seketika melihat puting payudara Mirna dinikmati oleh Pak Yanto. Apakah fantasi yang telah terkubur tersebut sekedar terpendam bukan hilang selamanya? Di sisi lain apakah keingintahuanku terkait hubungan Jajang dan Rani hanyalah sebuah pelarian? Aku tidak boleh bertahan lama di kamar. Bagaimanapun Aku harus keluar.

"Telepon dari siapa Pak?"

"Temen kantor, biasa, kalau ada yang kelupaan disampaikan di kantor, kasih tahunya lewat telepon"

"Enghhh....."

"Obatnya jadi bagaimana? Bapak mesti minum, apalagi kondisinya seperti ini", ucapku mengamati Pak Yanto rebahan lunglai, tampak sangat berbeda ketika dirinya bersemangat menjamah Mirna. "Apa mau saya ambilkan?"

"Oh enggak usah Pak Riko, enggak usah, di luar juga masih hujan"

"Saya ambilkan saja Pak, ya? Ada payung inih"

"Jangan, saya enggak mau merepotkan"

"Enggak ada ngerepotin kok, untuk kesehatan Pak Yanto"

"Sudah, jangan Pak Riko, lebih baik saya yang pulang. Saya sudah banyak merepotkan bapak. Saya ke sini juga karena keinginan saya yang keras kepala tidak mau melihat kondisi badan", balas Pak Yanto bersikukuh.

"Saya pun juga jadi enggak enak ngajak ngobrolnya loh Pak"

"Ya ngobrol tinggal ngomong, hehehe"

"Hhhmmmm"

"Wawan mulai Senin besok bekerjanya ya?", tanya Pak Yanto mengawali pertanyaan agar aku percaya kondisinya benar-benar membaik.

"Yaa betul, Pak"

"Kalau saya tidak usah terlalu dipikirkan. Yang muda dan sehat lebih perlu daripada yang sudah bangkotan berpenyakitan seperti saya ini"

"Ya enggak begitu juga dong", jawabku curi-curi menengok ke dapur karena Mirna tak kembali menemaniku. Apakah dia menghindar setelah Pak Yanto melecehkannya.

"Rezeki mah ada saja"

"Hehehehe, pastinya. Intinya bapak harus betul-betul sehat dulu, supaya tenaganya maksimal"

"Harusss!"

"Ohh ya, Pak RT apa sudah nengokkin bapak? Kemarin itu dia sebetulnya mau menjenguk bilangnya ke saya"

"Sudah menjenguk kok di rumah sakit, saya belum cerita ya? Wawan yang mengantarkan"

"Ooo..."

"Mas, aku pamit tidur duluan ya", tutur Mirna menyahut sambil berjalan dengan kaki bersimbah bulir-bulir air. Salah satu tangannya menempelkan sesuatu di leher sebelah kiri.

"Masih sore ini Bu. Hehehe", Pak Yanto menimpali.

"Cape banget pak saya hari ini, perasaan ingin tiduran saja di kamar"

"Hooo, ya enggak apa apa, hehehe. Silakan..."

"Yaudah", jawabku setengah heran karena Mirna buru-buru ingin istirahat. Ia hendak masuk ke kamar. "Bentar itu kenapa tangan kamu pegangin leher terus?"

"Eh ini? Tadi digigit nyamuk, aku garuk-garuk terus jadi luka"
"Hehehe"

"Emmmhh...", Aku hanya menggumam saat Mirna mengelabuiku, sedangkan aku tahu bahwa cupangan Pak Yanto telah berbekas di lehernya.

Aku menemani Pak Yanto bercengkerama sepanjang malam hingga hujan benar-benar memberi jalan baginya pulang ke rumah tanpa harus kuberi payung. Yang kami obrolkan mulanya adalah mengenai perkembangan kesehatan Pak Yanto dan pola makan yang sedang dijalaninya setelah pulang dari rumah sakit. Berbekal uang pemberian sang anak, Pak Yanto sebetulnya hendak meminta bantuan Bu Aminah memasak untuknya, namun Bu Aminah belum memiliki waktu senggang sehingga Pak Yanto tetap membeli makanan di luar. Ia hanya mampu memilah-milah makanan yang sekiranya aman dan sehat untuk dikonsumsi, serta sayuran yang kadang jarang didapat, kecuali sayuran berkuah santan atau tumis. Makanan yang bersifat digoreng pun ia sudah mengurangi, kecuali yang berbahan lemak nabati seperti tempe dan tahu yang dibeli bukan di penjual gorengan. Buah-buahan seperti pisang dan pepaya dikonsumsinya setiap sebelum atau sesudah makan dengan porsi yang kecil. Ia juga sudah tidak mengopi.

Sebelum pamit meninggalkan rumahku, Pak Yanto memohon izin menggunakan kamar mandi. Ia hendak buang air besar. Langkah perlahannya menuju kamar mandi kudampingi agar tidak terjadi sesuatu yang diinginkan. Selagi menunggu Pak Yanto selesai buang hajat. Aku intip Mirna sedang rebahan memeluk guling sembari memerhatikan ponselnya di kamar. Kuperhatikan bekas cupangan Pak Yanto yang masih dipegangi, tetapi telah diberi plester seolah-olah itu adalah luka tergores.

"Sudah pak?"

"Hufff,,, legaa", ujar Pak Yanto memegangi perut. "Hehehe sudah, bersih ya kamar mandinya?"

"Iyaa, ada pawangnya"

"Hahahaha si ibu bener-bener rajin ya"

"Bisa-bisa diomelin kalau rumah kotor dikit aja pak, anak saya paling sering ditegur"

"Hhhoooohh serem juga, pantes Pak Riko kesannya rapi terus soal penampilan"

"Manut istri, Hehehe", jawabku yang sebetulnya hendak menutup pintu kamar mandi, tiba-tiba Pak Yanto malah mencegahku masuk. Ia telah salah mengira.

"Maaf, jangan masuk dulu Pak Riko, supaya uap baunya keluar dulu. Hehehe"
"Saya takut bapak nanti kebauan di dalam"

"Hhhhmm gitu yaa, baiklah"

Pak Yanto berjalan ke arah pintu keluar. Aku tawarkan mengantarnya menggunakan sepeda motor hingga depan rumah. Pak Yanto tidak menolak kali ini. Ia menerima dengan senang hati. Dalam perjalanan kami berbicara mengenai udara yang sejuk setelah hujan serta daerah perumahan di sekitar kami yang kadang dirundung banjir.

Kembali ke rumah, Aku membantu membereskan ruang depan dari serpihan-serpihan sisa makan malam. Aku menyapu lantai sembari menengok Mirna yang keluar dari dalam kamar. Kukira dia sudah tertidur pulas, ternyata belum. Ia sedang duduk asyik dengan ponselnya di sofa depan. Aku tanya sedang apa, dia mengatakan sedang browsing aplikasi belanja daring. Katanya ia mau membeli sandal baru untuk berpergian. Aku mempersilakan kalau memang ada uangnya. Mirna mengangguk-ngangguk. Kemudian Mirna meminta izin kepadaku bahwa besok dia mau masak-memasak dengan Bu Aminah di rumah. Aku tak mempermasalahkannya demi kebahagiaan istri. Perihal luka di leher yang sebetulnya bekas cupangan Pak Yanto tidak mau aku bahas. Aku hafal Mirna kalau sudah diajak membahas sesuatu berlarut-larut akan keluar emosinya. Aku perlu mencari momen yang tepat melabrak istriku sembari menyelidiki dan mengumpulkan bukti sedikit demi sedikit agar ia terpojok serta tak bisa berkelit.

Setelah seisi rumah bersih lantainya, barulah aku ke kamar untuk beristirahat. Mirna masih duduk di sofa depan. Ia belum menyusul.

Malam Hari Pukul 21.35

Jajang: besok mau mampir?
Aku: aku tidak mau ikut campur.
Jajang: kali ini aku serius
Aku: serius juga aku tidak akan ke tempatmu, Jang. Kamu sedang cari masalah.
Jajang: masalah buatku apa masalah buatmu? Aku merasa bahagia saja, tidak ada yang dipermasalahkan. Yang pusing kan kamu, dan manusia-manusia HRD itu.

Aku tidak terpancing membalas chat Jajang karena ia sengaja berniat memprovokasiku yang mau beristirahat. Lagipula aku sudah mengantuk. Aku ingin tidur walau Mirna belum berada di samping. Biarlah dia asyik dengan belanja daringnya seolah-olah itu terapi relaksasi untuk istriku yang lelah hari ini. Kalau sudah mengantuk, dia pasti akan menyusul juga.

"Paaah, udah ngantuk yah?"

"Iya nih, kenapa?", tanyaku dengan kedua mata ruyup-ruyup.

"Aku mendadak kepengen"

"Kepengen apa?"

"Tolong isepin dong pahhh, kenceng banget puting nenen aku", tutur Mirna menyingkap bagian sebelah kiri payudaranya. Putingnya mencuap, dikeluarkan dari BH yang sudah dilonggarkan. Karena sudah mengantuk berat, aku hanya meraba-rabanya.

"Aaaahh, ayuk dong paah, tolong isepin"

"Kamu main sendiri dulu yah, ngantuk banget nih"

"Beneran gak apa apa aku main sendiri lagi?"

"Gapapa"

"Yaudah papa tidur deh", balas Mirna menggerutu. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi lagi.

Dini Hari.....................

Aku terbangun untuk buang air kecil. Jam dinding telah menunjukkan pukul 2 pagi. Aku mengucek mata sebelah kiri. Mirna entah sudah pulas di sampingku. Alhasil, Aku turun dari ranjang perlahan-lahan, tidak ingin mengusik lelapnya. Sambil mengusap-ngusap muka dan membersihkan belek di pinggir mata, aku lalu membuka pintu kamar.

"Waduh, ini anak baru makan malam kemana aja?"

"Hahahaha, baru bangun Paah, habis nugas", jawab Rengga mengunyah makan malam sembari melihat ponselnya di ruang makan.

"Kuliah kamu aman?"

"Aman kok"

"Nginep mulu akhir-akhir ini, ngapain?", tanyaku mendapat kesempatan berdialog antara Ayah dan anak.

"Aku kan ikut organisasi di kampus, kalau dipaksa pulang bakal malem banget"

"Kuliahmu masih tetep jalan kan?"

"Terkendali, Pah. Jangan khawatir"

"Awas nilaimu amburadul. Kuliah lama-lama IP jeblok juga mau ngapain"

"IP-ku bagus kok, di atas 3,5"

"Jangan bohong malam-malam"

"Beneran, besok aku kasih lihat"

"Ya lihatin biar papa percaya", sahutku berjalan masuk ke kamar mandi. "Yaudah selesein makan kamu, terus lanjut tidur lagi. Besok kuliah kan?"

"Iya, ada kuliah pagi"

"Berangkat jam berapa?"

"Enghhh... setengah tujuh!"

Kamar mandi menebar aroma wangi jeruk yang berasal dari pembersih lantai. Aku tak tega mengacaukannya dengan aroma bau pesing yang terkuar dari air kencingku yang memancur banyak. Wangi jeruk tersebut barangkali menghilangkan bau busuk yang ditimbulkan oleh Pak Yanto sehabis buang air besar. Namun siapa yang membersihkan lantai beraroma jeruk ini. Aku kira Mirna karena ia belum tertidur saat aku sudah mengantuk berat. Setidaknya berkat pembersih lantai beraroma jeruk, bau yang ditimbulkan oleh air seniku tidak tercium setelah diguyur banyak air, kendati aroma bau jeruknya turut berkurang..

"Yang kasih pewangi kamar mandi, kamu?"

"Iyaa"

"Ooh"

"Ada yang aneh Pah?", tanya Rengga sedang mengakhiri makan malamnya dengan meminum segelas air.

"Enggak sih, sebelum dikasih pewangi, kamar mandinya emang bau?"

"Enggak"

"Terus ngapain kamu kasih pewangi?"

"Mama yang nyuruh karena aku mau pipis"

"Jadi mama kamu baru tidur?"

"Enggak tahu juga pah, tadi jam 1-an pas aku bangun mama ikut kebangun juga kalo gak salah yah"

"Ennnghh..."

"Ada apa Paah? Bikin orang penasaran", ucap Rengga membawa piringnya ke dapur.

"Enggak ada apa-apa, yaudah kamu tidur lagi sana. Papa mau balik ke kamar"

Aku termenung dengan pernyataan putraku yang menerangkan bahwa Mirna yang telah menyuruhnya menyiram dengan pembersih lantai kamar mandi sehingga kamar mandi menguar aroma jeruk. Anehnya, menurut Rengga, sebelum diberi pewangi, tidak ada bau yang muncul terendus oleh hidungnya. Rengga melakukan itu karena mamanya menyuruhnya memberi pewangi. Lalu tujuan memberi pewangi itu apa? Sementara bau busuk yang dimaksud oleh Pak Yanto itu kemana? Apakah hilang terbawa oleh angin yang berhembus selama aku tertidur? Aneh. Aku berpikir sejenak bahwa ada sesuatu yang janggal. Saat akan naik ke tempat tidur, terlebih dulu aku mengambil ponsel Mirna secara diam-diam dari sebelah kanan bantalnya. Aku periksa seluruh media sosial dan saluran komunikasi Mirna. Namun tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada percakapan antara dia dengan Firda atau dia dengan Pak Yanto. Hhhmmm. Atau aku saja yang merasa aneh, ya? Galeri? Juga tidak.

Kemudian aku memeriksa riwayat halaman pencarian Mirna. Awalnya tertera pencarian terakhir istriku ialah model sepatu dan sandal baru. Pencarian terakhir tercatat pada tanggal dini hari ini. Lalu aku periksa pencarian sebelumnya lagi, masih dengan tema yang sama, yaitu sepatu dan sandal. Karena masih belum puas, aku memeriksa keseluruhan isi ponsel Mirna selagi orangnya tertidur. Aku temukan dalam satu folder berisikan beberapa video porno berdurasi singkat. Ada yang kurang dari 1 menit, adapula yang 8 menit. Video porno itu didominasi oleh unduhan dari situs lokal yang memunculkan para pemain lokal, kendati ada beberapa video pelakunya adalah orang Asia dan Eropa. Dari mana Mirna memperoleh video-video ini? Rasa-rasanya aku tidak pernah mengunduh dan memberinya. Apakah Mirna mengunduhnya sendiri? Hhhmmm.

Aku sulit menerima dengan logis kejanggalan ini. Kantuk lagi pun susah dijemput. Alhasil, aku mencoba mengunduh aplikasi yang dapat memonitor pesan yang telah terhapus secara sengaja di ponsel Mirna. Aplikasi itu aku akan sembunyikan baik notifikasi hingga logonya dari layar depan. Ketika aku selesai mengunduh dan menyetel aplikasi tersebut. Ada chat WA dari Pak Yanto dini hari begini.
ASTAGA. Yang dikirimkannya ke istriku pun tak main-main. Sebuah FOTO yang menampilkan PENIS PAK YANTO YANG SEDANG MENGACUNG TEGAK KE ATAS DENGAN KANTONG KEMIH TERGANTUNG dikelilingi rambut halus hitam nan ikal yang mencuar ke segala arah bak singa jantan.

PAK YANTO: JADI SUSAH TIDUR 'DIA'. KAPAN DIA DAPAT JATAH DARIMU SAYANG?

AKU TERBUNGKAM SERIBU BAHASA. APAKAH INI WAKTU YANG TEPAT MENGGUGAT JANJI ANTARA AKU DAN MIRNA? KIRANYA JUGA APA ALASAN YANG AKAN MIRNA BERIKAN SAAT AKU MEMPERLIHATKAN CHAT BARUSAN?

JEPRET

Akhirnya Aku bisa letakkan ponsel Mirna tanpa rasa penasaran Pak Yanto akan mengirimkan chat lagi. Namun rekaman chat yang baru masuk itu aku hapus dulu jejaknya setelah berhasil kuoper ke ponselku agar Mirna tak mengetahui bahwa aku yang telah membacanya. Aku tidak boleh gegabah. Aku mesti sabar dulu seraya mengumpulkan semua bukti yang kuharap bisa membungkam istriku sehingga ia tak mampu membela diri lagi.

Pagi Hari..................

"Apa jadi Bu Aminah masak-masak bareng kamu hari ini?"

"Jadi, Papa mau dimasakkin apa?", tanya Mirna mempersiapkan pakaian kerjaku berupa kemeja biru bergaris putih dengan celana hitam. Kami terlibat pembicaraan di kamar saat aku selesai mandi.

"Terserah kamu sayang, apapun pasti akan kumakan kok"

"Bener loh yah"

"Iyaaaa"

"Sarapan udah siap yaa"

"Kamu mau ke mana?", tanyaku memandang Mirna melepas dasternya kemudian mengenakan kaos berkerah ketat berwarna biru muda dan celana training pendek hitam.

"Ke pasar sama Bu Aminah"

"Serius pakaiannya begitu?"

"Iya, sekali-kali paah, bikin kamu cemburu"

"Ganti deh"

"Enggak, gini aja"

"Eemmmm sengaja yah?", balasku menggeleng-geleng heran. "Awas nanti malah aku dituduh-tuduh gak ada usaha larang kamu ganti baju, padahal udah kasih tahu loh ya..."

"Enggak akan"

"Beneran yakin itu? Tumben... Gak takut ada yang colek-colek. Godain...?"

"Tenang, gak akan, kan ada bu aminah"

"Dia jago silat?"

"Ishh bukan, Setidaknya ada yang nemenin, maksudnya gitu loh mas"

"Hhhhmm begitu"

Mirna keluar menuju ke kamar mandi. Aku lekas mengambil kesempatan memegang ponselnya siapa tahu sudah ada beberapa chat yang dihapus oleh istriku.

Pagi Hari Pukul 05.57

Pak Yanto: kamu masih pakai?
Pak Yanto: urghh untung semalam Riko gak masuk kamar mandi. anget gak?
Pak Yanto: tetep enggak puas, sayang. Sampai kapan begini terus?
Pak Yanto: kurang puas dengan chat seks semalam. Pengen yang beneran. Oh y bukannya katanya rutin kamu hapus-hapusin?
Pak Yanto: pengen dapat jatah dari kamu...
Pak Yanto: jatah apa yah...
Pak Yanto: hehhee jatah ditemenin tidur ma kamu, Mirna
Pak Yanto: kenapa gak? Nyusu ma kamu dulunya gak boleh sekarang dah dua kali. Hehehehe
Pak Yanto: Jangan dong sayang
Pak Yanto: eh iya maaf. Hehehe. Khilaf. Desah kayak semalam lagi aja gimana.
Pak Yanto: emmm yaudah gak usah.
Pak Yanto: mau banget. Boleh peluk pinggang kamu lagi?
Pak Yanto: supaya gak ada yang gangguin, biar kita dikira suami istri.
Pak Yanto: iya kayak kemarin.
Pak Yanto: yaudah terserah kamu.
Pak Yanto: aku tunggu di tempat bu aminah.

JEPRET

Mirna betul-betul sudah terlanjur kelewatan. Aku kira akan masturbasi sendirian sebagaimana biasanya, melainkan masturbasi bersama Pak Yanto. Kurang ajar! Aku sudah sangat tidak peduli niatnya bagaimana entah bermaksud mengerjai Pak Yanto atau bukan, yang jelas aku mau membuat perhitungan dengan istriku apakah arti ini semua chat Pak Yanto yang telah masuk kemudian dihapus. Sekarang Aku memiliki peluang untuk membusungkan dada tinggi-tinggi di hadapan istriku, dengan tegas menunjukkan diri bahwa aku adalah suami yang pantas dihargai dan dihormati martabatnya. Karena keadaan sudah berbalik, aku bisa leluasa menghukumi Mirna karena telah melanggar janji. Menjatuhkan TALAK bahkan CERAI sangatlah mungkin terjadi. Namun aku masih menahan-nahan diri demi mengumpulkan satu per satu bukti, termasuk potongan percakapan chat yang telah dihapus oleh Mirna.

"Mass, aku ke pasar dulu ya"

"Ya, kamu hati-hati di jalan, ini mau ke rumah bu aminah?

"Iya, ditungguin di sana"

"Sekali-kali bu aminahnya suruh ke sini"

"Kasian dong Mas, masa orang tua nyamperin yang muda"

"Baiklah, berdua aja, gak bertiga?"

"Heh? Maksud kamu?"

"Kali aku diajak", aku menyindir.

"Beneran mau ikut? Kan kamu harus ke kantor. Nanti telat loh"

"Emmm, eh iya bener, gak bakal sempet ikut", jawabku usai menengok jam dinding.

"Yaudah aku berangkat duluan ya", ucap Mirna, sembari mengambil ponsel, ia memungut kantong belanja dari bilik lemari, kemudian ia pamit pergi.

"Hati-hati say"

Aku hendak mengikuti langkah perjalanan istriku agaknya benar ke pasar berdua atau tidak. Namun situasi sangat meragukan, dilema dengan aku harus berangkat kerja. Apakah aku mengambil izin tidak masuk kerja hari ini hanya untuk mencari tahu apa yang dilakukan Mirna di pasar bersama Bu Aminah dan Pak Yanto? Agak konyol.

"Jangan ditutup"

"Kok belum berangkat Pah?", tanya Rengga keluar dari kamarnya mengenakan kemeja flanel dan celana khaky, ia hendak berangkat kuliah.

"Papa masuk siang hari ini"

"Kenapa?"

"Ada yang mau diurus", aku mengeluarkan kunci motor dan memberikannya ke Rengga.

"Ini beneran aku boleh pakai?"

"Enggak nginep kan?"

"Enggak, Sore udah keluar dari kampus malah"

"Yaudah bawa"

"Hahahahah beliin motor dong pah"

"Dikasih pinjem makai, malah mintanya yang lain"

"Hehe"

"Kamu kalau sudah dibeliin motor, papa yakin keluyuran ke mana-mana. Gak dikasih aja, pulang malam terus"

"Namanya juga anak laki-laki"

"Yaudah berangkat sana", Rengga lantas mencium tanganku. Ia berjalan ke arah halaman depan. Sebelum masuk ke kamar Rengga, aku memindahkan sekaligus menyembunyikan terlebih dulu barang-barang yang biasa aku bawa pergi bekerja. Tak lupa menghubungi pihak kantor bahwa aku hari ini berkenan ambil cuti sehari.

Di dalam kamar Rengga yang sudah kukunci, aku rebahan sejenak di tempat tidur putraku, rasa-rasanya sungguh nyaman yang namanya libur kendati sehari sekedar memata-matai aktivitas Mirna di rumah. Aku tak ada niat sama sekali menguntitnya ke pasar. Alangkah lebih baik mengetahui keseharian istriku. Apakah betul seharian di rumah terus? Apakah ia benar memasak? Apakah ia benar lelah bersih-bersih rumah? Bukan tidak percaya. Siapa tahu hari ini ada aktivitas lain. Ya, memasak bersama Bu Aminah. Akankah aku nanti menunjukkan diri? Belum tahu. Aku membuka ponsel, menonton Youtube lalu memgantuk lagi. Memang enak melanjutkan tidur di pagi hari.

TOK TOK TOK.....

"Rengga! rengga! kamu enggak kuliah sayang?!

Suara Mirna dan ketukan pintu menyadarkanku yang terlelap di depan ponsel yang menyala. Untung saja suara yang keluar dari youtube menyala otomatis ini volumenya sudah aku kecilkan sehingga Mirna tidak akan mendengar dari luar. Akan tetapi, aku menghadapi problem Mirna mengira Rengga belum berangkat kuliah. Mengapa bisa ya? Aku terheran-heran. Aduh! Kacau! kalau sampai ia menghubungi Rengga. Barangkali putraku ini hampir tidak pernah mengunci kamarnya ketika meninggalkan rumah. Oleh karena itu, Mirna mengira Rengga masih di kamar. Aduh, apa yang harus kuperbuat sekarang. Aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh ketahuan berada di sini. Sebaiknya aku menghubungi Rengga lebih dulu sebelum Mirna mengetahui bahwa aku yang berada di dalam.

Pagi Hari Pukul 07.45

Rengga: lagi ngapain sih kamar aku pakai dikunci-kunci segala.
Aku: papa takut kemalingan. Lagian kamu juga laptop ditinggal kan? Kenapa enggak dibawa?
Rengga: hari ini kan aku bilang cuman sampai sore pah. Gak banyak catatan atau presentasi yang mesti dibuat pakai laptop. Ngeberatin juga.
Aku: emmmhh... kunci papa bawa.
Rengga: papa pulang malem.
Aku: selalu lebih cepet dari kamu.
Rengga: heheeheh [Aku tahu kebiasaan Rengga. Ia selalu mengatakan pulang sore, faktanya akan malam-malam juga tiba di rumah karena pasti mampir ke tempat temannya]

Setelah mengamankan situasi, aku tidak mendengar suara Mirna mengetuk pintu dan memanggil nama anak kami berdua. Aku penasaran apakah dia sudah mulai aktivitas memasaknya atau cenderung beristirahat. Aku coba tanyakan lewat ponsel saja. Akan tetapi, aku tunggu sekitar lima menit tidak ada jawaban. Apa jangan-jangan dia justru sedang keluar rumah. Aku mau tidak mau harus membuka pintu pelan-pelan, mengintip pergerakan di luar sana, siapa tahu istriku mondar mandir melintas di depan kamar Rengga yang bersebelahan dengan ruang makan keluarga. Usai yakin lengang, tak ada suara langkah kaki. Aku berusaha keluar dari kamar Rengga hendak mengendap-ngendap memeriksa. Baru pintu terbuka lebar sedikit, kembali suara Mirna terdengar, aku segera tutup pintu buru-buru secara perlahan, tak menimbulkan bunyi. Suaranya tidak sendiri, ada suara lainnya, yakni suara pria yang sudah akrab telingaku mendengar.

"Ngapain ke sini? Duduknya di luar aja kenapa sih?"

"Aku ke sini mau ikut masak-masak"

"Yaudah duduknya di luar dulu pak", ujar Mirna mendesak Pak Yanto duduk di luar bukan duduk di sofa ruang tamu.

"Di luar ngobrol berdua malah jadi fitnah, mau ada gosip macem-macem dari tetangga?"

"Ngapain juga ke sini, Bu Aminah juga masih di rumahnya. Aturan nunggu bu aminah dulu"

"Kalau bisa lebih cepat, kenapa harus nunggu yang lama?", tanya Pak Yanto sudah duduk di sofa. Seperti dugaanku, Mereka pergi bertiga. Pak Yanto ikut pergi menemani. Ia mengenakan kemeja lengan pendek dan celana panjang bahan hitam yang sepertinya sama dengan yang digunakan semalam. Mirna masih menggunakan kaos ketat yang digunakannya pergi ke pasar pun celana pendeknya tak ada niat diganti, sedangkan kedua mata Pak Yanto sudah jelalatan memandangi tubuh istriku.

"Pulang dulu pak, sana"

"Bu aminah bentar lagi nyampe, untuk apa pulang"

"Eh iya makasih dah mau nganterin ke pasar lagi, hehe. Tapi, musti rapi gitu ya kalau ke pasar? Kan bisa pakai kaos kerah gak mesti kemeja"

"Kamunya sudah cantik-cantik seperti ini, masa aku yang ngawal gak tampil gagah. Hahaha", ujar Pak Yanto tergelak.

"Hhhmmm gaya-gayaan betul ih", tersipu Mirna. "Pak Yanto udah sarapan?"

"Sudah jangan repot-repot, aku sudah sarapan sebelum minum obat tadi"

"Emmm, kalau gitu mau minum apa?"

"Sudahlah Mirna, kamu enggak usah repot, aku ke sini mau memasak bareng kamu. Bukan mau bertamu"

"Oh ya, yaa hehehe. Ke mana ya Bu Aminah kok belum nongol-nongol", ujar Mirna memeriksa ponselnya. Kemudian ia berjalan masuk ke kamar seraya fokus menatap ponsel, tak sadar kedua mata nakal Pak Yanto melirik ke arah bokong Mirna. Dalam kondisi pintu terbuka, aku tidak tahu apa yang sedang Mirna lakukan di sana. Kemudian ia berpindah ke dapur, menenteng celana dalam kotor lalu ditunjukkan di depan muka Pak Yanto. Anehnya, Pak Yanto yang seharusnya marah atau terkejut malah senyam-senyum. Ini mungkin berkaitan dengan chat yang dihapus Mirna.

"Cuciiin...."

"Heheheh... mau sampai kapan begini terus?", tanya Pak Yanto mencengkeram celana dalam Mirna, lalu Mirna melepaskannya begitu saja, membiarkan Pak Yanto mengamati detail, tepatnya di titik selangkangan istriku. Lalu hidungnya mengendus-ngendus menciumi bau yang teruap. "Masih kecium bau memekmu yang harum, hehehe"

"Ihhhh gak jijik?"

"Kamu juga enggaj jijik kemarin pakai yang ada pejuku masih anget angetnya? Heehe"

"Hhhmm jangan dibahas"

"Mirnaa...", Pak Yanto duduk bergeser lebih dekat dengan istriku.

"Apaa?"

"Mau sampai kapan kita begini terus?"

"Pak Yanto ajak istrinya makanya kemari", jawab Mirna menatap Pak Yanto.

"Kalau aku udah ajak istriku?"

"Ya enggak gimana gimana"

Pak Yanto melihat plester menempel di bagian leher Mirna. "Diplester ya bekas yang kemarin?"

"Iyaa, lagian udah tahu dibilang jangan, tetep aja dilakuin"

"Hehehe maaf", ujar Pak Yanto membetulkan rambut Mirna yang menempel di bahu. Dia mengurai seraya menatap wajah Mirna. Entah mengapa Mirna diam saja, semustinya ia langsung menepuk tangan Pak Yanto.

"Aku sebetulnya takut Pak"

"Takut kenapa?"

"Enghhhhh....", Mirna merundukkan muka.

"Ayo ceritakan, dipendem nanti malah jadi penyakit"

"Emmm takut Mas Riko tahu semuanya. Awalnya kan memang kita sepakat mau bantu Mas Riko keluar dari fantasi aneh-anehnya, tapi jadi keterusan ginih. Apalagi aku punya janji sama Mas Riko......"

"Janji apa?"

"Kalau ada salah satu dari kita nyeleweng, salah satunya boleh menggugat cerai"

"Hhhhmm masalah itu...", Pak Yanto memegang dagu Mirna, mengangkatnya hingga mereka bertatapan. Mereka sudah duduk saling mendekat seolah-olah lupa status masing-masing. Aku terheran-heran dengan pemandangan ini. Niat dan Rencana yang telah disusun oleh Mirna bermaksud untuk membantuku lepas dari fantasi yang tidak keruan malah berakibat Pak yanto dan Mirna terjerumus birahi yang sungguhan. Ini sama saja terapi menyembuhkan dengan efek samping munculnya penyakit lain. HADUH.

"Kamu jangan khawatir, aku kan udah pernah bilang tidak ada sama sekali niatku dari dalam merebut kamu dari suamimu. Aku tetap mencintai istriku, Mirna. Dan kamu, semustinya juga tetap mencintai suamimu", lanjut Pak Yanto.

"Terus nanti reaksi Mas Riko kalau tahu itu bagaimana?"

"Aku yang akan menjelaskannya di depan Riko", ucap Pak Yanto memegang tangan istriku, menatap raut cemasnya.

"Yakin?"

"Iyaaa"

"Mau ngomong apa?"

"Nanti kamu lihat sendiri"

"Ngomong dulu di sini", desak Mirna

"Aku akan bilang kalau hubungan kita ini sekedar penguat hubungan rumah tangga masing-masing, anggap kita benar-benar mewujudkan fantasi suamimu, Mirna"

"Loh kok begitu? Sama aja bohong dong?"

"Daripada suamimu cari perlarian dari fantasinya? Atau malah cari pelampiasan yang lain? berfantasi yang lain-lain lagi?"

"Hhhhhmmm, bener sih, tapi yakin bapak mau bakal ngomong begitu? Kalau Mas Riko enggak sependapat?"

"Yakin, aku yakin sekali"

Mendengar pernyataan Pak Yanto, mendadak kepalaku pusing. Aku berbalik badan. Menghela nafas berulang-ulang. Apakah benar aku akan mengiyakan ucapan Pak Yanto yang nantinya akan dikatakan olehnya langsung di hadapanku? Aku memejamkan mata. Ini sama saja kemarin menuntut diriku agar merobohkan fantasi yang kini sudah menjadi puing-puing. Kemudian Pak Yanto dan Mirna berencana mendirikannya ulang. Apakah aku rela? Mirna disetubuhi oleh Pak Yanto kini bukan isapan jempol atau angan-angan yang menduga-duga. Ia mendekati nyata. Terlambat, ya terlambat. Salah? Salah untuk sesuatu yang terwujud belakangan? Bukankah dalam hidup kita pernah berharap, namun tidak terwujud. Namun belakangan hari justru kesampaian?

Kalau sudah begini, apakah aku harus mengelak dari harapan yang dulu aku sangat mendambakannya. Aku bingung, merasa dipermainkan, tetapi benar-benar tidak ada yang sengaja mempermainkan. Aku tidak bisa menyalahkan Mirna atau Pak Yanto. Kalaupun harus ada yang disalahkan, ya justru diriku ini. Hubungan Mirna dan Pak Yanto tidak akan pernah ada kalau fantasiku yang aneh-aneh ini tidak ada. Terus Aku harus bagaimana?

"Udah bisa senyum sekarang?"

"He'eh"

"Bu aminah mana ya kok belum datang-datang?"

"Katanya dia mau anter cucunya dulu ke puskesmas", jawab Mirna menunjukkan chat dari bu aminah ke Pak Yanto.

"Wah kok begitu, lah terus ini gimana?"

"Ishhh jangan pegang-pegang", ucap Mirna karena Pak Yanto memegang lengannya.

"Oh ya mangap-mangap"

"Hehhe Maaf, bukan mangap"

"Terus gak boleh pegang-pegang ya?"

"Engghhh, pegang yang lain aja", Mirna kemudian melolosman kaos yang dikenakan. Kaos berkeringat itu dijatuhkan ke lantai. Pak Yanto terkekeh. Sepasang BH berwarna merah yang membungkus payudara Mirna terpampang di hadapannya. Mirna menggerai rambut ke belakang agar Pak Yanto bisa melihat jelas. Tak memberi komentar, Pak Yanto menyusul Mirna. Ia membuka kancing kemejanya yang pengap karena sedikit kekecilan. Ia jatuhkan, menimpa kaos mirna. Istriku memandang tubuh pak yanto. Badan gembul itu memiliki sepasang lengan yang berotot. Keringat membasahi leher Pak Yanto. Berikutnya kutang putih yang melekat disingkap lepas dari badan. Mirna dan Pak Yanto saling melihat tubuh mereka masing-masing.

"Pak Yanto ngapain buka baju?"

"Kamu kenapa gak dibuka BH-nya?"

"Hihihi", Mirna tersenyum. "Bukain dong"

"Hehehehe", Pak Yanto kegirangan mendengar instruksi dari Mirna. Ia yang sudah tak sabar hendak memeluk istriku. Namun ia malah menggerayangi payudara Mirna.

"Kenapa gak dibuka?"

"Hhhhmmmmffhhhhh", pertanyaan Mirna dijawab oleh pagutan bibir Pak Yanto di bibir Mirna. Mereka berciuman, beradu lidah, dan berpelukan. "Hhhmmmmfffhhh". Kedua tangan Pak Yanto kemudian menyingkap kedua Cup BH Mirna. Ia gerayangi puting susu istriku seraya mencumbu.

"Aaaahhhh"

"Ummmmhhhhh..."

"Paaakk, tolong isepin tete aku yang kemarin belum diisep"

"Urgh, kenapa?", tanya Pak Yanto kedua mata menyorot ke payudara istriku.

"Keraasss banget pentilnya"

"Urghhh,, cyooooppppphhhhh, srupppptttt"

"Aaaaaaaaaauuuuhhhh"

Tubuh Mirna mengambung, mata terpejam. Pak Yanto asyik menyusu padanya. Salah satu tangan Pak Yanto meraba-raba puting mirna yang menganggur. Ia pilin pelan-pelan nan lembut sebelum pada akhirnya puting itu giliran disambar bibir gelap Pak Yanto. Lidahnya menjulur, membasahi seluruh permukaan puting susu Mirna dengan ludahnya. Mirna sungguh menikmati tanpa perlawanan.

"Sleerrffhhh"

"Aaaaiiihh"

Pak Yanto lalu mencumbu leher Mirna kembali. Sekarang betul-betul ia lepaskan pengait BH Mirna. Tak tanggung-tanggung, celana pendeknya pun turut dipeloroti. Mirna sempat sungkan, namun atas dorongan nafsu birahi Pak Yanto mengabaikan permintaan istriku. Ia lekas mempeloroti hingga celana pendek itu terhempas ke bagian sebelah kanan sofa. Mirna memalingkan badan ke samping, merapatkan kedua pahanya. Barangkali ia malu karena kali pertama nyaris telanjang di depan pria lain yang bukan suaminya. Pak Yanto tidak membabi-buta. Ia berdiri melepaskan celana panjangnya dan menggeletakkan celana dalam di atas celana bahan yang bertumpuk dengan kemejanya. Mirna pura-pura buang muka, sedangkan ia sembunyi-sembunyi melirik ke arah kokohnya batang kemaluan Pak Yanto.

"Mirna gak dimasukkin"

"Iyaaa, gapapa, kocokin kayak kemarin saja", ucap Pak Yanto menghampiri tubuh Mirna yang rebahan di sofa.

"Mana, sinihh", jawab Mirna setelah kekhawatirannya pupus takut disetubuhi, Ia memegang penis Pak Yanto. Sebagaimana kejadian di rumah sakit. Ia kocok maju-mundur penis tersebut dengan pelan dan teratur sehingga Pak Yanto lambat laun melenguh nikmat, seraya berdiri memandang Mirna yang duduk mengurut batang penis yang hampir tiap hari ngaceng apabila teringat atau bertemu Mirna.

"Ooorghhh enakkk"

"keras banget ya kalau udah tegang"

"Iyaaah, bikin sange melulu kamu"

"Gak bisa bayangin yang lain, artis atau model, kan banyak yang seksi?", tanya Mirna sembari tetap mengocok penis Pak Yanto.

"Mikirinnya kamu, kok bayangin yang lain"

"Atau nonton video porno, yang bapak share ke aku kan bisa?"

"Urghhhh tetep aja yang aku bayangin dalam video itu aku berhubungan seks dengan kamu, Mirna"

"Hhhhmmmm....."

Aku menyangka itu merupakan segmen Pak Yanto mengakhiri nafsu birahinya, serupa yang dilakukan mereka berdua di rumah sakit. Pak Yanto memaksa tubuh Mirna rebahan di sofa. Mirna sontak terkejut. Dia mengira Pak Yanto akan menyetubuhinya, melainkan ia hanya menindih tubuh istriku. Tubuh mereka kini berpautan, mencolok perbedaan warna kulit Pak Yanto yang gelap dan Mirna yang terang dari bongkahan pantat Pak Yanto dan kedua paha mulus istriku yang terkangkang. Tersisip pula batang penis Pak Yanto di belahan vagina istriku yang terhalang celana dalam. Aku tak bisa melihatnya lagi. Yang terpandang ialah Mereka berdua berciuman mesra lalu saling bercumbu.

"Hhhmmmffffhhh"

"Aaaaaaahhhhhh"

"Hangat tubuhmu, Mirna", ucap Pak Yanto bersemuka dengan istriku

"Iyaaaah"

"Urghhhh...", Mirna tampak pasrah tubuhnya ditimpa Pak Yanto. Kemudian Pak Yanto berusaha bangun. Ia memandangi celana dalam Mirna. Ia tertarik melihat isinya, namun Mirna mencegah Pak Yanto mencopot, kendati Lelaku paruh baya tersebut sudah memohon.

"Aku kocokin lagi aja ya?"

"Iseeppin mau?", tanya Pak Yanto. Keduanya duduk berhadapan.

"Tapi habis itu udahan ya? bu Aminah udah dalam perjalanan ke sini."

"Bagaimana maunya kamu saja"

Memenuhi permintaan Pak Yanto, Mirna mencengkeram bulat-bulat penis tersebut. Ia kocok-kocok terlebih dulu, maju-mundur sehingga Pak Yanto mengaduh merem-melek. Selanjutnya Mirna ciumi kepala penis Pak Yanto, disentuh kantong kemihnya. Ia mainkan. Kemudian Mmenjulurkan lidah untuk membasahi kemaluan yang masih mengeras itu. Dia jilati, baru kemudian mengemutnya.

"Hhhmmmmmpphhhhh"

"Sesuai bayanganku, enak kalo kamu yang ngemut kontolku, oughhh"

"Hhhhhmmmmppphhhh"

"Ougghhhh, terusss"

"Hhhhhmmmppphhh aaaaahhh"

"Hhhhmmffffffhhh", ketika Mirna berhenti sejenak mengulum. Mereka berdua sempat berciuman sebelum lanjut lagi Mirna mengemut penis Pak Yanto. Lelaki itu terus mengeluh nikmat seakan ini rumahnya. Ia tuntun kepala mirna naik turun bahkan disambi meremas-remas pantat Mirna. Ia elus badan istriku, belai-belai rambutnya. Entah Mirna masih ingat aku atau tidak.

"Oooughhhh dikit lagi, terusss"

"Hhhhmmmmppppphh"

"Ouughhhhh..Fantasi Riko itu mungkin benar, tubuhmu kalau disaksikan bersetubuh dengan laki-laki lain bikin birahi, tetapi buatku tetaplah birahi yang sesungguhnya kita seperti ini", ujar Pak Yanto.

"Hhhhhmmmmppphhh"

"Ooughhhhhhh dikit lagi, dikit lagiii", pantat Pak Yanto terangkat ke atas. Ia hampir mencapai klimaksnya.

"Hhhhmmmmppphhh hmmmppphhh"

"Ooorghhhh lebih cepat, aku sudah tidak kuat, Mirnaaa"

"Hhhhhhhmmmmmpppphh"

CROOOOTTTTTTTT CROOOOOTTTTT

Beberapa kali hentakan, penis itu menyodok-nyodok mulut istriku. Robohlah tubuh Pak Yanto. Kepala dan badannya lekas ambruk. Mirna melongo, membuka mulut, ditumpahkan sperma Pak Yanto di telapak tangannya. Pak Yanto terkekeh. Mirna tersenyum. Keduanya pun berpelukan lagi.

Setelah meyakini tidak ada aktivitas lanjut dari keduanya. Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur Rengga. Aku berusaha mengingat-ngingat yang dilakukan oleh Mirna dan Pak Yanto. Apakah aku harus rela merestuinya seandai Pak Yanto ingin menyetubuhi istriku? Aku galau, menghukumi Mirna pun juga. Bagaimana selanjutnya hubungan rumah tangga kami? Astaga penisku ngaceng. Rasanya aku ingin adegan Mirna dan Pak Yanto diulang.

MAMPUS
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd