Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah ANDI ( bermula )

Bimabet
POV. ANDI

"Haah"

"Dimana ini"

Aku seperti berada di tempat yang sama sekali tak aku kenal. Seperti sebuah padang rumput yang hijau di atas bukit. Dengan sebuah pohon aneh yang sama sekali belum pernah aku jumpai, atau aku lihat di ensiklopedia. Tubuhku juga hanya terbalut celana dalam segi empat.

Ada seorang wanita cantik, seumuran ibu. Dia datang mengahampiriku. Bukan dia yang membuat aku ketakutan, tapi makluk makluk aneh yang mengiringinya. Bentuknya seperti ular, sangat besar. Tapi bukan ular. Ada banyak sekali, dan mereka mengelilingiku. Mereka seolah berebut ingin mematukku. Tapi kepala ular itu justru bentuknya seperti bibir wanita. Gigi geliginya juga seperti gigi manusia.

Dalam keadaan diperebutkan, aku sama sekali tidak bisa bergerak. Bahkan saat mereka mulai mengendusi selurih tubuhku, aku sama sekali tidak bisa bergerak. Si wanita itu berjalan menghampiriku dengan santainya. Kebaya hitam yang dipakainya, terlihat tembus pandang di mataku.

"Selamat datang pangeranku"

katanya saat dekat denganku.
Aku takut sekali meski dia sangat cantik. Sepertinya dia sosok nenek sihir.

"Oh, pusaka kamu sudah tegang ternyata" katanya lagi.

Dia mengulurkan tangan kanannya ke selangkanganku. Dan langsung menggenggam penisku. Ya, bagaimana tidak tegang, aku sudah puber. Melihat ibu sendiri hanya pakai handuk saja aku bisa tegang. Apalagi ini.

Payudaranya terlihat sempurna, seperti tidak pakai bra. Jariknya juga, seperti hanya selangkangannya saja yang tidak tembus pandang.

"Ya, aku suka anak jaman sekarang. Sudah lebih pinter, lebih ngerti tubuh wanita. Hahaha" lanjutnya.

"Sssttt... Aahhh" desahku keenakan.

Seumur - umur, baru ini aku merasakan penisku dipegang lawan jenis. Dimaikan lagi.

"Kamu akan menjadi lelananging jagad. Takdirmu adalah menjadi penakluk. Siapapun akan tunduk menjadi budak nafsumu. Tapi sebelum itu, aku harus menjaga pusaka paling berharga yang ada di tubuhmu. Karena takdirmu adalah menjadi pangeranku. Kamu akan menjadi penyelamatku. Menjadi pembebasku dan putraku, dari kutukan ini. Dengan pusaka inilah, kamu akan membebaskanku dan putraku" katanya lagi.

Harus aku akui, senyumnya begitu memikat. jauh lebih memikat dari gadis yang pernah aku suka, primadona sekolahku dulu. Tapi Aku semakin takut karena dia mulai meraba dan meremas - remas bola pelerku. Agak keras dia meremasnya. Sampai agak nyeri dan mulas perutku.

"Tenang saja pangeranku, kamu tetap boleh merasakan nikmatnya dunia. Kamu boleh menikmatinya sesukamu. Aku akan mengirimkan wanita - wanita untuk mengajarimu.
Tapi pastinya, pusaka yang ada di kemaluanmu ini, tidak aku ijinkan untuk keluar, pangeranku. Kamu hanya bisa merasakan nikmatnya saja. Jadi jangan bingung kalau kamu tidak bisa mengeluarkan spermamu, sayang. Hahahahaha"

Tertawanya membuatku semakin tak bisa bergerak. Kakiku bergetar merasakan ular - ular itu melata di sekujur tubuhku. Kirasakan lidah - lidah mereka menyeka hampir seluruh tubuhku.

"Haaah"

Aku terkejut bukan kepalang. Keringatku bercucuran dari dahi sampai masuk ke dalam mulutku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling.

"Aku masih di kamar. Berarti itu mimpi" gumamku.

Langsung saja aku sibakkan bed cover yang menutupi tubuhku. Aku raba - raba selangkanganku.

"Haaah... Masih ada" gumamku lega.

Mimpi apa ini, seram sekali. Seumur - umur belum pernah aku mimpi seburuk ini. Kalau malam hari aku bisa maklum. Ini masih siang, masa mimpi langsung seseram itu. Tenggorokanku langsung terasa kering. Kuambil celana kolor pendek dan kaos. Aku turun dari lantai dua, tujuanku, dapur.

"Mas andi, ditungguin kok lama banget sih?"

Sebuah suara menyambutku. Ternyata mbak yanti. Aku tersenyum geli. Iya sih, tadi kan aku naik buat ganti baju, terus turun lagi buat makan. Malah ketiduran. Mana mimpi serem lagi.

"Wow" gumamku lirih.

Saat aku sudah sepenuhnya di dapur, mataku disuguhi pemandangan tak biasa. Aku baru sadar kalau mbak yanti tadi memakai rok pendek. Sepertinya dia sedang memasang tabung gas. Posisi tempat tabung yang berada di dalam lemari bawah meja kompor, membuatnya harus membungkuk sangat rendah. Otomatis, rok pendeknya tertarik ke atas.

Untuk aku, paha itu sudah cukup membuat birahiku terpantik. Terlebih aku belum pernah melihat seorang wanita telanjang bulat. Dengan perlahan aku berjongkok dan merendahkan kepalaku hingga menempel di lantai.

"Woow" gumamku lagi.

Dari posisi ini aku bisa melihat secarik kain berwarna merah muda melingkari selangkangan mbak yanti. Ya, itu sempak mbak yanti. Ada sedikit warna hitam di pinggirannya, apakah itu rambut kemaluannya ya? Entahlah. Aku segera kembali berdiri waktu kulihat mbak yanti hendak menegakkan badannya.

"Iya mbak, ketiduran" kataku menjawab pertanyaan mbak yanti tadi.

"Lama amat delay nya?" Sahut mbak yanti.

"Namanya juga bangun tidur mbak. Lagian pake mikir dulu, ngapain mbak yanti nungging - nungging di situ?"

"Oh, itu masang tabung gas"

"Eh, mbak yanti ngerti kata delay tuh. Kok tadi bilang nggak bisa bahasa inggris? Hahaha"

"Eh, iya ya. Itu gara - gara ibu. Tadinya mbak juga nggak tahu. Pake diketawain lagi sama ibu. Tapi akhirnya dikasih tahu kalo delay itu, telat" jawab mbak yanti.

"Hahahahaa" aku yang mau minum jadi delay juga karena jawaban lucu mbak yanti.

"Monggo, menunya sayur lodeh, ayam goreng" kata mbak yanti menyiapkan makan siangku.

"Wah, enak nih"

"Masakan ndeso mas"

"Ndeso juga enak mbak. Pertama kesini kan menunya ini juga"

"Oh, iya ya. Lupa mbak. Ya udah, mas nikmati makan siangnya, mbak njemur baju dulu"

"Oh iya mbak"

"Ya"

"Nanti aku mau maen ah, ke rumah letisya. Boleh kan?" Tanyaku.

"Oh, ya boleh. Bagus malah, biar nggak jenuh di rumah. Belum sekolah ini kan"

"Yes, nanti kalo simbah nyariin, tolong ijinin ya mbak"

"Beres" jawab mbak yanti.

Dia lalu ke belakang membawa bak berisi cucian.
Tak perlu waktu lama buatku menghabiskan makan siangku. Aku lalu keluar rumah, menyusuri jalan yang yang hanya bisa dilalui satu mobil. Rumah letisya tidak seberapa jauh. Tapi kalau dikota, ini sudah jauh. Karena rumah dialah rumah terdekat dari rumah simbah. Di ibukota mana ada kampung seperti ini.

"Letisya" panggilku.

"Eh andi. Mau kemana?"

Seorang gadis seumuranku muncul dari dalam rumah. Dialah letisya. Tubuhnya sepantar dengan tinggiku,sekitar seratus lima puluh senti. Wajahnya tirus, seperti artis korea. Rambutnya panjang sepunggung. Cantiknya tidak kalah sama artis ibukota.

Dia hanya memakai kaos dalam seperti kaos dalam cowok, dan celana legging pendek. Putihnya kulit tangan dan kakinya terlihat jelas dimataku. Bisa melihat betis saja sudah untung, ini dikasih paha. Mana leggingnya hampir serupa sama pahanya, warnanya. Belum lagi tali bh nya yang terlihat jelas dimataku. Bahkan bh nya sendiri membayang di balik kaos dalamnya.

"Heh malah bengong" tegur letisya.

"Eh, anu... Ee.. ya mau maen ke sini. Jenuh dirumah terus" jawabku.

"Oh"

"Eh, kok kamu bawa ember gede, mau kemana?"

"Mau nyuci, di kali" jawabnya

"Kok di kali?"

"Sumurku surut, airnya dihemat buat minum sama masak. Kalo nyuci baju sama mandi, kita pergi ke kali"

"Loh, dirumah simbah aja. Sumurnya masih gede, airnya"

"Nggak usah, ngerepotin"

"Kok ngerepotin gimana"

"Simbah udah sering banget bantuin kita. Sampe kita nggak ngerti cara balesnya gimana"

"Ya elah, segitunya"

"Udah, aku mau ke kali. Mau ikut nggak?" Ajaknya.

"Mmm... Oke deh. Sini aku yang bawa"

"Nggak usah, ini baju kotor aku"

"Nggak papa" rebutku.

Jadilah aku membawa embernya letisya. Secara, kan aku cowok, masa hanya berlenggang tangan sedangkan dia membawa ember berat.

Ketika melewati jalan setapak, letisya berjalan lebih dulu. Bisa aku lihat bokongnya berlenggak - lenggok seirama langkah kakinya. Gairah remajaku jadi menggelora. Siluet sempak segitiga tampak jelas dari balik celana legging pendeknya. Membuatku berhayal, bagaimana bentuk kemaluan wanita. Penasaran aku ingin melihat secara langsung.

"Aku kok belum pernah liat sungai ya, dimana emang sungainya?" Tanyaku saat dia mulai kembali di sampingku.

"Emang agak jauh sih. Jarang juga yang ke sana"

"Lah, angker dong?"

"Hahaha... Kenapa? Takut? Dasar anak kota" ledek letisya

"Dih, siapa juga yang takut"

"Lah, sih. Nanyanya begitu"

"Ya, setahuku kalo ada kali, apa danau, jauh dari penduduk, suka ditempati makluk halus"

"Normalnya begitu sih. Tapi tenang aja, nggak angker kok"

"Oh"

"Jarang emang, kalo orang dewasa. Soalnya mereka lebih suka yang di hilir. Di sana bisa diakses mobil. Jadi kalo mau ambil air, bisa sekalian satu tanki" lanjut letisya.

"Oh, gitu. Terus, kenapa kamu ke tempat yang sepi?"

"Kejauhan kali, jalan kaki ya capek lah"

"Lah, ini juga jauh"

"Enggak lah, tuh udah keliatan" katanya menunjuk ke depan.

"Wow, kecil ya? Eh, kita turun lewat sini nih?"

" Iya lah, ati - ati" jawab letisya.

Letisya jalan di depan, memberiku petunjuk. Meskipun jalannya hanya satu, tapi dia bertingkah seolah aku bakal tersesat. Tapi, ya, sudahlah. Aku ikuti saja. Toh aku malah dapat untung.

Sesekali dia memutar tubuhnya ke belakang, memperhatikan langkahku. Memastikan kalau aku bisa melangkah dengan baik. Tapi sayangnya, dia malah tidak memperhatikan pakaiannya.

"Wow" gumamku lirih.

Sekalipun dia memakai bh di balik kaos dalamnya, tapi bh itu tampaknya sedikit kebesaran. Pada posisi yang tepat, aku bisa melihat bongkahan bulat yang selama ini pengen aku lihat sepenuhnya. Bahkan aku bisa melihat kedua putingnya sekaligus. Penisku menegang mendapat rangsangan visual itu.

"Nah, sampai" kata letisya.

Benar, kita sudah sampai di bawah. Rumpun bambu masih rimbun di sepanjang aliran sungai. Semakin ke atas, semakin rimbun. Dan lebar sungaipun semakin sempit. Pantas saja aku tidak bisa melihat posisi sungai ini. Sangat terlindung dari pandangan. Aku yakin, di atas sana adalah sumber mata airnya. Letisya mengambil alih ember yang aku pegang. Dia tersenyum manis, wajahnya sangat dekat, tapi masih mendekat, mendekat, dan mendekat dengan wajahku.

"Makasih ya" katanya.

Diiringi tawa kecil dia pergi menjauh dariku. Aku tertawa juga. Geli rasanya merasa dikerjai. Ada malu juga di hati.

Letisya mengambil tempat di sebuah kolam. Satu dari dua kolam yang berderet. Kolam di sebelahnya tampak lebih dalam, dengan sebuah undakan yang sekilas tampak seperti air terjun super mini.

"Kok di kolam situ?" Tanyaku sambil mendekat.

"Di situ dalem, andi. Nyuci sih emang di sini. Situ buat mandi"

"Emang siapa yang mandi di situ?"

"Ada lah. Sebelum ada korona, temen - temen suka maen ke rumah, terus mandi di sini"

"Temen sekolah?"

"Iya. Eh, bakal jadi temenmu juga nanti"

"Ya, kangen juga masuk sekolah"

"Besok kan masuk, uji coba tatap muka"

"Iya, udah nggak sabar" jawabku. Suasana hening sejenak.

"Mau dibantuin nggak?" Celetukku

"Ha? Emang kamu pernah nyuci baju?"

"Et dah, ya rutin lah"

"Kirain, anak orang kaya kan tinggal masukin mesin, beres"

"Hmm kaya nggak tahu ibuku aja. Kalo pakaianku, manual terus... "

"Hahahaha... Kasihan"

"Mau dibantu nggak?"

"Ini pakaian cewek, andi"

"Emang kenapa?" Tanyaku mendesak.

"Ya udah, kamu di depan situ gih, bilasin aja" jawab letisya.

"Oke"

Aku mengambil posisi di depan letisya. Duduk di sebuah batu seukuran kursi. Aku terpana waktu melihat kain pertama yang dikucek letisya. Bentuknya segituga, berwarna merah marun. Baik depan maupun belakangnya sama sama kecil. Sempat aku bentangkan sempak itu, dan aku sempat berkhayal membayangkan isi yang ditutupi kain itu.

"Eh"

Aku terkejut saat tiba - tiba ada air memercik ke mukaku. Ternyata letisya menyiramkan air sungai dengan tangannya. Aku tertawa dan balik membalas siraman itu. Hal itu terjadi lagi pada kain - kain selanjutnya. Pokoknya ketemu dalaman, pasti aku bentangkan dulu. Dan kita saling siram air. Sampai tidak sadar kalau pakaian kita sudah basah kuyup. Sempat aku terpana menyadari kalau bh biru letisya terlihat jelas nyeplak di kaos dalamnya. Bahkan sebagian payudaranya juga terlihat membayang.

"Gitu amat liatnya. Belum pernah liat toked, apa?" Tegur letisya sambil menyiramkan air ke mukaku.

"Hehe"

aku hanya bisa meringis malu ketahuan memperhatikan bukit kembarnya.

"Buruan bilasnya, sekalian pakaianmu aku cuci sini" kata letisya.

"Lah, terus pulangnya gimana?"

"Ya dijemur dulu lah, sambil main air dulu. Situ kan panas, tuh"

"Oh gitu. Tapi curang kalo cuman aku yang bugil" kilahku bersiasat.

"Bilang aja mau liat aku bugil kan? Hmmm"

"Hehehe"

"Udah buruan, terus copot"

"Iya, ini udah kelar. Bentar, aku masuk sana dulu"

"Ya elah, pake malu segala. Buru!" Ledek letisya.

Ya sudah, iseng saja aku lepas kaosku di depan dia. Aku berikan itu dengsn sopan padanya. Dan masih iseng juga, aku lepas celanaku sekalian sempakku di depan dia juga. Tak peduli penis sudah setengah tegang. Kuberikan celanaku padanya.

Letisya menerima celanaku dengan tangan kiri. Tangan kanannya dia pakai menutupi mulutnya yang menganga. Matanya lekat memandang selangkanganku. Memang, satu yang aku banggakan dari bapak, adalah warisannya pada yang satu ini. Penis besarnya menurun padaku. Punyaku termasuk yang paling besar diantara teman sebayaku. Meski aku pikir, ini masih ukuran normal.

"Ndi, itu apa?" Gumam letisya.

"Apa?" Tanyaku balik

"Itu" letisya masih terpana.

"Yang mana?" Tanyaku pura - pura bego sambil mendekatinya.

"AHH"

letisya terjengkang saat aku dekatkan penisku ke wajahnya. Matanya semakin nanar melihat penisku. Tapi dia tidak marah kuperlakukan seperti itu. Aku langsung balik kanan.

"BYUURR"

Aku melompat masuk ke dalam kolam. Tak kuperhatikan bagaimana ekspresi wajahnya. Untuk beberapa saat aku asyik berenang ke sana - kemari. Saat aku kembali memandangnya, kulihat dia sudah mulai mencuci pakaianku. Tapi dia masih terlihat syok. Tangannya mengucek kaosku, tapi tatapannya masih terlihat kosong. Aku naik perlahan menuju belakang letisya.

"Ahh"

Letisya memekik pelan merasakan ada yang memeluknya. Memang, aku memeluknya dari belakang. Tapi tak sepenuhnya memeluk.

"Udah bersih, apanya yang mau dikucek sya?" Tanyaku.

Letisya memiringkan tubuhnya ke kanan, dan menolehkan kepalanya ke kiri, tempat dimana kepalaku berada. Mata kami saling menatap. Aku tersenyum melihatnya terpaku.

"Ndi.... Kamu ngapain?" Tanya letisya kemudian.

" Ada juga aku yang nanya, kamu kenapa sih?" Kilahku. Dia terlihat gugup, tapi ada seulas senyum malu tersungging di bibirnya.

"Emang aku kenapa?"

"Lah, itu tadi, nyuci tapi liatnya kemana. Masih syok ya?"

Letisya tidak menyahut. Dia hanya menundukkan kepalanya. Bukan malu, tapi karena aku dengan beraninya menarik kaosnya ke atas.

"Mau ngapain ndi?" Tolaknya. Dia menahan tanganku.
"Mau nyuci pakaianmu. Kan kamu udah nyuciin pakaianku" jawabku.
"Terus aku pake apa?" Tanyanya malu - malu.
"Nggak usah pake apa - apa. Kan aku juga nggak pake apa - apa"
"Malu ndi" tolaknya lagi.
"Katanya sering mandi di sini?"
"Ya kan cewek semua"
"Emang belum pernah bugil di depan cowok?"
"Pernah sih, tapi kan sama cowokku doang"
"Anggep aja aku cowokmu"
"Maunya"
"Iya lah, siapa yang nggak mau jadi cowoknya bidadari"
"Gombal"
Letisya menoleh ke arahku lagi. Senyumnya merekah indah menghiasi wajahnya. Kali ini dia tidak menolak saat kaosnya aku tarik ke atas. Gantian aku yang terpana saat kaosnya sudah sukses aku lucuti. Tapi sepertinya dia tidak tahu.
"Tak"
"Ahh... Ndi, bener bener kamu ya. Cewek orang dibugilin"
"Kan sekarang aku, cowoknya" jawabku.
Aku geser perlahan kedua tangan letisya yang menahan bh nya. Dengan tangan kanan, aku tarik bh biru polos itu ke depan. Tanpa penolakan lagi, letisya merelakan penutup payudaranya itu aku lucuti.
"Wooow" selorohku.
"Apa sih ndi"
Letisya tampak malu, telanjang dada di dekatku. Dia menutupi kedua matanya. Malah jadi kesempatan bagiku. Aku bangkit dari dudukku, berjalan memutarinya. Kini aku berada tepat di depannya.
"Oh mu God" gumamku.
"Apa sih ndii"
Dia masih malu - malu, tapi tak menolak aku nikmati pemandangan telanjang dadanya. Kulitnya putih bersih, payudaranya masih kecil. Ya, sewajarnya anak lima belas tahun sih. Tapi bulatnya itu lho, kalau sudah sma, bakal mantap buat dimainin. Pentilnya masih kecil, bahkan terlihat nyungsep daripada nongol. Tapi warna coklat kemerahannya itu yang bikin geregetan. Aku dekatkan kepalaku agar aku bisa melihat lebih jelas. Penisku tak berhenti berkedut. Tegang sekali rasanya mendapat pandangan yang sangat indah ini.
"Mau ngapain ndii?" Tanya letisya lagi. Tangannya sontak berpindah ke karet celananya.
"Mau nyuci celana gemesmu" jawabku.
Pandangan kami kembali beradu. Senyumku sukses menular padanya. Hingga penolakannya berangsur merenggang. Dia memiringkan tubuhnya ke kanan, memberikanku kesempatan untuk menurunkan bagian kiri celananya. Lalu sisi sebaliknya. Dari menatap lekat matanya, mataku sontak turun ke selangkangannya. Perlahan tapi pasti, segitiga istimewanya mulai terkuak. Tapi itu hanya sebentar. Hanya sekumpulan bulu halus yang sempat aku lihat, karena letisya segera menutupinya dengan kedua tangannya. Aku hanya tersenyum saat mataku kembali beradu pandang dengannya. Kulanjutkan saja melucuti celana beserta sempaknya, sampai lolos dari kakinya.
"Dih, andi"
reaksi letisya saat aku endus kain sempaknya. Aromanya aneh bagiku. Tapi aku masih ingat, semacam aroma sempaknya ibu. Mungkin memang seperti ini aroma selangkangan wanita. Aroma vagina. Penisku berkedut lagi membayangkan bentuknya. Tak lama lagi, aku pasti bisa melihatnya. Kucuci pakaian letisya sebagaimana dia mencuci pakaianku. Tak butuh waktu lama, selesai sudah pekerjaanku.
"Jemur dimana ini?" Tanyaku.
"Sini" pintanya.
"Nih"
"AAAHH... NDIII"
letisya berteriak terkejut. Akupun terkejut mendengar teriakannya. Ternyata sempaknya terjatuh dan terbawa arus. Reflek aku mengejarnya. Memang tidak deras, tapi konturnya yang sempit dan berbatu membuat lajunya terlihat kencang.
"AAAAHH" aku berteriak
"ANDIII" letisya kaget
"BYUUUR"
Aku sempat terpeleset dari sebuah batu yang aku injak. Aku tercebur ke sebuah cekungan mirip kolam.
"Aduuuh"
Aku mengeluh, kolam yang cetek membuat kakiku membentur dasarnya. Dan malangnya, ada sebuah tonjolan batu pas di pangkal paha kananku, akibatnya pahaku rasanya linu. Terlihat lebam nyaris di selangkanganku. Tapi untungnya, sempak letisya berhasil aku dapatkan.
"Ndi, kamu nggak papa?"
Aku tersentak mendengar suara itu. Ternyata letisya ikut turun. Dia tampak panik. Dia berusaha menuruni batu dimana tadi aku terpeleset.
"Wow"
Aku malah terpana jadinya. Bagaimana tidak, dia menuruni batu yang hampir sepinggangnya bukan dengan duduk dulu, tapi malah dengan melangkahkan kaki kanannya. Otomatis, selangkangannya terbuka lebar. Sangat jelas di mataku, bagaimana bentuk vaginanya. Bibir vaginanya tembem, putih mulus senada dengan kulit tubuhnya. Celah vaginanya tersingkap, aku bisa mepihat meski samar, sebuah lubang yang masih sangat kecil. Oh, itu lubang impian setiap cowok. Mekarnya celah itu juga memperlihatkan sebiji kacang yang kata temenku disebut itil. Di sepanjang celahnya, sudah tumbuh bulu - bulu halus. Meskipun masih bisa dibilang jarang.
"Kamu nggak papa ndi?" Tanyanya lagi.
"Nggak, nggak papa" jawabku agak tergagap. Aku membuat sikap seolah aku tidak melihat cara dia turun tadi.
"Ya ampun ndi, jadi ngerasa terhormat aku. Cuman gara - gara sempak kamu sampe jatuh. Ada yang luka nggak?" Tanyanya lagi.
" Nggak, lebam doang, dikit" jawabku.
"Mana?"
"Nih"
Aku keluar dari air, duduk di tepi kolam, dan kulebarkan selangkanganku.
"Ndi"
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia sempat menutupi mulutnya. Entah yang mana yang dia lihat. Apakah leb di pahaku, atau yang tegang penuh di selangkangan.
"Duh, sakit ya? Sini aku pijit ya" tawarnya.
"Boleh" jawabku singkat.
Dia lalu menceburkan diri ke dalam air. Agak aneh sih, kan bisa aku putar posisi dan dia tetap di pinggir kolam. Tapi ya sudahlah. Tangannya sudah sampai di pahaku. Tapi aku bisa melihat kemana retinyana mengarah. Tatapannya tak bisa lepas dari batang penisku.
"AAAHH"
"NDII"
"BYUURR"
Jujur aku terkejut saat pertama dia memijat pahaku. Rasa sakit itu membuat tubuhku reflek menolak, dan akhirnya aku tercebur kembali ke kolam. Karena letisya ada di depanku, otomatis dia terdorong ke belakang. Dan kita sama - sama tenggelam di bagian terdalam kolam.
"Haaahh"
"Kamu nggak papa sya?" Tanyaku panik.
"Nggak, nggak papa" jawabnya.
Sekarang kita sama - sama berdiri, dan airnya hanya sepinggang kita. Bahkan ketika air masih berombak, kemaluan kita masing - masing sempat terlihat. Jarakku dan letisya sangatlah dekat. Karena dia ada di pelukanku. Tanpa sadar, aku memajukan kepalaku.
"Cupp"
Tanpa penolakan aku sukses mendaratkan bibirku di bibirnya. Kalau untuk ciuman, aku sudah beberapa kali melakukannya, tapi memang belum pernah dalam kesdaan bugil total begini.
"Cupp"
"Emh"
Terdengar kecipak bibir kita, dan lenguhan dari mukut letisya. Aku merapatkan lagi tubuhku ke tubuhnya. Sangat terasa empuk payudaranya. Penisku juga sudah mulai mencolek - colek bibir vaginanya.
"Eemmhh"
Bukannya menghindar, letisya malah sedikit melebarkan pahanya. Otomatis penisku menelusup masuk di antara pahanya. Dinginnya air tak mampu memadamkan hangatnya selangkangan letisya. Baru begini saja sudah susah aku gambarkan rasanya. Ini pertama kalinya penisku bersentuhan langsung dengan sarangnya. Meski hanya bergesekan dengan bibir luarnya.
"Eemmmhh"
Aku meremas bokongnya, dia bergerak meliuk ke kiri dan ke kanan. Sesekali pinggulnya bergerak maju mundur. Rasanya lebih nikmat daripada dijepit tangan.
"Sssshhhh"
Kupindah ciumanku, menggelosor turun ke arah leher. Letisya menggelinjang geli. Tawa gelinya menambah rasa geregetan.
"Aahhh... Ndiiii"
Aku belum tahu bagaimana caranya memainkan payudara. Aku caplok saja puting kirinya, sambil aku remas payudara kanannya.
"Sssshhh... Tokeeeddd.... Ssshhh"
Dia mendesah seperti orang kepedesan. Kepalaku dia tekan - tekan saat da merasakan keenakan. Sempat kepalaku ditekan sampai seluruh mukaku terbenam dalam bulatan payudaranya. Sensasinya luar biasa, walau tidak bisa bernafas.
"Aaahhh ndiii"
Dia melenguh saat aku gantukan penisku dengan tanganku. Aku gesek celah vaginanya dari atas sampai ketemu dengan lipatan pantatnya. Mungkin dia reflek, tangan kanannya tiba - tiba saja menggenggam batang penisku.
"Ini kontol kamu ndi?" Tanyanya sambil menatap sayu padaku.
"Iya. Ini... Yang orang bilang.... Memek ya?" Tanyaku agak terbata - bata.
"Sssttt... Iya ndi... Baru pertama pegang memek ya?" Ledek letisya.
"Iya sya. Mimpi apa aku semalem, bisa beneran pegang memek"
"Hahaha ... Liat juga belum pernah?"
"Belum. Cuman di bokep aja. Lihat dong"
"Liat? Boleh. Tapi ada syaratnya"
"Apa?" Tanyaku. Dia mendekat ke telingaku.
"Aku pengen mainin kontolmu, ndi. Udah lama aku nggak main kontol" jawabnya. Untuk sesaat aku tertegun.
"Boleh. Mau diapain emang sya?" Pancingku.
" Sssttt... Aduh... Itilku... Aduh aduh aduh" lenguh letisya. Tubuhnya menggeliat.
"Mau aku kocok... Mau aku jilat... Mau aku klacupin... Auh auh.. ndiii" lanjutnya.
"Klacupin?"
"Diemut sayang" jawabnya.
"Ya udah, naik yuk" ajakku.
"Yuk"
Aku berjalan mendahuluinya menuju tepi. Aku yakin dia masih menungguku balik badan. Karena di sini, kedalamannya hanya selutut. Jadi pasti penisku terlihat jelas. Dan benar, dia menatap penisku dengan lekatnya. Seolah dia baru pertama kali melihat penis. Tapi kan dia bilang sudah lama tidak mainan penis. Artinya dia pernah mainan penis. Aku pun tak melepaskan pandanganku dari tubuhnya. Peyudara yang tadi sempat aku amati dari dekat, kini bisa aku lihat sekalian dengan sekujur tubuhya. Bulu bulu hitam nan halus di selangkangannya seolah menyapaku untuk menjamahnya.
"Nih, ndi. Jongkok gih!" Saran letisya.
Dis duduk di pinggiran kolam dan langsung mengangkangkan kedua kakinya lebar - lebar. Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku langsung menurunkan tubuhku. Bersimpuh di depan selangkangannya.
"Indahnya" gumamku.
Sempat kulihat letisya tersenyum bangga melihatku mengagumi vaginanya. Memang indah dan menggairahkan. Pengen rasanya menusukkan penisku ke dalam lubangnya. Tapi aku ragu, masih terlalu kecil untuk aku masuki. Mungkin juga masih perawan
"Sssttt... "
Letisya mendesis saat aku menyapukan lidahku di celah vaginanya. Matanya merem sesaat, membuatku bertanya - tanya, apa yang dia rasakan.
"Lakuin sesukamu ndi. Jilat sesukamu" kata letisya. Seolah dia mengerti yang aku pikirkan.
"Aahhh... Sssttt"
Tanpa ragu aku jilat lagi vaginanya. Kedua bibir tembem itu menjadi sasaranku. Bergantian aku jilat naik turun. Sesekali aku berinisiatif menjilatnya secara zigzag. Aku melihat ada cairan bening meleleh dari celah vaginanya.
"Aahhh... Ndiii"
Aku sendok cairan bening itu dengan lidahku. Rasanya asin dan kental. Kalau di ilmu biologi harusnya ini cairan pelicin alami vagina. Berarti dia menikmati jilatanku.
"Sssttt"
Tak kupedulikan rasa pegal di lidah yang mulai menyerang. Aku malah semakin bersemangat memainkan mainan baruku ini. Kusapu seluruh permukaan vagina letisya. Sesekali kucaplok semuanya dengan bibirku. Menggairahkan sekali rasanya. Coba saja aku bisa menjilat vagina begini, tapi penisku sendiri ada yang menjilati.
"Aaahhh.... Nddiiii... Teruss"
Lenguhannya semakin menjadi saat aku sibakkan bibir vaginanya dengan jemari kiriku dan aku sedot itilnya. Mendengar lenguhan itu, aku semakin semangat menjilati itilnya.
"Itilku... Itilku... Itilku... Yees yes yes"
Semakin liar gerakan kakin letisya. Semakin semangat pula aku memberikannya kenikmatan. Ada hasrat yang semakin menggebu di dalam hatiku. Tubuhku seolah punya punya nyawa lain. Terlebih tangan kananku. Seolah dia bergerak sendiri, mengalahkan kesadaranku untuk memerintah.
"AHHHH... "
Letisya memekik kencang setengah berteriak. Matanya juga terbelalak saat mengetahui vaginanya aku colok dengan jari tengah. Aku juga sempat terpaku. Sama sekali aku tak menyangka bakal seberani ini menusukkan jariku ke dalam lubang terlarang itu. Aku sudah siap jika letisya akan menamparku.
"Kenapa ndi? Kamu ngira aku masih perawan ya? Sampe segitu takutnya?" Celetuk letisya.
"Ha?" Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
"Hahaha... Iya, aku emang udah nggak perawan, ndi. Dijebol mantanku. Yang dalem dong! Kocok sekalian. Dikit lagi nyampe, aku" pintanya.
"Sleepp"
"AHHH... SSSTTT"
Aku tusukkan jari tengahku sampai amblas semuanya. Kedutan dinding vaginanya membuat penisku ikut berkedut. Kubayangkan bagaimana rasanya dijepit vagina.
"Ah ah ah ah ah... Yes yes yes"
Letisya merem melek keenakan. Kugerakkan jariku dengan cepat. Lidahku tak kubiarkan menganggur. Kujilati itilnya dengan intens.
"Yes yes yes cepetan lagi ndiiii"
Dia semakin menggila. Liukan pinggulnya semakin liar. Tapi membuatku semakin bersemangat. Seperti ada yang menuntun, tanganku bergerak sendiri maju mundur. Tak hanya itu, jari tengahku menekuk sendiri, dan gerakan tanganku jadi berubah naik - turun.
"Andi andi andi andi ...... gilaaaaa"
Kugantikan lidahku dengan jempol kiriku. Kugesek berputar - putar searah jaum jam sedangkan mulutku kuperintahkan untuk mencaplok pentil payudara kanannya. Semua kulakukan seolah aku sudah sering melakukannya. Tapi aslinya, ada yang menuntun tangan dan kepalaku.
"ANJRIT... KONTOOOOOOOLLLLLL"
"SROOOOTTTT"
Aku terkejut melihat air memancar dari dalam vagina letisya. Ingin ku menarik diri, tapi seperti ada yang menahan tanganku. Tanganku tetap bekerja mengocok vagina dan mengobel itil letisya
"EEEEMMMMHHHH"
"SROOOOTTTT"
Kali ini telak memgenai wajahku. Pengalaman pertama bagiku diompoli cewek. Tapi tidak pesing. Ya pastinya, seperti di bokep, ini cairan orgasmenya. Kalau cowok, ini sperma.
"Ndiii"
Letisya tak mampu lagi duduk dengan tegak. Dia terkapar di oinggiran kolam. Kakinya dia biarkan mengangkang di depan wajahku. Aku mencoba mencicipi lendir birahinya. Enak juga ternyata. Asin, gurih, lebih kental dari air sekalipun bening.
"Ahh... Ssssttt"
Dia melenguh saat aku jilat lagi bibir vaginanya. Dia tidak menolak, hanya tersenyum geli. Kulanjutkan saja melahap puncak selangkangannya. Sampai kurasakan lendir licinnya sudah berganti liurku. Lalu kita sama - sama terlentang di pinggir kolam alami sungai ini. Indah sekali rasanya bisa berbugil ria tanpa takut ada yang menggerebek.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd