Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Naked Mom Sekuel (no sara)

Part 7



Suara toa adzan membangunkan tidurnya. Mata Ning mengeriyip, mencari tau keberadaan dirinya. Kamar yang ditempatinya tampak asing, dinding, juga lantainya berbeda. Ia tersadar bahwa ia sudah tertidur di rumah Kopiang Bagia. Ia kemudian terduduk, kepalanya masih berat, mulutnya terasa aneh, dan tiap kali ia menelan ludah rasanya asin dan sesuatau yang agak basi hadir di sana. Ia melihat sekitar untuk mencari dompetnya. Seruan toa masjid tidak terlalu kencang di rumah Kopiang Bagia, tapi Ning sudah terbiasa terbangun sewaktu mendengarnya meskipun ia bukan penganut ajaran islam. Itu sudah menjadi semacam kebiasaan. Seruan subuh adalah alaram baginya untuk menanak nasi, sebab suaminya dulu sering berangkat ke pasar di kisaran jam 6 pagi. Setelah memanaskan nasi Ning akan lanjut tidur di kamarnya sampai menjelang siang, sedangkan suaminya biasa menyiapkan lauknya sendiri, biasanya berupa telur atau tempe goreng di tambah kecap. Tapi kali ini Ning bangun bukan untuk menanak nasi untuk suaminya yang sudah tiada, melainkan pulang ke rumah. Ia kemudian meraih dompetnya yang tergeletak di dekat kendi.

“Udah mau balik?” Jantung Ning melompat mendengar suara yang tiba-tiba. Kopiang Bagia ternyata tengah berdiri di depan pintu kamarnya tanpa ia ketahui.

“Ya ampun pekak, ngagetin aja!”

“Hehehe maaf, maaf gak sengaja.” Kakek itu cengar-cengir melihat Ning, kemudian membukakan pintu depan untuknya.

Ning berjalan dengan hati-hati saat menuruni tangga, sebab embun pagi membuat kayunya basah.

“Awas licin.” Ucap si kakek.

“Iya.”

Setelah menapak di tanah, ia lalu berpamitan pada kakek tua itu. “Ning pulang dulu ya pekak.”

“Iya, hati-hati, jalannya gelap.”

Gelap adalah satu-satunya pakaian yang ia butuhkan saat ini. Orang-orang pasti sedang berbondong-bondong ke surau, pikirnya khawatir. Eh tapi bukankah ini waktu yang pas untuk menguji ajiannya. Ning berjalan dengan buru-buru. Jalan persawahan yang dilaluinya lebih basah dari pada yang diingatnya. Setelah menyeberangi tanggul, ia akhirnya sampai di area perumahan padat penduduk. Detak jatuknya kembali terpacu, berbeda di saat malam hari, tapi kali ini lebih berani dan percaya diri. Berulang-ulang Ning meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah mendapat ajian sakti dari si kakek. Benarkah ajiannya bekerja? Ia mendadak ragu-ragu, kepercayaan dirinya pudar serta langkahnya juga melambat di tengah jalan. Perumahan pertama tidak ada tanda-tanda penghininya akan keluar, sampai ia melihat persimpangan di depan. Seorang ibu-ibu mengenakan mukena putih muncul dari belokan, sebuah kain tersampir di bahunya. Ning berjalan sambil mengendap-endap pelan sampai ia akhirnya tiba di persimpangan jalan, namun perjalanannya pulang sejalur dengan ibu mukena itu. Ning sudah berjalan mengendap-endap cukup pelan tapi ternyata ibu di depannya jauh lebih pelan. Ia bisa mendengar suara sandal ibu itu yang terseret-seret tidak diangkat dengan benar. Ia menduga ibu di depannya pasti menderita sebuah penyakit tertentu. Jarak Ning dengan ibu itu kini cuma terpaut dua meteran. Sebuah ide gila muncul di kepalanya. Pegang gak ya? Tapi ini kan masih jauh dari rumah. Muncul pergulatan dalam benaknya. Wajah Ning mendongak ke atas, langit berwarna biru kobalt. Ia tak ingin warnanya berubah menjadi biru terang, maka dari itu ia kemudian memberanikan mengulurkan tangannya ke depan dan hinggap di pundak ibu itu. ‘Dug dug dug dug,’ detak jantung memukuli rusuknya, dan putingnya mendadak mengeras. Ibu itu berhenti lalu menoleh ke belakang.

“Siapa ya?” Wajah keriputnya berhadapan dengan Ning, dia bukan seorang ibu-ibu melainkan nenek-nenek.

Ning bisa melihat wajahnya yang ramah dan teduh, kulitnya keriput, beberapa helai rambut terlihat di kedua pelipisnya, lolos dari lubang mukana yang melingkar di wajahnya. Ekspresinya datar namun wajahnya tersenyum. Sejenak ia tertegun dengan nenek itu, dan yang paling mencuri perhatian Ning adalah kedua matanya. Kedua bola mata itu seputih susu, dan juga begitu buta.

Mendapati Ning tidak kunjung merespon, ibu itu melanjutkan. “Mau ke surau juga kah?” ibu itu berbicara pada Ning tapi wajahnya menoleh ke arah yang kurang tepat.

“Gak buk. Saya cuma mau pulang.”

“Eh perempuan toh. Pulang ke mana jam segini?” Raut muka nenek itu menjadi khawatir.

“Ke rumah bu, di jalan kasturi arah pasar.”

“Ohh.” Ibu itu mengangguk-angguk, dan obrolan itu membuat perjalanan pulang Ning menjadi semakin lambat.

“Ibu mau saya anterin ke surau?” Kali ini birahi yang bicara.

“Gak ngerepotin, jalurnya lawan arah lo?”

“Gak kok bu.”

“Tapi, katanya tadi mau pulang.”

“Bisa ditunda, lagian biar menambah toleransi.” Nenek itu langsung paham jika wanita yang berbicara dengannya bukan penganut ajaran islam.

Ning merangkul nenek itu dengan tangan kirinya dan berjalan beriringan di sampingnya. Ia juga memberi peringatan ketika ada batu dan cekungan di depan. jika bukan karena dorongan nafsu birahi, Ning tidak akan sebaik ini. Ia tidak pernah menyangka jika fetisnya bisa bermanfaat bagi orang lain. Kini mereka berdua sudah hampir tiba di perempatan, tempat yang sama di mana Ning berpapasan dengan dua muda-mudi yang berboncengan motor. Arah rumah Ning belok ke kiri sedangkan letak suraunya belok ke kanan, namun tiba-tiba dari arah berlawanan sosok bapak-bapak bersarung mengenakan songkok muncul. Ning sontak menyembunyikan tubuhnya di balik punggung nenek itu.

“Eh kenapa?” Tanya nenek itu bingung, menangkap gelagat aneh Ning.

“Ini dompet saya jatuh.”

Bapak itu tidak menyadari keberadaannya. Ning mengintip bapak-bapak itu berjalan kemudian bapak itu belok ke arah surau, langkahnya cepat tidak seperti Ning dan nenek itu.

“Mari.” Ning menuntun nenek itu lagi, setibanya di perempatan jalan cahaya lampu menerangi mereka berdua. Itu area yang rawan bagi Ning, matanya mengedar pandang dengan waspada, seseorang bisa saja memergokinya di jarak 50 meter.

“Ayo nek buruan.” Ucapnya mulai panik.

Ia merasa beruntung tidak ada orang lain yang mendekat. Setelah melewati perempatan jalan, orang-orang yang mengenakan sarung dan mukena semakin banyak, namun semua orang itu membelakangi Ning dan laju jalan mereka lebih cepat dari pada mereka. Kemudian tiba-tiba dari arah belakang ‘.Plak!’ seseorang menepuk pantatnya. Ning sontak terkejut mendapat perlakuan itu. Ia sudah ketahuan. Dengan cepat Ning memutar kepala untuk melihat pelakunya. Seorang anak tersenyum ke arah Ning lalu berlari melewati mereka sambil berteriak. Orang-orang di depan yang dilalui anak itu juga ikut tertawa.

“Kumat! Kumat! Kumat!” teriaknya.

Ning tidak tau apa artinya. Siapa yang kumat, aku? Ning melotot tidak percaya, dan tiba-tiba nenek di sebelahnya terkekeh.

“Anaknya Mansur itu. Bapaknya imam surau. anaknya rajin tiap pagi begitu. Suka nepuk punggung orang-orang yang pergi solat subuh. Suka ngagetin, tapi kalo sudah biasa ke surau ya gak kaget lagi.”

Akhirnya mereka berdua tiba, pagar surau tinggal beberapa langkah lagi. Ada gapura kecil yang membelah pagar di jalan masuknya, orang-orang yang datang masuk lewat sana. Perasaan ragu mulai menjangkiti Ning.

“Udah gak papa, nenek bisa sendiri, udah dekat gapura kan?”

“Iya.” Balas Ning, melepas nenek itu jalan sendiri. “Saya balik ya.”

“terima kasih.” Ucap nenek itu,

Lalu seruan suara toa yang kedua berkumandang. “Udah masuk!?” Ucap nenek itu tidak percaya. Kemudian nenek itu bergegas sambil meraba-raba dinding lalu masuk melewati gapura. Beberapa orang yang masih di luar mempercepat langkahnya lalu masuk ke dalam surau. jemaat orang di dalam tidak terlalu banyak, bisa dilihat dari jendela kaca. Penganut ajaran islam di kampung ini memang golongan minoritas, kebanyakan dari mereka adalah pendatang. Sedangkan penduduk asli masih teguh dengan ajaran nenek moyang mereka. Si nenek berjalan terseok-seok, ia hanya bisa melihat kegelapan sampai pahanya menabrak sesuatu, lantas ia pun masuk ke dalam dan bergabung bersama jemaat lainnya.

Namun tanpa diketahui sang nenek, ternyata Ning selama ini membuntutinya diam-diam di belakang. Selama itu juga ia mati-matian untuk tidak membuat suara dalam langkah jinjit-jinjit. Berlindung dari pandangan di balik tubuh nenek yang mungil sebagai tamengnya. Ia membandingkan dirinya dengan mereka dan kagum betapa kontrasnya keadaanya sekarang. Telanjang bulat di pelataran, sementara mereka berpakaian tertutup dari ujung kepala sampai kaki. Ia merinding sekaligus horni melihat situasinya. Pantulan jendela kaca menampakan sosok transparan, seorang wanita bugil tanpa busana dengan payudara besar menggantung rendah, hendak jatuh ke bumi. Hanya beberapa senti lagi sampai dua daging itu mencapai pusar. Lalu beberapa senti dari pusar ke bawah, semak belukar tumbuh lebat menyembunyikan bibir kotor yang terus mengeluarkan air liur. Cahaya di pelataran lebih terang, memungkinkan ia untuk bercermin di depan jendela. Dari pantulan kaca itu juga Ning bisa melihat gapura dan jalan di belakangnya, sambil berharap cemas agar tidak ada orang lain yang tiba-tiba muncul ke surau dari sana.

Selama mereka tengah menunaikan ibadahnya, Ning justru mengocok memeknya di emperan. Nasib baik baginya, mereka beribadah dengan posisi membelakangi emper sehingga bertambah senanglah ia berjingkat-jingkat sambil memainkan memeknya seperti orang gila. Sebesit ide tercela melintas di benaknya. Mumpung mereka pada lagi sibuk, gimana kalau aku masuk ke dalam. Ning melewati daun pintu surau, suara imam mengucapkan sesuatu yang tidak dapat ia pahami, dan kini ia tengah berdiri di belakang ibu-ibu yang mengenakan mukena sedangkan yang laki-laki letaknya ada di sebelah kanan, terhalang oleh kain kelambu. Kakinya yang kotor oleh lumpur dan tanah menapak di atas karpet, kemudian ia mulai duduk mengangkang menghadap ibu-ibu itu.

Baru semenit yang lalu ia menjadi wanita terpuji dengan mengantarkan seorang nenek buta dan bicara toleransi, sekarang ia menjelma menjadi wanita paling tercela dan amoral yang pernah ada di dunia. Jari tengah dan jari manis Ning mencolok-colok lubang kenikmatan, sedangkan mulutnya mencaplok puting kirinya agar tidak melenguh. Dari gerakan keluar masuk berubah ke gerakan kiri kanan tidak beraturan.

‘Cek cek cek cek cek cek prett cek cek pret cekcekcek preettt.’ Bunyi kecipak memeknya disertai suara kentut dari liang kawin terdengar merdu bak melodi di gendangnya.

Cairan lendir putih meluap dari lubang kenikmatanya, mengotori bulu jembut yang tumbuh di sekitar lubang pantat dan menciprati karpet. Gigitanya pada pentil kanan terlepas, lalu mulutnya membentuk huruf O. Ia sungguh menghayati gatal birahi yang tengah digaruknya.

Takut kalau suaranya akan keluar tanpa ia sadari, Ning cepat-cepat kembali menggigit pentil payudaranya lagi, kali ini yang sebelah kanan. Andai ia bisa mengeluarkan susu, lalu ia teringat dengan tawaran gratis Kopiang Bagia tadi malam. Ramuan macam apa yang hendak diberikan kakek tua itu kepadanya.

‘Cek cek cek cek cek prot cek cek cek prot prot prot.’ Wajah Ning memerah disertai desisan suara yang mirip orang kepedesan pada mulutnya yang sedang menggigit daging alot.

Karpet yang mulanya kering menjadi lembab dan basah sebab ulahnya. Ia pernah mendengar jika penganut agama ini sangat menjunjung tinggi kebersihan, konon ada ritual khusus untuk membersihkan kotoran tertentu, ia tidak tau kotoran macam apa itu, mungkin kotoran yang dimaksud adalah yang semacam ini. Ia benar-benar lacur. Semoga saja kelak ia tidak bereinkarnasi menjadi belatung karena tindakan ini.

‘Cek cek cek cek cek cek cek cek pret prot cek cek prot.”

Gigitanya pada puting kanannya menguat, dan rasa sakit pada syaraf puting itu menjalar ke seluruhan pepaya kanannya, tapi ia tidak peduli, ia sudah mulai akrab dengan perih dan ngilunya sekarang, dan yang paling penting di situasi ini adalah segera menuntaskan birahinya sebelum jemaat itu selesai melakukan ibadah mereka. Gerakan tangan semakin bertambah cepat dan cepat, firasatnya mengatakan bahwa ia harus menyelesaikan ini sekarang. Seluruh perhatian Ning berfokus pada memeknya. Di posisinya yang duduk setengah berbaring, tangan kiri yang memegang dompet bertugas menyangga bagian atas tubuh dengan sikunya dan tangan satunya mengocok.

Tak lama kemudian gelombang klimaks yang ditunggu-tunggu akhirnya terasa, perlu sedikit lagi kesabaran serta usaha untuk meraihnya. Tangan kanan Ning mengocok memeknya kuat-kuat dengan telaten, sampai akhirnya puncak yang didambkannya itu datang lalu- ‘Cret cret cret cret cret’

Cairan orgasmnya muncrat dan sukses mendarat di mukena beberapa jemaat di depannya. Bahkan salah satu batu kerikil yang tersimpan di dalam memeknya juga ikut terpental keluar. Sementara tubuh Ning melengking, wajahnya tegang dengan pupil mata juling ke dalam, saling melirik satu sama lain, serta pentil coklat di antara rahang giginya. Ning benar-benar tengah dimabuk oleh kenikmatan euforia yang tak tertahankan.

Beberapa detik kemudian kewarasannya kembali namun dengan tubuh yang masih gemetar halus. Para jemaat wanita tengah duduk bersimpuh, dan Ning hendak keluar dari surau itu secepatnya, namun alangkah malangnya, tubuhnya masih lemas dan mengejang. Ia merasa ia bisa runtuh kapan saja. Meski dalam kondisi yang demikian, tubuhnya mencoba yang terbaik agar bisa bangkit. Tiba-tiba hal yang dikhawatirkannya menjadi kenyataan, para jemaat mulai menoleh ke kanan, dan Ning tau apa maksudnya itu. Ia kemudian menengok ke belakang, dan entah mengapa pintu masuk terasa menjauh darinya. Ia tidak akan sempat, bahkan ia juga belum berdiri. Aku akan kepergok!

Bagaimana ia akan menghadapi orang-orang ini, terlebih bagaimana ia akan menghadapi nenek buta yang telah dibantunya itu. Pandangan Ning mengedar lalu perhatiannya tertuju pada sekumpulan meja kayu dengan ketinggian kakinya sekitar 30 senti dan panjang masing-masing meja itu mungkin sekitar 2 meteran. Meja-meja itu saling bertumpukan di sebelah kiri Ning, mungkin meja itu digunakan untuk belajar atau untuk peribadatan tertentu, pikirnya. Para jemaat itu kemudian menoleh ke kiri, di saat itu juga ia segera membaringkan badan lalu menggelinding ke samping, ke bawah tumpukan kolong meja. Beberapa jemaat wanita yang menyadari adanya suara-suara aneh menengok kebelakang dan tidak menemukan siapa-siapa. Mereka tidak melihatnya namun Ning bisa melihat gerak-gerik mereka dari bawah meja, meski pandangannya itu setengah terhalang oleh bahu dan payudara kanannya sendiri. Mereka kemudian saling berbisik, dan salah satu jemaat mengambil batu kerikil yang tadi sempat mengenainya, lalu menciumnya. Bau amis aneh tericum dari batu kecil itu. Merasa ganjil dengan baunya, ibu itu lantas melempar batu itu keluar melewati pintu. Ning yang berada di balik meja panjang masih terus mengawasi para jemaat wanita itu sambil tersenyum cekikian menahan tawa. Ia tidak percaya ia benar-benar telah melakukannya. Ini sungguh nekat.

Ning berbaring terlentang sambil merapatkan tubuhnya, sebab lebar meja itu terbilang sempit untuk dijadikan persembunyian. Bagian sisi kiri tubuhnya berdempetan dengan dinding surau, terasa dingin tapi masih bisa ditahan. Kini yang perlu dilakukan sekarang hanyalah menunggu para jemaat itu pulang meninggalkannya sendirian. Puas memata-matai para jemaat wanita, pandangan Ning beralih pada bagian bawah papan meja, ada paku tajam yang tidak di bengkokan, tegak lurus menunjuknya, itu berbahaya, lalu ada juga permen karet yang menempel di sana. Pasti anak-anak, pikirnya.

Setelah lama menunggu, kemudian para jemaat wanita mulai pergi satu persatu, sampai salah satu ibu berkomentar tentang karpetnya yang basah.

“Eh ini karpetnya basah.”

Ibu lain mendekat lalu mendekatkan kepalanya ke area bekas Ning masturbasi lalu mengendus-endusnya. Ning yang melihat ibu itu menurunkan kepalanya menahan nafas deg-degan, ia bisa dengan mudah kedapatan bila ibu itu mau memiringkan kepalanya sedikit ke arah meja-meja. Beruntung ibu itu mengangkat kepalanya lagi tanpa menoleh ke arahnya.

“Iya bau kayak agak amis gitu. Waduh sah gak ya tadi aku?”

“Perasaan tadi gak basah ya. Sama itu lihat, ada tanah. Coklat-coklat itu.” Si ibu menunjuk-nunjuk.

“Nanti saya kasih tau ke pengurusnya buat di bersihin.” Kedua ibu-ibu lantas berlalu pergi.

Ning tidak bisa melihat jemaat laki-lakinya sebab terhalang oleh kain kelambu yang membentang. Salah satu jemat yang dikenalnya, nenek buta itu berlalu melewatinya, kemudian diikuti jemaat lain sampai tidak ada orang lagi yang tersisa kecuali Ning.

Setelah semua ibu-ibu itu pergi. Sisi wanita surau akhirnya kosong, tinggal Ning seorang yang masih berbaring di bawah tumpukan meja. Rasa dingin dari dinding surau membutanya agak menggigil, dan kandung kemihnya terasa penuh. ‘Peesssssssshhh’ Ia kencing di sana. Air kencingnya menghangatkan bokong dan area dalam pahanya. Menggenang untuk beberapa saat, lalu merembes. Karpet surau benar-benar dibuatnya basah kuyup. Ning kemudian menggeser badannya dan keluar dari lorong meja kecil itu. Ia kemudian menengok wilayah laki-laki dari atas kain kelambu. Kosong. Suraunya telah sepi, kini saatnya untuk pulang. Ia keluar ke emperan dan terkejut melihat langit sudah mulai agak terang, tidak mungkin orang-orang masih terlelap sedangkan anak kecil dengan berani menampar bokongnya di pagi buta. Pertanyaan besar muncul, bagaimana ia akan pulang dengan keadaan seperti ini?

Di dekat gapura sebuah mobil elf jenis mini truck terpakir. Di dalamnya beberapa ekor kambing memakan rumput yang tercecer di atas dek. Itu adalah mobil yang sering ia temui di pasar. Suara kambing mengembek di celah-celah kayu. Ia segera beranjak dari surau dan berjalan mendekati pagar gapura dengan langkah cepat. Setelah sampai segera ia tempelkan tubuhnya pada pagar. Beberapa kendaraan bermotor dapat Ning dengar dari balik pagar. Setelah di rasa suara kendaraan tidak ada lagi, bergegaslah ia pergi ke belakang mobil elf itu. Bagian belakang di modifikasi sedimikan rupa agar sisi kiri dan kanannya lebih tinggi dengan menambahkan papan kayu, begitu pula dengan pintunya, sehingga sulit untuk dipanjat. Kepala Ning tidak henti-hentinya menoleh ke berbagai arah, sekilas perilakunya mirip seperti pencuri namun tanpa busana.

Jangan dikunci, jangan dikunci, biarkan aku masuk
, doanya dalam hati. Ning menarik salah satu sisi pintu gerobak, dan ternyata bisa di buka. Berucap syukur ia pada para dewa karena telah mengirim mobil gerobak ini. Ning tergopoh-gopoh naik dan menutup pintu itu kembali. Para kambing ini sepertinya menyambut baik kehadiranya, buktinya salah satu kambing berani mengendus-endus rambutnya yang kusut. Ia duduk di dek yang penuh kotoran kambing, sensasi aneh dapat ia rasakan pada permukaan pantatnya dan ia tidak keberatan dengan itu, toh tadi malam ia bahkan meminum air kencing seorang kakek-kakek dengan suka rela.

“Titip telur satu pack sama kertas minyak ya pah.” Suara seorang perempuan.

“Iya, iya bune. Diulang terus.” Balas suara seorang laki-laki.

“Heleh, entar kalo gak diulang suka lupa-lupa, alasanya anu-anu.”

“Iyaa.”

Seorang pria tiba-tiba muncul di depan Ning yang tengah terduduk di antara kaki-kaki kambing. Pria itu mengikat tali kain pada pintu dek. Mata pria itu tertuju pada ikatan sampul yang tengah dibuatnya padahal Ning tepat berada di depannya. Gerobak itu terbuat dari kayu dan menggunakan papan yang agak lebar, namun masih menyisakan celah lebar sehingga seseorang perlu sedikit fokus untuk bisa melihat seorang wanita telanjang di dalamnya. Tapi bagi pria yang tengah mengikat palang pintu dek, ia hanya perlu menggeser pupil matanya dari sampul tali niscaya tampaklah seorang janda bahenol tengah telanjang di antara sekumpulan kambing. Setelah menyelesaikan simpulnya, pria itu nyelonong pergi begitu saja. Kejadiaan itu berlangsung begitu singkat, bahkan Ning sendiri tidak mempercayainya. Hampir-hampir ia tertawa ketika pria itu pergi sampai mesin kendaraan itu berbunyi, dan lelucon itu seketika sirna.

Mobil itu mulai melaju. Ning yang berada di dalam mulai panik membayangkan di mana dia akan berakhir kelak, di pasar, atau di luar kota. Bertanya tentang tujuan pada si sopir bukanlah sebuah opsi, ia harus memikirkan cara lain. Ning mendekati pintu gerobak, lalu ia membuka ikatan sampulnya. Dan agar tidak terbuka oleh guncangan, ia memegangi pintu itu di sepanjang perjalanan. Mobil itu melewati perempatan dan melaju lurus terus. sebentar lagi ia akan melewati rumahnya, pikir Ning.

Ning melihat aktifitas orang-orang yang dilaluinya, ada yang tengah menyapu, menaiki sepeda, ada juga yang mengganti lampu depan rumah. Dilihat dari warna langitnya, Ning menduga sekarang pasti sudah hampir jam setengah enam. Masih terlalu dini bagi anak-anak untuk berangkat sekolah tapi tidak terlalu dini bagi orang dewasa untuk beraktifitas.

Sebentar lagi mobil elf ini akan melewati rumahnya. Kali ini Ning benar-benar pasrah, ia tidak tau di mana ia akan berakhir, berbagai skenario buruk berkelebatan di kepalanya. Ia membayangkan dirinya dijual dengan harga murah ke peternak hewan, dijadikan budak lalu di ekspor keluar negeri dan tidak akan pernah kembali lagi ke kampung halamannya, meninggalkan sapi dan seekor anjing yang beru dipeliharanya. Ia melirik ke kanan. Itu rumahnya. Akhirnya ia sampai, tapi mobil itu tidak berhenti di depan sana. Selamat tinggal rumah. Semoga ada orang baik yang muncul merawat I Sampi. Lalu tiba-tiba mendadak mobil elf itu berhenti. Ini saatnya!

Bergegaslah Ning membuka pintu kandang berjalan itu, lalu melompat keluar. Butiran kelereng tai kambing menempel di bagian paha dan bokongnya, dan Saat memijakan kaki ke tanah, tai kambing itu rontok berserta dompetnya. Dompet itu sempat terlepas dari genggamannya. Ia segera meraihnya kembali dan berlari ke rumahnya, ia sudah tak peduli dengan sekitar. Pulang ke rumah adalah prioritas utamanya saat ini. Namun rasa penasaran memalingkan wajahnya ke kendaraan elf itu. Pintu kandangnya tidak ditutup dan di depan sana jalan kendaraan roda empat ditutup karena ada proyek pengkavlingan yang belum selesai. Puas mengetahui jawabannya, ia lalu melanjutkan larinya dan dengan buru-buru ia segera masuk ke dalam rumah.



***


Sebuah kartu atm sudah disiapkan untuknya selama di bali, namun alangkah menjengkelkanya ketika di cek, isi ATM itu ternyata masih perawan alias kosong melompong. Maka murkalah Rendra sambil menggebrak mesin ATM, memicu rasa penasaran orang-orang yang mengantri di belakang. Untuk sejenak ia lupa bahwa ia tidak sedang berada di amerika, ia tidak bisa seenaknya di sini.

Rendra pulang ke rumah dengan hati ngedumel di sepanjang jalan. Ia sudah terlalu lama di amerika, sudah menyatu dengan orang-orangnya, menyatu dengan musim, menyatu dengan udara dingin, dan infrastrukturnya. Sedangkan di sini, siang terasa panas, lebih panas dari musim panas di New Jersey, lalu infrastrukturnya. Menyedihkan. Mengapa ibunya tidak pindah ke pusat kota Denpasar atau Ubud atau ke kota besar selain di sini, pikirnya. Rencananya untuk menetap di bali sampai satu bulan mungkin akan sangat menantang. Segalanya sangat terbatas, sangat primitif, dan terlalu konvensional. Ia harus menjaga kewarasannya, perlahan mencoba untuk beradaptasi. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ini semua hanya sementara.

Setengah jam perjalanan, ia sampai di rumah. Seorang ibu-ibu perawat lewat dengan sopan dan berucap permisi keluar dari kamar ibunya. Di atas dipan ibunya terbaring lemah berbekal selang infus yang mengalirkan cairan melalui selang ke pergelangan tangan, menunjang kelangsungan hidupnya. Saat Rendra berdiri di ambang pintu, Endang memandang putranya dengan sorot mata tidak terima, seakan rumahnya kedatangan orang asing dan ingin mengenyahkanya sesegera mungkin.

Ingatan kemarin malam masih membekas di benak Rendra. Saat pertama kali tiba di rumah. Kala itu ia datang dan hendak memeluk ibunya yang tak berdaya, tapi Endang dengan segala memori buruknya memalingkan wajah dari putranya dibarengi satu patah kata yang menusuk. “Go.” Ucapnya pelan, tanpa tekanan, dan selembut bisikan angin, juga sangat menampar. Kedua tangan Rendra yang terlanjur membentang dipulangkan ke posisi awal, lalu ia membalasnya dengan anggukan kecil dan beranjak dari kamar ibunya.

Kini pun keadaan belum berubah. Murka angkara masih terpampang jelas di wajah Endang, dan Rendra yang hanya memastikan keadaan ibunya baik-baik saja berlalu pergi ke kamar lamanya. Perawat pribadi ibunya ada di kamar Rendra. Membersihkan apa saja yang bisa dibersihkan, mulai dari rak, foto-foto lawas, sampai buku-buku kurikulum kadaluarsa juga tak luput dari sapuan kemoceng.

“Bu. terima kasih ya selama ini udah merawat ibu saya.”

“Saya cuma menjalankan tugas kok nak Rendra. Gak usah segan, terus jangan panggil saya Bu. Gak enak. Panggil aja Bi Inem.”

“Oh iya makasih bi Inem sudah bersihin kamar saya.”

“Sama-sama.” Bi Inem yang paham bahwa Rendra hendak istirahat berjalan pergi. Namun karena ada sesuatu bi Inem berbalik badan. “Maaf mungkin ini bukan urusan saya. Tapi jujur saya lihat setelah nak Rendra pulang ke rumah, saya lihat ibu Endang udah bisa senyum lagi kalo ditinggal sendirian.”

Mata Rendra melebar, dan Inem melanjutkan laporannya. “Mungkin masih ada canggung dari Ibu Endang, nak Rendra coba deketin aja terus barang kali bisa luluh.”

Rendra menahan air matanya. “Makasih banget ya bi.”



Esoknya di pagi buta suara toa adzan berkumandang. Rendra terbangun, kedua matanya masih mengerjap, membiasakan pandangan setelah lama tidur. Pakaiannya masih sama seperti kemarin sore, ia menggantinya dengan kaos yang baru lalu memakai celana training dan melapisi kaosnya dengan jumper kupluk abu-abu tipis. Di depan rumah ia mulai melakukan senam seperti kebiasaan paginya di Amerika. Melakukan squad, push up ringan, dan berlari di tempat adalah resep komplit kebugaran jasmaninya. Ia melakukan semua gerakan itu berulang-ulang sambil menunggu langit semakin cerah.

Tatkala gunung telah menunjukan siluetnya dan awan yang menaungi puncak kerucut gunung itu mulai menampakan warna putihnya, di situlah sinyal untuknya melakukan olahraga lari kecil mengelilingi kampung. Napak tilas masa kecilnya di kampung halaman adalah salah satu agendanya pagi ini. Sambil merapal mantra dalam hati. One two, one two, berulangkali sementara kaki-kakinya menyamakan irama di sepanjang jalan.

Di jalan, Rendra menebak nama-nama pemilik rumah yang dilaluinya, sambil mengingat masa-masa sekolah bersama teman-teman. Sayang, setelah kepergiannya selama bertahun-tahun, kampung ini telah banyak berubah. Ladang sepetak di samping kiri jalan, tempatnya bermain telah berubah menjadi belukar dan dipenuhi pepohonan pisang. Dinding kecil dan tanaman pandan berduri di sisi kanan, tempat ia dulu berlatih menjaga keseimbangan berjalan di atas pagar untuk uji nyali juga telah tiada. Di tengah lari kecilnya, Rendra menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya perlahan secara teratur. Ada desisan huruf ‘S’ panjang di sana dan Ia mendadak benci dengan perubahan. Waktu menghancurkan kenangan masa kecilnya. Ia benci kampung ini, ia benci rumahnya, ia benci ibunya yang belum mau memaafkannya. Terakhir. Ia benci dirinya sendiri. Seakan alam tau suasana hatinya, di langit timur cahaya mega muncul sebagai penawar bagi setiap hati yang tengah gundah gulana. Di saat yang sama pula sebuah mobil elf bermuatan kambing melaju dari arah belakang, melewati Rendra dari sisi kanan, lalu berhenti di depannya. Ada plang bertulis ‘DILARANG LEWAT’ di jalan, ditulis dengan huruf kapital supaya jelas. Mobil elf itu tidak bisa lewat.

“Hehehe. Stupid.” Rendra tertawa ringan pada mobil elf itu.

Belum selesai mobil itu mandek di depannya, seorang perempuan bugil tiba-tiba meloncat keluar dari dalam bak kandang yang dipenuhi kambing. Seketika benda seperti dompet terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah. Buru-buru perempuan itu mengambilnya dan lari tunggang-langgang ke salah satu rumah di kanan jalan dari arah Rendra berdiri.

Sepertinya dewa agak berlebihan menghibur hatinya yang merana. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik, dan pintu kandang mobil itu dibiarkan terbuka oleh perempuan gila tadi. Rendra membelalakan mata tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.

Mobil elf yang tadi berhenti hampir berhasil memutar bodinya di jalan yang sempit itu. Sementara Rendra masih mematung, tidak terima dengan kejadian barusan. Reka adegan wanita itu meloncat masih segar di kepalanya. Buah dadanya yang bergelantungan hebat kala ia terbang di udara sampai menginjak tanah mirip seperti kantong air yang ia yakini tak mungkin kosong. Kemudian hutan belantara di antara pahanya menyembunyikan tanda tanya besar bagi Rendra. Harta karun macam apakah yang bisa ia temukan di sana? Pikirnya. Siapa gerangan wanita itu? Baru kali ini dalam hidupnya, ia bertemu dengan wanita semacam itu. Sungguh cantik, sungguh seksi, sungguh besar, dan sungguh biadab.



To Be Continued…​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd