Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

5.

Sudah hampir satu minggu lamanya aku selalu pulang bersama Rina. Sekarang aku punya tugas baru. Setiap kali bis Transjakarta berdesakan, aku selalu berdiri di belakang Rina, berusaha melindunginya agar tidak digesek-gesek oleh penumpang lain. Tapi justru dalam keadaan itu, malah aku yang bergesekan dengan Rina. Selangakanku hampir selalu menekan dan menggesek pantatnya yang dibalut rok span ketat pendek, bau parfumnya selalu menggoda hidungku, dan burungku selalu tegang tak tertahankan.

Setiap hari adalah pergulatan batin yang luar biasa buatku, karena di satu sisi aku masih tetap menghormati Rina dan tidak ingin melecehkannya, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa menahan diri. Dengan sekuat tenaga, aku selalu berusaha menahan agar jangan sampai ejakulasi di dalam bis. Setiap turun dari bis, penisku berdenyut-denyut, nafasku ngos-ngosan, tapi aku berusaha tetap tegar.

Tapi hari ini, saat kami turun dari bis reaksi Rina agak berbeda. Biasanya dia cuma senyum-senyum meledekku yang kesusuahan menahan nafsu, kemudian mengucapkan terima kasih karena aku sudah melindunginya. Hari ini, dia sepertinya menyadari betapa beratnya penderitaan batin yang aku alami selama satu minggu.

"Mas?" panggil Rina.

Lamunanku pecah. Aku gelapan menanggapinya.

"I…iya? Kenapa?" ucapku.

"Mas tuh yang kenapa. Semenjak turun dari busway mukanya kosong kaya orang kesambet setan."

Aku menghela napas berat, menenangkan diri supaya tidak terlalu kelihatan tegang. "Oooh…nggak kok, ga apa-apa."

"Hmm...." Rina memegang dagunya, seperti filsuf yang sedang berpikir.

"Hmm apa?"

"Aku tau. Pasti gara-gara itu ya?"

"Itu apa?" Aku pura-pura bodoh.

"Itu...." dia menggerakkan dagunya, seperti menunjuk selangkanganku.

"Yaaaa, lo tau lah...."

"Duuuh, aku jadi ngerasa bersalah," ucap Rina sambil cengengesan.

"Hahaha, kalau ngerasa bersalah ya tanggung jawab dong!" kataku spontan. Kemudian aku merasa salah bicara.

"Idih! Sembarangan ya!"
Rina manyun, mulutnya monyong, pipinya gembung, tapi dia malah jadi kelihatan imut.

"Canda, Rin! Becandaa! Lo mah, gitu aja manyun!" tawaku.

Rina tidak menjawab. Selama beberapa saat, kami tidak bicara. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa dia ngambek? Sensitif sekali, bukannya dia yang mulai? Aku merasa bersalah dibuatnya. Tapi saat kami hampir sampai di gang menuju kostannya, Rina tiba-tiba memecah keheningan.

"Mas mampir dulu yuk?" ajaknya.

"Ah, nggak ah. Ga enak, Rin...."

"Ayolaaah. Aku kan mau bertanggung jawab...."

"Hah?" aku bengong.

"Tapi nggak bisa banyak-banyak ya Mas. Soalnya aku udah nganggap Mas Panji kayak kakak aku sendiri, jadi aku cuma bisa bantu ala kadarnya aja. Yaah, itung-itung sebagai bentuk terima kasih aku," ucap Rina malu-malu sambil menunduk, lalu melirik ke arah penisku yang masih keras, malah semakin keras.

"Ya?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. Saking excited-nya, aku tidak bisa berkata apa-apa dan cuma mengangguk. Kemudian aku mengikuti Rina dari belakang tanpa bicara. Mataku tertuju ke tubuhnya. Ia memakai kemeja garis-garis biru yang ketat, rambutnya dikuncir, dan rok hitam ketatnya sejengkal di atas lutut. Saat berjalan, pantatnya yang bulat mungil itu bergoyang-goyang mantap.

Dia mau tanggung jawab? Kira-kira apa maksudnya? Dia mau melakukan apa kepadaku? Imajinasiku semakin liar. Haruskah aku mengikutinya? Tapi bagaimana kalau kami kebablasan melakukan hal-hal yang "diinginkan"? Jujur, aku bernafsu terhadap Rina, tapi aku tidak mau merusak hubungan baik ini. Lagipula Rina sudah punya pacar, aku tidak mau merusaknya. Tapi ereksiku terlalu keras untuk dilawan. Akhirnya aku cuma diam mengikuti langkah Rina sampai ke depan pagar kostannya.

Rina membuka pintu pagar.

"Yuk, Mas...." Rina menoleh kepadaku sambil tersenyum manis.

Jantungku berdebar sangat kencang. Penisku berdenyut-denyut. Kulangkahkan kakiku masuk ke halaman tempat kost Rina. Kuyakinkan diriku sendiri: aku tidak salah. Rina yang mengajak. Aku tidak salah. Aku bukan penjahat kelamin, aku cuma menerima tawarannya saja, suka sama suka.

Namun ketika kami tiba di teras, tiba-tiba saja Rina berhenti. Ada seorang laki-laki sedang duduk sambil memegang HP.

"Lho…Kok ...." Rina terbata-bata.

"Surpriiiiiise!" ucap lelaki itu sambil berdiri dan merentangkan tangannya.

"Yaaang! Kamu kok ga bilang-bilang sih kalau pulang...." Rina berlari memeluk laki-laki itu.

"Namanya juga surprise, honey!" dia mendekap Rina dan mencium keningnya. "Aku sengaja Ga kasih tau kamu kalau dari kemarin aku udah liburan semester. Terus aku dengar dari mama kamu kalau sekarang kamu kost di Jakarta. Jadi ya aku ke sini deh."

"Untung kamu nggak nyasar!" Rina tertawa.

"Mana mungkin aku nyasar di Jakarta. Ini kan kota kelahiranku." jawabnya sambil mengacak-acak rambut Rina.

Selama beberapa detik, aku seperti patung, lebih tepatnya seperti kambing congek, atau malah patung kambing congek.

"Lho …itu kan...." laki-laki itu melepaskan pelukannya, lalu menghampiriku.

"Hai, Ris! Lama nggak ketemu? Gimana kabarnya?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.

Aris menjabat tanganku dengan erat. "Wah, Ji! Kabar gue baik, Ji! Lo gimana? Baik kan? Ga nyangka ketemu lo di sini!"

Aris masih ramah dan cerewet seperti dulu. Dulu, kami memang seperti dua sisi koin. Aku yang dikenal kalem dan tak banyak bicara, sering nongkrong dengan Aris yang ramah dan pandai bergaul. Walau dia pintar bicara, tapi kalau urusan perempuan, dia jadi pemalu. Karena itulah, dulu aku sendiri yang harus mencomblanginya dengan Rina.

Kami bertiga duduk di teras. Rina mengambilkan air minum, lalu kami bernostalgia tentang masa-masa kuliah. Tiba-tiba saja aku lupa alasanku masuk ke tempat kost ini, dan sepertinya Rina juga.

"Kita makan malam di luar yuk! Aku tau tempat makan yang enak dekat sini," ujar Rina.

"Boleh tuh! Tapi kamu ganti baju dulu lah, masa' masih pakai baju kantoran," goda Aris.

"Oke darling!"

Rina masuk ke dalam kamarnya untuk berganti baju. Sementara itu, aku dan Aris masih mengobrol di teras. Aku menjelaskan kepadanya bagaimana aku dan Rina bisa satu kantor dan bahwa jalan pulang kami satu arah. Ternyata Aris sudah tahu. Dia malah berterima kasih karena aku telah menemani pacarnya. Tentu saja aku tidak menceritakan kepadanya tentang "tugasku" di bis.

Setengah jam kemudian, Rina keluar. Dia memakai kaos, cardigan, dan celana jeans. Kali ini rambutnya dibiarkan tergerai.

"Lama banget? Mandi dulu ya?" tanya Aris.

"Iya, hehe. Kalau ga mandi nanti bau keringet dong!"

"Yaudah, yuk!"

Waktu kami akan pergi keluar rumah, Rina sempat mendekatiku dan berbisik pelan. "Sori ya Mas...."

"Santaii..." aku tersenyum.

Semua khayalanku buyar. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Ada rasa kecewa, tapi juga ada rasa lega.
 
Penasaran dengan bentuk pertanggungjawaban Rina... Mohon jgn terlalu lama ya gan updateannya. :ampun::ampun:
Biar ga kentang karna sudah mulai :tegang: :D
 
duh kentangnya pake banget dong................
 
Kentang bin galooon...

Tapi emang kudu di kentangin. Biar jadi sering bulak balik buka trit ini...
 
Cerita kek gini asyik, kedepannya kalo diolah dengan baik dan bener, bisa jadi cerita yg sangat ngangenin nih ;)

Semangat berkarya, gan! :semangat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd